PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PENYEBAR MAUT Jilid 38

 



DAN orang tua yang masih tergeletak, karena terlalu parah lukanya itu, melirik kepada murid perempuannya. Namun hanya sekejap. Sesaat kemudian orang tua itu sudah menatap kedua orang murid laki lakinya lagi.

“Dan......apakah mata kalian tidak melihat tadi? Betapa besar jiwa Hong-gi-hiap Souw Thian Hai di dalam perang tanding ini tadi? Hmm, seharusnya gurumu ini sudah kalah dan mati sejak tadi, tahu? Tapi demi menjaga nama dan kehormatanku, dia berbuat seolah-olah kami berimbang dan sama-sama terluka parah! padahal kalau dia mau........"

"Lo-jin........" tiba-tiba Souw Thian Hai menghentikan perkataan ketua Bing-kauw itu.

“...... Siapa yang mengatakan aku menang ? Aku juga terluka oleh pukulanmu. Lukaku juga
tidak ringan. Lihatlah.......!"

Put-ceng-li Lo-jin tertawa.

"Bangsat ! Hahaha........! Aku benar-benar puas dapat menyerahkan Chu Bwee Hong kepadamu, saudara Souw........Kau tak perlu merendahkan dirimu lagi ! Aku telah kalah! Oleh karena itu Chu Bwee Hong kuserahkan kepadamu sekarang. Terimalah !"

"Lo jin.......!” Chu Bwee Hong menjerit dan berlari menubruk dada ketua Bing-kauw itu.

"Su-hu..........!" Put-sia Nio-cu yang sudah terlanjur suka dan sayang pada Chu Bwee Hong itu juga menangis disamping gurunya.

"Lo-jin........ ini.......ini........" Souw Thian Hai yang mendengar pernyataan atau ucapan bekas "suami" Chu Bwee Hong itu menjadi gagap dan bingung malah.

Melihat sikap Souw Thian Hai itu Put-ceng-li Lo-jin mengerutkan dahinya. Sambil merangkul kepala Chu Bwee Hong, orang tua itu bertanya, "Ada apa, saudara Souw ?"

Beberapa saat lamanya pendekar itu tidak bisa menjawab.Beberapa kali dia hanya bisa menghela napas.

"Apakah kau mempunyai kesulitan, Saudara Souw? Lekaslah katakan !" Put-ceng-li Lo-jin mendesak.

Dengan ragu-ragu Souw Thian Hai memandang wajah "lawannya", lalu menoleh ke sekitarnya, yaitu ke arah orang-orang yang secara mendadak bermunculan di tempat itu.

"Bing Kauw-cu.....” akhirnya pendekar itu bisa juga mengeluarkan isi hatinya. "Aku sungguh sangat berterima kasih sekali kepadamu. Aku memaklumi semua maksud baikmu yang kautujukan kepadaku atau kepada ..... Chu Bwee Hong ini. Kau sungguh mulia dan baik sekali. Aku dan Chu Bwee Hong benar-benar berhutang budi kepadamu. Sebenarnya aku amat gembira sekali menerima penyerahan Chu Bwee Hong ini. Tapi......” Souw Thian Hai tidak meneruskan kata-katanya. Sebaliknya pendekar itu menghela napas lagi dalam-dalam.

Tampaknya ada sesuatu yang masih memberatkan hatinya.

"Saudara Souw ! Kenapa tidak kaulanjutkan kata-katamu ? Ayoh ! Lekaslah kaukeluarkan isi hatimu ! Jangan kaupendam saja di dalam dada, sehingga kami ikut menjadi penasaran melihatnya......!" Put-ceng-li Lo-jin berseru tak sabar.

"Begini, Bing Kauw-cu....... Rasa-rasanya masih ada sedikit ganjalan atau keberatan di dalam hatiku dalam menerima kembali Chu Bwee Hong itu. Soalnya, selama ini orang-orang sudah mengetahui bahwa Chu Bwee Hong adalah isterimu, Lalu...... kalau sekarang secara tiba-tiba isterimu itu ikut aku dan menjadi isteriku, apa kata orang-orang itu nanti ? Bukankah mereka akan berprasangka jelek kepadaku atau kepada Chu Bwee Hong?"

Tiba-tiba Put-ceng-li Lo-jin tertawa terbahak-bahak.

"Bangsaaaat ! Hahaha.......! Kukira kau tadi hendak berbicara tentang apa, ehh....... ternyata cuma soal itu! Hahahah........monyet!"

"Bing Kauw-cu, apa....... apa yang kau tertawakan ?" Souw Thian Hai bertanya penasaran.

"Hah..... kau ini seorang pendekar besar, tapi sikapmu canggung benar. Mengapa kau masih juga memikirkan pendapat-pendapat yang tak benar seperti itu? Yang penting adalah kenyataannya. Jika apa yang kita lakukan itu memang benar-benar baik dan bersih akhirnya orang-orang itupun akan tahu juga. Mengapa mesti takut dan khawatir terhadap prasangka-prasangka demikian? Biarkan saja kalau ada orang yang berprasangka jelek kepada kalian berdua. Kalian tak perlu menanggapi atau mengacuhkannya. Sebaliknya, kau tunjukkanlah saja kepada mereka dengan sikap dan perbuatan kalian, bahwa kalian berdua bukanlah orang-orang jelek seperti yang mereka sangka."

“Ahh......... Bing Kauw-cu benar."

Souw Thian Hai mengangguk-angguk. Lega hatinya sekarang. Kata-kata Put-ceng-li Lo-jin yang panjang lebar itu sungguh-sungguh telah membuka hatinya, bahwa kekhawatirannya itu benar-benar tak beralasan sama sekali.

Yang penting memang kenyataannya. Kalau sekarang memang masih ada juga yang belum mengerti akan keadaan mereka, hal itu tak perlu menjadi penghalang yang akan menggagalkan maksud baiknya. Suatu saat mereka akan mengerti juga akhirnya.

"Apalagi perang tanding dan penyerahan ini telah disaksikan dari mula sampai akhir oleh beberapa tokoh persilatan ternama. Masakan kau masih takut dengan gunjingan orang? Lihatlah, di lain waktu kau tak mungkin memperoleh saksi-saksi sedemikian lengkapnya!" Put-ceng-li Lo-jin melanjutkan perkataannya seraya menoleh ke sekelilingnya.

Tiba-tiba Pek-i Liong-ong berdiri. Kakek ketua Aliran Mokauw itu menjura kepada Souw Thian Hai. "Lo-hu bersedia menjadi saksi......" katanya halus.

Lalu sambil menoleh ke arah Put-ceng-li Lo-jin, kakek itu berdesah. "Lo-jin, tak kusangka hatimu demikian luhur dan mulianya. Lo-hu sungguh malu ikut-ikutan menyebutmu Put-ceng-li (Tidak Tahu Aturan) selama ini. Ternyata dibalik sikapmu yang aneh, urakan, dan kadang-kadang sangat ugal-ugalan itu, sebenarnya tersembunyi hati yang suci dan luhur. Dan selama bertahun tahun ini, ternyata kami semua telah salah menilai terhadapmu......."

"Hahaha........ Monyet Tua ! Apakah yang kaukatakan itu ?" Put-ceng-li Lo-jin berteriak-teriak dan memaki-maki malah.

"Dan.........akupun bersedia juga untuk menjadi saksi." Hong-lui-kun dengan air muka berseri-seri, tiba-tiba maju pula ke samping Pek-i Liongong.

"Saudara Souw, terimalah ucapan selamatku !" katanya mantap.

"Aku juga, Saudara Souw, selamat berbahagia....... !" Yap Tai-ciangkun menyahut pula lalu dengan cepat kakinya melangkah ke samping Pek-i Liong-ong.

Kemudian berturut-turut Ho Pek Lian, Kwa Siok Eng, Chin Yang Kun dan..... Chu Seng Kun, maju pula ke depan untuk menyatakan kesanggupan mereka menjadi saksi. Malahan Chu Seng Kun, sebagai kakak Chu Bwee Hong, hampir tidak bisa membendung keharuan hatinya. Sambil merangkul pundak Souw Thian Hai yang bidang, tabib muda itu tidak kuasa menahan air matanya.

"Saudara Thian Hai, hatiku benar-benar lega sekarang. Sudah lama aku menunggu saat-saat seperti ini. Aku sungguh sangat gembira sekali........” katanya tersendat-sendat.

Chu Seng Kun lalu melepaskan pelukannya. Dan kemudian dengan senyum bahagia matanya melirik ke arah adiknya, yang masih terisak-isak di dada Put-ceng-li Lo-jin.

"Bwee Hong, kemarilah kau.....!" panggilnya dengan suara gembira.

Tapi Chu Bwee Hong seperti tak mendengar suara panggilan tersebut. Wanita ayu itu masih dicekam oleh keharuan hatinya yang sangat mendalam. Mulutnya masih terisak-isak diatas dada Put-ceng-Ii Lo-jin, sehingga orang tua itu terpaksa menepuk nepuk pundaknya. "Anak baik, diamlah........! Mengapa kau masih menangis juga ? Bukankah semuanya telah berlangsung seperti yang kita harapkan? Nah, dengarlah......! Seseorang telah memanggilmu. Agaknya dia adalah kakakmu. Pergilah ke sana ! Ayoh !" ketua Aliran Bing-kauw itu berkata dengan suara halus.

Untuk sesaat hilang kesan kasar dan ugal-ugalan pada wajah orang tua itu. Wajah itu kini tampak lembut dan welas asih, bagaikan wajah seorang ayah yang sedang membujuk anak kesayangannya.

Chu Bwee Hong mengangkat mukanya. Matanya merah dan air matanya mengalir membasahi pipinya.

“Lo-jin, kau........ kau sungguh baik sekali kepadaku......"

"Ah, sudahlah........ ! Ayoh, pergilah cepat ke sana !" Put-ceng-li Lo-jin berseru sedikit keras untuk mengusir keharuan yang tiba-tiba juga membelit di hatinya. Tapi tak urung sebutir air mata tetap juga menetes di sudut matanya.

Chu Bwee Hong melepaskan rangkulannya, kemudian menghapus air matanya, lalu perlahan-lahan mundur dan berlutut di samping Put-ceng-li Lo-jin yang tergolek di atas pasir itu. Sambil menahan sedu sedannya wanita ayu itu menyatakan rasa terima kasihnya.

"Lo-jin, kutitipkan anak haram itu kepadamu. Aku tak berani membawanya. Aku takut menjadi mata gelap dan membunuhnya karena aku masih sangat benci kepada ayahnya............”

"Hahaha...... tentu saja. Anak itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Dia akan kudidik dengan baik. Dan aku percaya dia akan menjadi anak yang baik kelak."

"Terima kasih.”

Lalu perlahan-lahan Chu Bwee Hong melangkah menuju ke tempat kakaknya. Mukanya tertunduk. Rambutnya kusut. Mata dan pipinya masih tampak kotor dan merah pula. Namun
demikian semuanya itu ternyata tidak bisa menyembunyikan kecantikannya yang gilang-gemilang.

"Ko-ko.........” jeritnya lirih seraya menubruk dada kakaknya.

Chu Seng Kun memeluk pula dengan mata berkaca-kaca.

"Bwee Hong....... Apa kataku kemarin ? Semuanya benar, bukan ? Kau tak perlu berputus asa
dan terlalu menyalahkan nasib yang selalu merundung dirimu. Itu semua hanyalah cobaan belaka. Wah...... bagaimana sekarang? Kebahagiaan telah datang kepadamu, bukan? Dan percayalah, kebahagiaan yang kau reguk ini akan berkali-kali lebih nikmat kau rasakan, sebab kebahagiaanmu ini kau peroleh setelah kau habiskan semua kepahitannya......."

“Ko-ko..........”

“Ayoh! Sekarang marilah kautemui kekasihmu itu ! Sebagai pengganti orang tua, secara resmi aku akan menyerahkan engkau kepadanya. Marilah !"

Chu Seng Kun lalu menuntun adiknya ke depan Souw Thian Hai. Kemudian dengan suara terputus-putus tabib muda itu menyerahkan Chu Bwee Hong kepada Souw Thian Hai, yang diterima oleh pendekar sakti itu dengan perasaan terharu pula.

"Nah, semoga kalian berdua bisa mengambil pelajaran dari pengalaman buruk yang kalian alami selama ini, sehingga kalian bisa lebih berhati-hati di kemudian hari. Adapun tentang hari perkawinan kalian, dapat kita rundingkan lagi di lain hari," tabib muda itu menutup kata-katanya.

Setelah menyerahkan adiknya, Chu Seng Kun lalu berbalik menghampiri Put-ceng-li Lo-jin. Begitu berada di depan orang tua itu, Chu Seng Kun segera berlutut, sampai dahinya menyentuh pasir di bawahnya.

“Bing Kauw-cu........ Siauw-te adalah Chu Seng Kun, kakak dari Chu Bwee Hong. Siauw-te mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kauw-cu, karena Kauw-cu telah sudi menyelamatkan dan menolong adikku. Kami berdua benar-benar berhutang budi dan nyawa kepada Kauw-cu......"

"Hahahaha........ anak muda, aku sudah sering mendengar cerita tentang dirimu dari Chu Bwee Hong. Katanya, kau adalah seorang tabib muda yang tiada duanya di dunia ini. Dan aku percaya saja selama ini. Tapi....... setelah aku kini melihatmu, hmm..........aku malah menjadi ragu-ragu sekarang. Masakan dalam usiamu yang masih sangat muda ini, kau sudah benar-benar dapat menghisap seluruh ilmu pengobatan mendiang Bu-eng Sin yok-ong itu?" Put-ceng-li Lo-jin tidak menanggapi kata kata Chu Seng Kun, tetapi ketua Aliran Bing kauw itu justru berbicara tentang ilmu pengobatan Chu Seng Kun malah.

Chu Seng Kun tersenyum. "Ah, Bing Kauwcu....... kau memang benar. Adikku itulah yang terlalu membesar-besarkan kemampuanku. Maklumlah, siauw-te ini adalah kakaknya, sekaligus satu-satunya keluarga yang masih dipunyainya." tabib muda itu merendahkan diri.

"Tapi....... meskipun demikian aku juga ingin membuktikannya........" ketua Aliran Bing-kauw itu tetap melanjutkan perkataannya, seolah-olah tak mendengar bantahan atau sanggahan Chu Seng Kun tadi.

"Maksud Bing Kauwcu ?"

"Coba, kautolong mengobati luka-lukaku ini. Kalau engkau bisa menyembuhkannya, aku baru percaya pada kehebatanmu. Bagaimana ? Bersediakah kau ?”

Senyum kelihatan mengembang di bibir Chu Seng Kun.

"Ahh, tentu saja siauw-te bersedia, Bing Kauw-cu. Cuma siauw-te minta, Bing Kauw-cu jangan terlalu mengharapkan, bahwa siauw-te mesti bisa menyembuhkannya. Siauw-te ini hanya manusia biasa dan bukan malaikat yang bisa menghidupkan orang. Siauw-te ini hanya beruntung bisa memperoleh kesempatan mempelajari ilmu peninggalan kakek guruku........."

"Wah...... kau sungguh pandai sekali merendahkan dirimu. Ayoh, lekaslah! Aku buru-buru ingin menyaksikan caramu mengobati lukaku yang parah ini. Nah!" Put-ceng-li Lo-jin yang tidak sabaran itu cepat mendesak.

"Baiklah......" Chu Seng Kun menjawab, lalu bergegas maju selangkah.

Put-swi-kui, Put-ming-mo dan Put-sia Nio-cu mundur untuk memberi tempat kepada Chu Seng Kun. Sebaliknya tabib muda itu juga balas mengangguk kepada mereka, sebelum mulai dengan pengobatannya.

Lebih dahulu Chu Seng Kun memeriksa urat nadi dan denyut jantung Put-ceng-li Lo-jin, setelah itu baru jalan pernapasannya. Kemudian setelah merasa yakin apa yang harus dilakukannya, maka Chu Seng Kun lalu menotok dan mengurut beberapa buah jalan darah di sana sini. Sebentar saja peluh mulai menetes di atas dahi Chu Seng Kun yang lebar.

Perlahan-lahan wajah ketua Aliran Bing-kauw itu menjadi kemerah-merahan kembali. Jalan pernapasannyapun secara berangsur-angsur juga semakin teratur pula. Dan kemudian keadaan yang sangat menggembirakan itu semakin bertambah baik lagi tatkala Chu Seng Kun sudah mulai pula mempergunakan jarum-jarum ajaibnya.

Semuanya memandang kagum kepada Chu Seng Kun. Di dalam hati mereka sekarang benar-benar sudah mengakui, betapa tingginya ilmu kepandaian pemuda itu di dalam ilmu pengobatan.

"Nah ! Sekarang Bing Kauw-cu sudah sembuh dan baik kembali. Untuk selanjutnya Bing Kauw-cu tinggal beristirahat saja sebanyak-banyaknya, agar tenaga Bing Kauw-cu lekas pulih kembali seperti sedia-kala. Marilah! Bing Kauwcu sudah bisa bangkit lagi sekarang.........." Chu Seng Kun berkata seraya mengusap peluh yang mengalir di atas dahi dan lehernya.

“Hei? Aku sudah bisa berdiri? Masa begitu cepatnya?" Put-ceng-li Lo-jin berseru tak percaya.

Lebih dulu orang tua itu menggerak-gerakan lengan dan kakinya. Setelah semuanya benar-benar bisa ia gerakkan dengan baik dan tidak terasa kaku atau sakit lagi, orang tua itu kemudian mencoba duduk, lalu bangkit berdiri perlahan-lahan. Dan ketika dengan mudahnya ia dapat berdiri, ketua Aliran Bing-kauw itu justeru berteriak-teriak dan mengumpat-umpat saking kagumnya.

"Bangsaaat ! Keparaaat! Wah ! Wah ! Monyet busuk! Kau betul-betul hebat sekali ! Huahahahaha....... heran dan takjub benar aku ! Bangsaaat..........!”

Orang tua itu lalu melompat-lompat saking senangnya, lalu menghampiri Chu Seng Kun dan menyalaminya dengan hangat.

"Hahaha..... aku sekarang benar-benar percaya kepadamu, anak muda! Kau sungguh-sungguh
hebat, lebih hebat dari tabib manapun di dunia ini !"

Tapi Chu Seng Kun cepat memegang lengan Put-ceng-li Lojin dan menahannya agar tidak bergerak lagi.

"Eh, perlahan Bing Kauw-cu. Kau jangan terlalu banyak bergerak dahulu ! Nanti luka dalammu terbuka lagi," cegah Chu Seng Kun.

Demikianlah, semua yang melihat adegan itu tersenyum gembira, sehingga suasana yang semula sangat tegang menggelisahkan itu, kini berubah menjadi semarak menggembirakan. Semua orang tersenyum dan menghela napas lega.

“Hei ! Lihat ! Malam telah semakin larut. Dan embun pagi pun telah mulai menetes membasahi pakaian kita. Mengapa kita masih saja bercakap-cakap enak-enakan di sini ?” tiba-tiba terdengar seruan Pek-i Liong-ong, memecahkan keheningan di antara mereka.

"Ah, benar juga. Monyet! Kalau begitu, marilah kita kembali ke dusun itu, untuk menemukan kegembiraan ini ! Setuju tidak, Liong-ong?" Put-ceng-li Lo-jin berseru pula ke arah ketua Aliran Mo-kauw itu.

"Setuju.......!” hampir semuanya menjawab, kecuali Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu.

Ketiga orang itu kelihatan berunding satu sama lain. Dan beberapa saat kemudian tampak Souw Thian Hai melangkah maju mewakili yang lain.

"Maaf, cu-wi semua......! Kami bertiga terpaksa tidak bisa pergi bersama cu-wi ke dusun itu. Salah seorang di antara kami, yaitu puteriku, ternyata masih punya urusan penting yang harus diselesaikan. Dia harus berada di Pulau Meng-to besok pagi, untuk membantu Keh-sim Siauw-hiap dalam penyambutan tamu-tamunya yang telah mulai berdatangan ke pulaunya."

"Hah....... benar juga. Tiga hari lagi adalah tanggal lima, saat Keh-sim Siauw-hiap biasa mengundang lawan-lawannya di dunia kang-ouw," Put-ceng-li Lo-jin berseru kaget.

"Oh? Lalu........?” Chu Seng Kun buru-buru bertanya kepada Souw Thian Hai.

"Begini, Chu twa-ko. Karena salah seorang dari kami harus pergi, maka aku dan Bwee Hong
memutuskan untuk pergi pula kesana menyertainya......." Souw Thian Hai menjawab.

"Ahhh.......!" semuanya berdesah kecewa.

Sebenarnya semuanya ingin menahan ketiga orang itu. Namun merekapun maklum, bahwa sepasang kekasih yang baru saja bertemu itu lebih senang berduaan saja dari pada bersama-sama dengan mereka. Oleh karena itu semuanya juga lantas membiarkan saja ketiga orang itu pergi.

Chu Bwee Hong lalu berpeluk-pelukan dengan Ho Pek Lian, Kwa Siok Eng dan Put-sia Nio-cu. Malah dengan murid bekas suaminya ini Chu Bwee Hong sempat pula bertangis-tangisan.
Keduanya telah terlanjur akrab selama ini. Terpaksa Put-cengli Lo-jin turun tangan memisahkannya.

"Ah…... mengapa harus saling bersedih? Besok kita akan berjumpa pula," ketua Aliran Bing-kauw itu menenangkan hati mereka.

"Maksud su-hu ?" Put-sia Nio-Cu bertanya sambil menghapus air matanya.

"Akupun besok akan pergi juga ke sana. Aku ingin menyaksikan bagaimana wajah pendekar yang sangat terkenal itu."

"Benarkah ? Oh, su-hu........aku ikut." Put-sia Nio-cu berjingkrak kegirangan, lupa kalau ia baru saja menangis.

Ho Pek Lian menarik lengan Kwa Siok Eng. "Kami berdua juga akan pergi ke sana pula besok pagi. Bukankah begitu, ci-ci Siok Eng?" Ho Pek Lian berkata.

"Ya ! Kami juga akan pergi ke pulau itu. Kami berdua telah berhutang nyawa kepada pendekar ternama itu. Kami akan menyatakan rasa terima kasih kami kepadanya. Sekalian membantu apabila tenaga kami diperlukan nanti," Siok Eng memberi keterangan.

"Ahh!" Chu Seng Kun yang masih merasa berat untuk berpisah dengan adiknya itu tiba-tiba berdesah lega.

Sementara itu Chin Yang Kun yang sedari tadi hanya diam saja di pinggir, tampak tersentak kaget mendengar ucapan ucapan mereka. Pemuda itu seperti diingatkan kembali pada janjinya, untuk pergi ke Pulau Meng-to pada tanggal lima ini.

Oleh karena itu secara otomatis pemuda itu melirik ke arah Souw Lian Cu, gadis yang dahulu telah melemparkan undangan atau tantangan kepadanya.

Ternyata pada saat yang bersamaan, Souw Lian Cu juga sedang memandang ke arah Chin Yang Kun pula, sehingga tak bisa dielakkan lagi kedua pasang mata mereka saling bertaut atau berpapasan satu sama lain. Dan sekilas seperti ada sinar kegembiraan di dalam pandangan itu tapi entah apa sebabnya, tiba-tiba masing-masing segera membuang muka dengan wajah merah padam.

Tapi sekejap kemudian Chin Yang Kun segera berpaling kembali. Pemuda itu kelihatan penasaran melihat sikap Souw Lian Cu tadi. Matanya menatap kembali ke arah Souw Lian Cu dengan tajamnya. Gadis itu masih memalingkan mukanya, sehingga Chin Yang Kun hanya bisa memandangnya dari arah samping.

Tetapi dengan demikian pemuda itu justru dapat melihat jelas garis-garis kecantikannya.Raut muka yang oleh pemuda itu dianggap sangat serasi serta sempurna ukurannya.

Chin Yang Kun malahan terpaku seperti orang yang kehilangan akal melihatnya. Hati yang semula penasaran itu mendadak larut hilang tak berbekas. Kini sorot matanya justru menampilkan sinar kekaguman yang tiada taranya. Gadis itu memang cantik bukan main.

"Ahhhh......!" Chin Yang Kun berdesah sambil menundukkan kepalanya.

Pemuda itu merasa sedih dengan tiba-tiba. Entah mengapa, kebencian gadis itu kepada dirinya, membuat pemuda itu merasa sedih dan kecewa. Dunia ini rasanya menjadi sepi dan membosankan.

"Saudara Yang.......!" tiba-tiba terdengar sebuah suara di depannya.

Chin Yang Kun tersentak kaget. Dengan gugup pemuda itu menengadahkan kepalanya. Dan detak jantung pemuda itu semakin keras menghentak dinding dadanya, ketika dilihatnya gadis yang sedang memenuhi benaknya tersebut telah berdiri tegak di depannya. Gadis itu tampak digandeng oleh ayahnya.

"Ah-uh....... ah-uh......" Chin Yang Kun berusaha menjawab panggilan pendekar Souw Thian Hai itu, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah suara ah-uh ah-uh yang tak jelas.

Tentu saja Souw Thian Hai merasa heran, apalagi ketika melihat wajah Chin Yang Kun itu sangat pucat. Tapi keheranan pendekar itu ternyata belum seberapa bila dibandingkan dengan kenyataan lain yang dilihatnya. Ternyata tidak hanya Chin Yang Kun yang keadaannya seperti itu.

Ternyata puterinya sendiri, Souw Lian Cu. juga bersikap demikian pula. Gadis itu juga tampak gelisah dan tegang di hadapan Chin Yang Kun.

"Hmmh...... ada apa dengan kedua anak ini? Apakah mereka bermusuhan ? Ataukah ada 'apa-apa' di antara mereka?" pendekar sakti itu berkata di dalam hatinya.

Tetapi Souw Thian Hai tak mau atau tidak tega untuk menanyakan kepada mereka. Pendekar sakti itu takut pertanyaannya nanti akan menyinggung perasaan mereka, meskipun salah seorang diantaranya adalah puterinya sendiri.

Oleh karena itu Souw Thian Hai justru pura-pura tidak tahu malah !

"Lian Cu, lihatlah....! Inilah Saudara Yang yang telah berjasa kepada kita itu. Karena dia kita bisa berkumpul kembali………” pendekar itu berkata kepada puterinya.

“A-ayah……..” Souw Lian Cu memotong perkataan ayahnya.

Souw Thian Hai mengerutkan keningnya. "Kenapa? Bukankah kalian sudah saling mengenal ? Ayoh, ucapkanlah terima kasih kepadanya.............!"

"Tapi......." gadis itu mau membantah, tapi tak jadi.

Kemudian dengan mengeraskan hatinya gadis itu tampak melangkah ke depan. Dengan pandang mata tajam serta gigi terkatup rapat, gadis itu membungkukkan tubuhnya di depan Chin Yang Kun.

"Terima kasih," ucapnya singkat, lalu kembali lagi ke tempat semula.

“Lian Cu !” Souw Thian Hai menegur puterinya. Kemudian, “Saudara Yang, maafkanlah puteriku. Dia ......”

"Ah....... tidak apa-apa, Souw Tai-hiap. Dari mula siauw-te memang tidak ada niat untuk membantu ataupun membuat jasa di dalam pertemuan ini. Maka ucapan terima kasih Souw Tai-hiap dan puterimu tadi, sebenarnya sudah terlalu berlebihan buatku…….” Chin Yang Kun menjawab tawar.

Entah mengapa perasaan Chin Yang Kun tiba-tiba menjadi hampa dan getir. Sikap yang diperlihatkan oleh Souw Lian Cu setiap kali bertemu dengan dirinya itu kini seolah olah telah membukakan mata dan hatinya bahwa gadis itu memang sungguh-sungguh membencinya. Dan kenyataan itu benar benar membuat hati pemuda itu hampa luar biasa.

Chin Yang Kun mendongakkan kepalanya. Dipandangnya bintang-bintang yang gemerlapan di atas langit yang biru gelap. Lalu dipandangnya pula laut luas yang tak bertepi itu.Semuanya tampak sunyi-sepi.

"Ahhh......." pemuda itu menghela napas, lalu membalikkan tubuhnya, kemudian meninggalkan tempat itu perlahan lahan, mendahului yang lain-lain.

Tentu saja semua orang menjadi heran, lebih-lebih Souw Thian Hai. Pendekar sakti itu seperti merasakan sesuatu yang aneh antara puterinya dan pemuda perkasa itu. Tapi oleh karena sebentar kemudian puterinya juga mulai melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, maka iapun segera mengajak Chu Bwee Hong untuk mengikuti puterinya itu pula.

Dan semua orangpun segera beranjak pula dari tempatnya.

"Hmm........ ada apa dengan anak itu?" Pek-i Liong-ong seolah-olah bergumam kepada dirinya sendiri.

Hong-lui-kun Yap Kiong Lee dan Yap Tai ciangkun, yang berada di dekat orang tua itu menoleh, tapi tak mengeluarkan perkataan sepatahpun.
Mereka hanya mengernyitkan alisnya, tanda bahwa mereka berdua juga merasa heran serta tak mengerti pula.

Cuma Chu Seng Kun saja yang agaknya bisa "membaca" atau menangkap keganjilan tersebut. Hubungan yang sudah sedikit akrab dengan Chin Yang Kun, membuat tabib muda itu sedikit banyak mengetahui masalah-masalah yang pernah dihadapi pemuda itu, sehingga sedikit banyak dia juga bisa menduga apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam dada pemuda perkasa itu.

Oleh karena itu secara diam-diam Chu Seng Kun menyelinap ke dalam kegelapan untuk mencari atau menemui pemuda itu.

"Saudara Yang........" panggilnya ketika ia dapat menemukan pemuda itu di antara reruntuhan batu-batu karang.

"Hah ???” Chin Yang Kun yang baru saja meletakkan pantatnya itu tersentak kaget dan berdiri kembali. Tapi begitu mengetahui siapa yang datang, pemuda itu segera tersenyum. Meskipun senyumnya kelihatan hampa dan getir.

"Ah...... Chu twa-ko benar-benar mengagetkan aku. Kukira siapa tadi?" pemuda itu membuka mulutnya.

"Hmm...... apakah kau kira aku nona Souw Lian Cu?” Chu Seng Kun dengan berani mencoba
"memancing" reaksi atau tanggapan Chin Yang Kun.

Benar juga. Tiba-tiba muka Chin Yang Kun yang pucat itu tampak merah padam. Matanya tampak berkilat-kilat menatap Chu Seng Kun.

"A-apa........ maksud Chu Twa-ko?" Tanya pemuda itu dengan suara gemetar.

Dan Chu Seng Kun pura-pura terkejut pula. "Apa? Aku.....? Eh, aku tak bermaksud apa-apa. Memang ada apa sebenarnya ?" tabib muda itu balik bertanya dengan kening dikerutkan, seolah-olah dia memang benar-benar tak tahu masalahnya.

"Ooh !" Chin Yang Kun berdesah dan mengendorkan ketegangannya.

"Hmm....... aku tahu sekarang." Chu Seng Kun yang sedang bersandiwara itu tersenyum seraya mendekati Chin Yang Kun, kemudian memegang lengannya. "Tampaknya ada sesuatu
yang tidak enak antara Saudara Yang dengan nona Souw itu, sehingga kalian berdua seperti orang yang sedang bermusuhan. Benarkah.......?”

Chin Yang Kun tersentak. Matanya menatap Chu Seng Kun untuk beberapa saat lamanya. Tapi sebentar kemudian pemuda itupun lalu menundukkan kepalanya lagi dengan wajah bersemu merah.

"Chu twa-ko tidak salah," jawab pemuda itu kemudian.

"Gadis itu sangat membenci aku. Cuma apa yang menyebabkannya sehingga dia sangat membenci aku itu, aku sama sekali tidak tahu......."

"Hah? Aneh benar ! Masakan kau tidak tahu sebab sebabnya ?" Chu Seng Kun benar-benar kaget sekarang.

Chin Yang Kun menghela napas, lalu katanya seperti kepada dirinya sendiri. "Mula-mula aku dan dia secara kebetulan hanya berdiri berseberangan dalam perselisihan kaum Tiat-tung Kai-pang melawan Kim-liong Piauw-kiok. Kemudian pada pertemuan kami yang kedua, yaitu di Kuil Delapan Dewa, kami tidur bersebelahan kamar. Dan karena keteledoranku, pada suatu malam aku telah salah memasuki kamarnya. Gadis itu menjadi marah bukan main. Mungkin....... mungkin inilah yang menyebabkan kemarahannya........"

"Hmmm........"

Chu Seng Kun mengangguk-angguk. Lalu, "Mungkin juga. Tapi mungkin juga bukan. Hati wanita memang sukar diduga. Sikap yang diperlihatkan itu kadang-kadang bukanlah cermin dari hati dan perasaannya. Tidak jarang sikap dan perbuatannya justru malah bertolak belakang dengan yang ada di dalam hati dan perasaannya.......”

"Heh? Maksud Chu twa-ko.......?”

Chu Seng Kun tersenyum. "Ah ....... ini hanya pikiran atau dugaanku saja. Dan semuanya itu belum tentu benar. Hmm........ kadang-kadang wanita itu berpura-pura benci, padahal sebenarnya hatinya kagum dan senang sekali kepada seorang lelaki !"

Chin Yang Kun tersentak. Matanya menatap tabib muda itu dengan tajamnya. Tetapi sekejap kemudian mukanya tertunduk kembali dengan tiba-tiba. Wajahnya yang tampan itu perlahan-lahan menjadi merah. Entah mengapa, kata-kata Chu Seng Kun tadi amat mengena, sehingga hatinya menjadi gembira dan sedikit terhibur. Siapa tahu perkataan tabib muda tersebut benar adanya?

"Ahh....... Chu twa-ko ini ada-ada saja!" bisiknya kemalu-maluan seraya meletakkan pantatnya kembali di atas batu karang di sampingnya.

"Ah....... itu hanya dugaanku saja. Siapa tahu memang demikian halnya?” Chu Seng Kun tersenyum sambil duduk pula di samping Chin Yang Kun. Diam-diam tabib muda ini semakin dapat membaca masalah yang sedang melibat kedua remaja itu.

Untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri. Masing masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Chin Yang Kun menundukkan kepalanya, mengawasi pasir hitam yang terhampar di bawah telapak kakinya, sementara Chu Seng Kun mengedarkan pandangannya ke sekeliIingnya, melihat gugusan batu karang yang terdampar berserakan di tepi pantai itu.

Tiba-tiba tabib muda itu membelalakkan matanya. Rasa rasanya  seperti melihat sesosok bayangan hitam muncul dari dalam air dan melangkah terhuyung-huyung ke daratan. Tapi ketika sekali lagi ia ingin memastikan, apa yang dilihatnya itu, benda atau bayangan tersebut telah lenyap digulung buih ombak yang datang memecah pantai.

Dan kekagetan Chu Seng Kun itu dilihat pula oleh Chin Yang Kun.

"Ada apa Twa-ko ?”

"Anu.......... ah, tidak apa-apa........! Kesunyian dan kegelapan pantai ini telah menimbulkan bermacam-macam pikiran kepadaku rupanya. Baru saja aku seperti melihat sesosok bayangan muncul dari dalam air. Tapi....ah........ itu tentu hanya sebongkah batu karang yang tersiram ombak saja.” Dengan tersipu-sipu Chu Seng Kun menjawab.

Chin Yang Kun mengernyitkan alisnya, lalu menatap ke arah pantai. Tapi ia juga tidak melihat apa-apa selain batu-batu karang yang tersembul diantara buih-buih ombak yang datang. Oleh karena itu Chin Yang Kun lalu menundukkan kepalanya lagi, sehingga mereka saling berdiam diri kembali.

"Saudara Yang, sudahlah...! Kau tak perlu terlalu memikirkan gadis itu. Kalau kalian berdua memang berjodoh kelak, tentu akan jernih juga persoalannya. Percayalah !" Chu Seng Kun yang sudah dapat meraba atau menebak gejolak hati Chin Yang Kun itu tiba-tiba membuka mulutnya. Dan kata-katanya itu tentu saja semakin membuat Chin Yang Kun lebih tersipu-sipu lagi.

"Ahh.....mana aku berani...... memikirkan hal itu ? Aku..... aku........!" dengan suara gemetar Chin Yang Kun menjawab.

Mendadak pemuda itu teringat akan wanita genit isteri pemilik penginapan itu, sehingga harapan yang semula muncul di dalam hatinya menjadi punah kembali. Bagaimana dirinya bisa kawin, kalau setiap wanita yang dinikahi akan mati seperti halnya wanita genit itu ?

Chin Yang Kun merasa hampa di dalam hatinya. Semangatnya patah. Wajahnya tampak lesu dan sedih. Dan perubahan sikapnya ini dengan cepat dilihat oleh Chu Seng Kun.

"Saudara Yang, ada apa......? Mengapa kau tiba-tiba menjadi sedih? Apakah ada sesuatu hal yang mengganggu hatimu ?”

Chin Yang Kun tidak segera menjawab. Pemuda itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terjadi perang batin di dalam hati pemuda itu, yaitu antara perasaan malu dan keinginannya untuk berterus terang kepada tabib muda itu.

Akhirnya Chin Yang Kun merasa bahwa hanya tabib yang pernah menolong jiwanya itu sajalah yang kiranya bisa membantu penderitaannya. Oleh karena itu dengan mengesampingkan perasaan malunya pemuda itu menceritakan seluruh persoalannya, yaitu dari mula ia merasa tertarik kepada Souw Lian Cu sampai ke perubahan aneh yang timbul di dalam tubuhnya. Dan dengan suara yang terputus-putus pemuda itu juga menceritakan tentang musibah memalukan akibat perubahan aneh yang terjadi di dalam tubuhnya tersebut.

''Wanita genit itu mati keracunan setelah......setelah berhubungan dengan........ denganku. Ohhhhhh........ dosa apa sebenarnya yang kuderita ini ?" Chin Yang Kun mengakhiri kata-katanya dengan menjambak-jambak rambutnya sendiri.

"Lalu.....dengan keadaanku yang begitu itu apakah aku masih bisa mengharapkan seorang gadis untuk kujadikan sebagai isteriku ?" pemuda itu melanjutkan dengan setengah berteriak.

Chu Seng Kun terpaku diam di tempatnya. Tabib muda itu benar-benar tidak menduga atau menyangka bahwa keadaan Chin Yang Kun akan menjadi demikian halnya.

"Oh....... jadi kau berlari-lari seperti dikejar setan dan menyeberangi muara dengan cara yang mentakjubkan itu disebabkan karena kau ingin menghilangkan pengaruh aneh yang menyerang di dalam tubuhmu?” Akhirnya Chu Seng Kun bertanya.

"Be-benar, Chu twa-ko.......!"

"Dan pengaruh aneh itu benar-benar dapat hilang setelah kau kehabisan tenaga ?"

"Ya-ya......!" Chin Yang Kun menjawab dengan bersemangat, seakan-akan memperoleh harapan akan bisa sembuh kembali seperti sedia kala.

"Ohhh !” Chu Seng Kun bernapas lega seperti sudah dapat menentukan jawaban dari penyakit yang diderita oleh Chin Yang Kun tersebut.

"Bagaimana, Chu twa-ko.......?" Chin Yang Kun yang melihat kawannya itu diam saja lalu mendesak. "Apa... apakah pengaruh aneh itu disebabkan oleh racun yang mengalir di dalam darahku? Kalau benar, lalu bagaimana cara menghilangkannya ?"

"Sebentar, kupikirnya lebih dulu ....!" Chu Seng Kun menjawab seraya berdiri. Tabib muda itu lalu melangkah perlahan-lahan mengitari batu tempat mereka duduk. Lengan kirinya berada di belakang tubuhnya sementara tangan kanannya memegang dagunya sendiri.

Wajahnya tengadah, memandang bintang-bintang di langit. Sebentar-sebentar ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata ia sedang mengerahkan segala ingatannya untuk mengorek kembali semua pengetahuan yang pernah didapatnya dari buku ilmu pengobatan yang pernah dipelajarinya selama ini.

"Ba-bagaimana, Chu.... Chu twa-ko?" Chin Yang Kun bertanya tak sabar.

"Sebentar.......!" sekali lagi tabib muda itu menjawab tanpa menoleh maupun menghentikan langkahnya.

Tiba-tiba tabib muda itu malahan merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah buku tebal berwarna kekuning kuningan saking tuanya. Lalu dengan ketajaman matanya tabib muda tersebut membalik-balikkan halaman buku itu di dalam keremangan malam.

"Hei...!" mendadak tabib muda itu berseru, lalu meloncat menghampiri Chin Yang Kun.

Dengan cekatan pula tabib muda itu lalu memeriksa tubuh Chin Yang Kun, jari-jarinya memencet dan mengurut di berbagai jalan darah di seluruh tubuh Chin Yang Kun. Dan karena sudah percaya seratus persen kepada tabib muda itu Chin Yang Kun menurut saja segala perintahnya.

"Saudara Yang, kau berbaringlah di atas pasir! Cepat........!" Chu Seng Kun memberi perintah.

Chin Yang Kun menurut pula. Lalu dengan tergesa-gesa Chu Seng Kun mengeluarkan jarum-jarumnya. Berkali-kali tabib muda itu menusukkan jarumnya di bawah pusar dan pelipis Chin Yang Kun, sehingga di bagian itu tampak mencuat berpuluh-puluh jarum besar-kecil seperti bulu landak. Dan yang terakhir tabib muda itu lalu menggoreskan sebuah jarum besar di atas tengkuk Chin Yang Kun, sehingga darah merah segera mengalir dari luka tersebut.

"Saudara Yang, sekarang coba kaukerahkan sin-kangmu! Aku akan melihat pengaruhnya ...." dengan tegang Chu Seng Kun memberi perintah lagi.

Chin Yang Kun mengangguk, lalu bangkit berdiri. Setelah mengambil napas pemuda itu lalu mengerahkan Liong-cu-ikangnya.

"Aduuuh!"

Tiba-tiba Chin Yang Kun berteriak kesakitan. Otomatis kedua tangan pemuda itu mencengkeram kepalanya yang berdenyut-denyut seperti mau pecah. Dan sejalan dengan itu mendadak pemuda itu merasa sebuah pengaruh aneh menyusup ke dalam pikirannya. Rasa-rasanya nafsu berahinya seperti bergolak secara perlahan-lahan di dalam badannya.Dan semakin lama api berbahaya itu semakin bergejolak  memenuhi otaknya, sehingga pemuda itu tak kuat bertahan lagi.

"Chu twa-ko, ini........ini.....oh, aku tak ta-tahan lagi! heh-heh-heh...... tolonglah!” desah pemuda itu terengah-engah.

Sekilas tampak senyum gembira di bibir Chu Seng Kun, tapi di lain saat dengan sangat cekatan tabib muda itu segera mencabut jarum-jarum yang ia benamkan di dalam daging Chin Yang Kun tadi. Lalu dengan cekatan pula jarum-jarum tersebut ia masukkan ke dalam cupu kecil (seperti tempat bedak) berwarna hijau, yang terbuat dari batu giok. Cupu itu berisi cairan kuning, yang segera berasap begitu jarum-jarum tersebut terbenam di dalamnya.

Sementara itu napas Chin Yang Kun semakin tersengal sengal. Matanya liar dan berwarna merah darah. Malah dari sudut mata itu telah mengalir air mata, bagaikan mata binatang buas yang sedang menderita kelaparan. Sedang tubuh pemuda itu kelihatan gemetar hebat, seolah-olah tubuh itu sedang membawa beban yang amat berat.

"Chu twa-ko, tolonglah aku! Cepat! Aku .......aku sedang....... eh, anu........ pengaruh aneh itu kini sedang menyerang aku lagi!" Chin Yang Kun mengertakkan giginya dan mengepalkan tangannya erat-erat.

“Kau........ kau jangan bingung ! Aku akan mengobatimu ! Lekaslah kau berbaring kembali.......!" Chu Seng Kun menjawab dengan tak kalah tegangnya.

Kemudian Chu Seng Kun mengeluarkan sebilah pisau kecil dari perak. Dengan ujungnya yang runcing tabib muda itu menyayat beberapa kali pada kulit leher, dahi dan pelipis Chin Yang Kun. Darah yang kehitaman merembes keluar.

"Kau jangan tegang ! Lemaskanlah semua otot-ototmu, lalu tengkuraplah!" tabib muda itu
memberi perintah lagi.

Setelah perintahnya dituruti oleh Chin Yang Kun, Chu Seng Kun segera berseru lagi, "Awas! Sekarang bersiap-siaplah! Aku akan melakukan gerakan pengobatan yang terakhir! Kali ini
agak sakit, karena aku akan menusuk bagian pinggangmu di bawah punggung .........”

Selesai berkata Chu Seng Kun lalu mengarahkan ujung pisaunya ke jalan darah siang-pie-kut-hiat di atas pinggang Chin Yang Kun, yaitu di sebelah-menyebelah tulang punggungnya. Lalu dengan pengerahan tenaga yang telah diperhitungkan, pisau tersebut dihunjamkan secara bergantian. Tidak terlalu dalam. Mungkin cuma sebagian kecil saja dari ujungnya yang runcing, tapi sakitnya ternyata hebat bukan main, sehingga Chin Yang Kun yang sudah berjaga-jaga itupun masih berteriak kesakitan juga.

"Arrghhh........!"

Dari luka bekas tusukan pisau itu mengalir darah kehitaman, yaitu ciri khas darah Chin Yang Kun yang beracun.

Dan bersamaan dengan itu, keringat dingin bagaikan disemburkan dari setiap pori- pori kulit Chin Yang Kun. Begitu banyaknya sehingga baju dan celana pemuda itu menjadi basah, bagaikan tersiram air saja. Dan juga bersamaan dengan itu pula seluruh otot-otot pemuda itu menjadi lemas bagaikan lumpuh mendadak.

"Ohhhh.......!" Chin Yang Kun berdesah panjang.

Perlahan-lahan wajah yang merah tadi berubah menjadi normal kembali. Napas yang semula terengah-engah dan tersengal-sengal juga kembali normal pula Iagi. Dan perubahan tersebut sungguh amat menggembirakan hati Chu Seng Kun, si tabib muda itu. Hanya tinggal rasa lemas itu saja yang masih diderita oleh Chin Yang Kun.

Dan tabib muda itu segera menghapus keringat yang membasahi lehernya. Gerakan-gerakan yang dilakukannya tadi ternyata juga hampir menghabiskan seluruh tenaganya.

"Ahh…… sungguh berbahaya sekali !" desah tabib muda itu seraya duduk melepaskan Ielah.

"Oooooh.......!?!" Chin Yang Kun menggeliat, lalu bangkit perlahan-lahan. Badannya tampak lemas, sehingga beberapa kali hampir gagal untuk mengangkat tubuhnya.

"Chu twa-ko,  tubuhku lemas sekali, rasa-rasanya aku seperti tak kuasa lagi untuk bergerak...... ooh! A..... apa sebenarnya yang telah terjadi?"

Chu Seng Kun tersenyum mengawasi Chin Yang Kun, tapi ia tak beranjak dari tempat duduknya. Badannya juga tampak lemas dan lelah sekali.

"Aku tadi telah berusaha mencari tahu jenis penyakit yang bersarang di dalam tubuhmu. Dan sungguh beruntung sekali, aku bisa berhasil menemukannya......." tabib muda itu menjawab dengan suara bersyukur.

"Oh.......... jadi?” desah Chin Yang Kun dengan nada gembira.

Tapi kegembiraan pemuda itu segera terhenti tatkala melihat wajah penolongnya menjadi murung secara mendadak. Pikirnya lantas menjadi kacau, apa lagi ketika menyaksikan tabib muda itu memandangnya dengan sinar mata sedih.

''Chu twa-ko........ kenapa ? Apa....... apakah ada sesuatu yang salah? Kakatakanlah….!"
Chin Yang Kun berbisik.

Chu Seng Kun menggeleng. "Tidak, Saudara Yang…… tidak ada salah. Aku cuma merasa bersyukur, tapi sebaliknya aku juga merasa bersedih melihat sinar kegembiraan di dalam wajahmu tadi. Karena.........."

"Twako, lekas katakan! Apakah penyakitku itu tak bisa disembuhkan lagi?"

Chu Seng Kun tidak segera menjawab. Sebaliknya tabib muda itu lalu menghela napas dan menghampiri Chin Yang Kun. "Saudara Yang.......! Setelah kuperiksa serta kuadakan percobaan tadi, aku dapat menemukan sebab-sebab atau jenis dari penyakit aneh yang sering mengganggumu itu. Sebenarnya itu bukan penyakit, tetapi hanya merupakan akibat sampingan dari racun dahsyat yang mengalir di dalam darahmu saja. Kadar racun itu ternyata telah merembes ke dalam susunan otakmu dan mempengaruhi simpul syarafmu terlemah, yaitu simpul syaraf yang berhubungan dengan nafsu berahimu. Gangguan racun itu mengakibatkan simpul syarat tersebut tidak bekerja secara normal lagi. Sentuhan atau rangsangan terhadap jaringan-jaringan syaraf tersebut akan mengakibatkan simpul syaraf itu cepat menegang dan bekerja dengan kekuatan penuh, sehingga simpul-simpul syaraf yang lain tak mampu lagi menahan atau mengendalikannya. Akibatnya, setiap syaraf tersebut terangsang, kau tak bisa menguasainya lagi......"

"Twa-ko........lalu...... oh, lalu bagaimana cara menyembuhkannya ? Bukanlah hal itu sangat membahayakan orang lain? Terutama.....terutama terhadap gadis-gadis atau wanita-wanita yang kujumpai ?"

Chu Seng Kun menghela napas. Dengan sedih ia memandang pemuda sakti yang bernasib malang itu.

"Memang benar. Kau memang menjadi sangat berbahaya sekali bagi orang lain, terutama bagi wanita. Kepandaianmu luar biasa tingginya, sehingga kalau penyakit itu datang, jarang yang bisa menahanmu, apalagi mengalahkanmu. Padahal penyakit itu semakin hari semakin berat dan ganas mempengaruhi susunan otakmu. Saat sekarang dengan kesadaranmu kau masih bisa mengalihkan keganasan pengaruh aneh itu dengan mengobral seluruh tenaga dalammu, sehingga kau kehabisan tenaga dan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tapi dalam beberapa waktu lagi engkau sudah tidak bisa berbuat demikian. Pengaruh racun itu sudah demikian besarnya sehingga kau tak ada kesempatan untuk mengendalikannya lagi......"

"Twa-ko.......???" Chin Yang Kun berdesah serak.

Tabib muda itu memandang Chin Yang Kun dengan perasaan menyesal dan sedih.

"Satu-satunya jalan hanyalah berusaha menghilangkan racun yang mengalir di dalam darahmu. Tapi aku belum dapat menemukan jalan atau caranya. Racun itu sudah menyatu dan bersenyawa dengan darahmu. Rasanya sulit untuk memisahkannya lagi.”

“Jadi....... jadi aku tak........ tak bisa ditolong lagi?" Chin Yang Kun bertanya gugup.

Chu Seng Kun menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan kepala itu menggeleng, "Entahlah........! Tapi kau jangan putus-asa. Aku akan berusaha keras untuk mencari obatnya."

“Ooh......Ialu........ lalu apa yang mesti kulakukan sebelum obat itu diketemukan ?"

"Tentu saja kau harus berhati-hati dalam menjaga diri. Jangan sampai kau terangsang oleh wanita. Syukur kalau kau mau pergi mengasingkan diri di tempat sepi, sehingga kau tidak bertemu dengan perempuan.”

"Tapi........tapi masih banyak urusan keluargaku yang harus kuselesaikan. Bagaimana aku bisa meninggalkannya untuk mengasingkan diri?"

"Itulah repotnya! Dalam keadaan normal kau adalah seorang pemuda atau pendekar yang baik. Tapi jikalau penyakit itu datang menyerang, kau akan berubah menjadi seorang iblis penyebar maut yang menakutkan. Terutama untuk para wanita atau orang-orang yang berusaha menghalangi niatmu. Maka kalau kau masih berpetualang di dunia ramai, kau harus menjaga dirimu sebaik-baiknya."

"Ooooh!” Chin Yang Kun lemas tak berdaya.

Keduanya lalu terdiam lesu di tempat masing-masing. Chu Seng Kun yang masih lelah kehabisan tenaga itu sibuk berpikir tentang penyakit Chin Yang Kun yang aneh itu. Sementara Chin Yang Kun sendiri juga sedang meratapi nasibnya yang malang.

Begitu asyiknya mereka dengan lamunan mereka masing masing, sehingga mereka berdua tidak menyadari kalau sepasang mata bersinar hijau yang sangat mengerikan sedang mengawasi mereka. Mereka menjadi kaget setengah mati ketika tiba-tiba saja makhluk mengerikan itu meloncat ke hadapan mereka!

"Bhrrrrh.......!" makhluk itu menggeram.

Chu Seng Kun segera meloncat berdiri, tapi segera terhuyung-huyung mau jatuh. Tubuhnya yang masih lelah karena baru saja menguras tenaga secara berlebihan itu ternyata belum pulih kembali seperti sedia kala. Sedangkan Chin Yang Kun yang juga telah kehabisan tenaga itu lebih parah lagi keadaannya. Beberapa kali pemuda itu berusaha bangkit, tapi selalu gagal. Badan yang lemas tak bertenaga itu tetap saja tergeletak di atas pasir.

Sementara itu sebuah makhluk mengerikan telah berdiri di depan mereka. Bentuknya seperti manusia, gemuk bulat berkepala gundul. Kulitnya berwarna hijau gemerlapan ditimpa sinar bintang. Yang sangat mengerikan dan menjijikkan adalah lendir kental yang menempel pada kulit yang berwarna hijau tersebut. Begitu banyaknya lendir tersebut sehingga makhluk itu bagaikan dibungkus oleh larutan bubur perekat di sekujur tubuhnya. Malahan saking banyaknya, lendir kental itu tampak meleleh dan berjatuhan ketika makhluk itu berjalan. Baunya jangan ditanya lagi. Busuk bukan main! Busuk dan amis!

Saking kagetnya Chu Seng Kun dan Chin Yang Kun justru terdiam tak bisa berkata sepatahpun. Keduanya menatap makhluk mengerikan itu dengan mulut ternganga dan mata terbelalak !

Beberapa kali makhluk itu berusaha mengusap atau membuang lendir kental yang menutupi mulut dan hidungnya. Tapi lendir yang meleleh demikian banyaknya sehingga tempat itu segera tertutup kembali seperti semula.

"Bhhrrrr....... sungguh bhrr........ beruntung sekali aku bhrr.....b-b-bisa bhertemu dengan tabbhhrrr....... dengan tabib pandai seperti kau ini, hahahaha...... bhrr!" tiba-tiba makhluk mengerikan itu berkata.

"Hah.....?” Chu Seng Kun berseru seraya melangkah mundur setindak. "Kau siapa?”

"Hahaha....... bbrrrr........ aku sudah lama mengintaimu di sini, yaitu sejak kau mmbhrr-berusaha mengobati anak muda ini. Sekarang kalian berdua sama-sama tak bhherrr.....hhrrr........ tak berdaya dan kehabisan tenaga. Maka dari itu ka.......ka...bherrr ... kalian tak perlu melawan........." makhluk itu berkata lagi, sama sekali tak mengacuhkan pertanyaan Chu Seng Kun.

Sebentar-sebentar tangannya mengusap lendir yang menghalangi gerak mulut dan bibirnya.

"Apa......maksudmu?” Chu Seng Kun bertanya lagi.

Tabib muda itu mundur selangkah lagi. Tetapi bukan karena takut, sebab sebagai seorang yang telah biasa berpetualang ia telah bisa menenteramkan dan menenangkan hatinya kembali. Apalagi setelah ia perhatikan benar-benar, makhluk tersebut ternyata bukanlah hantu atau iblis yang patut ditakutkan. Makhluk mengerikan itu tak lain adalah manusia juga seperti dirinya. Cuma yang membuat orang itu menjadi sangat mengerikan adalah kulit dan lendirnya yang aneh dan menjijikkan itu.

"Bbhrrrrr.......! Terus terang aku minta tol... tolhong....... bhrrrr. SembuhkanIah aku dari penyakitku yang.......yang aneh ini !"

"Penyakit? Ada apa dengan tubuhmu itu?"

Orang yang berselimutkan lendir itu menundukkan kepala dan tampak ragu-ragu untuk berterus terang. Tapi beberapa saat kemudian kepala itu kembali tengadah. Tangannya lalu sibuk membuang lendir yang menutupi mulutnya.

"Bbhhrrr..... baiklah, aku akan berterus terang kepadamu. Aku..….aku sesungguhnya tidak menderita penyakit apa-apa. Dan aku juga tidak merasa sakit atau disakiti orang. Aku hanya menjadi....... menjadi korban dari ilmuku sendiri !"

"Menjadi korban dari ilmumu sendiri ?” Chu Seng Kun menegaskan.

"Bhhrrrr........ benar! Aku sejak muda selalu bergulat dengan racun, terutama racun
kelabang hijau! Racun yang
amat ganas dan berbahaya itu berhasil aku taklukkan dan aku kuasai, sehingga dapat kupakai sebagai senjata dan dasar dari ilmu yang kupelajari. Sedikit demi sedikit setiap hari racun itu kumasukkan dan kuresapkan ke dalam tubuhku, sehingga racun itu akhirnya dapat merasuk dan menyatu dengan darah dagingku. Dan untuk tetap dapat mmm.......mbbrrrr..... menguasai serta mmm….mbbbrrrr....... mengendalikannya, setiap hari atau setiap waktu tertentu aku meminum ramuan yang telah kubuat sendiri. Tapi karena sesuatu hal dalam dua hari ini aku tak melakukannya. Dan celakanya lagi, bhrrrr........ dalam dua hari dua malam itu tubuhku terendam di dalam air asin, air yang selama ini selalu kujauhi dan menjadi pantangan dari ilmu yang kupelajari. Maka akibatnya........ oh, bhrrrr....tubuhku menjadi seperti ini."

Selesai berkata orang itu lalu mengawasi Chu Seng Kun. Di dalam tatapan matanya, terkandung permohonan dan harapan agar tabib muda itu mau mengobatinya. Hanya saja di dalam permohonannya itu ada tersirat juga nada paksaan, bahkan ancaman, apabila permintaannya tersebut tidak dikabulkan oleh Chu Seng Kun.

Chu Seng Kun tidak segera memberi jawaban. Sejak orang itu menyebutkan jenis racun yang dipelajarinya, serta apa yang telah terjadi selama dua hari ini, ia segera menjadi curiga. Apalagi setelah ia perhatikan lebih teliti lagi, ternyata ia segera mengenal orang itu. Orang itu tak lain adalah Si Kelabang Hijau Ceng-ya-kang, yang mencebur ke laut dua hari yang lalu!

Otomatis Chu Seng Kun menoleh ke arah kawannya, seolah-olah ingin memberitahukan bahwa orang yang dicarinya selama ini ada di depannya. Tapi betapa terkejutnya dia ketika melihat Chin Yang Kun masih saja terbaring di tempatnya. Pemuda itu belum dapat bangun karena belum pulih kembali kekuatannya.

"Wah....... gawat nih ! Saudara Yang masih lumpuh, sedangkan aku juga masih lemas pula. Kalau iblis berbahaya ini memaksakan kehendaknya dan mengamuk, aku dan Saudara Yang terang belum bisa menghadapinya. Padahal aku belum tentu bisa mengobatinya pula. Bagaimana kalau iblis yang licik dan keji ini nanti marah ?" tabib muda itu berpikir di dalam hati. "Hmmm, satu-satunya jalan hanyalah mengulur waktu. Siapa tahu Saudara Yang sudah bisa memulihkan tenaganya?"

Setelah memperoleh keputusan demikian, Chu Seng Kun lalu menarik napas dalam-dalam. Dengan tenang ia menghadapi Ceng-ya-kang yang kini keadaannya sangat mengerikan itu.

"Hmmm........ terus terang aku tadi tidak mengenalmu sama sekali. Tapi begitu mendengar ceritamu, aku lantas ingat siapa kau ini sebenarnya......." akhirnya Chu Seng Kun membuka muIutnya.

"Hei........ kau mengenal....bbrrrr......mengenalku ?" orang yang tidak lain memang Ceng-ya-kang itu tersentak kaget.

"Ya. Bukankah kau adalah Si Kelabang Hijau Ceng-ya-kang? Siapa lagi di dunia ini yang sering bermain-main racun Kelabang Hijau selain Ceng-ya-kang ?"

Tiba-tiba Ceng-ya-kang meloncat maju, sehingga lendir lendirnya banyak yang terlepas berjatuhan ke tanah. Baunya jangan ditanya lagi ! Amis dan busuk memuakkan !

"Nah, kalau aku memang benar Ceng-ya-kang, kau mau apa..... heh? Bhrrrrrr...... !"
Chu Seng Kun cepat-cepat melompat ke samping, tapi lagi lagi tabib muda itu terhuyung-huyung mau jatuh.

"Bersabarlah........!" teriaknya.

"Heheh... bhrrrr.... hati-hati kau! Aku tahu kau baru saja menghamburkan tenaga sakti untuk mengobati pemuda itu.Badanmu masih lemah, begitu pula dengan pemuda ganteng itu, bhrrrrrr....... heheh ! Oleh karena itu kau jangan coba-coba melawan aku. Lebih baik kau turuti saja permintaanku, jika tidak......bhrrrr..... aku akan membunuh kalian berdua !"

"Bersabarlah! Aku akan mengobatimu….”

"Nah... begitu lebih baik. Tapi jangan coba-coba mengelabuhi aku. Lihatlah di sekeliling kalian ! Tempat ini telah penuh dengan racun racunku. Dan tanpa kalian sadari, kalian juga sudah kemasukan racunku pula. Kalau tak percaya, hehe... bhrrrr........ silakan periksa pernapasan kalian! Oleh karena itu…. bhrrr ...... jangan coba-coba menipu aku ! Sekali aku mencurigai gerak-gerik kalian, kalian tentu kubunuh !”

Chu Seng Kun lagi-lagi terperanjat, apalagi ketika ia benar-benar memeriksa pernapasannya! Dadanya terasa sakit! Gila, ternyata akibat penghamburan tenaganya tadi membuat kewaspadaannyapun menjadi berkurang. Tanpa ia sadari tubuhnya telah kemasukan racun yang ditebarkan oleh Cengya-kang.

Ketika tabib muda itu melirik ke arah Chin Yang Kun, hatinya semakin menjadi kecut. Pemuda itu tampak tersengal-sengal pernapasannya. Air mukanya kelihatan membiru, sementara matanya tampak melotot mengawasi Ceng-ya-kang ! Agaknya pemuda itu juga sudah kemasukan racun Ceng-yakang pula !

Memang benar juga dugaan Chu Seng Kun itu, Chin Yang Kun memang telah terkena racun yang disebar oleh Ceng-ya-kang sebelum muncul di hadapan mereka. Tetapi seperti telah diketahui, tubuh pemuda itupun telah sarat dengan racun pula. Maka sedikit racun yang ditebarkan oleh Ceng-ya-kang itu sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap tubuhnya.

Malahan bila dihitung-hitung, racun yang mengalir di dalam tubuh Chin Yang Kun sendiri justru sepuluh kali lipat lebih hebat dan lebih ganas dari pada racun tersebut. Yang membuat napas pemuda itu tersengal-sengal serta air mukanya pucat membiru itu adalah ketegangan hati pemuda itu sendiri. Kenyataan yang demikian mendadak, di mana secara tiba-tiba dia berhadapan muka dengan orang yang dicarinya, padahal keadaan tubuhnya sedang lumpuh dan kehabisan tenaga, membuat pemuda itu menjadi gelisah, tegang dan penasaran ! Rasa-rasanya pemuda itu ingin menerkam serta mencekik iblis tersebut, untuk menanyakan peristiwa di hutan Bukit Ular setahun yang lalu. Sayang sekali badannya yang lemas dan lumpuh itu telah menghalang-halanginya. Oleh karena itu yang dapat dilakukannya hanyalah menggeram dan melotot saja kepada Ceng-ya-kang !

"Bhrrrr…... bagaimana? Kau mau mengobati aku atau tidak?" tiba-tiba Ceng-ya-kang membentak.

"Ba-baiklah........ tapi biarlah aku menyelesaikan pengobatan terhadap temanku itu dahulu. Bagaimana ?” Chu Seng Kun mencoba mencari kesempatan untuk berbicara dengan Chin Yang Kun, agar bisa merundingkan cara untuk menghadapi iblis dari Ban-kwi-to itu.

"A-a.....brrrh........? Hah....... kau jangan mencoba mengakali aku, ya.......?" Cengya-kang segera mencegah.

Tapi Chu Seng Kun cepat berbalik dan menghadapi iblis itu dengan bertolak pinggang. Dengan lantang ia berkata, "Hmm...... kedatanganku di tempat ini hanya untuk mengobati temanku itu. Kalau akhirnya aku tak bisa menyelesaikan pengobatan itu, padahal hanya tinggal menusukkan tiga batang jarum saja, lalu di mana nanti aku hendak menaruhkan mukaku? Lalu apa gunanya aku jauh-jauh datang ke sini? Dan apa gunanya aku mempertahankan nama besarku sebagai ahli pengobatan selama ini? Hmm, kalau demikian halnya, lebih baik semuanya mati saja ! Kau bunuhlah aku ! Biarlah aku mati, sehingga kau dan temanku itu juga mampus pula bersama aku…!”

Ceng-ya-kang justru mundur selangkah ketika Chu Seng Kun mendesak maju. Iblis itu tampak bimbang. Siasat Chu Seng Kun yang cerdik itu malah membuatnya bimbang!

Sekejap iblis itu termangu-mangu di tempatnya, sebab bagaimanapun juga dia ingin disembuhkan pula dari penderitaannya itu. Dan kini secara kebetulan dia berjumpa dengan seorang tabib pandai.

Dan kesempatan seperti ini akan sulit ia dapatkan di kemudian hari.

"Ayoh! Kenapa kau menjadi ragu-ragu ? Bunuhlah aku…..!”

Chu Seng Kun yang melihat kebimbangan Ceng-ya-kang itu segera mendesak lagi.

"Ba.......hhrr........ baiklah ! Kau benar-benar tinggal menusukkan tiga batang jarum saja lagi, bukan ? Ka-kalau begitu....... lakukanlah! Tapi bhrrr....... kau jangan coba-coba menipuku, karena untuk melindungi jiwaku…. hhrr....... aku tak segan-segan membunuhmu !”

"Hmmh!"

Chu Seng Kun mendengus, kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah ke tempat Chin Yang Kun. Dan begitu berhadapan dengan Chin Yang Kun, tabib muda itu segera memberi isyarat dengan matanya.

"Perhatikan jarumku.........!” bisik tabib muda itu lemah, sebelum iblis Ban-kwi-to itu
ikut pula duduk di dekatnya.

Chin Yang Kun mengerutkan keningnya. Mula-mula ia menjadi gugup dan bingung melihat kawannya itu memberi isyarat kepadanya. Tapi sesaat kemudian ia segera menangkap maksud kawannya itu. Maka ketika ia disuruh tengkurap di atas pasir, maka iapun tak membantah. Ia menanti saja apa yang hendak dilakukan oleh tabib muda itu kepadanya. Dan untuk sementara ia berusaha mengesampingkan kegeraman hatinya kepada iblis Ban-kwi-to
itu.

"Perhatikan jarum-jarumku......!" Pemuda itu mengulang kata-kata Chu Seng Kun di dalam
hatinya.

"Apa maksudmu ......... ?"

Tiba-tiba kulit punggungnya terasa dicoret-coret dengan ujung jarum oleh Chu Seng Kun. Beberapa coretan lalu berhenti. Kemudian coretan itu diulangi lagi, persis dengan yang tadi. Lalu berhenti lagi. Dan beberapa saat kemudian coretan tersebut diulangi lagi oleh Chu Seng Kun, sehingga akhirnya Chin Yang Kun tahu apa yang dikehendaki kawannya.

Tampaknya tabib muda itu bermaksud menulis pesan dengan goresan-goresan jarum pada punggungnya, agar Ceng-ya kang yang buta huruf itu tidak menyadari kalau sedang diakali.

"Ayoh........ bhrrrr ! Mengapa jarum itu tidak lekas-lekas kau tusukkan ? Mengapa Cuma kau putar-putarkan saja di atas punggungnya ? Kau ingin mengulur-ulur waktu, ya ? Bbrrrr...... jangan harap! Cepat !" iblis Ban-kwi-to itu menggertak.

"Baiklah, Chu twa-ko ! Lekaslah........!” Chin Yang Kun berseru kepada Chu Seng Kun pula, sebagai isyarat bahwa ia juga sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh kawannya itu.

"Baik!" Chu Seng Kun juga berseru dengan gembira, begitu maksudnya telah diketahui oleh Chin Yang Kun.

"Tapi kau jangan tergesa-gesa pula. Meskipun hanya menusukkan jarum, tapi pekerjaan itu juga tidak mudah. Harus menurut aturan dan cara-cara yang telah ditentukan."

Begitulah, sambil menyelipkan pesan-pesan dengan coretan-coretannya Chu Seng Kun menusukkan ketiga jarumnya di tempat yang dikehendakinya. Tiga batang jarum ini kugunakan untuk memacu dan membantu urat-urat penting di dalam tubuhmu, agar urat syaraf serta peredaran darahmu dapat segera pulih seperti sedia kala. Setelah itu terserah kepadamu untuk menghadapi iblis ini.

"Nah, aku sudah selesai dengan pengobatanku sekarang. Bagaimana ? Apakah kau sudah siap pula?" Chu Seng Kun menoleh ke arah Ceng-ya-kang dan bertanya.

Iblis itu bangkit berdiri. "Bhrrrr..... bagus! Aku juga sudah siap. Tapi sekali lagi kuperingatkan, jangan sekali-sekali kalian berbuat yang mencurigakan atau berbuat curang. Sebab sekali saja aku mengetahui atau melihatnya, kalian........ atau kita semua akan mati di tempat ini. Kalian tahu mengapa aku berkata demikian ? Bhrrr.....lihat.......lihatlah pasir di bawah kaki kalian itu!"

Chu Seng Kun menarik napas panjang, lalu menundukkan kepalanya. Begitu juga dengan Chin Yang Kun. Pemuda itu secara otomatis juga memandang pasir yang ditindihnya.

Dan secara berbareng keduanya membelalakkan matanya. Keduanya seperti orang yang sedang ketakutan ! Pasir itu ternyata telah berubah warnanya menjadi hijau gelap. Dan itu berarti bahwa pasir tersebut telah mengandung racun pula. Malah lapat lapat kedua pemuda itu melihat asap tipis atau kabut tipis dari dalam pasir tersebut.

Kabut tipis itu perlahan-lahan mengepul ke atas, seakan-akan hendak menyelimuti tubuh mereka bertiga.

"Nah .....bhrrr......... sudah kalian lihat itu ? Hahaha........ bhrrr........ hal itu berarti bahwa kalian berdua juga sudah terkena racunku pula. Dan hal itu juga berarti bahwa mati hidup kalian telah berada di tanganku. Maka dari itu, asal kalian tidak berlaku curang dan bisa menyembuhkan penyakitku, aku juga akan memberi obat penawar racunku.... kepada kalian. Ba-ba…. bherrrr........ bagaimana pendapat kalian ? Bu-bukankah tukar-menukar ini adil juga?"

"Sudahlah! Kau tak usah menakut-nakuti kami! Bersiaplah, aku akan mulai mengobati penyakitmu!” Chu Seng Kun cepat memotong perkataan Ceng-ya-kang.

"Bhhrrr …..aku sudah siap. Apa yang harus kukerjakan?"
“Berguling-gulinglah dahulu di atas pasir biar lendir-Iendir itu hilang dari badanmu ! Setelah itu mandilah dalam air laut agar supaya pasir-pasir yang menempel di tubuhmu menjadi bersih !" Chu Seng Kun memberi perintah.

"Bhhrrrr….. kurang ajar ! Kau mau mengolok-olok aku? Ku-kubunuh kau!" tiba-tiba Cengya-kang naik pitam.

Iblis itu berdesis, lalu menerkam Chu Seng Kun. Dengan susah payah tabib muda itu mengelak, kemudian berteriak, “Tunggu ! Kau jangan Iekas marah ! Aku tidak bermaksud menghinamu! Dengarlah........I Bagaimana aku bisa melihat dan memilih urat-urat serta jalan darahmu kalau kulitmu tertutup lendir-lendir kental begitu ? Bagaimana kalau aku salah menusukkan jarumku nanti?”

Ceng-ya-kang menggeram dan menunda serangannya.Kata-kata Chu Seng Kun itu memang masuk akal. "Hmm....... jadi.......jadi aku harus bergulung-gulung di atas pasir ini dahulu? Bhhrrrrr.....” akhirnya Iblis itu berkata.

"Benar ! Atau kalau kau keberatan, aku akan ngawur saja dalam menusukkan jarumku. Bagaimana......?”

“Ba-baik....... bherrrrr….. baiklah, aku akan berguling-guling di pasir ini ! Tapi awas kalau kau mempermainkan aku !"

Dengan agak sedikit malas iblis itu lalu berguling-guling di atas pasir. Mula-mula hanya perlahan-lahan saja, tetapi makin lama akhirnya makin cepat juga. Setelah lendir lendir kental
itu hilang dari tubuhnya, iblis itu lalu berlari ke pantai.

Tubuhnya yang sekarang penuh dengan pasir itu dimasukkannya ke dalam air, kemudian digosok-gosoknya hingga bersih.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Chu Seng Kun untuk menengok Chin Yang Kun.

“Bagaimana Saudara Yang? Apakah tenaga saktimu telah bisa pulih kembali ?”

"Belum. Sebentar lagi. Tolong kau ulur lagi waktunya !" Chin Yang Kun menjawab perlahan, takut didengar Ceng-yakang.

"Hei........ kalian bicara apa ?" Ceng-ya-kang tiba-tiba meloncat keluar dari dalam air dan berdiri di depan mereka.

"Kalian berunding untuk menjebak aku, he......?"

"Aku hanya menanyakan hasil dari pengobatanku tadi. Apakah itu tidak boIeh ?" Chu Seng Kun membantah dengan berani.

"Tidak boleh ! Sekali lagi kalian berbicara satu sama lain, pemuda ganteng itu akan kubunuh !" Ceng-ya kang yang kini sudah bersih dari lendir itu menggeram.

"Hmmh!" Chu Seng Kun mendengus.

"Aku sudah bersih sekarang. Apa yang mesti kukerjakan lagi? Tapi....... awas ! Sekali kau melakukan kecurangan, racun-racunku akan segera bekerja. Satu persatu ruas-ruas tulangmu akan terlepas seperti orang yang terkena penyakit kusta. Dan kalian jangan harap bisa sembuh tanpa meminum obat penawarku !”

Tabib muda itu tergetar hatinya. Tampaknya iblis itu tidak hanya sekedar mengancam saja. Kelihatannya iblis itu memang berkata sebenarnya. Racun Kelabang Hijau memang bukan racun sembarangan.

"Agaknya aku memang tidak boleh sembrono menghadapi orang ini. Racun itu mungkin memang takkan bisa kutahan atau kuobati sendiri tanpa pertolongan obat penawarnya. Oleh karena itu aku harus berhati-hati dan pandai mengambil hatinya, agar obat penawar itu diberikan kepadaku dengan baik-baik," Chu Seng Kun berkata di dalam hatinya.

Tabib muda itu lalu melangkah ke depan. “Jangan banyak bicara! Kau tinggal percaya atau tidak kepadaku? Kalau masih percaya, ya..... syukur. Kalau tidak, ya…….silakan pergi saja !
Habis perkara!" katanya lantang.

"Hmmh !” Ceng-ya-kang menggeram. Lalu, "Baiklah ! Apa yang harus kulakukan Iagi?"

"Kau duduklah bersila di atas pasir! Kendorkanlah semua urat dan otot-ototmu, aku akan memeriksa dulu penyakitmu!"

Chu Seng Kun berkata tegas. Sementara itu Chin Yang Kun sudah mulai bisa menghimpun kembali kekuatannya. Tusukan tiga batang jarum yang dilakukan oleh Chu Seng Kun tadi benar-benar membantu dan mempercepat proses pemulihan tenaganya.Kini hanya tinggal beberapa buah jalan darah saja yang belum pulih seperti semula.

Demikianlah, Chin Yang Kun seperti sedang berlomba dengan waktu, sementara Chu Seng Kun membantunya dengan mengulur ulur waktunya. Tetapi meskipun demikian, tabib muda itu juga tidak berani main-main dengan iblis tersebut. Selain mengulur waktu, tabib muda itu juga berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mengetahui jenis penyakit lawannya.

Sementara itu tubuh Ceng-ya-kang yang sudah bersih itu mulai dilapisi dengan lendir yang keluar lagi dari dalam tubuhnya. Lendir itu mengucur keluar dari pori-pori kulit bersama-sama dengan keringat. Semakin lama lendir tersebut semakin banyak juga sehingga akhirnya mengganggu pekerjaan Chu Seng Kun.

"Wah....... lendirmu sudah menutupi kulitmu lagi! Maukah kau membersihkannya lagi?" tabib muda itu mengeluh.

"Bangsat! Lendir gila ! Makin lama keluarnya semakin deras juga ! Huh !” iblis itu mengumpat-umpat. Lalu, "Apakah kau sudah menemukan cara untuk mengatasinya ?”

"Sudah ! Tapi aku harus memeriksanya kembali, apakah cara yang akan kulakukan itu tidak membahayakan kau. Aku harus berhati-hati menanganinya, karena aku belum pernah menjumpai penyakit seperti ini sebelumnya," Chu Seng Kun menjawab.

"Kurang ajar! Huh, baiklah,,,,,., aku akan berguling-guling di pasir dan mandi di laut lagi ! Kau nantikanlah di sini !" dengan perasaan mendongkol Ceng-ya-kang bersungut sungut.

Begitu iblis itu membenamkan dirinya di laut, Chu Seng Kun bergegas menghampiri Chin Yang Kun kembali.

"Saudara Yang, bagaimana......? Sudah pulih kembali?" bisiknya kepada pemuda berkepandaian tinggi itu.

"Tinggal sedikit lagi ! Lalu apa yang harus kulakukan seteIah tenagaku pulih nanti? Menggempur dia?”

"Jangan! Biarlah aku meminta obat penawarnya dahulu, selelah itu baru terserah kepadamu....." Chu Seng Kun cepat-cepat mencegah. "Eh, dia sudah selesai mandi. Berhati-hatilah!"

Chu Seng Kun bergegas menjauhi Chin Yang Kun lagi.

"Ayoh..... cepatlah ! Tubuhku sudah bersih kembali !” Ceng-ya kang berseru.

"Bagus! Bersilalah Iagi di atas.......!"

Iblis itu memandang Chu Seng Kun dengan tajamnya, setelah itu perlahan-lahan matanya menoleh ke arah tubuh Chin Yang Kun, yang masih tergolek di atas pasir.

"Sekali lagi kau mengajaknya bicara, aku langsung akan membunuhnya! Dan aku tidak akan
peduli lagi, apa yang akan terjadi nanti !" Iblis itu menggeram seraya bersila di muka Chu Seng Kun.

Tergetar juga hati tabib muda itu. la tak menduga kalau iblis itu mengetahui juga gerak-geriknya tadi. Maka untuk sesaat, ia menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan pengobatannya. Ia khawatir iblis keji yang sukar diduga pikirannya itu akan berbalik pikiran dan mengamuk !

"Ayoh, lekas! Kenapa kau diam saja di situ? Mau mengulur waktu agar tenagamu pulih kembali? Dan kemudian kau mau mencoba melawan aku? Huh........ jangan bermimpi ! Sekali saja kau mengerahkan separuh dari tenaga saktimu, maka racunku akan segera bekerja ! Dan dalam waktu singkat seluruh anggota badanmu akan terlepas satu persatu dari tubuhmu, bagaikan sebatang pohon yang berguguran daunnya di musim gugur…”

"Aaaah........!" Chu Seng Kun berdesah.

"Ayoh ! Apa yang kautunggu lagi?" Ceng-ya-kang mendesak.

Chu Seng Kun tersentak. Tapi bersamaan dengan itu tiba tiba timbul akal di dalam pikiran tabib muda tersebut.

"Ooughhh!" desisnya seperti orang yang sedang menahan sakit, lalu tubuhnya terhuyung huyung mau jatuh. Tapi ia segera berpura-pura bertahan sekuat tenaganya.

"Hei? Kau kenapa.......?" dengan kaget Ceng-ya-kang berseru.


Chu Seng Kun mengambil napas sambil mendekap dadanya, “Tidak apa-apa ! Hanya gangguan kecil saja. Dadaku terasa sakit...."

"Dadamu terasa sakit ? Apakah........ apakah lenganmu juga terasa kesemutan?"

Chu Seng Kun melirik, diam-diam ia tersenyum melihat kekhawatiran iblis itu.

"Be-benar.....! Malah tidak cuma lenganku saja yang kesemutan, tapi juga kedua kakiku," tabib muda itu berbohong.

"Kurang ajar ! Kau tentu tidak mengindahkan peringatanku tadi! Kau tentu mengerahkan sinkangmu........" Ceng-ya-kang mengumpat.

"Hah?" Chu Seng Kun pura-pura kaget.

"Aku ...... aku memang telah mengerahkan sinkangku. Tapi.......tapi.....,,.itu akan kugunakan untuk mengobatimu. Untuk mengurut, menotok dan menusukkan jarum, aku harus mempergunakan sinkang........." Chu Seng Kun meneruskan sandiwaranya.

Chu Seng Kun laIu berpura-pura jatuh. Tentu saja Ceng-ya kang yang sedang membutuhkan pertolongan tabib muda itu menjadi kelabakan. Iblis tersebut mengira lawannya benar benar sedang menderita akibat serangan racunnya.

"Gila! Kau tadi tidak mengatakan bahwa cara pengobatanmu itu harus mempergunakan sin-kang! Tahu begitu, aku tentu akan memberimu dulu obat penawarnya!Hmh ! Nih….. kau isaplah dulu darahku, lalu telanlah !” Iblis itu membentak marah.

Ceng-ya-kang lalu melukai ujung jarinya, sehingga darahnya segera merembes keluar. Tapi ketika jari itu dia acungkan ke mulut Chu Seng Kun, tabib muda itu tidak mau mengisapnya.
Iblis itu semakin menjadi marah.

"Kau ingin sembuh tidak…?" teriaknya. "Hanya darahku ini saja yang bisa mengobatimu ! Inilah obat penawarnya itu ! Ayoh, cepat isaplah !"

Beberapa saat lamanya Chu Seng Kun masih ragu-ragu. Selain merasa jijik, tabib muda itu juga masih menimbang nimbang di dalam hati, adakah kata-kata iblis itu bisa dipercaya atau tidak.

"Tapi........iblis ini sekarang membutuhkan sekali pertolonganku. Jadi rasa-rasanya tak mungkin ia berbohong, atau mau membunuh aku. Dan di dalam ilmu pengobatan, kata-katanya itu memang masuk akal. Aku pernah membaca di dalam buku peninggalan su-couw, bahwa seorang yang digigit ular akan sembuh bila meminum darah ular itu sendiri. Hmm, baiklah...... aku akan meminum darah iblis ini!" Chu Seng Kun menimbang-nimbang di dalam hati.

Demikianlah, seperti dipaksakan Chu Seng Kun mengisap darah yang menetes dari ujung jari Ceng-ya-kang. Baunya amis dan anyir, sehingga tabib muda itu hampir muntah karenanya.

"Sekarang kau kerahkan tenaga saktimu secara perlahan lahan ! Kemudian kumpulkan semuanya di dada, lalu desaklah rasa sakit yang menyerangmu tadi keluar dari dalam tubuhmu !" Ceng-ya-kang memberi perintah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT