PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PENYEBAR MAUT Jilid 42

 



KEPALA yang tersembunyi di dalam kerudung itu cepat berpaling kepada Chin Yang Kun. Bola matanya tampak mencorong seakan-akan bisa menembus tirai kerudung tersebut.

"Apa katamu? Kau telah membunuh Hek-mou-sai Wan lt? Huh.......! Jangan mengigau di depanku! Aku tahu dengan pasti siapa Wan It dan siapa...... engkau! Jangankan membunuhnya, menyentuh ujung bajunyapun engkau takkan mampu. Apakah yang kau pergunakan sebagai modal untuk menghadapi dia? Hok-te Ciang-hoat ? Atau Hok-te To-hoat ? Hmh !” Hek-eng-cu mendengus dengan suara di hidung.

Merah telinga Chin Yang Kun. Namun demikian pemuda itu tetap berusaha untuk mengendalikan dirinya. Pemuda itu masih tetap sadar bahwa untuk menghadapi lawan tangguh, ia harus tetap berhati tenang dan dingin. Kemarahan justru akn membuat dirinya lemah dan lengah. Masih terngiang di dalam teIinganya kata-kata paman bungsunya dahulu bahwa ketenangan mutlak diperlukan dalam setiap pertandingan.

Barang siapa bisa berlaku tenang dan selalu dapat mengendalikan dirinya dalam setiap pertandingan pi-bu, boleh dianggap orang itu telah memenangkan separuh dari pertandingan itu sendiri. Ketenangan membuat seorang jago silat menjadi waspada, jernih pikiran dan tidak salah langkah.

Oleh karena itu Chin Yang Kun segera mengambil napas panjang untuk menenangkan hatinya. Setelah itu dengan suara dingin ia menjawab perkataan lawannya, "Engkau sendiri adalah keturunan Chin. Dan sedikit banyak kau tentu mempelajari juga ilmu silat warisan nenek moyang kita itu. Tapi sungguh mengherankan sekali, mengapa kamu tidak menghargainya? Malah tampaknya kau sangat meremehkan sekali ilmu silat itu? Apakah kau.....?”

Dengan sikap kaget Hek-eng-cu melangkah mundur setindak.

"Huh .......Yang Kun ! Kau sudah tahu siapa aku?" lbIis berkerudung itu berseru kaget.

Chin Yang Kun mencoba tersenyum agar lebih memantapkan hatinya.

"Sudab kukatakan tadi bahwa pembantumu yang lihai itu telah kubereskan nyawanya dan sebelum napasnya terhenti, ia sempat bercerita panjang lebar tentang dirimu. Dia juga telah membeberkan apa saja yang telah kauperbuat selama ini demi untuk mencapai cita citamu yang besar itu, termasuk diantaranya pemusnahan keluarga Chin sendiri. Nah........apakah kau sekarang masih meragukan juga semua kata-kataku tadi? Apakah kau masih juga tidak percaya kalau pembantumu itu telah kubunuh ?”

"Huh! Aku tetap belum percaya! Kau cuma ingin membakar kemarahanku saja!" Hek-eng-cu
yang sudah mulai termakan oleh gosokan Chin Yang Kun itu mencoba untuk berlaku tenang.

Tapi Chin Yang Kun yang merasa telah mendapatkan angin itu segera menceritakan semua peristiwa di gubug tadi, sehingga mau tidak mau Hek-eng-cu terpaksa mempercayainya. Apa lagi ketika Chin Yang Kun menyebut nyebut tentang kakek tua pengasuhnya itu, Hek-eng-cu
semakin merasa terpukul hatinya.

"Dan ...... tahukah kau, apa yang kupergunakan untuk membunuh Hek-mou-sai Wan It? Tidak lain adalah ...... Hok-te Ciang-hoat juga!" Chin Yang Kun yang merasa bahwa kata-katanya mulai dapat mempengaruhi perasaan lawannya itu cepat-cepat memberi pukulan lagi dengan kata-katanya yang menyakitkan.

Namun dalam keadaan tertekan itu Hek-eng-cu justru menjadi tenang malah. Karena semua belangnya telah diketahui oleh lawannya, maka iblis itu merasa tak perlu untuk menutup-nutupi lagi. Dengan suara lantang iblis itu lalu menggeram.

"Baiklah ! Aku memang tak ingin menutup-nutupinya lagi. Dengarlah .......! Memang aku yang membasmi keluargamu ! Itu kalau kau mau menganggap bahwa mereka adalah keluargamu juga!”

"Kalau aku mau ? Apa maksudmu......?” Chin Yang Kun mengerutkan keningnya.

“Sudahlah! Kau tak perlu berpura-pura pula. Kau bukan keturunan Chin. Engkau keturunan Liu Pang, musuh keluarga Chin!" Hek-eng-cu membentak dengan suara keras untuk memancing kemarahan Chin Yang Kun.

Namun Chin Yang Kun tetap berusaha dengan keras pula untuk mengendalikan dirinya. Pemuda itu sadar bahwa lawannya secara diam-diam juga sedang berusaha untuk membakar hatinya.

"Baiklah! Kalau memang demikian halnya kau mau apa ? Bagiku, keturunan Chin atau bukan, sama saja! Aku tetap merasa berkewajiban untuk menuntut balas kepadamu ! Dan…..kukira sikapku ini masih tetap jauh lebih mulia serta lebih baik dari pada sikapmu yang berkhianat serta durhaka terhadap keluargamu sendiri itu!”

"Kurang ajar! Kau ini anak kecil tahu apa? Heh........? Apa yang kau maksud dengan "mulia" itu? Dan apa pula yang kauartikan dengan istilah "durhaka" itu......? Bagi seorang besar yang bercita-cita tinggi dan berpandangan luas seperti aku, istilah "mulia" dan "durhaka" itu hanya dikaitkan pada "tujuan hidup" ini saja. Siapapun juga yang mau berjuang demi terlaksananya cita-cita itu, dialah yang disebut mulia. Tapi sebaliknya, siapa saja yang berkhianat terhadap cita-cita itu, dialah yang disebut durhaka ! Dan orang yang bersikap durhaka itu patut untuk dibasmi serta disingkirkan, siapapun juga mereka itu ! Tak perduli mereka itu kawan atau keluarga sendiri........"

“Hmh........ manusia berbudi rendah! Kalau begitu engkau ini tak ada bedanya dengan seekor binatang buas, yang sanggup memangsa kawannya sendiri bila menginginkan sesuatu……” Chin Yang Kun menggeram dengan hebat.  “…..Jadi karena ayah serta pamanku itu kau anggap durhaka maka mereka lalu kaubunuh? Begitu?"

Hek-eng-cu tertawa lirih.

"Benar, anak bodoh! Ketika malam itu kutemui ayah dan pamanmu di rumah pendekar Li, langsung saja kuminta Cap Kerajaan itu kepada mereka, seperti juga aku meminta potongan peta rahasia harta karun kepada Pendekar Li dan kawan-kawannya. Karena ayahmu tidak memberikannya seperti juga Pendekar Li yang tak mau memberikan potongan petanya, maka aku lalu mengamuk. Ayah dan pamanmu dapat kubunuh mati, tapi sebaliknya Pendekar Li dan kawan-kawannya dapat melarikan diri melalui pintu rahasia. Karena kedua buah benda itu tak dapat kuperoleh semua, maka aku lalu menjadi marah dan penasaran. Siapa saja yang kujumpai di dalam rumah itu kubunuh mati semuanya……”

“Manusia keji! Siapa sebenarnya kau ini……? Aku hampir mengenal semua keluarga Chin di kota raja, tapi kenapa aku seperti belum pernah melihatmu? Ayoh, lepaskan kerudungmu itu dan bertanding secara jantan denganku!” Chin Yang Kun menantang.

“Oh……jadi kakek pengasuhmu itu belum sempat memberitahukan siapa sebenarnya aku ini kepadamu, heh? Hah-hah-ha-ha-ha, sungguh malang benar orang tua itu! Dua hari yang lalu aku dan Wan It kemari. Kutemukan orang tua itu di pondok ini bersama gadis berkipas besi itu. Lantas kuperintahkan kepada Wan It untuk menangkap mereka. Mereka berusaha untuk melarikan diri keluar lembah, tapi dengan mudah Wan It mencegat mereka di mulut lembah itu. Akhirnya gadis itu dapat kutangkap sementara kakek tua itu terjatuh ke dalam jurang, hiah-hah-ha-ha...... Hmmm, kusangka kakek berpenyakitan itu sudah mati terbanting di dasar jurang, eh…… tak tahunya masih hidup dan dapat kau temukan. Sungguh ceroboh benar aku ini!"

Chin Yang Kun menatap wajah di balik kerudung itu lekat lekat, tapi kegelapan malam ternyata tidak dapat membantunya untuk mengenali orang itu.

"Kalau begitu kaliankah yang merusakkan pohon cemara tua itu?” Chin Yang Kun bertanya.

Hek-eng-cu memiringkan kepalanya yang tertutup oleh topi dan kerudung itu.

“Eh! Apakah yang kau maksudkan adalah pohon cemara yang tumbang itu? Yah…..kalau itu yang kau maksudkan, memang akulah yang menumbangkannya. Habis, pagi tadi gadis itu bermaksud melarikan diri dan bersembunyi di puncak pohon itu, maka aku terpaksa menumbangkannya…..” orang itu berkata dengan tenang.

“Hmm…..bukan itu yang kumaksudkan! Yang kumaksudkan adalah bekas guci tanah liat yang merusakkan kulit pohon itu……”

Sebenarnya Chin Yung Kun hendak mengatakan......... guci tanah liat yang merusakkan guratan namanya itu tapi karena takut dikatakan terlalu kekanak-kanakan, maka ia lalu batal menyebutkannya. Pemuda itu cuma mengatakan tentang kulit pohon itu saja yang rusak.

"Bekas guci tanah liat? Huh…... siapa yang membawa guci tanah liat ke tempat ini?”
Hekeng-cu malah kaget mendengar perkataan Chin Yang Kun itu. Kepalanya menoleh kesana kemari, seolah-olah ingin memastikan bahwa Chin Yang Kun hanya sendirian datang ke tempat itu.

Sebaliknya Chin Yang Kun juga merasa heran melihat sikap Hek-eng-cu yang aneh itu. Tetapi karena tidak bisa menebak hati lawannya, pemuda itu juga diam saja.

"Guci tanah liat…..guci tanah liat....,” iblis berkerudung itu bergumam terus seperti orang linglung.

"Eh, apakah guci itu berwarna putih kekuningan seperti warna......gading gajah?”

“Ya......! Memangnya ada apa ?” Chin Yang Kun mengangguk dengaa kening berkerut.

"Ah, setan itu lagi-lagi datang membayangiku.......!" Hek-eng-cu menggeram.

"Siapa? Apa yang kau katakan?" Chin Yang Kun yang tidak begitu mendengar ucapan lawannya itu menegaskan.

Tapi Hek-eng-cu diam saja tak menjawab. Iblis berkerudung itu kembali termangu-mangu di tempatnya. Berita tentang guci yang terbuat dari tanah liat itu tampaknya benar-benar sangat
mengganggu ketenangannya. Begitu risaunya hatinya sehingga beberapa kali mulutnya berdesah panjang pendek. Malahan di lain saat tanpa mempedulikan Chin Yang Kun lagi, ia berteriak ke segala penjuru dengan tenaga dalamnya yang dahsyat.

“Penyanyi Sinting........! Hayo, keluarlah kalau kau memang ingin bermain-main denganku ! Jangan selalu bermain kucing-kucingan saja.......!"

"Penyanyi Sinting? Siapakah yang dimaksudkan itu ?" Chin Yang Kun bertanya-tanya di dalam hatinya.

Teriakan Hek-eng-cu itu bergema di dalam Iembag seperti gemuruhnya halilintar yang hendak menyingkirkan kelamnya malam di saat itu. Dan diam-diam Chin Yang Kun bergetar
juga hatinya menyaksikan kedahsyatan ilmu lawannya. Lagi lagi pemuda itu menjadi ragu-ragu akan kemampuannya sendiri.

“Persetan! Aku tidak takut mati!” Chin Yang Kun menggeram di dalam hatinya.

Pemuda itu melangkah ke depan. Tapi sebelum mulutnya membuka suara, tiba-tiba kesunyian malam itu dikuakkan oleh suara nyanyian yang seolah olah juga bergema di seluruh lembah itu. Malahan suara nyanyian itu diiringi pula dengan suara harpa yang melengking-lengking tinggi.

Chin Yang Kun terkejut di dalam hati. Dengan ketajaman serta ketinggian Liong-cu-I-kangnya, ternyata dia tak bisa menemukan sumber atau asal dari suara itu. Suara itu bergema dimana-mana.

Dari pada memegang sampai penuhnya
Lebih baik berhenti pada saatnya.
Menempa untuk mencapai tajamnya
Tidak akan tahan lama, Ruangan penuh dengan emas dan permata
Tak mungkin bisa dijaga, Angkuh karena kemewahan dan kemuliaan.
Dengan sendirinya akan membawa bencana.
Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur
Demikian jalan yang ditempuh Langit!

“Ahh…..kalau tak salah syair ini diambil dari kitab To-tik king bagian ke sembilan. Dan kelihatannya syair ini memang ditujukan kepada Hek-eng-cu,” Chin Yang Kun yang sejak kecil juga diajari menulis dan membaca kesusasteraan lama itu berkata di dalam hatinya.

Dilain pihak Hek-eng-cu tampaknya juga merasakan sindiran itu. Buktinya dengan kemarahan yang meluap-luap tiba-tiba saja tubuhnya melesat bagai kilat ke depan, menuju ke gerumbul perdu di belakang rumah. Kedua belah telapak tangannya yang penuh berisi Pat-hong sin-kang (Tenaga Sakti Delapan Penjuru) itu tampak mendorong ke depan dengan kekuatan penuh!

Tapi hampir bersamaan pula dengan gerakan Hek-eng-cu tersebut, Chin Yang Kun juga melenting pula ke depan dengan tangkasnya, mengejar Hekeng-cu! Lengan kanan pemuda itu
memanjang hampir dua kali lipat panjangnya ke arah punggung iblis berkerudung itu. Dalam kagetnya pemuda itu mengira bahwa Hek-eng-cu hendak melarikan diri.

“Bangsat, jangan lari kau…..!”

Kroooosak…..broooollll !

Srrrt…..! Plaaaak!

Bagaikan dihantam oleh angin puting beliung yang maha dahsyat gerumbul perdu di belakang rumah itu tiba-tiba meledak berhamburan ke sekelilingnya! Tempat yang semula rimbun dan gelap itu mendadak berubah menjadi terang dan lapang. Namun demikian si penyanyi yang dikira bersembunyi di tempat itu ternyata tidak berada di sana. Tempat tersebut kelihatan kosong tidak ada apa-apanya. Sementara itu, seperti tidak pernah terjadi apa apa, suara nyanyian itu terus saja mengalun memenuhi udara di dalam Iembah itu. Suara
petikan harpanyapun juga masih terus melengking-lengking menggelitik hati, seolah-olah mengajak para pendengamya untuk ikut menciptakan kedamaian di atas dunia ini.

Sebaliknya jari-jari tangan Chin Yang Kun yang terulur ke punggung Hek-eng-cu dengan tepat mencengkeram mantel pusaka yang dikenakan oleh iblis berkerudung tersebut. Lalu dengan dilandasi tenaga sakti Liong-cu-l-kangnya yang maha hebat Chin Yang Kun menyendalnya (menariknya) ke belakang kembali.

Entah karena disebabkan oleh kuatnya tarikan Chin Yang Kun, atau entah karena disebabkan oleh kendornya tali pengikat mantel pusaka itu sendiri, tapi yang terang mantel pusaka tahan senjata itu tiba-tiba terlepas dari tubuh Hek-eng-cu. Malah saking kuatnya tarikan itu, menyebabkan tubuh Hek-eng-cu terpelanting dan hampir saja terbanting ke atas tanah.

Dapat dibayangkan betapa marahnya orang berkerudung hitam tersebut. Mata di balik kerudung itu bagaikan menyala di dalam kegelapan. Selanjutnya, seperti seekor harimau kelaparan tubuhnya melesat ke depan, menerkam tubuh Chin Yang Kun ! Dengan ilmu Bu-eng Hwe-tengnya yang sangat termashur itu gerakannya hampir tidak bisa diikuti dengan mata biasa. Tahu-tahu jari-jari tangannya yang penuh dengan tenaga sakti Pat hong sinkang itu telah berada di depan mata Chin Yang Kun.

"Keparattt........! Kembalikan mantel itu kepadaku !" lengkingnya buas. Untunglah sejak semula Chin Yang Kun sudah melipat-gandakan kewaspadaannya ! Apalagi jauh-jauh sebelumnya pemuda itu telah berjaga-jaga terhadap gin-kang Hek-eng-cu yang hebat tiada tara itu. Maka begitu iblis berkerudung itu bergerak, Chin Yang Kun segera menyongsongnya dengan jurus Tiang Bendera Meruntuhkan Panah Lo Biauw, yaitu salah sebuah jurus dari Hok-te To-hoat.

Mantel pusaka yang masih terpegang di dalam tangannya itu ia sabetkan ke arah lawannya. Dan oleh karena gerakan tersebut ditunjang oleh tenaga sakti Liong-cu-i-kang yang maha dahsyat, maka berkelebatnya mantel itu sampai menimbulkan suara mengaung yang sangat keras.

“Dhukk.....srrrt!

Tapi ternyata sekali ini Chin Yang Kun benar-benar terkena batunya. Sebagai seorang keturunan Chin, tentu saja Hek-eng-cu juga mendalami ilmu Hok-te To-hoat pula. Melihat Chin Yang Kun menyerang dengan jurus Tiang Bendera Meruntuhkan Panah Lo Biauw, dengan mudah ia bisa menebak arah dan cara-cara mengatasinya. Kedua tangannya yang terjulur ke depan itu segera ditekuk ke bawah, kemudian ditarik sedikit ke samping, sehingga ayunan mantel pusaka itu otomatis tidak mengenai lengannya. Setelah itu dengan kecepatan luar biasa jari-jarinya mengejar dan menjepit mantel yang baru saja lewat tersebut. Dan sekejap saja ujung mantel itu telah berada di dalam genggamannya.

Chin Yang Kun dan Hek-eng-cu lalu memasang kuda-kuda. Keduanya lantas saling menarik ujungnya. Dan masing-masing segera mengerahkan tenaga saktinya. Hek-eng-cu mengerahkan Pat-hong sin-kangnya, sementara Chin Yang Kun mengerahkan Liong-cu-i-kangnya! Masing-masing merupakan tenaga sakti yang jarang ada bandingannya di dunia persilatan, dan masing-masing juga sudah boleh dikatakan hampir mencapai kesempurnaan dalam mempelajarinya.

Untunglah yang menjadi ajang adu tenaga itu juga bukan benda biasa. Mantel tersebut adalah sebuah mantel pusaka yang kebal segala macam senjata. Oleh karena itu kekuatannyapun juga luar biasa pula. Meskipun kedua ujungnya telah ditarik oleh kekuatan yang maha dahsyat, ternyata mantel itu sedikitpun tidak mengalami kerusakan.

Masing-masing tidak mau mengalah. Perlahan-lahan kedua kaki mereka amblas ke dalam tanah. Uap atau asap tipis tampak mengepul di atas ubun-ubun mereka, suatu tanda bahwa mereka benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan mereka.

Tiga puluh jeruji berpusat pada satu poros,
Pada tempat yang kosong terletak gunanya.
Dari tanah liat terbuat jambangan,
Pada tempat yang kosong terletak gunanya.
Lobang dibobol untuk pintu dan jendela ruangan.
Pada tempat yang kosong terletak gunanya.
Maka, Ia diadakan untuk menjadi pegangan,
Ia dikosongkan supaya berguna.

Dalam keadaan yang sangat menegangkan itu lagi-lagi suara nyanyian itu mengganggu pemusatan pikiran mereka.

Kini si Penyanyi itu melagukan syair yang dipetik dari kitab To-tik-king bagian yang ke sebelas. Suara nyanyian itu terdengar lebih renyah dan mantap seperti suara seorang guru sekolah di depan murid-muridnya. Yang sangat mengherankan, dengan tingkat ilmu kepandaian mereka yang sangat tinggi itu Hek-eng-cu maupun Chin Yang Kun sama sekali tak bisa melepaskan diri dari pengaruh suara nyanyian yang mengalun riang itu. Semakin mereka itu berusaha menutup pikiran dan perasaan mereka, nada dan kata-kata di dalam lagu itu semakin menggelitik hati mereka malah. Apalagi ketika si Penyanyi itu selalu mengulang-ulang lagu tersebut, pemusatan pikiran mereka semakin menjadi runyam dan perhatian mereka semakin menjadi terpecah-pecah pula.

“Bangsat keparat.......!” Hek-eng-cu mengumpat-umpat di dalam hati.

Memang dapat dimaklumi bila iblis berkerudung itu menjadi jengkel dan mendongkol. Pada mula pertama dari adu tenaga dalam memang ia bisa mengimbangi kekuatan Chin Yang Kun.
Tapi beberapa saat kemudian Pat-hong sin-kang yang ia andalkan itu ternyata tak kuasa membendung derasnya arus tenaga sakti Liong-cu-i-kang milik Chin Yang Kun yang dahsyat. Sementara daya tahan Pat-hong sin-kangnya semakin menurun, kekuatan Liong-cu-i-kang lawannya ternyata justru semakin berkembang dan bertambah terus seperti tiada habis-habisnya.

“Gila! Sungguh gilaaaa.......!” lblis berkerudung itu berteriak.

Terpaksa ujung mantel yang dipegangnya itu dilepaskannya lagi ke tangan Chin Yang Kun. Kemudian masih dengan mengumpat-umpat Hek-eng-cu bersiap siaga kembali menghadapi Chin Yang Kun.

Sementara itu suara nyanyian yang sangat mengganggu itupun telah berhenti pula. Dan sebagai gantinya, terdengar suara tertawa terkekeh kekeh yang ditujukan kepada Hek-eng-cu.

“Hi-hi-hi……! Hek-eng-cu, anak malang…..! Tak usah kau bersikeras untuk merebut kembali mantel pusaka itu, karena hal itu akan sia-sia belaka. Telah disebutkan di dalam Buku Rahasia, bahwa kau akan jatuh di tangan keluargamu sendiri hari ini……”

“Buku Rahasia…….Buku Rahasia……..! Kau selalu saja menyebut tentang Buku Rahasia itu! Huh! Siapa kau ini sebenarnya? Ayoh……..keluarlah!” Hek-eng-cu menjerit marah.

Tapi si Penyanyi itu tetap saja tertawa terkekeh-kekeh.

“Kukatakan namakupun kau takkan mengenalnya, hi-hi-hihi……. dan tak seorangpun di dunia ini yang mengenalku, karena aku baru saja keluar dari tempatku bertapa selama seratus tahun, hi-hi-hi-hiii……..!”

“Apa…..? Seratus tahun ?'' tanpa terasa Chin Yang Kun berdesah.

“Hihi…..kalian tak percaya? Akupun dulu juga tak percaya kepadaku sendiri pula. Dan aku mulai bertapa pada umur delapan belas tahun. Kepalaku gundul……oleh karena itu aku memilih tempat bertapa di sebuah gua di tepi Telaga Tai-ouw yang sejuk. Tapi ketika aku selesai dengan tapaku, ternyata aku tak bisa keluar lagi dari gua itu. Mulut gua tempat aku masuk dulu ternyata sudah tertutup oleh akar-akar pohon dan semak-belukar. Malah persis di depan mulut gua itu telah tumbuh pohon pek besar sekali, yang batang pohonnya sepelukan dua orang lelaki dewasa besarnya. Terpaksa aku membuat liang seperti seekor tikus untuk keluar dari gua itu. Kemudian aku sudah kembali lagi ke dunia ramai. Tapi aku menjadi kaget ketika melihat bayanganku sendiri di Telaga Tai-ouw. Mukaku sudah berkeriput, rambutkupun telah putih semua. Paras dan kepalaku yang dulu tampan dan gundul itu kini tak ubahnya seperti seekor anjing berbulu panjang dengan jenggot dan rambut yang melambai-lambai sampai di tanah ini, hi-hi-hiii…….”

“Diaaaam…….!” Sekali lagi Hek-eng-cu menjerit kesal karena tak tahan mendengar suara ketawa yang terkekeh kekeh itu. “Aku tak butuh cerita khayalanmu! Yang kuinginkan adalah…..nyawamu! ayoh…… kau keluarlah! Kita bertanding mengadu kepandaian!”

"Bertanding dengan aku? Hi-hi-hi-hiii..... itu terlalu berat bagimu. Di dalam Buku Rahasia, namamu cuma tercantum di urutan yang ke tujuh pada Daftar Tokoh-tokoh Persilatan Terkemuka dewasa ini. ltupun kau harus bersaing dengan anak muda di depanmu itu, karena pada urutan yang ke tujuh tersebut tercantum tiga buah nama yang memiliki kepandaian setarap, yaitu Toat-beng jin, kau dan pemuda itu!"

“Omong kosong……! Omong kosong dengan Buku Rahasiamu yang menyesatkan itu ! Aku adalah orang yang tak terkalahkan! Dengan ilmu warisan Bit-bo-ong almarhum, kesaktianku tiada yang bisa menandingi lagi…….” Hek-eng-cu berteriak.

"Sudahlah! Kau jangan berteriak-teriak begitu! Apalagi menjerit-jerit menyombongkan diri sebagai orang yang tak terkalahkan di dunia persilatan seperti itu, hi-hi-hiii…….
Apakah kau lupa, bahwa kau selama ini tak pernah menang melawan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai yang selalu kau curangi dan kau tipu itu? Hi-hi-hiiii……padahal pendekar ternama itu baru yang nomer lima di dalam Daftar Tokoh tokoh Persilatan Terkemuka itu.”

“Hong-gi-hiap Souw Thian Hai…..nomer lima?” Chin Yang Kun berdesah di dalam hatinya, seolah-olah tak percaya bahwa pendekar sakti yang ia kagumi kesaktiannya itu Cuma mendapatkan nomer yang kelima.

“Ahh, tampaknya orang ini memang benar-benar hanya omong kosong belaka, biarpun kesaktiannya memang tidak meragukan lagi.”

Sementara itu, begitu diingatkan pada musuh besarnya
, Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Hek-eng- cu semakin menjadi berang dan penasaran.

"Apa? Hong-gi hiap Souw Thian Hai? Kurang ajar........! Ayoh, bawalah dia ke sini! Akan kuhancurkan dia ! Akan kulumatkan tubuhnya !” teriaknya setinggi langit.

Tapi lagi-lagi si Penyanyi itu cuma tertawa terkekeh-kekeh, tanpa mau menampakkan dirinya sedikitpun.

"Sudahlah! Jangan terlalu besar kepala ! Lawanlah dulu pemuda di hadapanmu itu untuk memperebutkan nomer yang ke tujuh. setelah itu baru kau memikirkan untuk menantang tokoh yang duduk pada nomer di atasmu !” si Penyanyi itu memperdengarkan lagi suaranya.

"Persetan dengan urutan nomermu yang tak masuk di akal itu! Tapi....... baiklah, akan kutunjukkan kepadamu sekarang, bahwa……Buku Brengsekmu........ itu........."

"Buku Rahasia.......!" Si Penyanyi itu membetulkan.

"Peduli amat ! Aku bebas menyebutnya apa saja ! Buku Gila, kek! Buku Brengsek, kek ! Pokoknya aku akan menunjukkan bahwa tulisan itu adalah salah dan ngawur! AkuIah sebenarnya orang yang nomer satu di dunia ini! Hmmh........!”

"Baik! Sekarang buktikanlah dulu kata-katamu itu! Kalau kau bisa menyingkirkan pemuda itu, kau boleh bertanding dengan tokoh yang berada diurutan ke enam nanti."

"Siapa yang berada diurutan ke enam menurut Buku Brengsekmu itu, heh?"

"Tokoh yang berada di urutan nomer enam kebetulan juga tidak cuma seorang saja. Ada dua tokoh sakti yang kebetulan mempunyai kepandaian seimbang pada tingkatan itu. Mereka adalah Kam Song Ki atau Kam Lo-jin dan......... Lo-si-ong, muridku sendiri !"

“Lo-si-ong? Siapakah Lo-si-ong itu? Apakah dia itu bekas ketua lm-yang-kauw yang buta matanya karena pi-bu dengan Put-chien-kang Cin-jin dulu itu?" Hek-eng-cu menggeram keheranan.

"Ya, benar. Sekarang orang tua itu telah menjadi muridku.”

"Huh....... jadi menurut Buku Brengsekmu itu dia menjadi tokoh yang ke enam di dunia persilatan saat ini! Di mana dia itu sekarang?"

"Dia....... berada di belakangmu !" Si penyanyi itu menjawab, kemudian tertawa lagi terkekeh-kekeh.

Hek-eng-cu dan Chin Yang Kun cepat membalikkan tubuh mereka. Dan dengan wajah kaget mereka menatap seorang lelaki tua, yang secara tiba-tiba telah berdiri di tengah-tengah pintu rumah, di mana Hek-eng-cu tadi keluar.

Orang tua yang usianya tentu lebih dari tujuhpuluhan tahun itu berdiri menggandeng lengan seorang gadis, yang tidak lain adalah Tiau Li lng. Di atas pundak orang tua itu tergantung sebuah Khim atau harpa yang bertali banyak itu.

"Li lng.....," Chin Yang Kun menegur gadis itu perlahan.

Tapi Tiau Li Ing tidak mempedulikan teguran itu. Seperti orang yang belum pernah saling berkenalan gadis itu malah membuang mukanya ke tempat lain. Tapi sekilas Chin Yang Kun dapat menyaksikan setetes air mata yang meloncat keluar dari mata gadis itu.

"Hmmm .... kenapa dengan Tiau Li Ing itu ?" Chin Yang Kun bertanya-tanya di dalam hatinya.

"Eh....... apakah dia ini .......pemuda yang kau ceritakan itu?" tiba-tiba orang tua itu bertanya kepada Tiau Li Ing.

"Be-benar........ kek !" gadis itu menjawab dengan suara berbisik.

"Kalau begitu, jangan kau hiraukan dia! Sekarang katakan saja kepadaku, di manakah orang
berkerudung itu?"

"Dia....... dia...... ohh! Dia...... berada kira-kira sepuluh langkah di depan kita. Kakek harap berhati-hati terhadap dia. Gin-kangnya hebat sekali !" Tiau Li Ing, menjawab dengan suara sendu.

Lo-si-ong atau orang tua itu tertawa halus. “Jangan khawatir! Dia itu bukan lawanku. Kau mendengar kata-kata guruku tadi bukan? Aku masih berada satu tingkat di atasnya.Dan yang jelas orang berkerudung itu akan bertanding Iebih dahulu dengan Chin Yang Kun, bukan dengan aku."

Sementara itu Hek-eng-cu sudah tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Melihat tawanannya telah dibebaskan oleh Lo-si-ong, iblis berkerudung itu segera mengeluarkan dua bilah pisau panjangnya yang ampuh itu. Meskipun salah satu dari ciri kebesarannya telah berada di tangan Chin Yang Kun, tapi perbawa pisau yang bersinar kebiruan itu masih tetap menggiriskan hati juga. Di dalam keremangan malam pisau itu tampak berkilat-kilat seperti hidup.

Tetapi ketika iblis itu hendak menyerang Lo-si-ong, dengan cepat Chin Yang Kun menghadangnya. Selain khawatir terhadap keselamatan Tiau Li lng, pemuda itu juga takut kehilangan kesempatan bertanding dan membunuh musuh besarnya itu.

Sambil mengenakan mantel rampasannya tadi, Chin Yang Kun bertolak pinggang di depan Hek-eng-cu.

"Pembunuh keji! Jangan kau layani orang tua itu ! Hadapilah aku dulu, baru nanti yang lainlainnya..........!"

"Hmmmh.......! Bocah tak tahu diri! Minggirlah........! Kau bukan lawan yang setimpal buatku. Hok-te To-hoat maupun Hok-te Ciang-hoat yang kau pelajari itu takkan berguna untuk menghadapi aku. Jangan percaya pada Buku Brengsek atau pada ramalan Penyanyi Sinting itu......! Nah....,,, cepatlah kau menyingkir !" Hek-engcu membentak dengan suara nyaring.

Iblis berkerudung itu sengaja mengisi suaranya dengan Pat-hong-sin-kangnya yang mempunyai kekuatan sihir itu, sehingga suaranya menjadi nyaring sekali. Begitu nyaring suara bentakannya itu sehingga suara itu seakan-akan dapat menembus dada Chin Yang Kun
dan bergema atau berkumandang di dalam sudut hatinya.

Untuk sesaat pemuda itu seperti tidak bisa menolak perintah lawannya. Perlahan-lahan kakinya terangkat untuk melangkah pergi dari tempat itu. Tapi sekejap kemudian Liong-cu-i-kangnya yang maha hebat itu segera bergolak untuk menyadarkannya kembali dari pengaruh sihir tersebut.

Kaki yang telah terangkat itu cepat-cepat diturunkannya kembali. Dan ternyata keadaan itu sungguh tepat sekali datangnya. Terlambat sedetik saja, kemungkinan besar nyawa Chin Yang Kun sudah melayang ke alam baka. Karena seperti kebiasaan Hek-eng-cu yang menyerang lawannya selagi mereka terpengaruh oleh kekuatan sihirnya, tiba-tiba saja kedua bilah pisaunya telah berkelebat menyambar leher dan ulu hati Chin Yang Kun !

Untunglah kesadaran itu segera memberi kesempatan bagi Chin Yang Kun untuk menghindari serangan berbahaya tersebut. Sambil menggeser tubuhnya ke samping pemuda itu menghantam ke depan dalam jurus Raja Chin Miu Mematahkan Kim-pai. Kedua sisi tangan pemuda itu menebang pergelangan tangan Hek-eng-cu !

Sekejap Hek-eng-cu kaget juga menyaksikan lawannya bisa melepaskan diri dari pengaruh sihirnya tapi melihat pemuda itu menyerangnya dengan ilmu silat Hok-te Ciang-hoat, diam-diam mulutnya tertawa.

"Bocah ini benar-benar tidak bisa melihat kenyataan. Masakan dia masih juga berani melawan aku dengan ilmu Hok-te Ciang-hoat? Sungguh kasihan benar.......!"

Karena iblis berkerudung itu juga mahir memainkan ilmu silat tersebut, maka dengan gampang serangan itu dapat ia elakkan. Malah untuk selanjutnya iblis itu juga tahu, gerakan apa yang hendak dilakukan oleh Chin Yang Kun.

"Hei ! Siapa mengajari kau melakukan gerakan Panglima Yi Po Mengatur Barisan seperti itu? Kenapa kakimu kau tekuk terlebih dulu, heh?" suatu saat Hek-eng-cu menegur, ketika Chin Yang Kun melakukan jurus Panglima Yi Po Mengatur Barisan yang diajarkan oleh Nenek Buyutnya.

Chin Yang Kun yang merasa serangannya selalu mengenai tempat kosong menggeram penasaran. "Jangan menggurui aku ! Justeru gerakan seperti yang kulakukan itulah yang betul. Kalau kau tak percaya, marilah kita mengadu ilmu silat Hok-te Ciang-hoat kita ...............!"

"Baik!" Hek-eng-cu tertawa mencemooh, lalu menyimpan kembali kedua bilah pisaunya.

Demikianlah, kedua orang she Chin itu segera bertarung dengan ilmu keluarga mereka sendiri, yaitu Hok-te Ciang-hoat. Karena masing-masing sudah hapal dan mendalami ilmu silat tersebut sampai ke dasarnya, maka masing-masing seperti sudah tahu apa yang hendak dilakukan oleh lawan mereka.

Malahan pada suatu saat keduanya mengeluarkan jurus yang sama pula, sehingga benturan-benturan yang sangat keras tidak bisa dielakkan lagi.Lo-si-ong dan Tiau Li Ing menyaksikan pertempuran tersebut dengan hati tegang. Tiau Li Ing yang mengetahui betapa hebatnya kesaktian Hek-eng-cu itu menjadi gelisah sekali terhadap keselamatan Chin Yang Kun. Meskipun gadis itu sedang marah dan kecewa kepada Chin Yang Kun, namun tak dapat dipungkiri hatinya masih terpaut kepada pemuda itu.

Sebaliknya, Lo-si-ong yang buta itu, meskipun tidak dapat melihat langsung pertempuran mereka, tetapi dengan indera tubuhnya yang sudah sangat terlatih, ia bisa menduga-duga apa yang telah terjadi.

"Tenanglah, cucuku.....! Kau tak perlu mengkhawatirkan nasib temanmu itu. Biarpun mereka bertanding dengan ilmu yang sama, tapi aku dapat merasakan perbedaan perbedaannya.”

"Berbeda.........? Apanya yang berbeda, kek? Ilmu silat mereka sama, jurus-jurus yang mereka keluarkanpun sama pula. Kalau toh berbeda....... itu cuma karena Hek-eng-cu Iebih tangkas dan lebih mendalami ilmu tersebut!” Tiau Li lng bertanya dengan kening berkerut.

Lo-si-ong tertawa perlahan, sehingga mulutnya yang ompong tak bergigi lagi itu terbuka dengan jelas.

"Kau keliru, cucuku. Kalau kau katakan bahwa Hek-eng-cu itu lebih cepat dan gesit gerakannya, itu memang benar. Siapapun sudah tahu bahwa Hek-eng-cu mempunyai ginkang yang hebat sekali. Tapi kalau kau katakan bahwa Hek-eng-cu itu lebih dalam ilmunya dari pada Chin Yang Kun..........hmm, kau salah! Yang terjadi justeru sebaliknya malah ! Meskipun mereka melakukan gerakan yang sama, tetapi apa yang dilakukan oleh Chin Yang Kun ternyata lebih baik dan lebih bermutu dari pada Hek-engcu..........”

"Lebih baik dan lebih bermutu? Apanya yang lebih baik? Kulihat mereka sama-sama tangkasnya......" sekali lagi Tiau Li Ing memotong perkataan Lo-si-ong dengan wajah tak mengerti.

Tangan Lo-si-ong terangkat, lalu menepuk-nepuk pundak Tiau Li Ing.

"Li Ing, memang masih sulit bagimu untuk melihat perbedaan-perbedaan itu. Tapi suatu saat kau pun akan bisa juga melihatnya, hanya saja mulai sekarang kau harus belajar lebih giat lagi."

Tiba-tiba wajah Tiau Li Ing menjadi murung sekali.

"Ohh !  Tidak.......! Aku tidak berminat lagi untuk belajar silat......." desahnya seperti berputus asa.

Tapi Lo-si-ong segera menutup mulutnya.

"Ssstt ! Lihatlah......!" orang tua itu berbisik sambil memasang telinganya dengan sungguh-sungguh. "Tampaknya mereka sama-sama mengeluarkan jurus yang sama, sehingga kedua kepalan mereka saIing beradu satu sama lain. Tapi karena gerakan Chin Yang Kun lebih baik dan lebih betul, maka jurus yang dilakukan oleh pemuda itu lebih menampakkan hasilnya dari pada jurus yang dilakukan oleh Hek-eng-cu....... Hei, lihat! Benar bukan perkataanku ? Lihat........ Hek-eng-cu terjatuh kesakitan." orang tua itu berseru gembira.

Tiau Li lng memandang ke arah pertempuran. Gadis itu benar-benar melihat Hek-eng-cu terpelanting karena beradu kepalan dengan Chin Yang Kun ! Namun demikian dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang maha hebat, iblis berkerudung itu cepat-cepat melenting kembali, sehingga tubuhnya tidak jadi menyentuh tanah. Meskipun begitu iblis itu telah merasa malu bukan main.

"Gila.....!" Hek-eng-cu mengumpat. “Darimana kau mempelajari ilmu silat itu ? Mengapa ilmu silat itu sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya?”

Chin Yang Kun tersenyum puas melihat keberhasilannya. Dan di dalam hati pemuda itu semakin percaya kepada nenek buyutnya yang telah tiada.

"Hei ? Siapa bilang ilmu silat Hok-te Ciang-hoatku tadi sudah tidak sesuai lagi dengan aslinya ? Hmmh...... mengapa sebagai seorang ahli kau tidak bisa menilainya ? Dari hasilnya saja setiap orang tentu bisa melihat, bahwa ilmu silatmu itulah yang telah menyimpang dari aslinya." pemuda itu menerangkan, lalu lanjutnya lagi. "Ketahuilah....,! Jurus Menatap Lantai menyembah Raja tadi diciptakan oleh mendiang Raja Chin yang ke tiga, yaitu Raja Chin Luan. Dan jurus itu khusus diciptakan dan dipersiapkan oleh beliau untuk menghadapi Raja Chouw yang menduduki istana kerajaan Chin pada waktu itu. Ketika Baginda Raja Chin Luan diseret ke depan Raja Chouw dan dipaksa untuk berlutut didepan raja penakluk itu, Baginda Raja Chin Luan lalu mengeluarkan jurus Menatap Lantai Menyembah Raja itu. Dengan telapak tangan penuh Iwee-kang Baginda Raja Chin Luan menghantam lutut kiri Raja Chouw sehingga remuk ! Oleh karenanya dalam jurus Menatap Lantai Menyembah Raja ini, tangan kanan kita bergerak dari atas ke bawah seperti layaknya sebuah kaki yang hendak memasang kuda-kuda. Dan karena bergerak seperti kaki, maka tumpuan tenaga kitapun terletak pada bahu, bukan dari pinggang ..... seperti yang kaulakukan tadi."

Pemuda itu menerangkan atau lebih tepatnya membuka rahasia jurus Menatap Lantai Menyembah Raja kepada Hek eng-cu, seperti halnya dulu nenek buyutnya menerangkan hal tersebut kepadanya.

"Selain kau tadi salah dalam menyalurkan tenaga saktimu, gerakan tubuhmu juga masih terlalu tegak dan kurang membungkuk sedikit. Meskipun kepalamu sudah menunduk, tapi matamu masih dapat melihat aku sebagai lawanmu. Sehingga jurusmu tadi lebih tepat disebut Menatap Kaki Menghantam Lutut dari pada Menatap Lantai Menyembah Raja ! Hmm......untunglah aku tadi tidak mengerahkan seluruh Iwee-kangku. Kalau aku tadi mengerahkan seluruh tenagaku, niscaya lenganmu sudah patah......"

Dapat dibayangkan betapa merahnya muka di balik kerudung hitam itu. Namun karena perkataan lawannya itu memang terbukti dan masuk akal, maka iblis yang banyak akalnya itu tak bisa membantah atau menyanggahnya lagi.Dan untuk menutupi perasaan malunya, iblis itu segera mengerahkan tenaga sakti Pat-hong-sin-kangnya. Yang bergejolak di dalam benak iblis itu sekarang hanyalah membunuh mati pemuda yang telah membuatnya malu itu !
Perlahan-lahan tangan yang gemetar itu telah memegang sepasang pisaunya lagi.

"Bocah sombong.......! Kini aku tak bisa mengampunimu lagi ! Kau bersiaplah! Pisauku ini akan mengerat tulang dan dagingmu, sepotong demi sepotong, sehingga darahmu akan terkuras habis dan tak bisa berdiri lagi........"

Asap tipis kehitam-hitaman mengepul di atas kepala Hek eng-cu, suatu tanda bahwa iblis itu benar-benar telah mengerahkan seluruh kesaktiannya. Oleh karena itu Chin Yang Kun juga tidak berani berlaku sembrono Iagi. Pemuda itu tahu bahwa dirinya tak mungkin bisa melawan gin-kang Hek-eng-cu yang tersohor itu. Maka untuk menghadapi keIincahan dan kegesitan iblis itu, Chin Yang Kun segera membentengi tubuhnya dengan Liong-cu-i-kangnya yang maha dahsyat itu pula. Dan untuk membatasi gerak langkah lawannya yang cepat seperti angin itu Chin Yang Kun segera bersiap-siap untuk bertempur dalam jarak jauh.

"Sayang aku tak membawa senjata untuk melawan pisaunya. Hmm, tampaknya hari ini harus benar-benar mengerahkan seluruh kemampuanku." Chin Yang Kun mengeluh di dalam hatinya.

"Hei ! Kenapa kau tidak lekas-lekas mengeluarkan senjatamu ? Jangan salahkan pisauku kaIau kau terluka atau tak bisa menahannya nanti.......!" Hek-eng-cu menggeram dan bersiap-siap menyerang.

"Kau mulailah ! Aku memang tidak pernah membawa senjata.....” Chin Yang Kun menantang seraya membetulkan letak bungkusan pakaian yang terikat di atas pinggangnya.

"Kurang ajar........!" Hek-eng-cu yang semakin merasa terhina itu menjerit dan menyerang dengan buasnya.

Bagaikan kilatan halilintar sepasang pisau itu berkelebat ke arah leher dan ulu hati Chin Yang Kun! Sepintas lalu tangan yang tergenggam itu seperti tidak memegang apa-apa. Itulah sebabnya ilmu silat yang sedang dikeluarkan oleh Hek-eng-cu ini mendapat sebutan Kim-Iiong Sin-kun atau Kepalan Sakti Naga Emas! Dan pada zamannya Bit-bo-ong asli, iImu silat ini hampir tak pernah mendapatkan tandingan.

Melihat lawannya menggerakkan pisau ke arah leher dan ulu hatinya, Chin Yang Kun segera melangkah ke samping dua tindak. Kemudian sambil meliukkan badannya ke depan, pemuda itu menotok ke arah tulang rusuk Hek-eng-cu bagian kiri bawah, yaitu pada jalan darah leng-siu-hiat.

Begitu serangannya gagal dan kemudian malah mendapatkan serangan balik dari lawannya, Hek-eng-cu buru buru menarik sepasang pisaunya. Dengan cepat ujung sepatunya menotol ke tanah, sehingga tubuhnya melesat ke atas seperti burung meninggalkan sarangnya. Ketika tubuhnya berada di atas Chin Yang Kun, iblis berkerudung itu kembali menyerang dengan kedua bilah pisaunya. Kali ini yang diincar adalah ubun-ubun kepala Chin Yang Kun!

"Sungguh lihai.........!" Chin Yang Kun berdesah seraya menarik kembali tangannya, lalu bergeser setengah langkah lagi ke depan, sehingga serangan lawannya itu juga menemui tempat kosong pula.

"Hmmh ....... !" Hek-eng-cu menggeram penasaran, lalu sebelum tubuh meluncur kembali ke
atas tanah kakinya menendang ke arah punggung Chin Yang Kun.

Dengan tangkas Chin Yang Kun memutar badannya pula. Siku tangan pemuda itu dengan cepat menghantam tumit Hek-eng-cu ! Dhuuuk ! Chin Yang Kun terdorong ke samping dan hampir jatuh tertelungkup. Sebaliknya tubuh Hek-eng-cu yang berada di atas itu juga terpelanting dengan kuatnya, sehingga menghantam batang pohon yang-liu (cemara) yang tumbuh di dekat pintu rumah.

Lagi-lagi Iwee-kang Chin Yang Kun menunjukkan keunggulannya bila dibandingkan dengan Iwee-kang Hek-engcu ! Dan hal itu semakin membuat penasaran Hek-eng-cu !

"Anak gila! Awas, kubunuh kau ........! Kubunuh kau.........!" iblis berkerudung itu menjerit-jerit seraya menyerbu Chin Yang Kun kembali dengan ganasnya.

Dan pertempuran selanjutnya sungguh-sungguh dahsyat tidak terkira. Tubuh Hek-eng-cu berkelebat kesana kemari dengan gesitnya seperti burung walet menyambar mangsanya, sementara Chin Yang Kun yang telah membentengi tubuhnya dengan Liong-cu-i-kang itu tampak bergerak lamban namun pertahanannya kelihatan kokoh dan rapat sekali.

Sepuluh jurus. Duapuluh jurus. Dan akhirnya tiga puluh juruspun telah berlalu. Hek-eng-cu benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan dan kesaktiannya. Semua ilmu peninggalan Bit-bo-ong yang dahsyat itu ia keluarkan semuanya, sehingga tubuh iblis berkerudung itu bergerak bagaikan badai angin yang hendak melumatkan tubuh Chin Yang Kun.

Sepasang pisau pusaka di tangan Hek-eng-cu, yang mempunyai perbawa mengerikan karena telah banyak meminum darah manusia itu, tampak berkelebatan memenuhi arena. Pisau itu tampak berkilat-kilat di keremangan malam, memburu serta mengejar Chin Yang Kun kemanapun pemuda itu pergi, seolah-olah pisau tersebut memang bernyawa iblis, yang haus akan kehangatan darah Chin Yang Kun.

Memang sungguh berat lagi Chin Yang Kun sekali ini. Meskipun sudah menguras seluruh kemampuan dan kesaktian yang diperolehnya selama ini, pemuda itu masih tetap saja kewaIahan menghadapi kebuasan ilmu lawannya. Hok-te Ciang-hoat yang tadi sempat membuat malu Hek-eng-cu ternyata menjadi kalang kabut menghadapi kim-liong Sin-kun dan Pat-hong sin-ciang warisan Bit-bo-ong. Untunglah dengan Kim-coa-ih-hoatnya yang aneh pemuda itu dapat sekedar membingungkan lawannya, sehingga dengan demikian dia
bisa bertahan dan mengulur waktu. Apalagi dengan perlindungan Liong-cu-i-kangnya yang dahsyat itu, Chin Yang Kun semakin sulit untuk ditundukkan dalam waktu singkat.

Namun demikian kalau hal itu berlanjut terus tanpa ada pertolongan dari luar, tak pelak lagi Chin Yang Kun benar benar akan mengalami kesulitan yang serius. Benar juga beberapa saat kemudian Chin Yang Kun mulai kebobolan pertahanannya. Untunglah dengan mengenakan mantel pusaka yang dapat direbutnya tadi, pemuda itu dapat terhindar dari goresan pisau yang mengandung racun mematikan itu.

"Kurang ajar ! Gin-kang iblis ini semakin lama semakin memusingkan aku !" pemuda itu mengeluh di dalam hatinya.

Memang tak dapat disangkal lagi. Tanpa memegang senjata yang sekali waktu dapat ia pergunakan sebagai perisai untuk menangkis pisau beracun itu, Chin Yang Kun tak mungkin dapat bertahan terus-menerus. Sekali waktu pisau itu tentu akan terhunjam pula ke dalam tubuhnya.

Sementara itu di tepi arena pertempuran, Tiau Li Ing menjadi gelisah bukan main melihat Chin Yang Kun terdesak terus tanpa bisa membalas. Tanpa terasa saking gelisahnya gadis itu mencengkeram lengan Lo-si-ong yang berdiri di sampingnya.

Meskipun matanya buta, namun orang tua itu tahu juga keadaan Chin Yang Kun yang "repot" itu. Tapi karena bekas ketua lm-yang-kauw itu sangat percaya pada ucapan gurunya, maka hatinya tidak segelisah hati Tiau Li Ing. Orang tua itu tetap yakin bahwa lblis berkerudung itu akan jatuh di tangan Chin Yang Kun. Hanya saja orang tua itu tidak mengetahui cara bagaimana pemuda yang telah terdesak habis-habisan itu akan bisa mengalahkan Iawannya.

Yang sangat mengherankan, meski sudah sedemikian jauh pertempuran antara Hek-eng-cu dan Chin Yang Kun itu berlangsung, namun Si Penyanyi Sinting itu tetap belum menampakkan dirinya juga. Malahan suara nyanyiannya yang sejak tadi selalu mengganggu konsentrasi Hek-eng-cu, kini telah tiada dan tidak terdengar pula. Seolah-olah orang itu memang telah pergi meninggalkan tempat itu.

Langit tampak bersih tanpa awan, sehingga bintangbintang kelihatan jelas bertaburan di angkasa. Mereka berkelap-kelip berdesakan, seolah-olah mereka juga ingin menyaksikan pertempuran seru antara Chin Yang Kun dan Hek-eng-cu tersebut. Sementara itu angin pegunungan yang dingin terasa meniup semakin kencang pula, sehingga udara di dalam Iembah itupun seolah-olah menjadi beku karenanya.

Dan pada saat yang sama, udara dingin juga bertiup di atas Pulau Meng-to yang sunyi.Angin laut yang mengandung air itu bertiup kencang membasahi pepohonan dan bebatuan di atas pulau kecil tersebut, sehingga suasana di atas pulau itu menjadi lembab dan basah.

Maka tidak mengherankan bila semua penghuninya menjadi enggan untuk keluar dari pintu rumah, padahal d Pendapa Utama saat itu banyak berkumpul tamu-tamu yang ingin bertemu dengan majikan pulau mereka, Keh-sim Siau-hiap.

Tamu-tamu yang berdatangan sejak pagi hari itu banyak yang sudah bosan dan mulai tak sabar lagi untuk bertemu dengan Keh-sim Siau-hiap. Meskipun mereka semua dijamu dan diberi tempat istirahat yang baik, tapi semuanya berkeinginan untuk lekas-lekas bertemu dengan Keh-sim Siau-hiap dan mengutarakan maksud kedatangan mereka masing masing.

Kini semuanya berkumpul di tengah-tengah Pendapa Utama yang luas itu. Tapi sejauh ini mereka juga baru ditemui oleh Sepasang Gadis Berbaju Putih dan Sepasang Gadis Berbaju Hitam, pembantu Keh-sim Siau-hiap itu. Beberapa orang tamu yang mulai terpengaruh oleh arak yang disuguhkan kepada mereka, mulai terdengar menggerundel dan mengeluarkan rasa ketidak-senangan mereka. Tapi dengan sabar dan halus gadis-gadis pembantu Keh-sim Siauhiap itu menenangkan hati mereka. Gadis-gadis itu memberi tahu kepada mereka bahwa Keh-sim Siau-hiap memang baru akan keluar pada tengah malam nanti, sebab Keh-sim Siauhiap sekarang sedang menyelesaikan samadhinya.

Untuk mengurangi perasaan kesal serta bosan itu beberapa orang tamu tampak berdiri dari tempat duduk mereka, lalu keluar dari pendapa, menuju ke arah pantai. Mereka berjalan sendiri-sendiri atau dengan teman seperjalanan mereka, tanpa menghiraukan hembusan angin laut yang membasahi tubuh mereka. Dan diantara mereka itu terdapat seorang lelaki muda dan dua orang gadis cantik yang berjalan perlahan-lahan menyusuri tepian pantai.

Diantara suara angin dan debur ombak yang memecah pantai itu terdengar desah suara mereka bertiga dalam nada yang amat kesal dan mendongkol.

"Lagaknya seperti seorang raja saja.....hah ! Tahu begini aku tidak mau berkunjung ke mari." salah seorang dari kedua gadis itu menggerutu seraya menyepak sepotong kayu kecil yang dilemparkan ombak di atas pasir.

"Ah, sudahlah Adik Pek Lian.....! Kau tak perlu menggerutu begitu.....! Kau harus ingat, bahwa pulau ini adalah rumah dan tempat tinggalnya. Tentu saja dia bebas untuk berbuat apa
saja di rumahnya sendiri. Apa lagi dia tak memintamu atau mengundangmu kemari. Kau datang ke pulau ini atas kehendakmu sendiri. Apa salahnya ia menemui kita tengah malam nanti ? Dan...... eh, Adik Pek Lian.......kau jangan Iupa bahwa dia pernah menyelamatkan kita dari keganasan mendiang para iblis Ban-kwi-ti itu !” gadis satunya yang tidak lain adalah Kwa Siok Eng menegur Ho Pek Lian, gadis yang sedang kesal itu.

"Benar, Nona Ho ........ biarlah kita bersabar lagi barang sejenak. Toh waktu yang dijanjikannya itu sudah tidak lama Iagi........." lelaki yang bersama mereka itu ikut membujuk Ho Pek Lian.

“BaikIah.......... ! Baiklah ! Tapi....... aku tetap ingin segera tahu, macam apa sebenarnya pendekar yang disanjung-sanjung orang itu?'' Ho Pek Lian terpaksa mengalah, meskipun mulutnya masih tetap cemberut juga.

"Hei....... bukankah kita dulu pernah melihatnya?" Kwa Siok Eng memotong.

“Ya ! Tapi kita tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Selain sangat gelap, waktu itu dia selalu membelakangi kita.”

“sudahlah.......! Sebentar lagi kita juga akan melihatnya. Yang terang, melihat namanya... dia itu masih muda," Chu Seng Kun, lelaki yang bersama mereka itu, menengahi perdebatan mereka.

"Benar ! Masih muda dan......... sukar diajak bersahabat !" tunangannya menambahkan dengan suara menggoda.

Chu Seng Kun menatap wajah Kwa Siok Eng dengan kening berkerut. Namun demikian mulutnya tetap bersenyum ketika bertanya, "Sukar diajak bersahabat? Mengapa demikian.....?”

Kwa Siok Eng juga tersenyum. "Ko-ko, sebutan atau gelarnya saja Pendekar Patah Hati (Keh-sim Siau-hiap).Nah.......mana ada seorang yang sedang patah hati bisa diajak bersahabat di dunia ini? Ko-ko sudah bisa melihat sendiri sekarang, bagaimana ia selalu menutup dirinya........"

Chu Seng Kun menunduk serta menghela napas dalam dalam.

"Memang. Sejak kedatangan kita di pulau ini akupun sudah berpikir tentang......... dia ! Namanya begitu disanjung dan dikagumi orang karena kemuliaannya. Hartanya banyak, kaya raya, kepandaiannyapun tinggi sekali. Lalu apa yang masih kurang pada dirinya itu ? Mengapa dia masih bisa patah hati? Puteri mana yang telah menolak manusia pilihan seperti dia itu?"

"Ah, Chu twa-ko jangan berpendapat demikian........" Ho Pek Lian cepat-cepat menyahut
perkataan Chu Seng Kun itu.

“Patah hati itu bisa diakibatkan oleh bermacam-macam sebab. Dan salah satu di antaranya memang bisa seperti yang twa-ko katakan itu. Tapi selain hal itu, patah hati dapat juga disebabkan oleh karena hal yang lain. Misalnya .....salah seorang dari mereka meninggal dunia, padahaI keduanya sudah saling mencinta satu sama lain. Atau........ patah hati itu bisa juga terjadi karena adanya rintangan dari pihak luar yang sama sekali tidak dapat mereka atasi, sehingga akhirnya mereka tak bisa mewujudkan cita-cita dan impian mereka itu. Dan hal-hal yang demikian itu bisa mengakibatkan mereka menjadi patah hati pula.......Banyak contoh tentang peristiwa seperti itu di masa lampau. Misalkan pada zaman Dinasti Chou Barat dahulu, seorang pangeran mahkota telah dipaksa untuk melepaskan kekasihnya yang hanya seorang gadis rakyat jelata ketika ia dinobatkan sebagai raja. Akibatnya gadis itu menjadi patah hati dan akhirnya bunuh diri, sementara putera mahkota itu juga patah hati dan tak mau kawin pula selama hidupnya. Dan contoh yang lain tak usah jauh-jauh kita cari.Baginda Kaisar Han yang sekarangpun juga seorang yang menderita patah hati, sehingga beliau memilih tidak kawin pula sampai sekarang......”

Chu Seng Kun dan Kwa Siok Eng saling memandang satu sama lain. Wajab mereka malah kelihatan bingung dan terheran-heran mendengar ucapan Ho Pek Lian yang seolah olah malah membantu atau melindungi Keh-sim Siau-hiap itu.

Padahal gadis itu tadi baru saja marah-marah karena kesal dan dongkol kepada Keh-sim Siau hiap.Dan yang lebih mengherankan Iagi adalah sikap dan cara gadis itu berbicara. Gadis itu berbicara dengan bersemangat dan bersungguh-sungguh, seakan-akan gadis itu sendiri sedang mewakili orang-orang yang patah hati tersebut.

Oleh karena itu sambil tertawa menggoda, Kwa Siok Eng berkata kepada Ho Pek Lian, ''Adik Lian ....... mendengar kata-katamu yang bersemangat tadi hatiku malah menjadi berdebar-debar. Ehh......., jangan-jangan kaupun......... kaupun juga pernah menderita patah hati pula."

Tiba-tiba wajah yang cantik itu menyeringai kecut.

"Ahh, ci-ci....... kau ini ada-ada saja. Patah hati....... sih tidak. Cuma pada suatu saat aku memang pernah merasa kecewa kepada seseorang dan kepada hidupku sendiri, sehingga sampai sekarang akupun belum mempunyai minat untuk mencari teman hidup.......” Ho Pek Lian terpaksa menerangkan dengan suara lirih.

"Kecewa.......? Ah, sungguh tak masuk akal. Siapa yang telah berani mengecewakanmu? Apakah orang itu tidak tahu kalau kau ini murid terkasih dari Baginda Kaisar Han?"

"Ahh, kau ini ..... Apa hubungannya Kaisar Han dengan masalah pribadiku ? Apa lagi waktu itu su-hu belum menjadi kaisar seperti sekarang ini........"

"Oh, jadi peristiwa itu terjadi pada waktu kau dan Kaisar Han masih suka berkelana di dunia kang-ouw dahulu? Hmm........ kalau begitu sudah hampir sepuluhan tahun yang lalu, ya ? Eh, Adik Lian........ kalau aku boleh bertanya…. kalau aku boleh bertanya, siapa sih pemuda yang
Pernah mengecewakanmu itu ?” Kwa Siok Eng yang sudah amat akrab dan sudah seperti saudara sendiri dengan Ho Pek Lian itu berbisik sambil merangkul pundak gadis itu.

Ho Pek Lian menjadi merah pipinya, sementara matanya melirik ke belakang, kearah Chu Seng Kun yang berjalan enam atau tujuh langkah di belakang mereka. Tampaknya pemuda ahli obat itu memang sengaja memperlambat langkahnya begitu mendengar pembicaraan mereka yang mulai bersifat pribadi itu.

"Bagaimana Adik Lian ? Apakah…..apakah aku boleh tahu siapa orang itu?" Kwa Siok Eng mendesak lagi.

"Aaaaah...... !" Ho Pek Lian mengerling dan berdesah panjang, seakan-akan masih merasa enggan atau malu mengatakannya.

"Ayolah........ Adik Lian! Kita toh sudah seperti keluarga sendiri. Apa lagi usia kitapun sudah tidak muda lagi. Kau duapuluh lima dan aku duapuluh enam, yang kalau menurut adat kebiasaan kita sudah dianggap terlambat kawin. Mengapa kau masih merasa malu dan ragu-ragu untuk mengatakannya kepadaku ?"

"Tapi........"

Ho Pek Lian sekali lagi melirik ke belakang. Dilihatnya Chu Seng Kun tertinggal semakin jauh di belakang mereka. Pemuda itu tampak sedang bermain-main dengan air laut yang menjilati kakinya.

"Baiklah, ci-ci Siok Eng ....... Aku akan berbicara. Tapi kuminta kau jangan menceritakannya kepada Chu twa-ko. Maukah kau ?” akhirnya gadis itu mengalah.

Kwa Siok Eng tersenyum lalu menoleh ke arah tunangannya. "Jangan takut ! Kalau kau memang menginginkan demikian, akupun takkan mengatakannya kepada siapapun. Aku berjanji ! Nah....... ayolah !"

Hening sejenak. Kedua orang sahabat itu lalu berjalan menuju ke gardu pemandangan, yang khusus dibangun oleh Keh-sim Siau-hiap dan anak buahnya di tempat itu. Mereka berdua duduk berendeng seperti sepasang kekasih atau seperti dua orang kakak-beradik yang sedang menikmati hamparan ombak di depan mereka. Keduanya tidak mempedulikan lagi pada Chu Seng Kun yang bermain-main dengan air sendirian.

"Ci-ci.....! Sebenarnya aku malu menceriterakan hal ini kepadamu. Tapi karena kau sudah berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapa pun juga, maka aku berani pula berterus-terang kepadamu. Begini…..! Sebenarnya sampai saat ini aku sendiri juga masih bingung terhadap hatiku sendiri. Aku benar-benar tak tahu, siapa sebenarnya Ielaki yang kudambakan itu? Dan aku sendiri juga masih bingung, siapa sebenarnya lelaki yang kupilih diantara mereka itu? Ci-ci....... aku benar-benar bingung bila memikirkan hal itu. Rasa-rasanya aku menjadi asing terhadap diriku sendiri........”

"Heh…..? Adik Lian.......? Kau ini sungguh aneh sekali. Bagaimana bisa sampai begitu? Coba kau terangkan kepadaku ! Aku malah menjadi bingung pula mendengar ceritamu itu....... Eh, apakah… apakah kau mencintai lebih dari seorang lelaki? Ataukah........kau ini dicintai dan dilamar oleh beberapa orang lelaki, sehingga kau malah menjadi bingung dan sulit untuk memilihnya ?" Kwa Siok Eng berbisik dengan suara heran.

“Ahh, ci-ci...... bukan begitu maksudku.” Ho pek Lian mencubit lengan sahabatnya itu dengan cemberut.

"Aku........aku....... ah, bagaimana ya?"

“Wah……..kau ini bagaimana sih?” Kwa Siok Eng pura-pura merasa kesal.

“Sudahlah! Marilah kita pulang kembali saja kalau kau memang tak ingin menceritakannya!”
Kwa Siok Eng pura-pura bangkit dari tempat duduknya, tapi dengan cepat lengannya ditarik kembali oleh Ho Pek Lian.

“Baik! Baiklah…..! Aku akan mengatakannya kepadamu……” gadis itu berkata kepada Kwa Siok Eng.

“Kalau begitu cepatlah bercerita……!” Siok Eng mendesak tak sabar.

Sambil menundukkan mukanya Ho Pek Lian akhirnya bercerita, meskipun suaranya terdengar semakin lirih di telinga Kwa Siok Eng.

“Ci-ci, aku mulai merasa tertarik kepada laki-laki pada usia tujuh belas tahun. Dan perasaan itupun bermula dari rasa kasihan pula, karena pemuda yang kumaksudkan itu menderita penyakit aneh yang sukar disembuhkan. Rasa kasihan itu ternyata berkembang menjadi perasaan tertarik dan perasaan kagum pula ketika aku semakin bisa mendalami watak dan sikapnya yang jantan penuh keperwiraan. Tetapi karena waktu itu usiaku masih terlalu muda dan belum punya pengalarnan sama sekali, maka aku belum menyadari bahwa sebenarnya aku telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Oleh karena itu ketika salag seorang sahabat akrabku juga merasa tertarik kepada pemuda itu, bahkan kemudian malah jatuh cinta pula kepadanya, aku langsung saja menyetujui dan merelakannya. Bahkan aku ikut membantunya malah ! Saya sangat bergembira pemuda itu memperoleh kebahagiaannya.Tapi.......lama-kelamaan justru hatiku sendiri yang akhirnya menjadi sedih. Entah mengapa aku seperti telah kehilangan sesuatu yang tak kumengerti. Hatiku seakan-akan selalu merasa menyesal terus-menerus........”

Ho Pek Lian berhenti untuk mengambil napas. Wajahnya pucat, matanya menerawang jauh ke tengah laut, seolah-olah benar-benar menyesali sikapnya selama ini.

" ......Lalu datanglah pemuda yang kedua mendekatiku. Di dalam segala hal pemuda ini
jauh lebih baik dari pada pemuda yang pertama. Selain masih muda, kaya, tampan dan berkepandaian tinggi, pemuda yang kedua ini juga sangat dihormati orang. Sebab pemuda itu adalah seorang pemimpin persilatan yang mempunyai anggota lebih dari ribuan orang.
Dan pemuda ini juga seorang pejuang serta ksatria pembela kaum lemah pula. Apalagi secara terus terang pemuda itu juga telah menyatakan cinta kasihnya kepadaku.....,” Sekali Iagi Ho Pek Lian menghentikan ceritanya. Matanya yang sayu itu tampak berkaca-kaca ketika bercerita tentang pemuda yang kedua itu, sehingga Kwa Siok Eng sama sekali tak berani mengganggunya. Gadis itu takut kalau-kalau Ho Pek Lian menjadi terganggu konsentrasinya.

"Sebetulnya....... di dalam hati aku telah menerimanya. Memang pemuda seperti itulah yang selalu kucari-cari selama ini. Gagah, tampan, berkedudukan baik, berwatak ksatria pula. Nah...apalagi yang kurang? Tapi........ ci-ci, aku sungguh heran terhadap hatiku sendiri. Kenapa aku tak bisa melupakan pemuda yang pertama itu? Wajahnya yang polos, yang kadang-kadang tampak sangat menderita karena penyakitnya itu sering mengganggu hatiku. Biarpun di sana sudah ada seorang gadis yang mendampinginya, namun hatiku ini rasanya masih tetap juga belum yakin dan belum percaya kepada gadis tersebut. Rasanya hatiku ini seperti hati seorang ibu yang tidak tega melihat bayinya dalam perawatan wanita lain. Dan celakanya, perasaan itu selalu saja mengejar dan menggangguku di manapun aku berada, sehingga lambat-laun hatiku menjadi terpengaruh pula karenanya. Tanpa terasa sikapku terhadap pemuda yang kedua itu menjadi berubah dingin dan acuh tak acuh, padahal aku sama sekali tak bermaksud demikian. Akibatnya pemuda yang telah kupilih dan kucintai sepenuh hati itu menjadi salah sangka terhadapku. Dengan perasaan kecewa dia lantas mengundurkan diri dari sampingku, dan kemudian pergi entah ke mana......... Oh, ci-ci…. bagaimanakah menurut pendapatmu ? Salahkah sikapku itu? Apa yang mesti kuperbuat? Ci-ci, aku benar-benar bingung sekali. Aku benar-benar tak tahu, apa sebenarnya yang kukehendaki selama ini. Sebab sepeninggal pemuda yang kedua itu, hatiku juga menjadi pecah berantakan pula. Kalau semula sikapku terhadap pemuda yang pertama itu seperti sikap seorang ibu yang tidak tega melepaskan bayinya dalam perawatan orang lain, kini sikapku terhadap pemuda yang kedua malah justru lebih parah lagi. Sikapku                           sekarang benar-benar seperti sikap seorang ibu yang telah kehilangan anaknya! Setiap hari hatiku menangis tak henti-hentinya menyesali kepergiannya. Tapi apalah dayaku........ nasi telah menjadi bubur, semuanya telah terjadi dan tak mungkin diulang kembali. Kini tinggallah aku seorang diri, terombang-ambing tak menentu, seperti perahu yang kehilangan arah di tengah lautan."

Gadis itu menghela napas panjang ketika menyelesaikan ceritanya. Matanya yang semula hanya berkaca-kaca, kini benar-benar meneteskan air mata. Wajahnya tampak pucat dan hampa, sungguh berbeda sekali dengan sikapnya sehari hari yang riang dan gembira.

Sekejap Kwa Siok Eng juga termangu-mangu saja di tempatnya. Meskipun gadis itu bisa menebak siapa yang dimaksudkan dalam cerita Ho Pek Lian itu, namun kenyataan yang tak pernah diduganya itu sungguh-sungguh telah mengagetkannya. Hampir tak terlintas sama sekali di dalam hati Kwa Siok Eng bahwa temannya itu akan mengalami hal yang demikian.

"Adik Lian....... sungguh tak kusangka kau akan mengalami persoalan yang rumit seperti itu. Selama ini aku hanya menyangka bahwa kesendirianmu ini memang telah kau sengaja karena engkau belum mendapatkan pasangan yang cocok dengan selera hatimu. Ternyata dugaanku atau bayanganku itu adalah salah sama sekali. Ternyata kau telah menyimpan persoalan yang
demikian peliknya di dalam hatimu. Adik Lian, kita telah lama menjalin persababatan. Oleh karena itu kukira aku telah bisa menebak siapa-siapa yang kau maksudkan dalam ceritamu itu. Hmm........ pemuda yang pertama, yang menimbulkan rasa belas kasihanmu itu tentu Souw Thian Hai, bukan? Dan pemuda yang kedua, yang sebenarnya merupakan pemuda yang sangat mencocoki hatimu itu tentulah saudara Kwee Tiong Li, bukan ? Dan tentu saja gadis yang kau maksudkan itu adalah Enci Chu Bwe Hong. Benar tidak?" dengan sangat hati-hati Kwa Siok Eng menanggapi cerita Ho Pek Lian itu.

Gadis itu mengangguk tanpa menjawab. Kwa Siok Eng merangkul pundak sahabatnya itu.

"Adik Lian....... sungguh malang benar keadaanmu. Seharusnya kau tak perlu mengalami keruwetan itu apabila kau mau meminta pendapat atau petunjuk kepada sahabat-sahabatmu. Persoalanmu itu sebenarnya sangat jelas dan mudah sekali pemecahannya..."

Dengan cepat wajah yang tertunduk itu menengadah, menatap wajah Kwa Siok Eng.

"Ci-ci Siok Eng........?" gadis itu berdesah kaget.

Siok Eng merangkul pinggang Pek Lian. Dengan suaratenang dan halus gadis itu berbisik, "Adik Lian....... jangan terkejut ! Aku tidak bergurau, aku berkata sebenarnya. Kalau hal itu terasa sulit dan ruwet, semua itu karena kau ikut terlibat langsung di dalamnya, sehingga akibatnya kau malah tak bisa melihat persoalan tersebut secara jelas dan terang."

Wajah yang cantik itu semakin tertunduk lesu.

"Ohhh........kalau begitu lekaslah ci-ci katakan pendapatmu itu !”

"Baik........!" Siok Eng berkata seraya bangkit dari tempat duduknya, lalu berdiri bersandar pada dinding gardu tersebut.

"Sebagai orang luar aku justru dapat melihat persoalanmu itu dengan jelas sekali. Oleh sebab itu aku dengan mudah juga bisa mengetahui di mana letak kesalahannya dan bagaimana pula pemecahan serta jalan keluarnya....... Nah, Adik Lian....... marilah kita bahas masalahmu itu perlahan-lahan !”

Bulan tipis yang tadi berada di atas langit sebelah barat, kini sudah hampir tenggelam di balik cakrawala, suatu tanda bahwa hari sudah mendekati tengah malam. Dan dengan sabar serta penuh pengertian Chu Seng Kun masih tetap berada di tepi laut, bermain-main dengan percikan air sendirian.

"Adik Lian ........ Dari dasar atau landasan perasaan tertarikmu kepada kedua orang pemuda itu saja sebenarnya sudah bisa dipergunakan sebagai pedoman, siapa sebenarnya pemuda yang kaupilih. Karena kasihan kau menaruh perhatian kepada Saudara Souw Thian Hai. Dan perhatian itu akhirnya berkembang menjadi rasa kagum melihat kepandaian dan keperwiraannya. Dari hal ini saja sebenarnya sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa kau sesungguhnya tidak mencintai Saudara Souw Thian Hai. Kau cuma merasa kasihan kepadanya dan juga sangat menyayangkan kepandaiannya yang tinggi. Kau sebenarnya tidak mencintainya, karena di dalam hati kecilmu kau sendiri merasa kurang cocok dengan keadaannya. Sebab sebagai seorang puteri pejabat tinggi kau sudah terbiasa berkecimpung dalam dunia kemewahan, kemuliaan dan kehormatan. Kau tidak akan merasa puas dan cocok dengan pemuda biasa seperti Souw Thian Hai itu. Apa lagi dia mempunyai penyakit gila. Itulah sebabnya ketika Enci Chu Bwee Hong jatuh cinta kepada Souw Thian Hai, kau merasa girang luar biasa, sebab kau merasa seperti mendapatkan wakil yang bisa kau percayai untuk merawat pemuda hebat seperti Saudara Souw Thian Hai itu. Sementara itu kau sendiri sudah cocok dengan Saudara Kwee Tiong Li. Sebab selain di dalam segala hal Saudara Kwee Tiong Li itu tidak kalah dengan Saudara Souw Thian Hai, diapun juga datang dari golongan terhormat, kaya dan berpangkat pula. Apa lagi Saudara Kwee Tiong Li tidak gila seperti Saudara Souw Thian Hai. Dan semua penilaianku ini sebenarnya juga sudah tercermin di dalam pendapatmu sendiri. Bukankah Adik Lian sendiri sudah mengibaratkan tentang kepergian mereka itu? Kau mengibaratkan Saudara Souw Thian Hai sebagai bayi yang diasuh oleh wanita lain, sementara kau menganggap kepergian Saudara Kwee Tiong Li sebagai ibu yang kehilangan anaknya. Dari perumpamaanmu itu saja sudah dapat ditarik kesimpulan bahwa kau lebih merasa berat kehilangan Kwee Tiong Li dari pada kehilangan Souw Thian Hai......" dengan panjang lebar Kwa Siok Eng memberi petunjuk kepada Ho Pek Lian.

Bagai terbuka rasanya hati Ho Pek Lian sekarang. Ternyata persoalan tersebut sebenarnya tidaklah sesulit yang ia rasakan. Hanya karena dia sendiri ikut terlibat di dalamnya, maka dirinya seolah-olah menjadi buta dan tak bisa mengurai persoalan tersebut dengan baik.

"Ohh, ci-ci...... lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?" gadis itu bertanya dengan suara sendu.

Kwa Siok Eng menghampiri Ho Pek Lian dan kemudian duduk di samping gadis itu kembali.

Dengan suara tenang namun pasti Siok Eng berkata, "Tentu saja kau harus mencari Saudara Kwee Tiong Li sampai dapat, lalu meminta maaf kepada dia karena kau telah menyakiti hatinya."

"Mencarinya sampai dapat ? Ohhh....... Ci-ci, ba -bagaimana kalau........ kalau ia sudah kawin dengan wanita lain? Delapan tahun bukanlah waktu yang pendek, siapa tahu kalau dia telah melupakan aku ?” Ho Pek Lian berdesah hampir menangis, lalu menubruk ke atas pangkuan Kwa Siok Eng.

Siok Eng menghela napas panjang. Matanya ikut berkaca kaca melihat penderitaan sahabat akrabnya itu.

"Adik Lian........ kau jangan buru-buru berputus asa dahulu. Serahkanlah semuanya ini kepada Thian. Yang penting kau harus berusaha, siapa tahu Thian masih menaruh belas kasihan kepadamu? Namun demikian kalau Thian nanti terpaksa menentukan lain, kaupun juga harus menerimanya dengan hati lapang pula. Anggaplah semua cobaan itu sebagai tebusan atas kesalahan kesalahanmu di masa lalu........"

"Ci-ciii..........!" Ho pek Lian tak dapat menahan tangisnya.

Angin laut bertiup semakin kencang, mengawali pasangnya air laut, tepat pada waktu tengah malam. Begitu kuatnya hembusan angin tersebut sehingga mampu menerbangkan pasir-pasir Iembut ke udara. Sekejap tempat itu menjadi gelap oleh debu-debu pasir tersebut.

Namun demikian Chu Seng Kun tidak menjadi terhalang pandangannya ketika dari arah Pendapa Utama mendatangi dua sosok bayangan ke tempat itu.

"Berhenti ! Siapakah kalian.......?" pemuda ahli obat itu menyapa.

Kedua sosok bayangan itu berhenti beberapa langkah di depan gardu pemandangan, sehingga Chu Seng Kun dengan tergesa-gesa menghampiri mereka.

"Oh, Tuan Chu rupanya.......! Inilah kami yang datang. Kami berdua mau menjemput To-cu (Majikan Pulau) karena waktu yang beliau janjikan telah tiba." kedua sosok bayangan yang tidak lain adaIah kedua gadis pembantu Keh-sim Siau-hiap itu menjawab teguran Chu Seng Kun.

"Ahh....... nona berdua kiranya." Chu Seng Kun bernapas lega, "Hmm, jadi pertemuan itu sudah akan dimulai ? Tapi....... kenapa nona berdua malah datang kemari.......? Apakah nona berdua mau memberi tahu kepada tamu-tamu yang berada di luar pendapa ?"

Kedua gadis pembantu Keh-sim Siau-hiap itu saling memandang satu sama lain. Tiba-tiba mereka menjadi curiga ketika dalam gardu pemandangan itu muncul Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian menghampiri mereka.


“Kami...... kami berdua mau menjemput To-cu kami. Eh, kenapa cu-wi bertiga berada di sini ? Di sini tempat terlarang......," dengan suara gemetar gadis-gadis itu menjawab gemetar.

"Gerrriiit.......!” tiba-tiba terdengar suara daun pintu terbuka di dalam gardu pemandangan itu.

Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian menjadi terkejut setengah mati, sebab mereka tahu bahwa tidak ada pintu di dalam gardu pemandangan tersebut. Bangunan itu cuma bangunan kecil berukuran tiga kali tiga meter, dengan tembok di bagian samping dan belakang saja. Sementara di dalamnya hanya ada tumpukan batu-batu tebal memanjang, di mana di bagian atasnya ditutup papan kayu tebal untuk alas duduk orang orang yang ingin beristirahat di sana.Empat sosok bayangan hitam tiba-tiba berdiri di tengah tengah bangunan itu. Dua orang lelaki dan dua orang wanita.

Dan salah seorang dari ke empat bayangan itu segera melangkah keluar dari dalam gardu pemandangan tersebut, kemudian diikuti pula oleh ketiga sosok bayangan yang lain.
Meskipun udara sangat gelap, namun sinar bintang yang berkelap-kelip di atas langit ternyata mampu juga menerangi raut wajah mereka berempat.

"To-cu....... !" dua orang pembantu Keh-sim Siau-hiap tadi segera berlari menyongsong bayangan yang pertama dan berlutut di hadapannya.

"Hari sudah tepat waktu tengah malam. Para tamu sudah lama menantikan kedatangan To-cu." mereka melapor.

Lelaki yang tak lain adalah Keh-sim Siau-hiap atau pemilik Pulau Meng-to sendiri itu mengangguk.

"Aku sudah siap. Kalian berangkatlah lebih dahulu, nanti aku menyusul bersama-sama sahabat-sahabatku ini !”

Dua orang gadis itu mengerutkan kening mereka.Sebenarnya mereka agak curiga kepada orang-orang yang berada di tempat terlarang itu. Tapi karena majikan mereka telah mengatakan bahwa orang-orang itu adalah sahabatnya, maka keduanya tidak berani berbuat apa-apa lagi. Keduanya lantas pergi meninggalkan tempat itu.

Sementara itu Chu Seng Kun, Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian seolah-olah menjadi patung saking kaget mereka melihat siapa yang keluar dari gardu pemandangan itu. Meskipun tidak begitu jelas, namun mereka semua takkan melupakan wajah-wajah yang telah lama mereka kenal itu.

“Kwee Tiong Li........ koko !” Ho Pek Lian menatap wajah Keh-sim Siau-hiap seakan tak percaya, lalu tiba-tiba saja tubuhnya telah menghambur ke dalam pelukan.

"Saudara Thian Hai......!" Chu Seng Kun menegur Ielaki tinggi besar yang berada dibelakang Keh-sim Siau-hiap.

“Bwee Hong......! Lian Cu......! Kenapa kalian diam saja?”

Kwa Siok Eng berteriak dan segera menghambur memeluk kedua wanita itu pula.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT