PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PENYEBAR MAUT Jilid 27

 



YANG terakhir, Pek-i Liong-ong juga berdiri dari tempatnya, diikuti oleh kedua orang pembantunya. Sambil menghela napas sesal orang tua itu berkata kepada Yap Cu Kiat,sahabatnya. "Saudara Yap, maafkanlah aku.......! Kali ini sahabatmu terpaksa mengecewakanmu. Tapi aku selalu tetap mengharapkan pengertianmu, bahwa urusan seperti ini benar benar di luar jangkauanku. Percayalah, di luar urusan seperti ini, aku tetap seorang sahabatmu yang siap berkorban apa saja demi persahabatan kita.......!"

Yap Cu Kiat mengangguk. "Silahkan pergi, saudara Ouwyang ...! Terima kasih atas  kesediaanmu mendatangi pertemuan ini."

Demikianlah satu-persatu tokoh-tokoh persilatan itu meninggalkan tempat tersebut, sehingga akhirnya tinggal para kepala suku liar itu saja yang berada di sana. Mereka segera mengelilingi Sang Putera Mahkota dan berusaha membesarkan hatinya.

"Sungguh membuang-buang waktu saja. Dari mula aku sudah tidak setuju Pangeran mengundang orang-orang itu."

Kosang bersungut-sungut dengan suara keras.

"Benar. Orang-orang itu cuma hebat dalam pertempuran seorang lawan seorang ! Dalam pertempuran besar di medan laga, kesaktian mereka takkan begitu berarti lagi !" kepala suku Wei yang berbadan pendek namun kekar itu ikut memberi komentar.

"Yaaa! Tapi maksud Pangeran, kalau kita dapat menarik mereka ke pihak kita, hal itu benar-benar sangat menguntungkan kita. Bagaimanapun juga kita harus mengakui bahwa orang-orang itu mempunyai kesaktian yang maha hebat. Satu orang saja dari mereka sama dengan seratus orang dari pasukan pilihan kita," Beng Tian menyahut.

"Sudahlah ! Sejak semula Io-hu memang telah merasakan bahwa pertemuan ini takkan membawa hasil seperti yang kita harapkan." Yap Cu Kiat menghentikan gerutu mereka.

"Tapi karena Sang Pangeran masih tetap ingin mencobanya juga, maka terpaksa kita laksanakan pula."

Siang-houw Nio-nio bergegas bangkit dari tempat duduknya.

"Tetapi hal itu tak berarti kita akan mengurungkan rencana perjuangan kita, bukan?" sergapnya.

Sang Pangeran cepat-cepat berdiri pula sambil melambaikan kedua tangannya,"Ah, tentu saja tidak! Mengapa pula kita harus mengurungkan rencana kita? Tanpa merekapun kekuatan kita sungguh bukan main besarnya. Tak kalah bila dibandingkan dengan kekuatan Liu Pang dahulu. Betul tidak?"

"Benar! Sang Pangeran memang benar!" para kepala suku itu berteriak berbareng.

"Nah, sudahlah! Kita tak perlu memikirkan lagi pertemuan yang gagal ini ! Aku memang hanya mencoba saja, kalau-kalau mereka itu dapat kita tarik ke pihak kita. Kalau tidak dapat.. juga tidak menjadi soal ! Toh kita telah mendapatkan gantinya yang lebih hebat dari pada mereka!"

''Mendapatkan orang yang lebih hebat dari pada mereka? Apakah maksud Pangeran......?”tukas Siang-houw Nio-nio tak mengerti.

Sang Putera Mahkota itu tersenyum gembira. Suaranya penuh keyakinan akan keberuntungan yang didapatnya ketika ia menjawab pertanyaan pembantunya itu. "Ah ! Apakah Locianpwe sudah lupa kepada Honggi-hiap Souw Thian Hai itu? Dia telah berada di dalam cengkeramanku sekarang !"

“Di dalam cengkeraman Pangeran........? Bagaimanakah maksud Pangeran?" sekarang giliran Beng Tian yang bertanya dengan bingung.

"Maksud Pangeran pendekar muda itu telah bersedia membantu kita? Begitukah?" Yap Cu Kiat ikut menegaskan.

Pangeran itu mengangguk. "Di muka telah kukatakan bahwa pendekar itu kutemukan terapung-apung di sungai dalam keadaan terluka dan keracunan. Setelah saya periksa ternyata pundaknya bengkak dan bernanah akibat terkena senjata beracun. Dan racun itu bukanlah racun sembarangan, sebab racun yang masuk ke dalam tubuhnya adalah racun katak api yang......."

“Racun katak api?” para kepala suku liar itu berteriak berbareng dengan wajah ngeri.

“Benar. untunglah aku menyimpan obat pemunahnya…..”

"Darah ular salju?” Yap Cu Kiat bertanya.

"Ya ! Tapi sebagai imbalan atau balas jasa dari pengobatan itu Hong-gi hiap harus bersedia mengabdi kepada keluargaku." Pangeran itu tersenyum sambil membelai-belai kumisnya yang telah mulai ditumbuhi uban.

"Ohh !" Yap Cu Kiat dan Beng Tian menghela napas.

Untuk pertama kalinya kedua orang itu kelihatan kecewa dan tidak senang hatinya. Bagaimanapun juga mereka adalah tokoh-tokoh besar yang berjiwa ksatria, yang tidak menyukai hal-hal yang bersifat licik,pengecut dan rendah budi. Apalagi memeras orang yang lagi berada di dalam kesukaran!

Demikianlah, pertemuan itu akhirnya bubar. Pangeran itu minta kepada para pembantu-pembantunya agar mereka segera bersiap siap untuk mengerahkan kekuatan mereka. Pangeran itu menginginkan agar perjuangan mereka lekas-lekas dimulai.

-oo0dewikz-hendra0oo-


Begitulah seluruh kejadian sebenarnya yang terjadi pada diri Chu Bwee Hong, Souw Thian Hai dan yang lain-lain pada dua tahun lalu. Tentu saja yang dituturkan oleh Chu Bwee Hong kepada kakak dan teman-temannya tidaklah selengkap dan sejelas itu. Yang ia ceritakan hanyalah sebagian kecil saja dari seluruh cerita itu. Yaitu mulai saat dia masuk perangkap orang berkerudung itu, sampai pada saat pertemuannya yang amat pendek dan mengecewakan dengan Souw Thian Hai, dan kemudian tahu-tahu telah berada di Pusat Aliran Bingkauw di daerah Kosan.

“Ketua Aliran Bing-kauw yang telah tua itu katanya telah menyelamatkan diriku dari  kebuasan serigala yang hendak memangsaku. Dibawanya aku ke pusat perkumpulannya dan kemudian dirawatnya aku selama berbulan-bulan di sana.

Sebenarnya aku sudah tak ingin hidup lagi. Apalagi ketika kusadari bahwa aku….aku berbadan dua! Tak tahan rasanya aku menanggung beban seberat itu!” Chu Bwee Hong dengan suara lemah dan tersendat-sendat meneruskan ceritanya.

Semua orang yang mendengarkan cerita itu ikut bersedih dan meneteskan air matanya. Souw Lian Cu yang masih merasa bersalah itu bahkan sudah tidak kuat lagi menahan kesedihannya. Gadis itu langsung saja menubruk pangkuan Chu Bwee Hong dan menangis tersedu-sedu. “Ciciii… kasihan sekali kau!” ratapnya.

Chu Bwee Hong menunduk, lalu membelai rambut yang hitam itu untuk beberapa saat lamanya. Pikirannya segera tertuju kepada ayah dari gadis cantik berlengan buntung sebelah itu. Tiba-tiba hatinya juga menjadi pilu bukan main!

“Thian Hai........!” desahnya hampir tak terdengar.

”Cici…..?” Ho Pek Lian menyentuh lengan Chu Bwee Hong perlahan, sehingga wanita ayu itu segera menyadari bahwa dia sedang bercerita tentang dirinya.

”Oh?! Maafkan aku.......!” katanya kemudian dengan kikuk.

Lalu perlahan-lahan dilanjutkannya ceritanya. “Aku hampir tak pernah mau makan dan minum. Yang kuinginkan setiap saat hanyalah kedatangan Giam-lo-ong untuk menjemput nyawaku. Beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku, tapi Putceng-li Lo-jin selalu mencegahnya. Bagaikan seekor anjing penjaga yang setia orang tua itu tak pernah lekang dari
sampingku…..” Chu Bwee Hong menghentikan sebentar ceritanya.

Wajahnya semakin menunduk. “sambil menjaga segala gerak-gerik dan keselamatanku, Put-ceng-li Lo-jin selalu membesarkan dan menasehati hatiku. Dapat saja orang tua itu mengalihkan perhatianku, baik dengan tingkah lakunya yang konyol maupun dengan cerita ceritanya yang mengasyikkan. Kadang-kadang ia bercerita tentang kejadian-kejadian di dunia kang-ouw, kadang-kadang juga bercerita tentang keluarganya yang telah mati meninggalkan dirinya. Setiap hari ada saja yang diperbuatnya untuk menghibur kemurunganku. Malahan ia sempat pula menciptakan sebuah ilmu silat yang aneh dan menggelikan untukku….”

“Ilmu silat?” Kwa Siok Eng menyela dengan heran.

Chu Bwee Hong melirik ke arah calon iparnya itu, lalu mengangguk. “Ya! Ilmu silat itu ia namakan Bidadari Bersedih.Aneh sekali, bukan? Tapi justru ilmu silat itulah yang dapat  menggugah hatiku. Timbul semangatku untuk mempelajarinya. Maka ketika Put-ceng-li Lo-jin mengajakku untuk mempelajarinya, aku tidak menolaknya. Begitu bersemangatnya aku sehingga aku bisa melupakan kesedihanku….”

Chu Bwee Hong menghentikan lagi ceritanya. Dihelanya napasnya dalam-dalam sambil memandang kawan-kawannya. Lalu wajahnya kembali menunduk lagi dengan sedihnya.

”Kemudian tibalah saatnya aku harus melahirkan bayi terkutuk itu. Ingin rasanya aku mencekik anak itu ! Ohh........! Ternyata aku tak tega melakukannya. Anak itu begitu mungilnya! Begitu tampan dan menyenangkan sehingga Putceng-li Lo jin sendiri sampai jatuh hati terhadapnya. Anak itu digendongnya,disayangnya bagai cucu atau anaknya sendiri….”

Chu Bwee Hong terdiam kembali. Matanya yang bulat bening itu tampak berkaca-kaca.

”Tapi di mana aku harus menyembunyikan mukaku? Masakan seorang gadis yang belum kawin seperti aku telah mempunyai anak? Bagaimana kalau aku berjumpa dengan keluarga, sahabat atau handai-taulan nanti? Apa kata mereka terhadapku?” Chu Bwee Hong melanjutkan kisahnya lagi.

“Maka ketika Put-ceng-li Lo-jin menyarankan agar aku kawin saja dengan dia untuk menolong muka dan nasib anak haram itu, aku segera menyetujuinya. Apalagi di dalam hati aku telah bertekad untuk tidak kembali lagi ke dunia ramai. Aku ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu.”

“Cici…..” Souw Lian Cu menengadahkan mukanya dengan sedih. Sedih sekali.

Chu Bwee Hong segera menunduk. Diraihnya kepala gadis itu dan dibelainya bagai anaknya sendiri. “Begitulah. Semuanya telah terjadi. Aku kini telah menjadi isteri ketua Aliran Bing-kauw…..” wanita ayu itu mengakhiri kisahnya.

Kamar itu menjadi sunyi. Tak seorangpun mengeluarkan suara. Semuanya bagaikan terbius oleh kisah pengalaman Chu Bwee Hong dan ikut menjadi sedih dan pilu pula karenanya.
Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng beberapa kali tampak mengusap air matanya yang mengalir di atas pipi mereka masing-masing. Sementara Chu Seng Kun tampak menatap wajah adiknya dengan hati tak karuan pula.

Beberapa kali pemuda itu tampak menghela napas panjang. Wajahnyapun juga selalu tampak berubah-ubah.Sesaat tampak seperti orang yang amat menyesal dan sedih, tapi di lain saat berubah seperti orang yang sedang pepat, marah dan penasaran!

“Hek-eng-cu…..Hek-eng-cu ! Iblis terkutuk kau!” akhirnya pemuda itu menggeram penuh dendam.Semuanya tersentak dari lamunan masing-masing. Mereka menoleh ke arah Chu Seng Kun dengan hati berdebar. Wajah pemuda itu tampak gelap dan kelam.

“Moi-moi, sudahlah....! Sekarang kita telah bersatu kembali, maka kau tak perlu terlalu bersedih lagi.” Kwa Siok Eng cepat-cepat menghampiri Chu Bwee Hong dan membujuk untuk mengalihkan suasana yang kaku itu.

“Benar, Hong-cici........ Marilah kau kami antar pulang kembali ke rumah. Nanti kita  merundingkan bersama-sama, cara bagaimana mencari manusia keparat itu!” Ho Pek Lian ikut membujuk pula.

Chu Seng Kun bangkit dari tempat duduknya. “Ya! Bwee Hong, sebaiknya kita memang pulang saja dahulu. Nanti kita pikirkan bersama cara yang lebih baik untuk membalas dendam kepada iblis itu,” katanya berat.

Tapi Chu Bwee Hong cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Wajahnya yang ayu itu tampak sedih luar biasa. Air matanya turun membasahi pipinya yang pucat.

“Maaf, cici....... ko-ko. Sekarang adikmu terpaksa tidak dapat mengikutimu lagi.........” bisiknya pilu dengan kepala tertunduk.

”Huh? Kenapa......?” Chu Seng Kun dan Kwa Siok Eng berseru kaget.

Wajah yang pucat itu tertunduk semakin dalam. Suaranya hampir tak terdengar ketika menjawab,” Maafkan aku, koko….aku kini sudah bukan seorang gadis yang masih merdeka lagi. Aku kini telah menjadi isteri orang. Oleh karena itu aku harus kembali ke tempat suamiku…..”

“Kau gila! Jangan…..! kau tidak boleh kembali ke tempat Put-ceng-li Lo-jin! Perkawinan itu tidak sah! Bukankah engkau tidak mempunyai perasaan cinta sama sekali terhadap orang tua itu? Bukankah perkawinan itu terjadi karena terpaksa oleh keadaan saja? Bukankah perkawinan kalian itu Cuma untuk menolongmu dari kecemaran saja?” Chu Seng Kun melompat dan berteriak keras sekali.

Sepuluh jari-jarinya mencengkeram lengan adiknya dengan sangat penasaran. Pemuda itu benar-benar tidak rela adiknya kawin dengan ketua Aliran Bing-kauw yang telah tua itu.Hampir saja Chu Bwee Hong terjengkang. Wanita ayu itu tidak bisa menjawab. Sekejap dia menatap kakaknya lalu tertunduk kembali. Diraihnya kepala Souw Lian Cu yang berada diatas pangkuannya. Air matanya semakin deras mengalir di atas pipinya yang putih pucat.

“Cici.....!” gadis remaja itu ikut pula menangis, sehingga kedua-duanya lalu bertangis tangisan dengan sedihnya.

Chu Seng Kun sadar. Saking kaget, bingung dan tegangnya ia sampai berteriak-teriak demikian kerasnya. Tentu saja gadis yang sedang dirundung malang itu malah semakin bertambah kacau pikirannya. Seharusnya ia bertindak lebih tenang meskipun hatinya sedang gelisah sehingga adiknya itu tidak menjadi semakin kaget dan bingung!

Maka Chu Seng Kun segera melepaskan tangannya dan perlahan-lahan duduk di samping adiknya. ”Maafkan aku, Bwee Hong...... Tapi aku benar-benar tidak rela kalau kau kawin dengan orang tua itu.......” bisiknya dengan sedih dan penasaran.

Chu Bwee Hong semakin terisak-isak. ”Sekarang........
sekarang persoalannya bukan tentang soal rela atau….. atau tidak rela,” gadis itu berkata di antara sedu-sedannya. “.......Dan juga bukan tentang cinta atau tidak cinta.

Persoalan yang kuhadapi adalah soal nasib dan membalas budi ! Agaknya nasib telah menggariskan demikian, sebab tanpa kehadiran orang tua itu, aku tak mungkin bisa hidup sampai sekarang. Oleh karena jasa orang tua itu saja kini adikmu bisa bertemu dengan ko-ko dan sahabat-sahabat semua......”
                                                                                                                                
“Yah.....orang tua itu memang besar sekali jasanya. Tapi hal itu bukan berarti engkau harus berkorban sebesar itu.”

Chu Seng Kun cepat-cepat menukas perkataan adiknya.

“Kau jangan lekas-lekas terjebak dalam persoalan nasib dan membalas budi itu! Coba kaupikirkan dengan seksama lebih dahulu….! Benarkah Thian telah menggariskan nasibmu seperti itu? Dan apakah pertolongan yang diberikan oleh orang tua itu mesti harus dianggap sebagai sebuah budi yang harus dibayar? Hmm….semuanya itu belum tentu, adikku. Kita harus mengkajinya terlebih dahulu sebelum kita menganggapnya demikian…..”

Kwa Siok Eng memegang lengan calon iparnya. “Apa yang dikatakan oleh kakakmu itu memang betul, Hong-moi…..Pikirkanlah lagi dengan baik! Jangan gegabah dan sembarangan…..!”

Chu Seng Kun melanjutkan perkataannya, “Bagi kita orang Han, perkawinan itu benar-benar suci dan agung. Perkawinan bukan hal yang remeh dan sepele, sehingga dapat dilakukan begitu saja tanpa dipikirkan masak-masak terlebih dahulu.

Perkawinan adalah hal yang sangat besar, yang akan kaujalani hampir sepanjang hidupmu.
Di dalam perkawinan itu pula engkau akan mempertaruhkan seluruh kebahagiaanmu nanti.
Oleh karena itu perkawinan itu harus dipikirkan dengan matang sebelumnya. Masing-masing harus dilandasi cinta kasih yang benar-benar tulus dan suci! Bukan hanya sekedar karena terpaksa atau membalas budi saja! Jikalau dasar dari perkawinan itu tidak kokoh, hemm........ apakah gunanya hidup itu? Kelihatannya saja kau selamat dari kematian, tapi jiwa dan perasaanmu sebenarnya tak bedanya dengan orang mati. Apa gunanya itu ? Semakin menambah penderitaan dan kesengsaraan, bukan?”

Chu Bwee Hong semakin tenggelam dalam kesedihannya.
Kini gadis itu tidak bisa menahan tangisnya. Sambil memeluk kepala Souw Lian Cu dia menangis tersedu-sedu. Terlihat benar betapa pilu dan sengsara hatinya.

“Ko-ko....... kau........ kau belum mengetahui se........ seluruhnya, uh-huuu.......kau salah sangka terhadap.....terhadap Put-ceng-li Lo-jin. Kau tidak........ tidak akan berkata demikian bila telah mengetahui yang...... yang sebenarnya. Put-ceng-li Lo-jin benar-benar orang yang mulia. Sungguh mulia. Dia tidak sejelek yang kausangka. Dia hanya betul-betul ingin menolongku. Dia hanya ingin menganggap anak haram itu sebagai anaknya. Sebenarnya tidak ada niatnya untuk mengawini aku......uh-huuuu!”

“Lalu.....apa sebabnya kau ingin pulang kepadanya?” Chu Seng Kun berseru tak mengerti.

“Ooooh......!” Chu Bwee Hong berdesah tak bisa menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa-gesa di luar pintu, kemudian terdengar pintu kamar tersebut diketok orang.

“Ci-ci......Hong ci-ci !” terdengar suara Put-sia Nio-cu di luar pintu.

Chu Bwee Hong terkejut. Cepat-cepat dia berdiri dan membersihkan air mata yang  embasahi pipinya. Otomatis semuanya kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.
“Ci-ci……! Cepat bukakan pintunya! Su-hu datang…..!”

Semua yang berada di dalam kamar itu tersentak kaget. Wajah mereka menjadi tegang, terutama Chu Seng Kun! Pemuda itu bagaikan seekor jago yang hendak dipertemukan dengan lawannya!

Setelah berhasil membenahi dirinya Chu Bwee Hong bergegas melangkah untuk membuka pintu, “Siau Put-sia, bersabarlah…..!” katanya seraya membuka pintu.

Murid bungsu Put-ceng-li Lo-jin itu memandang Chu Bwee Hong dan orang-orang yang berada di dalam kamar dengan pandangan aneh. Gadis itu seperti melihat sesuatu yang aneh pada wajah dan sinar mata mereka, sehingga gadis yang berpembawaan lincah dan gesit itu mendadak terdiam tak bisa berkata-kata.

“Put-sia, apa katamu? Su-humu datang kemari? Dimana dia?” Chu Bwee Hong menepuk pundak gadis itu.

“anu....eh, anu.....su-hu berada di belakang rumah, sedang bertengkar dengan Put....Put-ming-mo su-heng !” Put-sia Nio-cu menjawab dengan gagap.

“Hei, apa-apaan itu? Ayoh kita lerai mereka!”

Chu Bwee Hong mengangguk ke arah kakak dan sahabatsahabatnya, lalu bergegas pergi mengikuti Put-sia Nio-cu. Chu Seng Kun dan kawan kawannya menghela napas dan tak bisa
berbuat apa-apa. Apa mau dikata, gadis itu telah memilih jalan hidupnya sendiri!

Belum juga hilang suatu langkah kaki Chu Bwee Hong di belakang, tiba-tiba dari kamar depan terdengar pula suara langkah kaki seseorang menuju kamar itu. Chu Seng Kun cepat melangkah keluar, tapi di depan pintu hampir saja ia bertabrakan dengan Hong-luikun dan adiknya Yap Tai-ciangkun.

“Ah, saudara Yap......ada apa?” Chu Seng Kun menyapa lebih dahulu.

”Saudara Chu, marilah cepat,.......! Hong-siang terluka!”

Yap Kiong Lee berseru seraya menarik lengan Chu Seng Kun.

”Heh? Hong-siang terluka? Di..., di mana…..?”

“Benar ! Sekarang ada di kamar depan ditunggui Pek-i Liong-ong dan saudara Yang Kun.”

”Yang Kun........?”

”Ya ! Saudara Yang Kun tadi datang dengan membawa tubuh Hong-siang yang terluka.”

”Ohhh !”

Seng Kun bergegas mengikuti kedua orang bersaudara itu, meninggalkan Kwa Siok Eng, Ho Pek Lian dan Souw Lian Cu di dalam kamar. Mereka melangkah dengan tergesa-gesa bagaikan dikejar setan. Peristiwa itu benar-benar amat mengejutkan mereka. Hong-siang terluka di tempat yang begini terpencil, tanpa sepengetahuan pengawal maupun pasukannya. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Didepan pintu telah berderet-deret para perwira dan para anggota sha-cap-mi-wi, Chin Yang Kun yang telah dikenal oleh Chu Seng Kun itu telah berdiri pula diantara mereka. Pemuda sakti itu tampak kurus badannya, tapi sinar matanya tampak semakin mencorong menakutkan.

Chu Seng Kun mengangguk kepada Chin Yang Kun.

”Selamat bertemu kembali, saudara Yang Kun.......” sapanya ketika melewati pemuda sakti
tersebut.

Kaisar Han duduk bersandar di kursi panjang dikelilingi oleh beberapa orang anggota Sha-cap-mi-wi dan Gui Goan-swe. Mukanya yang penuh cambang dan jenggot iiu tampak pucat.
Meskipun begitu ketika melihat kedatangan Chu Seng Kun mulutnya tertawa gembira seperti tidak ada terjadi apa-apa pada dirinya.

“Hahaha........ selamat berjumpa lagi, saudara Chu! Apa khabar?”

”Baik sekali, Hong-siang. Terima kasih ......! Dan....... bagaimana dengan kesehatan Hong-siang?”

“Hahah.... jangan khawatir! Aku tidak apa-apa. Cuma luka sedikit saja, hahaha.,...”

“Eh.....bolehkah hamba memeriksanya sebentar ?” dengan hati-hati Chu Seng Kun menghampiri Kaisar Han.

”Hah.......?” Kaisar Han mengerutkan keningnya, lalu katanya, ”....... Ah, kalian ini memang suka sekali merepotkan diri. Aku benar-benar tidak apa-apa. Tapi kalau saudara Chu ingin memeriksa juga....... silahkan !”

Chu Seng Kun membungkuk dan menyatakan terima kasihnya, lalu bergegas menyingsingkan lengan baju Kaisar Han dan memeriksa urat nadinya. Setelah itu dibukanya baju di bagian dada untuk memeriksa denyut jantung dan pernapasan baginda. Setelah itu dengan sangat teliti Chu Seng Kun memeriksa seluruh bagian tubuh lainnya.

“Bagaimana Saudara Chu ? Ada sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhku ?” Kaisar Han bertanya dengan mulut tersenyum.

Chu Seng Kun tersenyum pula seraya membenahi kembali pakaian Kaisar Han. “Yah, memang Cuma luka kecil saja di dalam dada akibat pukulan Iwee-kang tinggi,” jawab pemuda itu memberi keterangan. “Dalam beberapa hari luka itu akan sembuh dengan sendirinya.”

“Nah ! Apa kataku.......? Tidak apa-apa, bukan? Kalian semua ini memang terlalu berprasangka saja.......!” Kaisar Han menggerutu sambil memandang ke arah para perwira dan para pengawal yang mengelilinginya.

“Maaf, Hong-siang........ luka itu memang tidak akan berbahaya bagi kesehatan Hong-siang karena dengan kekuatan Iwee-kang Hong-siang sendiri luka itu akan segera sembuh. Tapi untuk menyingkat waktu, sebaiknya Hong-siang minum obat yang akan hamba buat nanti............” Chu Seng Kun cepat-cepat memotong perkataan Kaisar Han.

“Apa........? hahaha...... baiklah! Baiklah! Ternyata engkaupun masih mengkhawatirkan luka kecil itu pula.”

Chu Seng Kun tersenyum dengan muka tertunduk, lalu bergegas meminta diri untuk membuat obat yang ia janjikan itu. Di luar pintu pemuda itu telah dinantikan oleh Chin Yang Kun, Yap Kiong Lee dan para perwira lainnya. Dengan tergesa-gesa mereka menanyakan keadaan kesehatan baginda. Tentu saja Chu Seng Kun menjawab pula seperti apa yang telah ia ucapkan di depan Kaisar Han tadi. Tetapi ketika ia tinggal bertiga saja dengan Chin Yang Kun dan Yap Kiong Lee, Chu Seng Kun mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Kelihatannya luka itu memang tidak berbahaya. Tapi kalau kita tidak lekas-lekas mengobatinya, luka itu setiap saat akan dapat membunuhnya.....!” pemuda itu berkata serius.

“Hah?” Yap Kiong Lee dan Chin Yang Kun tersentak kaget.

“Ya! Agaknya Hong-siang telah berkelahi dengan seseorang yang amat lihai dan terkena pukulan pada dadanya. Pukulan yang mengandung lwee-kang tinggi itu memang seperti tidak
berakibat apa-apa. Apalagi bekas pukulan itu juga tidak tampak pada dada baginda. Tetapi luka itu sebenarnya sangat berbahaya. Sewaktu-waktu dapat membunuh baginda. Sebab jaringan daging di bawah kulit, yaitu di dekat jantung baginda, telah rusak dan membusuk !”

Yap Kiong Lee meloncat dan menerkam lengan Chu Seng Kun. “Jadi.........?” bisiknya dengan suara gemetar.

“Jangan khawatir! Masih belum terlambat! Aku akan berusaha menyembuhkannya……”

“Oh, terima kasih. Saudara Chu... Untunglah kau berada di sini, kalau tidak........apa jadinya dengan Hong-siang itu.” Yap Kiong Lee bernapas lega.

-oo0dewikz-hendra0oo-

Bagaimana Chin Yang Kun tiba-tiba berada di tempat yang terpencil itu bersama Kaisar Han? Apakah sebenarnya yang terjadi? Siapakah yang melukai Kaisar Han? Dan bagaimana mereka berdua bisa bertemu dan sampai di tempat tersebut? Untuk mengetahui kisahnya, marilah kita mundur kembali mengikuti perjalanan Chin Yang Kun setelah pertemuannya dengan Keh-sim Siau-hiap di rumah Pendekar Li beberapa hari yang lalu.

Seperti telah kita ketahui, malam itu Chin Yang Kun bergegas pergi ke kota Sin-yang untuk mencari Thio Lung. Pemuda itu ingin bertanya kepada orang itu tentang kejadian sebenarnya yang terjadi di rumah bergenting merah pada malam naas itu.

Kota Sin-yang kira-kira ada limaratus li jauhnya dari Ho-ma-cun. Untuk mencapai tempat itu Chin Yang Kun harus mendaki pinggiran bukit Tai-hang-san dan melalui kota-kota kecil seperti Poh-yang, Ko-tien dan Yu-tai. Kalau malam ini Chin Yang Kun bisa melintasi bukit Tai-hang-san itu, pagi hari besok dia dapat makan pagi di kota Poh-yang. Dan apabila di kota kecil itu ia bisa mendapatkan seekor kuda, maka sore harinya ia akan bisa mencapai kota Sin-yang. Tapi kalau dia tidak bisa memperoleh kuda di kota Poh-yang, ia harus berjalan kaki lagi sejauh seratus lie untuk mencapai kota berikutnya, Ko-tien. Kota ini agak lebih besar dari pada kota Poh-yang, sehingga kesempatan untuk mendapatkan kuda juga akan lebih besar pula. Cuma dengan begitu kedatangannya di Sin-yang akan terlambat pula. Karena ingin lekas-lekas sampai di tempat tujuannya, maka Chin Yang Kun sengaja tidak beristirahat malam itu. Dia ingin segera berada di kota Poh-yang keesokan harinya. Lebih baik ia mengaso dan beristirahat di kota tersebut sambil mencari kuda tunggangan di sana.

Tetapi tiba-tiba Chin Yang Kun teringat bahwa ia tak membawa uang sepeserpun. Jangankan untuk membeli kuda, untuk membeli semangkuk bubur buat sarapan pagi besokpun ia tak punya.
Chin Yang Kun mengendorkan langkahnya lalu berjalan seenaknya. Mulutnya tersenyum kecut memikirkan keadaannya. Sungguh celaka benar nasibnya, seorang cucu bekas Kaisar Chin yang kaya-raya sampai jatuh miskin demikian sengsaranya. Masakan membeli buburpun sudah tak bisa lagi!

Embun malam semakin pekat menyelimuti bumi, membuat Chin Yang Kun sebentar-sebentar harus membetulkan letak bajunya. Dinginnya bukan kepalang! Ketika memandang ke arah timur Chin Yang Kun melihat Bintang Pagi telah memancarkan sinarnya yang gilang gemilang. Beberapa saat lagi fajar akan segera tiba.

“Ah, hari telah menjelang pagi…..dan aku masih berada disini. Padahal aku masih harus mendaki punggung bukit Tai-hang-san.” Pemuda itu berkata di dalam hati. Lalu dengan sedikit berat pemuda itu berlari kembali. Bukit yang merupakan bagian dari Pegunungan Tai-hang-san yang amat panjang dan luas itu telah tampak di depan matanya.

Untunglah tempat yang dilalui oleh Chin Yang Kun itu merupakan sebuah tanah tinggi yang hanya terdiri dari tanah berbatu dan rumput-rumput ilalang di sana-sini, sehingga dengan mudah ia bisa mencari jalan lintas yang lebih dekat.

Beberapa kali tampak pemuda itu melompati jurang dan tebing bagaikan seekor burung garuda mementang sayap. Maka tidak heran kalau dalam waktu sekejap saja pemuda itu telah berada di kaki bukit yang dituju.

Bukit itu juga tidak begitu terjal dan sukar, sehingga dengan mudah Chin Yang Kun dapat mendakinya sambil berlari-lari kecil. Meskipun demikian ketika pemuda itu sampai di atas, langit telah mulai memerah oleh sinar matahari yang akan muncul. Sungguh suatu pemandangan yang amat menakjubkan !

Chin Yang Kun berhenti beberapa saat lamanya di puncak bukit. Dinikmatinya pemandangan indah yang terhampar di bawah kakinya. Lembah yang dalam dikelilingi bukit-bukit, dengan tebing-tebing tinggi yang ujungnya tampak memerah.

Jurang-jurang kecil yang berkelok-kelok kegelapan, sementara lereng-lerengnya tampak berkilauan menerima pantulan sinar mentari pagi.

Jauh di bawah, di tengah-tengah lembah tampak bangunan-bangunan kecil yang berkelompok di tanah datar yang luas. Itulah kota Poh-yang. Kota kecil yang berpenduduk padat.

Selain beternak, penduduk kota Poh-yang rata-rata mencari penghasilan dengan berdagang. Itulah sebabnya meskipun masih pagi sekali, Chin Yang Kun telah melihat kesibukan yang luar biasa di dalam kota itu.

Beberapa orang tampak telah mengeluarkan domba-domba mereka dari kandangnya, dan membawa binatang-binatang itu ke padang-padang rumput di kaki bukit. Pedagang-pedagang sayur juga telah keluar membawa dagangannya. Mereka mengangkat dagangannya di atas pedati-pedati kecil atau di atas punggung-punggung keledai mereka.

Lalu tiba-tiba Chin Yang Kun teringat pada sebuah lembah pula, tempat di mana dia dan seluruh keluarganya menyembunyikan diri selama ini. Lembah itu juga sangat indah pula seperti ini. Setiap pagi ia juga naik ke atas bukit bersama paman bungsunya untuk berlatih silat dan melihat panorama pagi. Kadang-kadang sampai siang dia dan paman bungsunya baru pulang. Kalau mereka pulang tidak terlalu siang, sering kali ia dan paman bungsunya ikut membantu ayahnya, memberi latihan silat kepada para pelayan keluarga mereka. Atau kadang-kadang ia biarkan saja paman bungsunya membantu ayahnya sendirian, sementara ia sendiri pergi ke belakang menolong ibunya menyiapkan makan mereka.

Chin Yang Kun tiba-tiba menundukkan kepalanya dengan sedih. Kini semua orang yang dicintainya itu telah tiada. Satu-persatu mereka meninggalkan dirinya sehingga kini ia menjadi sebatangkara di dunia ini.

Tiba-tiba rindu sekali rasanya hati Chin Yang Kun pada lembah yang menjadi tempat tinggalnya itu. Ingin sekali rasanya dia melihat kembali dan mengenangkan masa-masa bahagianya bersama keluarga dan paman bungsunya.

"Baiklah, setelah menyelesaikan semua urusan di Sin-yang, aku akan singgah sebentar di
lembah itu. Toh aku juga akan melewatinya pula kalau aku pergi ke pantai timur nanti.....” pemuda itu berdesah perlahan tatkala dia teringat pula akan janjinya kepada Souw Lian Cu untuk datang ke Pulau Meng-to pada tanggal lima nanti.

Teringat akan gadis itu Chin Yang Kun segera menjadi bersemangat kembali. Entah mengapa wajah gadis cantik berlengan buntung itu selalu melekat di pelupuk matanya.

Wajahnya yang selalu tampak sedih dan pilu itu rasa-rasanya selalu mengundang perasaan simpatinya saja, seolah-olah dia dan gadis itu memang telah ditakdirkan untuk sama-sama menderita di dunia ini.

Sekali lagi Chin Yang Kun berdesah perlahan, lalu selangkah demi selangkah kakinya mulai menuruni bukit yang terjal itu ke kota Poh-yang.

Di kaki bukit dia berpapasan dengan beberapa orang penggembala yang berangkat menuju ke padang rumput bersama-sama dengan ternak mereka.

Orang-orang itu menatap Chin Yang Kun dengan pandang mata asing dan curiga. Tapi Chin Yang Kun tidak mempedulikannya. Perlahan lahan pemuda itu tetap melangkahkan kakinya menuju kota Poh-yang. Semakin dekat dengan kota Poh-yang semakin banyak pula orang yang dijumpainya. Malahan ketika ia telah menginjakkan kakinya di jalan besar yang menuju ke arah kota, disana telah banyak para pejalan kaki yang lalu lalang keluar masuk kota.

Mereka melangkah dengan tergesa-gesa membawa dagangan atau hendak mengurus keperluan mereka masing-masing.

Chin Yang Kun segera membaurkan diri di antara orang orang itu. Ia berjalan di belakang dua orang penunggang kuda yang menuju ke arah kota.

Kedua orang itu membiarkan kudanya berjalan perlahan-lahan di antara para pejalan kaki yang banyak itu. Sebentar sebentar mereka membunyikan cambuk mereka untuk mencari jalan.

Matahari pagi tampak mulai memancarkan sinar sepenuh penuhnya, sehingga dari belakang Chin Yang Kun bisa lebih jelas melihat potongan kedua orang penunggang kuda tersebut. Mereka menutupi badan mereka dengan mantel lebar untuk menahan hawa dingin. Agaknya mereka baru saja datang dari perjalanan yang jauh.

"Semalam suntuk kita berada di punggung kuda. Hampir patah rasanya pinggangku ini,” tiba-tiba salah seorang di antara kedua penunggang kuda itu berkata sambil meliukkan badannya ke kiri dan ke kanan.

"Yah, kalau tidak karena panggilan burung merpati itu akupun enggan datang pula ke kota ini. Hmm, ada apa rupanya.....? mungkinkah waktunya telah tiba?” yang lain menyahut dengan suara bersungguh-sungguh.

“Entahlah. Kelihatannya memang demikian. Rasanya bosan juga kalau mesti menunggu terus-menerus. Bisa rusak semangat anak buah kita nanti.....”

Mereka tiba di sebuah perempatan jalan. Tiba-tiba dari arah kanan meluncur tiga orang penunggang kuda pula, yang dengan tergesa-gesa membelokkan kuda mereka ke arah kota.

Debu mengepul tinggi, membuat para pejalan kaki lainnya buru-buru menyingkir dengan mulut mengumpat umpat!

“Hei.....bukankah orang itu.....Keng Si Yu?” penunggang kuda yang berada di depan Chin Yang Kun itu berdesah agak keras.

“Kelihatannya memang Keng Si Yu dari kota Lok-yang dan anak buahnya,” kawannya mengangguk-angguk mengiyakan.

“Ah, tampaknya semua pimpinan memang dipanggil kemari.”

Chin Yang Kun berjalan dengan kening berkerut. Perasaannya membisikkan bahwa pasti ada sesuatu yang akan terjadi di kota Poh-yang. Tetapi dia tak bisa menebaknya, apakah sesuatu yang akan terjadi itu.....

Mendadak mereka dikagetkan lagi oleh suara telapak kaki  kuda di belakang mereka. Lima orang penunggang kuda berbondong-bondong mendahului mereka. Rata-rata wajah mereka tampak kusut dan lelah pula. Mereka tidak tampak tergesa-gesa seperti ketiga penunggang kuda tadi, tapi karena kuda mereka melangkah dengan cepat maka sebentar saja telah jauh meninggalkan tempat itu pula.

“Bukankah orang yang berpakaian biru tadi adalah pemimpin dari Kang-lam? Masih ingatkah kau padanya?” sekali lagi Chin Yang Kun mendengar orang yang berada di depannya itu berbisik ke arah kawannya.

“Ya, aku masih ingat. Dan yang berada di sebelahnya tadi kalau tak salah adalah pemimpin dari daerah Nam-keng.”

Chin Yang Kun semakin berdebar-debar hatinya. Pasti ada pertemuan besar di kota Poh-yang. Pertemuan yang melibatkan orang-orang penting dari seluruh pelosok negeri.

Mungkin pertemuan yang diadakan oleh orang-orang persilatan, menilik yang datang itu adalah orang-orang yang menyandang senjata semua.

Memperoleh dugaan demikian Chin Yang Kun menjadi sangat tertarik. Sebagai orang yang sangat menyukai ilmu silat dia ingin juga mengetahui apa yang akan dikerjakan oleh orang-orang itu. Maka dengan hati-hati ia mengikuti terus kedua penunggang kuda di depannya.

Mereka masuk kota Poh-yang. Sebuah kota kecil yang bukan main ramainya. Sepagi ini di jalan raya telah sibuk dengan pedagang dan orang-orang yang lalu-lalang di atasnya. Para pedagang itu menawarkan dagangannya dengan suaranya yang keras, kadang-kadang disertai bunyi bunyian untuk menarik para pembeli sehingga suara-suara mereka terdengar ribut sekali.

Kedua orang penunggang kuda itu meminggirkan kuda mereka, kemudian berhenti di muka sebuah warung atau restoran kecil sehingga Chin Yang Kun buru-buru menepi pula sambil berpura-pura membetulkan letak tali sepatunya. Ketika pemuda itu melirik dilihatnya dua orang penunggang kuda itu menambatkan kudanya dan masuk ke dalam restoran.

Sebentar kemudian tercium bau masakan yang sedap ke dalam hidung Chin Yang Kun, membuat pemuda itu merasa lapar dengan mendadak.

"Busyet ! Aku tak mempunyai uang sama sekali. Bagaimana aku bisa makan di restoran?"
sungutnya dengan mulut meringis.

"Hmm, engkau tak mempunyai uang untuk makan hari ini? Mengapa engkau tak mau bekerja keras untuk mendapatkannya?" tiba-tiba Chin Yang Kun dikejutkan oleh suara orang di belakangnya.

Chin Yang Kun menoleh dengan cepat. Dilihatnya seorang pemuda tampan dan halus berdiri tak jauh di belakangnya.Pemuda tampan ini berdiri di samping sebuah pedati kecil yang bermuatkan sebuah kotak kayu besar persegi empat.

Begitu tergesa-gesanya ia tadi sehingga ia tidak begitu memperhatikan kalau ia berada di dekat pedati tersebut. Tentu saja si pemuda tampan yang sejak semula memang telah berada di tempat tersebut tahu belaka semua gerak gerik yang dilakukannya.

"Maksud.......eh, apakah maksud saudara ?” Chin Yang Kun tersipu-sipu seperti seorang gadis yang ketahuan rahasianya.

Apalagi dilihatnya pemuda tampan di depannya itu berpakaian indah gemerlapan.
(Halaman 34 – 35 tidak ada neh..)

“Eh….aku? Ehm, namaku.... Yang Kun!” Chin Yang Kun menjawab gagap.

“Yang Kun ?” pemuda tampan itu mengulang. "Kau tentu bukan orang sembarangan sebenarnya....kulihat sinar matamu sangat tajam, sikapmu juga halus.....kau seperti seorang pendekar dari dunia persilatan. Mengapa kau mau menarik pedatiku?”

Chin Yang Kun tersentak kaget. Hampir saja kakinya terantuk batu. Otomatis ia menghentikan langkahnya, lalu dengan wajah bingung ia menoleh. “Aa.....apa maksudmu? Mengapa.....bertanya seaneh ini?”

“Ohh, maaf.....maaf! jangan melotot begitu!” pemuda tampan itu buru-buru mengangkat tangannya ke depan.

“Aku....aku hanya menduga-duga saja. Kau jangan marah.....!”

“Hmmh......!” Chin Yang Kun berdesah dan mengendorkan otot-ototnya kembali. Lalu diambilnya tangkai pedatinya dan ditariknya lagi.

Sambil berjalan ia bertanya, “Mengapa saudara berprasangka begitu?”

Pemuda tampan itu mempercepat langkahnya dan berjalan di samping Chin Yang Kun.

“Maafkanlah aku, saudara Yang…..” bisiknya perlahan. “Jelek-jelek aku ini pernah juga….. mendalami ilmu silat. Oleh karena itu sedikit-sedikit aku dapat juga melihat dan membedakan kepandaian orang. Menurut aku….kau demikian tenang dan percaya pada diri sendiri. Gerak-gerikmu juga amat lemas dan tangkas, apalagi sinar matamu demikian terang dan tajam. Maka aku lantas menduga bahwa kau tentu bukan orang sembarangan. Paling tidak kepandaian silatmu tentu tinggi sekali.....”

Chin Yang Kun tertawa perlahan. Pemuda ini demikian polos dan menyenangkan, membuat hatinya yang kaku itu sedikit mencair. “Kau ini ada-ada saja, saudara......ah, siapakah nama saudara ini?” tanyanya kepada pemuda tampan itu.

Pemuda tampan itu tidak segera menjawab, sambil menghela napas panjang pemuda itu mendongakkan kepalanya ke langit. Dipandangnya burung-burung yang beterbangan di udara.

“Ahh.....apalah artinya sebuah nama. Sudah lama aku tak mengingatnya lagi,” katanya seperti berpantun. “Yang kuingat sekarang hanyalah nama pemberian orang-orang kang-ouw kepadaku, yaitu.....Toat-beng-jin!!”

“Grobyaaaag!”

Kali ini kaki Chin Yang Kun benar-benar terantuk batu saking kagetnya. Pegangannya lepas sehingga ia hampir terjatuh dan pedatinya hampir terjungkal.
(halaman 38 – 39 nggak ada juga neh)

Chin Yang Kun menghembuskan napasnya kuat-kuat, seakan-akan ingin memuntahkan seluruh kekesalan hatinya seketika itu juga.

“Sudahlah! Kita tak usah berdebat tentang ini! Aku ini cuma seorang pengembara yang sedang mencari upah karena kehabisan bekal. Jadi tak ada gunanya kau bersitegang denganku, membuang-buang waktu saja.....”

“Tapi......” pemuda tampan itu masih penasaran.

“Aah, sudahlah! Lihatlah itu kuilnya telah kelihatan....!” Chin Yang Kun cepat-cepat memotong.

"Wah !" pemuda tampan itu bersungut-sungut.

“Lhoh ... Kenapa jadi kau kini yang marah?" Chin Yang Kun menegur.

"Habis, engkau sih..... !"

Bagaikan seorang perawan yang sedang merajuk pemuda tampan itu berjalan mendahului Chin Yang Kun. Mulutnya masih mengoceh meskipun tak jelas.

“Pemuda ini sungguh aneh dan mencurigakan. Aku harus berhati-hati menghadapinya.” Chin Yang Kun berkata di dalam hatinya. “Pemuda ini tampaknya telah mengenal aku dan kini sedang berusaha memancing-mancing sesuatu dariku…..”

Chin Yang Kun membelokkan pedatinya ke halaman kuil. Tempat itu sangat sepi, seperti tiada penghuninya sama sekali. Halamannya tampak kotor dan kurang terawat. Pohon pohonnya yang rindang menyebarkan daun-daunnya yang kering kemana-mana, memenuhi halaman, genting dan pendapa yang terbuka itu.

“Nah, sudah sampai…..” Chin Yang Kun berdesah sambil menaruh pedatinya di depan pendapa. Dikebut-kebutkannya lengan bajunya sambil menanti upahnya. Rasa kikuk dan malu kembali menggoda hatinya, tapi ditahan-tahannya juga.

Celakanya, pemuda tampan itu tidak segera membayar upah yang telah dijanjikannya, tapi malah naik ke atas pendapa dan duduk di kursi yang tersedia di sana. Tentu saja Chin Yang Kun menjadi kelabakan. Mau menagih malu, tapi kalau diam saja, berapa lama ia harus menanti lagi? Padahal ia tak ingin kehilangan jejak kedua orang penunggang kuda itu.

Chin Yang Kun menjadi serba salah. Hatinya mendongkol. Ketika sekali lagi diliriknya pemuda itu tetap belum beranjak dari kursinya, maka ia segera berbalik dan berjalan meninggalkan tempat itu. Dibuangnya jauh-jauh bayangan tentang upah itu dari benaknya!

Harga dirinya tersinggung dan ia menjadi sangat menyesal sekali telah menerima tawaran pekerjaan itu. Hanya karena ingin membeli makan saja ia harus merendahkan dirinya sampai begitu rupa!

“Eeeee......mau kemana kau? Tunggu sebentar.....!” pemuda tampan yang mengaku sebagai Toat-beng-jin itu berteriak dan meloncat turun dari atas pendapa. Tergesa-gesa pemuda itu mengejar Chin Yang Kun.

Tapi hati Yang Kun sudah terlanjur panas sehingga teriakan itu tak diacuhkan sama sekali olehnya. Dan ketika pemuda tampan itu mendahului dan menghadang jalannya, barulah Chin Yang Kun menghentikan langkahnya.

"Apakah yang kaukehendaki lagi dariku?” Chin Yang Kun bertanya ketus.

Wajah pemuda tampan itu tiba-tiba tampak gelisah dan ketakutan. “Maaf, Saudara Yang........! Kau bersabarlah dahulu.......! Kau jangan cepat-cepat marah! Dengarkanlah dahulu perkataanku! Aku.................."

"Sudahlah! Aku telah menolongmu menarik pedati sampai di sini. Sekarang.......”

Tiba-tiba Chin Yang Kun menghentikan kata-katanya.

Matanya dengan tajam mengawasi tiga orang penunggang kuda yang datang memasuki halaman kuil itu. Tiga orang penunggang kuda yang tadi dilihatnya mengendarai kuda mereka di perempatan jalan dengan kecepatan tinggi. “Keng Si Yu dari kota Lok-yang……” Chin Yang Kun bergumam di dalam hati, ingat pada nama yang disebutkan oleh dua orang penunggang kuda di luar kota
tadi.

Sementara itu si pemuda tampan ternyata mendengar pula suara telapak kaki kuda mereka. Pemuda itu cepat berbalik dan bergeser mundur ke samping Chin Yang Kun. Matanya menatap orang-orang itu dengan tajamnya, seolah-olah ia mau mengenali salah seorang dari mereka. Tapi setelah ternyata tak seorangpun yang dikenalnya, ia berseru,”Siapakah kalian?”

Ketiga orang penunggang kuda itu saling pandang satu sama lain, kemudian menghentikan kuda mereka di depan anak-anak muda itu. Tak seorangpun dari mereka yang mau turun dari punggung kudanya. Mereka mengawasi Chin Yang Kun dan si pemuda tampan dengan seksama. Beberapa waktu lamanya mereka berdiam diri saja.

“Kurang ajar! Siapakah kalian? Apakah kalian tuli?'' pemuda tampan yang mengaku sebagai Toat-beng-jin itu berteriak mendongkol.

“Akulah yang seharusnya bertanya kepadamu, anak muda........ Siapakah kalian ini? Dan apakah keperluan kalian di tempat ini?” salah seorang diantara orang-orang itu menjawab dengan sebuah pertanyaan pula.

"Bangsat ! Jawab dulu pertanyaanku, baru nanti aku jawab pertanyaanmu.......!"

Orang itu terperangah, perasaannya tersinggung. Selama hidupnya yang empatpuluh tahun ini rasa-rasanya belum pernah dia dibentak-bentak orang begitu rupa.

“Gila! Tampaknya anak ini belum pernah dihajar orang selama ini.......!" orang itu menggeram sambil menoleh ke arah kawan-kawannya.

Teman-temannya mengangguk. "Apakah twa-ko ingin melihat kami menghajarnya?” kedua orang itu bertanya.

"Apa? Kalian mau menghajar aku? Kurang ajar......!

Kubunuh kalian!” pekik pemuda tampan itu marah sekali.
Tangan kanannya mencabut sesuatu dari balik bajunya, kemudian…..wuuuut! dua buah benda mengkilat yang mirip dengan pisau, melesat bagai kilat menghantam dada binatang tunggangan mereka.

Serangan mendadak itu benar-benar di luar dugaan kedua orang itu. Begitu terkejutnya mereka sehingga hampir-hampir keduanya tak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kuda tunggangan mereka. Dengan sekuat tenaga mereka menyepak perut kuda masing-masing seraya mengayunkan ujung cambuk mereka untuk menangkis pisau terbang itu.

Tapi..... tetap sia-sia! Senjata rahasia yang mirip pisau itu tetap saja menghunjam ke dada binatang tunggangan mereka. Tepat pada jantung binatang itu! Dengan meringkik keras dua ekor kuda itu mengangkat kaki depannya tinggi tinggi ke atas, lalu terbanting keras ke tanah. Mati !

Kedua orang penunggang kuda itu cepat-cepat melompat menyelamatkan diri sebelum tubuh mereka tergencet oleh binatang tersebut. Dengan air muka merah padam kedua orang itu mencabut golok mereka, sementara kawan mereka yang mereka panggil twa-ko tadi juga cepat-cepat turun dari atas kudanya dan bersiap siap
pula. Ketiga-tiganya berputar mengepung Chin Yang Kun dan si pemuda tampan.

Tapi sebelum mereka menyerang, tiba-tiba dari luar masuk lima orang penunggang kuda lagi ke halaman kuil itu. Dan Chin Yang Kun segera mengenal juga siapakah mereka itu, karena orang-orang itu tidak lain adalah lima orang penunggang kuda yang mendahului dia di luar kota tadi.

“Hai....Keng si-cu, kalian sudah tiba lebih dahulu? Ada apa ini…..?” begitu datang salah seorang yang berjenggot lebat menegur orang yang dipanggil twa-ko tadi.

Keng Si Yu meloncat mundur, lalu menyalami orang berjenggot lebat itu. “Hai, selamat bertemu Pouw-heng (Saudara Pouw).... ini dia, ada pengacau yang hendak merusak pertemuan kita!”

"Anak-anak muda ini? Mau mengacau pertemuan kita?" orang she Pouw yang berjenggot lebat itu menegaskan.

Matanya yang bulat besar itu melotot mengawasi Chin Yang Kun dan si pemuda tampan dan bangkai-bangkai kuda itu berganti-ganti.

Sementara itu Chin Yang Kun telah mulai menyadari keadaannya. Ternyata dia telah masuk ke dalam perangkap pemuda tampan itu untuk membantu menghadapi musuh musuhnya, yaitu para penunggang kuda itu. Dan sekarang ia tak mungkin bisa mundur lagi sebab orang-orang itu telah men-cap dia sebagai kawan si pemuda tampan itu dan dianggap sebagai perusuh yang hendak mengacaukan pertemuan mereka. Alasan apapun yang dia berikan tentu tidak akan mereka terima.

Dengan perasaan gemas dan mendongkol Chin Yang Kun melirik ke arah kawannya itu. Tampak olehnya pemuda itu juga mengawasi dirinya dengan mulut tersenyum seolah-olah tak bersalah. Ingin sekali rasanya Chin Yang Kun menghajar mulut yang pringas-pringis itu.

“Kurang ajar! Awas kau nanti......!” ancamnya di dalam hati.

Kelima orang penunggang kuda yang baru datang itu telah turun pula dari punggung kuda masing-masing. Bersama-sama dengan rombongan Keng Si Yu mereka mengepung Chin Yang Kun dan si pemuda tampan di tengah-tengah.

“Nah! Lekaslah kalian memilih! Menyerah untuk kami ikat atau......melawan untuk kami bunuh! Cepat!” orang she Pouw itu membentak.

“Ah, repot-repot amat! Bunuh saja! Habis perkara.....!” salah seorang dari kelima pendatang baru itu, yaitu yang mengenakan baju biru, berteriak pula dengan kerasnya.

“Benar! Bunuh saja! Sangat berbahaya bagi kita kalau kita lepaskan.....!” lainnya ikut berseru pula.

Chin Yang Kun menjadi tegang, demikian pula dengan pemuda tampan itu! Tanpa disadari pemuda tampan itu semakin merapat pada Chin Yang Kun, sehingga lengan mereka saling bersinggungan. Pemuda itu menoleh, lalu meringis kecut, sehingga Chin Yang Kun rasanya ingin mengumpat-umpat saja!

“Nah, bagaimana kalau sudah begini? Apa yang hendak kaulakukan? Mengupah seseorang untuk melindungimu?” Chin Yang Kun berkata dongkol.

Pemuda tampan itu meringis lagi. “Maafkanlah aku, Saudara Yang.....! aku memang jahat.....tapi ....tapi, apakah engkau tidak kasihan kepadaku? Aku....eh, aku memang bermaksud meminta pertolonganmu tadi, tapi bukan untuk melawan mereka.”

“Lalu .....melawan siapa?” Chin Yang Kun mengeryitkan keningnya.

“Orang yang jauh lebih lihai daripada orang-orang ini! Kalau cecunguk-cecunguk ini sih.....mudah! aku tak perlu harus mengundangmu. Aku sendiri bisa membabat mereka.”

“Hah? Kau jangan takabur......!” Chin Yang Kun tertegun.

"Sungguh! Aku tidak main-main!” pemuda tampan itu menjawab mantap.

Dapat dibayangkan bagaimana marahnya orang-orang itu.

Saking marah dan bencinya mereka, melihat kecongkakan anak muda itu mereka sampai lupa untuk lekas-lekas melabraknya! Baru setelah pemuda itu mengeluarkan pisau pisaunya, Keng Si Yu berteriak menggeledek.

"Awas senjata pisau terbangnya !!!"

Seperti mendapatkan sebuah komando, delapan orang penunggang kuda itu maju menyerang si pemuda tampan.

Masing-masing mempergunakan senjata andalan mereka. Ada yang menggunakan pedang, golok, ruyung, tombak dan lain lain. Mereka bersama-sama saling berebut untuk menghajar pemuda itu!
Sambil menghindar pemuda tampan itu masih bisa menyombongkan dirinya lagi. “Saudara Yang, kau minggirlah dulu! Lihatlah sepak-terjangku.....! nanti pada saatnya ganti aku yang akan menonton sepak-terjangmu.....”

Karena ingin membuktikan sendiri kehebatan pemuda congkak itu, maka Chin Yang Kun menurut saja ketika disuruh minggir. Dan hal itu mudah saja dilakukan oleh ahli waris keluarga Chin itu. Hanya dengan melangkah ke samping ketika orang yang berada di belakangnya menyerang, kemudian dengan sebat menikam perut orang itu dengan sikunya selagi dia kebingungan, maka Chin Yang Kun sudah bisa meloloskan diri dari kepungan mereka!

"Huaaaak !”

Orang yang tersodok siku perutnya itu muntah-muntah. Untunglah Chin Yang Kun tidak bermaksud membunuhnya.

Coba kalau pemuda itu mengerahkan sedikit saja tenaga dalamnya, niscaya orang itu takkan bisa hidup lagi. Paling tidak isi perutnya tentu akan hancur berantakan !

"Tapi…..siapakah lawanku nanti?" dari luar arena Chin Yang Kun masih sempat berteriak.

"Tunggulah ! Sebentar juga ia akan datang karena aku dan dia telah berjanji untuk bertemu di tempat ini !" dengan enaknya si pemuda tampan itu menjawab di antara hujan senjata yang menimpanya.

Ternyata pemuda tampan itu memang tidak hanya membual. Sepak terjangnya memang hebat bukan main.

Gerakannya cepat dan tangkas, sementara ilmu silatnya yang bersifat kasar dan ganas itu benar-benar mengerikan.

Beberapa buah pisau kecil yang ada di tangannya itu kadang-kadang dilontarkan, tapi kadang-kadang juga untuk senjata menangkis dan menyerang lawan-lawannya.

Hebatnya lagi, pemuda itu kadang-kadang sengaja membiarkan dirinya ditabas atau dihujam senjata lawan apabila tidak ada kesempatan untuk mengelakkannya lagi. Dan semuanya itu seperti tak dirasakannya sama sekali! Tentu saja lawan-lawannya menjadi heran dan mulai gemetar di dalam hati.

“Ah, sungguh hebat juga lwee-kang anak ini! Sudah berani menangkis senjata tajam tanpa terluka….” Chin Yang Kun berdesah kagum. ''Tak heran dia berani omong besar. Tapi apa sebabnya ia masih ketakutan melawan orang yang dijanjikannya itu ? Hmm, jangan-jangan orang yang akan diadu denganku itu…..benar-benar hebat bukan kepalang.”

Sebenarnya bisa saja Chin Yang Kun meninggalkan tempat itu sekarang. Tak ada orang yang akan menghalang-halangi jalannya. Semuanya telah terlibat dalam pertempuran yang seru dan dahsyat.


Tapi Chin Yang Kun tidak bermaksud untuk meninggalkan tempat itu lagi. Selain ia tak ingin dianggap penakut oleh pemuda tampan itu, ternyata tanpa sengaja dia telah menemukan tempat pertemuan para penunggang kuda itu, sehingga ia tak usah lagi memata-matai dua orang penunggang kuda yang ada di restoran itu. Kedua orang itupun nanti akan datang pula ke tempat ini.

Pikiran Chin Yang Kun menjadi tenang. Ketika sekali lagi dilihatnya pemuda tampan itu terus berada di atas angin dan selalu mencecar lawanlawannya, maka ia segera berjalan menjauhi mereka. Dicobanya untuk menyelidiki tempat itu, tempat yang suasananya sangat aneh menurut penilaiannya. Masakan kuil yang masih tampak terpelihara, meskipun agak kotor itu tak ada penghuninya sama sekali? Chin Yang Kun naik ke atas pendapa yang ada itu.

Dilihatnya semua perabot ruangan masih tampak utuh. Sampai pada hiasan-hiasan dan gambar-gambarpun masih terletak ditempatnya masing-masing. Beberapa buah kursi malah kelihatan bekas diduduki orang.

Chin Yang Kun semakin merasa aneh hatinya. Bergegas dia menuju ke pintu tengah yang menghubungkan pendapa tersebut dengan ruangan dalam. Pintu itu tidak terkunci. Perlahan-lahan Chin Yang Kun mendorongnya!

Gumpalan asap berbau wangi menerjang keluar bersamaan dengan terbukanya pintu itu. Begitu banyaknya asap tersebut sehingga seolah-olah ada kebakaran hebat di dalam ruangan itu. Untunglah Chin Yang Kun cepat-cepat meloncat surut, sehingga hembusan asap yang berbau wangi itu tidak sampai menerjangnya. Meskipun demikian tak urung ia tersedak juga hingga terbatuk-batuk.

Chin Yang Kun meningkatkan kewaspadaannya, hatinya semakin bertambah yakin bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres di dalam kuil itu. Tak mungkin rasanya kuil yang besar dan terpelihara itu kosong tiada penghuninya. Mereka tentu ada di dalam. Hanya masalahnya sekarang adalah mengapa mereka tidak keluar mendengar suara-suara ribut di depan pendapa mereka? Apakah telinga mereka tuli semuanya ? Rasanya tentu tidak. Kalau demikian kemana saja mereka itu?

Hati Chin Yang Kun semakin tergelitik untuk menyelidiki semua itu. Apalagi sekarang pemuda itu menemui sesuatu yang aneh dan mencurigakan di ruang tengah kuil itu.

Ruangan itu penuh asap yang amat mencurigakan. Menilik dari baunya, asap tersebut tentulah asap hio atau dupa wangi yang biasa digunakan untuk sembahyang. Hanya anehnya mengapa asap itu sedemikian banyaknya sehingga bergulung gulung memadati kamar atau ruangan itu? Apakah memang benar-benar ada kebakaran di dalam ?

Rasanya juga tidak! Tidak terlihat sama sekali sinar api atau nyala api di dalam ruangan itu. Misalkan terjadi kebakaran di dalam ruangan itu, hawa panasnya tentu telah menjalar kemana-mana pula. Padahal Chin Yang Kun tidak merasakannya sama sekali.
Chin Yang Kun menjadi ragu-ragu. Terus masuk ke dalam ruangan yang penuh asap itu atau menunggu sampai asap tersebut habis tertiup angin ?

Sekejap pemuda itu menjadi bingung juga. Kalau dia masuk sekarang dan di dalam ternyata ada orang jahat, hal itu sungguh sangat berbahaya. Tapi kalau harus menunggu habisnya asap itu, sampai kapan dia harus menantinya? Sungguh serba merepotkan !

Sekali lagi Chin Yang Kun menatap ruangan yang pengap dan gelap itu. Tiba-tiba wajahnya tampak bersinar gembira.

Sekilas pemuda itu teringat pada kamar gelap di rumah Liu twakonya dulu, yaitu ketika dia dirawat selama sebulan lebih akibat racun yang mengeram
di tubuhnya.

Tanpa sengaja di rumah itu ia mampu mengembangkan daya konsentrasinya secara mentakjubkan, sehingga dia bisa membaca seluruh keadaan di sekelilingnya tanpa harus mempergunakan matanya. Atau dengan perkataan lain, dia bisa melihat dan mengetahui apa yang ada di sekelilingnya hanya dengan perasaan hatinya saja. Oleh Liu twakonya kemampuannya itu disebut-sebut sebagai ilmu yang mirip dengan Lin-cui Sui-hoat, yaitu semacam ilmu meramal yang biasa dipelajari oleh para pertapa tingkat tinggi, untuk mengetahui hal-hal yang tak bisa dijangkau oleh pandang matanya atau hal-hal yang belum terjadi di dunia.

Kini mendadak saja Chin Yang Kun ingin mengulangi atau mencoba lagi kemampuannya tersebut. Sebelum dia masuk ke dalam ruangan yang gelap penuh asap itu dia ingin mengetahui atau menduga-duga lebih dahulu apa yang ada di dalamnya, sehingga selanjutnya dia bisa bersiap-siap terlebih dahulu.

Chin Yang Kun segera berkonsentrasi seperti yang pernah dia lakukan di tempat twakonya dulu itu. Perlahan-lahan sinar matanya yang mencorong seperti mata harimau atau mata naga itu meredup. Dan sekejap kemudian pemuda itu sudah tidak bisa melihat apa-apa, meskipun matanya tetap terbelalak. Telinganya yang sangat terlatih, yang telah mampu membedakan suara desing senjata pun perlahan-lahan juga tak bisa mendengarkan apa-apa lagi.

Tapi sebaliknya sejalan dengan itu hati dan perasaannya tumbuh dan berkembang semakin hidup, sehingga rasa rasanya semua kegelapan dan kesunyian yang melingkupi dirinya itu perlahan-lahan berubah kembali menjadi terang benderang. Begitu terangnya sehingga rasa-rasanya tiada batasan yang mampu mencegah atau menutupi jangkauan mata batinnya. Semuanya tampak terang dan jelas dari tempatnya berdiri. Begitu pula keadaan di dalam ruangan yang gelap oleh asap itu. Ruangan itu rasa-rasanya menjadi terang benderang pula seperti keadaan di luar, sehingga dia bisa melihatnya dengan jelas.

Yang mula-mula tampak terbayang di matanya adalah sesosok mayat yang tergeletak di dekat pintu. Mayat itu tergeletak di lantai dengan mulut terbuka, lehernya terdapat bekas luka melintang yang amat lebar. Darah berceceran di sekitarnya.

Kemudian agak ke dalam lagi dilihatnya tiga sosok mayat bersandar pada tiang penyangga langit-langit. Mayat-mayat itu bersandar dalam posisi berdesak-desakan, sementara pada leher masing-masing juga terdapat luka pula seperti pada mayat pertama. Disinipun darah yang telah mengental tampak berceceran dimana-mana.

Gambaran-gambaran yang diperoleh Chin Yang Kun itu benar-benar amat mengejutkan pemuda itu sendiri. Konsentrasinya buyar sehingga bayangan-bayangan itu menjadi lenyap dan ruangan tersebut tampak gelap kembali seperti sediakala.

Chin Yang Kun berdesah dengan air muka berubah pucat. Benarkah apa yang dia lihat dalam bayangan tadi? Jangan jangan semuanya itu hanya bayangan yang tersembul dari dalam alam bawah sadarnya saja. Jangan-jangan semua gambaran tadi hanya timbul dari hatinya yang penuh dendam akibat kematian ayah, ibu dan seluruh keluarganya saja, sehingga otak yang penuh dendam itu selalu menciptakan bayangan kengerian atau mayat-mayat yang berserakan.

Chin Yang Kun termangu-mangu. "Ah, aku akan masuk dan membuktikannya......!" akhirnya
pemuda itu menggeram.

Chin Yang Kun melangkah masuk. Tapi sebelumnya ia menoleh ke arah pertempuran lebih dahulu. Ketika dilihatnya pemuda tampan itu terus mendesak para pengeroyoknya, hatinya menjadi semakin tenteram. Dia segera masuk ke ruangan gelap itu dengan hati-hati.

Dan........ hampir saja Chin Yang Kun meloncat keluar kembali ketika tiba-tiba kakinya menyentuh mayat ! Apalagi ketika dia memperhatikannya terlebih teliti lagi ternyata keadaan mayat tersebut persis sekali dengan bayangan yang ia dapatkan tadi. Lehernya koyak dan darah kental berceceran di sekitarnya.

"Gila ! Masakan bayangan yang kudapatkan itu memang betul adanya ?" hatinya berseru. "Baik! Akan kulihat......!"

Chin Yang Kun mengerahkan Iwee-kangnya, sehingga matanya semakin bersinar, seolah-olah dapat menembus gelapnya asap yang menyelubungi ruangan itu. Kakinya melangkah lagi ke depan, ke tengah-tengah ruangan. Napasnya yang sesak oleh asap itu tak dihiraukannya.

Ketika dilihatnya sebuah tiang di mukanya Chin Yang Kun berhenti. Perlahan-lahan matanya menatap ke bawah dan…. benarlah ! Di sana tampak tiga buah mayat bersandar saling berdesakan. Darah menggenang
di bawah mereka !

"Oohh....!” Chin Yang Kun berseru sambil menutupi mukanya. Bayangan ayah, ibu dan paman-pamannya tiba-tiba kembali menghantui jiwanya.

Chin Yang Kun bergegas membalikkan tubuhnya dan bermaksud meloncat keluar kembali. Tetapi sebelum ia sempat menjejakkan kakinya, tiba-tiba terdengar suara dingin menyeramkan di dekat telinganya. Nada suara itu terasa asing dan mengerikan, seakan-akan suara hantu yang sedang bangkit dari kuburnya. Meremang bulu kuduk Chin Yang Kun suara itu seolah-olah mengandung daya magis yang menakutkan !

“Bangkitlah….! Bangkitlah kalian dari…. dari kematian ! Basahilah dirimu dengan darah….darah yang masih hangat!"

Hampir pingsan rasanya Chin Yang Kun ketika mayat yang berada di dekat pintu itu tiba-tiba bangkit dan melangkah tertatih-tatih ke arahnya. Luka yang sangat lebar dan dalam pada leher mayat itu menyebabkan mayat itu tidak bisa mengangkat kepalanya. Kepala itu tergolek di atas pundaknya seperti buah kelapa yang patah tangkainya.

Otomatis Chin Yang Kun melangkah mundur dengan tergesa-gesa. Air mukanya tidak kalah pucatnya dengan wajah mayat itu. Tapi langkahnya segera terhenti pula dengan mendadak ketika di belakangnya juga terdengar suara desis yang mendirikan bulu roma. Tubuhnya yang jangkung itu segera melesat ke samping, lalu menoleh. Dan kembali  di depannya telah berdiri pula tiga sosok mayat yang tadi bersandar di tiang rumah. Ketiga sosok mayat itu melangkah terseok-seok dan terhuyung huyung mendekatinya.

Gumpalan-gumpalan darah beku yang menempel pada pakaian mereka tampak berjatuhan di atas lantai yang dilewati oleh mereka.

Pemandangan itu benar-benar menggoncangkan batin Chin Yang Kun. Pemuda pemberani dan berkepandaian tinggi itu kini terpaksa gemetar juga melihat kejadian yang aneh dan mengerikan itu. Belum pernah selama hidupnya Chin Yang Kun mendengar dan melihat kejadian yang menyeramkan seperti ini. Mayat yang sudah kaku dan rusak bisa bangkit dan bergerak lagi, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi? Apakah dunia ini sudah mau kiamat?

Chin Yang Kun mundur terus karena selalu didesak oleh empat sosok mayat itu, sehingga akhirnya punggungnya menempel pada dinding ruangan dan tak bisa mundur lagi. Pemuda itu menjadi ketakutan setengah mati, matanya melirik kekiri dan kekanan, mencari
jalan untuk melarikan diri.

Pemuda itu melihat sebuah pintu tertutup di sebelah kirinya. Tampaknya pintu itu adalah pintu masuk ke sebuah kamar. Chin Yang Kun cepat berlari ke sana. Lalu dengan tergesa-gesa membuka pintu itu. Tapi untuk yang kedua kalinya Chin Yang Kun tersentak mundur dengan wajah ngeri! Ternyata di balik pintu tersebut telah menanti delapan atau sepuluh sosok mayat pula!

Dengan keadaan tubuh yang sangat mengerikan mayat-mayat itu berdesakan dan menggapai-gapaikan tangannya ke arah Chin Yang Kun!

Saking kagetnya pemuda itu seolah-olah telah menjadi lumpuh. Tubuhnya seakan-akan menjadi dingin dan kaku sehingga berat sekali untuk digerakkan. Maka ketika empat sosok mayat yang mengejar di belakangnya itu datang, Chin Yang Kun tak bisa menghindar lagi. Empat pasang lengan dengan kuat meringkusnya dari belakang. Baunya jangan ditanya lagi! Busuk dan amis bukan main!

Rasa takut dan ngeri membuat Chin Yang Kun berontak untuk meloloskan diri. Otomatis tenaga dalamnya bergerak keluar!

“Hhuah!”

Empat sosok mayat yang memeluk Chin Yang Kun terpelanting kekanan dan kekiri, saking keras dan kuatnya tenaga yang dikeluarkan oleh Chin Yang Kun, mengakibatkan beberapa buah lengan mayat itu copot dan beterbangan kemana-mana. Meskipun begitu ketika pemuda itu telah berdiri tegak kembali, dilihatnya mayat-mayat itu juga telah bangkit berdiri pula lagi. Seperti tidak merasakan kesakitan sedikitpun mayat-mayat yang kehilangan lengan itu berjalan tertatih-tatih ke arahnya.

Sebenarnya hati Chin Yang Kun masih merasa ngeri bukan main. Tapi melihat kenyataan yang baru saja terjadi, dimana mayat-mayat tersebut tidak kebal dan berbahaya seperti layaknya hantu atau setan, maka keberaniannya mulai timbul kembali. Toh kenyataannya mayat-mayat yang sangat mengerikan itu dapat ia hancurkan dengan ilmu pukulannya. Maka ketika mayat-mayat itu kembali mendekatinya, Chin Yang Kun segera mempersiapkan Liong-cu-i-kangnya.

“Ayoh! Jangan takut…..! Bunuh pemuda itu! Makan dagingnya…..isaplah darahnya! Kalian akan memperoleh kenikmatan yang luar biasa…..” tiba-tiba suara yang mempunyai daya magis itu terdengalagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT