PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

DARAH PENDEKAR Jilid 13


Dengan suara tenang dan sikap hormat, nenek Siang Houw Nio - nio lalu menceritakan hasil per-temuannya dengan Menteri Kang. Diceritakannya betapa bekas wakil perdana menteri itu mau men-jabat lagi kedudukannya sebagai wakil perdana menteri asal dipenuhi syarat yang dimintanya, yai-tu dibebaskannya bekas Menteri Ho dan juga para menteri yang ditahan atau dihentikan agar diam-puni, dibebaskan dan dipekerjakan kembali.

"Menurut pendapat bekas Wakil Perdana Men-teri Kang, penangkapan dan pemecatan para men-teri yang setia itulah yang menyebabkan terjadinya pergolakan dan ketidakpuasan di kalangan rakyat. Oleh karena itu, dia sanggup bekerja lagi kalau sya-rat itu dipenuhi." Demikianlah Siang Houw Nio-nio mengakhiri pelaporannya. "Kalau tidak, maka dia menyerahkan jiwa raganya kepada paduka sri baginda."

Pelaporan nenek ini mengejutkan semua orang dan menimbulkan perdebatan sengit di antara me-reka yang hadir. Ada yang setuju agar kaisar me-menuhi tuntutan atau syarat itu, akan tetapi ada pula yang tidak setuju.

"Bagaimana pendapatmu, Perdana Menteri Li Su ?" Akhirnya kaisar mengangkat tangan memberi isyarat agar semua orang diam dan dia bertanya kepada perdana menterinya. Selama ini, perdana menterinya itulah yang menjadi penasihat utama-nya, yaitu di kalangan para menterinya, sebagai orang yang amat dipercayanya.

Di dalam istana, sebagai penasihat pribadi, terdapat Chao Kao ke-pala thaikam yang amat dipercayanya. Di antara kedua orang pembesar ini memang terdapat suatu persekongkolan untuk mempertahankan keduduk-an, kekuasaan dan kepentingan-kepentingan pri-badi mereka.

"Hamba sangat khawatir kalau syarat yang di-ajukan oleh Menteri Kang itu dipenuhi, sri baginda Pertama, Menteri Kang telah mengajukah permin-taan berhenti sendiri, berarti dia telah kehilangan kesetiaan. Oleh karena itu, pengangkatannya kem-bali dengan memenuhi syarat yang dimintanya, akan membuat dia merasa dimanja dan dipakai dan hal ini pasti akan menimbulkan watak angkuh, sombong dan selanjutnya segala buah pikiran dan keinginannya tentu harus dipenuhi.Ke dua, mem-bebaskan para menteri dan pejabat yang berkhia-nat dan berani menentang kebijaksanaan paduka, apa lagi memakai mereka kembali sebagai pejabat, sama saja dengan mengumpulkan pengkhianat-pengkhianat yang kelak akan membahayakan kedu-dukan paduka.Dan ke tiga, Menteri Ho adalah orang yang paling besar dosanya, yang terang - te-rangan menentang kebijaksanaan paduka dan meng-hasut orang - orang kang - ouw untuk memberontak. Pergaulannya dengan orang - orang kang - ouw amat luas, maka kalau dia dibebaskan, tentu akan me-nambali berani kepada para pemberontak."

"Akan tetapi, justeru Menteri Ho itulah yang menjadi tuntutan utama dari Menteri Kang, karena menteri kebudayaan itu adalah sahabat baiknya, juga merupakan penasihat utamanya," nenek Siang Houw Nio - nio memotong.

Mendengar ini, kaisar lalu mempersilahkan pa-ra menteri dan ponggawa yang hadir untuk meng-ajukan pendapat - pendapat mereka masing - masing. Dan terjadilah perdebatan sengit, Tentu saja banyak menteri dan pejabat yang diam - diam telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan mereka ini dengan sendirinya mendukung pendapat perdana menteri itu. Akan tetapi ada beberapa orang menteri yang menjadi sahabat bekas wakil perdana menteri, mencoba untuk mendebat mereka. Perdebatan itu dibiarkan saja oleh kaisar yang men-dengarkan dengan penuh perhatian, mendengarkan setiap pejabat yang mempertahankan kebenaran pendapatnya sendiri. Tentu saja, di samping kai-sar yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, terdapat seorang lain yang juga mendengarkan dengan penuh perhatian, bahkan dengan jantung berdebar tegang dan badan terasa panas dingin. Orang ini bukan lain adalah Ho Pek Lian! Siapa orangnya yang tidak akan menjadi tegang hatinya kalau mendengarkan betapa ayahnya dijadikan pokok pembicaraan, bahkan persidangan itu seo-lah - olah merupakan pengadilan terhadap nasib ayahnya ? Mati hidup ayahnya tergantung dalam keputusan persidangan itu dan ia menghadiri dan menyaksikannya tanpa ada seorangpun di antara mereka yang tahu bahwa anak tunggal dari Mente-ri Ho berada di situ !

Siang Houw Nio - nio mengerutkan alisnya men-dengar dalih - dalih yang dikemukakan oleh kelom-pok pendukung Perdana Menteri Li Su. Nenek ini memang sudah mempunyai perasaan tidak suka terhadap perdana menteri itu yang ia tahu adalah seorang yang pandai sekali mengambil hati kaisar, dan pandai pula merebut kepercayaan kaisar, men-jilat - jilat dan bermuka - muka. Akan tetapi ia sen-diri tidak mau berpihak dalam urusan ini. Melihat betapa kaisar nampak bingung mendengar penda-pat - pendapat para menterinya yang seolah - olah terpecah menjadi dua itu, nenek Siang Houw Nio-nio lalu mengemukakan pendapatnya dengan suara lantang.

"Cu-wi telah memperbincangkan keadaan se-karang, maka sekarang tinggal melakukan pilihan antara dua kemungkinan. Pertama, menuruti per-mintaan Wakil Perdana Menteri Kang dan dialah orangnya yang akan sanggup untuk menyelesaikan segala pergolakan dan keruwetan yang mengancam negara ini dengan jalan damai. Atau, cu - wi meno-lak pemintaannya dan kita semua menghadapi pemberontakan-pemberontakan dunia kang-ouw dan juga menghadapi pengacauan kaum sesat. Ha-rap cu - wi suka mempertimbangkan baik - baik. Memilih yang pertama berarti keadaan akan tetap tenang dan damai baik di kalangan pemerintah maupun di kalangan rakyat, atau memilih yang ke dua dan berarti akan terjadi kerusuhan dan pem-bunuhan di mana - mana. Harap cu - wi ingat! Orang - orang kang - ouw itu dengan ilmu mereka yang tinggi sanggup berkeliaran di wuwungan rumah - rumah, baik rumah rakyat, rumah cu - wi sendiri maupun di istana - istana."

Tentu saja peringatan ini membuat semua orang merasa ngeri. Akan tetapi Perdana Menteri Li Su sudah memandang kepada nenek itu dengan sinar mata penuh selidik dan penasaran.

"Apakah Nio - nio hendak berpihak kepada para menteri jahat yang tidak setia dan berami mem-bangkang terhadap sri baginda itu ? Dosa mereka terlalu besar. Mereka sepatutnya dihukum mati bersama seluruh keluarga mereka untuk menjadi contoh bagi rakyat agar tidak ada yang berani me-nentang kekuasaan sri baginda, bukannya diangkat kembali yang akan membuat mereka menjadi kepa-la besar !"

"Harap paduka tidak menuduh yang bukan-bukan. Saya sama sekali tidak mau memihak sia-papun juga dalam soal ketidakcocokan pendapat antara kalian! Akan tetapi, betapa bodohnya un-tuk bertengkar antara rekan sendiri selagi negara berada dalam bahaya pergolakan dan pembe-rontakan. Dalam keadaan seperti ini, seorang peja-bat yang setia akan memikirkan keselamatan nega-ra, sama sekali tidak akan memperdulikan perasa-an - perasaan pribadi. Saya bicara bukan karena berpihak, melainkan mengingat akan keselamatan negara!"

Mendengar semua perdebatan itu, Kaisar Cm Si Hong-te menjadi semakin bingung. Memang pendapat yang saling bertentangan itu ada benarnya. Dan para menteri yang menunjang pendapat Perdana Menteri Li Su adalah menteri - menteri yang pandai menyenangkan hatinya, selalu setia dan ta-at, tidak pernah membantah atau menentang kebi-jaksanaannya, bahkan mendukung semua kebijak-sanaan yang diambilnya sepenuhnya.

Mereka itu selalu berusaha untuk menyenangkan diri, sedang-kan para menteri yang bertentangan dan yang men-dukung pihak Menteri Kang adalah mereka yang suka cerewet, banyak membantah dan banyak me-nentang kebijaksanaannya, membuat dia kadang-kadang merasa penasaran dan marah. Tentu saja di dalam hatinya dia condong membenarkan Per-dana Mentei Li Su dan para menteri pendukungnya. Akan tetapi, kaisar juga bukan seorang bodoh yang tidak dapat melihat keadaan. Keadaan negara benar-benar terancam. Kalau api pemberontakan yang baru mulai bernyala ini tidak segera dipadamkan, maka keadaan akan benar - benar berbahaya dan api pemberontakan itu akan dapat membakar selu-ruh negeri. Dan agaknya, satu - satunya jalan untuk mencegah api itu berkobar, adalah kembalinya Wa-kil Perdana Menteri Kang. Akan tetapi, dia tahu bahwa kembalinya menteri yang keras hati ini tidak menyenangkan hati Perdana Menteri Li dan teman-temannya. Lalu bagaimana baiknya ?

Akhirnya, dengan pandang mata penuh harap kaisar itu menoleh ke arah Siang Houw Nio-nio dan bertanya, "Bibi yang baik, bagaimanakah menurut pendapatmu ?"

"Harap paduka mengampuni hamba kalau hamba katakan bahwa hak itu sepenuhnya terserah kepada kebijaksanaan paduka sendiri. Bagi hamba, yang terpenting adalah keselamatan sri baginda dan kerajaan, hal-hal lainnya hamba tidak perduli. Bagi hamba, siapa saja yang membahayakan kese-lamatan sri baginda maupun tahta paduka, baik itu datang dari orang-orang yang memberontak mau-pun dari orang - orang kita sendiri yang tidak becus mengatur negara sehingga membikin bahaya kedu-dukan paduka, akan hamba sikat dan basmi sampai habis !" Suara nenek itu berapi - api penuh sema-ngat ketika ia mengucapkan kata-kata ini dan Perdana Menteri Li Su bersama teman - temannya mengerutkan alis karena mereka merasa seolah-olah sebagian dari pada ancaman nenek itu dituju-kan kepada mereka.

Sri baginda kaisar mengangguk-angguk mendengar ini. Kemudian dia menoleh ke arah dua orang jagoannya yang berdiri di belakangnya, dan berkata kepada jenderal tinggi besar yang gagah perkasa itu, "Jenderal Beng Tian, bagaimana pen-dapatmu ?"

Jenderal itu terkejut, tidak menyangka bahwa pendapatnya ditanya oleh junjungannya. Biarpun dia merupakan seorang yang amat dipercaya oleh kaisar, akan tetapi dia hanyalah petugas pelaksana, melaksanakan semua perintah kaisar dan tidak per-nah mencampuri urusan politik, walaupun di sudut hatinya dia merasa kagum dan suka sekali kepada Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong dan juga Wakil Perdana Menteri Kang.

"Hamba ? Pendirian hamba tiada bedanya dengan pendirian yang mulia Siang Houw Nio-nio tadi. Hamba bukanlah seorang ahli pikir yang pandai. Yang hamba ketahui hanyalah perang dan berkelahi dengan setia untuk menjunjung paduka dan negara yang akan hamba bela sampai titik da-ah terakhir. Siapapun yang berani merongrong ke-kuasaan paduka dan kerajaan akan hamba mus-nahkan !"

Kembali kaisar mengangguk - angguk dan kini dia memandang kepada si cebol Pek-lui-kong Tong Ciak.

"Dan bagaimana dengan pendapatmu ?"

Tong Ciak menjatuhkan diri berlutut. "Hamba adalah seorang pengawal istana yang bertanggung jawab atas keselamatan sri baginda dan keluarga, oleh karena itu, segalanya terserah kepada kepu-tusan paduka. Hanya satu hal yang hamba keta-hui, yaitu menyerahkan nyawa bagi keselamatan paduka sri baginda dan sekeluarga kerajaan. Persoalan lain-lainnya hamba tidak bisa memikirkannya.

Pada hakekatnya, pendapat tiga orang pelin-dungnya itu sama saja. Kaisar menjadi semakin bingung. Pikirannya bercabang dua dan dia mera-sa sulit untuk dapat mengambil keputusan, memilih mana yang tepat, baik dan menguntungkan. Tiba - tiba seorang kakek berpakaian seperti pende-ta yang sejak tadi diam saja dan duduk dengan antengnya di sebelah kanan kaisar, bangkit berdiri dari tempat duduknya, menghampiri ke arah kaisar dan mengebut - ngebutkan ujung lengan bajunya sebagai tanda penghormatan lalu menjura dengan dalam.

Semua orang memandang dan ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh pendeta ini. Kakek ini adalah Bu Hong Sengjin, berusia hampir tujuh-puluh tahun, berwajah lembut. Bu Hong Sengjin adalah seorang tosu (pendeta Agama To) yang menjadi kepala paderi dari kuil agung yang ber-ada di dalam lingkungan istana. Kuil Thian - to-tang itu adalah kuil bagi kaisar dan para bangsawan, dan mereka yang menjadi tosu dalam kuil itu ada-lah para bangsawan kerajaan sendiri. Bu Hong Sengjin sendiripun seorang bangsawan karena dia masih terhitung paman dari kaisar sendiri. Pada waktu itu, banyak sekali bangsawan - bangsawan yang setelah tua lalu menjadi paderi dengan mak-sud untuk menyucikan diri atau untuk mempersiap-kan diri menghadapi kematian agar jiwanya bersih !

Betapa palsunya kita manusia ini! Kita selalu ingin senang, ingin enak sendiri. Sewaktu muda, kita mengumbar nafsu angkara sesuka hati, tanpa memperdulikan apakah tindakan - tindakan kita itu merugikan orang lain ataukah tidak. Hidup kita dipenuhi dengan tindakan - tindakan yang merugikan orang lain dan bergelimang dengan dosa. Se-telah kita menjelang tua, barulah kita ingin mero-bah jalan hidup, bukan karena penyesalan dan karena kesadaran bahwa jalan hidup kita yang lalu itu kotor dan tidak benar, melainkan terdorong rasa takut akan akibat perbuatan - perbuatan itu, takut kalau - kalau setelah mati kita akan tersiksa dan terhukum, akan tidak kebagian tempat yang baik dan menyenangkan. Betapa palsunya ini. Di wak-tu muda mengejar kesenangan sampai lupa diri, di waktu tua masih saja mengejar kesenangan yang diharapkannya akan didapatkan di "sana" kelak. Apa bedanya ini ?

Yang terpenting sekali adalah sekarang ini ! Saat ini! Setiap saat kita harus sadar dan mawas diri. Perbuatan tidak dapat dinilai dan dibanding-bandingkan. Manusia hidup berhak untuk menge-cap dan menikmati kesenangan hidup. Bukan ber-arti kita harus sejak muda hidup sebagai pertapa dan pantang akan segala kesenangan, menjauhi se-gala kesenangan ! Sama sekali tidak, karena inipun pada hakekatnya hanyalah mengejar kesenangan yang lain lagi, yang kita namakan kebahagiaan batin dan sebagainya. Akan tetapi, yang penting kita harus selalu mengamati semua gerak - gerik badan dan batin kita penuh kewaspadaan. Hanya perbuatan yang didasari cinta kasih sajalah yang murni dan tidak dapat dinilai baik atau buruk. Dan perbuatan yang didasari cinta kasih sudah pasti tidak akan merugikan orang lain baik lahir maupun batinnya. Karena cinta kasih itu berarti bebas dari kebencian, iri hati, cemburu, pementingan diri pribadi.

Baik hanya sebuah kata sebutan, hanya sebuah pendapat. Maka kalau kita INGIN baik, berarti kita ingin disebut baik, dan di balik "keadaan baik" ini tentu mengandung pamrih untuk mendapatkan sesuatu, pahala anugerah maupun imbalan jasa dari "kebaikan" itu sendiri. Dan jelas ini bukan baik lagi namanya, melainkan kemunafikan, kepu-ra - puraan karena "kebaikan" itu hanya dilakukan secara palsu, untuk memperoleh pamrih yang ter-sembunyi di baliknya. Karena itu, bagi orang yang memiliki cinta kasih dalam hatinya, dalam setiap perbuatannya yang disinari cinta kasih, tidak ada istilah baik atau buruk. Dia tidak akan menilai, tidak akan tahu apakah yang dilakukannya itu baik atau buruk, dan penilaian orang lain tidak akan mempengaruhinya. Cinta kasih itu indah, cinta kasih itu sederhana, seperti indah dan sederhana-nya bunga mawar yang harum semerbak, seperti indah dan sederhananya sinar matahari pagi. Kesederhanaan bukanlah hidup bercawat di puncak bukit memamerkan "kesederhanaannya" kepada setiap orang yang datang untuk memujanya. Kese-derhanaan berarti kewajaran tanpa pamrih, tanpa kepalsuan, tidak dibuat-buat, hanya didasari cinta kasih.

Setelah memberi hormat, Bu Hong Sengjin lalu menanti teguran atau pertanyaan sri baginda. Me-lihat kakek ini bangkit berdiri, agaknya kaisar itu baru sadar bahwa kepala kuil istana ini selain men-jadi pamannya, juga menjadi seorang di antara para penasihat kaisar. Maka diapun cepat berkata setelah menerima penghormatan itu, "Ahh... , hampir aku melupakan kehadiran orang - orang tuaku yang dapat menasihatiku. Paman yang mulia, bagaimanakah menurut pendapatmu ?"

Pendeta itu dengan tenangnya menjura lagi, kemudian terdengar suaranya yang lembut. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian se-hingga suasana di ruangan itu sunyi sekali dan suara yang lembut dan tenang itu terdengar satu-satu, "Bagi seorang yang mencinta kedamaian se-perti hamba, cara yang terbaik haruslah mengingat akan keselamatan semua pihak. Baik keselamatan paduka dan kerajaan, keselamatan para pejabat, keselamatan rakyat dan lain - lain. Kita harus menghindarkan segala pertentangan yang mengaki-batkan pertumpahan darah. Hamba kira, jalan satu-satunya untuk itu hanya memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang yang telah kita ketahui pengaruhnya terhadap rakyat, agar dia memangku kembali jabatannya agar suasana keruh dapat dijernihkan kembali. Mengenai para menteri yang dijadikan syarat kembalinya Wakil Perdana Menteri Kang, dapat dipertimbangkan dan dimusyawarahkan kembali tanpa meninggalkan kepentingan yang menyangkut persoalan itu dari segala pihak. Misalnya, pengampunan dan penempatan kembali para menteri itu dapat dilakukan dengan syarat-syarat berat tertentu yang akan mengikat mereka."

Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan kata-kata yang lugu, suara yang lembut dan jelas itu, wajah sri baginda kaisar nampak berseri. Kai-sar Cin Si Hong-te bangkit dari tempat duduknya dan menggerakkan tangannya menunjuk kepada jenderal Beng Tian, tangan kirinya memegangi ka-lung mutiara dan matanya bersinar - sinar.

"Bagus ! Benar sekali itu ! Begitulah keputusanku. Jenderal Beng Tian, sekarang juga kau pergi-lah dan panggil Menteri Kang ke sini! Semua syaratnya akan kupenuhi. Bawalah surat perintah dariku !"

Kaisar menengok ke arah sudut di mana seorang petugas yang berpakaian sebagai sasterawan telah menuliskan surat perintah itu dengan cekatan. Setelah membubuhi cap sebagai tanda kekuasaan kaisar, surat itu diberikan kepada Jen-deral Beng Tian dan kaisar berkata, "Selain Men-teri Kang, juga perintahkan agar para menteri yang ditahan agar semua menghadap ke sini!"

Para pejabat tinggi yang mendukung Menteri Kang tentu saja menjadi gembira sekali dan hati mereka merasa lega. Tentu saja Perdana Menteri Li Su dan kaki tangannya mengerutkan alis dan merasa penasaran, tidak puas walaupun mereka tidak berani membantah keputusan yang diambil oleh kaisar. Mereka juga merasa khawatir karena mereka tahu bahwa para menteri itu, di bawah pimpinan Wakil Perdana Menteri Kang, akan selalu menentang dan memusuhi mereka.

Ho Pek Lian merupakan orang yang paling gembira mendengar keputusan kaisar itu. Hampir saja ia lupa diri dan bersorak kegirangan. Untung ia masih ingat akan keadaan dan ia hanya menundukkan muka menyembunyikan senyum di wajahnya yang mendadak menjadi berseri-seri itu.

Setelah Jenderal Beng Tian berangkat, persi-dangan dibubarkan. Para menteri siap untuk meng-undurkan diri. Sebelum kaisar meninggalkan ruangan, Siang Houw Nio-nio yang bertugas mengawal kaisar sampai ke bagian dalam istana, berkata kepada dua orang muridnya, "Ajaklah kawanmu pulang dulu. Nanti aku menyusul setelah selesai tugasku di sini."

Setelah kaisar meninggalkan ruangan itu, baru-lah para menteri bubaran dan mereka itu tentu saja berkelompok, memilih kelompok masing-masing dan ramailah mereka membicarakan keputusan menghebohkan yang baru saja diambil oleh kaisar.

Rakyat di manapun juga di dunia ini mengha-rapkan kemakmuran dalam hidup. Makmur dalam arti kata lahir batin. Makmur lahiriah adalah mu-rahnya sandang pangan sehingga nilai tenaga ma-nusia dihargai dan cucuran keringat dari pekerja mendatangkan hasil yang lebih dari cukup untuk keperluan hidup yang pokok. Makmur batiniah adalah hidup dalam suasana aman tenteram bebas tanpa adanya penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah, dari yang berkuasa terhadap rakyat jelata, merasa terjamin keselamatan dan kebebasan dirinya lahir batin. Dan kemakmuran seperti itu tidak mungkin terlaksana kalau pemerintahnya ti-dak baik. Pemerintah yang baik adalah pemerintah yang dikemudikan oleh alat pemerintah yang ca-kap dan sehat lahir batin. Karena alat pemerintah merupakan kelompok bertingkat, maka sudah ba-rang tentu tingkat yang tertinggi haruslah benar dan bersih. Dalam sebuah kerajaan, kalau sang raja tidak bersih dan korup, mana mungkin mengharap-kan para pejabat dan pembantunya bersih ? Seba-liknya kalau sang raja benar - benar bersih dan sehat, tentu dia akan mampu untuk menegur, me-mecat atau menghukum para pembantunya yang menyeleweng dan korup, lalu memilih pembantu-pembantu puncak yang jujur dan bersih agar para pembantu puncak ini dapat pula membersihkan ba-wahan - bawahannya. Karena, kalau bukan atasan-nya sendiri, siapa lagi di antara rakyat yang berani menentang kekuasaan orang yang sedang diberi kursi kekuasaan ? Rakyat tidak akan berani menen-tang lurahnya yang korup. Yang dapat menentang-nya hanyalah atasan sang lurah itu, yaitu camat atau bupati misalnya. Dan sang bupatipun kalau menyeleweng hanya dapat ditentang oleh atasan-nya pula. Jadi jelaslah bahwa sang atasan yang duduk paling tinggi dan memegang Kekuasaan paling besar yang harus lebih dulu bersih, dalam hal sebuah kerajaan adalah sang raja sendiri.

Sayanglah bahwa kebanyakan raja bersikap ke-ras menekan justeru terhadap rakyatnya, bukan terhadap para pembantunya. Para pembantu itu hanya menurut atasan. Kalau atasannya korup, maka para pembantunya juga mendukung keko-rupan itu atau penyelewengan itu. Kalau atasan-nya jujur dan bersih, para pembantunya akhirnya terpaksa akan mendukung kejujuran dan kebersih-an itu. Ini sudah menjadi watak manusia pada umumnya yang ingin bermuka-muka kepada atasan.

Raja juga seorang manusia. Dan manusia itu lemah terhadap kesenangan. Oleh karena itu, banyak raja yang jatuh hanya karena mengejar ke-senangan sehingga melupakan kewajibannya yang besar, yaitu mengatur pemerintahan yang bersih agar kemakmuran mungkin dapat dinikmati oleh rakyat jelata. Rakyat jelata yang selalu diam itu amatlah awas. Kalau ada raja yang bertindak bi-jaksana dan membersihkan para pembantunya dari penyelewengan, maka sudah dapat dipastikan bah-wa rakyat pada umumnya akan setuju sepenuhnya. Yang dimaksudkan dengan rakyat di sini adalah rakyat jelata yang tidak ada sangkut - pautnya de-ngan segala perbuatan korupsi. Tentu saja tindakan raja yang membersihkan para pembantunya dari tindakan korupsi itu akan ditentang oleh mereka yang sudah biasa melakukan perbuatan itu, sudah biasa menyalahgunakan kedudukannya untuk me-meras dan memperoleh hasil - hasil yang tidak wa-jar dari rakyat. Akan tetapi mereka ini tidak masuk hitungan rakyat, bahkan menjadi penjegal kemak-muran rakyat!

Tak dapat disangkal bahwa ada sebagian rakyat yang sengaja mempergunakan uang untuk menyo-gok para pejabat. Hal ini dilakukan bukan karena paksaan pejabat itu lagi, melainkan karena si pe-nyogok itu mempunyai pamrih lain, yaitu dengan jalan menyogok dia akan memperoleh kesempatan dan wewenang yang akan mendatangkan hasil yang lebih besar lagi. Penyogokannya itu sama dengan memberi umpan untuk mendapatkan ikan. Akan tetapi, hal ini hanya merupakan akibat atau lan-jutan dari pada penyelewengan si pejabat.

Karena kalau raja sudah berhasil membersihkan seluruh pembantunya dari pada watak menyeleweng, maka para pejabat yang sudah bersih itu sendiri yang akan menindak dan menghukum orang - orang yang membujuk dan hendak menyogoknya dengan uang. Dengan demikian, maka segalanyapun akan beres dan bersih. Atasan ditindak oleh atasannya, atasan menindak bawahan dan bawahan yang menjadi petugas dan pelaksana menindak rakyat yang hendak menyeret mereka ke dalam penyelewengan.

Tentu saja hal ini tidaklah semudah dibicara-kan. Untuk dapat berhasil membutuhkan suasana dan keadaan yang dapat menimbulkan gairah dan semangat untuk kebersihan itu. Dan rakyat sudah pasti akan mendukung sekuat tenaga. Rakyat sela-lu mengidamkan kemakmuran dan kesejahteraan.

Sayang bahwa Kaisar Cin Si Hong-te masih terombang- ambing oleh pengejaran kesenangannya diri sendiri. Bahkan keputusan yang dikeluarkan-nya itu pun bukan didasari kesadaran hatinya, melainkan didasari perhitungan untung rugi bagi dirinya, bagi kerajaan, bukan bagi rakyat jelata. Dia lupa bahwa raja dan pemerintah diadakan untuk rakyat jelata! Tanpa rakyat, apa artinya negara ? Apa artinya kaisar ?

                                                                             ** *

Ho Pek Lian ikut bersama Pek In dan Ang In keluar dari istana kaisar melalui pintu samping yang menembus melalui sebuah taman yang luas di mana terdapat banyak jembatan - jembatan yang bercat dan terukir indah menyeberangi sungai-sungai buatan kecil yang penuh dengan ikan - ikan emas dan bunga teratai. Kembali Pek Lian merasa kagum bukan main karena selama hidupnya belum pernah ia melihat taman bunga seluas dan seindah ini. Kiranya tempat tinggal Siang Houw Nio - nio juga berada di kompleks istana, tidak begitu jauh dari bangunan induk yang menjadi tempat tinggal kaisar. Sebagai seorang pengawal pribadi, tentu saja ia harus selalu dekat dengan kaisar sehingga dalam sekejap saja dapat dipanggil kalau kaisar memerlukannya. Bahkan ada rahasia antara kamar kaisar dan kamar Siang Houw Nio-nio, rahasia yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Kalau kaisar menarik tali tertentu, sebuah kelenengan ke-cil akan bergenta di kamar nenek itu. Genta kecil ini tentu saja dihubungkan dengan tali halus yang dipasang secara rahasia, melalui taman bunga.

Ketika Pek In dan Ang In tiba di pintu gedung yang cukup indah itu, mereka disambut oleh para pelayan wanita yang bukan hanya berwajah can-tik - cantik akan tetapi juga dari gerak - gerik me-reka dapat diketahui bahwa mereka itu rata - rata memiliki ilmu silat yang tinggi!

"Heii ! Nona Pek dan nona Ang sudah kembali!" kata mereka dengan nada suara gembira.

Kedua orang nona itu tersenyum lalu memperkenalkan Pek Lian kepada mereka. Para pelayan itu yang berpakaian sebagai dayang-dayang me-nyambut Pek Lian dengan ramah. Kemudian Pek Lian diajak melihat - lihat gedung kecil mungil yang indah itu. Di situ terdapat ruangan berlatih silat yang cukup luas, ada tempat samadhi, tempat di mana disimpan abu leluhur yang menjadi semacam tempat sembahyang, ada ruangan tamu yang indah, mangan duduk, ruangan makan dan sebagai-nya. Gedung itu sungguh indah sekali, jauh lebih megah dan indah dibandingkan dengan gedung tempat tinggal keluarga ayannya sebagai menteri kebudayaan. Mungkin kemenangan satu - satunya di gedung keluarga Ho adalah tergantungnya lukis-an - lukisan dan tulisan - tulisan bagus yang diha-diahkan oleh para sasterawan dan seniman kepada Menteri Ho.

"Apakah subomu tinggal di sini ?" tanya Pek Lian kepada mereka. Pek In menggeleng kepalanya.

"Tidak. Hampir setiap malam subo tidur di da-lam istana, tidak jauh dari kamar sri baginda. Su-bo mempunyai sebuah kamar indah pula di sana. Hanya kadang - kadang saja subo ke sini. Gedung ini adalah bekas tempat tinggal kakak sepupunya yang meninggalkan istana dan tidak menempatinya lagi. Lalu gedung ini oleh sri baginda kaisar diha-diahkan kepada subo ketika subo meninggalkan suhu dan mengabdikan diri ke dalam istana. Kare-na subo sendiri bertugas menjaga keselamatan sri baginda, maka gedung ini lalu oleh subo diserah-kan kepada kami berdua untuk menempatinya bersama dayang-dayang kami." Pek In menun-juk kepada para dayang yang sedang sibuk bekerja dengan wajah berseri.

Pek Lian memandang kepada mereka dan mak-lum bahwa mereka itu adalah anggauta-anggauta kelompok wanita bertusuk konde kemala yang lihai-lihai. Ia menghela napas panjang. "Dayang-dayangmu itu sungguh lihai- lihai sekali." Ia teringat betapa ia pernah jatuh ke tangan mereka, bahkan menjadi tawanan mereka.

Pek In dan Ang In tersenyum, lalu Ang In yang menjawab, "Hal itu tidak mengherankan karena mereka itu langsung menerima pelajaran dari subo, tidak ada bedanya dengan kami berdua. Hanya saja, kami berdua adalah murid - murid utama, ten-tu saja mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari pada mereka."

Ruangan sembahyang, di mana abu leluhur di-simpan, merupakan bagian terakhir dari gedung itu yang mereka masuki. Ketika mereka masuk, Pek In mengerutkan alisnya. Sepasang matanya yang bening itu memandang ke sana - sini dengan sinar mata menyelidik. Pandang mata tajam dari nona ini dapat melihat adanya bekas-bekas abu dan ada beberapa batang hio yang tinggal gagang-nya saja menancap di tempat dupa, batang hio yang masih baru, berbeda dengan yang sudah lama. Dari ini saja Pek In dapat menduga bahwa baru beberapa hari yang lalu ada orang membakar hio di tempat itu. Segera dipanggilnya pelayan. De-ngan cepat, tiga orang pelayan sudah berdatangan ke ruangan itu.

"Siapakah yang datang untuk bersembahyang di sini beberapa hari yang lalu ?" tanya Pek In.

Akan tetapi, sungguh mengherankan hati Pek In dan Ang In ketika mendengar bahwa tidak ada seorangpun di antara para pelayan yang tahu. Me-nurut mereka, ruangan itu selalu tertutup pintunya dan jarang sekali dimasuki mereka, kecuali kalau mau membersihkan. Itupun dilakukan paling cepat dua minggu sekali. Selama ini, tidak ada pelayan yang masuk ke situ, sedangkan kedua orang nona itu bersama subo mereka juga selama beberapa hari. pergi keluar kota. Kalau ada orang luar memasuki ruangan itu, sudah pasti para pelayan itu akan melihatnya. Mereka semua adalah anggauta - ang-gauta pasukan wanita bertusuk konde kemala, ra-ta - rata memiliki kepandaian tinggi sehingga rasa-nya mustahil kalau ada orang masuk tanpa mereka ketahui.

MELIHAT ketegangan menyelimuti wajah me-reka itu, Ho Pek Lian lalu tersenyum dari berkelakar, "Wah, jangan- jangan yang datang adalah orang - orang yang dikabarkan berkeliaran di istana - istana di waktu malam itu! Siapa tahu mereka itu mendengar akan kecantikan kalian ber-dua, lalu datang ke sini akan tetapi karena kalian tidak ada, mereka lalu iseng-iseng membakar hio!"

"Ih, genit kau!" Ang In berseru dan mencubit lengan Pek Lian yang mengelak sambil tertawa. Wajah Pek In dan Ang In berobah merah oleh ke-lakar itu.

Sebelum dua orang gadis itu dapat membalas, tiba-tiba terdengar suara orang-orang di serambi depan. Kiranya nenek Siang Houw Nio - nio datang bersama seorang tamu.

"Wah, subo datang membawa tamu," kata Pek In. Mereka lalu meninggalkan ruang sembahyang itu, menutupkan daun pintunya lalu menuju ke ruang-an depan. Terdengar suara Siang Houw Nio-nio bercakap-cakap dengan tamunya. Pek Lian merasa jantungnya berdebar tegang ketika mengenal suara tamu itu. Ternyata ada dua orang tamu yang bukan lain adalah Jenderal Beng Tian dan si cebol Tong Ciak! Juga dua orang gadis itu menahan langkah, tidak berani mengganggu ketika mereka mengenal suara dua orang jagoan istana yang sakti itu.

"Kapankah Beng - goanswe berangkat ke tempat Menteri Kang ?" terdengar suara nenek itu berta-nya.

"Aku telah berjanji kepadanya untuk membe-ri kabar tentang keputusan kaisar dan dua hari telah lewat. Tentu dia sangat menanti - nanti ke-datanganku."

"Saya menanti kembalinya Hek - ciangkun yang saya suruh menyusul paduka ke tempat Menteri Kang, karena saya ingin memberi tugas baru kepa-da Hek - ciangkun agar pergi menjemput dan mem-bawa kembali Menteri Ho ke kota raja."

"Bagaimana dengan para menteri yang lainnya ?" tanya Siang Houw Nio - nio.

"Saya telah memerintahkan Liok - ciangkun un-tuk menghubungi kepala penjara agar membebas-kan para menteri yang ditahan, dan menyuruh mencari para menteri yang telah dipecat, mengun-dang mereka ke kota raja."

Si cebol Pek - lui - kong Tong Ciak yang sejak tadi diam saja menarik napas panjang dan berkata, suaranya penuh kekecewaan, "Aah, banyak tenaga telah dibuang secara sia-sia belaka."

Jenderal Beng Tian menjawab ramah, "Memang, akan tetapi siapa mengira keadaan akan menjadi berobah begini macam? Tong-ciangkun telah ikut memeras keringat membantuku ketika menga-wal Menteri Ho sampai jauh sehingga tugas Tong-ciangkun sendiri yang menjadi pengawal di istana hampir kebobolan! Untung bahwa dua orang maling yang aneh itu tidak membuat kerusakan apa - apa di istana. Kalau kita tahu bahwa akhirnya sri baginda akan mengampuni dan memanggil kem-bali para menteri itu, tentu aku tidak sampai me-mohon kepada sri baginda agar Tong-ciangkun membantu dalam tugas- tugasku itu."

"Ah, Beng-goanswe terlalu sungkan. Kita sebagai rekan sudah selayaknya saling membantu. Pula,kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi. Akupun menyadari betapa beratnya tugas Beng - goanswe harus mengawal Menteri Ho yang terkenal dan dicinta oleh para pendekar itu secara rahasia, padahal pada waktu itu juga Beng - goanswe bertugas menumpas para pemberontak di Lembah Yang - ce.
Sesungguhnya, saya harus merasa malu karena kebodohanku dalam mengatur siasat sehingga banyak anak buah goanswe yang tewas ketika kawan-kawan Menteri Ho melakukan penghadangan ketika itu. Memang... aku cuma bisa berkelahi saja, sama sekali tidak mengerti akan siasat-siasat perang seperti Beng-goanswe."

"Tidak mengapalah. Yang penting Menteri Ho dapat diselamatkan, dan itupun berkat bantuan ciangkun dan kami sudah amat berterima kasih."

Pek - lui - kong Tong Ciak menarik napas pan-jang. Dia teringat akan peristiwa penghadangan kereta yang ditumpangi Menteri Ho sebagai tawan-an itu. Betapa dia hampir saja gagal mempertahan-kan tawanan itu. Tak disangkanya akan muncul si pemuda kusir kereta yang memiliki kesaktian luar biasa itu. Untung pemuda itu berotak miring se-hingga perkelahian tidak dilanjutkan. Kalau sampai dilanjutkan, mungkin saja tawanan sudah dirampas oleh para pemberontak. Pemuda itu lihai bukan main. Dia sendiri, yang sudah mampu menyempur-nakan ilmunya sehingga mencapai tingkat terakhir, yaitu tingkat tingkat tigabelas terpaksa ketika beradu tenaga, terdorong mundur ! Biarpun belum dapat ditentukan siapa yang akan kalah atau me-nang kalau perkelahian diteruskan, akan tetapi ka-lau dia harus sibuk menghadapi pemuda lihai itu, bukankah tawanan itu akan mudah dilarikan orang? Pasukannya sudah terdesak ketika itu.

"Pembersihan yang kita lakukan di Lembah Yang-ce itu memang dapat dikata berhasil. Akan tetapi, mereka itu hanya sebagian kecil saja dari pada gerombolan yang memberontak, yang kabarnya semakin besar dan kuat, saja karena bantuan rakyat. Dan lebih mengkhawatirkan lagi adalah adanya berita bahwa kaum sesat dari dunia hitam telah bangkit dan dipimpin oleh keturunan si raja kaum hitam setengah abad yang lalu. Orang itu juga menamakan dirinya seperti leluhurnya yaitu Raja Kelelawar! Hal ini sungguh mendatangkan kegelisahan. Mereka itu lebih kejam dan lebih ganas dibandingkan dengan para pemberontak. Para pemberontak itu hanya menentang pemerintah, akan tetapi kaum sesat itu tidak memakai peraturan lagi, mengganas dan melakukan kejahatan tanpa pandang bulu, merusak kehidupan rakyat. Dan mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hemm, ingin aku dapat bertemu dan berhadapan dengan iblis itu !" Jenderal Beng Tian mengepal tinjunya.

"Akupun sudah mendengar tentang itu," sambung Pek-lui-kong Tong Ciak. "Aku mendengar bahwa dia memang sakti seperti iblis sendiri. Ja-ngan-jangan dialah yang mengunjungi wuwungan istana beberapa malam yang lalu. Kim-i-ciangkun yang mengejar bayangan kedua orang itu melapor-kan bahwa mereka memiliki gerakan cepat seperti setan, berloncatan dan berlarian di atas wuwungan kompleks istana dengan amat ringannya dan sukar disusul. Siapa lagi yang mampu meninggalkan pa-sukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu dengan mudah, kecuali iblis itu sendiri ?"

"Hemm, benar kiranya dugaanmu itu, Tong-ciangkun. Di antara kita bertiga ini, akulah yang pernah merasakan kelihaiannya."

"Ehh ......?" seru Jenderal Beng.

"Ahh... ?" Si pendek Tong Ciak juga berseru kaget dan heran.

"Sesungguhnyalah, baru kemarin aku bertemu dan bertanding melawan iblis itu. Dan terus terang saja kuakui bahwa aku bukan tandingannya. Padahal waktu itu aku sudah dibantu oleh murid pertama dari suamiku. Kami berdua terdesak dan nyaris tewas!"

Tentu saja dua orang jagoan istana itu tertegun. Hampir mereka tidak dapat menerima kebenaran cerita itu kalau tidak mendengar sendiri dari mulut Siang Houw Nio-nio. Mereka tahu benar siapa adanya wamta tua yang berada di depan mereka ini. Pengawal pribadi kaisar! Mereka tahu betapa lihainya nenek ini dan merekapun sudah mendengar siapa pula suami nenek ini. Suhengnya sendiri, ketua Partai Pedang Langit, keturunan Sin-kun Bu-tek, datuk besar utara jaman abad lampau. Mereka sudah pernah samar-samar mendengar tentang apa yang telah terjadi antara suami isteri sakti itu. Oleh karena itu, mereka merasa sungkan dan sungguhpun mereka merasa heran sekali mendengar bahwa iblis Raja Kelelawar itu menye-rang si nenek yang dibantu oleh murid utama suaminya, mereka tidak berani mendesak atau bertanya lebih lanjut.

Di dalam hati, kedua orang jagoan ini berdebar penuh ketegangan. Nenek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, tidak banyak selisihnya dengan mereka sendiri, dapat dikatakan setingkat. Biarpun demikian, melawan iblis itu, padahal sudah dibantu oleh murid utama suaminya, masih kalah dan nyaris tewas! Padahal, merekapun pernah melihat kelihaian murid utama itu, ialah Yap Kiong Lee. Murid utama ini boleh dibilang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian gurunya sehingga dapat dibi-lang hampir selihai gurunya. Pemuda itu sering datang ke kota raja dan semua orang gagah di kota raja mengenalnya.

"Hemm, jelas bahwa tentu iblis itu yang muncul di kota raja!" Pek-lui-kong berkata sambil mengepal tinju. "Aku harus berhati-hati."

"Memang kita harus berhati - hati," kata Siang Houw Nio - nio.

"Akan tetapi aku mendengar dari pelaporan para dayang dari Pek-ji dan Ang-ji yang diutus oleh murid - muridku itu menyelidiki ke tempat pertemuan kaum sesat, bahwa si iblis itu bersama dengan pembantunya akan mencari Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur) yang pada waktu itu tidak muncul. Jadi, mungkin dia hanya lewat saja di sini."

Si cebol mengangguk. "Menurut pengamatan paduka, benarkah iblis itu keturunan Si Raja Kelelawar beberapa puluh tahun yang lalu seperti tersebut dalam dongeng- dongeng itu ?"

"Kurasa benar demikian, karena ilmu silat yang dimainkannya itu tentulah Kim - liong Sin - kun seperti yang pernah kudengar, dan ilmu ginkang-nya itu tentulah Bu-eng Hwee-teng yang membuat aku mati kutu. Kurasa, untuk masa kini, tidak ada lagi orang yang mampu menandinginya."

Nenek itu memandang kepada Pek-lui- kong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Menurut penu-turan Ouwyang Kwan Ek dalam percakapannya dengan suaminya, si cebol ini telah mencapai tingkat tertinggi dalam perguruan Soa-hu-pai. Ingin sekali ia tahu, bagaimana jika si cebol ini menandingi Raja Kelelawar. Mana yang lebih lihai antara ilmu si iblis itu, yalah Pat-hong Sin-ciang atau Kim-liong Sin-kun dibandingkan dengan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian dan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut ?

Pek-lui-kong Tong Ciak tersenyum dingin. "Hemm, sekali-kali aku ingin sekali berkenalan dengan ilmu- ilmunya. Tentu saja hal itu akan sukar terkabul karena aku terikat oleh tugas di da-lam istana. Akan tetapi, ingin sekali aku mencoba ilmuku, apakah mungkin dapat untuk dipakai menghadapinya ? Kurasa, yang paling sukar dila-wan adalah Bu - eng Hwee - teng itu karena kalau benar dia telah mewarisi ilmu itu dengan sempurna, kiranya di dunia ini sukar dicari orang yang akan mampu menandingi kecepatannya. Kecuali apa bila locianpwe Sin - yok - ong hidup kembali. Akan tetapi, dengan kecepatan gerak tangan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian, kurasa iblis itu tidak akan mudah untuk menundukkanku." Si cebol ini meng-akhiri kata-katanya dengan kalimat yang penuh dengan kepercayaan akan kehebatan ilmunya sen-diri.

Ucapan itu bukan sekedar kesombongan kosong belaka. Semenjak dia berhasil mencapai tingkat tertinggi dengan ilmu keturunannya, belum pernah ada lawan yang mampu mengalahkan dia. Apa lagi jika dia mengeluarkan Ilmu Silat Soa-hu-lian karena kedua lengannya dapat bergerak dengan luar biasa cepatnya sehingga nampak seperti ribu-an tangkai bunga teratai mencuat di antara daun-daun teratai di telaga pasir. Karena ilmunya ini, selain julukan Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), diapun kadang-kadang dijuluki Si Lengan Seribu.

Jenderal Beng Tian menarik napas panjang. Dia-pun amat tertarik. "Tentang Ilmu Bu-eng Hwee-. teng itu, kurasa Tong - ciangkun salah duga kalau mengira tidak ada orang yang akan mampu me-nandinginya. Ketika aku mengejar - ngejar ketua lembah, aku bertemu dengan seorang kakek yang memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya. Kakek itu dengan menggendong seorang gadis masih mampu menggandeng tangan si ketua lembah dan melarikan diri bebas dari kepungan beribu orang perajurit pilihan. Padahal di sana masih ada aku sendiri dan dua orang pengawalku. Bayangkan sa-ja betapa hebat ginkangnya."

"Memang banyak terdapat orang-orang tak terkenal yang sakti," kata Siang Houw Nio-nio. "Para anak buah Ang - ji yang beruntung dapat menyaksikan pertemuan rahasia kaum sesat itu mengatakan bahwa seorang kakek telah berhasil menundukkan kesombongan iblis itu dalam ilmu ginkang yang luar biasa. Kakek itu memperkenal-kan diri sebagai murid bungsu Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti)."

"Ohhh ! Jadi locianpwe Sim-yok–ong masih mempunyai murid?" kata Jenderal Beng Tian.

"Kalau begitu, kakek yang kuhadapi itu tentulah dia juga orangnya!"

"Mungkin demikianlah adanya. Tentang murid-murid Sin-yok-ong, aku masih mengenal seorang muridnya yang lain, yaitu suheng dari murid bung-su itu. Dia adalah ketua perguruan Liong - i - pang (Jubah Naga)."

"Kakek berjubah naga ?" Pek-lui-kong berseru kaget.

"Ali, tidak kusangka ! Pantas saja ilmu silatnya sedemikian hebat. Wah, kalau demikian halnya, si iblis Raja Kelelawar tentu akan banyak menemui kesulitan dalam pemunculannya ini. Murid-murid Sin-yok-ong... hemm, Beng-goanswe, benarkah bahwa ketua orang-orang lembah itu diselamatkan oleh kakek murid bungsu dari Sin-yok-ong ?"

"Memang dia diselamatkan seorang kakek, akan tetapi aku tidak yakin apakah benar kakek itu sama dengan kakek yang telah muncul dalam pertemuan rahasia para kaum sesat atau bukan, aku tidak ta-hu benar apakah dia itu murid Sin - yok - ong atau-kah orang lain," jawab jenderal itu.

"Heii! Aku ingat sekarang !" Tiba - tiba Siang Houw Nio - nio berseru keras.

"Aku membawa se-orang gadis yang pernah bersama - sama dengan ketua lembah itu. Aku malah membawanya ke sini dari perlawatanku ke tempat Menteri Kang tempo hari. Mungkin ia tahu di mana adanya kawannya itu. Heh, kamu pelayan yang di luar. Cepat pang-gil Pek - ji dan Ang - ji ke sini, suruh mereka mem-bawa tamunya!"

Mendengar perintah ini, Ho Pek Lian yang mendengarkan di ruangan samping tentu saja menjadi terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang. Ia akan dihadapkan dengan dua orang jagoan is-tana yang pernah dilawannya itu ? Mereka tentu akan mengenalnya kalau begitu. Akan tetapi ah, mengapa ia mesti takut ? Bukankah ayahnya sekarang telah bebas, bukan menjadi pemberontak lagi, bukan menjadi buronan pemerintah atau orang hukuman lagi ? Akan tetapi kalau ia dituduh seba-gai komplotan orang - orang lembah itu. Ah, perduli amat! Bagaimanapun juga, ia bukanlah komplotan mereka. Ia termasuk anggauta kelompok yang di-pimpin oleh Liu Pang, sedangkan orang - orang lembah pimpinan Kwee Tiong Li itu adalah ke-lompok yang berada di bawah perlindungan bengcu Chu Siang Yu.

Ketika dayang itu datang, dengan sikap tenang saja Pek Lian bersama Pek In dan Ang In pergi menghadap memenuhi panggilan Siang Houw Nio-nio. 
Jenderal Beng Tian memandang tajam ke arah gadis itu, kemudian diapun berseru dengan suara keras,

"Ah, benar! Inilah gadis itu! Aku pernah berhadapan dengan ia ini sampai dua kali. Perta-ma ketika ia muncul secara tiba-tiba dari balik gerobak tokoh Ban-kwi-to dan membantu ketua lembah yang menyamar sebagai perajuritku. Ke dua ketika ia diselamatkan oleh kakek sakti itu! Benar begitu bukan, nona ?"

Ho Pek Lian maklum bahwa ia tidak mungkin dapat mengelak dan menyangkal lagi, maka iapun dengan sikap tenang sekali mengangguk. "Benar, akulah gadis itu. Akan tetapi sekali lagi kujelaskan kepada siapa saja bahwa aku bukanlah teman orang - orang lembah itu. Aku baru mengenal dia pada saat dia menyamar sebagai peraiurit itu. Pa-da saat itu aku tidak tega melihat dia dikeroyok banyak perajurit."

 Pek Lian bersikap tenang dan sedikitpun ia tidak kelihatan takut. Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak juga memandang nona itu dengan penuh perhatian. Dia merasa seperti pernah bertemu dengan gadis ini, akan tetapi dia lupa lagi entah kapan dan di mana.

"Akan tetapi nona selalu bersama dengan pe-muda pemimpin lembah itu, maka tentu saja kami menyangka bahwa nona adalah anggauta mereka pula. Sekarang kami ingin bertanya kepadamu, no-na, di manakah kawanmu pemimpin lembah itu ? Namanya Kwee Tiong Li, bukan ? Dan dia itu termasuk kelompok manakah ?"

"Tai - ciangkun salah sangka kalau mengira aku selain bersama dengan dia. Sejak aku diselamat-kan oleh kakek sakti, aku lalu memisahkan diri. Aku tidak tahu ke mana kakek dan pemuda itu pergi. Memang benar namanya Kwee Tiong Li, akan tetapi aku tidak tahu dia termasuk kelompok mana."

"Ah, nona. Sebagai seorang tua biasa tentu saja aku bisa percaya omonganmu. Akan tetapi sebagai perajurit, aku terpaksa tidak danat menerimanya begitu saja tanpa penyelidikan. Kami harus mena-hanmu untuk menyelidiki kebenaran kata - katamu. Tuan puteri, bolehkah aku membawa gadis ini sebentar saja ? Kami ingin menyelidikinya !"

Siang Houw Nio-nio mengangguk dan meno-leh kepada Pek Lian. "Akan tetapi kuminta dengan sangat kepada Beng - goanswe untuk memperlaku-kan gadis ini baik - baik. Aku suka kepadanya, ia tabah dan gagah, dan aku percaya bahwa ia mem-beri keterangan yang sebenarnya."

"Baik," jawab jenderal itu, lalu dia memberi perintah kepada bawahannya. "Bawa gadis ini ke kantorku !"

Perwira itu bersama beberapa orang perajurit melangkah masuk. Pek In dan Ang In memandang bingung, merasa serba salah. Dengan mata gelisah dan bersedih mereka itu memandang kepada Pek Lian dan kepada subo mereka berganti - ganti, tak tahu harus berbuat bagaimana.

Akan tetapi, Pek Lian yang memiliki kekerasan hati itu tentu saja tidak mau ditangkap secara mu-dah begitu saja. Selama ini ia juga menjadi ta-wanan Siang Houw Nio - nio dengan dua orang muridnya, akan tetapi ia lebih diperlakukan seba-gai sahabat atau tamu dari pada sebagai tawanan. Selain itu, juga ia merasa bahwa ia kini adalah pu-teri seorang menteri yang telah bebas dari hukuman pula. Mana mungkin ia membiarkan dirinya di-tangkap oleh perwira muda dan delapan orang perajuritnya itu. Maka, ketika perwira itu hendak menangkap lengannya, iapun nrelangkah mundur dan mengelak.

"Nona, menyerahlah untuk kami tangkap. Ja-ngan sampai kami mempergunakan kekerasan," ka-ta perwira muda itu yang merasa malu karena sambaran tangannya tadi dengan mudah dapat di-elakkan oleh nona yang hendak ditangkapnya.

Pek Lian memandang dengan senyum dingin. "Hemm, hendak kulihat apakah akan mudah begitu saja kalian menangkap aku yang tidak berdosa !"

Perwira muda itu menjadi merah mukanya dan diapun memberi aba - aba kepada delapan orang perajuritnya, "Ringkus gadis ini!"'

Delapan orang perajurit itu lalu mengurung dan serentak maju untuk menangkap kedua lengan Pek Lian. Akan tetapi, dengan langkah - langkah ter-atur Pek Lian mengelak sambil menggerakkan ke-dua 'tangannya. Terdengar suara "plak, plak!" beberapa kali dan tiga orang perajurit terhuyung ke belakang!
Melihat ini, lima orang perajurit yang lain men-jadi penasaran dan marah. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan melawan. Merekapun seren-tak menubruk ke depan. Akan tetapi kembali me-reka hanya menubruk tempat kosong saja dan ta-ngan Pek Lian sudah menampar dua orang pera-jurit lagi yang terhuyung dan terpelanting dengan muka biru terkena tamparan.

Kini perwira muda itu menjadi marah dan dia sendiripun maju, dibantu oleh delapan orang, pera-juritnya. Akan tetapi, Pek Lian sudah mengambil keputusan untuk melawan. Ia tidak akan membi-arkan orang menangkapnya dengan mudah tanpa perlawanan. Biarlah ia tertawan karena kalah, bu-kan karena takut. Maka terjadikah perkelahian, antara sembilan orang pengeroyok itu dengan Pek Lian. Pek In dan Ang In yang melihat perkelahian ini, tersenyum - senyum melihat betapa Pek Lian membuat sembilan orang itu kocar-kacir. Dan karena yang hadir adalah ahli - ahli silat, mereka-pun tertarik. Bahkan Jenderal Beng Tian setengah membiarkan perkelahian itu terjadi dan dia-pun kagum melihat sepak terjang gadis itu.

"Bukan main... " pikirnya. "Boleh juga gadis muda ini." Diam - diam dia memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan dia merasa heran. Dasar gerakan gadis itu menunjukkan bahwa ia telah mempelajari ilmu silat yang baik dan bersih. Akan tetapi mengapa begitu campur aduk, seolah - olah gadis itu telah menggabungkan beberapa macam ilmu silat dari aliran - aliran yang berbeda dalam gerakan silatnya. Kadang-kadang gerakan silat-nya bergaya harimau tutul, kadang - kadang seperti gaya ular dan ginkangnya juga amat baik, membuat tubuhnya dapat bergerak ringan sekali. Jelaslah bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan telah menerima pendidikan ilmu silat dari guru - guru yang baik.

Sembilan orang perajurit itu benar - benar dibuat kewalahan oleh Pek Lian. Nona ini bukan hanya menghindarkan diri untuk ditangkap dengan cara mengelak atau menangkis, akan tetapi juga mem-bagi - bagi pukulan dan tamparan, walaupun nona itu tidak pernah mempergunakan pukulan maut yang dimalcsudkan untuk membunuh lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh para ahli silat yang melihat perkelahian ini dan diam - diam me-reka merasa kagum juga kepada nona muda ini yang agaknya masih mampu mengendalikan pera-saannya.

Jenderal Beng Tian merasa sungkan untuk turun tangan sendiri terhadap seorang gadis muda seper-ti Pek Lian. Akan tetapi diapun maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia hanya menyuruh perwira - perwira saja agak-nya akan sukar untuk menangkapnya. Oleh karena itu, melihat sembilan orang itu kembali jatuh ba-ngun, dia lalu membentak dan menyuruh mereka mundur sambil memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya yang sejak tadi berjaga-jaga di dekat pintu. Dua orang pengawal pribadi dari Jenderal Beng Tian ini adalah sute - sutenya sendiri, maka biarpun tingkat kepandaian mereka tidak setinggi sang jenderal, namun mereka meru-pakan dua orang tangguh yang berilmu tinggi.

Dua orang pengawal ini maklum bahwa atasan atau juga suheng mereka itu sungkan turun tangan terhadap nona muda itu, maka merekapun meng-angguk dan keduanya lalu maju menggantikan perwira muda dan delapan orang perajuritnya yang sudah keluar dari situ dengan muka matang biru. Seorang di antara mereka lalu menyelonong ke depan dan tangannya menyambar, mencengkeram ke arah pundak Pek Lian. Ada angin bersuit ketika tangan ini meluncur ke depan. Pek Lian sudah maklum akan kelihaian dua orang ini, maka iapun sudah siap - siap dan cepat mengerahkan tenaganya menangkis tangan yang mencengkeram itu.

"Plakkk !" Sambil menangkis, Pek- Lian meng-gunakan tangan kanan untuk memukul ke arah dada dan ia terkejut bukan main melihat betapa lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis melainkan menerima pukulan itu begitu saja dengan dadanya.

"Bukk !" Kepalan tangan Pek Lian itu menda-rat di dada dengan empuk saja. Ia merasa seperti memukul benda lunak yang kenyal seperti karet. Pek Lian terkejut dan maklumlah ia bahwa lawan-nya ini memiliki kekebalan yang amat kuat. Maka iapun cepat mencabut pedangnya. Biarpun ia men-jadi tawanan Siang Houw Nio - nio dan dua orang muridnya, akan tetapi ia telah dipercaya setelah ia bersama dengan mereka ikut melawan musuh dan iapun diperbolehkan membawa pedang di pinggangnya. Kini Pek Lian yang maklum bahwa kalau hanya dengan kedua tangan kosong tak mung-kin ia mampu menghadapi dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, telah mencabut pedangnya. Dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari guru-nya yang baru dan lihai, yaitu Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu - twako, bengcu yang amat disegani itu, Pek Lian mulai memainkan pe-dangnya menghadapi pengawal pribadi Jenderal Beng Tian yang hendak menangkapnya. Pedangnya bergerak indah dan kuat, membentuk gulungan si-nar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan su-ara berdengung - dengung. Akan tetapi, pengawal yang masih sute sendiri dari Beng - goanswe itu tetap menghadapinya dengan kedua tangan kosong. Pengawal yang tangguh inipun maklum akan keli-haian pedang si nona muda, maka diapun mengelu-arkan ilmu andalannya, yaitu ilmu pukulan yang amat hebat dari perguruan mereka. Pukulan ini bernama Khong - khi - ciang (Pukulan Tangan U-dara Hampa) yang amat hebat. Dari jarak jauh saja pukulan ini mampu melukai lawan karena me-ngandung getaran seperti petir menyambar. Juga, pukulan ini mengeluarkan suara berdentam dan meledak - ledak. Dengan kedua lengan yang am-puh ini, yang dipenuhi getaran tenaga sinkang yang amat kuat, pengawal itu berani menghadapi pedang Pek Lian, bahkan berani menangkis pedang dengan lengan telanjang!

Ilmu pedang Pek Lian adalah ilmu pedang pi-lihan yang merupakan ilmu silat tinggi. Akan te-tapi, gadis ini belum begitu lama menjadi murid Liu - taihiap atau Liu Pang, maka ilmu pedangnya selain kurang matang, juga tenaga sinkangnya be-lum dapat mengimbangi sifat ilmu pedang yang hebat itu. Oleh karena itulah, kini menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat tinggi, sete-lah lewat tigapuluh jurus, ia mulai terdesak. Pada hal, pengawal ke dua belum juga maju membantu temannya.

Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi menonton perkelahian itu selalu mem-perhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan meng-ingat - ingat di mana dia pemah melihat gadis ini. Setelah memperhatikan ilmu pedang dari gadis itu, barulah dia teringat.

"Tahan !" teriaknya dan diapun meloncat ke dalam arena pertempuran. Melihat majunya si cebol, Pek Lian terkejut dan mengira bahwa si ce-bol botak itu hendak menangkapnya, maka iapun sudah membalikkan tubuhnya ke kiri, meninggal-kan pengawal lihai itu dan menggunakan pedang-nya untuk menyerang Pek-lui-kong Tong Ciak.

"Hyaaatttt...... !!" Pek Lian menerjang dan mengangkat pedangnya tinggi di atas kepala lalu membacok ke arah kepala botak si cebol.

"Hemm... !" Pek-lui-kong berseru, kedua tangannya bergerak dan pandang mata Pek Lian menjadi silau karena kedua tangan itu seolah - olah berobah menjadi banyak sekali dan tahu - tahu pergelangan tangan kanannya kena ditotok dan dalam sekejap mata saja pedangnya telah berpin-dah tangan!.

"Aku sekarang mengenal gadis ini!" kata Pek-lui-kong sambil meloncat mundur kemudian melempar pedang rampasan itu ke atas lantai.

"Tidak salah lagi! Nona, bukankah engkau gadis yang menghadang iring-iringan kereta tawanan di sebelah utara kota Kong-goan, di dusun Han-kung-ce itu ? Herani, hampir saja engkau dan kawan-kawanmu berhasil menculik Menteri Ho ketika pemuda gila kusir kereta itu mengamuk. Hampir separuh perajurit-perajuritku terbunuh. Bukankah engkau gadis yang memimpin penghadangan itu ?"

Pek Lian merasa serba salah untuk menjawab pertanyaan ini dan sementara itu, Jenderal Beng Tian dan Siang Houw Nio - nio, juga Pek In dan Ang In, terkejut bukan main mendengar ucapan panglima cebol yang tidak berpakaian sebagai panglima itu.

"Alih ?" Jenderal Beng berteriak hampir berbareng dengan nenek itu. Kemudian jenderal itu melanjutkan, "Kalau begitu gadis ini harus ditawan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melawan negara! Pengawal, cepat ringkus gadis ini!"

Pengawal yang seorang lagi bergerak cepat me-nubruk ke depan hendak menangkap pundak Pek Lian yang sudah tidak memegang pedang. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-lui- kong Tong Ciak menggerakkan tangannya menangkis cengkeraman ta-ngan pengawal yang tangguh itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT