PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PENYEBAR MAUT Jilid 6



Tiba-tiba lengan kiri nenek itu terjulur ke arah leher Yang Kun. Jarak diantara mereka berdua  ira-kira setombak, tapi betapa terkejutnya hati pemuda itu ketika lengan tersebut dapat mencapai leher  bajunya ! Gila, ilmu apa pula ini, pemuda itu membatin.

“Engkau she Chin juga ? Huh, tidak banyak orang yang memakai she Chin di dunia ini selain  eluarga kerajaan. Agaknya engkau hanya mengaku-aku saja sebagai keluarga Chin agar dikira sebagai salah  seorang keluarga kerajaan pula !” wanita tua renta itu berteriak sambil mencengkram leher baju Yang Kun.

Marah juga hati pemuda itu disangka sebagai orang yang hanya mengaku-aku sebagai keturunan keluarga Chin.

“Maaf, lo-cianpwe jangan sembarangan menuduh orang! Memang aku masih keturunan dari keluarga raja. Kakekku adalah Kaisar Chin Si yang agung ! Karena ayahku adalah putera beliau dari selir yang ke empat. Puteri Hiang Su !”pemuda itu menyanggah perkataan nenek tua tersebut dengan berapi-api.

“Raja Chin Si ? Siapakah dia ? Apakah dia adalah pengganti Raja Chin Bun yang mangkat karena gempa besar itu ?” nenek tersebut bertanya keheranan.

“Bukan ! Pengganti Raja  Chin Bun adalah Raja Chin Lu, ayah dari Kaisar Chin Si. Nah setelah  berada di bawah pemerintahan kakekku itulah semua negara-negara kecil dapat dipersatukan. Itulah
sebabnya kakekku tidak bergelar Raja Chin Si lagi tetapi Kaisar Chin Si !” dengan lancar pemuda itu menerangkan silsilah keluarganya.

“Ohhh…. keturunan dari Pangeran Chin Lu !” nenek tua itu berkata dengan tandas, seakan-akan  sudah mengenal dengan baik Raja Chin Lu.

Tentu saja Yang Kun menjadi terheran-heran. Nenek tua itu agaknya sudah mengenal para nenek moyangnya yang telah tiada.

Nenek tua itu melepaskan leher baju Yang Kun, lalu perlahan-lahan dia duduk pula di atas tanah. Diliriknya wajah Yang Kun yang terheran heran tersebut.

“Aku percaya pada kata-katamu ! Agaknya engkau memang benar-benar keturunan keluarga Chin……”

“Bukan agaknya……, aku memang cucu Kaisar Chin Si ! terserah lo-cianpwe percaya atau tidak.” Yang Kun memotong penasaran.

“Baiklah….. baiklah ! Aku percaya kepadamu ! Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, apa sebabnya engkau sampai terbawa oleh arus sungai yang berada di bawah tanah ini, hah ? Beruntunglah engkau karena saat itu aku sedang memancing ikan. Coba tidak, tubuhmu akan terus terseret sampai di air terjun itu dan dihempaskan ke bawah jurang yang dalam.”

“Arus Sungai di bawah tanah ? Apa ? Jadi aku kini berada di dalam tanah ? Ohh, Tuhan….. benarkah itu ? Lalu bagaimana aku bisa keluar nanti ?” Yang Kun terbelalak kaget.

“Hihihihi….. anak muda, engkau takkan pernah lagi dapat keluar dari tempat ini ! Kau lihat aku ini? Aku terjebak di dalam lorong-lorong gua di bawah tanah ini semenjak aku berumur 17 tahun. Yaitu ketika aku masih merupakan seorang gadis remaja.”

“Ohhhh…. tidak !” pemuda itu lemas seketika.

“Sudahlah…. menyesalpun sudah tidak berguna. Aku dahulu juga kecewa bukan main. Tapi lambat laun aku juga menyerah kepada keadaan ini.”

“Tapi aku tidak akan menyerahhh….!” Yang Kun berteriak keras untuk melampiaskan keputus asaannya.
Nenek tua itu tersenyum, sehingga mulutnya yang berkeriput semakin terhisap ke dalam mulutnya.

“Hihihi…. Engkau juga sama dengan aku dahulu. Akupun dulu berteriak-teriak juga seperti engkau ini sambil berlari ke sana ke mari untuk mencari jalan keluar. Setiap lubang aku masuki, setiap celah aku selidiki, tapi apa hasilnya ? Sampai tua begini aku tetap tidak dapat keluar juga…..”

“Ooooohhh……!” pemuda itu merintih dan semakin terasa hilang harapannya. Nenek itu bangkit dari duduknya, lalu begitu kakinya yang reyot itu meloncat lenyaplah ia dari tempat tersebut, sehingga Yang Kun yang sedianya masih ingin berkata sesuatu menjadi terlongong-longong keheranan. Dan tak beberapa lama kemudian terdengar lagi suara seruling yang menggetarkan hati di kejauhan.

sinar bulan di antara bintang,
Membasahi padang di antara ilalang ……….

Yang Kun mendengarkannya dengan hati sedih dan nelangsa. Dia tidak tahu bagaimana halnya dengan dirinya sampai di tempat ini, sehingga ia harus menghabiskan seluruh sisa hidupnya seperti nenek tua itu di lorong-lorong gua ini. Betapa sunyinya. Yang Kun memiringkan badannya, sekedar untuk mengobati kepenatan punggungnya. Tapi dia melihat sebuah mangkuk dari batu yang berisi bubur berwarna putih di sampingnya. Ketika Yang Kun melihatnya terlebih dekat, ia melihat beberapa huruf tergores di atas lantai gua di bawah mangkuk batu itu.

Karena kini engkau bisa makan minum sendiri,
sekarang aku tidak perlu menyuapi kau lagi !

Tanpa merasa curiga lagi Yang Kun memakan bubur itu dengan lahap. Yang Kun sudah tidak memikirkan mati hidupnya lagi. Matipun ia tidak akan berkeberatan lagi, toh lebih baik dari pada seumur hidup berada di dalam liang-liang tikus seperti itu. Selesai makan ia tertidur lagi.

Begitu terjadi setiap hari. Bangun pagi-pagi telah tersedia di sampingnya semangkuk bubur hangat, lalu tertidur. Sore hari baru terbangun. Dan di sampingnya juga telah tersedia lagi bubur tersebut. Makan lagi, dan ……. tertidur lagi !
Kadang-kadang sebelum tertidur, telinganya sempat mendengar suara nyanyian dan suara seruling yang ditiup oleh wanita tua renta itu. Dan sejak pertemuan mereka yang pertama itu Yang Kun tidak pernah lagi melihat nenek tersebut datang ke tempat itu.

Tahu-tahu segala keperluannya telah ada berada di sampingnya. Sebulan telah berlalu lagi tanpa terasa. Selama itu pula nenek tua itu tak pernah memperlihatkan batang hidungnya. Tapi selama itu kesehatan Yang Kun semakin bertambah baik.Dari bisa bangkit, duduk, merangkak sampai akhirnya sudah dapat berjalan kembali seperti biasa. Badannya juga terasa bertambah segar dan sehat.
Hanya pemuda itu merasa heran pada kulit tubuhnya. Ia tak pernah mendapatkan sentuhan sinar matahari, tapi kulit tubuhnya tampak kemerah-merahan seperti kulit perawan yang terbakar oleh sinar matahari.

Sejak mulai dapat berjalan Yang Kun terus meneliti segala sudut dan lubang yang berada di dalam gua tersebut. Ternyata gua itu cukup luas dan terdiri dari dua buah ruangan besar. Salah satu
ruangannya ternyata dipakai untuk lewat oleh sungai di bawah tanah itu. Sebuah sungai yang tidak begitu besar maupun dalam, tetapi karena berada di tempat yang aneh dan gelap maka kesannya sungguh sangat menyeramkan.

Yang membuat pemuda itu merasa heran adalah nenek tua tersebut. Betapapun ia mencari kemana-mana, sehingga boleh dikatakan sampai setiap jengkal tanah dia amat-amati dengan teliti, toh nenek tua itu tidak dapat ia temukan. Sehingga pemuda itu hampir-hampir mulai percaya bahwa nenek tersebut memang bukan manusia tetapi hantu. Soalnya bagaimana mungkin seorang manusia biasa dapat lenyap begitu saja dari gua tersebut ? Padahal tak sebuah lubangpun yang dapat dipakai untuk keluar dari dua buah ruangan yang berada di dalam gua itu. Memang pemuda itu melihat adanya beberapa lubang dan celah-celah sempit di sana, tetapi hanya seekor anjing atau kucing yang mampu masuk ke dalamnya.

Satu bulan lagi telah terlewatkan pula. Yang Kun sudah benar-benar sehat dan kuat seperti sedia kala, tapi perasaan bosan telah mulai mencengkram hatinya. Sering kali dia memang ingin bertemu muka dengan nenek penolongnya itu, tetapi setiap kali pula dia tertidur sehabis makan bubur itu. Pernah ia dua hari dua malam tidak memakan bubur yang disediakan tersebut agar tidak jatuh tertidur. Anehnya nenek itu tidak muncul ke tempat itu selama 2 hari 2 malam pula.

Agaknya orang tua itu tahu juga bahwa buburnya masih utuh dan belum perlu diganti. Akhirnya dari pada kelaparan Yang Kun tidak peduli apakah ia tertidur atau tidak. Dan untuk perintang waktu, pemuda itu mulai berlatih silat kembali. Ilmu Silat Hok-te Ciang-hoat warisan keluarganya. Sayang Lweekangnya telah hilang lenyap. Tapi Yang Kun berketetapan untuk memupuknya kembali dari sedia kala.

Pada suatu hari selagi enak-enaknya atau asyik-asyiknya ia berlatih silat. Yang Kun dikejutkan oleh kedatangan nenek hantu itu secara tiba-tiba. Biarpun Yang Kun di dalam konsentrasi penuh ternyata dia tidak mampu mengetahui dari mana datangnya nenek itu sebenarnya. Dengan mulut ternganga ia memandang perempuan tua itu.

“Huh, bocah gila ! Siapa yang memberi pelajaran jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan seperti itu ? Siapa yang menyuruh kaki kananmu terbekuk begitu ? Dalam Hok-te Ciang-hoat keluarga Chin tidak ada bentuk kuda-kuda seperti itu !” nenek tua itu menghardik dengan keras.

“Lo-cianpwe…....”

“Diam ! Apakah kau tidak diberi tahu bagaimana sejarah asal mulanya jurus tersebut diciptakan ?”

“Tidak…..!” Yang Kun menjawab lirih.

Dipandanginya wajah perempuan tua itu dengan penuh pertanyaan di dalam hatinya. Apa maksud sebenarnya dari nenek tua renta itu ?  Kenapa orang itu seperti tahu akan segala hal yang berhubungan dengan keluarganya ?

“Goblog ! Goblog benar gurumu itu ! Kenapa memberi pelajaran tanpa menerangkan secara jelas seluruh isi dasarnya ? Goblog ! Bagaimana mungkin muridnya bisa menyelami serta menghayati jurus-jurus yang diberikan itu ? Hah…..!”

Tersinggung juga hati Yang Kun mendengar makian-makian nenek tua yang ditujukan kepada para gurunya yang juga merupakan paman-pamannya sendiri itu. Apalagi khusus untuk Hok-te Ciang-hoat ini yang memberi pelajaran dan melatih setiap hari adalah paman bungsunya, orang yang paling dihormati dan dibanggakannya. Ternyata di tempat ini mendiang paman bungsunya itu telah dicaci maki oleh seorang nenek tua yang sudah hampir masuk ke liang kubur.

“Maksud locianpwe, latihanku ini tidak benar serta tidak berguna sama sekali ?” pemuda itu berkata dengan penasaran.

“Huh, engkau ingin mencobanya ? Boleh engkau menyerang aku dengan jurus tiruanmu itu, nanti akan kutunjukkan betapa jeleknya dia !” nenek itu menantang.

Melihat tubuhnya yang sudah reyot itu tak tega juga rasa hati Yang Kun. Tapi tingkahnya yang sombong dan memandang rendah kepada dirinya itu membuat Yang Kun penasaran juga.

“Baik ! Aku ingin melihat di mana kejelekan dari jurus yang kupelajari itu,” ucapnya tegas. Lalu dengan tangkas pemuda itu memasang kuda-kuda untuk mempersiapkan jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan !

Perempuan tua itu terkekeh-kekeh melihat kuda-kuda Yang Kun.

“Awas, serangan…….!” dengan perasaan mendongkol Yang Kun menyerang.

Tapi sebelum serangannya sampai di tujuan, ia melihat perempuan tua itu bergeser ke samping sambil menyapukan kakinya ke arah Yang Kun. Gerakannya demikian sederhana dan mudah diikuti, tapi ternyata Yang Kun tidak mampu untuk mengelak. Sehingga bukannya nenek tua itu yang terkena serangannya, tapi justru dia sendirilah yang roboh terlentang disapu kaki lawan.

Dengan terheran-heran Yang Kun bangkit kembali. Dilihatnya perempuan itu masih tertawa terkekeh-kekeh memandang dirinya.

“Bagaimana ? Jelek sekali bukan ? Hihihihi……… kau tahu, jurus apa yang aku pakai untuk merobohkan kamu tadi ? Liong-ong-sao-te (Raja Naga Menyapu Tanah)! Jurus ke 8 dari Hok-te Ciang-hoat !”

“Liong-ong-sao-te ?” Yang Kun terkejut.

Hmm, benar juga ! Tetapi ada sedikit perbedaan dalam gerakan mengayunkan kaki, yaitu kaki tersebut dilipat terlebih dahulu sebelum terayun ke arah sasaran ! Pemuda itu berpikir dan mengingat-ingat gerakan lawan tadi.

Agaknya perempuan tua itu dapat membaca pikiran Yang Kun.

“Apakah jurus Liong-ong-sao-te tiruanmu tidak sama dengan jurusku tadi ?”

“Locianpwe, siapakah locianpwe ini sebenarnya ? Mengapa locianpwe dapat memainkan Hok-te Ciang-hoat juga ?”

“Hihihihi……. tidak hanya Hok-te Ciang-hoat saja, tapi aku juga dapat memainkan Hok-te To-hoat (Ilmu Golok Menaklukkan Bumi) secara lebih baik dari pada Hok-te To-hoat tiruanmu, hihihihi……!”

“Locianpwe……”

“Locianpwe……. locianpwe….. huh ! Sungguh menyebalkan sekali ! Kenapa tidak lekas-lekas memanggil aku nenek buyut ?” perempuan tua itu menghentakkan kakinya kanannya dengan kesal.

“Nenek buyut ?” Yang Kun menegaskan dengan perasaan bingung.

“Benar ! aku ini adalah adik kandung Pangeran Chin Lu……
eh……. Raja Chin Lu ! Jadi Raja eh…… Kaisar Chin Si itu adalah keponakanku sendiri. Nah kalau engkau sungguhsungguh cucu dari Kaisar Chin Si bukankah aku ini masih terhitung nenek buyutmu juga ?”

“Adik kandung Raja Chin Lu ?” Yang Kun bergumam. Tibatiba Yang Kun teringat akan cerita yang pernah didongengkan oleh paman bungsunya. Yaitu tentang seorang anak keturunan keluarga Chin yang mempunyai kesaktian hebat pada usia belasan tahun. Namanya adalah Chin Hoa. Sayang anak itu meninggal dunia tertimbun reruntuhan istana ketika terjadi gempa bumi besar pada seratus tahun yang lalu. Anak itu tertimbun di ruang semadinya yang berada di bawah tanah.

“Locianpwe……. apakah locianpwe bernama Chin Hoa ?” Yang Kun bertanya dengan harap-harap cemas. Nenek tua itu mengerutkan alis matanya.

“Chin Hoa ? Ah, entahlah ! aku sudah melupakan namaku sendiri…. hei, sebentar ! Coba kau baca huruf yang ditatah pada pangkal lenganku ini ! Setiap putera Raja Chin namanya tentu ditatahkan pada bahunya.”

Yang Kun mencari huruf itu di lengan perempuan tua itu. Benar ! Meskipun telah hampir tidak kelihatan akibat kulitnya yang berkeriput, tapi masih tampak bekas-bekas huruf HOA di sana.

“Nenek buyut…….” Yang Kun segera berlutut.

“Hihihihi…… bagus….. bagus…. Aku punya ahli waris sekarang. Terkabul juga permohonanku selama ini. Tuhan benar-benar mengirimkan seorang keturunan Chin kepadaku sebelum aku mati. Nah, berdirilah cucuku ! Aku akan menurunkan seluruh kesaktianku kepadamu. Karena engkau dari keluarga Chin juga, maka aku tidak melanggar sumpah keluarga kita bila aku menerimamu menjadi muridku…. hohoho…. betapa senangnya hatiku !”

Yang Kun berlutut kembali untuk menyatakan rasa terima kasihnya, juga sebagai tanda bahwa dia bersedia untuk menjadi murid perempuan tua itu.

“Marilah cucuku ! Akan kubenahi dan kubetulkan Hok-te Ciang-hoatmu yang tidak keruan itu. Dan akan kuajarkan kepadamu sebuah ilmu silat dahsyat yang telah kuciptakan selama aku terkurung di tempat ini.”

“Terima kasih, nenek buyut !”

“Sekarang aku mau beristirahat dahulu. Kau juga boleh beristirahat pula atau…. . sekarang engkau boleh melihat bagaimana caranya aku meninggalkan tempat ini.” perempuan tua itu tersenyum penuh arti. Agaknya perempuan tua itu selalu mengintip segala gerak-geriknya selama dua bulan ini.

Juga ketika dirinya sibuk mencari nenek itu kesana kemari. Perempuan tua itu berjalan mendekati dinding gua, dimana terdapat sebuah lubang kecil yang semula dikira oleh Yang Kun hanya cukup untuk lewat seekor anjing atau kucing saja.

Perempuan tua itu berdiri sebentar di depan lubang itu. Beberapa saat kemudian terdengar tulang-tulangnya berkerotokan lalu kepalanya menyuruk ke dalam lubang tersebut dan…… perlahan-lahan tubuhnya tampak meluncur masuk bagaikan seekor ular yang memasuki liangnya.

“Cucuku, sekarang engkau mengetahui, bukan ? Mengapa aku tidak dapat kaucari di mana-mana ? Hihihi….. selain ruangan yang kau tempati itu, di sini masih banyak gua-gua lain. Tetapi engkau hanya bisa datang ke sini apabila kelak sudah kuberikan kepadamu sebuah ilmu yang dinamakan Kim-coa-i-hoat (Baju Ular Emas).” Tiba-tiba terdengar suara nenek itu bergema dari dalam lubang.

Demikianlah, esok harinya Yang Kun mulai berlatih di bawah bimbingan nenek buyutnya sendiri. Satu persatu dari jurus Hok-te Ciang-hoat yang pernah dipelajari oleh pemuda itu diperbaiki dan dibetulkan oleh nenek buyutnya. Ternyata tak ada satu juruspun dari Hok-te Ciang-hoat pemuda itu yang dianggap betul oleh perempuan tua tersebut. Semuanya salah dan sudah menyimpang dari aslinya, sehingga perempuan tua itu kembali mencaci maki orang yang mengajarkan ilmu tersebut kepada Yang Kun. Apalagi ketika terasa olehnya seluruh jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu hanya  digerakkan dengan tenaga gwakang saja. Sekejap pun tidak pernah mempergunakan lweekang.

“Anak gila ! Apakah gurumu tak pernah mengajarkan lweekang kepadamu ?”

Yang Kun terperangah. Baru teringat dia sekarang bahwa dia belum menceritakan tentang sudah punahnya lweekangnya akibat kematiannya yang sekejap tempo hari.

Maka dengan nada sedih Yang Kun meriwayatkan seluruh pengalaman dan peristiwa yang menimpa dirinya serta keluarganya sejak terjatuhnya dinasti Chin lima tahun yang lalu sampai dirinya terluka dan kehilangan lweekangnya tersebut.Bukan alang-kepalang kagetnya nenek Hoa itu.

“Apa katamu ? Keturunan Wangsa Chin yang telah berlangsung selama ratusan tahun itu kini telah lenyap direbut orang ? Jadi kejayaan keluarga kita itu kini sudah musnah ? Kurang ajar….. siapakah yang berani berbuat begitu ?” perempuan tua itu menyambar leher baju Yang Kun dengan kasar.

Matanya yang kecil dan terletak di dalam lubang mata yang dalam itu mendelik mengerikan.

“Para petani dan pendekar silat !” Yang Kun menjawab cepat, “Mereka bersatu padu dalam Barisan Para Pendekar, memberontak dan menghancurkan kekuasaan Kaisar Chin si…..”

“Kurang ajar ! Bangsat ! Hmm……… manusia-manusia gila dan tidak tahu diri ! Anjing….. ! Sayang aku sudah tidak bisa apa-apa lagi ! Huh, sungguh penasaran sekali hatiku ! Yang Kun ! Katakan kepadaku, siapakah yang memimpin barisan pemberontak itu ? Apakah dia pula yang sekarang duduk di atas singgasana ?” perempuan tua itu mengumpat-umpat dengan kasar.

“Pemimpin pemberontak itu sekarang memang telah mengangkat dirinya menjadi raja dengan nama Kaisar Han…… Sebelum menjadi kaisar dia hanya seorang petani biasa yang datang dari dusun.” Yang Kun menjawab seperti yang pernah dia dengar pula dari orang lain. Nenek Hoa itu semakin marah hatinya. Giginya gemertak menahan geram.

“Yang Kun, cucuku ! agaknya Thian memang sengaja mengirimkan dirimu ke hadapanku dengan maksud agar aku menurunkan seluruh kesaktianku kepadamu. Dengan demikian engkau sebagai keturunan Chin akan dapat merebut kembali singgasana kita yang telah direbut orang itu. Thian juga telah mempersiapkan segalanya sebelum mengirimkan dirimu ke tempat ini…….”

“Mempersiapkan ? Maksud nenek ?”

“Kau datang di hadapanku dengan lweekang yang telah punah, sehingga kini engkau dalam keadaan kosong melompong tanpa isi sama sekali. Bukankah hal itu merupakan sebuah hal yang sangat kebetulan sekali ? Ilmu Kim-coa-ih-hoat yang hendak kuberikan kepadamu itu harus dipelajari dan dilatih dengan sebuah lweekang yang khusus, Yaitu Liong-cu-i-kang (Tenaga Inti Mustika Naga). Sebuah pelajaran ilmu lweekang yang hanya boleh dipelajari oleh orang yang masih kosong dan tidak punya himpunan tenaga dalam dari golongan lain !” Nenek buyutnya menerangkan.

Yang Kun mendengarkan ucapan itu dengan kepala tertunduk. Hatinya terasa kosong. Sebenarnyalah, terbersit di dalam hatinya pula suatu perasaan gembira mengingat akan hal keberuntungannya itu.
Suatu hal yang dahulu dianggapnya sebagai suatu hal yang menyedihkan dan menyengsarakan hatinya.

Kebanyakan dari manusia memang selalu dipengaruhi dan diombang-ambingkan oleh penilaian dan perasaannya sendiri. Suatu peristiwa atau keadaan yang menimpa diri seseorang kadang-kadang tidak dinilai secara jujur oleh orang itu. Suatu peristiwa yang sama sering dinilai secara berlainan oleh orang yang sama pada suatu saat, tergantung pada situasi dan keadaan orang itu pada saat itu.

 Contohnya kini telah terjadi pada Yang Kun sendiri. Dahulu ketika dia mengetahui tentang lenyapnya seluruh himpunan lweekang yang dilatihnya sejak kecil dari dalam tubuhnya, dia menganggap hal itu sebagai suatu hal yang sangat menyedihkan dan sangat menyengsarakan hatinya. Tetapi sebaliknya ketika kini ia mendapat keterangan bahwa ilmu Kim-coa-i-hoat hanya dapat dipelajari oleh orang yang masih kosong tenaga dalamnya, dia menjadi begitu gembira dan bersyukur atas musibah yang membuat dirinya kehilangan seluruh tenaga dalamnya tersebut. Bukankah dengan demikian penilaian seseorang, dalam hal ini adalah Yang Kun, sudah tidak jujur lagi ?

Maka sungguh tidak bijaksana bagi seseorang di dalam hidupnya di dunia ini apabila dalam menghadapi setiap peristiwa yang dihadapinya hanya selalu melihat dan memandang dari segi kepentingannya sendiri saja. Karena pandangan hidup yang demikian itu pada suatu waktu bisa memukul atau menjebak dirinya sendiri. Beruntunglah Chin Yang Kun dalam hal ini, bahwa perubahan pandangannya itu hanya menyangkut soal perasaannya sendiri, tidak berkaitan dengan seseorang yang lain.

Coba, bila perubahan itu terjadi dalam hubungannya dengan orang lain, apalagi jika hubungan itu menyangkut tentang sesuatu hal yang penting dan besar, apakah hal seperti itu tidak menimbulkan suatu keruwetan atau malapetaka yang hebat ?

“Hal yang kedua……. mengapa kukatakan bahwa Thian telah mempersiapkan dirimu sebagai lantaran (sarana) untuk balas dendam kepada musuh keluarga Chin serta merebut kembali kekuasaan yang terjatuh ke tangan musuh, ialah dijadikannya darah yang mengalir di dalam tubuhmu sebagai alat pembunuh yang maha hebat bagi lawan-lawanmu Dengan kekuatan Liong-cu-i-kang di dalam tubuhmu, maka tak sebuah makhlukpun di dunia ini yang mampu bertahan dari sentuhan tanganmu yang beracun !” nenek tua itu melanjutkan keterangannya kepada Yang Kun.

“Tapi apa gunanya itu semua, nek. Kita selama hidup akan tetap terkurung di sini…..”

“Yah, kau memang benar. Tetapi meskipun begitu, di dalam hati sebenarnya aku masih mempunyai harapan juga…… biarpun hanya sedikit ! Siapa tahu engkau mempunyai nasib atau peruntungan yang berbeda dengan nasibku. Kita tidak bisa meramalkan apa yang terjadi di muka kita nanti…..”

“Baik, nek….!”

Yang Kun berlatih dengan giat siang maupun malam. Berhari-hari pemuda itu seperti melupakan waktu dan tenaganya. Nenek tua itu melatihnya dengan tekun dan keras pula. Caranya melatih sungguh berlainan sekali dengan cara para pamannya ketika memberi pelajaran silat kepadanya dahulu. Pamannya selalu menekankan pada ketrampilan gerak serta ketangkasan berpikir di dalam menilai gerakan lawan.

Jadi menurut para pamannya untuk menjadi seorang jago silat yang tangguh orang harus giat berlatih sehingga menjadi tangkas, trampil, kuat gesit dan pandai mempergunakan otaknya dalam setiap pertempuran.

Tapi bagi nenek Hoa semuanya itu ternyata masih belum lengkap. Tanpa memahami serta menjiwai ilmu silat yang dipelajari itu sehingga menjadi darah daging seperasaan dengan jiwanya, tak mungkin seseorang akan dapat mempergunakannya dengan sempurna. Ilmu silat harus dipahami seluruhnya, baik isi maupun kulitnya. Dan untuk memahami isi itu seseorang yang sedang berlatih silat harus mengetahui sejarah, riwayat ataupun makna dari setiap gerakan atau jurus yang sedang dipelajari itu.

Itulah sebabnya setiap membetulkan gerakan yang salah atau kurang benar, nenek Hoa selalu menerangkan dan meriwayatkan asal mula terciptanya gerakan itu, sehingga akhirnya pemuda itu menjadi paham akan makna yang terkandung di dalam setiap gerakan tersebut.

“Jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan ini diciptakan oleh seorang raja Chin ketika menyaksikan salah seorang panglimanya mengatur bala tentara dalam suatu kancah pertempuran yang hebat ! Saat itu Sang Raja yang ikut terjun dalam medan pertempuran, melihat para prajuritnya yang dipimpin oleh Panglima Yi Po telah didesak dan dikepung oleh lawan mereka. Pasukan di sayap kiri panglima itu telah bergerak terlalu maju ke depan, sehingga mereka kocar-kacir dipukul lawan. Sementara pasukan yang berada di sayap kanan agak ketinggalan dalam gerak maju mereka, sehingga mereka menjadi terlambat untuk memecah perhatian lawan.

Padahal dalam saat yang kritis demikian, Panglima Yi Po sebagai pemegang komando dari tentaranya sedang terlibat pertempuran sendiri dengan beberapa orang perwira lawan. Tetapi sebagai panglima yang telah mempunyai nama harum di setiap medan laga, ternyata Panglima Yi Po tidak pernah sekejappun kehilangan pengamatan atas seluruh bala tentaranya……” perempuan tua menghentikan penjelasannya sebentar.

Kemudian, “………. Saat itu salah seorang lawan dari Panglima Yi Po sedang menusukkan tombak panjangnya ke arah leher kiri panglima itu. Sementara di samping kanan panglima itu, juga sedang menusukkan pedangnya. Maka….. sekalian menghadapi kedua serangan tersebut, Panglima Yi Po juga sekalian memberi aba aba perintah kepada ke dua sayap pasukannya itu. Pertama-tama Panglima Yi Po mengibaskan lengan kirinya ke atas untuk memberi perintah agar pasukan sayap kiri mundur ke tengah, sekalian menjepit tombak lawan yang menusuk ke arah lehernya. Lalu lengan kanan dengan jari menunding, diayun ke depan dengan keras sambil memberi aba-aba agar pasukan sayap kanan cepat menyerbu ke depan, dan dengan gerakan itu Panglima Yi Po sekalian bermaksud menghantam badan pedang lawan yang menusuk ke arah pundaknya. Setelah itu Panglima Yi Po memutar tubuhnya ke kiri, sehingga tombak lawan yang terjepit di lengan kirinya dapat tersentak lepas, disusul dengan tendangan kaki kanan ke arah lawan yang memegang pedang.
Dalam tiga gerakan kedua lawan tersebut dapat dilumpuhkan oleh Panglima Yi Po ! Pemandangan itu ternyata sangat menarik perhatian Raja Chin, sehingga tercipta jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan sebagai pelengkap dari Hok-te Chiang-hoat.”

Nenek Hoa memandang cucunya dengan tajam. Agaknya dia ingin mengetahui apakah penjelasannya tadi dapat ditangkap oleh Yang Kun atau tidak.

“Nah, cucuku…….. Dengan mengetahui sejarah dari terciptanya jurus yang sedang kau lakukan itu otomatis engkau juga mengetahui pula bagaimana seharusnya gerakan tersebut kau kerjakan dengan betul. Jadi bukan sekedar gerakan Panglima Yi Po Mengatur Barisan mengawur seperti kepunyaanmu itu. Kini engkau tentu telah lebih memahami betapa salahnya gerakanmu dulu. Lengan kiri yang kau tekuk ke atas itu bukan hanya sekedar sebuah tangkisan tetapi lebih tepat dikatakan sebagai tangkapan dan capitan.Sedang jari telunjuk kanan yang menyerang ke depan itu juga bukan melulu sebagai totokan, tetapi lebih berfungsi sebagai tangkisan pula.. Oleh karena itu, bila gerakan tersebut engkau lakukan dengan tenaga bahu dan lengan, terang hal itu adalah salah besar. Gerakan itu harus kau lakukan dengan tenaga pinggang !”

Begitulah, selesai belajar Hok-te Ciang-hoat mereka ganti mempelajari Hok-te To-hoat, Yang Kun membuat golok tiruan dari batu, karena mereka tidak mempunyai sebuah golokpun di tempat itu. Seperti pada saat berlatih Hok-te Ciang-hoat maka pada latihan inipun Yang Kun berusaha mempelajarinya dengan tanpa mengenal lelah pula.

Pada suatu malam selagi enak-enaknya tidur, Yang Kun dibangunkan oleh nenek Hoa.

“Cucuku ! Saat ini adalah saat yang baik untuk memulai pelajaran Liong-Cu-i-kang, karena pada saat suhu udara di dalam tanah seperti inilah saat yang paling baik untuk memperoleh tenaga Liong-Cu-i-kang sebanyak-banyaknya.”

“Nenek, …….. tapi aku belum selesai memperbaiki Hok-te To-hoat !”

“Biarlah, tidak jadi apa ! Kita lebih baik lekas-lekas memulai pelajaran Liong-cu-ikang ini agar tidak terlambat. Aku mendapat firasat yang tidak baik beberapa saat yang lalu. Aku merasa bahwa kita akan segera berpisah ! Maka ilmu ciptaanku yang kuberi nama Kim-coa-ih-hoat itu harus lekas-lekas kuturunkan kepadamu. Nah, ikutlah aku…..!”

Nenek tua itu membawa Yang Kun ke ruangan yang lain, di mana mengalir sungai di bawah tanah itu. Dengan diikuti oleh Yang Kun nenek itu berjalan menyusuri tepian sungai, Lalu di mulut celah di mana air itu terhisap masuk ke dalam dinding gua, nenek itu berhenti. Lalu nenek itu membaringkan tubuhnya pada celah tersebut, sehingga celah yang sempit itu seperti tertutup oleh tubuhnya. Air tampak mengalir disela-sela badannya, seakan-akan mau mengisap tulang tulang kurus itu bersamanya.

“Yang Kun, cucuku…..! Untuk mendapatkan tenaga Liongcu- i-kang kamu harus mengambil dan memanfaatkan kekuatan hisap dari lubang ini. Sebentar lagi hawa di sini akan berubah dan celah ini akan mempunyai kekuatan menghisap yang berlipat ganda besarnya. Kau kumpulkan semangatmu di sini lalu sedotlah daya hisap dari celah ini ke dalam tubuhmu. Putarlah tenaga hisap yang telah kau sedot itu ke seluruh jalan darah di dalam tubuhmu, agar berubah menjadi hawa murni yang dapat kau pergunakan setiap saat ! Marilah…. sekarang akan kuberi contoh lebih dahulu cara kita bersamadi."

Kemudian sambil menjelaskan semua urutan-urutannya nenek tua itu mulai bersamadi. Urat-uratnya tampak menegang. Kulitnya yang semula pucat itu perlahan-lahan kelihatan kemerah-merahan. Sedikit demi sedikit ia menyedot kekuatan hisap dari celah tersebut dan memasukkannya ke jalan darahnya melalui tan-tian (pusar). Kemudian dengan melalui wa-pi-hiat tenaga murni yang disedotnya itu ia salurkan ke seluruh tubuh. Tetapi berbeda dengan umumnya orang yang berlatih lweekang, nenek itu tidak menyalurkannya secara berputar seperti layaknya arah jarum jam ! Nenek itu mendorong hawa murni yang didapatnya itu secara terbalik !

Dari bagian kanan dahulu baru setelah itu menerobos ke bagian atas ! Tapi pengaruhnya sungguh sangat hebat. Tampak wajah orang tua itu berubah segar kemerah-merahan seperti wajah seorang perempuan muda !

“Yang Kun, cucuku ! Sekarang cobalah kau berlatih Liongcu- i-kang dengan cara seperti yang kuperlihatkan kepadamu tadi ! Dengan bakat serta bertulang baik seperti yang kau punyai itu, kukira dalam beberapa hari saja engkau tentu sudah dapat menembus semua jalan darah yang ada di dalam badanmu.” nenek itu mengakhiri latihannya. “…… dan kau sekarang tentu tahu, apa sebabnya orang yang telah mempunyai lweekang dari golongan lain tidak boleh berlatih Liong-cu-i-kang ini. Penyaluran hawa murni secara terbalik itu sungguh sangat membahayakan para pemilik lweekang yang telah terbiasa menyalurkan lweekangnya secara biasa….. Sama halnya mereka melukai dan membunuh dirinya sendiri !”

Yang Kun mengangguk, lalu melangkah ke arah celah sempit tersebut. Ia berbaring seperti yang dilakukan oleh nenek buyutnya tadi.

“Nenek……., bolehkan aku bertanya sebentar ?” pemuda itu mengawasi neneknya beberapa saat sebelum ia memulai dengan semadinya.

“Yaaa ?!”

“Anu….. bukankah sebelum menciptakan Liong-cu-i-kang ini nenek juga telah mempunyai lweekang yang hebat dari keluarga Chin kita ? kenapa…..?”

Nenek tua itu tersenyum.

“Cucuku…… kau jangan heran ! Nasib kita memang hampir sama. Nenek dahulu juga mengalami kematian sesaat seperti yang kau alami itu. Nenek mati karena tertimbun reruntuhan akibat gempa bumi besar itu ! Separuh tubuhku terjepit batu-batu besar di dalam gua ini tanpa mampu bergerak sedikitpun. Entah kenapa aku menjadi siuman kembali. Tapi seperti yang kau alami juga. lweekang yang telah kuhimpun sejak aku kanak-kanak telah hilang lenyap pula dari badanku. Rasa rasanya aku ingin mati saja saat itu. Tubuh tak bisa bergerak karena terjepit, tenaga sudah hilang pula dari badan, bagaimana pula bisa hidup ? Tapi….. agaknya Thian masih menghendaki lain. Tiba-tiba saja seperti ada sinar terang di dalam hatiku untuk tidak menyerah begitu saja kepada keganasan alam yang mencelakai diriku. Aku teringat kepada seseorang yang mungkin lolos dari keganasan gempa itu dan
saat itu sedang sibuk mencari diriku……” nenek tua itu termangu-mangu memandang kosong ke depan.

“Nenek…….. kau…..?”

“Cucuku, keinginanku untuk dapat bertemu kembali atau setidak-tidaknya bisa keluar dari tempat ini untuk mencari khabar tentang diri orang itu, membuat aku bersemangat serta tidak ingin mati. Aku teringat ada suatu ilmu yang disebut orang dengan nama Sia-Kut-hoat (Ilmu Mengkerut Tulang). Dengan ilmu tersebut kukira aku akan sangat mudah untuk melepaskan diri dari jepitan batu-batu itu. Tetapi karena aku tidak tahu bagaimana melatihnya, maka aku lalu mencari sendiri dan menciptakannya. Dengan hanya minum air dan memakan ikan yang kebetulan bisa ku tangkap setiap harinya aku menciptakan Liong-cu-ikang ini. Akhirnya berhasil ! Aku bisa mengatur dan memerintah susunan persendian tulangku menurut sekehendak hati sendiri…… Aku bisa lolos dari lubang yang menjepit tubuhku itu, tapi untuk beberapa bulan aku seperti menderita kelumpuhan pada anggota badan yang terjepit itu. Untunglah dengan Liong-cu-i-kang aku bisa menyembuhkannya.” sekali lagi nenek Hoa menghentikan penuturannya, lalu dipandangnya Yang Kun yang berbaring di celah sempit itu dengan pandangan aneh. “…… dan tahukah kau di mana aku telah terjepit selama itu ? Ketahuilah cucuku, aku terjepit pada lubang….. yang sekarang kautempati itu !”

“Hahh ?!?”

“Nah, kau tentu tidak percaya bahwa aku telah mampu meloloskan diri celah sesempit itu. Tapi kalau kau telah menguasai Liong-cu-i-kang dengan baik, kau akan mempercayainya.”

Dan tentu saja perkataan nenek buyutnya itu semakin membuat Yang Kun bergairah untuk lekas-lekas menguasai ilmu tersebut. Pemuda yang tidak pernah mengenal lagi hari siang ataupun malam itu semakin tidak memperhitungkan waktu pula. Setiap ada waktu atau kesempatan sehabis berlatih silat dia tentu lekas-lekas merendam dirinya di celah sempit tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan jikalau sebulan kemudian nenek buyutnya sendiri sampai menggeleng-gelengkan kepala saking kagum atas kemajuan yang dicapainya.

“Yang Kun, cucuku…..! Kau benar-benar bertulang baik dan berbakat sekali dalam ilmu silat. Aku beranggapan bahwa dalam waktu setengah tahun engkau baru akan dapat menguasai Liong-cu-i-kang itu. Tak kusangka hanya dalam waktu sebulan engkau telah menguasainya dengan lancar !
Baiklah…..! Karena kini kau telah mahir mengatur dan menguasai seluruh jalan darahmu sesuai dengan pelajaran Liong-cu-i-kang, maka sekarang akan kuberi tahu rahasia Ilmu Kim-coa-i-hoat yang telah kujanjikan itu kepadamu……!”

Dengan perasaan gembira yang meluap-luap Yang Kun mempersiapkan diri untuk menerima kunci-kunci rahasia dari Ilmu Kim-coa-i-hoat itu. Inilah memang saat-saat yang telah ia nanti-nantikan selama ini ! Kim-coa-ih-hoat !

“Rahasia utama dari Kim-coa-ih-hoat adalah penyaluran arus tenaga murni yang dibolak-balik secara mendadak, sehingga untuk sesaat orang akan kehilangan daya lengket dari dalam tubuhnya. Yaitu daya lengket yang membuat tulang-tulang di dalam badan selalu saling bertautan, di samping otot-otot dan urat-urat daging tentunya !” nenek itu mulai dengan keterangannya. “…….. Coba kaulihat siku lenganku ini ! aku akan mempertunjukkan kehebatan Ilmu Kim-coa-ih-hoat itu….. kepadamu !”

Nenek tua itu mengangkat lengan kanannya ke atas. Lalu ia mengerahkan Liong-cu-i-kang ke arah lengannya itu. Terdengar suara gemertak dari tulang-tulangnya yang saling beradu dan kemudian secara mendadak nenek itu membalikkan seluruh Liong-cu-i-kang !

Hap !

Dan perempuan tua itu lalu memegang lengan kanan tersebut dengan tangan kirinya. Sungguh aneh sekali ! Siku lengan kanan itu dapat ia tekuk sekehendak hatinya ! Ke muka….. ke belakang,,,,, ke kiri…… ke kanan ! Juga dapat ditarik memanjang memendek, bagai sebuah lengan boneka dari karet saja. Yang Kun sampai melongo melihat keajaiban itu ! Gila, teriaknya di dalam hati. Sebuah ilmu yang mengerikan !

“Kau lihat, cucuku ? Hihi….. tentu saja dalam prakteknya engkau tak usah menekuknya dengan pertolongan anggota tubuh yang lain. Cukup kau kerahkan otot-otot lenganmu…… dan tulang itu akan tertekuk ke arah yang kau kehendaki dengan sendirinya ! Begitu juga pada persendian-persendian tulang-tulang yang lain. Mereka dapat kau permainkan sesuka hatimu ! Semua tergantung pada kekuatan Liong-cu-ikang yang telah kau pelajari. Semakin tinggi kau meyakinkannya, semakin bebas pula kau dapat mempermainkan susunan tulang-tulangmu ! Dan oleh karena kita dapat menggeser urat-urat darah atau otot-otot daging kita, sehingga keadaan itu sangat menguntungkan kita dalam setiap pertempuran.”

“Nenek, adakah nenek menamakan ilmu itu dengan sebutan Kim-coa-ih-hoat karena nenek ingin mencontoh kehebatan seekor ular yang dapat memperpanjang….. memperpendek…….. memperbesar dan memperkecil tubuhnya itu ?” Yang Kun menyela.

“Benar, cucuku…..! Sejak semula aku memang ingin lepas dari lubang sempit itu, seperti halnya seekor ular yang dapat keluar masuk celah sempit betapapun besar tubuhnya……! Hanya dengan kekuatan tenaganya aku tidak mengambil dari kekuatan seekor ular, tetapi dari seekor naga ! Liong-cu-i-kang !”

Demikianlah, dalam waktu yang tidak terlalu lama pemuda itu telah menguasai pula Kim-coa-ih-hoat secara mahir. Sehingga kini pemuda itu dapat mengikuti nenek buyutnya menerobos lubang-lubang kecil, dan mengunjungi gua-gua lain.

Betapa gembiranya hati Yang Kun melihat banyak gua yang sambung-menyambung bagai sarang semut itu. Terasa hatinya menjadi bertambah lapang, seakan dunianya menjadi bertambah luas pula. Tidak hanya berada di dalam sebuah gua yang terdiri dari dua buah ruangan seperti tempatnya semula itu !

Masing-masing gua mempunyai keistimewaan dan keindahan sendiri-sendiri. Ada sebuah gua yang entah apa sebabnya hawanya dingin sekali, sehingga suasana di dalamnya seperti suasana di daerah kutub saja. Batu batuannya  yang beraneka macam warnanya itu seluruhnya diselimuti gumpalan-gumpalan salju yang tebal. Tapi ada pula sebuah gua yang hawanya panas bukan main, sehingga rasa-rasanya semua batu yang berada di dalamnya telah berubah menjadi bara api yang sangat panas.

Ada pula sebuah gua yang penuh dengan tanaman jamur yang beraneka macam bentuk dan warnanya. Agaknya jamur jamur  itulah yang selama ini dimasak menjadi bubur oleh nenek buyutnya sebagai makanan pokoknya. Di tempat itu pulalah neneknya tidur dan menaruh segala peralatannya.

Yang membuat takjub dan heran di hati Yang Kun adalah penerangan di dalam lorong-lorong gua itu. Tak ada sedikitpun sinar matahari yang masuk, tapi ruangan-ruangan di dalam gua-gua itu ternyata cukup terang. Pemuda itu sama sekali tidak menyadari bahwa selain keadaan batu-batuannya yang bening dan memantulkan sinar, pemuda itu sendiri kini telah menjadi lebih tajam daya penglihatannya !

Pemuda itu memang tidak menyadari betapa hebat sebenarnya dia sekarang. Tiadanya manusia lain selain nenek buyutnya yang sangat sakti itu membuat dia tidak dapat memperbandingkan kepandaian dengan orang lain. Satu-satunya perbandingan cuma neneknya itu ! Padahal kesaktian neneknya terasa selalu lebih hebat dari pada kepandaiannya.

Otomatis pemuda itu selalu merasa dirinya bodoh dan lemah !

“Nenek…….! Nenek…….!”

Tiba-tiba pada suatu hari Yang Kun berteriak-teriak mencari neneknya. Tubuhnya yang jangkung itu bagaikan seekor ular menelusup ke lorong-lorong gua yang sempit untuk menemui neneknya. Tangan kanannya membawa tangkai pancing pendek yang tadi ia pakai untuk memancing di sungai bawah tanah itu. Neneknya yang baru sibuk membuat bubur itu sampai kaget dibuatnya.

“Ada apa, cucuku…..?”

Dengan terengah-engah Yang Kun bercerita bahwa aliran sungai yang berada di dalam gua mereka itu kini bercampur dengan darah ! Begitu banyaknya darah tersebut sehingga baunya menjadi sangat amis.

“Hah…..? Daraaahh……..?” Nenek itu berteriak kaget, sehingga pemuda itu menjadi kaget dibuatnya ! Baru kali inilah pemuda itu melihat neneknya berkata atau berteriak dengan mulutnya.

Kedengarannya menjadi sangat aneh di telinganya. Selama berbulan-bulan bersamanya nenek itu selalu berbicara tanpa menggerakkan bibirnya. Bagai kilat menyambar nenek itu melesat ke arah sungai itu melalui lorong-lorong gua yang sempit. Tanpa terasa Yang Kun mengikutinya dengan tidak kalah gesit pula. Dengan Kim-coa-ih-hoat mereka menyusup, menerobos, menyusuri celah celah sempit seperti dua ekor ular yang berkejaran !

“Ya…… Thian ! Aku benar-benar tidak bermimpi ! Isyarat yang ku terima itu kini telah menjadi kenyataan…….” nenek tua itu terbelalak menyaksikan gumpalan-gumpalan darah mengental yang hanyut dibawa aliran sungai tersebut.

“Isyarat……? Isyarat apakah itu, nenek ? Apa….. apa……?”

Yang Kun dengan gagap menegaskan. Untuk pertama kalinya pula Yang Kun melihat nenek itu tampak ketakutan dan merasa ngeri, sehingga otomatis membuat pemuda itu menjadi tegang pula.

“Nenek…..! Nenek……! Katakanlah……!”

“Yang Kun……. nenek pernah mengatakan kepadamu bahwa aku harus lekas-lekas menurunkan Kim-coa-ih-hoat kepadamu sebab aku telah mendapat suatu firasat. Firasat mengatakan bahwa sesuatu bakal terjadi kepada kita sehingga kita akan berpisah untuk selama-lamanya. Dan Sekarang agaknya firasat itu akan segera terjadi……! Saat itu aku seperti sedang bermimpi…… Aku merasa gua-gua ini tergenang oleh air bah yang kemerah-merahan karena telah bercampur darah. Aku dan engkau terhanyut dan digulung oleh air tersebut tanpa bisa menyelamatkan diri lagi. Kita…… hei…… ooooooohhh…… apa ini ? Oooooh Yang Kun….. ini…… ini….. Ya, Thian…… ini gempa ! GEMPA !” nenek itu tiba-tiba berteriak kuat-kuat. Wajahnya semakin menampilkan rasa ngeri dan takut yang maha hebat !

Terdengar suara gemuruh yang dahsyat. Gua itu bergetar dengan keras. Debu berhamburan memenuhi ruangan itu dan menghalangi pandangan mereka. Atap gua tampak berderak derak mau pecah. Begitu juga lantai gua yang mereka injak !

“Gempaaaa……?” Yang Kun ikut berteriak sekuat tenaga.

Pemuda itu terjerembab ke depan. Hampir saja mereka bertubrukan. Keduanya berlari ke sana ke mari, tapi bagaimanapun mereka tetap tak bisa melepaskan diri dari dalam gua. Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa paniknya mereka. Apalagi ketika bongkahan-bongkahan batu sebesar gajah mulai berguguran menghantam lantai gua dengan suara yang memekakkan telinga. Debu dan batu kerikil bertebaran, menyebabkan udara menjadi gelap gulita dan menyesakkan nafas.

“Nenekkk……!” Yang Kun berteriak di antara gemuruhnya suasana yang mengerikan itu. Ternyata kedua orang itu terpisah oleh damparan batu-batu yang berjatuhan di sekitar mereka.

“Yang Kuuuuun………!” suara nenek tua itupun hampir tak kedengaran lagi, padahal mereka cuma terpisah dalam beberapa langkah saja.

Yang Kun berusaha mati-matian untuk mendekati neneknya. Beberapa bongkah batu besar yang menghantamnya ia elakkan atau kalau tidak sempat lagi terpaksa ditahannya dengan Liong-cu-i-kangnya ! Sehingga akhirnya pemuda itu dapat memegang lengan kanan neneknya. Tetapi bersamaan dengan itu terdengar suara berderak yang sangat hebat ! Dinding gua itu pecah bagaikan terbelah menjadi dua bagian. Suara deburan gelombang air menyembur ke arah tempat mereka berdiri dan tidak lama kemudian tubuh mereka telah dihempaskan oleh arus air yang menyembur dari lapisan tanah yang terbelah lebar itu.

Mereka digulung dan dihempaskan oleh gelombang yang menyerbu dan memenuhi lubang gua tersebut. Sedikitpun mereka tidak dapat berkutik melawan keganasan alam yang pada saat itu sedang mempermainkan tubuh mereka. Di sinilah terbukti betapa lemahnya dan betapa kecilnya manusia dibandingkan dengan kebesaran alam. Betapapun hebat dan saktinya manusia tersebut !

Yang Kun tidak tahu lagi di mana dan terbawa ke arah mana dirinya dihanyutkan oleh arus yang dahsyat itu. Mata, telinga maupun seluruh anggota badannya sudah tidak berdaya lagi menghadapi amukan gempa dan air bah yang melanda dirinya. Dia hanya merasa bahwa badannya dibawa berputar-putar, dihempas ke sana kemari, lalu dilontarkan ke atas bersama-sama batu batu besar yang tampak berenang di sekelilingnya. Tangan nenek Hoa telah terlepas dari gandengannya.

Gempa yang maha dahsyat itu tidak lebih lama dari pada sekejap mata, tetapi akibat yang ditimbulkannya ternyata sungguh bukan kepalang besarnya. Tak sebuah bangunanpun yang tampak berdiri tegak. Rata-rata telah menjadi rata dengan tanah. Daerah yang semula merupakan sebuah perkampungan yang bersih dan rapi, dengan tanaman yang hijau subur, kini berubah menjadi sebuah padang reruntuhan yang kotor dan hancur sama sekali !

***

Yang Kun merasa bahwa telah terjadi suatu kemukjijadan pada dirinya. Bencana hebat yang timbul pada saat dirinya berada di dalam lorong-lorong bawah tanah, ternyata tidak menghancurkan dirinya tetapi justru malah menyelamatkan dan membebaskan dirinya dari penjara alam tersebut !

Tubuhnya sehat dan tidak ada segores lukapun yang menodai kulit dagingnya. Padahal tubuhnya dihempas dan diombang ambingkan oleh arus air yang menggila, bersama-sama dengan bongkahan-bongkahan batu sebesar gajah ! Selain pakaiannya yang basah dan compang-camping tak ada setitik tandapun yang menyatakan bahwa dirinya baru saja bergulat dengan maut yang sangat dahsyat !

Thian benar-benar menurunkan suatu mukjijad pada diri pemuda itu !!  Yang Kun duduk termangu-mangu di dekat sebuah sumber air yang menyembur keluar dari sebuah tebing jurang yang terbelah menjadi dua bagian. Air tersebut menyembur begitu saja dari dalam tanah dengan amat derasnya, lalu mengalir melalui batu-batu besar yang berserakan di bawah jurang dan akhirnya terjun ke sungai besar yang membawanya ke Sungai Yang Tse Kiang. Dilihat dari keadaan tempat dan susunan batu-batu di mana sumber air tersebut keluar, mudah diduga bahwa lubang air itu baru saja terbentuk beberapa saat yang lalu. Mungkin akibat gempa besar yang baru saja berlalu tadi.

Dan dari tempat itu pulalah agaknya pemuda tersebut dilontarkan keluar dari “penjara di bawah tanahnya”.

“Yang……. Kun……. Cu….. cuku……!”

Tiba-tiba pemuda itu mendengar rintihan neneknya yang memanggil namanya. Bagai seekor kijang Yang Kun meloncat dari tempat duduknya dan bergegas mencari arah suara itu,

Yang Kun tanpa terasa mengeluarkan Liong-cu-i-kangnya yang maha hebat. Bongkahan bongkahan
batu sebesar kerbau ia angkat dan ia pindahkan dengan kedua belah tangannya !

Suara itu seperti datang dari bawah tumpukan batu yang berserakan di depan sumber air tersebut. Oleh karena itu Yang Kun semakin bernafsu untuk menyingkirkan batu-batu tersebut dari tempatnya. Dan semakin banyak batu yang ia singkirkan, semakin jelas pula suara tersebut terdengar.

Akibatnya Yang Kun bekerja bagai orang kesetanan ! Tumpukan batu-batu besar yang berserakan tersebut menjadi porak-poranda dibongkarnya. Didapatinya nenek tua itu dalam keadaan terluka parah di dasar tumpukan batu itu. Luka tersebut sangat parahnya sehingga tidak mungkin tertolong lagi. Tubuhnya boleh dikatakan sudah remuk dan hancur. Tapi disebabkan oleh kepandaiannya yang tinggi dan semangat keinginannya untuk bertemu dengan Yang Kun, maka nenek itu masih dapat bertahan untuk beberapa saat.

“Nenek……” Yang Kun berlutut di sampingnya. Matanya berkaca-kaca.

“Cucuku…… dengarlah amanatku ! Aku sudah tidak dapat hidup lebih lama lagi, maka aku ingin meninggalkan pesan dan warisan kepadamu… huk… huk ! Uuuuuhh…” nenek itu terbatuk batuk dan memuntahkan gumpalan-gumpalan darah kental dari mulutnya.

“Nenek……..”

“Cucuku…. untuk pertama kalinya sejak seratus tahun ini aku dapat memandang langit dan matahari lagi. Bagaimanapun juga akhirnya aku dapat kembali ke dunia umum ini lagi……. oh…… betapa gembiranya aku. Aku benar benar rela untuk mati sekarang. Hanya….. hanya aku minta tolong kepadamu……”

“Katakanlah, nek ! Apapun permintaan nenek tentu akan aku kerjakan ! Biar sampai berkorban nyawa sekalipun…..” pemuda itu berkata dengan penuh perasaan. tak terasa air matanya mengalir membasahi pipinya.

“Simpanlah abuku nanti….. dan kalau kau mengembara nanti, pergilah kau ke daerah Kang-lam ! Carilah sebuah dusun di kaki Bukit Pat-sian-gai (Bukit Delapan Dewa), yang bernama dusun Ho-ma-cun…… lalu kau carilah berita tentang seorang gembala tampan yang sangat terkenal pada 100 tahun yang lalu ! Namanya Pao Liang ! Kalau dia masih hidup, berikanlah abu dari tubuhku itu kepadanya….. tapi kalau dia juga telah mati…. kau… kau tanamlah abuku itu di samping makamnya huk…. huk !”

“Jangan khawatir, nek….. cucumu tentu akan menjalankan segala perintahmu ini dengan sungguh-sungguh.” Yang Kun berjanji.

“Terima kasih, cucuku ! Huk ! Sekarang kau duduklah dalam sikap…. huk…. dalam sikap Naga Bertapa ! Aku….. a – aku akan memindahkan seluruh tenaga dalam Liong-cu-i-kang yang kulatih selama 100 tahun i – itu ke……k – kepadamu !”

“Nenek……” pemuda itu tertegun.

“Jangan membantah ! Aku tahu aku akan mati kalau hawa murni itu kupindahkan ke tubuhmu….. tapi tidak ada bedanya bagiku, mati sekarang atau nanti…. toh hari ini aku tentu mati juga ! Le – lekaslah…. mumpung badanku masih mampu.”

Terpaksa Yang Kun menuruti kemauan neneknya. Tubuhnya berbaring di samping neneknya dalam sikap Naga Bertapa. Salah satu sikap bersamadi dalam Liong-cu-i-kang yang hebat. Sikap bersamadi yang sering ia lakukan apabila ia berlatih di celah-celah lubang sungai di bawah tanah itu.

“Yang Kun, cucuku….. Kau jangan melawan atau berusaha menolak tenaga yang akan kusalurkan kepadamu. Berdiam dirilah…. a –apapun yang a – akan kuperbuat ke – kepadamu itu….huk ! Nah, aku a – akan m – mulai…..!”

Terdengar suara gemertak dengan keras ketika kedua orang itu secara bersama-sama mengerahkan Liong-cu-i-kang mereka. Secara bersamaan pula mereka menyalurkan hawa murni mereka, berputar melalui jalan darah terpenting ke seluruh tubuh mereka secara terbalik. Suara nafas mereka yang teratur itu seperti desis seekor ular atau naga yang sedang marah.

“Ssssssssssss…………!”

Beberapa saat kemudian………… Ketika hawa murni itu telah berputar kembali ke arah tan –tian tiba-tiba tampak badan nenek tua itu melenting ke atas disertai desis mulutnya yang semakin kuat. Seakan seluruh kekuatan Liong-cu-i-kangnya telah terpusat untuk menggempur lawan ! Sekejap Yang Kun terperanjat menyaksikan peristiwa itu ! Hampir saja dia menggerakkan tangan untuk berjaga-jaga, apalagi ketika nenek itu meluncur turun dengan mulut menganga menuju ke arah pusarnya. Tapi dalam sekejap pula pemuda itu telah teringat kembali akan pesan neneknya, sehingga ia menjadi urung melakukannya.

Dia justru bersiap-siap untuk menyambut tenaga yang akan dilimpahkan oleh orang tua itu kepadanya. Dia tidak ingin menggagalkan maksud neneknya itu ! Ia juga tidak mau membuat orang tua tersebut merasa penasaran menjelang kematiannya.

“Ceppp…….!”

Bagai seekor ular yang ganas mulut nenek tua yang tak bergigi itu mematuk dan menggigit pusar Yang Kun yang tersembul di antara bajunya yang compang-camping ! Sebuah arus tenaga yang maha dahsyat menyerbu masuk ke dalam tubuh si pemuda melalui pusarnya dan berputar dengan cepat ke seluruh tubuh. Terasa tubuhnya semakin lama semakin terasa panas, lalu disertai perasaan sakit seperti ditusuk oleh ribuan jarum pada urat urat darahnya. Begitu sakitnya sehingga lama-kelamaan Yang Kun tidak kuat bertahan lagi.

Pemuda itu jatuh pingsan ! Ketika Yang Kun telah sadarkan diri kembali, terasa badannya menjadi lebih segar dan terasa ringan bukan main. Begitu dirinya menghentakkan badan untuk bangkit dari tanah, pemuda itu menjadi terkejut setengah mati ! Tubuhnya melenting ke atas bagaikan burung mau terbang ! Buru-buru pemuda itu mengenjotkan kakinya ke bawah untuk turun kembali ke tanah……

“Jlugg !!”  
Kakinya amblas terbenam di dalam tanah sebatas lutut !

Gila, Yang Kun mengumpat di dalam hati. Ada apa pula ini ? Mengapa tenaganya menjadi sedemikan dasyatnya ? Bermimpikah dia ?

“Ohh, pemuda itu sudah siuman dari pingsannya…..”

Tiba-tiba terdengar beberapa orang berseru sehingga semakin mengagetkan hati Yang Kun. Terlihat oleh Yang Kun beberapa orang penduduk mendatangi ke tempatnya. Yang Kun menoleh ke kanan dan ke kiri mencari jenazah nenek buyutnya, tapi ia tidak menemukannya. Mayat tersebut sudah tidak ada. Dan yang sangat mengejutkan hati pemuda itu adalah bahwa ternyata dirinya bukan lagi berada di dekat sumber air itu. Dia telah berada di antara perkampungan penduduk yang mengalami musibah gempa dahsyat itu. Dirinya ternyata terbaring di atas tanah bekas reruntuhan sebuah rumah.

“Saudara, kami adalah orang-orang dari dusun Hi-sancung. Dusun kami terbenam oleh air bah akibat gempa bumi yang mengerikan itu. Kami terpaksa mengungsi ke dusun ini untuk menyelamatkan diri. Tadi di tengah jalan kami menemukan tubuh saudara dan seorang nenek tua tergeletak di antara batu-batu. Agaknya saudara dan nenek tua itu juga mengalami musibah gempa besar kemarin. Kami membawa saudara ke tempat ini, sementara nenek tua yang telah meninggal dunia itu kami kubur di tempat itu juga.”

“Ohhhh……. terima kasih !” ucap pemuda itu dengan lega.

Ternyata jenazah neneknya telah diurus orang dengan baik. Dan pemuda itu mengucapkan terima kasihnya kembali ketika melihat dirinya juga telah berpakaian rapi dan bersih. Biarpun hanya pakaian seorang petani biasa.

“Kami memang bukan dari golongan penduduk yang mampu, apalagi baru saja kami mengalami musibah, tapi salah seorang dari kami masih menyimpan beberapa buah pakaian untuk sewaktu-waktu dipergunakan…..” Orang itu berkata lagi mewakili teman-temannya. Agaknya dia adalah pemimpin dari kelompok penduduk tersebut.
“Saudara ini dari mana…..? Bolehkah kami mengetahui juga nama saudara ?”

“Saya…… saya adalah pengembara yang datang dari jauh…. Kebetulan saya bertemu dengan nenek itu….. dan….. dan terjadilah bencana itu.” Yang Kun menjawab pertanyaan mereka dengan gagap. Ia sama sekali belum mempersiapkan jawaban yang baik. Dan ketika dilihatnya orang-orang masih menanti kelanjutan dari perkataannya, Yang Kun cepat meneruskan.

“Saya bernama Yang Kun……”

“Untuk sementara saudara dapat tinggal di sini dengan kami….. Cuma tentang makan dan minum….. ya….. seadanya saja.” orang itu menawarkan lagi jasanya dengan simpatik.

“Terima kasih ! Saya akan berangkat besok. Hanya pada malam ini saya memang bermaksud untuk memohon agar diperbolehkan tidur di sini….”

“Hei, mengapa merasa sungkan ? Marilah kita berkumpul di rumah sebelah ! Di sana ada banyak kawan-kawan pengungsi yang lain.”

Yang Kun bangkit dan membersihkan pakaian dan sepatu yang kotor, lalu melangkah mengikuti orang-orang yang menolongnya itu ke rumah sebelah. Dari jauh pemuda itu telah mendengar suara ribut para pengungsi yang saling bercerita tentang musibah yang menimpa diri mereka masing masing, juga ributnya anak-anak yang telah kehilangan orang tua mereka. Beberapa orang tampak duduk menyendiri mengenangkan nasibnya yang buruk.

Kedatangan mereka tidak begitu menarik perhatian orang orang yang ada di sana. Tempat itu adalah satu-satunya bangunan yang masih kelihatan utuh, sehingga dapat dipakai sebagai tempat berteduh untuk sementara bagi para pengungsi. Mereka membentangkan tikar dan tiduran di segala tempat sementara para anak-anak mereka bermain main di halaman.

Yang Kun melewati beberapa orang yang terbaring di atas tikar lebar di bawah pohon siong yang rimbun. Seorang gadis yang tidak bisa menyembunyikan kecantikannya meskipun mengenakan pakaian yang sederhana dan kasar, tampak merawat luka-luka mereka. Yang sangat menarik perhatian
Yang Kun ialah dengan gadis yang cantik itu. Lengan yang sebelah kiri telah buntung sebatas siku !

Sejenak Yang Kun menghela nafas dengan perasaan tidak rela. Gadis secantik itu kenapa mesti cacat tangannya ? Gadis itu menoleh. Agaknya dia juga merasa kalau dirinya sedang diperhatikan orang.

Dua pasang mata bertemu….. dan Yang Kun cepat-cepat meneruskan langkahnya, takut gadis itu akan tersinggung karenanya. Yang Kun duduk di antara laki-laki yang berwajah kasar dan bengis.

Pakaian mereka seperti pakaian seorang piauwsu lengkap dengan senjatanya. Mereka berbicara dengan bebas tanpa memperdulikan para pengungsi lain yang berada di sekitar mereka. Kadang-kadang terdengar suara umpatan dan caci-maki mereka di antara suara ketawa mereka yang keras.

Sebuah nada ketawa yang sumbang, karena mereka tertawa untuk menutupi ketegangan hati mereka sendiri. Mereka adalah para pekerja piauw-kiok yang meninggalkan keluarganya di rumah. Mereka tidak tahu bagaimana nasib anak istrinya yang terkena musibah bencana ini.

“Gila ! Mengapa penderitaan ini tidak juga selesai ? Baru saja kita menderita akibat peperangan besar lima tahun yang lalu….. dan belum juga kita sekarang dapat membenci luka-luka itu, kini datang lagi bencana yang lain,” salah seorang dari mereka menggerutu.

“Itulah kalau Thian menjadi murka akibat ketamakan manusia. Dari dulu orang selalu mengejar kemulian dan kekayaan saja. Tak segan-segan manusia berbuat dosa dan nista hanya demi kepentingan pribadi mereka sendiri. Mereka membunuh, merampok dan merusak nilai kehidupan mereka sendiri, tanpa memperhitungkan segi-segi kemanusiaan dan kesopanan. Mereka berlindung dalam panji-panji dan sebutan-sebutan yang muluk-muluk…. demi kaum yang miskin dan menderita….. demi rakyat yang tertindas…… demi tegaknya keadilan….. Tapi mereka ternyata berbuat yang justru berlawanan dengan azas peri-kemanusiaan itu sendiri……!”orang yang tertua di antara mereka menyambung dengan nada berfilsafat.

“Agaknya Ji-suheng masih belum hilang rasa penasarannya akibat barang kawalan kita yang diganggu oleh anak buah Keh-sim Siauw-hiap itu……” orang yang pertama tadi berkata lagi sambil tersenyum mengawasi kawan-kawannya yang lain.

“Tentu saja……! Akupun masih mendongkol juga sampai sekarang. Sudah dua kali ini Keh-sim Siauw-hiap dan anak buahnya mengganggu Kim-liong Piauw-kiok kita. Tujuh bulan yang lalu mereka mencegat dan merampas barang kawalan kita sehingga suhu menjadi sangat marah. Kita bersama-sama dengan Thio Lung twa-suheng dikirim suhu untuk meminta barang kawalan yang dirampas itu di sarang mereka, Tapi dengan mudah kita dikalahkan oleh mereka dan twa-suheng dilukai pula. Kini mereka kembali merampas barang-barang kita lagi tanpa kita dapat berkutik sama sekali untuk melawannya…. Sungguh penasaran sekali, bukan ?” yang lain lagi turut berbicara dengan mata melotot.

“Mereka memang sangat lihai dan kita bukan lawan mereka….. Apalagi Keh-sim Siauw-hiap itu ! Agaknya suhu sendiri juga belum dapat menyamai kesaktian si Keh-sim Siauw-hiap yang hebat itu…..” orang yang dipanggil ji-suheng itu menghela nafas berat.

“Lalu bagaimana nasib Kim-liong Piauw-kiok kalau setiap barang kawalannya mesti dirampok orang tanpa dapat merebutnya kembali ? Selain orang tidak akan percaya lagi pada kita, harta benda kitapun akan habis pula untuk mengganti barang-barang yang telah hilang.. Dan bagaimana kita harus memberi makan anak-istri kita di rumah ?”

“Hmm…… dan perampok-perampok itu dengan enaknya bilang bahwa barang-barang itu akan mereka bagi kepada kaum miskin yang membutuhkannya ! Huh ! Aku tidak percaya ! Paling-paling juga akan mereka makan sendiri !”

Yang Kun yang ikut mendengarkan percakapan mereka, turut menjadi penasaran  pula di dalam hati. Pemuda itu memang benci sekali kepada segala macam pembunuh dan perampok, karena hal itu akan mengingatkan dia kepada para musuh besarnya yang telah membantai orang tua dan paman-pamannya.

“Mengapa tuan menghina Keh-sim Siauw-hiap ?” tiba-tiba terdengar suara parau di belakang mereka. Otomatis semuanya menoleh dengan cepat. Seorang laki-laki berpakaian penuh tambalan tampak mendatangi ke arah mereka. Beberapa langkah di belakangnya tampak mengikuti dua orang temannya dengan baju yang penuh tambalan pula. Mereka memandang rombongan piauw-su itu dengan rasa tak senang. Dan ketika berhenti di depan para piauw-su itu mereka mengeluarkan tongkat kecil dari besi yang terselip di masing-masing pinggangnya.

“Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bertongkat besi)…..!” terdengar seruan tertahan dari beberapa orang yang mengenal mereka.

Terkejut juga orang-orang dari Kim-liong Piauw-kiok itu demi mendengar siapa sebenarnya orang yang kini sedang berdiri di hadapan mereka. Sebagai orang dari sebuah perusahaan pengawalan barang, sesungguhnya mereka tidak ingin menanam permusuhan dengan siapapun juga. Apalagi bermusuhan dengan sebuah perkumpulan yang terkenal dan banyak anggotanya. Hal seperti itu hanya akan mengganggu bidang pekerjaan mereka saja. Tapi meskipun begitu, bukan berarti bahwa orang-orang dari sebuah perusahaan pengawalan barang adalah orang-orang yang sangat penakut dan tidak berani berkelahi, sama sekali bukan ! Justru sesungguhnya mereka itu adalah jago-jago berkelahi yang bekerja dengan modal kekuatan dan otot mereka !

Maka sebelum adik-adik seperguruannya menjawab tantangan mereka, orang tertua dari para piauw-su itu bangkit menyongsong ketiga orang itu.

“Ah, apakah kami sekarang sedang berhadapan dengan saudara-saudara dari Tiat-tung Kai-pang ?” sapanya halus.

“Tidak salah ! Kami bertiga memang anggota Tiat-tung Kaipang. Dan harap tuan ketahui juga bahwa ketua kami adalah sahabat karib dari Keh-sim Siauw-hiap….”

“Huh !”

Tiba-tiba terdengar suara orang mendengus di antara orang-rang Kim-liong Piauw-kiok yang duduk menggerombol itu. Dengus yang bernada menghina atau meremehkan lawan ! Tentu saja ketiga orang pengemis itu menjadi tersinggung karenanya. Mereka menoleh ke arah orang-orang piauw-kiok itu dengan melotot dan mencari orang yang telah mengeluarkan suara dengusan tadi.

Yang Kun yang kebetulan juga sedang menatap mereka dengan pandangan tak suka, malahan dicurigai oleh para pengemis itu. Ketiga orang itu memandang Yang Kun dengan mata mendelik ! Padahal suara dengusan itu keluar dari mulut orang termuda Kim-liong Piauw-kiok yang duduknya memang berada di dekat Yang Kun.

Agaknya orang piauw-kiok yang bangkit menyongsong mereka tadi mencium suasana yang membahayakan itu. Mereka dengan tergesa-gesa ia meloncat menengahi di antara mereka dan berusaha menenangkan hati ketiga pengemis itu.

“Sam-wi (saudara bertiga), maafkan kelancangan suteku….! Jangan saudara masukkan di dalam hati….. Marilah kita berbicara secara baik-baik ! Anu….. bolehkan kami mengetahui maksud sam-wi semua menghampiri tempat kami di sini ? Adakah sesuatu hal atau kesalahan yang telah kami perbuat sehingga tanpa sengaja telah merugikan sam-wi ?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu. Kalian telah melakukan suatu kesalahan besar. Kalian telah menghina dan memperolok-olokkan Keh-sim Siauw-hiap yang menjadi sahabat kami para fakir miskin.” salah seorang dari para pengemis itu membentak.

“Huh ! Musang berbulu domba. Pura-pura menjadi pembela para fakir miskin. Tapi hal itu cuma untuk kedok saja. Sekali perampok…. ya…. tetap perampok !” orang yang mendengus tadi mengeluarkan suara mengejek lagi.

“Bangsat ! Keluar kau dari tempat itu !” pengemis yang pertama berteriak marah.

“Jit-te (adik ke 7)….!” Orang yang tertua diantara para piauw-su itu memperingatkan pula adiknya yang ringan mulut itu. Terlambat. Pengemis itu telah meloncat dan menerkam ke arah…. Yang Kun ! Orang yang disangkanya telah mempermainkan dirinya. Tentu saja pemuda itu kaget bukan main ! Dengan gesit pemuda itu menghindar ke samping.

“Duaaaarrr……”

Lantai tempat di mana Yang Kun baru saja duduk telah hancur berkeping-keping terkena tongkat besi si pengemis. Meskipun begitu pecahan-pecahan batu itu telah mengotori pakaian Yang Kun, sehingga pemuda itu menjadi marah juga. Tapi sebelum pemuda itu melayani mereka, orang termuda dari Kim-liong Piauw-su itu telah maju menghalanginya.

“Saudara….. maafkan ! Agaknya mereka salah mengenali lawannya. Silahkan saudara menyingkir! Biar kuhadapi dia……!”

“Jit-te, jangan sembrono……!”

“Ji-suheng ! Biarkah aku melepaskan rasa sesak di dadaku ini. Aku bisa gila kalau tidak melampiaskannya……”

Dan orang termuda dari Kim-liong Piauw-kiok itupun meloloskan sebuah cambuk panjang dari pinggangnya. Lalu dengan kaki direnggangkan ia menghadapi pengemis yang marah itu.

“Gelandangan bermata buta ! Kau lihatlah aku ! Inilah orang yang telah mendengus dan mengejekmu tadi….. Bukan dia ! Dengarlah pula, bahwa aku memang sangat benci kepada Keh-sim Siauw-hiap ! Maka kalau engkau telah menjadi begundalnya dan ingin membela dia…….. nah, silahkan kau maju !”

“Kau memang bosan hidup !” pengemis itu berteriak mengguntur.

Tongkatnya yang sepanjang lengan itu diayun ke depan, ke arah kepala lawannya. Suaranya mencicit saking kuatnya pengemis itu mengayunkan tongkatnya. Tapi jago dari Kim liong Piauw-kiok itupun juga tidak mau kalah gertak.

Cambuknya yang berjuntai panjang itu ia sabetkan pula ke depan untuk menyongsong tongkat lawan. Dan sekali lagi terdengar suara menggelegar yang memekakkan telinga, ketika dua buah kekuatan yang terlontar itu bertemu di udara.

“Duaaaaaarr……”

Para pengungsi yang terdiri dari wanita dan anak-anak menjerit serta berlarian menyelamatkan diri dari tempat itu. Suasana di tempat tersebut menjadi kacau balau tidak keruan. Anak-anak kecil menjadi ketakutan dan menangis dalam gendongan ibunya.

Sementara itu kedua orang itu masih melanjutkan pertempuran mereka. Keduanya bergeser ke arah halaman, di mana tempatnya lebih luas dan lebih leluasa untuk menggerakkan senjata mereka. Suara ledakan cambuk mereka terdengar berdentam-dentam di udara, memanggil para pengungsi yang lain untuk datang ke tempat itu. Sehingga tak lama kemudian halaman rumah itu telah penuh dengan
pengungsi yang ingin menyaksikan pertempuran dahsyat itu.

Ketika beberapa saat kemudian tampak oleh rombongan piauw-su itu, adik seperguruan mereka terdesak oleh tongkat lawan, dua orang di antara mereka lalu terjun membantu.

Tentu saja kedua orang pengemis yang lain juga tidak tinggal diam pula. Mereka turun juga ke dalam arena pertempuran membantu kawannya, sehingga akhirnya terjadi pertempuran tiga melawan tiga di tengah-tengah halaman itu.

Empat orang piauw-su yang lain, di antaranya adalah jisuheng mereka itu, tampak masih menonton di pinggir dengan perasaan tegang. Agaknya mereka kini telah menyadari bahwa kepandaian para pengemis dari Tiat-tung Kai-pang rata-rata memang lebih tinggi dari pada kepandaian mereka.

“Sam-te (adik ke 3), hari-hari keruntuhan Kim-liong Piauwkiok kita agaknya telah berada di depan mata……” orang tua dari rombongan piauw-su yang disebut sebagai ji-suheng oleh kawan-kawannya itu berdesah perlahan kepada orang yang berada disampingnya.

“Kau lihat ! Dalam dua hari ini saja kita telah tertimpa bencana  dua kali. Barang kawalan kita telah dirampas orang…… kuda dan gerobak angkutan kitapun dihancurkan gempa !”

“Dan Kini….. kini agaknya akan mendapat malu pula karena dikalahkan orang !” kawannya menyambung. “….. Masa kejayaan Kim-liong Piauw-kiok agaknya memang telah lampau.”

“Taaar ! Taaar ! Taaar !”

Suara lecutan cambuk ketiga orang piauw-su yang bertempur di dalam arena itu semakin jarang terdengar. Jangankan untuk meledakkan ujung cambuknya, sedang untuk bertahan saja mereka semakin tampak kerepotan.

Tongkat besi lawan yang besarnya tak lebih daripada besar ibu jari mereka itu terdengar mengaung-gaung di sekitar tubuh mereka. Lambat tapi pasti, tongkat besi itu mengurung dan mendesak mereka.

Dibandingkan dengan lawannya, orang-orang dari Tiat-tung Kai-pang itu memang tampak lebih gesit dan lebih tinggi  kepandaiannya, sehingga biarpun orang-orang dari Kim-liong Piauw-kiok itu akan maju semua, rasa-rasanya juga tidak akan menang. Gerakan ketiga orang pengemis itu benar-benar sangat tangkas dan hebat. Terutama si pengemis yang datang pertama kali tadi ! Ayunan tongkatnya sangat kuat dan tak terlawan oleh ketiga orang musuhnya. Suaranya mendesing desing di udara seperti digerakkan oleh tenaga raksasa.

Siapapun yang berani menangkis tangan maupun senjatanya tentu akan terlempar dari tempatnya.

“Apa boleh buat ! Sam-te, mari kita bantu saudara-saudara kita ! Biarlah…. kita tidak usah memperdulikan apa kata orang terhadap kita. Biarlah kita dikatakan orang sebagai tukang keroyok.” ajak ji-suheng kepada saudara-saudara yang lain.

Keempat piauw-su itu segera melolos cambuk mereka, lalu secara bersama-sama mereka terjun membantu kawan  kawannya yang telah terdesak di tengah-tengah arena.

Tampaknya ketiga orang pengemis itu juga telah memperhitungkan kemungkinan itu. Buktinya mereka tidak merasa kaget sedikitpun melihat datangnya bala bantuan itu. Pengemis yang pertama itu malah tertawa terkekeh-kekeh menyambut mereka.

“Hahaha…… kenapa tidak sejak tadi kalian maju ke arena ini….. Kalian boleh melihat sekarang macam apa kami bertiga ini. Sehingga lain kali kalian akan berpikir dulu beberapa kali sebelum mengejek dan menghina orang.”

“Kurang ajar……! Siapa yang mulai mengejek dan menghina orang ? Kalian benar-benar pandai omong ! Siapa yang mula-mula menghardik kami bersaudara tadi ? Bukankah kalian yang mencari gara-gara terlebih dahulu ?” orang termuda dari rombongan piauw-su yang ringan mulut itu berteriak marah.

“Benar ! Tapi bukankah pihakmu juga yang mula-mula mengejek dan menjelek-jelekkan nama Keh-sim Siauw-hiap ?” 

“Lhoh ! Mengapa kami mesti tidak boleh memaki-maki Kehsim Siauw-hiap ? Orang itu adalah musuh kami. Dia merampok barang-barang kami ! Mengapa kami tidak boleh memakinya ? Apakah kita justru diharuskan untuk berterima kasih atas dirampoknya barang-barang kami itu ? Begitukah ?”

“Persetan ! Kami tidak perduli ! Pokoknya kalau kalian tidak meminta maaf atas hinaan kalian kepada Keh-sim Siauw-hiap itu kami akan menyeret kalian kehadapan Keh-sim Siauw-hiap sendiri!”

“Bangsat ! Jangan harap dapat memaksa kami………..!”

Dan pertempuran tiga melawan tujuh orang itu makin menjadi seru dan ramai. Biarpun dikepung oleh tujuh orang bersenjata cambuk, ternyata ketiga pengemis dari Tiat-tung Kai-pang itu tidak mengalami
kesukaran sama sekali. Agaknya mereka tadi memang belum mengeluarkan seluruh kepandaian mereka.

Sementara itu di luar kalangan telah penuh dengan para pengungsi yang ingin menyaksikan perkelahian tersebut. Yang Kun yang berdiri di deret paling depan tampak meremas-remas telapak tangannya dengan perasaan tegang. Pemuda itu benar-benar mengkhawatirkan nasib para piauwsu dari Kim-liong Piauw-kiok tersebut. Bagaimanapun lihainya mereka, ketiga orang pengemis itu
masih berada di atas kepandaian mereka.

Dan kekhawatiran pemuda itu segera terbukti ketika secara tiba-tiba terdengar suara teriakan kesakitan dari piauwsu termuda yang ringan mulut itu. Tubuhnya tampak terhuyung huyung dari arena pertempuran. Lalu jatuh terlentang di atas tanah. Mati ! Perutnya terobek lebar oleh tongkat besi lawannya. Darah mengalir membasahi besi lawannya. Darahnya mengalir membasahi tanah di bawahnya. Yang Kun tersentak ! Tiba-tiba terbayang di benaknya wajah mendiang ayahnya yang jatuh berlumuran darah di atas lantai gedung itu. 

“Jit-te (adik ke 7)…..!” Para piauwsu itu serentak menjerit dengan hati pilu. orang yang tertua diantara mereka bermaksud keluar dari kancah pertempuran untuk menengok adiknya tersebut justru termakan lagi oleh tongkat besi lawannya.

“Aduuuuhh…….!”

Orang itu terkulai dengan dada tertembus tongkat besi ! Tubuhnya terkapar di atas tanah menyusul adiknya. Para penonton mulai bubar ketakutan. Yang Kun yang belum hilang rasa kagetnya itu semakin muak dan pening kepalanya. Kini tidak saja wajah ayahnya yang terbayang bayang di depan matanya …… tapi wajah paman dan ibunya juga turut menggoda di depannya.

“Berhentiii……!” mendadak pemuda itu berteriak sekuatkuatnya. Untung Yang Kun berteriak hanya sekedar untuk menghentikan perkelahian dan juga hanya sekedar untuk menghentikan perkelahian dan juga hanya sekedar untuk menghilangkan bayang-bayang yang menggoda hatinya.Coba, pemuda itu mengerahkan Lion-cu-i-kangnya, mungkin akan terjadi bencana kematian di antara orang-orang yang berada di tempat penampungan pengungsi itu. Meskipun demikian suaranya yang keras itu mengagetkan juga pada semua orang. Termasuk pula orang-orang yang sedang berkelahi.

“Mengapa saudara menghentikan pertarungan kami ?” pengemis dari Tiat-tung Kai-pang itu membentak pula. Pemuda itu melangkah ke depan, menghampiri ketiga orang Tiat-tung Kai-pang itu dengan pelan. Wajahnya tampak pucat menahan geram. Dan semua orang mengikuti langkahnya dengan perasaan tegang pula. Mereka tidak tahu apa yang akan dikerjakan oleh pemuda tinggi kurus itu setelah menghentikan pertarungan para jago-jago silat tersebut.

Pemuda itu berhenti tiga empat langkah di depan orang orang Tiat-tung Kai-pang tersebut. Matanya yang mencorong dingin itu menatap dengan tajam ke tiga orang pengemis yang berdiri congkak di depannya. Beberapa saat lamanya mereka saling beradu pandang untuk mengukur kekuatan masing masing.

Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh orang-orang Kim-liong Piauw-kiok untuk menengok kedua orang saudara mereka yang tergeletak di atas tanah. Sementara di antara para penonton juga telah bertambah dengan dua orang lain, yaitu sepasang gadis cantik berpakaian hitam-hitam. Keduanya tampak memandang dengan penuh perhatian ke tengah-tengah arena.

“Kudengar kalian berdua adalah seorang pengemis yang tergabung dalam Tiat-tung Kai-pang.” Yang Kun mulai berbicara.

“Tidak salah ! Saudara mau apa ? Mau membela kawan kawanmu itu ? Majulah !”

“Kurang ajar…….! Kalau semua pengemis sedemikian kejam dan sombong seperti kalian, betapa akan tidak amannya dunia ini. Sedikit-sedikit suka membunuh orang. Mengemis tidak diberi…. lalu membunuh orang !” Yang Kun menggeram marah.

“Apa pedulimu ? Kalau berani, majulah ! Kalau tidak, lekaslah pergi dari tempat ini. Pergilah menyusu ke dada ibumu…….!”

Hinaan itu benar-benar keterlaluan. Dan tanpa disadari juga menyinggung pada tempat yang rawan di hati Yang Kun. Pemuda itu seperti diingatkan kembali kepada kematian ibunya yang menyedihkan ! Tampak wajah pemuda itu menjadi merah padam. Tulang-tulangnya terdengar gemertak menahan aliran Liong-cu-i-kang yang membanjir melanda seluruh urat-urat darahnya. Dan ketiga orang pengemis itu agaknya juga menyadari akan bahaya itu. Maka sebelum pemuda itu selesai mengerahkan lweekangnya, ketiga orang itu serentak menerjangnya terlebih dahulu.

“Awas serangan……….!”

Tiga buah tongkat besi itu menghantam dengan kekuatan yang dasyat ke arah tubuh Yang Kun. Debu di sekitar pemuda itu bagai tersibak kesegala penjuru saking hebatnya ketiga orang itu mengerahkan tenaganya. Yang Kun merasa kaget juga menyaksikan kehebatan lawan. Tapi kemarahan pemuda itu telah sampai di puncak ubun-ubunnya. Tak seorangpun di dunia ini yang mampu menakut-nakuti dirinya lagi. Seperti gerakan seekor belalang Yang Kun melentingkan tubuhnya ke samping menghindarkan diri.

Bagaimanapun juga ia belum yakin benar akan kekuatan lweekangnya. Selama ini ia hanya mengenal kekuatan lweekang paman dan ayahnya, serta yang paling akhir ini adalah nenek buyutnya. Dan semuanya itu dia anggap sangat hebat pula. Tak seorangpun di antara mereka yang mampu dia kalahkan. Oleh sebab itulah sekarang pemuda tersebut juga masih ragu-ragu akan kemampuan dirinya. Dia masih ragu-ragu untuk membenturkan tenaganya.

“Blaaaaaar………….!”

Tiga buah tongkat besi itu menghantam tanah dengan keras sekali. Untuk beberapa saat lamanya tempat itu menjadi gelap oleh debu yang berhamburan ke mana-mana. Ketiga orang pengemis itu tampak telah bersiap-siap kembali dengan serangannya, sementara Yang Kun masih juga menghindari batu-batu kerikil yang berhamburan ke arah dirinya.

Ketiga orang pengemis itu berpencar ke samping. Mereka bermaksud menyerang lawannya dari tiga jurusan. Dan selagi Yang Kun masih disibukkan oleh debu yang berhamburan ke arahnya, ketiga orang itu kembali menyerang secaraberbareng. Mereka menyerang dengan kekuatan penuh seperti tadi. Seorang menyerang bagian kaki, sedang dua orang lainnya menggempur bagian kepala dan dada ! Tongkat mereka tampak bergetar saking kuatnya mereka menyalurkan tenaga.

Hembusan angin serangan mereka sungguh-sungguh mengagetkan pemuda itu. Tahu-tahu serangan itu telah melanda dirinya. Terutama serangan lawan yang tertuju ke arah kepalanya. Begitu pemuda itu menyadari bahaya yang datang, tongkat itu sudah berada di depan alis matanya.

Padahal serangan lawan yang lain juga telah memburu datang. Tak ada kesempatan lagi bagi Yang Kun untuk mengelak. Serangan tongkat lawan sungguh di luar dugaan cepatnya.

Apa boleh buat, terpaksa pemuda itu memberanikan diri untuk membentur senjata lawan dengan sisi tangannya. Lebih baik menderita patah lengan dari pada harus mati karena kepala pecah, pemuda itu membatin.

Meskipun begitu Yang Kun tetap masih berusaha menghindari benturan langsung. Dengan sedikit menggeliatkan badannya Yang Kun menghantam ke arah tongkat lawan yang datang. Untuk melindungi dirinya sedapat mungkin, pemuda itu mengerahkan seluruh tenaga Liong-cu-ikang kearah lengannya ! Terdengar suara berdesis dari mulutnya, seperti suara ular senduk yang sedang marah !

Dan bersamaan dengan benturan yang terjadi, pemuda itu masih dapat menghindari kedua serangan lawan yang lain.

“Kraaaaak !”

“Aduuuuuuuuh…….!”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT