SOUW THIAN HAI cepat menatap Souw Lian Cu kembali, yang kini berdiri di depannya dengan mata yang juga terbuka lebar serta wajah yang pucat pasi pula seperti dirinya. Dan Souw Thian Hai yang sangat takut bila ia harus kehilangan puteri yang amat disayanginya itu cepat-cepat menurunkan tubuh Chu Bwee Hong ke atas pasir. Bagaikan seorang anak kecil yang menjadi ketakutan di hadapan ibunya karena ketahuan telah berbuat suatu kesalahan, pendekar itu memandang Souw Lian Cu.
“Anak-ku........kaukah itu ?" pendekar yang mempunyai nama besar itu berdesah dengan
suara haru.
“Ayaaaaah.........!” Souw Lian Cu memekik, kemudian menghambur ke dalam pelukan Souw Thian Hai.
Dan dua orang ayah dan anak itupun lalu saling berpelukan dengan kencangnya. Lian Cu yang di dalam hatinya telah lama timbul rasa sesal dan berdosa terhadap ayahnya itu tampak
menangis tersedu-sedu. Sebaliknya pendekar yang selama ini juga tidak pernah menangis meski derita selalu datang bertubi itu, kini ternyata juga tidak bisa menahan air matanya.
"Ayah, maafkanlah anakmu yang tidak berbakti ini. Karena sifatku yang cengeng, kekanak kanakan dan mau menang sendiri......telah membuat ayah menderita selama bertahun tahun.
Ternyata selama ini aku telah salah sangka terhadap ayah. Ternyata ayah sangat mulia dan rela menderita demi aku. Padahal antara ayah dan ci-ci Bwee Hong....... Oh, ayah....!”
"Terima kasih, anakku.......! Kau........ah, aku sungguh gembira sekali kau telah mengerti sekarang. Sudahlah, kau jangan menangis......” Souw Thian Hai membujuk dan menenangkan hati anaknya, tapi dia sendiri juga menyeka air matanya.
Mendadak Souw Lian Cu merenggutkan diri dari pelukan Souw Thian Hai. Bergegas gadis itu menghampiri tubuh Chu Bwee Hong yang tergeletak pingsan di atas pasir, sehingga Souw Thian Hai menjadi berdebar-debar lagi hatinya. Pendekar itu tahu kalau anaknya sangat membenci Chu Bwee Hong.
"Ayah.......???" Souw Lian Cu berdesah khawatir seraya menatap ayahnya.
"Aku... eh, aku dan dia....... baru sekali ini berjumpa. Dia tadi....... hendak bunuh diri. Dia.......dia tadi kukira engkau. Sungguh !” Souw Thian Hai cepat-cepat memberi penjelasan
dengan suara gelagapan karena mengira Souw Lian Cu telah salah sangka lagi terhadapnya.
Souw Lian Cu mengerutkan keningnya. Tapi begitu dapat menduga apa yang sedang berkecamuk di dalam hati ayahnya, gadis itu memandang wajah ayahnya dengan perasaan kasihan.
"Ayah, kau jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku tidak apa-apa. Anakmu sudah dewasa sekarang. Aku tadi hanya ingin mengatakan bahwa ci-ci Bwee Hong pingsan dan apa yang harus kita lakukan terhadapnya.........?"
"lni.......ini.....eh, ini.......sebaiknya kita bawa saja dia ke dusun itu, agar.....agar bisa cepat-cepat memperoleh perawatan." Souw Thian Hai yang belum juga merasa yakin akan sikap Souw Lian Cu itu masih berusaha untuk mengambil jarak antara dirinya dengan Chu Bwee Hong, agar supaya tidak membuat marah anaknya.
Tetapi Souw Lian Cu yang memang sengaja ingin menjodohkan Chu Bwee Hong dengan ayahnya itu menjadi penasaran mendengar jawaban ayahnya itu.
"Membawanya ke dusun ? Mengapa mesti harus dibawa ke sana? Kenapa tidak ayah saja yang merawatnya?” gadis itu bertanya tak senang.
Souw Thian Hai menghela napas murung. "Ah, anakku....... Ternyata kau belum benar-benar mengerti sikap ayahmu. Sebenarnyalah bahwa ayahmu tak ingin merusak dan melukai hati dan perasaanmu, Chu Bwee Hong, maupun..... Put-ceng-li Lo-jin !"
"Eh! Mengapa ayah berkata demikian?" Souw Lian Cu bertanya tak mengerti.
Sekali lagi pendekar itu menghela napas. Dan kali ini semakin terasa sedih.
“Lian Cu........ Aku tahu kau tidak menyukai Chu Bwee Hong. Maka demi kau, aku tak akan mendekati Chu Bwee Hong lagi. Sementara itu aku juga tak ingin membuka luka lama di dalam hati Chu Bwee Hong dengan kehadiranku kembali. Dia telah membina sebuah keluarga yang berbahagia sekarang. Maka aku tak ingin mengganggunya lagi. Selain dari pada itu, sebagai seorang laki-laki sejati, aku tak ingin menghina atau menginjak-injak kehormatan dan harga diri suaminya.......Bukannya aku takut! Tapi sebagai seorang jantan aku tak ingin disebut sebagai pengganggu isteri orang! Mengertikah kau...?” dengan panjang lebar Souw Thian Hai menjelaskan sikapnya itu kepada anaknya.
"Tapi........ayah, dia.......?” dengan nada getir Souw Lian Cu berusaha menjelaskan juga sikap yang telah diambilnya, serta sikap Chu Bwee Hong sendiri terhadap ayahnya selama ini.
"Sudahlah! Keputusanku telah bulat. Marilah sekarang kita bawa saja dia ke dusun itu, lalu kita tinggalkan dia di sana......!" Souw Thian Hai berkata pula dengan tidak kalah getirnya.
Mulutnya berkata demikian, tetapi di dalam hati bukan main pedihnya !
"Tidak........! Aku tidak mau pergi ! Aku akan tinggal bersama-sama dengan ci-ci Bwee Hong. Silakan ayah pergi sendiri! Oohh...." tiba-tiba Souw Lian Cu menjerit, lalu menangis kembali dengan sedihnya.
Tentu saja perkembangan yang sangat mendadak itu benar-benar sangat mengagetkan Souw Thian Hai. Dengan suara khawatir pendekar itu menyentuh lengan anaknya.
"Lian Cu, kau....... kau kenapa?”
Dengan cepat Souw Lian Cu menghindar dari sentuhan tangan ayahnya. Matanya masih bercucuran ketika menatap wajah ayahnya.
"Ayah sungguh kejam terhadap ci-ci Bwee Hong. Dia sangat menderita dan selalu mendambakan kehadiran ayah, tapi ayah sendiri ternyata Iebih mementingkan kehormatan dan harga diri ayah sendiri. Ayah tak mau tahu perasaan dan penderitaan orang lain, padahal ci-ci Bwee Hong demikian baik dan mulianya. Aku sekarang sudah sadar, betapa kelirunya aku dulu menilai dia......." dengan berani dan dengan suara serak Souw Lian Cu berkata kepada ayahnya.
"Lian Cu, kau.......? Mengapa kau bersikap demikian? Marilah.......! Kita jangan berselisih lagi!" Souw Thian Hai memandang sedih kepada anaknya.
"Tidak! Ayah boleh pergi! Aku akan ikut ci-ci Bwee Hong saja......"
"Oh, Tuhan.......! Apakah yang harus aku lakukan?" Souw Thian Hai berbisik dengan hati yang tak keruan rasanya.
Tak heran kalau Souw Thian Hai menjadi sangat bingung dan sedih. Bertahun-tahun pendekar itu hidup di dalam kesedihan dan penderitaan. Dengan rela ia menerima semuanya itu demi Souw Lian Cu, puterinya. Ia tekan semua keinginan dan kepentingan dirinya sendiri, serta ia buang semua angan-angan tentang kebahagiaan yang telah ia rencanakan bersama Chu Bwee Hong, demi anaknya, Souw Lian Cu! Tapi setelah semuanya itu sudah ia pertaruhkan, kini secara mendadak anak itu berbalik haluan. Puterinya itu kini justru malah menghendaki ia kembali dengan Chu Bwee Hong.
Padahal, seperti yang telah lama ia dengar, Chu Bwee Hong telah menjadi isteri ketua Bing-kauw sekarang. Lalu, apa kata orang nanti, kalau Hong gi-hiap atau Pendekar Gila Yang Berbudi itu ternyata suka merebut isteri orang ?
"Uhhh......Lian Cu! Kau..... kau tidak boleh membantah perkataan ayahmu..........” tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh suara Chu Bwee Hong yang "pingsan" itu.
"Ci-ciii......." Souw Lian Cu menjerit lirih.
"Hong-moi......kau........?" Souw Thian Hai berdesah pula dengan kagetnya.
Lalu seperti berlomba ayah dan anak itu bergegas menghampiri Chu Bwee Hong yang telah siuman dari pingsannya itu. Dengan wajah tegang dan gelisah keduanya duduk berjongkok di dekat Chu Bwee Hong. Tapi sekejap kemudian Souw Thian Hai bangkit berdiri kembali.
Pendekar sakti itu seperti tak tahan atau merasa ketakutan melihat sepasang mata indah namun penuh air mata itu menatap pilu kepadanya. Serasa ada semacam tuntutan dalam pandangan tersebut.
Selain dari pada itu Souw Thian Hai sendiri juga hampir tidak bisa menguasai perasaannya pula. Oleh karena itu dia cepat-cepat berdiri dan menjauhkan diri, dengan maksud agar Chu Bwee Hong atau Souw Lian Cu tidak tahu, betapa gemetar tubuhnya, betapa perih hatinya dan betapa deras darah yang mengalir di dalam jantungnya. Dan semuanya itu membuat dirinya seolah melayang ke alam yang lain.
"Oh, Tuhan........ dia........ dia ternyata tidak berubah sama sekaIi ! Hatinya masih tetap seperti dulu juga. Aku....... tak tahan melihatnya ! Oh, Tuhan........ betapa berat cobaan yang Kauberikan kepada kami !" pendekar itu merintih di dalam hatinya.
Tetapi sikap Souw Thian Hai tersebut ternyata diartikan lain oleh Souw Lian Cu. Di mata Souw Lian Cu, sikap ayahnya itu hanya menunjukkan bahwa ayahnya masih mementingkan kepentingan sendiri saja. Ayahnya masih saja bertahan pada kehormatan dan harga dirinya yang berlebih-lebihan. Sama sekali ayahnya tidak menaruh rasa kasihan kepada orang lain, meskipun orang lain itu adalah kekasihnya sendiri. Dan yang membuat hati Souw Lian Cu semakin penasaran terhadap ayahnya adalah kenyataan bahwa korban dari sikap ayahnya yang sangat menjengkelkan tersebut adalah Chu Bwee Hong, seorang wanita yang dia ketahui sangat mulia dan baik budi perilakunya. Dengan tajam gadis itu menatap ayahnya.
Mulutnya tidak berkata sepatahpun. Tapi melihat sikap yang dia perlihatkan, orang akan segera dapat menduga bahwa gadis itu siap untuk melawan perintah ayahnya. Ternyata sikap Souw Lian Cu itu dilihat pula oleh Chu Bwee Hong.
"Lian Cu....... kau tidak boleh memandang ayahmu seperti itu. Apa yang dikatakan ayahmu tadi memang benar sekali.
Meskipun kami saling mencinta, dan kukira sampai kapanpun hal itu takkan berubah, tapi keadaan kami sekarang sudah tidak sama lagi dengan dahulu. Ayahmu seorang lelaki sejati, oleh karena itu ia takkan mau mengganggu isteri orang, meskipun orang itu adalah bekas kekasihnya. Begitu pula dengan aku. Biarpun aku tak mencintai suamiku, tapi aku telah bersedia menjadi isterinya. Maka dalam hal ini akupun tak ingin mengkhianati kata-kataku sendiri. Apalagi suamiku itu seorang yang sangat baik dan telah banyak melepas budi kepadaku. Oleh karena itu, apapun yang akan terjadi aku takkan meninggalkan suamiku. Kecuali bila suamiku itu sudah tidak membutuhkan aku lagi........." sambil masih bertiduran di atas pasir, Chu Bwee Hong berbicara panjang lebar.
"Ci-ci, kau sungguh mulia sekali. Kau tak pernah mau menyalahkan ayahku, dan kaupun juga tak pernah menyalahkan aku pula. Kau selalu menerima cobaan dan penderitaan seorang diri........" Souw Lian Cu menubruk Chu Bwee Hong dan menangis di atas dadanya !
"Lian Cu, janganlah menangis.......! Pergilah ! Ikutilah ayahmu! Tinggalkan saja aku.....! Tempatmu adalah di dekat ayahmu."
"Tidak! Aku tidak mau ! Lalu bagaimana dengan kau nanti ?” Souw Lian Cu menjerit.
Chu Bwee Hong mengusap rambut Souw Lian Cu. "Tentu saja aku akan kembali ke suamiku Iagi. Bukankah aku mempunyai seorang suami?" wanita ayu itu membujuk perlahan.
"Ci-ci, aku ikut denganmu. Aku akan menebus dosa-dosaku dengan mengabdi kepadamu. Aku akan melayani engkau seperti seharusnya aku melayani ibuku yang tak pernah kulihat dan kukenal. Biarlah ayahku pulang sendiri..........” Souw Lian Cu tetap membandel.
"Lian Cu! Ohhh........!" Souw Thian Hai dan Chu Bwee Hong berdesah kaget.
Kedua orang itu, Souw Thian Hai dan Chu Bwee Hong, sungguh tidak menyangka bahwa Souw Lian Cu akan berkata seperti itu. Dan perkataan itu diucapkan dengan suara tegas dan kaku oleh gadis tersebut, suatu tanda bahwa kemauan atau keinginannya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apalagi bagi Souw Thian Hai, ayahnya, yang sudah sangat mengenal akan sifat dan watak anaknya !
Diam-diam suasana menjadi tegang ! Dan anginpun bertiup pula dengan kuatnya, sehingga menerbangkan pasir-pasir halus itu ke udara. Untuk sesaat udara di atas pantai tersebut menjadi gelap, dan yang terdengar hanya suara debur ombak yang semakin kuat menghantam pantai. Tiba-tiba........
"Huah-haha-hahaha.........! Kagum.......sungguh-sungguh kagum benar aku ! Baru sekali ini aku Si Put-ceng-li Lo-jin dibuat kagum oleh sikap pribadi seseorang! Huahhaha ....... babi, monyet, keparat.......!"
Tiba-tiba deru angin dan debur ombak yang bergemuruh keras itu tertindih oleh suara tertawa Put-ceng-li Lo-jin yang lantang bagaikan suara genta berkumandang ! Dan sekejap kemudian orang tua itu lalu muncul dari balik sebuah batu karang besar yang hanya berjarak tiga atau empat meter dari tempat mereka berada. Tentu saja kedatangan Ketua Aliran Bing-kauw yang amat mendadak itu benar-benar sangat mengagetkan mereka bertiga!
"Put-ceng-li Lo-jin.......!” Souw Thian Hai berdesah dengan suara serak.
"Lo jin.......!" Chu Bwee Hong menyebut pula nama suaminya.
Bergegas wanita ayu itu bangkit duduk, kemudian berdiri, seolah-olah mau menjemput atau menyongsong kedatangan suaminya. Wajahnya yang pucat dan murung tadi dengan cepat dihapusnya. Ia menatap wajah suaminya dengan senyum yang dipaksakan.
"Bwee Hong....." ketua Bing-kauw itu memanggil dan menghampiri isterinya, tapi matanya
dengan liar mengawasi Souw Thian Hai dan Souw Lian Cu.
Chu Bwee Hong yang merasa khawatir melihat sinar mata suaminya itu segera melangkah ke depan menyambut kedatangan Put-ceng-li Lo-jin. Jari-jarinya yang lentik dan halus itu cepat-cepat menangkap Iengan kakek tua itu. "Lo jin, apakah kau mencari aku ?” sapanya dengan suara bergetar.
Selama ini, kedua suami isteri itu memang tidak pernah saling memanggil seperti kebanyakan suami isteri lainnya. Sejak mereka kawin Chu Bwee Hong selalu menyebut Lo-jin terhadap suaminya, sementara Put-ceng-li Lo jin juga hanya menyebut nama isterinya begitu saja.
“Benar!" Put-ceng-li Lo-jin mengangguk, tetapi matanya tetap tak lepas dari wajah Souw Thian Hai yang pucat itu.
“Bukankah aku tadi sudah meminta ijin kepadamu untuk keluar sebentar? Aku mau menenteramkan hatiku di pantai ini barang sejenak, karena pertemuanku dengan kakakku itu
membuatku bersedih. Apakah engkau mencurigai aku?" Chu Bwee Hong yang semakin merasa gelisah dengan sikap suaminya terhadap Souw Thian Hai itu, berusaha mengalihkan perhatian suaminya tersebut.
Put-ceng-li Lo jin memandang wajah Chu Bwee Hong. "Ya ...... aku curiga kepadamu. Dan kecurigaanku itu ternyata benar. Bukankah kau hendak mengakhiri hidupmu sendiri tadi?"
“Aku... aku........" Chu Bwee Hong tak bisa menjawab.
Kepalanya tertunduk.
“Aku tahu. pertemuanmu dengan kakakmu itu membuatmu sedih, pepat dan bingung. Luka hatimu yang selama ini telah dapat kau atasi, sekarang menjadi terbuka kembali. Dan aku langsung dapat melihatnya. Keadaanmu sekarang tidak jauh bedanya dengan keadaanmu ketika kau kutemukan dahulu. Maka aku lantas menjadi curiga ketika kau meminta ijin tadi. Kau lalu kuikuti. Tapi ternyata aku kalah cepat dengan saudara ini. Ehh.......hmm!" Put-ceng-li Lo-jin menghentikan kata-katanya seraya menoleh kembali ke arah Souw Thian Hai. Matanya tampak meliar kembali. Chu Bwee Hong menjadi ketakutan. Hati yang semula merasa tenang mendengar ucapan suaminya yang panjang lebar itu, suatu hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya mendadak kini menjadi gelisah kembali melihat pandang mata suaminya yang liar dan ganas itu.
"Lo-jin........." cegahnya.
"Sebentar ! Ehm...... jadi inikah pemuda yang selalu kauceritakan itu ?"
Put-ceng-li Lo-jin tak memperdulikan kekhawatiran serta cegahan isterinya. Meskipun tangan Chu Bwee Hong selalu bergantung pada lengannya, kakek itu tetap melangkah mendekati Souw Thian Hai. Souw Lian Cu dengan wajah tegang terpaksa menyingkir.
Setelah berada empat langkah di depan Souw Thian Hai, orang tua itu berhenti.
"Anak muda! Benarkah engkau yang bernama Souw Thian Hai dan bergelar Hong-gi-hiap itu?" Kakek itu bertanya.
Ternyata Souw Thian Hai juga telah bisa menenangkan kemelut yang melanda hati dan perasaannya tadi. Dengan tenang pendekar sakti itu menghela napas panjang. Matanya yang tajam luar biasa itu balas menatap Put-ceng-li Lo-jin.
"Ya....... siauw-te adalah Souw Thian Hai." jawabnya perlahan namun tegas.
"Hmm....... aku telah melihat dan mendengar semua yang terjadi di sini tadi. Sebenarnya aku sangat kagum sekali kepadamu. Kau benar-benar seorang pendekar tulen dan seorang ksatria sejati pula. Tak heran kalau orang persilatan memberi julukan Hong-gihiap kepadamu. Tetapi..... meskipun demikian aku tetap merasa kecewa kepadamu !"
Setelah mengatakan apa yang terkandung di dalam hatinya, ketua aliran Bing-kauw itu berdiam diri. Orang tua itu sengaja memberi tekanan pada kalimatnya yang terakhir, untuk memancing kemarahan Souw Thian Hai. Orang tua yang sangat suka berkelahi itu bermaksud menjajagi kalau bisa sedikit memberi pelajaran kepada Souw Thian Hai, bila pancingan itu berhasil nanti. Ternyata selain merasa gatal tangannya karena berjumpa dengan lawan berat, Put ceng-li Lo-jin juga ingin membalaskan sakit hati isterinya pula.
Menurut pendapat Put-ceng-li Lo-jin, sumber dari semua penderitaan Chu Bwee Hong itu adalah akibat tidak bertanggungjawabnya Souw Thian Hai. Coba pendekar muda itu menepati janjinya, semua peristiwa yang menyedihkan itu tentu tidak akan terjadi.
Tetapi pancingan tersebut ternyata gagal. Souw Thian Hai yang sejak semula memang telah menyadari kesalahannya itu, ternyata tidak menjadi marah atau tersinggung oleh sindiran Put-ceng-li Lo-jin tadi. Sebaliknya dengan menghela napas dalam-dalam pendekar muda itu malah merendahkan dirinya.
"Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini. Aku sendiripun kadang-kadang juga merasa kecewa kepada diriku sendiri. Tentang gelar Hong-gi-hiap yang diberikan orang kepadaku itu.....hmm, akupun kadang-kadang juga merasa risih pula. Aku merasa bahwa orang-orang itu selama ini juga telah menilai salah terhadapku. Mereka demikian menyanjung dan menghormati aku, padahal kenyataannya aku bukanlah manusia istimewa seperti yang mereka bayangkan itu. Akupun hanya seorang manusia biasa pula, yang bisa juga berbuat salah dan dosa seperti yang lain.......”
Hening sejenak. Put-ceng-li Lo-jin terdiam. Ternyata jawaban Souw Thian Hai itu benar-benar sangat mengena di hati Put-ceng-li Lo-jin. Kakek sederhana yang juga tidak pernah merasa tinggi ataupun hebat, meski ia seorang ketua aliran yang besar dan ternama itu semakin merasa cocok dan kagum dengan pribadi Souw Thian Hai itu. Dan di dalam hatinya, kakek itu semakin membenarkan pilihan hati Chu Bwee Hong. Pemuda itu demikian tampan, gagah, ternama dan baik pula budi pekertinya. Maka gadis atau wanita mana yang takkan jatuh hati kepada pemuda itu?
Oleh karena itu, tidak dapat dipersalahkan juga kiranya, kalau Chu Bwee Hong sampai rela menanggung derita dan sengsara sedemikian hebatnya demi pemuda itu.
Put-ceng-li Lo-jin menghela napas. Mendadak timbul perasaan kasihan di dalam hati orang tua itu kepada sepasang kekasih yang gagal tersebut. Demikian mendalamnya cinta kasih mereka, dan demikian hebatnya pula cobaan yang mereka terima, namun demikian semuanya itu ternyata tak bisa menggoyahkan iman, kepribadian, maupun kemuliaan hati mereka berdua. Dengan sangat rela mereka mengesampingkan kepentingan diri mereka sendiri, demi
menghormati hak dan kehormatan orang lain. Keduanya rela berpisah dan menanggung derita di dalam hati masing masing, karena salah seorang diantara mereka ternyata telah menjadi milik orang lain.
Adakah manusia di dunia ini yang mampu berbuat seperti mereka berdua? Timbul maksud di hati Put-ceng-li Lo-jin untuk mempersatukan mereka kembali.
"Sejak pertama kali aku menemukan gadis itu, aku telah berjanji di dalam hatiku, bahwa aku akan mengembalikan kegembiraan dan kebahagiaan gadis itu sekuat kemampuanku. Dan untuk mewujudkan janjiku itu aku telah berbuat apa saja, dan demi gadis itu aku telah berani
menghadapi ejekan dan caci-maki masyarakat di sekelilingku.Namun demikian selama ini aku tetap tak bisa mengembalikan kegembiraannya. Hmmmm........mengapa pada saat yang
amat baik ini aku tak hendak mempersatukan saja mereka?”
Put-ceng-li Lo-jin berkata di dalam hatinya.
Setelah memperoleh keputusan seperti itu Put-ceng-li Lo-jin menjadi lapang hatinya. Kakek itu lalu bersiap-siap untuk melaksanakan keputusannya tersebut. Meskipun demikian, sebagai seorang jantan dan lelaki sejati, ketua Bing-kauw itu hendak menyelesaikannya dengan cara seorang ksatria pula.
Kakek itu akan menantang Souw Thian Hai untuk berperang tanding, dan yang menang akan mendapatkan Chu Bwee Hong! Maka kakek itu lalu menatap Souw Thian Hai dengan tajamnya.
“Saudara Souw......! telah kukatakan tadi, bahwa sebenarnya aku amat kagum kepadamu. Tetapi kekagumanku itu ternyata juga bercampur dengan sedikit kekecewaan pula. Kau memang seorang ksatria dan pendekar sejati. Hanya saja sebagai seorang lelaki kau terlalu lemah dan kurang bijaksana. Kau terlalu tinggi hati dan tidak bertanggung jawab......!” Put-ceng-li Lo-jin membuka mulutnya.
Dan kali ini ternyata api yang disulutkan oleh Put-ceng-li Lo-jin telah mengenai sasarannya. Sekilas tampak mata Souw Thian Hai berkilat-kilat dalam kegelapan.
“Apa maksudmu......?” pendekar sakti itu menggeram perlahan.
Put-ceng-li Lo-jin tersenyum.
“Bangsat! Belum tahu maksudku? Hehehe.......maksudku, sebagai laki-laki engkau berani berbuat tetapi tidak berani bertanggung jawab. Engkau telah berani memikat hati Chu Bwee Hong, tapi setelah kena kau lantas melarikan diri.......”
“Apa.......?" Souw Thian Hai memotong dengan suara gemetar. Tapi Put-ceng-li Lojin tak peduli dan tetap meneruskan perkataannya. “Nah, apakah perbuatan seperti itu perbuatan yang bijaksana? Hmmh! Dan kini, setelah sekian lamanya kau melarikan diri, serta melihat korbanmu telah ada yang menolong, kau lalu datang kembali. Kau pura-pura masih bersedih, padahal di dalam hati kau bergembira bukan main. Kau sangat bergembira karena Chu Bwee Hong tidak membunuh diri, tapi malah mendapatkan seorang suami yang bisa melindunginya. Kini kau merasa seolah-olah sudah terbebas dari beban dosa yang berat. Malah untuk menyempurnakan sandiwaramu, kau lalu datang seperti seorang ksatria yang bersedih, tapi tak ingin mengusik kebahagiaan bekas kekasihmu. Kau berpura-pura menjadi ksatria sejati yang tak ingin mengusik atau mengganggu isteri orang.......”
Wajah Souw Thian Hai yang pucat itu perlahan-lahan berubah menjadi merah padam. Sinar kemarahan tampak semakin menyala dalam bola matanya.
“Omongan seorang gila! Hmm, Put-ceng-li Lo-jin! Kau jangan berbelit-belit! Lekas katakan, apa sebenarnya maksudmu......?” Souw Thian Hai menggeram marah.
Put-ceng-li Lo-jin tertawa terbahak-bahak.
"Hohoho........ kau ingin tahu maksudku? Baik! Dengarlah! Aku ingin agar kau berbuat sesuatu untuk menghapus rasa kecewa yang mengotori perasaan kagumku kepadamu tadi. Nah, kau sanggup tidak?”
Souw Thian Hai mengerutkan dahinya, tetapi ia tetap bingung dan tak tahu apa yang dimaksudkan oleh ketua Aliran Bing-kauw tersebut.
“Kurang ajar! Sudah kuminta agar kau jangan berbelit-belit, tetapi kau tetap membandel! Apakah kau ingin aku marah?” untuk pertama kalinya Souw Lian Cu melihat ayahnya berteriak marah-marah.
“Bodoh! Goblok! Otak udang.......!” Put-ceng-li Lo-jin memaki-maki, seperti orang yang tak mengenal bahaya pula.
“Mengapa kau tidak dapat juga menafsirkan perkataanku itu? Dengarlah baik-baik! Aku ingin kau menghapus rasa kecewaku itu, agar supaya perasaan kagumku itu menjadi sempurna. Aku ingin agar kau benar-benar menjadi seorang lelaki sejati. Jantan tulen. Sesuai dengan gelar Hong-gi-hiap yang kauterima itu. Kau adalah seorang pendekar ternama, karena itu.......hilangkan kelemahan hatimu!”
“Menghilangkan kelemahan hatiku? Apa......apa maksudmu?”
“Bangsat! Keparat! Kau ini benar-benar tidak tahu atau pura-pura tolol? Apakah kau tidak pernah membaca dan mendengar, bagaimana seorang ksatria mengambil jodohnya?” Put-ceng-li Lo-jin berteriak jengkel.
"Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan! Kakek gila, mengapa kau masih tetap berteka-teki juga? Lekaslah kaujelaskan, atau......kita berkelahi saja!” Souw Thian Hai membentak pula tidak kalah kerasnya.
"Babi kotor ! Dengar ! Rebutlah Chu Bwee Hong dari tanganku! Nah, sudahkah kau dengar kata-kataku ini? Rebutlah Chu Bwee Hong! Dimanapun juga para ksatria mengambil jodohnya dengan perisai dan pedang!” saking jengkelnya Put-ceng-li Lo-jin berteriak setinggi langit.
“Lo-jin.......!” Chu Bwee Hong menjerit dan menubruk Put ceng-li Lo-jin. “Kau.....mengapa kau berkata begitu? Apakah......apakah aku telah bersalah kepadamu? Mengapa aku hendak kauberikan kepada orang lain? Apakah kau telah tidak mau lagi kuikuti.....?”
Chu Bwee Hong menangis di dada kakek tua itu. Tapi Put-ceng-li Lo-jin cepat membujuknya. “Bwee Hong, anak yang baik......! kita tak perlu lagi meneruskan semua sandiwara kita ini. Sudah tiba saatnya semuanya itu kita buka sekarang. Di tempat ini. Bukankah kau masih ingat rencanaku dulu?”
“Tapi........Lo-jin?” Chu Bwee Hong menengadahkan mukanya dan memandang wajah suaminya dengan air mata bercucuran.
“Anak baik, sudahlah......! kita memang tak pernah menjadi suami isteri dalam arti yang sesungguhnya. Semuanya itu hanya demi kau saja, anakku.....lain tidak! Kau masih ingat semua rencana kita dahulu, bukan?”
Chu Bwee Hong mengangguk-angguk dengan air mata yang masih bercucuran pula.
“Bagus! Sandiwara kita ini berakhir karena pemuda yang kauimpi-impikan itu telah berada di depan mata kita. Sekarang tinggal caranya saja untuk menyelesaikannya.”
“tapi, Lo-jin.......aku telah.......oh! mana dia mau lagi denganku?” Chu Bwee Hong melirik Souw Thian Hai dan menangis lagi tersedu-sedu, ingat akan keadaannya.
Put-ceng-li Lo-jin menghela napas panjang. Dibelainya rambut Chu Bwee Hong perlahan-lahan.
“Anakku, hal itulah yang akan kuujikan kepadanya. Kalau dia memang lelaki baik dan bijaksana seperti yang selalu kauceritakan, dia tentu masih akan tetap menerimamu.
Apapun yang telah terjadi! Tapi kalau ia menolakmu karena kau dianggapnya telah kotor, maka dia adalah seorang yang picik dan kerdil! Nah, apa gunanya kamu memikirkan pemuda
seperti itu?”
“tapi mengapa kau menyuruh dia merebut aku dari tanganmu? Bukankah dengan demikian suasana akan menjadi bertambah kalut?” Chu Bwee Hong berkata di antara isak tangisnya.
“Sssst! Diamlah! Kau tak perlu khawatir! Percayalah saja kepadaku! Justru inilah jalan yang terbaik bagi kita.......” Put-ceng-li Lo-jin berbisik.
“Jalan yang terbaik?” Chu Bwee Hong berdesah tak mengerti.
“Ya! Kalau dia memang masih mengharapkanmu serta mencintaimu, dia tentu menerima tantanganku itu. Sebab tantangan ini merupakan kesempatan bagi seorang jantan untuk memperoleh haknya secara terhormat. Tapi kalau dia memang tidak...... mencintaimu lagi, hmm....... dia tentu akan mencari berbagai macam alasan untuk menghindarinya! Nah, bukankah ini merupakan jalan yang terbaik untuk menguji hatinya kepadamu? Dan yang kedua, aku ingin mendudukkan dirimu di tempat yang semestinya."
Put-ceng-li Lo-jin berhenti sebentar untuk mengambil napas, lalu dengan wajah bersungguh-sungguh ia meneruskan lagi keterangannya. "Kau adalah anak yang baik. Sangat baik sekali malah ! Hanya karena nasib saja kau bertemu dengan iblis berkerudung yang sangat keji itu. Tapi lepas dari semua itu, kau benar-benar seorang gadis pilihan. Wajahmu ayu, hatimu bersih, budimu luhur dan mulia. Nah, adakah wanita lain yang seperti engkau ini?"
Sekali lagi Put-ceng-li Lo-jin menghentikan kata-katanya. Dipandangnya wajah yang berurai air mata itu dengan tersenyum, senyum seorang kakek atau ayah kepada cucu atau anaknya sendiri.
"Nah, oleh karena itu pemuda yang hendak mempersunting dirimu harus berjuang. Berjuang
dengan seluruh keringat dan darahnya! Kau bukanlah wanita murahan yang dengan mudah diperoleh oleh setiap orang! Kau adalah seorang puteri pilihan yang pantas direbut dengan cucuran darah dan nyawa oleh para ksatria.......!”
Chu Bwee Hong memandang kakek itu dengan wajah terharu, lalu tanpa terasa lengannya kembali memeluk tubuh bongkok yang baik budi itu.
“Lo-jin.......” mulutnya merintih, menyebut nama penolongnya, yang oleh sebagian orang dianggap urakan dan tak mengenal aturan itu.
“Hmm, anak baik, sekarang kau sudah tahu maksudku, bukan?”
Chu Bwee Hong mengangguk.
“Bagus! Sekarang kau minggirlah, biar aku menyelesaikannya......!” Put-ceng-li Lo-jin berkata seraya melepaskan pelukan Chu Bwee Hong.
“Tapi.....bagaimana dengan kau nanti? Bagaimana kalau kau tak bisa melayaninya? Oh, Lo-jin......dia.....dia lihai sekali!”
Chu Bwee Hong memandang Put-ceng-li Lo-jin dengan perasaan khawatir.
“Eh, anak bodoh! Bagaimana kau ini? Bukankah itu lebih baik? Bagaimana jadinya.....kalau aku yang menang nanti? Malah menjadi repot, bukan?” Put-ceng-li Lo-jin berbisik, lalu tertawa.
Chu Bwee Hong tersipu-sipu diantara air matanya yang mulai mengering.
"Tapi aku tak ingin kau terluka atau sakit karena pertempuran itu......." Chu Bwee Hong berbisik pula.
"Bangsat ! Aku adalah ketua Aliran Bing-kauw. Masakan begitu mudahnya aku dilukai orang?" kakek itu berseloroh.
"Sudah, minggirlah sana.......!”
Chu Bwee Hong melirik sekali lagi ke arah Souw Thian Hai yang mukanya merah padam itu, lalu melangkah minggir mendekati Souw Lian Cu. Dan gadis itupun lalu menyongsong Chu Bwee Hong dengan pelukan haru.
Sementara itu Put-ceng-li Lo-jin telah berhadapan dengan Souw Thian Hai kembali!
"Nah! Kau tentu sudah mendengar pula barang sedikit percakapanku dengan Chu Bwee Hong tadi, bukan ? Aku dan dia bukanlah suami isteri dalam arti yang sebenarnya.Meskipun begitu, aku tak hendak menyerahkannya begitu saja kepada orang lain. Orang itu harus menyabung nyawa terlebih dahulu denganku untuk bisa memilikinya. Hmmh.......bagaimana? kau terima tantanganku?” kakek itu berteriak menggeledek, mengalahkan deru angin yang bertiup di atas pantai tersebut.
Souw Thian Hai tidak segera menjawab. Wajahnya tampak pucat dan merah berganti-ganti. Kadang-kadang tampak pula sinar gembira dan kelegaan di matanya mendengar Chu Bwee Hong bukan isteri Put-ceng-li Lo-jin. Tapi perkembangan yang sangat mendadak itu masih juga membingungkannya.
“kalian......kalian bukan suami isteri dalam arti yang sesungguhnya? Tapi.....tapi kudengar kalian mempunyai seorang......eh.....seorang bayi.......” akhirnya pendekar itu berkata. Suaranya gemetar dan matanya beberapa kali memandang ke arah Chu Bwee Hong.
Put-ceng-li Lo-jin menggeram dengan mata menyala. Tangan kirinya bertolak pinggang, sedangkan tangan kanannya menuding ke arah Souw Thian Hai.
“Huh! Jadi kau belum tahu tentang anak itu? Bangsat! Dengarlah......! anak itu lahir di dunia ini akibat dari kelalaianmu, kelemahanmu dan keragu-raguanmu! Tahu? Masih ingatkah kau peristiwa di rumahmu, ketika orang berkerudung hitam yang kini terkenal dengan nama Hek-eng cu itu, membawa Chu Bwee Hong untuk memeras peti pusakamu?” kakek itu berteriak marah.
“Ya........ya, aku ingat! Lalu........lalu mengapa aku yang salah?”
Souw Thian Hai memandang Put-ceng-li Lo-jin dengan penasaran. Sementara itu Chu Bwee Hong mulai menangis lagi. Wanita ayu itu teringat akan penderitaannya kembali.
“Sudah kuduga, kau tentu tidak merasa bahwa kau punya andil juga dalam kemelut ini. Benar-benar lelaki bangsat! Huh! Apakah kau tidak merasa, bahwa karena kelalaianmu dan keragu-raguanmu itu membuat sengsara hati Chu Bwee Hong? Dan karena ulahmu itu pula yang membuat Chu Bwee Hong dengan mudah dijebak oleh iblis Hek-eng-cu itu. Nah, siapa yang salah kalau akhirnya Chu Bwee Hong menjadi korban iblis keparat itu?”
"Ooooh.......!" Chu Bwee Hong menjerit dan menangis terisak-isak kembali di dalam pelukan Souw Lian Cu.
Bukan main terkejutnya Souw Thian Hai.
"Apa........???” pendekar itu berteriak.
Otomatis jari-jari pendekar itu menyambar lengan Put ceng-li Lo-jin. Tapi dengan cepat ketua Bing-kauw itu mengelak, lalu dengan cepat pula membalas serangan itu.
"Dhieees.......!"
Tubuh Souw Thian Hai terpental dan jatuh terguling-guling di atas pasir. Pendekar yang sejak semula memang tidak berjaga-jaga karena memang tidak bermaksud untuk menyerang Put-ceng-li Lo-jin itu, segera bangkit kembali dengan tangkasnya. Matanya terbelalak memandang Putceng-li Lo-jin dan Chu Bwee Hong berganti-ganti.
"Jadi ? Jadi anak itu adalah hasil kebiadaban Hek-eng-cu ? Kurang ajar.......! Iblis keji!" pendekar sakti itu mengumpat dengan gigi berkerot.
Jari-jarinya mengepal dengan eratnya. Tampak benar, betapa marahnya pendekar itu kali ini. Kemarahan yang ditunjang oleh rasa penyesalan yang dalam !
Tiba-tiba Put-ceng-li Lo-jin tertawa. "Hahaha....... terlambat sudah ! Tak ada gunanya lagi kemarahan dan penyesalan itu sekarang ! Apalagi kemarahan dan penyesalan tersebut datangnya dari seorang lelaki pengecut dan tak bertanggung jawab! Semua itu Cuma sandiwara belaka.....!"
"Gila ! Tutup mulutmu......!!" Souw Thian Hai menjerit saking marahnya. Mendadak tangan kanan Souw Thian Hai terayun ke depan, ke arah dada Put-ceng-li Lo-jin ! Dan....... selarik sinar kemerahan tiba-tiba melesat dari telapak tangan itu.
Dengan tergesa-gesa Put-ceng-li Lo-jin menghindarinya.
"Dhuaaaar........!!!”
Gundukan pasir yang berada di belakang Put-ceng-li Lo-jin tiba-tiba meledak dengan dahsyatnya ! Debu pasir berhamburan bagai hujan ! Terpaksa semuanya menyingkir dari tempat itu, termasuk juga Souw Lian Cu yang menggandeng tangan Chu Bwee Hong!
Put-ceng-li Lo-jin mendaratkan kakinya tidak jauh dari tempat tersebut. Sambil bertolak pinggang, kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya, hatinya kagum sekali.
"Hei! Apakah kau menerima tantanganku tadi ? Kau bersedia merebut Chu Bwee Hong dari tanganku ?" dengan enaknya dan tanpa merasa takut sedikitpun melihat pameran kekuatan Souw Thian Hai tadi, Put-ceng-li Lo-jin berteriak-teriak kembali.
"Jangan membuka mulut saja! Lihat seranganku.......!"
Souw Thian Hai menggeram dan kembali menyerang dengan kedua belah tangannya.
Sekali lagi seleret sinar kemerahan meluncur dari telapak tangan Souw Thian Hai, menerangi gundukan pasir yang berada diantara mereka. Dan sedetik kemudian kilatan sinar merah itu menjilat ke arah dada Put-ceng-li Lo-jin, bagaikan jilatan api yang menyengat udara sekelilingnya.
“Gila !"
Put-ceng-li Lo-jin mengumpat seraya melenting ke atas cepat sekali. Kemudian dari atas kakek itu meluncur ke samping kiri seperti kilat cepatnya. Sambil meluncur kakek itu menyabetkan lututnya ke kepala Souw Thian Hai. Begitu cepatnya gerakan kakek itu, sehingga Souw Thian Hai tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak lagi.
Tapi senyum yang sudah mulai merekah di bibir ketua Bing-kauw itu cepat menghilang lagi. Souw Thian Hai itu memang tidak bisa mengelak lagi, tapi secara mendadak pendekar itu memalingkan mukanya, dan tiba-tiba dari mulutnya berembus kabut putih yang menerpa atau menyongsong datangnya lutut itu.
Dan sekejap kemudian hembusan udara dingin terasa menghantam lutut Put-ceng-li Lo-jin, sehingga tiba-tiba saja kaki ketua Bing-kauw itu terasa kaku dan lututnya membeku!
Maka sambil memaki dan mengumpat tiada habisnya, kakek tersebut berusaha melemparkan kakinya yang tidak bisa digerakkan itu ke atas. Lalu dengan meminjam daya lemparannya tersebut, Put-ceng-li Lo-jin melesat pergi menjauhkan diri.
"Monyet! Anjing ! Babi........! Hei........ilmu apa ini?" ketua Bing-kauw itu berseru dengan kaki terpincang-pincang.
Segores luka tampak menganga di atas lututnya. Luka seperti sayatan pedang yang tidak ia ketahui dari mana datangnya.
Dan anehnya, untuk beberapa saat luka itu tidak mengeluarkan darah. Baru setelah kakek itu mengerahkan lwee-kang untuk menghilangkan kebekuan tersebut, luka itu lalu mengalirkan darah.
Chu Bwee Hong yang berpegangan tangan dengan Souw Lian Cu itu, tampak menatap Put-ceng-li Lo-jin dengan pandang mata khawatir.
“Ilmu apakah yang telah dikeluarkan ayahmu itu?” wanita ayu itu bertanya kepada Souw Lian Cu. “Kulihat ia tak membawa apa-apa, tapi mengapa bisa melukai orang?”
“Tai-lek Pek-khong-ciang dan Tai-kek Sin-ciang!” Souw Lian Cu menjawab bangga.
“Ohh........? Tai-lek Pek-khong-ciang dan Tai-kek Sinciang?” Chu Bwee Hong menegas dengan suara kaget.
“Ya! Kedua buah ilmu itu adalah andalan keluarga Souw, dan ayahku telah mempelajarinya dengan sempurna sekali. Dan yang melukai Put-ceng-li Lo-jin itu adalah pukulan Tai-lek Pek-khong-ciang, semacam ilmu totokan (tiam-hoat) dari jauh. Hawa pukulan dari tiam-hoat itu dapat melukai sasaran seperti layaknya ujung pedang atau ujung tongkat, tergantung oleh besar kecilnya tenaga sakti yang dipergunakan.......”
“Ah, kalau begitu kau juga bisa, Lian Cu.....?” gadis itu mengangguk.
“Tapi baru permulaan, karena aku lantas pergi dari rumah......” katanya menyesal. “.......jadi belum dapat dipakai untuk melukai sasaran dari jarak jauh. Paling-paling hanya untuk menotok atau melumpuhkan orang dari jarak satu tombak saja......”
“Tapi......itupun sudah hebat, dan kau masih bisa belajar lagi nanti.” Chu Bwee Hong membujuk.
Tiba-tiba Souw Lian Cu meremas jari-jari tangan Chu Bwee Hong dengan wajah gembira.
“Jadi......jadi ci-ci bersedia ikut ayahku pulang? Ooooh......ibu, aku senang sekali!” Souw Lian Cu memeluk wanita ayu itu.
“Eh! Eh......nanti dulu! Siapa bilang aku akan mengikuti ayahmu?”
Souw Lian Cu cepat melepaskan pelukannya. Bibirnya tidak tersenyum lagi. Matanya yang bulat besar itu menatap Chu Bwee Hong lekat-lekat.
“Hei, Lian Cu.....ada apa?” dengan cepat Chu Bwee Hong memegang lengan gadis itu.
Tapi dengan cepat pula Souw Lian Cu mengelak. “Tidak apa-apa! Kalau begitu, lupakan saja ilmu Tai-lek Pek-khong-ciang itu!”
“Lhoh......mengapa demikian?” Chu Bwee Hong berseru kaget.
Souw Lian Cu membalikkan tubuhnya dengan cepat. Dipandangnya pertempuran seru antara ayahnya melawan Put-ceng-li Lo-jin itu.
“Aku juga tak mau ikut dengan ayah!” gadis itu berkata kaku.
“Ahhh......Lian Cu!” Chu Bwee Hong berdesah, lalu memeluk gadis itu dari belakang. Matanya berkaca-kaca kembali.
Sementara itu pertempuran antara Souw Thian Hai dengan Put-ceng-li Lo-jin berlangsung semakin dahsyat! Kini, setelah menyadari betapa tingginya ilmu kepandaian lawannya, Put-ceng-li Lo-jin tak mau berlaku sembrono lagi. Ketua Bing-kauw itu benar-benar mengerahkan seluruh kepandaiannya, agar supaya tidak terjebak dalam perangkap ilmu Souw Thian Hai yang menggiriskan hati itu.
Kilatan-kilatan sinar berwarna merah dan putih, yang keluar dari telapak tangan Souw Thian Hai itu semakin sering menyambar tubuh Put-ceng-li Lo-jin, sehingga udara di sekitar merekapun menjadi berubah-ubah pula karena terpengaruh oleh ilmu yang mendebarkan hati tersebut. Bila sinar merah yang meluncur, maka udara di sekitar tubuh ketua Bing-kauw itupun lantas bagaikan dibakar oleh lidah api yang bersumber dari tangan Souw Thian Hai. Sebaliknya kalau yang berpijar dari tapak tangan itu berwarna putih terang, maka Put-ceng-li Lo-jin seolah-olah telah dicampakkan pula ke dalam lautan es yang dingin bukan kepalang! Dan dilihat sepintas lalu, pertempuran itu tampaknya memang dirasakan terlalu berat bagi Put-ceng-li Lo-jin.
Meskipun dengan Cap-sha-cui-min (Tigabelas Pintu Masuk), yaitu bagian pertama dari Chu-mo-ciang, ketua Bing-kauw itu selalu dapat mengelak dan menghindar, tapi perubahan hawa yang setiap detik selalu berganti itu sungguh sangat melelahkan kekuatan tubuhnya yang telah tua tersebut. Sebab untuk menyesuaikan diri atau bertahan terhadap perubahan-perubahan hawa itu Put-ceng-li Lo-jin terpaksa harus mengerahkan seluruh kekuatan lwee-kangnya. Maka akibatnya, orang tua itu lalu cepat sekali menjadi lelah, sehingga otomatis tidak bisa mengembangkan daya perlawanannya. Jangankan untuk menyerang lawan dengan Koai-jin-kun (Seribu Gerakan Aneh)-nya yang konyol dan mengerikan itu, kini untuk tetap bisa bertahan memainkan Cap-sha-cui-min saja ia semakin merasa kesulitan pula.
''Bangsat! Keparat! Setan busuk bau kotoran.......! Aduuh ! Baru sekali ini aku dibuat jatuh bangun oleh.......... anjing, monyet.....! Oh, babi kau !" ketua Bing-kauw yang gemar mengumpat-umpat itu berteriak-teriak.
Tapi Souw Thian Hai tidak mempedulikan cacian dan umpatan orang tua itu. Semakin lama pendekar itu semakin menambah kekuatan ilmunya, sehingga arena pertempuran itu semakin tercekam pula oleh kedahsyatan ilmu tersebut.
Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu terpaksa menyingkir semakin jauh pula dari arena pertempuran itu. Percikan atau taburan pasir yang telah menjadi panas atau dingin itu benar-benar dapat membahayakan kulit mereka.
"Lian Cu, kelihatannya Put-ceng-li Lo-jin sedang berada di dalam keadaan yang sulit sekarang........." Chu Bwee Hong berkata dengan nada khawatir. Souw Lian Cu menghela napas, tapi tak menjawab.
"Lian Cu, mengapa kau diam saja ?" Chu Bwee Hong bertanya.
“Apa yang mesti kukatakan lagi? Siapapun yang menang diantara mereka tiada bedanya bagiku. Paling-paling hanya kesedihan saja yang kuperoleh........” Souw Lian Cu menjawab datar tanpa perasaan.
"Ah, mengapa demikian......?"
"Habis, ci-ci tidak mau kawin dengan ayahku ! Lalu, apa gunanya mereka itu bertanding ?"
Chu Bwee Hong tersenyum pahit, lalu dengan penuh kasih sayang dibelainya gadis itu perlahan. "Lian Cu.........kau jangan berkata begitu !” bisiknya lembut.
“Ohh, ci-ci.....!" Souw Lian Cu menjerit kecil, lalu menyembunyikan mukanya di dada Chu Bwee Hong. "Ci-ci, mengapa kau tak mau menjadi isteri ayahku ?"
“Ahh......,bocah manja ! Kau ini ada-ada saja. Sebenarnya akulah yang harus bertanya kepadamu. Adakah ayahmu itu masih mau mengawini seorang wanita kotor seperti aku ini?” Chu Bwee Hong balik bertanya.
"Apa? Siapa yang berani mengatakan ci-ci seorang wanita kotor? Huh! Aku tidak terima. Akan kutantang orang itu! Dan........ apabila ayahku yang mengatakannya........ hmmh, aku tidak akan menganggapnya sebagai ayah lagi !” Souw Lian Cu melepaskan diri dari pelukan Chu Bwee Hong dan berseru marah.
"Hei........ kau jangan berkata seperti itu. Itu berdosa.......” dengan halus Chu Bwee Hong menarik lengan gadis itu kembali.
"Tapi ayahpun juga berdosa pula jika mengatakan seperti itu!"
"Aaa....... sudahlah! Mengapa mesti marah-marah terus begitu?"
"Tapi bagaimana dengan ci-ci? Mau tidak dengan ayahku?” Souw Lian Cu masih terus mendesak dengan penasaran.
Chu Bwee Hong memalingkan mukanya seraya menghela napas dalam-dalam. Berat juga rasanya bagi wanita ayu itu untuk mengatakan apa yang tersembunyi di dalam hatinya, meskipun hanya kepada Souw Lian Cu yang telah dianggapnya sebagai anaknya pula.
“Bagaimana, ci-ci?” Souw Lian Cu yang masih tetap penasaran itu mendesak lagi.
Chu Bwee Hong menatap Souw Lian Cu kembali. "Baiklah! Semuanya terserah kepada ayahmu..........” akhirnya wanita ayu itu mengalah.
"Horeee.........!" seperti anak kecil Souw Lian Cu menghambur ke dalam pelukan Chu Bwee Hong.
“Lian Cu, lihatlah! Kau jangan buru-buru bergembira dulu ! Sekarang ayahmu yang dalam kesulitan!" Chu Bwee Hong tiba-tiba menunjuk ke arah pertempuran.
“Ohhh !”
"Hei! Put-ceng-li Lo-jin memainkan ilmu Bidadari Bersedih....." Chu Bwee Hong berteriak lagi.
Ternyata keadaan di dalam pertempuran itu memang telah berubah. Souw Thian Hai yang semula mendesak Put-ceng-li Lo-jin dengan pukulan-pukulan merah-putihnya, kini tampak mundur terus menghadapi ilmu silat Put-ceng-li Lo-jin!
Ternyata ketua Aliran Bing-kauw itu kini mengubah cara bersilatnya. Kalau tadi kakek itu bergerak dengan cepat, kasar dan aneh, sekarang kakek itu bergerak dengan halus dan lemah lembut bagaikan seorang bidadari menari. Tentu saja gerakannya itu membuat dirinya menjadi lucu dan menggelikan. Meskipun demikian jurus-jurus yang ia keluarkan ternyata sangat mengejutkan Souw Thian Hai!
Bagaikan seorang bidadari yang benar-benar lagi bersedih, Put-ceng-li Lo-jin membuat gerakan-gerakan yang mencerminkan kesedihan dan kepiluan hatinya. Demikian sempurnanya kakek itu menghayati ilmu itu sehingga dari mulut dan hidungnyapun kadang-kadang terdengar suara isak dan sedu-sedan perlahan. Malahan seringkali secara tak terduga kakek tersebut menangis menjerit-jerit.
Pada suatu saat Put-ceng-li Lo-jin menyerang Souw Thian Hai dengan jurusnya Mengusap Air Mata Membanting Cermin.
Tapi tak terduga Souw Thian Hai yang telah terpaksa itu justru menyongsong serangan itu dengan pukulan gandanya. Maka gerakan membanting cermin itu menjadi urung dilakukan, dan sebaliknya seperti seorang bidadari yang sungguh-sungguh sedang bersedih, Put-ceng-li Lo-jin membuat gerakan seorang wanita yang sedang berputus asa. Dengan gerakan yang tak terduga pula kakek itu menubruk ke arah pukulan Souw Thian Hai malah! Tentu saja Souw Thian Hai menjadi kaget, bingung dan sekaligus bercuriga pula! Jangan-jangan semua itu Cuma gertakan atau jebakan untuknya. Oleh karena itu secara tidak sadar Souw Thian Hai lalu menahan pukulannya.
Tapi waktu yang hanya sedetik itu ternyata benar-benar dimanfaatkan oleh Put-ceng-li Lo-jin, atau memang inilah keistimewaan Ilmu Silat Bidadari Bersedih itu. Secara tak terduga dan dalam tempo yang sangat mendadak, tiba-tiba kakek yang hendak bunuh diri itu menggeliatkan badannya, tahu-tahu pergelangan tangan Souw Thian Hai telah dipegangnya. Dan sebelum Souw Thian Hai menyadari keadaannya, tahu-tahu tubuhnya yang tinggi besar itu telah jatuh berdebam di atas pasir.
Cepat pendekar sakti itu mengerahkan lwee-kang ke lengannya, berjaga-jaga untuk menangkis serangan berikutnya. Tapi lagi-lagi pendekar itu terkecoh. Lawannya yang seharusnya memanfaatkan keadaannya yang sulit, karena tak punya kesempatan untuk mengelak itu justru membalikkan tubuh dan bersiap untuk pergi malah! Sekali lagi Souw Thian Hai menjadi bingung. Sedetik ia ternganga.
Tapi waktu yang sedetik itu lagi-lagi dimanfaatkan oleh Put-ceng-li Lo-jin dengan telak! Secara tak terduga ketua Bing-kauw itu menjatuhkan diri dan tumitnya mengait ke belakang!
Bressss! Souw Thian Hai terlempar ke belakang dengan lengan kanan lumpuh!
“Gila! Ilmu apa ini..........?” pendekar itu berdesah menahan sakit.
Put-ceng-li Lo-jin tertawa. “Nah, kedua lenganmu yang berbahaya itu telah lumpuh salah satu, hahaha........! Ketahuilah! Ilmu ini adalah Ilmu Silat Bidadari Bersedih ! Dan.....jurus yang baru kulakukan itu adalah jurus Selir Kui Hui Bermain Sandiwara. Bagus tidak.....?" kakek itu berkata genit seperti wanita.
Sementara itu dengan hati berdebar-debar Souw Lian Cu mencengkeram pergelangan tangan Chu Bwee Hong.
"Ci-ci, aku takut kalau ayahku kalah......semuanya bisa hancur nanti ! Ahh, ternyata aku telah salah menduga orang. Ketua Bing-kauw itu ternyata lihai sekali."
"Aaaah.......!" Chu Bwee Hong berdesah puIa tak kaIah tegangnya.
Karena sama-sama gelisah dan tegangnya, maka kedua perempuan itu saling beremas tangan tanpa terasa.
Sekali lagi terdengar Put-ceng-li Lo-jin tertawa gembira. Kakek yang suka sekali berkelahi itu seperti mendapatkan hiburan dan kegembiraan dari pertempurannya tersebut.
Suatu kenyataan, dimana dari kalah lalu menang itu benar benar sangat memuaskannya. Rasa-rasanya kalau nanti menjadi kalah lagipun ia takkan merasa kecewa.
"Ayoh ... Souw Thian Hai ! Kerahkan semua kepandaianmu! Kalahkan ketua Bing-kauw ini! Rebutlah calon isterimu ini dari tanganku, hehehe......!”
"Hmmh !”
Souw Thian Hai menggeram. Tangan kirinya sibuk membersihkan pasir yang melekat pada bajunya, sementara tangan kanannya tergantung lumpuh di sisi badannya.
"Hmm, kau jangan buru-buru bergirang hati dahulu ! Meskipun untuk sementara tangan kananku lumpuh, tapi itu tidak berarti aku akan kalah denganmu. Lihatlah........!" pendekar itu membentak.
Beberapa saat kemudian mata Put-ceng-li Lo-jin terbelalak. Dengan sangat heran kakek itu melihat lawannya mulai bersilat hanya dengan separuh badan saja. Dengan sangat gesit dan lincah Souw Thian Hai menggerakkan tubuh bagian kirinya seperti orang kidal saja. Tangan kanan dan kaki kanannya ia biarkan saja terayun kesana kemari mengikuti gerakannya. Dan pendekar sakti itu sedikitpun tidak merasa terganggu oleh kaki tangan itu.
Dan Put-ceng-li Lo-jin buru-buru meloncat mundur ketika secara tiba-tiba tangan Souw Thian Hai tersebut menyambar ke arah mukanya. Dan hembusan udara panas terasa menyengat kulit, sehingga kakek itu merasa seperti ada bau rambutnya yang terbakar.
“Bangsat! Kau memang hebat! Tapi, bagaimanapun juga kau takkan menang melawan aku. Sebab dengan anggauta badan lengkap saja kau tak mampu, apalagi sekarang kau hanya melawan dengan separuh badan. Oh-ho-ho .... sungguh malang benar nasibmu !" ketua Bing kauw itu mengejek.
Tapi Souw Thian Hai tak mengacuhkannya. Pendekar itu justru bergerak semakin lincah dan cepat. Kaki kirinya bergerak, bergeser dan berloncatan dengan tangkasnya, seolah-olah sejak lahir pendekar itu memang hanya berkaki satu. Sedangkan tangan kirinya tampak berkelebatan pula tak kalah gesitnya. Menotok, memukul, menabas dan mencengkeram ke tempat-tempat yang berbahaya dengan ganasnya. Sementara dari dalam tangan itu keluar hawa panas dan dingin silih berganti.
"Demit ! Setan ! Iblissss ....!" Put-ceng-li Lo-jin mengumpat tiada habisnya, begitu mendapat kenyataan bahwa lawannya tidak bertambah lemah, tapi justru menjadi berlipat ganda kekuatannya. Tampaknya, dengan hanya mempergunakan separuh badan, pendekar sakti itu malah bisa memusatkan seluruh kemampuannya ke satu arah saja, sehingga kekuatan yang dia hasilkan juga bertambah besar pula. Oleh karena itu pertempuran merekapun tidak menjadi susut, tapi 'semakin berkembang menjadi dahsyat malah !
Souw Thian Hai dengan ilmu silat separuh badannya justru semakin bertambah hebat dan mendebarkan hati, sementara lawannya, dengan Ilmu Silat Bidadari Bersedihnya ternyata juga mampu mengecoh dan membingungkan Souw Thian Hai pula. Sehingga alhasil untuk sementara waktu belum dapat dipastikan, siapa yang kalah atau menang nantinya. Apalagi setelah mempunyai kesempatan, ketua aliran Bing-kauw itu dapat pula menyisipkan Koai-jing-kun dalam setiap serangannya.
Sementara itu, di tepi muara Sungai Huang-ho, Chin Yang Kun telah dapat mendarat pula dengan selamat. Meskipun tempat pendaratannya jauh lebih ke hilir dari tempat pendaratan Souw Thian Hai tadi. Dengan pakaian basah kuyup pemuda itu mencari jalan menuju ke dusun tempat bermukim para perajurit itu.
Tapi ketika sampai di rimba batu raksasa itu, tiba-tiba Chin Yang Kun mendengar suara Souw Thian Hai memanggil puterinya. Suara itu keras sekali dan datang dari arah pantai !
Chin Yang Kun membalikkan badannya lalu dengan tergesa-gesa berlari ke arah suara itu. Tapi ketika tiba di dataran pasir luas itu, tiba-tiba Chin Yang Kun melihat berkelebatnya beberapa sosok bayangan, melintas di tempat terbuka itu pula. Di dalam kegelapan, beberapa sosok bayangan itu tampak menyelinap di antara batu-batu karang hitam, untuk kemudian tak kelihatan Iagi.
"Eh........ siapakah mereka itu tadi ? Ilmu meringankan tubuh mereka rata-rata sangat tinggi. Mereka tentu bukan tokoh-tokoh sembarangan."
Karena belum mengetahui siapa mereka itu, maka Chin Yang Kun juga tak ingin diketahui pula oleh mereka. Dengan jalan mengendap-endap pemuda itu merangkak di antara batu-batu karang yang bertonjolan di atas hamparan pasir hitam tersebut. Di antara gemuruhnya angin dan deburan ombak, pemuda itu mendengar suara orang bercakap-cakap di tepi pantai.
"Suara siapakah itu ? Mungkinkah suara itu suara Hong-gi-hiap Souw Thian Hai ? Tapi dengan siapa ia bercakap-cakap? Apakah dengan salah seorang dari bayangan yang kulihat tadi ?"
Tiba-tiba suara percakapan itu berhenti. Tapi sekejap kemudian terdengar suara yang lain. Suara pertempuran.
"Suara pertempuran ? Siapa........?" Chin Yang Kun terkejut.
Sambil menundukkan tubuhnya, Chin Yang Kun berlari diantara batu-batu karang itu. Pemuda itu sengaja mengambil jalan memutar yang lebih aman, dari pada lewat di atas hamparan pasir yang terbuka itu. Makin dekat ke bibir laut, suara itu semakin jelas dan keras. Malahan sayup-sayup telah terdengar suara makian dan umpatan pula.
"Ah, rasa-rasanya aku pernah mendengar suara seperti itu...,..” Chin Yang Kun berdesah dan berlari semakin tak sabar.
Karena tegangnya pemuda itu melompat begitu saja ketika di depannya menghalang sebuah batu karang besar. Tapi pemuda itu terkejut bukan kepalang ketika kakinya hampir saja menginjak sesosok tubuh manusia yang sedang bersembunyi di balik batu karang tersebut. Dan pemuda itu semakin menjadi kelabakan tatkala orang yang mau diinjaknya itu menyerangnya! Sebilah pisau pendek tampak berkelebat ke arah perutnya.
"Heit.......!" terdengar suara nyaring seorang wanita.
Chin Yang Kun menarik kakinya, kemudian memutar badannya ke samping, setelah itu baru menjatuhkan tubuhnya ke pasir. Tapi dengan meminjam daya tolaknya, tubuh pemuda itu dapat melenting ke atas kembali. Lalu dengan manis, kakinya hinggap di atas batu karang besar tersebut.
"Bagus !" wanita itu berseru kagum dan siap untuk menyerang lagi.
"Hah? Kau lagi.......!" Chin Yang Kun yang lolos dari maut itu berseru perlahan begitu mengenali orang yang baru saja menyerangnya itu.
"Huh, kau juga !" wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Siau Put-sia atau Put-sia Nio-cu itu cemberut.
Dan keduanya tak jadi meneruskan perkelahian mereka. Chin Yang Kun melompat turun sambil menghela napas lega. Matanya yang tajam luar biasa itu menatap wajah Siau Put-sia yang cantik bagaikan bulan purnama itu. Wajah yang cantik itu tampak kemerah-merahan karena marah.
"Hmm........ kau ini suka benar main sembunyi-sembunyian.
Apa yang hendak kau lakukan di tempat ini?" Chin Yang Kun bertanya dengan bibir tersenyum, ingat akan pertemuannya dengan gadis itu di Kuil Delapan Dewa dulu. Tapi mulut yang indah itu semakin cemberut. Matanya yang lebar tampak berkilat-kilat di dalam kegelapan.
"Aku bersembunyi di sini atau di mana saja, apa pedulimu ? Kau pun juga ada di sini, lalu apa pula yang hendak kau kerjakan? Mau mengintip aku? Kau kira malam-malam begini aku mau mandi di Iaut, ya.......?" Siau Put-sia menjawab dengan kata-katanya yang pedas.
Kulit muka Chin Yang Kun merah seketika ! Lidahnyapun menjadi kaku pula dengan mendadak. Kata-kata gadis itu memang keterlaluan sekali.
"Kurang ajar, lidahmu tajam benar! Tak seharusnya kata-kata atau ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang gadis sopan.........” Chin Yang Kun yang merasa tersinggung itu menggeram.
Tapi melihat lawannya menjadi marah, gadis itu justru tertawa sekarang. Dan ketika tertawa gadis itu sama sekali tak berusaha untuk menutup mulutnya. Mulutnya terbuka lepas, sehingga suaranyapun sampai terdengar nyaring dan keras.
"Hihihi-haha.....gadis sopan? Apa itu? Hihi-haha.....! Kau tahu siapa aku ini? Namaku Put-sia Nio-cu, yang artinya adalah Gadis Yang Tak Tahu Adat ! Dan guruku adalah Put ceng-li Lo-jin atau Orang Tua Yang Tahu Aturan! Nah ....... apa artinya sebutan gadis sopan itu bagiku ?"
Chin Yang Kun terdiam, mulutnya meringis. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Tersenyum salah, tidak tersenyumpun juga salah. Menghadapi Siau Put-sia ternyata Chin Yang Kun selalu dibuat tak berdaya. Oleh karena itu Chin Yang Kun lalu beranjak dari tempatnya dan tak mau berdebat lagi.Tapi dengan cepat Siau Put-sia melompat menghalanghalanginya. Sambil bertolak pinggang gadis itu menudingkan jari telunjuknya.
"Hei ! Enak saja mau pergi setelah tiba-tiba mau membunuh orang........." gadis itu membentak.
"Mau membunuh orang? Siapa yang mau membunuh orang? Kurang ajar! Kau jangan bicara sembarangan !” Chin Yang Kun berseru marah.
"Huh........ kaulah yang bicara sembarangan! Lelaki macam apa itu? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab ! Coba, siapakah yang mau menginjak punggungku tadi? Ayo jawab!"
"Ya, benar......memang aku ! Tapi........bukankah aku tidak sengaja ?"
"Sengaja atau tidak sengaja....... mana aku tahu? Yang terang, kalau kakimu tadi benar benar
menginjak punggungku, bukankah tulang punggungku bisa patah? Nah, kalau tulang itu patah, masakan aku bisa hidup lagi? Bukankah dengan demikian sama saja engkau membunuh aku?"
"Tapi.....ah, sudahlah! Aku tak mau berdebat lagi denganmu ! Membuang-buang waktu saja. Aku akan pergi sekarang......." Chin Yang Kun menggeram lalu membalikkan tubuhnya, terus melompat pergi.
Pemuda itu sengaja mengerahkan gin-kangnya, sehingga sekejap kemudian tubuhnya telah lenyap ditelan oleh kegelapan malam.
"Huh ! Awas kau........! Akan kucincang sampai lumat kalau kuketemukan nanti!" Siau Put-sia yang telah kehilangan jejak Chin Yang Kun itu mengancam. Lega hati Chin Yang Kun setelah dapat melepaskan diri dari libatan gadis liar itu.
Dengan sangat hati-hati pemuda itu lalu meneruskan langkahnya. Suara pertempuran itu semakin jelas terdengar ke telinganya. Dan suara-suara ucapan itu juga semakin jelas nada dan kata-katanya.
"Ahh....... suara Put-ceng-li Lo-jin ?” pemuda itu bergumam di dalam hatinya.
Benarlah. Begitu tiba di tepi laut, Chin Yang Kun melihat ketua Bing-kauw itu sedang bertempur dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Dan tidak jauh dari arena pertempuran itu, tampak dua orang wanita sambil berpelukan, menonton dengan wajah tegang dan gelisah.
Chin Yang Kun cepat bersembunyi di balik batu karang lagi. Hatinya berdebar. Salah seorang dari wanita itu adalah Souw Lian Cu, gadis yang selama ini selalu menggoda dan menggelisahkan hatinya.
“Oh....... jadi ayah dan anak itu telah saling bertemu. Tapi....... siapakah wanita di samping Souw Lian Cu itu? Dan.....kenapa Souw Tai-hiap sampai bertempur dengan Put ceng-li Lo-jin?" pemuda itu membatin.
Otak Chin Yang Kun cepat berputar. Pemuda itu segera menghubung-hubungkan semua hal yang pernah didengarnya selama ini. Tiba-tiba pemuda itu ikut menjadi tegang pula.
"Hei ! Wanita yang berada di samping Souw Lian Cu itu tentu adik Chu twa-ko yang menjadi isteri Put-ceng-li Lo-jin itu ! Ah.......benar. Kalau begitu, aku tahu sekarang, kenapa ketua Bing-kauw itu bertempur dengan Souw Tai-hiap." Chin Yang Kun berkata di dalam hatinya.
Karena merasa terlalu jauh dan kurang jelas, maka pemuda itu lalu berusaha mencari tempat yang lebih dekat lagi.
Dengan sangat hati-hati ia merangkak dan merayap kedepan, menuju ke sebuah tumpukan batu-batu karang besar, tidak jauh dari arena pertempuran.
Tapi kedatangan Chin Yang Kun di sana segera disambut oleh sesosok bayangan lain, yang ternyata telah lebih dahulu berada di tempat tersebut.
Mula-mula pemuda itu menyangka bahwa orang itu adalah Put-sia Nio-cu, karena bayangan itu juga bertubuh kecil langsing seperti layaknya seorang perempuan pula. Tapi setelah orang itu berbalik dan menyerang dengan pedang panjangnya, maka Chin Yang Kun segera melihat perbedaannya. Wanita ini agak lebih tinggi, lebih masak dan lebih dewasa bentuk tubuhnya. Ditambah lagi gerak-gerik dan cara bersilatnyapun ternyata juga berbeda sekali.
Pedang panjang itu meliuk dari bawah ke atas, menuju ke arah ulu hati Chin Yang Kun, dengan cepat sekali dan seolah-olah tidak mengeluarkan suara atau angin sama sekali. Tahutahu ujung pedang panjang itu sudah tinggal sejengkal saja lagi dari dada Chin Yang Kun.
Sedetik lamanya pemuda itu terhenyak di tempatnya. Lagi lagi seorang yang berkepandaian tinggi telah menyerangnya ! Dan....... Iagi-Iagi ia tak mempunyai kesempatan untuk mengelakkannya. Rasa-rasanya semua kegesitan dan kelincahan geraknya selama ini selalu terasa lamban bila berhadapan dengan jago silat kelas satu. Untunglah Iweekangnya sangat tinggi, sehingga setiap kali dipaksa untuk adu tenaga, ia selalu menang.
"Ah, benar juga ucapan Put-pai siu Hong-jin itu. Aku ini diumpamakan seekor naga yang kuat dan bertenaga besar, tapi sangat lamban gerakannya........" Chin Yang Kun berkata seraya menabas ujung pedang itu dengan sisi tangannya.
Sebenarnya tangkisan seperti itu sangat berbahaya bagi Chin Yang Kun. Jika tenaga dalam yang ia salurkan ke tangannya itu tidak jauh lebih besar dari tenaga dalam lawannya, maka pedang itu dengan mudah akan melukai atau bahkan bisa memotong tangannya sendiri malah.
Tapi memang cuma itulah satu-satunya jalan yang dapat dilakukan oleh Chin Yang Kun. Selain sudah tidak bisa mengelak lagi, pemuda itu juga tidak membawa senjata pula!
Maka sebuah benturan yang hebatpun tak bisa dielakkan lagi, yaitu antara sisi tangan Chin Yang Kun melawan ujung pedang lawannya ! Untunglah, sisi tangan itu dengan tepat menghantam badan pedang, tidak pada sisi tajamnya !
"Taaaaas !"
Ujung pedang itu berdencing patah dan terlempar jauh entah kemana. Meski begitu Chin Yang Kun tidak seratus persen lolos dari serangan tersebut. Ujung pedang yang telah patah itu ternyata masih juga menggores ke arah pundaknya !
"Aaah......!” Chin Yang Kun terpekik.
"Ahhh........!” wanita itu terpekik pula melihat ujung pedangnya yang patah. Keduanya lalu berdiri berhadapan dan.....
"Oh....... Nona Ho Pek Lian !" Chin Yang Kun berseru perlahan.
“.... Saudara Yang Kun........ !" Ho Pek Lian menjerit kecil pula.
Mereka lalu terdiam seperti orang-orang yang kehilangan akal. Tapi serentak terdengar suara umpatan Put-ceng-li Lojin, keduanya lalu menjadi sadar kembali bahwa mereka sekarang sedang mengintip pertempuran antara Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Put-ceng-li Lo-jin !
"Eit....... tampak pertempuran mereka telah sampai pada saat-saat penentuan !” Ho Pek Lian berseru, kemudian membalikkan tubuh dan kembali ke tempatnya semula.
Otomatis Chin Yang Kun turut mengintai juga di samping gadis itu. Sekarang dengan jelas pemuda itu dapat melihat pertempuran dahsyat itu. Sungguh sebuah pertempuran yang sangat luar biasa dan belum pernah disaksikan sebelumnya oleh pemuda itu.
"Sudah lama mereka berkelahi ?" Chin Yang Kun membuka percakapan.
Ho Pek Lian mengangguk. "Sudah....,,," jawabnya perlahan.
"Bukan main! Kepandaian mereka benar-benar hebat sekali.......!" Chin Yang Kun berdesah kagum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ho Pek Lian menoleh. "Saudara Yang, kau pun hebat sekali ! Tadi hampir saja aku tak percaya bahwa kau dapat mematahkan ujung pedangku hanya dengan sisi tanganmu saja...."
"Ah........itu cuma kebetulan saja!" Chin Yang Kun berkata dengan malu-malu. "Tidak! Itu tadi bukan kebetulan ! Kau tadi memang tak punya pilihan lain selain menepiskan pedangku. Kau sudah tak ada kesempatan untuk mengelak lagi ......."
"Wah......!"
"Eh, Saudara Yang..... Kudengar kau membawa Hong-siang pagi tadi. Terima kasih. Untunglah ada kau, kalau tidak, wah...... kita bisa kehilangan Hong-siang kemarin malam," Ho Pek Lian tiba-tiba berkata sambil menjura kepada Chin Yang Kun.
"Ah....... jangan terlalu dibesar-besarkan! Aku malah menjadi malu. Bukankah aku dulu
juga pernah ditolong oleh Liu ......eh, Kaisar Han?" Chin Yang Kun cepat-cepat memotong sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya.
"Tapi........"
Tapi percakapan kedua orang itu terhenti dengan mendadak, tatkala dari arena pertempuran terdengar suara jeritan Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu. Otomatis mata Ho Pek Lian dan Chin Yang Kun memandang ke arah pertempuran. Dan keduanya segera terbelalak.
Tampak jelas oleh kedua orang itu, tubuh Souw Thian Hai dan Put-ceng-li Lo-jin tergeletak di atas pasir. Dan masing-masing dengan segera telah ditolong dan dirubung oleh orang banyak, yang secara mendadak telah memenuhi tempat itu !
"Eh....... bagaimana ini? Apa yang telah terjadi ?” Ho Pek Lian berseru kaget, lalu meloncat keluar pula dari persembunyiannya.
Chin Yang Kun cepat keluar pula. Pemuda itu masih tampak bingung melihat demikian banyaknya orang yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Dan pemuda itu semakin merasa heran melihat beberapa orang diantaranya ternyata adalah orang orang yang telah dikenalnya dengan baik. Orang-orang itu antara lain adalah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, Yap Tai ciangkun, Chu Seng Kun, Kwa Siok Eng dan Put-sia Nio-cu.
Sedangkan beberapa orang lainnya, seperti seorang tua berjenggot putih dan berambut putih, serta dua orang lelaki yang sedang menolong Put ceng li Lo-jin belum dikenalnya sama sekali.
Sementara itu Souw Thian Hai yang tergeletak di atas pasir itu telah ditolong oleh Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu.
Pendekar sakti itu tampak pucat sekali, meskipun demikian ia telah dapat bangkit dan duduk di atas pasir. Beberapa kali jari telunjuknya menotok di sana-sini untuk mengobati luka dalamnya, sementara Chu Bwee Hong yang lebih pandai dalam hal pengobatan itu malah cuma terlongong-longong saja saking bingungnya.
Di pihak lain, Put-ceng-li Lo-jin juga telah ditolong oleh murid-muridnya, yaitu Put swi-kui, Put-ming-mo dan Put-sia Nio-cu. Malah sebentar kemudian orang tua berambut dan berjenggot putih itupun ikut juga berjongkok di samping tubuh Put-ceng-li Lo-jin.
Tangannya dengan cekatan ikut pula mengurut dan menotok dada ketua Bing-kauw itu. Apakah yang telah terjadi sebenarnya ? Bagaimana halnya sampai mereka berdua dapat terluka dalam bersama-sama ?
Souw Thian Hai dan Put-ceng-li Lo-jin adalah dua orang tokoh persilatan yang sangat terkenal dan berkepandaian tinggi. Put-ceng-li Lo-jin adalah ketua sebuah aliran kepercayaan yang besar dan ternama, sementara Souw Thian Hai yang masih muda itu juga bukan tokoh baru di dalam dunia persilatan. Pendekar muda itu mulai menanjak namanya ketika dalam keadaan "hilang ingatan" dia terjun ke dunia kang-ouw, yang pada waktu itu sedang bergolak karena sedang berkecamuknya pemberontakan Liu Pang dan Chu Siang Yu melawan kekuasaan Kaisar Chin Si. Dan nama pendekar muda itu semakin membubung tinggi tatkala bisa membunuh duplikat Bit-bo-ong yang maha sakti itu.
Maka sungguh tidak mengherankan kalau pertempuran atau pertandingan di antara keduanya benar-benar dahsyat tiada terkira. Masing-masing hampir telah mencapai kesempurnaan di dalam mendalami ilmu perguruannya, sehingga benturan di antara ilmu-ilmu mereka benar-benar merupakan sebuah peristiwa yang jarang terjadi di dunia persilatan. Ilmu-ilmu kesaktian mereka hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh mata orang-orang yang belum matang dalam dunia persilatan.
Meskipun demikian, makin lama mereka bertempur, orang makin dapat melihat bahwa Tai-kek Sin-ciang dan Tai-lek Pek-khong-ciang dari pendekar muda Souw Thian Hai itu semakin dapat menguasai keadaan. Secara perlahan-lahan Ilmu Silat Bidadari Bersedih dan Chuo-mo-ciang dari Put-ceng-li Lo-jin itu dapat ditindih dan dibuat tak berdaya oleh kekuatan dan kehalusan ilmu Souw Thian Hai yang hebat itu.
Tetapi beberapa saat kemudian, orang-orang yang secara sembunyi-sembunyi menonton pertandingan itupun lantas menjadi terheran-heran Souw Thian Hai yang secara pasti dan meyakinkan dapat menguasai lawannya itu tiba-tiba seperti menjadi kehilangan arah kembali. Gerakan-gerakannya selalu macet dan tampak ragu-ragu bila hendak mengenai sasarannya.
Dan sebelum semua orang mengetahui sebab-sebabnya, tiba-tiba terjadilah peristiwa itu. Souw Thian Hai dan Put-cengli Lo-jin saling bertukar pukulan dan tendangan, sehingga keduanya terlempar jatuh bergulingan di atas pasir! Kedua duanya sama-sama mendapat luka di dalam tubuhnya!
Demikianlah, akhir dari pertandingan tersebut ternyata malah membingungkan dan membuat penasaran orang yang melihatnya. Dan orang yang paling penasaran dan tidak mau menerima kenyataan itu adalah murid-murid Put-ceng-li Lo-jin sendiri, yang secara diam diam ternyata juga turut menonton pertandingan itu pula.
Dengan kemarahan yang meluap-luap, karena melihat gurunya terluka parah, Put-swi-kui dan Put-ming-mo cepat meninggalkan gurunya yang telah ditolong oleh Pek-i Liong ong atau orang tua berambut putih itu. Keduanya meloncat ke depan Souw Thian Hai yang sekarang sudah dapat berdiri kembali di atas kedua kakinya.
“Binatang menjijikkan! Senang hatimu karena bisa melukai guruku, ya........? Ha, tapi nanti dulu.......! kau jangan buru-buru bergembira dulu karena bisa merebut subo-ku itu! Kau harus dapat mengalahkan kami pula.......” Put-swi-kui atau Hantu Tak Berdosa itu menggeram.
"Benar ! Kau harus mengalahkan kami lebih dahulu............!" Put-ming mo atau Setan Tak Bernyawa itu ikut pula membentak.
"Put-swi kui, kau ja........ jangan............” Chu Bwee Hong berusaha mencegah kemarahan murid Put-ceng-li Lo-jin itu.
"Su-bo, kau tak perlu ikut campur ! Kami berdua akan menghukumnya, karena dia telah berani melukai suhu,” Put swi- kui yang marah itu cepat memotong perkataan Chu Bwee Hong, yang selama ini selalu dihormatinya.
Melihat ketegangan itu, Souw Lian Cu segera melesat pula ke depan ayahnya. Dengan muka merah gadis itu siap untuk melindungi keselamatan ayahnya. Tapi sebelum gadis itu bertindak lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara bentakan Put-ceng-li Lo-jin yang keras menggeledek.
"Siau Kui (Hantu Kecil) ! Siau Mo (Setan Kecil).......! Jangan sembrono ! Ayo, kembali ! Bangsat! Keparat.......!"
Dengan wajah takut namun juga penasaran, kedua orang itu membalikkan badannya. Langkahnya tampak ragu-ragu ketika mendekat ke arah gurunya.
"Su-hu........? Mengapa.......?” Put-swi kui mencoba membantah kata-kata gurunya.
"Diam ! Ini adalah perang tanding antara dua orang lelaki ! Tahu.........? Dan semua ini sudah kami atur dan kami sepakati bersama. Oleh karena itu tidak ada dendam atau balas-membalas.”
"Suhu......." Put-sia Nio-cu yang sedari tadi selalu berada di dekat gurunya mencoba untuk mendinginkan kemarahan orang tua tersebut.
Komentar
Posting Komentar