PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

DARAH PENDEKAR Jilid 14


"Ehh... !!" Pengawal itu terkejut dan meloncat ke belakang. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Apakah Pek-lui-kong telah menjadi gila? Apakah panglima pengawal aneh ini mau berkhianat ? Jenderal Beng Tian menge-rutkan alisnya dan dengan penuh rasa penasaran dia memandang kepada rekannya sambil melangkah maju, juga bersiap siaga. Siang Houw Nio - nio juga melangkah maju, siap membantu jenderal itu menghadapi si cebol yang lihai.
"Tong-ciangkun, apakah maksud ciangkun mencegah pengawalku menangkap gadis ini ?" ta-nya Jenderal Beng Tian dengan sikap hati-hati, tidak berani sembarangan bergerak sebelum me-ngerti benar duduknya perkara.
Melihat sikap jenderal itu dan juga Siang Houw Nio-nio yang mengerutkan alis dan bersiap untuk melawannya, barulah Pek - lui - kong sadar akan keadaannya dan mengerti bahwa tindakannya tadi menimbulkan kecurigaan. Maka cepat-cepat dia menjura dengan hormat kepada jenderal itu dan berkata lantang, "Beng - goanswe, saya kira engkau tidak ingin menentang keputusan sri baginda kaisar yang baru saja dikeluarkan itu, bukan ?"
Dengan sikap masih penasaran, tanpa mengu-rangi kewaspadaannya, jenderal itu mengerutkan alisnya dan balas bertanya, "Apakah maksud ucap-an Tong - ciangkun itu ?"
Dengan sikap tenang dan ada kegembiraan terpancar dari pandang matanya, kegembiraan da-ri, orang yang mengetahui suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain, panglima cebol itu kem-bali ke kursinya dan duduk.
"Beng - goanswe, untuk memulihkan keadaan negara yang dilanda kekeruhan, yang diakibatkan karena rasa tidak puas dari rakyat atas dipecat dan dihukumnya beberapa orang menteri, sri baginda telah memutuskan untuk memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang dan membebaskan Menteri Kebudayaan Ho dan menteri - menteri lainnya, agar memangku kembali jabatan mereka, dengan tujuan agar rakyat menjadi tenang kembali. Bu-kankah demikian keputusan sri baginda ?"
"Benar ! Akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan pemberontak kecil ini ?" tanya Beng-goanswe sambil menuding ke arah Pek Lian.
"Harap goanswe suka bersabar. Ketahuilah, gadis ini adalah puteri tunggal dari Menteri Ho Ki Liong ! Nah, kalau sekarang kita menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara, apa yang akan terjadi jika ayahnya mendengar akan hal itu ? Tentu dia akan marah dan menolak untuk kembali ke istana. Padahal, Menteri Ho adalah sahabat baik Menteri Kang, bahkan pembebasan Menteri Ho merupakan syarat utama dari Menteri Kang. Hal ini tentu akan menimbulkan akibat luas dan kalau sampai bertentangan dengan keputusan sri baginda kaisar, lalu siapakah yang akan menanggung aki-batnya ? Siapa yang berani mempertanggungja-wabkan ?"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar penjelasan Pek - lui - kong Tong Ciak itu. Semua mata kini ditujukan memandang kepada Pek Lian dari kaki sampai kepala. Tentu saja mereka tidak pernah mengira bahwa gadis ini ternyata adalah seorang puteri bangsawan, puteri tunggal dari Menteri Ho yang amat terkenal itu.
Jenderal Beng Tian sendiri menjadi lemas mendengar penjelasan itu. Dengan sinar mata tajam dia memandang gadis itu lalu bertanya, "Benarkah bahwa nona adalah puteri Menteri Ho?"
Dengan sikap angkuh Pek Lian berkata, "Memang benar ! Memangnya kenapa kalau begitu ? Mengapa tidak diteruskan pengeroyokan atas diriku ?"
"Nah, lihat saja sikapnya !* Pek - lui - kong ber-kata lagi. "Dan harap goanswe ketahui bahwa nona ini adalah murid dari jago pedang yang terkenal dengan sebutan Liu - taihiap atau Liu - twako, bengcu yang terkenal memimpin para pendekar yang merasa tidak puas atas perlakuan pemerintah terhadap para menteri itu."
Jenderal Beng Tian menjadi semakin kaget. Dia terbelalak memandang. "Benarkah itu ?"
"Dahulu aku pernah bertanding melawan jago pedang she Liu itu sebelum aku mengabdi di ista-na, dan aku mengenal gaya permainan pedangnya," kata Pek-lui-kong tegas.
"Akan tetapi mengapa la selalu bersama-sama orang- orang lembah ?" Jenderal itu bertanya dengan nada suara sangsi dan curiga.
"Apakah anehnya hal itu ? Bukankah kedua pi-hak itu sama - sama memusuhi pemerintah ? No-na ini merasa sakit hati karena ayahnya akan dihu-kum mati. Orang - orang lembah itupun sakit hati karena mereka dikejar - kejar dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Kalau keduanya bertemu, tentu saja akan terjalin persahabatan sebagai ka-wan senasib sependeritaari, bukan ?"
Jenderal Beng Tian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Ah, betapa bodohnya aku sekali ini! Nona Ho, maafkanlah kekasaran para pembantuku tadi," katanya kepada Pek Lian dan diapun kembali ke kursinya.
Pada saat itu, seorang perajurit datang melapor bahwa Hek - ciangkun yang diutus oleh jenderal itu ke tempat tinggal Wakil Perdana Menteri Kang telah tiba kembali. Mendengar ini, Jenderal Beng Tian lalu berkata, "Suruh tunggu sebentar!" Ke-mudian dia menjura kepada Siang Houw Nio - nio dan Panglima Tong Ciak. "Harap maafkan karena saya terpaksa menunaikan tugas."
Siang Houw Nio-nio lalu mengantar dua orang tamunya pergi, karena Panglima Tong Ciak juga minta diri. Pertemuan itupun bubar dan kedua orang gadis itu setelah kini tahu bahwa Pek Lian adalah puteri Menteri Ho yang terkenal itu, segera merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau adalah puteri Menteri Ho yang hebat itu. Ah, pantas saja sikapmu demikian angkuh !" kata Pek In dengan kagum.
"Sungguh nakal sekali! Kenapa tidak dari dulu kaukatakan tentang dirimu ?" Ang In juga berkata gemas sambil mencubit sayang.
"Bagaimana aku berani mengaku ?" Pek Lian berkata sambil tertawa. "Kalau dahulu aku meng-aku, tentu enci berdua sudah menyerangku dan bagaimana aku akan dapat selamat ? Tadipun ka-lau tidak ada Tong - ciangkun, bukankah aku sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan ?"
Siang Houw Nio - nio memang tidak pernah memperdulikan urusan politik, akan tetapi sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, diam-diam iapun merasa simpati kepada Menteri Ho yang berani itu, dan merasa suka kepada Pek Lian juga karena keberanian gadis ini. Sekarang, men-dapat kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri menteri itu, iapun merasa semakin suka.
"Sementara engkau menanti kedatangan ayah-mu ke istana, engkau boleh tinggal bersama Pek In dan Ang In di sini," kata nenek itu dengan sikap ramah.
Pek Lian cepat memberi hormat kepada nenek itu, penghormatan yang sungguh - sungguh, seba-gai puteri seorang menteri kepada seorang yang berkedudukan tinggi seperti bibi kaisar itu. Akan tetapi karena ia lebih kagum dan tertarik kepada nenek ini sebagai seorang wanita sakti, maka ia tetap menyebut locianpwe sebagai penghormatan seorang ahli silat muda terhadap seorang tokoh besar yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya.
"Saya menghaturkan terima kasih atas semua kebaikan locianpwe dan harap sudi memaafkan segala kesalahan saya yang sudah-sudah terhadap locianpwe."
"Mengingat akan cerita tentang munculnya dua bayangan orang yang amat lihai di gedung para bangsawan bahkan juga di istana, jangan-jangan yang memasuki ruangan sembahyang inipun mere-ka itu, subo," kata Ang In dan diam - diam gadis yang gagah perkasa ini melirik ke kanan kiri de-ngan hati mengandung rasa jerih juga. Siapa tahu bayangan setan itu pada saat itu masih berada di situ!
"Akan tetapi, apa perlunya mereka berkeliaran di sini dan memasuki ruangan sembahyang tempat penyimpanan abu leluhur ?" Nenek itu bertanya sangsi, akan tetapi ia teringat akan dugaan Pek-lui-kong akan kemungkinan bahwa seorang di an-tara dua bayangan itu adalah Si Raja Kelelawar sendiri. Kalau benar yang datang ke istana ini adalah Si Raja Kelelawar, lalu apa maksudnya ? Apakah iblis yang mengerikan itu masih terhitung keluarga istana dan dia datang untuk bersembah-yang di depan abu leluhurnya sendiri ? Siang Houw Nio - nio mengerutkan alisnya dan dengan terme-nung iapun lalu memasuki kamarnya sendiri. Dua orang muridnya yang melihat sikap subonya, mak-lum bahwa subonya sedang berpikir keras, maka merekapun tidak berani banyak bertanya, melain-kan mengiringkan subonya.
Siang Houw Nio-nio duduk termenung di da-lam kamarnya, di atas kursinya. Pek In dan Ang In, diikuti oleh Pek Lian, duduk di luar kamar menanti dan menduga- duga apa yang dipikirkan oleh nenek itu. Nenek itu melayangkan lamunannya.
Gedung mungil ini dahulunya menjadi tempat tinggal keluarga pamannya yang menjabat sebagai kepala rumah tangga istana. Pamannya itu hanya mempunyai seorang putera yang kini menjadi ke-pala kuil istana, yaitu Bu Hong Sengjin yang masih terhitung saudara sepupunya sendiri. Ketika masih muda, Bu Hong Sengjin yang pangeran itu oleh ayahnya disuruh mempelajari ilmu silat tinggi dari seorang kepala kuil Agama To - kauw. Tentu saja pamannya itu mengharapkan agar putera tunggal-nya itu kelak dapat menjadi seorang panglima atau perwira tinggi. Akan tetapi, tempat perguruan di mana pangeran itu belajar tidak hanya mengajar-kan ilmu silat tinggi, melainkan juga keagamaan. Dan dia memang telah mewarisi ilmu silat tinggi, akan tetapi di samping itu juga mewarisi ilmu ke-agamaan yang mendalam. Bahkan agaknya, pemu-da itu lebih condong mendalami agama dari pada ilmu silatnya sehingga setelah tamat belajar silat, dia tidak mau pulang ke rumah orang tuanya, bah-kan lalu masuk menjadi pendeta Agama To dengan julukan Bu Hong Tojin. Kemudian, sebagai seorang tosu dia lebih senang mengembara di kalangan rakyat untuk menyebarkan Agama To - kauw.
Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati pa-mannya. Watak pamannya itu keras dan perbuatan puteranya itu dianggap merendahkan martabat dan nama keluarga. Maka dengan jalan kekerasan pamannya lalu mengurus pasukan mencari putera-nya itu. Sampai bertahun - tahun usaha itu dila-kukan dan akhirnya dengan bantuan para pembesar dan pasukan, puteranya dapat dibawa kembali ke istana. Akan tetapi, Bu Hong Tojin juga memiliki watak yang sama kerasnya dengan ayahnya. Dia berkeras tidak mau menjadi perajurit. Perbantahan terjadi dan akhirnya, pamannya yang keras hati itu menjebloskan puteranya ke dalam penjara. A-kan tetapi, Bu Hong Tojin tetap berkeras kepala. Hal ini amat mengesalkan hati pamannya sehingga dia "makan hati" dan jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia.
Hal ini amat mendukakan hati Bu Hong Tojin. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak suka akan kekerasan, tidak mau menjadi perajurit. Dia tidak meninggalkan istana, akan tetapi dia bahkan memasuki istana dan menjadi pendeta di situ. Akhir-nya, kaisar mengangkatnya menjadi kepala kuil dan juga menjadi penasihat. Dan gedung istana mungil ini, karena tidak ada yang menempati lagi, oleh kaisar lalu dihadiahkan kepadanya.
Ketika lamunannya melayang - layang sampai sejauh itu, Siang Houw Nio - nio lalu teringat akan kakak sepupunya itu. "Hemm, tentu saja dia, siapa lagi ? Tentu Bu Hong Sengjin yang datang ber-sembahyang di sini, menyembahyangi arwah men-diang paman. Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat datang tanpa terlihat oleh para dayang. Sebaiknya kutanyakan sendiri kepa-danya." Wanita itupun lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kamar, wajahnya tidak sekeruh tadi.
"Pek - ji dan Ang - ji, aku mau kembali ke istana," katanya kepada dua orang muridnya itu. Tanpa menanti jawaban, nenek itu melangkah cepat me-ninggalkan mereka yang tentu saja hanya dapat mengangguk dan tidak berani bertanya.
*
* * *
Malam yang kelam. Hujan rintik - rintik mem-buat hawa dingin sekali. Suasana di kompleks is-tana amat sunyi menyeramkan. Bukan hanya karena kelamnya malam gelap - gulita, melainkan teruta-ma sekali dengan adanya cerita tentang tamu yang misterius maka suasana menjadi nampak sunyi dan menyeramkan. Para petugas jaga merasakan ini dan mereka memperketat penjagaan, bersikap was-pada. Namun, makin tegang hati mereka, makin menyeramkanlah suasananya. Lewatnya seekor kucing di atas genteng saja sudah cukup untuk membuat jantung berdetak seolah akan pecah dan membuat darah tersirap meninggalkan muka. Lam-pu-lampu teng yang dipasang oleh para hamba istana tidak mampu memberi penerangan yang cukup, bahkan kabut tipis yang diciptakan oleh hujan rintik - rintik itu membuat lampu - lampu itu nam-pak seperti cahaya - cahaya yang aneh menyeramkan.
Tiga orang gadis itu bukanlah orang - orang yang lemah. Sama sekali bukan. Pek In dan Ang In adalah murid- murid kesayangan Siang Houw Nio-nio dan mereka telah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian Ho Pek Lian. Dan Pek Lian sendiri, biarpun belum selihai dua orang gadis itu, namun sudah merupakan seorang gadis yang hebat ilmu silatnya, dan jarang ada orang yang akan mampu menandinginya. Mereka bertiga ini sudah jelas sekali bukan orang-orang penakut, bahkan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, pada malam hari ini, ada rasa ngeri dan takut menyelinap dalam hati masing-masing dan mereka mencoba untuk menyembuyikannya dengan melalui obrolan yang asyik di dalam ruangan duduk itu.
Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri. Rasa takut timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal - hal yang mengerikan. Kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa takut tidak akan muncul. Umpamanya, kita duduk seorang diri di dalam kamar dalam suasana yang sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam kamar, tentang hal - hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu membayangkan hal - hal yang tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, suara seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan bayangan dalam pikiran ten-tang munculnya setan yang menakutkan. Timbul-lah rasa takut dan rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada bayangan sedikit saja lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang menyeluruh ter-hadap apapun yang terjadi di depan kita, akan meniadakan rasa takut itu.
Tiga orang gadis itu, dalam keadaan diliputi rasa ngeri dan takut akan kemungkinan munculnya hal - hal yang tidak mereka inginkan, terutama sekali munculnya dua bayangan yang dihebohkan itu, dan juga adanya bekas - bekas orang bersem-bahyang di dalam ruangan penyimpanan abu lelu-hur, mencoba untuk melarikan diri dari rasa takut dengan jalan mengobrol. Mereka saling mencerita-kan pengalaman dan riwayat masing - masing dan dalam kesempatan itu, mereka merasa menjadi se-maian akrab satu sama lain.
"Aih, ternyata engkau mempunyai banyak guru yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Mula-mula Huang-ho Su-hiap, empat orang pendekar Huang-ho yang terkenal itu menjadi guru - gurumu, kemudian engkau digembleng pula oleh Liu-taihiap yang terkenal itu. Pantas saja engkau lihai sekali, adik Lian," kata Ang In me-muji.
"Ah, jangan terlalu memuji, enci Ang. Biarpun aku mempunyai lima orang guru, akan tetapi diban-dingkan dengan engkau atau enci Pek yang hanya mempunyai seorang guru saja, aku masih belum ada setengahmu! Aku masih harus banyak bela-jar dari kalian !"
"Hemm, sesungguhnya tidak demikian, adik Lian. Ilmu silatmu sudah cukup hebat, hanya agak-nya engkau masih kurang dalam latihan. Ilmu-ilmu-mu itu belum dapat kaukuasai dengan matang. Kalau sudah matang, tentu aku bukan lawanmu karena engkau mempunyai ilmu yang lebih leng-kap dan banyak ragamnya. Kalau engkau bisa merangkai semua itu, tentu engkau benar - benar akan tangguh sekali," bantah pula Ang In.
Selagi Pek Lian hendak membantah untuk me-
rendahkan diri, tiba-tiba Pek In memandang ke-
pada mereka dengan mata terbelalak dan nona ini
menaruh telunjuk di depan mulut sambil mendesis
lirih, "Ssshhhhh !" Ang In dan Pek Lian melihat perobahan muka yang menjadi tegang itu,
dan mereka berdua menjadi waspada. Melihat be-
tapa cuping hidung Pek In berkembang - kempis,
merekapun menggerakkan cuping hidung mencium-
cium dan barulah mereka dapat menangkap bau yang agak harum itu. Dan mereka merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang, leher terasa dingin karena serem. Itu adalah bau asap dupa hio ! Me-reka bertiga saling pandang. Mereka lalu bangkit dan atas isyarat Pek In, ketiganya lalu berganti pakaian ringkas. Dengan hati tegang mereka mengadakan persiapan, kemudian dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang agar jangan sam-pai langkah kaki mereka bersuara, dipimpin oleh Pek In, ketiganya lalu keluar dari situ dan menuju ke belakang, ke arah datangnya bau asap hio itu yang datang dari arah belakang, dari ruangan sem-bahyang tempat penyimpanan abu leluhur!
Mereka bergerak sigap dan seluruh urat syaraf meneka menegang. Jantung mereka berdebar pe-nuh ketegangrn ketika, mereka berindap - indap menuju ke ruangan sembahyang itu. Makin dekat dengan ruangan itu, bau dupa semakin keras me-nusuk hidung. Betapa beraninya orang itu, pikir mereka. Membakar hio di rumah orang sedemikian menyoloknya, seolah - olah tidak memperdulikan penghuni rumah dan tidak takut dipergoki. Akan tetapi, bulu tengkuk mereka meremang kalau me-reka teringat akan kata-kata Pek-lui-kong siang tadi. Jika benar dugaan si cebol itu yang mengata-kan bahwa orang yang berkeliaran di komplek istana pada beberapa hari yang lalu adalah Si Raja Kelelawar, maka mungkin sekali orang yang membakar hio dalam mangan itu adalah si Iblis itu sen-diri ! Jika hal ini benar, maka amatlah berbahaya untuk didekati. Iblis itu kabarnya memiliki kepan-daian yang amat hebat dan apa yang mereka saksi-kan ketika iblis itu berkelahi dengan Siang Houw Nio-nio sudah cukup membuat mereka jerih. Me-reka maklum bahwa kalau yang membakar hio adalah Raja Kelelawar, maka mereka bertiga bu-kanlah tandingan iblis itu dan menyerbu masuk sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Oleh karena itu setelah tiba di luar ruangan yang pintunya tertutup itu, mereka berhenti dan saling pandang dengan ragu - ragu.
"Kita pukul saja tanda bahaya?" bisik Ang In kepada kakaknya.
Pek In menggeleng kepalanya. "Jangan dulu," bisiknya kembali. "Kita masih belum yakin. Kalau benar musuh, memang baik sekali memukul tanda bahaya. Bagimana kalau bukan ? Bagaimana kalau dia sudah pergi ? Berarti menggegerkan is-tana dengan sia-sia dan tentu Kim - i - ciangkun akan marah-marah kepada kita. Kita tunggu se-bentar."
Tiba-tiba mereka bertiga terkejut dan cepat menyelinap dan bersembunyi di balik tiang besar sambil mengintai ke depan. Daun pintu ruangan sembahyang itu terbuka perlahan dari dalam ! Ke-adaan menjadi semakin menyeramkan. Mereka bertiga memasang mata, memandang tanpa berkedip.
Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan di antara keremangan sinar lilin, mereka melihat dua sosok tubuh yang tinggi kurus, mengenakan pakaian ringkas serba hitam. Wajah mereka itu ditutupi kain hitam dari kepala sampai ke leher dan hanya sepasang mata mereka saja yang nampak bersinar-sinar seperti bintang kecil. Dari bentuk tubuh mereka, tiga orang gadis yang mengintai itu dapat menduga bahwa seorang di antaranya tentulah wanita. Ho Pek Lian memandang dengan penuh perhatian dari tempat persembunyiannya.
Yang pria mungkin si iblis Raja Kelelawar, pikirnya. Badannya juga jangkung kurus, pakaiannya hitam-hitam, sepasang matanya mencorong. Dan wanita itu, matanya begitu jeli, bukankah itu Si Maling Cantik ? Akan tetapi kalau memang benar mereka itu adalah Raja Kelelawar dan Maling Cantik, mengapa mereka harus memakai kedok kain ?
Dua orang yang berada di dalam ruangan sembahyang itu setelah membuka daun pintu perlahan-lahan, dengan mata mereka yang mencorong itu memandang keluar ruangan, ke kanan kiri, kemudian agaknya mereka hendak melanjutkan kesibukan mereka di dalam kamar itu, dan siap untuk meninggalkan ruangan yang sudah mereka buka pintunya.
Sementara itu, Pek In berbisik kepada dua orang kawannya, "Ang - moi, cepat kaupukul tanda ba-haya sedangkan aku dan Lian - moi akan menyerbu mereka dan menghadang mereka agar tidak mela-rikan diri. Siap ? Hayo, Lian - moi!"
Mereka bertiga berpencar sambil menyelinap ke tempat gelap. Ang In cepat menuju ke sudut di mana tergantung kentungan alat untuk dipukul ka-lau ada bahaya, sedangkan Pek In dan Pek Lian su-dah berindap menghampiri jendela ruangan yang berada di depan kamar sembahyang itu. Mereka berdua menanti dan begitu terdengar suara ken-tungan dipukul bertalu-talu dengan gencarnya, merekapun menerjang ke depan !
Mendengar suara kentungan tanda bahaya ini dua orang yang berada di dalam kamar sembah-yang terkejut dan menengok. Padi saat itu, Pek Lian sudah meloncat masuk sambil membentak nyaring, "Maling - maling hina jangan lari !"
Hampir berbareng, Pek In juga muncul dan menyerbu dari pintu yang terbuka. Akan tetapi ha-nya sejenak saja dua orang aneh itu kelihatan ter-kejut.
"Mari... !" Terdengar yang pria menggumam dan keduanya melesat dengan amat ceratnya ke arah pintu. Pek In memapaki dengan pukulannya, akan tetapi dengan mudahnya dua orang itu menghindar dengan gerakan tubuh yang amat cepat, dan sekali meloncat mereka telah dapat melewati Pek In dan terus melesat keluar dari dalam ruangan itu melalui pntu. Pek Lian sendiri tidak sempat menyerang. Dua orang itu meloncat naik ke atas tembok dan ketika mereka mengayun tangan, semua lampu teng di sekitar tempat itu padam dan kea-daan menjadi gelap sekali.
"Kejar !" Pek In berseru dan bersama Pek Lian ia mengejar. Akan tetapi karena di luar amat gelap, mereka hampir kehilangan bayangan dua orang itu.
Akan tetapi, pukulan tanda bahaya yang dibu-nyikan oleh Ang In itu mengakibatkan datangnya banyak sekali pengawal dan penjaga. Derap kaki mereka terdengar dari semua penjuru, dan hal ini agaknya membuat dua orang itu menjadi bingung juga. Sebaliknya, Pek In dan Pek Lian merasa lega dan terus mengejar ke depan dan melihat dua orang itu sedang berdiri bingung di serambi depan taman bunga. Dua orang gadis ini segera menya-rang dan menggunakan pedang mereka. Pek In menyerang maling pria dan Pek Lian menerjang maling wanita. Akan tetapi dua orang itu sungguh lihai bukan main. Hanya dengan gerakan langkah kaki dan kadang - kadang mengibaskan tangan, me-reka mampu menghadapi serangan pedang itu dan jelaslah bahwa Pek In maupun Pek Lian bukan tandingan mereka. Ketika mereka membalas de-ngan serangan tamparan tangan dan tendangan kaki, Pek In dan Pek Lian terdesak mundur. Un-tung bagi mereka bahwa pada saat itu, Ang In datang bersama para pengawal yang segera terjun dan mengeroyok. Melihat ini, dua orang maling itu berloncatan jauh dan melarikan diri. Tak lama kemudian keduanya sudah berada di atas genteng-genteng wuwungan kompleks istana dan melarikan diri, dikejar oleh tiga orang gadis itu bersama para perwira pengawal yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat mengejar sambil berlompatan di atas wuwungan rumah.
Karena datangnya banyak pengejar dari semua jurusan, dua orang yang gerakannya cepat seperti iblis itu kadang-kadang harus melawan pengero-yokan para pengejar, melarikan diri lagi, dikeroyok lagi dan terjadilah kejar - kejaran yang amat ramai di kompleks istana, di bawah cucuran hujan rintik-rintik. Banyaknya pengawal yang menghadang di sana-sini membuat dua orang maling itu kebi-ngungan. Mereka berputaran di seluruh kompleks dan agaknya malah kehilangan jalan. Memang ja-lan keluar telah dijaga ketat oleh para pengawal sehingga dua orang mal'ng itu hanya mampu ber-lari—larian di sekitar bangunan-bangunan kom-pleks istana yang luas itu dan tanpa mereka sadari mereka beberapa kali kembali ke tempat semula. Dari tingkah mereka ini saja mudah diketahui bah-wa dua orang maling itu masih belum mengenal benar keadaan di kompleks istana.
Padi saat itu muncullah Kim - i - ciangkun, komandan dari pasukan Kim-i-wi. Melihat bahwa para anak buahnya yang membantu tiga orang nona itu mengeroyok dua orang berpakaian hitam dan berkedok kain, Kim - i - ciangkun menjadi marah. Dengan suara gerengan seperti seekor harimau marah dia menerjang ke depan, begitu maju dia telah mengeluarkan ilmunya yang ganas, yaitu Hwi-ciang (Tapak Tangan Api) memukul ke arah maling yang bertubuh ramping. Iblis betina yang berke-dok ini agaknya memandang rendah kepada lawan, dengan mengandalkan kecepatan tubuhnya dan kekuatan tangannya iapun menangkis.
"Desss ! Aihhh !" Jeritan suara wa-
nita membuka rahasianya sehingga semua orang
tahu bahwa maling ke dua bertabuh ramping ini
benar-benar seorang wanita. Wanita itu meloncat
ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke
arah lengan baju kirinya yang terbakar hangus!
Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang
yang amat kuat sehingga pukulan ampuh itu tidak
melukai kulitnya dan gerakannya yang cepat me-
loncat ke belakang tadi telah menyelamatkannya.
Diam-diam Kim - i - ciangkun juga terkejut, tidak
mengira bahwa wanita itu benar-benar mampu
menangkis pukulan saktinya, maka diapun menye-
rang terus. Akan tetapi wanita itupun agaknya ma-
rah karena lengan bajunya hangus. Ia menangkis,
mengelak dan balas meyerang. Kecepatan gerak-
annya membuat Kim - i - ciangkun kewalahan dan
sebuah tendangan kilat mengenai pahanya, mem-
buat Kim - i - ciangkun terpelanting. Akan tetapi
para pengawal menerjang dan mengeroyok. Melihat betapa banyaknya pihak pengeroyok, maling pria berseru kepada temannya, "Lari ...... !" Dan merekapun lari lagi, dikejar oleh banyak sekali penga-wal. Bahkan kini nampak pula pengawal Gin-i-wi yang berpakaian perak datang membantu dari luar.
Karena dikepung makin rapat, kedua orang ma-ling itu semakin bingung. Ke manapun mereka lari, tentu ada pasukan yang menghadang. Akhirnya, tanpa disengaja mereka lari sampai ke kuil agung istana. Melihat bangunan kuil ini, dua orang itu lari ke sana. Akan tetapi setibanya di depan kuil yang megah itu, kembali mereka telah dikepung rapat oleh para pengawal yang sudah ada pula yang berjaga di tempat itu. Segera terjadi penge-royokan lagi. Biarpun ada beberapa orang penga-wal dan pengeroyok yang roboh terluka, namun dua orang itu dikepung terus sampai tiga orang ga-dis lihai dan juga Kim - i - ciangkun datang pula di tempat itu.
"Sungguh aneh, kenapa iblis itu tidak segesit
dahulu ?" kata Pek Lian kepada dua orang teman-
nya. "Bukankah dahulu gerakannya luar biasa ce-
patnya seperti pandai menghilang saja? Biarpun
sekarang gerakannya juga cepat bukan main akan
tetapi rasanya tidak sehebat dahulu "
"Mungkin karena dia harus melindungi teman pei'empuannya itulah," jawab Pek In yang segera mengajak dua orang temannya untuk membantu para pengeroyok karena memang dua orang iblis itu luar biasa sekali. Pengeroyoknya amat banyak, dipimpin oleh Kirn - i - ciangkun yang tangguh. Semua pengawal adalah perajurit - perajurit pilihan karena untuk dapat diterima menjadi anggauta pasukan pengawal istimewa ini orang harus melalui ujian berat. Maka mereka itu rata - rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Biarpun demikian, agaknya mereka itu menghadapi kesulitan untuk dapat merobohkan atau menangkap dua orang iblis itu. Bahkan banyak sudah anggauta pengawal yang roboh terluka oleh pengamukan mereka berdua. Hebatnya, dua orang maling itu tidak pernah menggunakan pedang mereka yang tergantung di punggung. Ini saja menunjukkan bahwa selain mereka tidak ingin membunuh para pengeroyok, juga menjadi tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi sehing-ga merasa tidak perlu lagi dibantu oleh senjata dalam menghadapi lawan.
Selagi para pengawal itu dengan ramainya me-lakukan pengeroyokan, tiba - tiba terdengar bentak-an melengking nyaring dan muncullah Pek-lui-kong Tong Ciak ! Melihat munculnya tokoh ini, tentu saja para pengawal bersorak girang. Kalau jagoan ini yang turun tangan, tentu dua orang ma-ling itu akan dapat ditangkap atau dirobohkan. Juga Kim - i - ciangkun merasa girang sekali melihat munculnya atasan ini. Sebaliknya, Pek Lian dan dua orang tokoh wanita bertusuk konde kemala itu mundur dan hanya menonton karena mereka sudah mulai meragukan bahwa orang berkedok itu adalah Si Raja Kelelawar. Pula, kalau yang maju adalah orang seperti Pek - lui - kong, tentu amat tidak enak bagi jagoan itu kalau dibantu. Biasanya, seo-rang tokoh besar yang sudah menjadi jagoan, tidak sudi dan merasa malu untuk melakukan pengeroyokan.
Pengeroyokan itu terjadi di serambi depan, di bawah pagoda kuil yang bertingkat enam. Melihat betapa para anak buahnya ternyata t'dak mampu menundukkan dua orang maling itu, Pek - lui - kong Tong Ciak menjadi marah. Sambil membentak dia lalu menerjang ke depan dan menggerakkan tangan kanannya menampar. Melihat ini, wanita dalam kedok itu menangkis dan seperti tadi, perbuatannya ini sungguh ceroboh. Ia tidak tahu dengan siapa ia berhadapan dan dengan ceroboh ia berani meng-adu tenaga begitu saja ! Padahal, pukulan Pek - lui-kong Tong Ciak ini sama sekali tidak dapat disama-kan dengan pukulan api dari Kim - i - ciangkun tadi.
"Dessss ahhhh !!" Tubuh wanita itu terlem-
par ke udara! Demikian hebatnya tenaga yang
terkandung dalam pukulan Pek - lui - kong sehingga
ketika wanita itu menangkis mengadu tenaga, tu-
buhnya terlampar keras. Tubuh itu meluncur ke
arah pagoda dan terjadilah hal yang mengagumkan sekali. Kiranya wanita itu juga memiliki sinkang yang amat hebat sehingga biarpun tubuhnya men-celat ke atas, namun agaknya ia tidak terluka. Ma-lah dengan ginkang yang luar biasa indahnya, ia berjungkir balik dan dapat dengan tenangnya turun dan hinggap di lantai dari tingkat ke dua pagoda itu ! Semua orang memandang kagum.
Ketika tubuhnya terlempar ke atas tadi, teman-nya terkejut dan dengan ringannya tubuhnya juga melayang ke atas menyusul kawannya. Melihat ini, Kim - i - ciangkun yang sudah mempersiapkan pasukan panah segera memberi isyarat dan melun-curlah belasan batang anak panah ke arah tubuh ma-ling yang melayang ke atas itu. Akan tetapi, kem-bali terjadi hal yang amat mengagumkan ketika iblis atau maling itu berjungkir balik dan dengan mudahnya menggerakkan kaki tangan memukul dan menendang runtuh semua anak panah yang melun-cur ke arah tubuhnya. Semua ini dilakukan selagi tubuhnya berada di tengah udara. Kemudian tubuh itu meluncur turun ke lantai tingkat dua, di dekat temannya. Melihat ini, Pek - lui - kong mengeluar-kan dengus mengejek dan diapun bersama Kim - i-ciangkun meloncat ke atas loteng tingkat dua. Pa-ra perajurit pengawal berlari-larian melalui tang-ga. Merekapun hanya ingin menambah semangat saja karena setelah si cebol sendiri yang maju, me-reka tidak berani mengganggu dengan pengeroyokan mereka. Hanya pasukan anak panah saja yang masih siap di luar dan di bawah menara, meman-dang ke atas di mana dua orang iblis itu kini ber-tanding dengan amat serunya melawan Pek - lui-kong dan Kim - i - ciangkun.
Pek Lian, Pek In dan Ang In menonton di ba-wah. Mereka merasa terheran - heran melihat be-tapa iblis yang mereka sangka Si Raja Kelelawar itu ternyata nampak terdesak oleh Pek-lui-kong setelah mereka berkelahi belasan jurus lamanya. Sebaliknya, maling wanita itu bertempur dengan seru dan nampaknya seimbang dengan Kim - i-ciangkun. Pek - lui - kong dan Kim - i - ciangkun bernapsu sekali untuk mengalahkan dua maling itu, maka merekapun sudah mengerahkan seluruh te-naga dan kemampuan, mendesak dua orang lawan yang hanya melakukan perlawanan dengan sikap ragu - ragu itu. Karena terdesak dan tersudut, akhir-nya iblis itu kembali menjejakkan kakinya dan tu-buhnya sudah melayang ke atas, ke arah loteng tingkat tiga. Memang tidak ada lain jalan baginya. Ketika dia sudah tersudut ke pinggir loteng, hanya ada dua pilihan, yaitu meloncat ke bawah lagi atau meloncat ke atas. Di bawah sudah menanti ratusan pengawal yang siap dengan anak panah dan yang sudah mengepung pagoda kuil itu. Maka diapun meloncat ke atas dan melihat ini, temannya si ma-ling wamta juga mempergunakan ginkangnya yang hebat untuk menyusul dengan loncatan ke atas.
Melihat betapa dua orang lawannya berloncatan ke atas, tentu saja Pek-lui-kong yang sudah merasa "menang angin" itu tidak mau melepaskannya dan diapun meloncat ke atas, mengejar, diikuti oleh Kim-i-ciangkun yang berbesar hati karena adanya Pek-lui-kong di sampingnya.
Kini terjadi kejar-kejaran dan juga perkelahian sengit di tingkat tiga. Agaknya dua orang maling itu hendak mengandalkan ginkang mereka karena mereka hanya sebentar saja menghadapi lawan lalu cepat berloncatan lagi ke tingkat yang lebih tinggi. Dua orang jagoan istana itu terus mengejar dan terjadilah perkelahian seru di atas leteng ke empat. Semua orang yang menonton di bawah dapat meng-ikuti semua kejar - kejaran dan perkelahian itu de-ngan jelas. Para anggauta pasukan bersorak - sorak menjagoi komandan mereka.
Kini Pek Lian dan dua orang temannya dapat melihat bahwa Pek - lui - kong benar - benar dapat mendesak si iblis pria dengan pukulan - pukulan saktinya ! Iblis itu nampak kewalahan sekali. Akan tetapi, sebaliknya, Kim - i - ciangkun juga nampak terdesak oleh iblis wanita itu. Terutama sekali karena dia kalah cepat dalam bergerak, dan kalah panjang napasnya membuat panglima ini terdesak dan napasnya mulai terengah - engah. Melihat ini, para perajurit yang di bawah dan tidak dapat mem-bantu itu lalu melepas anak panah ke atas. Mereka tahu bahwa dengan pakaian pengawalnya, ko-mandan mereka tidak akan terlukai oleh anak panah.
Kembali terjadi keheranan dalam hati Pek Lian.
Ia tahu bahwa iblis Si Raja Kelelawar memiliki ju-
bah yang dapat menahan segala macarn senjata
tajam. Akan tetapi iblis ini agaknya tidak berani
mengandalkan jubahnya, atau dia tidak memakai
jubah pusakanya itu. Iblis itu dan teman wanita
nya harus mengelak ke sana - sini dan menjadi ke-
walahan ketika dihujani anak panah dari bawah,
maka mereka berdua lalu meloncat lagi ke tingkat
lima. Di sini anak panah tidak lagi dapat mencapai
mereka karena terhalang langkau melintang di te-
pinya. Pek - lui - kong dan Kim - i - ciangkun terus
mengejar. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat
di tingkat lima.
Agaknya si maling wanita itu menjadi marah karena terdesak dam tersudut. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melesat dengan luar biasa cepatnya menyambut Kim - i - ciangkun yaag sudah mengejar ke tingkat lima. Komandan itu maklum bahwa lawannya melakukan serangan yang berbahaya, maka diapun cepat mengerahkan tenaga untuk menangkis. Akan tetapi, agaknya dia kurang cepat dan tahu-tahu sebuah pukulan telah mengenai pundak kirinya.
"Dess !" Kim - i - ciangkun mengeluh dan terpelanting, roboh dan ketika dia hendak bangkit lagi, dia menyeringai karena pundaknya terasa nye-ri sampai ke dada, bahkan lengan kirinya tidak da-pat digerakkan, amat nyeri rasanya kalau digerak-kan ! Tentu saja dia menjadi terkejut dan maklum bahwa dia tidak mungkin dapat maju untuk ber-tanding lagi.
Sementara itu, melihat pembantunya roboh, Pek-lui-kong menjadi marah dan sepak terjangnya menjadi semakin hebat. Dia kini dikeroyok dua oleh lawannya. Akan tetapi, dia tidak merasa gen-tar, bahkan kini mengeluarkan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu tenaga pukulan Pusaran pasir Maut. Begitu dia melancarkan pukulan ini, angin puyuh bertiup dan hawa dingin terasa melanda tubuh kedua orang lawannya! Seketika butiran-bu-tiran keringat dan air hujan yang membasahi tubuh kedua lawan itu menjadi beku ! Keduanya meng-gigil kedinginan dan menjadi gelagapan. Cepat mereka mengerahkan sinkang untuk memunahkan pengaruh luar biasa dari pukulan Pusaran Pasir Maut itu. Si cebol mengeluarkan suara ketawa me-nyeramkan.
"Hayo, keluarkan ilmu - ilmu andalanmu yang terkenal itu !" bentaknya kepada iblis yang tinggi dan yang disangkanya Raja Kelelawar itu. "Sudah kutunggu sejak tadi. Kenapa tidak kaukeluarkan ilmu - ilmumu ? Orang bilang, ginkangmu tidak ada keduanya di dunia ini, tidak tahunya Cuma sebegitu saja!" Kembali si cebol tertawa menge-jek. Kemudian dia memasang kuda - kuda dengan tubuh yang sudah cebol itu direndahkan, kedua tangannya bergerak cepat sekali di selatar tubuh-nya, makin lama makin cepat.
"Hayo, majulah !" bentaknya dan kini dua le-ngannya sudah sukar diikuti pandang mata, biar oleh seorang ahli silat tinggi sekalipun. Seolah-olah kedua lengan itu kini nampak menjadi ratusan atau ribuan banyaknya, membentuk bayang bayang dan sukar dilihat dengan nyata yang manakah le-ngan aselinya dan di mana adanya kedua lengan itu di satu saat. Itulah ilmu sakti yang luar biasa, Ilmu Silat Soa - hu - lian (Teratai Danau Pasir)!
Iblis itu nampak terkejut, sepasang matanya ter-belalak, nampak jerih dan putus asa.
"Koko , awas !" Maling wanita mem-
peringatkan dengan suara halus. Mereka berdua
cepat bersatu untuk menghadapi si cebol yang
benar - benar amat menggiriskan ilmunya. Biarpun
dikeroyok dua, namun tetap saja dia mampu men-
desak lawan. Kedua tangan yang berobah menjadi
banyak sekali saking cepat gerakannya itu, menge-
luarkan angin berputar menyambar - nyambar dan
membawa hawa dingin. Butir-butiran air hujan yang
jatuh di sekitar tempat itu, terkena sambaran angin
dingin ini menjadi beku dan berjatuhan mengeluar-
kan bunyi seperti batu!
Ho Pek Lian, Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tingkat ke lima itu. Mereka berloncatan dan kini menonton pertandingan hebat itu dari jarak yang agak jauh. Biarpun demikian, mereka masih merasa betapa hawa dingin melanda tubuh mere-ka, terdorong oleh angin pukulan si cebol, membu-at mereka mengg:gil.
Sepasang iblis itu telah terdesak hebat. Mere-ka tidak dapat lari lagi. Terpaksa melawan dari pada mati konyol. Akan tetapi, gerakan si cebol benar - benar membuat mereka bingung. Ketika Pek - lui - kong mengeluarkan bentakan nyaring dan kedua tangannya bergerak cepat, sepasang ma-ling itu menangkis dan akibatnya hebat sekali. Kedok yang dipakai oleh maling pria itu tereng-gut lepas, sedangkan maling wanita yang terkena sambaran tangan pada pundaknya itu, menjerit dan tubuhnya terlempar jauh ke atas, ke tingkat paling atas !
Pada saat itu, dari tingkat paling atas terdengar suara halus menegur, "Siapa berkelahi di bawah ?" Dan muncullah seorang kakek pendeta ke serambi tingkat teratas itu. Ketika dia melihat sesosok tu-buh terlempar dari bawah, cepat dia mengulurkan tangan dan menangkap dengan mencengkeram punggung baju tubuh itu. Dan ket;ka dia melihat bahwa wanita yang berpakaian hitam itu terluka parah, dia lalu merebahkannya di atas lantai.
Pada saat itu berkelebat bayangan hitam dan ternyata maling pria tadi, yang terhindar dari pukulan akan tetapi kedoknya copot itu, telah melon-cat dan menyusul maling wanita yang terpukul dan terlempar ke atas. Tak lama kemudian, si ce-bol juga sudah meloncat ke atas dan melihat beta-pa lawannya berjongkok menghampiri dan meme-riksa tubuh kawannya yang terluka, Pek - lui - kong sudah melangkah maju untuk melakukan pukulan maut pula.
Pada saat itu, terdengarlah teriakan Ho Pek Lian, "Tahan!! Dia bukan Raja Kelelawar!!"
"Ehhh ??" Tentu saja Pek-lui-kong menjadi terkejut, juga, kecewa karena tadinya dia sudah merasa girang dan bangga bahwa dia mampu menandingi bahkan mendesak dan nyaris merobohkan iblis yang dikenal dengan nama si Raja Kelelawar itu! Akan tetapi, kini puteri Menteri Ho itu mengatakan bahwa orang itu bukanlah si Raja Kelelawar! Tentu saja dia terkejut dan kecewa. Dia menengok dan melihat bahwa Ho Pek Lian,
Pek In dan Ang In juga sudah tiba di tempat itu.
Sementara itu, iblis yang sedang berjongkok memeriksa kawannya yang terluka, terkejut meli-hat si cebol telah mengejarnya, maka diapun me-loncat dan siap menghadapi serbuan lawan yang amat tangguh itu. Pada saat itu, ada suara gemu-ruh angin pukulan melanda dirinya, dari samping.
Karena dia tadi memperhatikan ke arah si cebol, dia tidak tahu bahwa di sampingnya ada seorang lawan lain, maka kini diapun cepat mengangkat tangannya menangkis.
"Bresss !" Maling itu terdorong ke bela-
kang oleh tenaga yang amat hebat. Celaka, pikir-
nya. Ada seorang lagi yang memiliki ilmu sedemi-
kian hebatnya. Kesempatan untuk meloloskan diri
bersama kawannya sungguh menjadi semakin ti-
pis lagi. Cepat dia mengangkat muka memandang
dan ternyata orang yang melepaskan pukulan sakti
yang amat hebat itu adalah seorang nenek!
Memang, sesungguhnya penyerang itu adalah Siang Houw Nio - nio yang juga baru keluar dari ruangan dalam di tingkat tertinggi, bersama de-ngan kakek pendeta itu. Nenek ini memang sedang berada di situ, dan melihat ada orang berpakaian hitam yang dikejar oleh si cebol, iapun sudah da-pat menduga bahwa tentu dua orang berpakaian hitam itulah yang dikabarkan menjadi pengacau yang sering muncul di kompleks istana, maka iapun segera mengirim pukulan tadi.
"Adikku sabar dulu jangan sembarangan turun tangan !" Pendeta tua yang bukan lain adalah Bu Hong Sengjin itu berkata halus. Pendeta itu sedang memeriksa maling wanita yang terluka.
Ketika Pek Lian tadi melihat maling pria yang terenggut kedoknya, segera ia dapat mengenal pria muda yang tampan itu. Maka iapun cepat menge-jar ke atas dan kini ia menghampiri maling pria yang ternyata merupakan seorang pemuda tam-pan yang jangkung, usianya duapuluh tahun lebih.
"Bu - taihiap ......!" serunya.
Pemuda itu memang Bu Seng Kun, yang di-kenal oleh Pek Lian sebagai putera Bu Kek Siang keturunan murid Sin-yok-ong si Tabib Sakti itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari ki-sah ini, setelah Bu Kek Siang tewas, "barulah Bu Seng Kun dan adiknya, Bu Bwee Hong, mengeta-hui dari surat peninggalan kakek itu bahwa mere-ka sesungguhnya bukan putera dan puteri Bu Kek Siang, melainkan cucu keponakan pendekar itu. Ayah kandung mereka adalah seorang pangeran yang bernama Pangeran Chu Sin yang ditawan oleh pasukan pemerintah, sedangkan ibu mereka yang She Bu, keponakan dari Bu Kek Siang, telah tewas. Jadi, mereka itu adalah Chu Seng Kun dan Chu Bwee Hong dan mereka berdua meninggalkan tem-pat tinggal mereka untuk pergi mencari ayah me-reka yang lenyap setelah ditawan oleh pasukan pemerintah!
Melihat Pek Lian, pemuda itu segera mengenal-nya. "Ah, kiranya Ho - siocia berada di sini ?" Dia memberi hormat dan menoleh ke arah maling wa-nita yang rebah terluka. "Dan dia adalah adikku."
Lalu dengan sedih dia mendekati adiknya, menge-luarkan sebutir pel dan berkata, "Kau cepat telan pel ini."
Dibukanya topeng adiknya dan dimasukkannya pel itu ke mulut adiknya. Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya yang bersembunyi di balik kedok hitam itu adalah wajah yang luar biasa can-tiknya !
"Enci Hong !" Pek Lian cepat berlutut dan memegang tangan dara cantik yang sudah dikenalnya dengan baik itu.
Gadis yang terluka itu setelah menelan pel dari kakaknya, dapat bernapas agak longgar dan iapun tersenyum melihat Pek Lian.
"Anak nakal, engkau di sini dan ikut mengeroyok kami pula ?" katanya dan senyumnya membuat semua orang seolah-olah melihat bulan bersinar penuh, demikian manis dan cemerlangnya wajah itu.
"Ah, enci, mana aku tahu bahwa Bu-taihiap dan engkau ? Kenapa ...... ah, kenapa ?" tanya Pek Lian yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu, Siang Houw Nio-nio sudah bertanya kepadanya,
"Nona Ho, siapakah sesungguhnya mereka ini ?" "Locianpwe, mereka ini adalah kakak beradik she Bu, yaitu Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong. Mereka ini adalah keturunan dan ahli waris dari Sin - yok - ong, putera dan puteri dari mendiang pendekar besar Bu Kek Siang cucu murid Sin-yok-ong locianpwe "
"Hemm !" Tiba-tiba pendeta Bu Hong Sengjin berseru dan diapun memberi isyarat kepada
nenek Siang Houw Nio - nio, lalu berkata, "Mari
kita semua bicara di dalam. Ternyata dua orang
muda ini adalah orang - orang sendiri. Dan nona
ini perlu istirahat dari lukanya "
Yang ikut masuk adalah selain kakek pendeta itu sendiri, Siang Houw Nio-nio dan dua orang muridnya, Pek Lian, kakak beradik she Bu itu, dan Pek-lui-kong Tong Giak. Kim-i-ciangkun lalu keluar dan memerintahkan semua pasukan untuk mengundurkan diri dan merawat mereka yang menderita luka dalam perkelahian tadi. Suasana menjadi hening dan tenang kembali setelah tadi terjadi keributan yang menggegerkan itu.
Biarpun pukulan dari si cebol itu amat hebat, namun berkat sinkangnya yang kuat, Bwee Hong tidak sampai terancam maut. Apa lagi ia telah menelan pel mujijat dari kakaknya, bahkan Pek-lui - kong sendiripun lalu memberi obat luka yang khusus untuk melawan bekas pukulannya kepada gadis itu. Maka nona itu dapat ikut bercakap - ca-kap, walaupun ia harus duduk dengan punggung diganjal bantal dan kaki dilonjorkan, dijaga oleh kakaknya, dan oleh Pek Lian.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua," kata pen-deta tua itu dengan suara halus. "Kalau kalian be-nar putera dan puteri dari pendekar Bu Kek Siang, lalu mengapa kalian datang ke sini seperti dua orang maling ? Ceritakan sejujurnya, karena hanya itulah yang akan menerangkan duduknya perkara dan akan dapat membebaskan kalian dari kecuri-gaan dan hukuman."
Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Bu Seng Kun bercerita dengan singkat namun jelas, "Kami berdua mengunjungi kompleks istana seperti dua orang pencuri, sesungguhnya bukan dengan iktikad buruk. Kami sedang melakukan penyelidik-an untuk mencari seseorang yang dahulu pernah tinggal di kompleks istana. Kami tidak tahu apakah dia masih hidup, akan tetapi kami tahu bahwa dia pernah menjadi seorang bangsawan di sini. Akhir nya, setelah mencari selama beberapa hari, kami menemukan istananya dan kami mengunjunginya, tentu saja dengan diam - diam karena tak mungkin kami dapat berkunjung dengan terang-terangan..."
Siang Houw Nio - nio yang sejak tadi meman-dang tajam penuh perhatian, merasa berhak untuk bertanya karena yang dikunjungi kedua orang mu-da ini adalah rumahnya yang diberikan kepada dua orang muridnya. "Siapakah bangsawan yang kalian cari itu ?"
"Dia seorang pangeran, namanya Chu Sin"
Kalau nenek Siang Houw Nio-nio dan kakek Bu Hong Sengjin terkejut, maka mereka tidak mem-perlihatkan perasaan ini pada wajah mereka yang tetap tenang saja itu. Bahkan, nenek Siang Houw Nio-nio lalu bertanya cepat, "Lalu mengapa kali-an mendatangi gedung itu, memasuki ruangan penyimpan abu leluhur dan bersembahyang di sana ?"
"Kami hendak bersembahyang kepada arwah leluhur dari Pangeran Chu Sin"
Pek Lian, Pek in, Ang In dan juga Pek - lui - kong Tong Ciak mendengarkan dengan heran karena mereka tidak tahu siapa yang dimaksudkan dengan Pangeran Chu Sin itu. Akan tetapi, kini kakek Bu Hong Sengjin bertanya, dan suaranya agak gemetar,
"Mengapa kalian menyembahyangi leluhur Pangeran Chu Sin ?"
Kembali kakak beradik itu saling pandang, lalu
Seng Kun menarik napas panjang. Tidak ada jalan
lain untuk menyatakan bahwa mereka tidak ber-
maksud buruk, yaitu hanya dengan membuka raha-
sia mereka. "Beliau adalah ayah kandung kami,
maka leluhur beliau berarti leluhur kami,pula "
Sebelum nenek Siang Houw Nio - nio yang ter-kejut sekali itu sempat bicara dan hanya meman-dang kepada kakak sepupunya dengan melongo, kakek pendeta itu sudah bertanya lagi, "Bagaima-na baru sekarang kalian datang mencari ayah kan-dung kalian di sini ?"
"Kami mendengar akan rahasia tentang ayah kandung kami itu baru saja setelah ayah... eh, setelah paman kakek kami Bu Kek Siang meninggal, melalui surat wasiat peninggalannya. Kakek Bu suami isteri meninggal dunia dan begitu kami ta-hu akan riwayat ayah kandung kami, lalu kami da-tang ke kompleks istana untuk mencarinya."
Pendeta itu menarik napas panjang dan meman-dang kepada dua orang muda itu berganti - ganti, kemudian dia menunduk dan sungguh mengheran-kan hati semua orang yang hadir kecuali Siang Houw Nio-nio ketika nampak beberapa butir air mata turun dari sepasang mata itu.
"Seng Kun, Bwee Kong, akulah orangnya yang memberi nama - nama kepada kalian itu karena akulah Pangeran Chu Sin yang kalian cari - cari."
Seng Kun terperanjat dan memandang kepada
kakek itu dengan mata terbelalak, akan tetapi ia
didahului oleh adiknya yang sudah menjerit, "Ayah!!" Dan gadis itu sudah turun dari kursi tempat ia bersandar dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Bu Hong Sengjin. Juga Seng Kun cepat
menjatuhkan diri berlutut. Suasana menjadi sunyi
dan mengharukan sekali, yang terdengar hanya
isak tangis Bwee Hong.
Sambil duduk, kakek itu lalu meraih pundak. Suasana menjadi semakin mengharukan. Akan tetapi, agaknya kakek itu telah dapat menguasai hatinya dengan mudah.
"Seng Kun, Bwee Hong, kalian adalah anak-anak kandungku. Duduklah dan tenangkan hatimu, biar aku menceritakan semua riwayat kita agar me-reka yang menyaksikan pertemuan antara kita ini dapat mengerti duduknya perkara. Kurasa hanya bibi kalian Siang Houw Nio - nio sajalah yang tahu akan rahasiaku ini."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT