PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PENYEBAR MAUT Jilid 41

 



BAGI Kaisar Han atau Liu Pang, Chin Yang Kun bukanlah orang asing lagi. Pemuda itu pernah ditolongnya dari kematian. Pemuda itu sudah dianggapnya sebagai saudara angkat. Dan lebih dari pada itu, Chin Yang Kun telah dianggap sebagai keluarganya sendiri pula. Maka dari itu kenyataan tentang hubungan mereka itu benar-benar sangat mengharukan, sekaligus amat menggembirakan hati Kaisar Han tersebut.

Tetapi Chin Yang Kun agaknya masih belum siap untuk menerima semua kenyataan itu. Hal itu terbukti dengan sikap pemuda itu ketika mendengar perkataan kakeknya dan Kaisar Han.

Pemuda itu tampak tidak percaya dan bersikap menentang. Oleh karena itu setiba mereka di pesanggrahan Ban-lok-si, Kaisar Han berusaha dengan sekuat tenaga untuk meyakinkan kenyataan tersebut kepada Chin Yang Kun.

"Yang Kun, engkau memang benar-benar puteraku. Ibumu sudah berhubungan dengan aku, dan telah hamil dua bulan ketika kawin dengan ayahmu. Kalau engkau kurang percaya, engkau dapat bertanya kepada kakekmu ini…." dengan suara haru Kaisar Han berkata kepada Chin Yang Kun.

“Hal ini....... hal ini........ se-sebenarnya merupakan rahasia pribadi keluarga kita." In Leng Hoan berkata dengan suara gemetar pula. ".........Tapi apa boleh buat, rahasia itu kini terpaksa harus kukatakan juga kepadamu. Keadaan memang sudah berubah, dan aku sungguh berdosa besar kepadamu kalau aku tetap tidak mau membeberkan rahasia ini. Kau sudah dewasa. Kau berhak untuk mengetahui, siapa sebenarnya orang yang menurunkan dirimu .........."

Kakek itu berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu seraya menatap wajah Chin Yang Kun lekat-lekat ia meneruskan perkataannya.

"Cucuku .....! Sebenarnyalah bahwa kau ini bukan putera kandung ayahmu. lbumu telah hamil muda ketika kawin dengan ayahmu. Dan ayahmu yang sebenarnya adalah........seorang petani muda bernama Liu Pang, yang kini telah berkenan duduk di depanmu dan telah menjadi raja junjungan kita semua!"

Tiba-tiba Chin Yang Kun berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak mengawasi Kaisar Han. Bibirnya gemetar dan komat-kamit seakan ada yang hendak dikatakannya, tapi tak bisa. Kelihatannya apa yang telah diutarakan oleh kakeknya itu benar-benar di luar dugaan dan sangat menggoncangkan hatinya.

Memang, selama ini tak seorangpun yang bercerita tentang kenyataan itu kepadanya. Mendiang ibunyapun tidak. Sehingga selama ini dia beranggapan bahwa dirinya memang putera dari ayah ibunya, keluarga bangsawan Chin dari Kota raja.

Dan seingatnya, ia seperti tak pernah mendapatkan perlakuan lain seperti halnya seorang anak tiri di rumahnya. Ayahnya memang sangat keras dan kaku terhadap dirinya. Malah kadang-kadang terasa sangat kejam. Tetapi menurut penilaiannya, memang begitulah watak dan sifat ayahnya. Ia tak pernah merasa diperlakukan lain dengan adik-adiknya.

Kalau toh ia lebih dekat dengan paman-pamannya, itu hanya karena paman-pamannya tersebut lebih ramah serta pandai mengambil hatinya. Apalagi mereka itulah yang selama ini
selalu membimbing dirinya dalam ilmu silat. Membayangkan semuanya itu hati Chin Yang Kun lantas berteriak.

"Tidaaak......! Kalian semua bohong !" akhirnya pemuda itu menjerit.

Semua orang yang berada di dalam kuil itu tersentak kaget. Kaisar Han dengan pandang mata tak percaya, perlahan-lahan bangkit dari kursinya. Para perwira yang duduk di dekat bagindapun juga ikut berdiri pula. Begitu pula dengan para perajurit yang berjaga-jaga di dalam kuil itu. Mereka tampak bersiap siaga dengan senjata masing-masing.

Nenek Chin Yang Kun cepat menubruk serta memeluk cucunya itu, diikuti pula oleh anak-anaknya, atau saudara saudara kandung ibu Chin Yang Kun.

"Cucuku......! Oh, kau jangan berkata demikian. Itu berdosa! Memang benar apa yang telah dikatakan oleh kakekmu tadi. Kau adalah putera Liu..... eh, putera kandung Hong-siang........!” nenek itu berseru dan menangis.

"Benar, Yang Kun. Kau memang putera Hong-siang!" paman Chin Yang Kun ikut menegaskan perkataan ibunya.

"Tidaaaaak.......!” sekali lagi pemuda itu berteriak setinggi langit.

Lalu tanpa diduga oleh siapapun, tiba-tiba Chin Yang Kun berlari ke arah pintu. Disibakkannya para penjaga yang menghalang-halangi jalannya, kemudian tubuhnya melesat
keluar, dan sekejap saja sudah tidak kelihatan bayangannya. Sayup-sayup masih terdengar teriakannya.

"Tidak.......! Tidaaak..........!"

Kejadian itu benar-benar sangat mendadak dan di luar dugaan siapapun juga. Semua orang, termasuk Hong-siang sendiri seolah-olah telah terkena hipnotis, sehingga mereka cuma bisa melihat saja kepergian pemuda itu. Semuanya terdiam bagaikan patung di tempat masing-masing.

Baru beberapa saat kemudian Kaisar Han tersadar dari impian buruk itu. Tapi semuanya telah terlambat. Chin Yang Kun, puteranya yang baru saja ia dapatkan, yang selama ini selalu menjadi teka-teki dalam hidupnya, tak mungkin dapat dikejar lagi. Anak yang berkepandaian sangat tinggi itu telah hilang di dalam kegelapan malam.

"Hong-lui-kun ! Yap Tai-ciangkun ! Kejar dia….!" dalam kebingungannya baginda memberi
perintah kepada jago-jagonya.

"Baik, Hong-siang!” kakak-beradik itu menyahut berbareng, kemudian dengan cepat tubuh mereka berkelebat keluar.

Tetapi karena mereka berdua tidak tahu arah ke mana Chin Yang Kun tadi berlari, maka usaha mereka pun sia-sia. Meskipun dengan gin-kang mereka yang tinggi keduanya menjelajahi hampir seluruh perbukitan di sekitar tempat itu, bayangan Chin Yang Kun tetap tidak dapat mereka ketemukan. Keduanya kembali ke kuil Ban-lok-si dengan tangan hampa.
Tentu saja Kaisar Han menjadi penasaran sekali.

"Yap Tai-ciangkun! Kerahkan seluruh anggauta Sha-cap-mi-wi untuk mencari puteraku tadi sampai ketemu ! Bawalah anak itu menghadapku!" baginda berteriak.

"Baik, Hong-siang........ akan hamba kerjakan!"

Demikianlah, malam itu suasana di dalam kuil itu menjadi sibuk bukan main. Yap Tai-ciangkun memanggil semua anggauta Sha-cap-mi-wi yang kebetulan bertugas mengikuti perjalanan baginda pada malam itu. Dengan singkat panglima muda itu menjelaskan persoalannya dan kemudian memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka itu.

Sementara itu malam semakin larut dan suasana di daerah yang berbukit-bukit itu tampak semakin lengang pula. Hanya desau angin dan suara-suara binatang malam saja yang terdengar. Dan bulan yang pucatpun tampak semakin condong pula ke arah barat. Tapi semuanya itu ternyata tak bisa mendinginkan hati Chin Yang Kun. Pemuda itu masih tetap terus berlari dan berlari, naik turun bukit dan jurang bagaikan orang gila.

Kenyataan yang dihadapi oleh pemuda itu sungguh-sungguh sangat menggoncangkan jiwanya, dan sama sekali tak pernah terlintas dalam hati dan pikirannya.

Oleh karena itu meskipun derajatnya sekarang menjadi lebih tinggi, karena ayahnya yang sekarang adalah seorang kaisar, tapi hati dan perasaan pemuda itu tetap belum bisa menerimanya. Jiwa dan pikiran pemuda itu masih tetap lekat dengan erat kepada ayahnya, apapun yang terjadi. Bayangan ayahnya ketika mau meninggal masih jelas teringat dalam benaknya. Bagaimana sang ayah itu memeluknya, dan bagaimana ayahnya itu memberi pesan-pesan terakhir kepadanya. Apalagi jika teringat akan kebaikan hati pamanpamannya, terutama paman bungsunya.

"Ooooh.……!" pemuda itu berlari terus seraya mengeluh panjang-pendek.

Tanpa terasa malam telah berganti pagi. Seperti orang yang tidak mempunyai rasa lelah, Chin Yang Kun masih tetap juga berlari tanpa tujuan.

Pemuda itu baru berhenti ketika tiba-tiba ia memasuki sebuah lembah subur yang sangat dikenalnya. Lembah itu tidak begitu luas dan terletak di antara gununggunung yang tinggi, sehingga lembah itu sebenarnya hanya merupakan sebuah celah gunung yang agak luas begitu saja.

Tempat itu letaknya sangat terpencil dan sedikit sulit untuk didatangi. Namun demikian Chin Yang Kun ternyata telah sampai di tempat tersebut. Ternyata tanpa disengaja dan hanya karena nalurinya saja pemuda itu sampai di lembah tersebut. Lembah yang selama beberapa tahun menjadi tempat persembunyian keluarganya.

Dalam kepepatan dan kerisauan hatinya ternyata pemuda itu telah berlari ke lembah itu, seperti ayam pulang ke kandang di sore hari. Hal ini bisa saja terjadi karena lembah itu memang tidak begitu jauh letaknya dari daerah perbukitan di mana desa ln-ki-cung dan Hoa-ki-cung berada.

Chin Yang Kun termangu-mangu sejenak ketika lewat di bawah pohon cemara tua, yang tumbuh di mulut lembah itu. Dahulu ketika dia dan keluarganya masih tinggal di situ, setiap hari tentu lewat di bawah pohon tua itu. Begitu seringnya ia lewat di sana, sehingga ia sangat hapal akan lekuk Iiku dan jumlah dahan serta cabang dari pohon cemara tua tersebut.

Dia sendiri malah sering menggurat namanya di tempat itu. Chin Yang Kun melangkah mendekati pohon itu dan mencari guratan namanya di sana. Tetapi matanya terbelalak lebar. Bagian di mana ia pernah mengukir namanya ternyata telah rusak dan hancur seperti bekas dihantam dengan benda keras. Dan bekas kerusakan itu seperti masih baru, paling tidak belum lebih dari dua hari yang lalu. Bekas itu masih tampak mengeluarkan getah.

"Hemm, ada orang yang baru saja datang kemari. Siapakah dia ?" Chin Yang Kun tertegun.

Pemuda itu lalu melangkah lagi, tapi sekejap kemudian berhenti lagi. Matanya nanar melihat ke arah sebuah benda yang tergolek tidak jauh dari pohon itu, yaitu sebuah guci bekas tempat arak, terbuat dari tanah liat. Tetapi bukan guci itu yang mengejutkan Chin Yang Kun, akan tetapi bekas-bekas cuilan kayu cemara yang menempel di bagian pantatnya.

Chin Yang Kun cepat menoleh kembali ke arah pohon yang rusak tadi dan tiba-tiba hatinya tergetar hebat ! Rusaknya atau hancurnya kulit pohon itu terang diakibatkan oleh hantaman pantat guci tersebut. Hanya anehnya, mengapa guci yang terbuat dari tanah liat itu tidak pecah, tapi justru malah kayu cemara yang keras itu yang rusak? Dari kenyataan itu saja dapat diduga bahwa orang yang memegang guci tersebut tentu bukan orang sembarangan.

Chin Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya, siapa tahu orang itu masih berada di lembah itu dan kini sedang mengamati seluruh gerak-geriknya? Dan siapa tahu pula orang tersebut adalah lawannya?

Maka dari itu dengan sangat hati-hati dan teliti, Chin Yang Kun mengedarkan seluruh pandangannya ke seluruh lembah dan tebing-tebing gunung di sekitarnya. Dicarinya kalau kalau ada sesuatu yang mencurigakan di sana.

Tapi tempat itu sepi sekali. Hanya suara kicau burungburung liar saja yang terdengar di telinga Chin Yang Kun.

"Hmm ....... sepi benar! Rasa-rasanya ada sesuatu yang tak beres di tempat ini. Perasaanku seperti........ eh ! Apakah itu?" tiba-tiba pemuda itu berbisik kaget.

Segulung asap tipis tampak mengepul dari sebuah jurang di sebelah kirinya. Tapi ketika pemuda itu berlari mendekati, asap tersebut telah hilang tertiup angin.

"Kelihatannya ada orang di bawah jurang ini. Mungkin orang itu adalah orang yang datang merusak pohon cemara tadi. Ahh…..!”

Hati-hati Chin Yang Kun mencari jalan turun ke bawah jurang itu. Kakinya berloncatan di antara batu-batu besar yang menonjol pada tebing yang curam.

"Gila! Di mana aku harus mencari asal asap tadi?” pemuda itu menggerutu sambil berjalan berkelak-kelok di antara serakan batu-batu besar di dasar jurang itu. "Batu-batu ini demikian rimbunnya, dan bertumpuk-tumpuk seperti kueh bak-pao......."

Kemudian pemuda itu melangkah menelusuri parit kecil yang mengalir di tengah-tengah jurang itu. Tapi beberapa saat kemudian Iangkahnya terhenti lagi. Hidungnya mencium bau kayu terbakar di dekatnya.

Otomatis Chin Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya, siapa tahu dia telah berada di dekat orang yang membuat asap tadi ? Oleh karena itu dengan sigap ia meloncat ke balik semak-semak.

Tetapi betapa terkejutnya pemuda itu ketika kakinya hampir saja menginjak tubuh seseorang yang tergolek di balik semak tersebut. Maka dengan tangkas, sekali lagi pemuda itu meloncat ke samping untuk menghindarinya.

"Ehh...!?" Chin Yang Kun terpekik perlahan sambil mempersiapkan dirinya.

Tapi untuk yang kedua kalinya pemuda itu menjadi terperanjat bukan buatan. Malah kali ini kekagetannya justru ditambah dengan perasaan tidak percaya pula, karena orang yang tergeletak di depannya tersebut adalah..... pelayan tua yang menjadi pengasuhnya sejak kecil dahulu !

“Kakek........!" Chin Yang Kun menjerit seraya mengusap-usap matanya.

"Oohh.......! Tuan...... tuan muda……huk-huk-huk !" dalam kagetnya pelayan tua itu terbatuk-batuk.

"Kek, kau...... kau kenapa ? Apakah penyakit batukmu kumat lagi ?”

Begitu tersadar dari perasaan kagetnya Chin Yang Kun lalu bergegas menubruk pengasuhnya itu. Dibangunkannya orang tua itu, lalu didudukkannya di tempat yang baik dan kemudian dipeluknya erat-erat. Tak terasa air matanya meleleh membasahi pipinya.

"Tuan muda....... oh, tuan muda....... betapa bahagianya hatiku! Tak kusangka tubuhku yang tua dan sudah keropos ini masih bisa bertemu dengan tuan muda, huk hukhuuk....... ah ! Tak sia-sia rasanya penantianku selama ini. Ternyata doaku masih dikabulkan juga. Huk-huk-huk........!" kakek tua itu menangis pula di antara batuknya.

"Kek...... tampaknya penyakitmu kumat lagi. Kau jangan banyak bicara dulu. Hmm, di mana....... di manakah pipa tembakaumu itu? Berikanlah kepadaku ! Biarlah aku racikkan obatmu.........." Chin Yang Kun yang ingat akan kebiasaan pengasuhnya itu segera menanyakan pipa tembakau milik kakek tua itu.

Tapi kakek tua itu segera menggelengkan kepalanya dengan lemah. Beberapa kali bibirnya tampak meringis menahan sakit, seolah-olah ada sesuatu yang sangat menyakitkan di dalam tubuhnya.

"Tuan....... tuan muda, oh...... tidak usah ! Semuanya sudah tidak berguna lagi. Penyakitku sudah,.... sudah........sangat parah........"

"Kakek…..” Chin Yang Kun cepat menyela dengan suara serak. "Kau jangan berputus asa ! Mari kau kugendong ke rumah......!”

"Oh, jangan !" tiba-tiba kakek tua itu berdesah.

“Di.......... di rumah ada.... ada orang yang akan membunuh kita. Orang itu..., orang itu...... ohhh huk huk-huk !"

"Apa…..? Siapa yang berada di rumah kita ?" Chin Yang Kun mendesak dengan suara tinggi.

"Oh, bukan ! Anu.......ah, tidak! Tidak......!” kakek itu tampak ragu-ragu serta menyesal telah mengatakan hal itu.

"Apa, kek ? Ayoh, katakan ! Mengapa kau tiba-tiba tidak mau berbicara? Siapakah yang berada di rumah kita ?”

"Jangan……! Jangan ! Kau tidak boleh bertemu dengan mereka! Kita lebih baik menyingkir dari tempat ini." kakek itu cepat menjawab dengan suara takut dan khawatir.

"Heh ? Mengapa begitu........?" seru Chin Yang Kun penasaran. "Siapa sebenarnya orang ini? Mengapa kakek katakan..... mereka? Ada berapa orang di sana ?"

"Tuan muda...... oh....... pokoknya tuan muda jangan ke sana! Turutilah perkataan hambamu ini ! Sungguh ! Huk-huk....... tuan muda akan merasa kecewa serta sedih luar biasa bila tidak menurut perkataanku ini.......”

Chin Yang Kun semakin tidak mengerti maksud pengasuhnya itu.

“Sudahlah, tuan muda. Marilah kita lekas-lekas pergi dari tempat ini. Siapa tahu mereka pergi ke tempat ini nanti?”

Chin Yang Kun terdiam. Dipandangnya kakek tua yang banyak sekali jasanya terhadap dia itu.

“Baiklah…..!” akhirnya pemuda itu menyerah.

“Kau tentu mempunyai alasan yang kuat, mengapa aku tidak kauperbolehkan menemui mereka. Marilah kakek kugendong keluar dari tempat ini! Tapi…..kakek harus berjanji. Kakek harus menceritakan pengalaman kakek selama ini! Kakek tentu tahu peristiwa yang menimpa ayah serta paman setelah kutinggalkan di tengah hutan malam itu, bukan ?”

Kakek tua itu tampak ragu-ragu Iagi. Tapi agar Chin Yang Kun mau dia bawa keluar dari tempat itu dengan cepat, maka kakek itu lalu mengangguk.

“Baiklah tuan muda......"

Chin Yang Kun tersenyum, lalu mengangkat tubuh kakek itu ke pundaknya. Kemudian dengan hati-hati pemuda itu melangkah mengikuti aliran parit kecil itu. Sampai di luar lembah pemuda itu berlari menerobos hutan, menuju ke utara. Pemuda itu masih ingat pada sebuah gubug kecil di tengah hutan, tempat ia dulu sering beristirahat bila sedang berburu binatang.

"Nah, kek........ untuk sementara kita beristirahat saja dulu di sini. Nanti kalau penyakitmu sudah agak baik, kita melanjutkan lagi perjalanan kita," pemuda itu berkata setelah tiba di dalam gubug tersebut.

"Eh, tuan muda..... Gubug siapa ini? Mengapa aku tak pernah melihatnya selama ini ?”

Chin Yang Kun tersenyum lagi, "Tentu saja kakek tak tahu, karena kakek tidak pernah ikut aku berburu sejak dahulu. Gubug ini aku sendiri yang membuat........"

"Ohh...... huk-huk-hukk!" tiba-tiba kakek itu terbatuk-batuk lagi dengan keras.

Beberapa tetes darah merah tampak membasahi telapak tangan kakek itu.

"Hei, kek...... kau kenapa ?" Chin Yang Kun berseru kaget.

Wajah kakek itu tampak semakin pucat, dan batuknyapun juga semakin menjadi-jadi pula. Chin Yang Kun menjadi gelisah sekali. Apalagi ketika dilihatnya kakek itu mengeluarkan darah yang lebih banyak dari dalam mulutnya.

“Kek, kau…..?” Chin Yang Kun berdesah serak dan hampir menangis melihat penderitaan pengasuhnya itu.

“Tuan muda…..huk…..aku sudah tidak kuat lagi, huk! Sudah dua hari aku bertahan di jurang itu. Huk! Ada orang yang hendak membunuhku…… Ah, tuan muda, kau……kau lekaslah pergi dari tempat ini! Lebih jauh lebih baik…..!”

“Kakek…..! kau jangan mati dulu! Ooooh! Kau belum bercerita tentang kematian ayah dan pamanku…….!”

“Aaaah……tuan muda lebih baik tak usah mengetahui siapa pembunuhnya. Tuan muda malah akan menyesal selama hidup nanti…..” Chin Yang Kun terbelalak memandang pengasuhnya yang hampir sekarat itu.

“Jadi…..jadi kakek tahu siapa pembunuh ayahku? Jadi kakek berada di rumah Pendekar Li pula malam itu?”

"Hamba....... hamba........ Uu-huk huk-huu-huk..........!”

Kakek tua itu kelihatan berat sekali untuk menjawab.

"Kek.....? Mengapa kau diam saja? Mengapa tak kaujawab pertanyaanku? Bu-bukankah kau selalu berada di dalam rombongan itu pula? A-apa yang terjadi di rumah bergenting merah itu?”

Di dalam ketegangan dan kegelisahan hatinya Chin Yang Kun sampai lupa mengguncang badan orang tua itu keras keras, sehingga akibatnya kakek itu lalu terbatuk-batuk semakin hebat dan tak bisa menjawab pertanyaannya malah!

Tetapi pemuda itu tak menyadari perbuatannya tersebut, malah sebaliknya ia menjadi marah dan semakin merasa penasaran melihat kebandelan pengasuhnya itu.

"Mengapa engkau tak mau menjawab juga? Ohhh…... sungguh heran benar aku !" saking jengkelnya pemuda itu berteriak. Apalagi ketika orang tua itu tetap menutup mulutnya juga.

"Kek ! Berbicaralah ! Mengapa kau seperti menyembunyikan sesuatu dan tak mau berterus terang kepadaku ?"

"Tu-tuan muda.,..... uu huk huk-huuuk......maafkan hambamu !” orang tua itu tetap tak mau menjawab.

Chin Yang Kun menggeram dengan hebat sehingga debu debu yang menempel di dalam rumah atau gubuk itu berguguran ke bawah.

"Hmmh, baiklah.......! Tampaknya kau memang tidak menyayangi aku ! Tampaknya kau memang ingin membuat aku mati penasaran....”

"Tuan muda......." kakek itu berdesah sedih sekali. Matanya yang kuyu itu menatap anak asuhannya dengan air mata berlinang-linang. Meskipun demikian mulutnya tetap bungkam seribu bahasa.

Chin Yang Kun lalu bangkit berdiri. “Baiklah, kek.........! Kalau begitu, aku akan kembali ke lembah itu. Kau tadi melarangku menemui orang itu. Sekarang aku menjadi curiga malah. Jangan-jangan merekalah yang membunuh orang tuaku. Dan jangan-jangan orang-orang itulah yang menyebabkan engkau tidak mau berterus terang kepadaku. Nah, biarlah aku ke sana sekarang juga!"

"JANGANNN.......!" tiba-tiba kakek itu menjerit keras sekali, lalu pingsan.

Chin Yang Kun terkejut sekali.

"Kek, kau...?"

Bergegas pemuda itu menolong kakek pengasuhnya. Dibawanya orang tua itu ke dalam bilik dan dibaringkannya di atas pembaringan kayu yang telah tersedia di sana. Kemudian dengan lwee-kangnya yang tinggi pemuda itu berusaha menyadarkan orang tua tersebut.

Akhirnya tak lama kemudian orang tua itu sadar pula kembali. Melihat Chin Yang Kun masih berada di sampingnya, orang tua itu menjadi gembira bukan main. Sinar kelegaan tampak membayang di wajahnya yang pucat pasi.

“Tuan muda……!” kakek tua itu berbisik seraya mencengkeram tangan Chin Yang Kun erat-erat.

Chin Yang Kun menatap wajah kakek pengasuhnya itu dengan mata berlinang.

“Kek, maafkanlah aku……! Aku tak bermaksud menyakitimu. Aku terlalu mementingkan diriku sendiri sehingga aku melupakan penyakitmu.”

“Hu-hu-huuk……tuan muda, kau tak bersalah. Hambamu inilah yang bersalah. Tuan muda tentu telah banyak menderita selama ini. Maka tak seharusnya hambamu ini menyimpan rahasia kematian keluargamu itu. Baiklah, sekarang aku akan menceritakan semuanya. Terserah kepada tuan muda untuk menilainya…….”

Chin Yang Kun memeluk pengasuhnya dengan perasaan lega.

“Terimakasih, kek. Tetapi kaupun tak bersalah juga. Sebagai orang yang dengan penuh kasih sayang mengasuhku sejak kecil, engkau tentu mempunyai alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang baik demi aku jua. Hanya saja di dalam persoalan ini, aku memang meminta dengan sangat kepadamu agar kau berterus terang dan menceritakan saja semuanya kepadaku. Apapun yang terjadi, biarlah semua itu menjadi jelas, sehingga tidak menjadi beban batin di dalam hidupku. Kalau kau tahu, bagaimana penderitaanku selama ini, kau tentu akan memaklumi perasaanku ini.”

Kemudian dengan singkat Chin Yang Kun bercerita tentang riwayat hidupnya, semenjak ditinggalkan ayah bundanya sampai ia bertemu kembali dengan kakek pengasuhnya itu. Di dalam ceritanya itu Chin Yang Kun sengaja menekankan seluruh penderitaan yang diperolehnya selama ini, dalam usahanya mencari tahu siapa pembunuh keluarganya itu.

“Nah, kek……akupun tak tahu, sampai kapan aku bisa bertahan terhadap racun yang mengeram di dalam tubuhku itu. Setiap saat akupun bisa mati karenanya. Dan aku tidak mau mati dalam keadaan penasaran. Oleh karena itu engkau tentu bisa memaklumi semua sikapku kepadamu tadi…..” Chin Yang Kun mengakhiri ceritanya.

Orang tua itu memandang Chin Yang Kun dengan sinar mata sedih. Bagi orang tua tersebut Chin Yang Kun sudah dianggapnya sebagai anak atau cucunya sendiri. Puluhan atau belasan tahun ia memelihara dan mengasuh anak itu seperti anaknya sendiri, sehingga apa yang diutarakan oleh anak itu ia dapat merasakannya pula.

Orang tua itu menghela napas panjang. Untuk beberapa saat lamanya ia masih kelihatan ragu-ragu juga. Tampaknya apa yang hendak ia ceritakan itu masih terasa berat untuk dikeluarkan.
Tapi akhirnya cerita itu keluar juga dari mulutnya.

“Tuan muda…..! tampaknya Thian telah murka kepada keluarga Chin. Dan entah dosa apa yang telah diperbuat oleh nenek moyangmu, tapi yang terang seluruh keluargamu tampaknya memang akan dimusnakan dari muka bumi ini. Sejak kakek bagindamu Kaisar Chin Si wafat, semua anak cucunya saling cakar dan saling bunuh sendiri hanya karena berebut harta dan singasana. Sekarang sisa-sisa dari anak keturunannyapun juga berguguran pula satu persatu oleh sebab yang sama. Dan sebentar lagi satu-satunya keluarga Chin yang masih tertinggal juga akan musnah karena dosa dosa yang telah diperbuatnya sendiri…….”

“Kek…..? apa katamu? Apa yang kaumaksudkan…..?” Chin Yang Kun berseru kaget mendengar perkataan pengasuhnya itu.

Orang tua itu menghela napas panjang lagi dan entah apa sebabnya kakek tua itu seperti mendapatkan kekuatan baru untuk menceritakan pengalamannya. Penyakit batuknya tiba tiba
mereda dan tidak begitu mengganggunya lagi.

“Sudahlah, tuan muda……kelak kau akan mengerti sendiri semua perkataanku itu. Sekarang biarlah aku bercerita tentang kejadian di rumah bergenting merah itu dahulu……”

“Oooooh!” Chin Yang Kun berdesah dan terpaksa berdiam diri pula.

Kakek tua itu lalu mendongakkan kepalanya ke langit-langit kamar, seolah mau mengingat ingat atau mengumpulkan kembali semua ingatannya tentang kejadian di malam yang bersejarah itu.

“Malam itu…..ayahandamu mengajak pamanmu untuk singgah di rumah bergenting merah itu. Sebenarnya waktu itu pamanmu tidak menyetujui maksud ayahandamu itu. Tapi karena ayahandamu tetap memaksanya juga, maka pamanmu terpaksa tidak berani membantahnya. Maka seluruh rombongan, termasuk aku dan Siang-hui-houw, lalu memasuki halaman rumah bergenting merah itu……” orang tua itu berhenti bercerita dan tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Otomatis Chin Yang Kun ikut menjadi tegang pula hatinya.

“Tak terduga di halaman rumah itu kami disambut dengan……senjata dan kepalan oleh tuan rumah!” sekali lagi orang tua itu menghentikan ceritanya. Napasnya mulai memburu dan wajahnya kelihatan semakin tegang pula.

Tampaknya kejadian pada malam itu benar-benar sangat mencekam hatinya.

“Pada gebrakan yang pertama, aku telah terkena senjata nyasar. Aku menggeletak tak berdaya dan dikira telah mati. Tapi dengan demikian aku justru menjadi selamat malah! Dan
dengan menggeletak di tengah-tengah pintu halaman, aku beruntung dapat menyaksikan pertempuran itu dengan jelas. Tampaknya pertempuran itu berlangsung karena salah paham belaka. Dari sumpah serapah mereka selagi bertempur, aku dapat memastikan bahwa kedua belah pihak telah terjadi salah paham. Di malam yang gelap gulita itu pihak tuan rumah telah menyangka kami sebagai musuh yang hendak menyerang rumah mereka, sementara ayah dan pamanmu menganggap mereka sebagai kawanan pembunuh yang selalu mengejar-ngejar keluarga Chin. Sebentar saja korban segera berjatuhan, termasuk pula diantaranya adalah Siang-hui-houw. Kedua harimau pengawal keluarga Chin itu mati terkena pukulan sakti lawannya.”

“Aaaah……!” Chin Yang Kun menjadi tegang sendiri mendengar cerita pengasuhnya itu.

“Selanjutnya tinggal ayah dan pamanmu saja yang melawan keroyokan pihak tuan rumah. Tapi selagi…..selagi pertempuran itu berjalan dengan sengit, tiba-tiba…..tiba tiba…… oooh!” mendadak orang tua itu menghentikan ceritanya dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Tentu saja Chin Yang Kun menjadi kaget sekali.

“Kek…..ada apa? Apa yang telah terjadi?” pemuda itu berteriak seraya mencengkeram lengan pengasuhnya.

Tapi orang tua itu tampak sukar sekali melanjutkan ceritanya. “……tiba-tiba terdengar siulan nyaring. Dan tibatiba…… tiba-tiba…..oh, tiba-tiba pamanmu datang! Ooooh……! Maksudku……maksudku…….”

“Maksud kakek…….seseorang telah datang pula ke tempat itu, begitukah, kek?” Chin Yang Kun membantu pengasuhnya yang tampaknya mulai bingung itu.

“Tidak……tidak! Ehh! Ya…….ya! Ooooh……apa yang mesti kukatakan kepadanya?” mendadak kakek tua itu mengeluh dan tak tahu apa yang harus dia ceritakan selanjutnya.

Tampaknya kakek tua itu telah sampai pada inti ceritanya. Tapi karena inti cerita tersebut sangat mengerikan dan menggoncangkan batinnya, maka kakek itu menjadi terpengaruh dan sulit mengutarakannya. Namun sebaliknya bagi Chin Yang Kun, yang sedikit banyak telah mendengar cerita itu dari mulut Pendekar Li dan Keh-sim Siau-hiap, cerita tentang kedatangan orang yang bersiul nyaring tersebut tidaklah begitu mengagetkannya. Pemuda itu telah tahu bahwa orang yang datang itulah yang telah membantai ayah dan pamannya. Cuma yang masih menjadi pertanyaannya sampai sekarang adalah “siapakah sebenarnya orang itu”?

“Tenanglah, kek! Marilah kau kubantu menyelesaikan cerita itu! Setelah orang yang bersiul nyaring itu datang, dia lalu bertanya kepada tuan rumah tentang sebuah peta yang terlukis pada potongan emas, bukan?”

“Ehh! Tuan muda, kau....kau benar! Dari mana kau tahu?” sekarang kakek tua itulah yang terkejut mendengar perkataan Chin Yang Kun.

“Dan....karena pihak tuan rumah ternyata tidak mau juga memberikan potongan emas itu, maka orang yang baru datang itu lantas mengamuk! Benar tidak, kek.....?”

“Be-benar......! eh, bagaimana tuan muda tahu? Bukankah tuan muda pergi ke tepi sungai Huang-ho pada waktu itu? Apakah tuan muda tidak jadi pergi ke sana dan kembali mengikuti rombongan kami?”

Chin Yang Kun cepat menggelengkan kepalanya, lalu meneruskan ceritanya. Yaitu cerita yang ia dapatkan dari Pendekar Li dan Keh-sim Siau-hiap.

“Sebentar saja pihak tuan rumah telah terdesak oleh amukan orang yang baru datang itu. Untunglah dalam keadaan yang gawat pihak tuan rumah dapat meloloskan diri melalui pintu rahasia. Tentu saja orang yang mengamuk itu marah sekali. Seluruh bagian rumah itu diobrak-abriknya. Setiap orang yang dijumpainya, tidak peduli itu lelaki atau perempuan, orang tua atau anak-anak, semuanya dibunuhnya! Termasuk pula di dalamnya.....ayahku dan
pamanku!” Chin Yang Kun menutup ceritanya dengan suara berapi-api.

Tetapi dengan cepat orang itu menggoyang-goyangkan tangannya di depan Chin Yang Kun.

“Eh, tuan muda......nanti dulu!” selanya dengan sinar mata agak curiga. “Akhir dari peristiwa pada malam itu memang demikian halnya. Darah berceceran, mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Sungguh mengerikan sekali.....! tetapi jalan peristiwanya tidak begitu.....eh, tuan muda! Dari mana kau memperoleh cerita seperti itu?”

“Oh......jadi ceritanya tidak demikian itu? Lalu bagaimanakah.....?” Chin Yang Kun yang ternyata telah salah terka itu bertanya dengan suara cemas dan tegang.

“Ahhh.......ini......ini......oh, apa yang mesti kukatakan?” tiba-tiba orang tua itu kembali ragu-ragu dan berat untuk melanjutkan ceritanya.

Tentu saja Chin Yang Kun yang sudah tidak sabar lagi untuk mendengarkan cerita itu menjadi kelabakan dibuatnya.

“Ayolah, kek.....! mengapa kau menjadi ragu-ragu lagi?”

Sekali lagi orang tua itu memandang anak asuhannya tersebut dengan pandangan sedih. Matanya berlinang-linang, sementara batuknya mulai timbul lagi satu-satu.

“Baiklah, tuan muda.......huk-huk, aku akan bercerita. Tapi kuharapkan tuan muda mempersiapkan diri lebih dahulu secara lahir batin, karena cerita ini sungguh-sungguh akan mengecewakan hatimu. Mungkin kau malah akan merasa menyesal sekali telah mendengar cerita ini dariku.....huk-huk!”

Berdebar hati Chin Yang Kun mendengar ucapan pengasuhnya itu. Berkali-kali kakek tua itu memperingatkan dirinya, dan berulang kali pula orang tua itu kelihatan berat serta ragu-ragu untuk menceritakan jalannya peristiwa berdarah itu. Tampaknya memang ada sesuatu yang aneh atau sesuatu yang akan mengejutkannya dalam cerita kakek pengasuhnya itu.

Diam-diam Chin Yang Kun menjadi ketakutan juga hatinya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, pemuda itu menjadi tenang kembali. Bagaimanapun juga sejak semula ia memang bermaksud membuka tabir rahasia itu. Kalau sekarang telah terbuka kesempatan itu, mengapa ia harus menghindarinya?

“Silakan, kek.....aku sudah siap untuk mendengarkannya,” akhirnya pemuda itu berkata dengan suara dalam.

Untuk beberapa saat orang tua itu masih terbatuk-batuk di tempatnya. Tampaknya dia juga sedang berusaha untuk menenangkan dirinya pula.

“.......Begitu suara siulan nyaring itu berhenti, tiba-tiba di dekatku telah berdiri seorang lelaki gagah mengenakan sebuah topi lebar, yang dibenamkan dalam-dalam sehingga hampir menutupi seluruh mukanya. Dan begitu ia melihat ayah dan pamanmu sedang bertempur di halaman itu dia lantas menurunkan kain cadar hitam yang terikat di pinggir topinya. Sekejap saja wajahnya telah tertutup oleh kerudung hitam.”

Sesungguhnya Chin Yang Kun telah mempersiapkan diri secara lahir batin, tapi meskipun demikian perkataan orang tua itu ternyata masih tetap juga seperti petir yang meledak di pinggir telinganya.

“Lelaki berkerudung hitam.......?” serunya bagai disengat lebah.

“Be-benar.........!” kakek tua itu ikut-ikutan kaget dan menjadi gagap pula karenanya.

“Oooh.........Hek-eng-cu..........Hek-eng-cu! Tak kusangka kaulah biang-keladinya!” pemuda itu menggeram penuh dendam.

“Tuan.......tuan muda, kau......kau sudah mengenal orang itu?”

“Hmm, aku memang belum berkenalan. Tapi aku telah beberapa kali bertemu dengan dia.....”

“Apaaa........? Huk-hukk! Tuan muda telah beberapa kali bertemu dengan dia? Dan......tuan muda tidak dapat mengenalnya?” kakek tua itu terbelalak seperti tidak percaya pada anak asuhannya itu.

“Aku tidak mengenalnya katamu? Hei, memang siapa sebenarnya orang itu......?” Chin Yang Kun bertanya keheranan.

Orang tua itu menelan ludah dan mulutnya yang terbuka itu tampak gemetar.

“Orang itu adalah…….” Akhirnya ia berkata.

Tapi sebelum kata-kata itu selesai ia ucapkan, tiba-tiba pintu bilik itu terbuka dengan paksa dari luar. Dan pada detik yang sama pula, sebilah pisau kecil melesat menembus dada orang tua itu.

Grobyaaag!

“Aduuuuuh…….!” Kakek tua itu berteriak kesakitan, lalu terkulai diam di pembaringannya.
Chin Yang Kun membalikkan badannya dan bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan. Bibirnya berdesis panjang, sementara kedua matanya mencorong ke depan, seakan-akan seperti dua bongkah bara yang menyala dan hendak membakar tubuh seorang lelaki yang secara tiba-tiba telah berdiri di depan pintu bilik gubug tersebut.

“Kau…..kau…….paman Wan It?” tiba-tiba pula pemuda itu berdesah tak percaya melihat siapa orang yang berdiri di depan pintu itu.

“Ya…..akulah yang datang, tuan Yang Kun!”

Bangsat, Chin Yang Kun mengumpat di dalam hati melihat sikap yang menantang dari bekas pengawal keluarganya itu.

Kecurigaan yang telah lama mengeram di dalam hatinya ternyata memang benar-benar terbukti sekarang. Orang bertubuh tinggi besar itu telah membunuh kakek tua itu.

“Hmmh…..tak kusangka kau yang telah bertahun-tahun mengabdi kepada Keluarga Chin ini sekarang telah berbalik memihak musuh.” Chin Yang Kun menggeram dengan hebat.

Lalu,”apa maksudmu membunuh orang tua ini secara licik?”

“Hahaha……sungguh garang sekali! Lagaknya masih juga seperti seorang pangeran……” Hek-mou-sai Wan It tertawa dengan lagak yang sangat meremehkan.

“Diam kau, bangsat pengecut! Sekali lagi kutanya kau, kenapa kaubunuh orang tua sakit-sakitan itu secara licik, hah?” dengan kemarahan yang meluap-luap Chin Yang Kun membentak.

Tawa yang berkumandang di dalam gubug kecil itu seketika berhenti, tapi wajah orang tinggi besar berbulu lebat itu perlahan-lahan berubah merah seperti besi yang membara.

“Anak haram! Jaga mulutmu baik-baik, aku bukan orang upahanmu lagi! Sekali lagi kau membentak aku, kubunuh kau!” orang itu menggeram dengan hebat.

Tapi sebaliknya kata-kata umpatan “anak haram” yang dikeluarkan oleh orang itu benar-benar meledakkan kemarahan Chin Yang Kun. Sekilas pemuda itu teringat akan pernyataan kakek luarnya tentang dirinya tadi malam.

“Kurang ajar……!” Chin Yang Kun menjerit, lalu kedua telapak tangannya bagai kilat mendorong ke depan.

Krrraaaak! Grobyag!

Dinding depan yang terbuat dari kayu itu hancur berkeping keping dilanda pukulan Chin Yang Kun. Untunglah sedari tadi Hek-mou-sai Wan It selalu waspada hingga serangan itu dapat dihindarinya. Meskipun demikian bekas pengawal kepercayaan keluarga Chin itu merasa bergetar juga hatinya menyaksikan kekuatan pemuda itu.

Sebelumnya Hek-mou-sai memang telah diberitahu oleh Hek-eng-cu dan Song-bun-kwi, bahwa kepandaian Chin Yang Kun sekarang tidak boleh dipandang ringan lagi. Pemuda itu pernah beradu tenaga dengan mereka dan pemuda itu ternyata bisa bertahan tanpa mengalami cedera sedikitpun.

Tetapi Hek-mou-sai tidak begitu yakin akan peringatan tersebut, sebab dia sangat mengenal ilmu silat Keluarga Chin. Apalagi ia sering melihat anak itu berlatih silat di tempat pengasingan mereka.

Tapi setelah melihat sendiri akibat dari pukulan pemuda itu, Hek-mou-sai baru percaya, meskipun belum sepenuhnya. Oleh karena itu bekas pengawal yang dulu pernah menjadi pengawal pribadi Kaisar Chin Si itu bermaksud mencoba kemampuan pemuda tersebut. Apalagi kedatangannya di tempat ini memang atas perintah Hek-eng-cu untuk mencari dan melenyapkan kakek tua yang tahu tentang rahasia mereka itu.

“Bagus! Tenagamu sungguh hebat! Marilah kita keluar untuk mencari tempat yang lapang untuk saling mencoba kekuatan kita, hehehe…..! Dan kau akan kuringkus serta kubuat tidak berdaya, untuk kemudian akan kupersembahkan kepada Ong-ya sebagai obat untuk menyembuhkan rasa kecewanya selama ini.” Hek-mou-sai menantang seraya meloncat keluar halaman.

Chin Yang Kun menatap tubuh pelayannya yang terbujur di atas pembaringan itu sebentar. Kemudian sambil berjanji di dalam hati bahwa ia akan membalaskan dendam orang tua itu Chin Yang Kun lantas mengejar Hek-mou-sai Wan It keluar.

Orang tinggi besar itu telah berdiri bertolak pinggang di atas tanah yang lapang di samping gubug tersebut. Sinar matanya kelihatan berseri-seri, menunjukkan keyakinan hatinya.

“Hahaha……ayolah kemari anak muda! Kita mengukur kemampuan di tempat ini. Hmm, sungguh beruntung benar aku bisa mendapatkan engkau di tempat yang tak disangka sangka ini. Alangkah senangnya Ong-ya nanti bila tahu akan hal ini. Berbulan-bulan kami mencarimu, sampai akhirnya kami datang kembali ke lembah itu. Hehehe…dan ternyata engkau kami ketemukan pula disini. Ooooh…….alangkah senangnya!” sebenarnya Chin Yang Kun sudah tidak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Tapi serentak ia mendengar ucapan Hek-mou-sai tentang si Ong-ya atau Hekeng-cu itu, ia segera berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan diri. Ia tadi belum selesai dengan cerita si kakek tua pengasuhnya itu.

Siapa tahu sekarang ia bisa mengorek keterangan dari bekas pengawal keluarganya itu? Lain dari pada itu diapun harus berhati-hati pula, siapa tahu Hek-eng-cu berada disekitar tempat itu juga?

Oleh karena itu sambil menenangkan hatinya Chin Yang Kun berdiri lima langkah di depan musuhnya.

“Hek-mou-sai! Aku benar-benar tidak menyangka pula bahwa kau dapat berbalik pikiran dengan mengabdi kepada musuh keluargaku. Padahal selama ini kami selalu memperlakukan kau dengan baik, malah boleh dikatakan kami telah menganggapmu sebagai keluarga kami sendiri. Hmm….. lalu sejak kapan kau ikut Hek-eng-cu?” orang tinggi besar itu menatap Chin Yang Kun dengan pandang mata kasihan.

“Sejak kapan? Hahaha…ya tentu saja sejak keluargamu mengasingkan diri di lembah ini. Kau tidak menyangkanya, bukan?” ejeknya.

Bukan main kagetnya Chin Yang Kun.

“Jadi…..kau selama ini selalu memata-matai kami sekeluarga? Lalu……lalu apa sebenarnya maksudmu dan maksud Hek-eng-cu itu?” pemuda itu bertanya penasaran.

Hek-mou-sai tersenyum. “Ah……kau jangan berlagak tak tahu. Masakan kau tak mengerti harta kekayaanmu sendiri?”

“Jangan berbelit-belit! Apa maksudmu…..?” Chin Yang Kun menggeram marah.

“Kaulah yang berbelit-belit dan pura-pura tidak tahu! Apalagi yang lebih berharga di dalam keluargamu selain Cap Kerajaan itu, hah? Itulah yang kami cari selama ini……! Nah…..sebelum nyawamu melayang, sekarang katakan saja kepadaku, dimana benda itu kalian sembunyikan?”

“Oooo…….jadi benda itukah yang kau incar selama ini? Hmm, benar-benar tak kusangka. Kalau begitu aku sungguh kagum pada kesabaran dan ketabahanmu selama ini. Demikian hebat pengabdianmu kepada Hek-eng-cu, dan demikian besar keinginanmu untuk mendapatkan benda itu, sehingga kau rela menjadi budak, selama bertahun-tahun di tempatku. Ahhh…….benar-benar tak kusangka! Makanya selama itu kami tak pernah bisa bersembunyi dari kejaran orang-orang yang ingin memiliki benda pusaka tersebut, sebab di dalam rombongan itu sendiri ternyata telah bercokol seekor ular berbisa seperti dirimu……”

“Hahaha…..jangan penasaran!” Hek-mou-sai memotong dengan ketawanya yang menyakitkan hati.

“Aku tidak penasaran. Aku justru kagum kepadamu. Hmm…..jadi ketika kau ditangkap oleh anak buah Hek-eng-cu, kemudian dijebloskan ke dalam penjara di bawah tanah bersama-sama dengan aku dulu itu cuma hasil sandiwaramu saja? Dan dalam keadaan tak berpengharapan seperti itu kau ingin mengorek keterangan dariku? Begitukah…..?”

“Benar……hahaha! Sayang kau tak mau menyebutkannya pada waktu itu. Kau Cuma menyebutkan Goa Harimau saja. Hmh, sekarang coba kau sebutkan, dimanakah Goa Harimau
yang kau maksudkan itu?”

“Nanti dulu! Aku belum selesai dengan pertanyaanku.” Chin Yang Kun memotong pertanyaan Hek-mou-sai. “Aku ingin tahu pula.....imbalan apakah sebenarnya yang kau terima dari Hek-eng-cu, sehingga kau rela menuruti segala perintahnya? Dan yang terakhir.....apa sebabnya kau sampai di tempat ini sehingga kau membunuh kakek tua itu secara licik?”

“Ooh.....kau ingin mengetahui dengan jelas semuanya sebelum engkau mati, begitukah?”

Chin Yang Kun mengumpat di dalam hati, tapi demi untuk menyenangkan hati lawannya dia mengiyakan saja pertanyaan itu.

“Yaa.....kalau aku boleh bertanya,” jawabnya sambil menghela napas.

Betul juga. Hek-mou-sai tampak puas sekali melihat Chin Yang Kun kelihatan lemas dan tak berdaya seperti itu. Maka dengan senyum yang mengembang di wajahnya bekas pengawal keluarga Chin itu bercerita.

“Dengarlah.....! Ong-ya yang bergelar Hek-eng-cu itu sebenarnya adalah seorang Pangeran Chin. Dan sebagai keturunan Raja Chin beliau bermaksud untuk mengembalikan lagi kekuasaan Dinasti Chin di Tiong-kok ini, maka untuk mewujudkan.....”

“Nanti dulu.....! kalau dia memang keturunan Raja Chin dan bercita-cita untuk mendirikan kembali Kerajaan Chin, mengapa dia malah membinasakan ayah serta pamanku?” Chin Yang
Kun memotong.

Hek-mou-sai mengerutkan alisnya. Jawabannya kaku, “Karena....ayah dan pamanmu merupakan penghalang besar bagi seluruh cita-citanya itu. Selain dari pada itu, ayah serta pamanmu dianggap terlalu lemah dan penakut untuk dijadikan sekutu dalam melaksanakan rencana besar ini. Oleh karena itu daripada mereka menjadi dari penghalang di kemudian hari, maka lebih baik mereka dimusnahkan saja......!”

“Hmmh !” Chin Yang Kun menggeram di dalam hati.

Lagi-lagi Hek-mou-sai tersenyum melihat kegeraman lawannya. Lalu dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya orang itu meneruskan ceritanya.

“Dan......untuk mewujudkan cita-citanya itu, Ong-ya lalu mengajak aku dan beberapa orang kawan untuk menghimpun sebuah kekuatan besar di antara rakyat. Mereka akan dipersiapkan sebagai laskar yang nanti akan dipergunakan untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Han.....”

Hek-mou-sai menghentikan ceritanya sebentar untuk melihat tanggapan Chin Yang Kun mengenai peranannya di dalam rencana besar tersebut. Tapi karena pemuda itu hanya berdiam diri saja, maka Hekmou-sai lalu meneruskan kembali ceritanya. Cuma sekarang nada suaranya tak selantang dan segembira tadi.

“Sebenarnya maksud Ong-ya itu telah mendapatkan sambutan yang meriah di kalangan rakyat. Buktinya dalam setahun saja kekuatan yang diperoleh telah mencapai puluhan ribu orang. Itu belum yang diperoleh di dalam kalangan perajurit Kaisar Han sendiri. Tetapi sayang.....” tiba-tiba ucapan Hek-mou-sai semakin merendah.

“Tetapi sayang kekuatan yang belum terbina dengan baik itu buru-buru tercium oleh kaki tangan Kaisar Han sehingga Kaisar Han segera mengerahkan bala tentara untuk menumpasnya. Dan kini....kekuatan itu telah tercerai-berai kembali. Meskipun tidak hancur seluruhnya, tapi untuk menghimpunnya lagi dibutuhkan waktu yang lama.”

Sekali lagi Hek-mou-sai menghentikan ceritanya. Matanya menerawang jauh ke depan. Namun demikian dari sikap dan raut wajahnya dapat dibaca bahwa ia masih mempunyai keyakinan untuk memperbaikinya lagi.

“Hmmh! Menurut Ong-ya kegagalan tersebut disebabkan oleh karena beliau dan kami semua telah mengabaikan atau melupakan syarat utama dari perjuangan itu sendiri. Telah disabdakan oleh para cerdik-pandai dan para bijaksanawan zaman dulu melalui nenek-moyang kita, bahwa siapa saja akan bisa menduduki takhta apabila ia dapat menyimpan dan
memiliki benda pusaka yang berwujud Cap Kerajaan.....! dan ternyata sampai sekarang Ong-ya belum juga memiliki benda pusaka tersebut. Itulah sebabnya perjuangan besar gagal di tengah jalan.”

Hek-mou-sai mengambil napas, seolah-olah menyesali kegagalan itu. Tetapi sesaat kemudian matanya telah berapi-api kembali.

“Tapi untuk selanjutnya kegagalan itu tak boleh terulang kembali ! Oleh karena itu, sebelum langkah untuk menghimpun kembali kekuatan yang tercerai-berai itu dilaksanakan, Ong-ya telah menetapkan untuk mencari benda pusaka itu terlebih dahulu! Nah.....itulah sebabnya aku dan Ong-ya berada di lembah ini! Kami ingin mencarinya lagi yang lebih teliti.....”

“Dan.......kalian secara tidak terduga menjumpai kakek tua itu disini, begitu, bukan? Lalu kalian beranggapan pula bahwa kakek itu tentu menyimpan benda pusaka itu, atau setidak-tidaknya tentu mengetahui di mana benda tersebut disimpan, sehingga kalian lalu menyiksanya agar mau mengaku serta menunjukkan tempatnya.....”

“Benar! Tapi orang tua itu ternyata membandel. Selain tidak mau mengakui bahwa dia menyimpan benda itu, dia malahan berani menasehati Ong-ya secara panjang lebar. Ternyata selain telah mengenali penyamaran Ong-ya, orang tua itu juga sudah tahu tentang sepak-terjang Ong-ya selama ini, termasuk diantaranya adalah pembasmian keluarga Chin itu.”

Mendengar penjelasan Hek-mou-sai itu Chin Yang Kun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tahulah sudah pemuda itu sekarang, siapa sebenarnya pembunuh ayah dan pamannya, serta latar belakang apa yang menyebabkannya. Semua itu ternyata adalah tanggung jawab Hek-eng-cu!

“Jadi......jadi.....Hek-eng-cu juga yang membunuh Paman Bungsuku?” dengan hati berdebar Chin Yang Kun menegaskan.

Hek-mou-sai tertawa terbahak-bahak. Matanya sampai berair ketika memandang kepada Chin Yang Kun.

“Tentu saja, anak bodoh! Siapa lagi yang dapat membunuh atau menyingkirkan paman bungsumu itu selain Hek-eng-cu di dunia ini? Hahaha......”

Sekarang Chin Yang Kun benar-benar sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi.

“Bangsat! Sekarang pertanyaanku yang terakhir......siapakah sebenarnya Hek-eng-cu itu? Apakah dia itu Putera Mahkota Kaisar Chin Si yang kini bersembunyi di Pegunungan Kun Lun bersama Yap Cu Kiat dan Siang-houw Nio-nio itu?”

“Hahaha.....jangan merengek-rengek seperti itu! Tidak ada gunanya! Aku tidak akan menjawabnya, hahahah.....!”

“Kurang ajar......! kubunuh kau pengkhianat!” Chin Yang Kun berteriak, lalu menyerang dengan kepalannya.

Hek-mou-sai cepat mengelak, “Hahaha, anak muda.....! jangan salahkan aku kalau nyawamu nanti melayang ke alam baka. Meskipun kau telah menyempurnakan ilmu silatmu, tapi kau tetap bukan lawanku. Aku mengenal ilmu silat keluarga Chin seperti mengenal ilmu silatku sendiri, hahaha......! ayoh, kerahkan seluruh kemampuanmu.....!”

Sambil mengeluarkan kata-kata ejekan Hek-mou-sai meluncur ke samping kiri Chin Yang Kun dalam jurus Menyangga Pedati Dengan Kaki Tunggal. Kaki kanannya yang besar dan kuat itu mengait setengah lingkaran ke belakang, sehingga tumitnya menghantam ke arah pusar Chin Yang Kun!

Begitu manis dan cepat gerakan itu dilakukan oleh Hekmou-sai, sehingga Chin Yang Kun tak mempunyai banyak waktu untuk berpikir lagi. Tahu-tahu  kaki itu telah nyelonong begitu saja di depan perut Chin Yang Kun. Apalagi sejak semula pemuda itu memang telah salah duga dengan gerakan lawannya tersebut. Pemuda itu mengira bahwa Hek-mou-sai mau menerobos ke belakang tubuhnya, untuk kemudian hendak menyerang ke arah punggungnya!

Dalam keadaan terpepet, tiada jalan lain lagi bagi Chin Yang Kun selain menghantam tumit itu dengan siku tangannya! Sementara untuk menghindari serbuan atau serangan beruntun dari lawannya itu. Chin Yang Kun menjejakkan kakinya ke tanah, sehingga tubuhnya segera
melenting tinggi melampaui kepala Hek-mou-sai !

Dan begitu terlepas dari desakan lawannya, Chin Yang Kun ganti menyerang dengan Jurus Liong-ong-sao-te (Raja Naga Menyapu Tanah) ke kaki Hek-mou-sai, yang masih berdiri dengan satu kaki itu. Sayang karena terlalu tergesa-gesa, serangan itu terlalu tinggi sehingga dengan mudah Hek-mou sai dapat mengelakkannya pula.

Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka telah bertempur dengan sengitnya. Masing-masing berusaha mengungguli lawannya. Chin Yang Kun mengeluarkan ilmu silat Hok-te-ciang-hoatnya, sementara Hek-mou-sai mengeluarkan ilmu silat perguruannya pula. Kedua-duanya sama-sama bergerak dengan lincah dan gesit, bagaikan dua buah bayang-bayang hitam yang sukar dipisahkan. Mereka berkelebatan kesana kemari mengitari halaman gubug itu, seperti dua ekor kupu-kupu yang sedang bercanda di pagi hari.

Dan sejalan dengan meningkatnya kemampuan yang mereka keluarkan, maka gerakan merekapun semakin lama juga semakin cepat dan ganas. Angin pusaran yang timbul akibat hembusan tenaga sakti yang keluar dari dalam tubuh merekapun juga semakin menggiriskan hati. Desisan-desisan panjang atau letupan-letupan kecil yang diakibatkan oleh pergeseran atau bentrokan tenaga mereka juga semakin sering terdengar pula. Sepuluh jurus. Duapuluh jurus.

Akhirnya lima puluh juruspun telah berlalu pula. Hek-mou-sai mulai ragu-ragu dan keringatpun mulai keluar membasahi punggungnya. Bekas pengawal pribadi Kaisar Chin Si, yang dulu selalu bersama sama dengan Siang-hou Nio-nio dalam setiap tugasnya itu, kini mulai berdebar-debar menyaksikan lawannya. Setiap kali ia meningkatkan kemampuannya atau setiap kali ia menambah tenaganya, setiap kali pula ia masih merasakan kekurangannya dalam melayani serbuan lawannya.

Dan akhirnya kecemasan mulai timbul di dalam hati Hekmou-sai ketika dalam puncak kemampuannya Chin Yang Kun masih tetap mengungguli juga. Malah beberapa saat kemudian pemuda itu masih juga mampu meningkatkan lagi kepandaiannya, sehingga sedikit demi sedikit dirinya mulai terdesak. Apalagi ketika lawannya itu masih juga menambah terus kekuatan tenaga saktinya, maka tanpa ampun lagi ia semakin terperosok ke dalam jurang kesulitan yang dalam.

Mulailah Hek-mou-sai menyesali kecerobohannya. Tidak seharusnya ia mengabaikan peringatan kawan-kawannya. Dan tidak seharusnya pula ia menghadapi pemuda itu tanpa senjata di tangan. Begitu cerobohnya dirinya tadi, dan begitu congkaknya dia tadi, sehingga dengan tanpa melaporkan lebih dulu kepada majikannya, ia merasa dapat mengatasi pemuda
itu dengan mudah.

Kini semuanya telah terlambat. Untuk meloloskan diri dari libatan lawannya sudah tidak mungkin lagi, apalagi mau melapor kepada Hek-eng-cu. Satu-satunya jalan yang tersedia baginya cuma bertempur mati-matian dan mengadu jiwa!

“Hhhaaarrgh.....!” Hek-mou-sai menggeram dahsyat dengan ilmu Sai-cu-ho-kang (Auman Singa). Siapa tahu suaranya itu bisa terdengar sampai ke lembah?

“Hmmh.....Hek-mou-sai! Coba kaukatakan sekarang, siapa yang kini berteriak merengek-rengek karena nyawanya hendak melayang ke alam baka? Ho-ho....kau berteriaklah setinggi langit untuk memanggil calon rajamu itu, aku tidak takut! Aku justru hendak membantainya pula di depan mayat kakek tua itu, seperti dia telah membantai seluruh keluargaku!”

Hek-mou-sai tak mampu untuk menjawab lagi. Seluruh pikiran dan kemampuannya telah tercurah habis untuk menghadapi desakan lawannya. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk melayani ejekan-ejekan ataupun kata-kata lawannya itu.

Jangankan untuk melayani kata-kata ejekan itu, untuk menyelamatkan diri saja Hek-mou-sai sudah tidak mungkin lagi. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, meskipun belum telak tapi sudah mulai menyentuh kulitnya.

Itupun sudah bukan main sakitnya dia rasakan. Malah beberapa saat kemudian rasa sakit itu diikuti pula dengan rasa gatal yang hebat di tempat-tempat ia menerima sentuhan tersebut.

“Gila! Setan mana yang telah merasuk ke dalam tubuh anak ini?” Hek-mou-sai mengumpat di dalam hati begitu menyadari pukulan lawannya ternyata mengandung racun yang berbahaya pula.

Demikianlah, racun yang masuk melalui pukulan Chin Yang Kun itu semakin lama semakin mempengaruhi daya tahan dari tubuh Hek-mou-sai. Ketika pada suatu saat Chin Yang Kun secara tidak sengaja membalikkan tangannya ke belakang dalam jurus Naga Melingkar Menjilat Ekor, yaitu salah satu jurus dari Kim-coa-ih-hoat, Hek-mou-sai sudah tidak bisa lagi mengelakkan diri. Bekas pengawal Keluarga Chin itu menjadi terperanjat bukan main melihat lawan yang sedang membelakangi dirinya itu tiba-tiba bisa memukul ke belakang seperti layaknya orang yang sedang menghadap ke arah dirinya.

"Bhluuug !"

"Aaarrrgh.......!"

Hek-mou-sai melenguh seperti kerbau disembelih ketika pukulan itu menimpa ulu hatinya. Tubuhnya yang tinggi besar itu terjerembab ke belakang menghantam pohon, kemudian jatuh terlentang di atas tanah. Dari mulutnya mengalir darah segar berwarna kehitaman.

“Kkkauu....kau.....? Ilmu.....ilmu a-apa itu......? Uuuhh !”

Hek-mou-sai berbisik dengan suara serak, untuk kemudian terkulai menemui ajalnya.Beberapa saat lamanya Chin Yang Kun masih saja berdiri mengawasi mayat bekas pembantu ayahnya itu. Perlahan lahan kulit orang itu menjadi kehitam-hitaman, sehingga tubuh yang besar dan berbulu lebat itu menjadi sangat mengerikan rupanya.

“Uuuuh......!”

Tiba-tiba terdengar suara keluhan tertahan di dalam gubug, sehingga Chin Yang Kun menjadi kaget sekali. Serentak urat-uratnya menegang, dan sekejap kemudian pemuda itu telah melesat bagai terbang cepatnya ke dalam gubug itu.

“Kek.....kau.....kau ma-masih hidup.....?” bukan main kagetnya pemuda itu begitu melihat kakek tua pelayannya itu masih bergerak di pembaringannya.

“Uuuuh......!?”

“Kek! Kakek......! Bagaimana......? a-apa yang kau rasakan......?” di dalam kegugupannya Chin Yang Kun justru menjadi bingung malah.

“Tu-tuan muda.....? kau.....kau se-selamat?”

“Ya-ya......tentu saja, kek! Orang itu telah kubunuh mati! Ba-bagaima......?”

“Ooh, s-s-syukurlah.....! d-d-dialah yang men-men.....jadi biang ke-ke-keladi semua mala-mala......mala-petaka ini! Dialah ib......iblis penghasut yang.....yang.....me-memeretakkan Keluarga Chin......oooooh !”

Wajah tua itu mendadak tersenyum lega dan matanya perlahan-lahan tertutup kembali. Chin Yang Kun menjerit dan menggoncang tubuh kakek itu keras-keras.

“Kek....! kau jangan mati dulu! Ayoh! Jangan mati dulu! Katakan padaku.....be-benarkah aku ini bukan putera ayahku? Benarkah aku ini putera Kaisar Han yang bertakhta sekarang ini?”

Tiba-tiba mata yang sudah hampir terpejam itu terbuka kembali, meskipun sudah buram dan tak bersinar sama sekali.

“K-kau sudah me-mengetahuinya.....? Ohh.....!” bibir yang sudah mulai kaku itu berbisik lemah, kemudian terdiam untuk selama-lamanya.

“Ouuuh......!” Chin Yang Kun berdesah pula dengan lemahnya.

Sejenak pemuda itu memandang jenazah pengasuhnya itu. Wajahnya tampak muram dan sedih. Ucapan terakhir yang dikeluarkan oleh kakek itu tadi membuat perasaannya menjadi kosong dan hampa luar biasa. Seakan-akan dirinya yang sebatang kara itu telah dilemparkan ke dalam jurang yang dalam, sepi dan lengang!

“Ooooh.....kenapa semuanya ini terjadi pada diriku?” Chin Yang Kun meratap di dalam hati. Air matanya menetes membasahi pipinya.

Lama sekali pemuda itu terpekur saja di tempatnya. Sekali sekali terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat. Baru beberapa saat kemudian kakinya melangkah lambat ke luar gubug, untuk mencari tempat yang cocok buat menguburkan mayat-mayat itu.

Demikianlah, meskipun lambat kedua sosok mayat itu telah selesai dikuburkan semua. Tempat itu menjadi sepi serta sunyi kembali. Kini tinggallah perasaan lelah yang luar biasa menggayuti tubuh Chin Yang Kun. Pertempurannya tadi ternyata telah menyita seluruh sisa kekuatan yang masih ada di dalam tubuhnya.

“Oh, betapa lelahnya badanku........! telah beberapa hari ini aku kurang makan dan kurang tidur.” Chin Yang Kun menguap seraya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan yang ada di dalam gubug itu. Dan sebentar saja matanya telah terpejam.

Rasa lelah yang amat sangat membuat Chin Yang Kun bermimpi di dalam tidurnya. Pemuda itu merasa seperti sedang berada di tepi pantai bersama-sama dengan Souw Lian Cu. Mereka berdua duduk bersanding di atas pasir, sambil memandang gulungan ombak yang berdebur memecah pantai.

Chin Yang Kun meremas jari-jari tengah Souw Lian Cu, sementara matanya menatap wajah gadis itu seperti tiada puasnya. Dan biarpun Souw Lian Cu hanya selalu menundukkan kepalanya, serta tidak pernah menjawab perkataannya, Chin Yang Kun tidak pernah menjadi berkecil hati karenanya.

“Lian Cu......! mengapa kau tidak mau memandangku? Apa sebenarnya yang menyusahkan hatimu? Apakah yang kau pikirkan selama ini? Dengarlah......! Kau tidak boleh selalu bersusah hati. Kau harus selalu bergembira di dalam hidupmu.....aku akan selalu menjagamu. Aku.....aku.... cinta kepadamu!”

Tiba-tiba kepala yang tertunduk itu menengadah dan memandang Chin Yang Kun. Mata yang indah itu terbelalak.

“Jangan.....!” gadis itu berbisik ketakutan.

“Heh? Jangan? Mengapa......?” Chin Yang Kun mendesak penasaran.

Mendadak gadis itu bangkit berdiri, lalu berlari cepat sekali meninggalkan Chin Yang Kun. Tentu saja Chin Yang Kun terperanjat sekali.

“Lian Cu......!” pemuda itu berteriak.

Tapi Souw Lian Cu menolehpun tidak. Gadis itu berlari terus menerjang ke tengah laut, menyongsong ombak. Dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap ditelan gelombang besar.

“Oh, Lian Cu.....!” Chin Yang Kun meratap. Wajahnya tertunduk lesu.

“Yang Kun....!” tiba-tiba pemuda itu dikejutkan oleh suara lirih di dekat telinganya.

Chin Yang Kun menoleh dengan cepat, dan hampir saja pipinya menyentuh pipi Tiau Li Ing yang secara tiba-tiba telah berada di dekatnya.

“Li Ing.....kau?” pemuda itu berbisik kaget.

“Ya......akulah yang datang! Aku datang untuk mencarimu. Mengapa kau dulu meninggalkan aku seorang diri di rumah penginapan itu? Dan kemana saja kau selama ini? Yang Kun, oh....jangan tinggalkan aku lagi! Aku mau ikut engkau kemanapun kau pergi! Aku tidak mau berpisah lagi denganmu.....” gadis binal itu mencengkeram lengan Chin Yang Kun dan merengek manja.

“Li Ing.....ini.....ini.....ahhh!” Chin Yang Kun berdesah gugup sambil berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Tiau Li Ing.

Tapi gadis itu tak mau melepaskan tangannya juga, sehingga Chin Yang Kun menjadi kikuk dan salah tingkah.

“Ini.....ini....eh! Le-lepaskan dulu.....” Chin Yang Kun mendorong tubuh Tiau Li Ing. Tapi tak terduga telapak tangannya persis mendorong ke arah dada gadis itu, sehingga Chin Yang Kun lantas menjadi kelabakan sendiri untuk menarik tangannya.

“Grobyaag !”

Chin Yang Kun terjatuh dari pembaringan dan....siuman dari tidurnya!

“Ahhh......kurang ajar! Aku telah bermimpi ini tadi.....” pemuda itu bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

Chin Yang Kun lalu melangkah keluar gubug. Dilihatnya hari telah menjelang sore. Matahari telah turun mendekati cakrawala, sehingga sinarnya yang kuning kemerahan membentuk bayang-bayang hitam pada pepohonan. Sesaat pemuda itu memandang gundukan tanah tempat ia mengubur Hek-mou-sai dan kakek pengasuhnya tadi, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut.

Pemuda itu merasa beruntung bisa tidur agak lama tadi. Sekarang badannya terasa lebih segar serta telah pulih kembali kekuatannya. Dan kini ia telah merasa siap untuk bertarung mengadu jiwa dengan Hek-eng-cu!

“Hemmm....Hek-eng-cu, nantikanlah kedatanganku! Apapun yang telah terjadi padaku, aku tetap tak merubah niatku untuk membunuhmu! Aku masih tetap akan menagih hutangmu kepada Keluarga Chin!”

Chin Yang Kun berlari menuju ke lembah lagi. Ia masuk melalui jalan pertama, yaitu celah gunung dimana pohon cemara tua itu tumbuh. Sebab dengan melalui jalan tersebut dia bisa naik ke atas lereng lembah, untuk kemudian dapat berputar mengelilingi rumahnya, sehingga ia bisa turun di bagian belakang rumahnya. Dengan demikian kedatangannya takkan diketahui oleh Hek-eng-cu.

Tapi betapa kagetnya pemuda itu tatkala lewat di tempat pohon cemara tersebut tumbuh. Pohon tua yang kokoh kuat itu kini telah tumbang, sehingga batangnya yang tinggi itu melintang menutupi jalan masuk ke dalam lembah.

“Hei....kenapa dengan cemara ini? Tiada hujan tiada angin, tahu-tahu telah tumbang. Padahal pagi tadi pohon ini masih berdiri dengan tegarnya.....” Chin Yang Kun berkata di dalam hatinya.

Karena merasa penasaran Chin Yang Kun mencoba memeriksa pohon itu.

“Ah, pohon ini tumbang bukan karena lapuk atau dihembus angin kencang, tetapi....tumbang karena pukulan seorang jago silat berkepandaian tinggi.” Chin Yang Kun bergumam perlahan begitu melihat bagian batang pohon yang patah.

Pemuda itu mencoba menyentuh pada bagian yang patah tersebut. Dan pemuda itu tersentak kaget tatkala kayu yang disentuhnya tersebut rontok ke bawah seperti tepung yang berhamburan tertiup angin.

Diam-diam pemuda itu menjadi cemas juga. Melihat akibat yang ditimbulkan oleh pukulan itu bisa diduga bahwa pelakunya tentu seorang tokoh sakti yang mempunyai tenaga dalam hampir sempurna. Dan siapa tahu orang tersebut adalah Hek-eng-cu sendiri?

"Sekali ini aku memang harus berhati-hati. Siapa tahu orang yang merobohkan cemara ini memang benar-benar Hek-eng-cu adanya? Dan kalau dugaan itu memang betul, hmmm..... tugasku kali ini sungguh tidak ringan. Lwee-kang yang telah diperlihatkan itu terang tidak berada di bawah Iwee-kang yang kuterima dari nenek Buyutku. Oleh karena itu jika ilmu silatnya nanti ternyata jauh lebih hebat dari pada Hok-te Ciang-hoat atau Kim-coa-ih-hoatku, terang aku nanti akan mengalami kesulitan di dalam menghadapinya.....”

Untuk lebih meyakinkan siapa sebenarnya orang yang telah merobohkan pohon cemara tersebut, Chin Yang Kun lalu memeriksa tempat itu sekali lagi. Siapa tahu ia bisa menemukan petunjuk lain tentang orang itu? Tapi apa yang kemudian ia ketemukan lagi di tempat itu malah membuatnya lebih cemas dan khawatir.

Ketika pemuda itu tanpa sengaja menyepakkan kakinya ke arah tumpukan daun cemara kering di depannya, tiba-tiba sebuah benda keras ikut pula terlempar bersama-sama dengan tumpukan daun tersebut. Dan pemuda itu menjadi kaget sekali tatkala diketahuinya benda itu adalah sebuah kipas besi.

Chin Yang Kun cepat mengambil kipas itu dan menimang nimangnya di atas telapak tangannya. Dilihatnya beberapa buah jeruji kipas itu telah rusak dan patah.

"Kipas ini milik Tiau Li ing........ Hmm ...sungguh mengherankan sekali. Apakah sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini beberapa saat yang lalu? Apakah gadis itu telah kesasar ke tempat ini dan kemudian lalu bertemu dengan Hek-eng-cu? Wah, kalau memang demikian halnya gadis itu tentu mendapatkan kesulitan......” pemuda itu menduga-duga dalam hatinya.

Begitu memikirkan nasib yang mungkin menimpa Tiau Li lng, Chin Yang Kun lantas menjadi gelisah hatinya. Bergegas pemuda itu melompati pohon yang tumbang tersebut dan kemudian berlari meninggalkan tempat itu. Dan sesuai dengan rencananya tadi, pemuda itu tidak berjalan langsung menuju ke rumahnya, tetapi lebih dahulu naik ke atas tebing, kemudian merambat diantara batu-batu karang dan semak perdu, terus melingkar ke belakang rumahnya.

Sambil merangkak dengan hati-hati, Chin Yang Kun mengawasi terus keadaan rumahnya. Rumah tempat tinggalnya itu sekarang boleh dikatakan telah rusak sama sekali. Temboknya telah banyak yang hancur, sementara pintu dan jendelanyapun juga telah banyak yang copot pula. Dan semuanya itu karena akibat ulah para pencari Cap Kerajaan!

Chin Yang Kun sudah sampai di belakang rumahnya. Tapi sejak tadi rumah itu tampak sepi dan sunyi seperti kuburan. Tak ada tanda-tanda kalau ada manusia atau hewan di tempat itu. Yang terdengar Cuma suara gemerisiknya daun alang-alang tertiup angin. Sementara itu matahari benar-benar telah hilang di balik cakrawala. Dan keadaan didalam lembah itupun semakin tampak gelap juga. Tetapi, meskipun hari sudah menjadi gelap, rumah itu tetap sepi pula. Tak ada tanda-tanda orang menyulut lampu atau yang lainnya.

Suasana benar-benar sunyi dan lengang, sehingga dengan kegelapan malam yang menyelubunginya, rumah itu menjadi tampak angker dan menyeramkan. Chin Yang Kun menjadi gelisah. Dengan wajah tegang pemuda itu lalu bergerak menuruni tebing itu. Sampai di bawah pemuda itu lalu melingkar ke kanan melewati makam paman bungsunya.

Tapi ketika melewati makam itu Chin Yang Kun menjadi terkejut sekali! Makam itu sudah tidak ada lagi! Yang sekarang ada ditempat itu hanyalah sebuah lobang terbuka yang ditumbuhi semak dan alang-alang! Dan di pinggir lobang itu tampak sebuah kotak peti mati yang telah hancur tertimbun tanah.

“Gila......! si-siapa yang be-berani.....membongkar makam ini?” saking kagetnya Chin Yang Kun berdesah agak keras.

Dan tiba-tiba saja terdengar suara gaduh dari dalam rumah yang gelap itu. Sekejap terdengar jeritan seorang wanita. Tapi suara itu cepat terhenti, seolah-olah mulut yang menjerit tersebut telah dibungkam orang secara paksa. Dan sebagai gantinya kemudian terdengar suara bentakan yang ditujukan ke arah Chin Yang Kun.

“Siapa di luar......?”

Sekali lagi Chin Yang Kun terperanjat! Ternyata di dalam rumah itu ada orangnya juga. Malah karena kurang hati-hati, kedatangannya telah diketahui oleh orang tersebut. Terpaksa pemuda itu keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan kaki terpentang lebar pemuda itu berdiri menghadap ke pintu rumah tersebut.

"Aku! Akulah yang datang.......! Keluarlah!” Chin Yang Kun menggeram keras, meskipun sebenarnya hatinya amat berdebar-debar.

Hening sejenak. Chin Yang Kun semakin berdebar-debar. Rasanya lama sekali orang itu tidak keluar-keluar.

Tiba-tiba...........................!

"Huh.......? Kau........ Chin Yang Kun?” seorang lelaki berkerudung hitam yang bukan lain adalah Hek-eng-cu, muncul di depan pintu dengan suara kaget pula.

Sejak semula Chin Yang Kun sudah menduga kalau Hekeng-cu tentu berada di rumah tersebut, namun demikian kemunculan orang itu ternyata masih tetap juga mendebarkan hatinya ! Saking tegangnya pemuda itu tidak dapat segera mengeluarkan suara.

Baru beberapa saat kemudian, setelah pemuda itu ingat kembali pada tujuannya semula, mukanya menjadi merah padam. Dengan cepat kemarahannya membakar seluruh pori pori tubuhnya.

“Iblis keji ! Jangan kaget ! Aku datang untuk menagih nyawa keluargaku! Oleh karena itu.....bersiaplah!” Chin Yang Kun menggeram.

Karena menyadari bahwa lawannya sekali ini benar-benar sangat berat, maka Chin Yang Kun tidak mau berlaku ceroboh. Langsung saja pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatan Liong-cu-i-kangnya. Tubuhnya sampai bergetar karena menahan gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu.

Sebaliknya Hek-eng-cu masih kelihatan tenang-tenang saja di tempatnya. Beberapa kali kepalanya malah menoleh kesana kemari seolah-olah ada yang dicarinya. Sikapnya tampak memandang rendah sekali kepada Chin Yang Kun.Tentu saja Chin Yang Kun menjadi marah sekali.

"Kurang ajar........! Apa yang kau cari? Kau mencari pembantumu yang tinggi itu ? Huh......! Percuma ! Orang itu telah kucabut nyawanya sore tadi !” Chin Yang Kun membentak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT