PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PENDEKAR MAUT ilid 18

 



"OH… bukan main segarnya udara pagi....!" Yang Kun berseru sambil menghirup udara segar yang masuk dari  jendela yang baru saja dibukanya.

"Wah ..... dan bukan main pula hebatnya ilmu Yang Hiante tadi!” Toat beng-jin dan Tong Ciak Cu si yang telah berdiri di ambang pintu itu memuji."Sudah sehat benarkah kau, Yang Hiante?"

"Ah, Ji-wi Lo cianpwe ! Ji-wi tentu telah menyaksikan permainan siauw-te yang jelek tadi, bukan ?"

"Hei ! Siapa berani bilang jelek ? Oh, kalau ilmu seperti itu masih juga dikatakan jelek .....hmm, orang itu tentu buta ! Hehehe......" Toat-beng jin menggoyang-goyangkan tangannya.

"Lo-cianpwe ..,? Mana yang lain?" Yang Kun mengalihkan pembicaraan yang tak mengenakkan hatinya itu. 

"Sudah berangkat semua. Tinggal kita ini......" Tong Ciak tersenyum. 

Tapi Chin Yang Kun tidak ikut tersenyum. Pemuda itu justeru tertegun. Tiba-tiba seperti ada yang hilang di dalam dadanya. Bergegas tubuhnya meloncat keluar, menjenguk ke setiap kamar yang malam tadi dipakai oleh Kam Song Ki, Yap Kiong Lee dan ..., Souw Lian Cu ! Di kamar yang terakhir ini ia terpaku untuk beberapa lama, seolah-olah dunia ini menjadi sunyi dengan mendadak.

"Yang-hiante, engkau mencari siapa? Ada apa….?" Toat-beng-jin yang tua itu datang menghampiri.

"Ah, Lo-cianpwe...... mengapa mereka tak pamit kepadaku ?” desah Yang Kun lesu.

"Pamit ? Eh..... oh...... anu, mungkin mereka segan untuk membangunkan Yang-hiante."orang tua itu memandang heran. 

Mengapa mesti pamit segala ? Bukankah mereka sama sama tamu di rumah itu ? Dan bukankah mereka itu bukan saudara atau sahabat akrab satu sama lain? Mengapa pemuda ini merasa kecewa tak dipamiti oleh mereka ? Sungguh aneh sekali !

Dipandang begitu rupa oleh Toat-beng-jin, membuat Chin Yang Kun segera sadar akan kejanggalan dirinya. Maka dengan kikuk pemuda itu cepat cepat memperbaiki kekeliruannya.

"Anu...,, eh, maksud siauwte….siauw-te belum sempat berterima kasih kepada..... kepada Kam Lo-cianpwe,” katanya gagap. 

“Ooh, tak usahlah. Mungkin bagi Kam Lo-cianpwe hal seperti itu cuma dia anggap sebagai kewajiban saja." Toat-beng-jin membesarkan hati Yang Kun.

"Tapi...... siauw-te juga akan berangkat saja sekarang. Terima kasih atas bantuan dan budi Ji-wi Lo-cianpwe, yang mau bersusah susah merawat siauwte sehingga siauw-te sekarang dapat sehat kembali. Pada suatu saat nanti siauwte akan berkunjung ke tempat Lo cianpwe untuk minta sedikit ilmu kepandaian."

"Ah, jangan bergurau ! Mana mampu harimau memberi pelajaran kepada naga. Tapi meskipun demikian aku selalu berharap akan kedatangan Yang-hiante di Gedung Pusat kami."

"Tong Locianpwe! Toat-beng-jin Lo-cianpwe ! Siauwte mohon diri......"

Chin Yang Kun berlutut di depan mereka sebentar, untuk menyatakan rasa terima kasihnya. Dan sebelum kedua tokoh Im-yang kauw itu datang membangunkannya, Chin Yang Kun telah melesat pergi dengan cepat sekali. Sebentar saja telah lenyap dari pandang mata orang tua itu.

"Anak-anak muda sekarang banyak yang berwatak aneh!" sekali lagi Tong Ciak bergumam.

Toat-beng-jin tersenyum. "Mungkin watak Tong Cu-si dulu juga takkan kalah anehnya!" orang tua itu memberi komentar sambil pergi membawa buntalannya.

ooOoo

Seperti orang bingung Chin Yang Kun berjalan bolak-balik mengitari dusun Ho-ma cun yang besar dan ramai itu. Di dalam hatinya Chin Yang Kun berharap semoga dapat berjumpa dengan Souw Lian Cu. Tetapi sampai matahari naik sepenggalan, gadis yang dia harapkan itu tetap tak diketemukannya. "Betul-betul goblog! Mengapa aku tadi lupa bertanya kepada Tong Cu-si, kemana sebenarnya tujuan gadis itu?" sesal Chin Yang Kun di dalam hati.

Akhirnya bosan juga Chin Yang Kun berjalan kian kemari. Dengan tubuh Iemas dan pikiran lesu, pemuda itu menjatuhkan dirinya di bawah pohon Pek yang tumbuh lebat di pinggir sungai. Dipilihnya sebuah batu besar yang bagian bawahnya terendam aliran sungai. Sambil merenungi bayangan wajahnya yang terpantul di atas permukaan air, Chin Yang Kun mencoba untuk mengenang kembali saat-saat dia berkumpul dengan Souw Lian Cu.

Perkenalan mereka belumlah dapat dikatakan lama, kalau toh hubungan mereka selama itu boleh disebut berkenalan.

Soalnya, meskipun mereka setiap hari selalu makan minum bersama, berjalan bersama dan menghadapi bahaya bersamasama, tetapi mereka tak pernah berbicara atau saling  menyapa satu sama lain. Mereka berdua lebih cenderung untuk saling menghindari dan saling membenci. Tapi sebenarnya Chin Yang Kun tidak merasa membenci Souw Lian Cu. Di dalam hati kecilnya, pemuda itu justru merasa suka dan bersimpati.

Tetapi… gadis itulah yang membenci Chin Yang Kun dan selalu menghindarinya ! Sehingga lambat laun timbul juga perasaan tak puas di hati Yang Kun. Akibatnya, pemuda itu sering kali balas menggoda dan membuat dongkol Souw Lian Cu. Tapi sebenarnya hal itu dilakukan oleh Chin Yang Kun hanya sekedar untuk membalas perlakuan Souw Lian Cu kepadanya.

"Ah ! Gila ! Tak seharusnya aku terlalu memikirkan gadis cacat itu. Aku bertemu dengan dia baru beberapa hari yang lalu. Aku belum mengenalnya dengan baik. Ya kalau dia orang baik-baik, kalau tidak ? Ya kalau dia masih perawan, kalau sudah bersuami atau bertunangan? Aaaah….!” Chin Yang Kun berdesah berulang-ulang.

Chin Yang Kun bangkit berdiri. Dilihatnya matahari telah naik tinggi. Beberapa buah perahu nelayan telah mulai berdatangan kembali dari tempat pekerjaan mereka. Mereka merapat kembali ke bandar mereka untuk beristirahat siang.

"Hah, aku harus dapat melupakannya. Harus ! Urusanku sendiri masih sangat banyak, tugas yang diberikan oleh mendiang ayah dan paman-pamanku masih bertumpuk. Aku harus segera menyelesaikannya!" akhirnya Chin Yang Kun menetapkan keputusannya.

Dibuangnya segala macam pikiran yang memberatkan dirinya itu jauh-jauh. Kini dengan dada sedikit lapang Chin Yang Kun berjalan menyusuri sungai itu. Sambil melangkah pemuda itu membuat rencana. Pertama tama ia harus mencari para pembunuh keluarganya. Yang kedua, ia harus mencari Cap Kerajaan yang ternyata diperebutkan oleh banyak orang pula. Ketiga, dan ini yang paling memberatkan perasaan hati Yang Kun, yaitu menegakkan kembali Dinasti Chin !

Tugas yang ketiga ini yang selalu ditekankan oleh ayahnya dan juga kemudian oleh nenek buyutnya, benar-benar sangat berat untuk dilaksanakan oleh Chin Yang Kun. Pemuda itu sedikitpun tak mempunyai minat untuk menjadi penguasa, apalagi menjadi raja. Sejarah keluarganya yang bergelimang dalam kancah permusuhan, perebutan pengaruh dan kekuasaan, yang akhirnya justru memusnahkan mereka sendiri itu benar-benar sangat dibencinya. Pemuda itu lebih suka hidup tentram dan damai sebagai rakyat biasa.

"Ah, tugas yang terakhir itu biar kupikir nanti sajalah...." pemuda itu menghela napas.

“Sekarang yang mula-mula harus kulakukan adalah mencari para pembunuh itu! Dan lobang yang harus aku masuki, agar dapat bertemu dan mendapatkan mereka adalah .. Ceng ya kang! lblis itulah satu-satunya petunjuk yang kuperoleh."

Mengingat nama Ceng-ya-kang pemuda itu Iantas teringat pada ceritera Yap Kiong Lee. Dan begitu mengingat ceritera Yap Kiong Lee, Yang Kun juga lantas teringat pula ceritera sahabatnya, Chu Seng Kun ! Menurut ceritera Yap Kiong Lee kemarin, iblis gundul itu  menjadi anggota sebuah kelompok yang bermaksud akan menggulingkan kekuasaan Kaisar Han. Kelompok itu dipimpin oleh seorang aneh bernama Hek-eng-cu. Dan menurut cerita dari Chu Seng Kun, orang berkerudung hitam ini sudah bersiap diri menyusun sebuah kekuatan besar yang ditempatkan di mana-mana. Dalam ambisinya untuk menjadi kaisar, tokoh misterius itu juga telah berusaha untuk mendapatkan pusaka Cap Kerajaan.

Jadi kemungkinan besar memang kelompok itulah yang dimaksudkan oleh ayah dan paman-pamannya. Sebuah kekuatan besar yang memusuhi keluarganya dan mau merampas Cap Kerajaan, Chin Yang Kun berkata di dalam hati.

"Kini sudah terang bagiku, siapa lawan yang mesti kuhadapi." Yang Kun melangkah sambil menggeram.

Tangannya meraih sebatang ranting kemudian meremasnya hingga hancur, lalu dibuangnya ke sungai.

"Kecopakk !"

"Eeii.... kurang ajar! Mengintip orang sedang mandi, kau yaa„...?"

''Haah?!??" Chin Yang Kun terperangah, lalu cepat-cepat menghindar ketika dilihatnya seorang wanita muda sedang merendam diri di tepian sungai yang dangkal.

Tapi belum juga pemuda itu sempat melangkah lebih jauh lagi, dari atas pohon tiba tiba meloncat turun seorang Iaki-laki tampan menghadang di depannya. Pakaian orang itu sangat baik dan bersih, sementara wajahnya yang tampan itu juga dirawat dengan baik. Terlalu baik malah, sehingga berkesan sebagai seorang yang sangat pesolek. Usianya sudah tidak muda lagi, tapi matanya masih bersinar nakal dan genit.

"Ahaa.... pengintip perempuan yang goblog ! Tidak begitu caranya mengintip wanita yang sedang mandi! Hahaha.... kau ini benar-benar pemuda canggung yang masih ingusan!" datang-datang orang itu sudah mengolok-olok Chin Yang Kun.

Tentu, saja Chin Yang Kun menjadi marah. "Aku tidak mengintip!" bentaknya keras.

Tapi orang itu justru tertawa semakin terpingkal-pingkal. Apalagi ketika tampak olehnya wajah Chin Yang Kun yang merah padam. "Hoho, tidak usah malu. Aku dulu juga begitu. Ketika mengintip yang pertama kalinya, aku juga ketahuan tetanggaku, hoho .... Aku menjadi malu bukan main, saking maluku, aku jadi mata gelap! Kubunuh tetanggaku yang sial itu !"

"Keparat! Aku tidak sekotor pikiranmu !" Chin Yang Kun benar-benar naik pitam.

Tangannya diulur ke depan untuk mencengkeram baju orang bermulut kotor itu. Ternyata orang itu juga gesit sekali. Tubuhnya berputar tiga kali ke kanan, dan serangan Yang Kun menemui tempat kosong,

"Hohoho...ternyata engkau juga kalap seperti aku dulu. Hanya sayang yang kau ketemukan sekarang bukan tetanggaku itu, tapi seorang hantu pencabut nyawa, hehe.......!”

"Aku tidak peduli hantu atau bukan, tapi kalau kau tak mencabut kata-katamu yang kotor itu, kau akan kulempar ke dalam sungai !” Yang Kun memukul dengan tangan kiri ke arah kepala.

Lagi-lagi orang itu mengelak dengan berjongkok. Cuma kali ini dia tidak tinggal diam dan membiarkan dirinya diserang terus-menerus oleh Yang Kun.

Mendadak dari bawah orang itu menotok jalan darah tia-teng-hiat di ketiak Yang Kun. Bersamaan dengan itu dari mulutnya juga menyembur asap putih bergulung gulung, persis seorang perokok yang menyemburkan asap dari pipanya.

Chin Yang Kun meloncat ke belakang, sehingga totokan dan semburan asap itu luput dan tak mengenai dirinya. Meskipun demikian hati pemuda itu menjadi kaget juga.Ternyata lawannya seorang yang berwatak licik dan berbahaya. Sekilas tercium bau yang memabokkan pada asap tadi.

Orang itu tidak mengejar Chin Yang Kun. Sambil tertawa dia menimang-nimang sebuah hun-cwe (pipa tembakau) panjang yang berasap pada ujungnya. "Haa.... kau terkejut?" katanya.

Sikapnya sangat memandang rendah sekali. Diam-diam Chin Yang Kun mengerahkan Liong-cu i-kangnya, sehingga tulang-tulang di badannya terdengar berkerotokan. Sekejap orang yang memegang huncwe itu mengerutkan dahinya, lalu melangkah setindak ke belakang ketika tiba-tiba dirasakannya ada hawa dingin yang menghembus ke arah dirinya. Senyumnya hilang. Dengan perasaan tegang ia menatap Chin Yang Kun.

“Hah !" sambil membentak Yang Kun memukul ke perut lawan.

la mengerahkan sepertiga dari seluruh tenaga saktinya. Perbawanya sungguh menggiriskan.  
Untunglah orang itu telah bercuriga sejak tadi. Maka begitu Chin Yang Kun memukul dengan disertai hembusan angin dingin, cepat-cepat ia menjejakkan kakinya ke atas tanah.

Tubuhnya segera melayang tinggi keatas melewati kepala Chin Yang Kun. Sambil melayang tak lupa orang itu menyedot pipa huncwenya, dan kemudian sebelum kakinya turun di belakang Chin Yang Kun, pipa tembakau yang panjang itu menyabet ke arah tengkuk lawannya.

"Wuuut!”

Chin Yang Kun melangkah setindak ke depan, sehingga sabetan pipa itu melayang lewat, kemudian tubuhnya berputar dengan cepat. Berbareng dengan mendaratnya kaki lawan di atas tanah, Chin Yang Kun mengirim pukulan lagi ke arah pinggang ! Sekali lagi pemuda itu cuma mengerahkan sepertiga dari tenaga saktinya.

Sebenarnya orang itu dapat mematahkan serangan Chin Yang Kun dengan menarik sikunya ke belakang. Tapi orang itu ternyata tak mau melakukannya. Sekali lagi dia tak mau adu tenaga dengan membenturkan siku itu ke arah pukulan Yang Kun. Orang itu benar-benar berhati hati sekali, sehingga akhirnya justru Chin Yang Kun yang menjadi kesal dan tak sabar. Maka ketika dengan tubuh miring orang itu meloncat menjauh, Yang Kun cepat mengerahkan Kim-coa-ih-hoatnya.

"Haiiit !"

Lengan itu bertambah panjang sejengkal jauhnya, sehingga lawan yang merasa telah terbebas dari jangkauan Yang Kun itu menjadi kaget setengah mati ! Ternyata pukulan yang telah dihindari itu masih saja mengejarnya ! Dengan muka pucat orang itu bergegas melangkah Iagi ke belakang. Tapi sungguh hampir pingsan rasanya ketika lengan itu masih saja mengikutinya !

Hampir saja orang yang bersenjata huncwe itu berteriak. Tapi sebelum ada suara yang keluar dari mulutnya, tubuhnya telah terangkat ke atas, dan di lain saat badannya telah terlempar ke dalam sungai.

"Byuuuur!”

“Hei, ada apa di sini? Apakah yang terlempar ke arah sungai tadi? Apakah..... oohh, kau ! Tukang ngintip.. ... !" tiba-tiba seorang wanita bermuka cantik dan manis datang menghampiri Chin Yang Kun.

Pakaiannya berwarna hitam, rambutnya disanggul tinggi seperti seorang puteri Istana. Usianya mungkin sudah lebih daripada tigapuluh tahun, tapi oleh karena selalu dirawat dengan baik, maka kelihatannya seperti seorang gadis remaja saja.

Chin Yang Kun mengenali wanita yang baru saja tiba itu sebagai wanita yang tadi dilihatnya sedang berendam di dalam sungai. Mengingat wanita itu yang membikin gara-gara hingga ia sampai berkelahi dengan seseorang, maka Chin Yang Kun segan untuk melayani. Tanpa mengeluarkan perkataan sepatahpun ia melesat pergi meninggalkan tempat itu.

"Tunggu !"

Wanita ini berkelebat cepat mendahului Chin Yang Kun dan menghadang di mukanya. Terpaksa pemuda itu berhenti melangkah. Ditatapnya wanita cantik itu dengan seksama.

"Maaf, apa maumu ? Mengapa menghentikan langkahku?" Yang Kun bertanya dengan suara kaku.

"Hei, mengapa malahan engkau yang menjadi marah? Seharusnya akulah yang menjadi marah. Engkau mengintip aku, lalu kawanku yang menegurmu kau lemparkan ke dalam sungai, bagaimana ini ? Apakah kau mau main pukul dan ingin mau menang sendiri ?"

"Huh ! Siapa yang mengintip engkau? Jangan terlalu sombong dan besar perasaan !"

"Apa? Kau maki aku sombong? Kau maki aku besar perasaan? Kurang ajar! Kau memang layak diberi pelajaran.......!" wanita itu berseru marah. Telapak tangannya menampar ke arah pipi Chin Yang Kun.

Tapi dengan mudah pemuda itu mengelakkannya, lalu tubuhnya melejit ke samping dan berusaha lari meninggalkan tempat itu. Tapi wanita itu tak mau melepaskannya begitu saja. Dengan lincah ia mengejar. Lalu dari belakang, tangan kanannya menghantam ke arah punggung Chin Yang Kun.

Chin Yang Kun terpaksa meloncat ke kiri. Tapi secara tak terduga kaki lawannya melayang ke atas, menghantam ke selangkangannya, sehingga akibatnya Chin Yang Kun terpaksa berjungkir balik ke belakang lagi. Dan belum juga kakinya berdiri tegak, wanita itu sudah mengejar pula dengan tendangan berantainya. Mau tak mau Chin Yang Kun terpaksa mengelak mundur lagi. Repotnya bukan main ! Kini Chin Yang Kun benar-benar hilang kesabarannya!

"Berhenti ! Atau..... kulempar pula kau ke sungai !" pemuda itu menghardik.

"Eee, mengancam ...? Coba saja kalau mampu !"

“Siau-kwi.....! Berhenti !” tiba-tiba orang yang tercebur ke dalam sungai tadi muncul dan berteriak ke arah wanita itu.

Wanita cantik yang dipanggil dengan nama Siau kwi itu benar-benar mematuhi perintah tersebut.

"Ada apa? Mengapa kau melarang aku membunuh dia ?” protesnya penasaran.

"Jangan gegabah! Dialah yang telah membunuh Togu dan Huang-ho Heng te......" orang itu berseru sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang basah. Pipa tembakaunya yang panjang itu ia ketuk-ketukkan pada pahanya supaya kering.

"Haah ?" Siau-kwi terbelalak. "Kau tidak main-main ?”

"Aku tidak main-main, Pek pi Siau kwi (Hantu Cantik Berlengan Seratus)…."

"Bagaimana kau mengetahuinya ?"

"Sudahlah ! Kau turut saja kata kataku !" laki-laki bersenjata huncwe itu menarik lengan Pek-pi Siau kwi.

"Saudara, maafkan kekasaran kami tadi. Kami cuma bermaksud … mencoba orang yang telah mampu membunuh dua orang jago kami. Ternyata saudara memang lihai sekali. Ooh, ya....bolehkah kami mengetahui nama dan gelar saudara ?"

Chin Yang Kun mengendorkan urat-uratnya yang tegang. Namun demikian ia tetap selalu waspada. Bagaimanapun juga ia belum mengenal mereka dengan baik. Apalagi mereka ternyata adalah kawan dari orang yang terbunuh di restoran itu. Kalau sekarang mereka bersikap halus dan mau mengalah, hal itu cuma disebabkan karena mereka takut atau segan pada kepandaiannya. Lain tidak! Maka dia harus tetap berhati-hati.

"Jadi... ji-wi ini kawan-kawan dari orang yang terbunuh itu?" Chin Yang Kun menegaskan.

"Maaf, aku terpaksa membunuh mereka, karena merekalah yang mengepung aku dan mendesakku ! Tentang nama..... panggil saja aku Yang Kun ! Tak punya gelar atau nama besar yang lain ! Apakah kalian mau membalas dendam ?”

"Ah, tidak ! Tidak ! Mana aku berani? Kami justru ingin berkenalan atau… bersahabat, kalau boleh!” orang yang bersenjata huncwe itu berkata hati-hati.

"Hai, kau ini bagaimana sih? Sudab gila kau barangkali? Kawan sendiri telah dibunuh, kau malah mengajaknya bersahabat....." Pek-pi Siau-kwi menarik lengan kawannya.

“Kaulah yang gila dan buta! Apa gunanya melawan orang yang berkepandaian melebihi kita? Ingin bunuh diri ? Sudahlah kau turut saja aku..." laki-laki itu mencubit tangan kawannya.

"Dan lagi kawan-kawan kita sendirilah yang membuat kesalahan, bukan saudara ini….."

"Sudahlah, kalian jangan bercekcok. Temanmu yang mati itu memang telah salah mengenali aku dan kawan kawanku. Temanmu menyangka kami akan menyerang Tan wangwe, padahal sama sekali tidak ! Buat apa kami menyerang orang yang tak kami kenal?"

"Wah, kaudengar itu? Saudara Yang ini bukan anggota rombongan Keh-sim Siauw hiap.” laki-laki itu menoleh kepada Pek-pi Siau-kwi.

"Ooo, tahu aku sekarang. Jadi kalian ini sedang menunggu rombongan Keh-sim Siauw hiap. Oleh karena itu ketika teman kalian melihat rombonganku, mereka menyangka bahwa rombongan Keh-sim Siauw hiap telah tiba. Begitukah?"

"Betul!” laki-laki bersenjata huncwe itu mengangguk.

"Ahh.... kalau begitu kasihan sekali kematian orang-orang itu. Mereka mati karena kesalahpahaman. Aku sungguh berdosa sekali…." Chin Yang Kun menyesali diri.

"Ah, Yang sicu tidak bersalah. Kawan-kawankulah yang terlaIu bodoh dan buta."

“Terima kasih. Tetapi akupun ikut bersalah dalam hal ini. Coba aku lebih sabar sedikit dan merundingkannya dengan baik, kukira kesalahpahaman itu takkan sampai terjadi."

Ketiga orang itu berdiam diri untuk beberapa saat, seolah olah mengenangkan nasib orang yang telah meninggal dunia itu.

“Yang-sicu ..!'' akhirnya laki laki bersenjata huncwe itu menyapa perlahan. “Maukah Yang-sicu kubawa ke tempat kawan-kawanku? Marilah kita jernihkan kesalahpahaman antara kita ini di sana! Biarlah mereka mengetahui atau menyadari kesalahan mereka dan biarlah mereka meminta maaf kepada Yang sicu..”

"Benar, saudara Yang,.., Kalau saudara Yang mau ke tempat kami dan menerangkan sendiri kesalahpahaman ini, kukira semuanya akan menjadi beres. Tak ada lagi dendam mendendam di antara kita." Pek-pi Siau-kwi ikut membujuk Chin Yang Kun.

Urat-urat Chin Yang Kun kembali tegang untuk sesaat. Ada dua kemauan yang saling bertentangan di dalam hatinya. Keinginan untuk meluluskan permintaan orang itu, dan membereskan semua kesalahpahaman mereka, serta keengganan untuk mendatangi tempat yang berbahaya itu, demi keselamatan dirinya. Agaknya laki laki itu dapat membaca pikiran Chin Yang Kun.

Oleh karena itu dengan lantang ia berkata. "Apakah Yang-sicu belum mempercayai aku? Kalau umpamanya Yang-sicu memang tidak percaya kepadaku, lalu apa yang harus ditakutkan pada diriku ini? Tadi aku baru saja saudara kalahkan. Padahal aku adalah kepala dari semua pengawal Tan-wangwe. Nah, kalau kepalanya saja dapat saudara tundukkan, lalu apa yang mesti ditakuti pada anak buahnya ?”

"Bagaimana saudara Yang.....?” Pek-pi Siau-kwi ikut mendesak.

“Baiklah! Mari kita berangkat!" Chin Yang Kun mengangguk dengan dada tengadah.

"Terima kasih!" Pek pi Siau-kwi dan laki laki itu saling melirik, kemudian sambiI tersenyum penuh arti mereka menyatakan rasa terima kasih.

Bertiga mereka berjalan menyusuri tepian sungai itu ke arah bandar yang berada di pinggir dusun. Orang orang di atas perahu yang lewat ataupun para pejalan kaki yang kebetulan berpapasan dengan mereka, tentu menyapa dan memberi hormat kepada Pek pi Siau-kwi dan lelaki pemegang huncwe itu.

“Ji-wi sangat dihormati orang di dusun ini. Hmm, siapakah sebenarnya ji-wi ini? Siapa pula Tan wangwe itu? Mengapa saudara sampai bentrok dengan Keh-sim Siauwhiap yang terkenal itu?" sambil berjalan Chin Yang Kun bertanya tentang mereka.

Laki-laki itu tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan tersebut secara langsung, "Ah..... mengapa terburu-buru? Sebentar lagi saudara tentu akan mengerti sendiri.”

Mereka melewati bandar tempat menambat perahu di pinggir dusun. Tempat itu sangat ramai dan penuh dengan sampan dan perahu. Beberapa orang pengawal atau tukang pukul yang bersenjata golok tampak menyongsong mereka. Salah seorang dari mereka segera membungkuk.

"Tan-wangwe telah menunggu tuan berdua sejak tadi," katanya memberi Iaporan.

"Apakah rombongan Keh-sim Siauw-hiap telah tiba?"

"Belum....."

Beberapa waktu kemudian mereka sampai ke sebuah rumah yang besar, luas, indah dan sangat megah. Bangunan itu didirikan menghadap ke arah sungai, sehingga kesan kemegahannya sungguh amat menonjol dengan ruang pandangan yang sangat luas. Pagar temboknya disusun dari bata merah setinggi dua meter lebih, meskipun begitu toh tetap tidak bisa menutupi bangunan gedungnya yang tinggi.

Di pintu gerbang masuk mereka disongsong pula oleh para penjaga yang berseragam lengkap, lalu diantar melalui halaman depannya yang amat luas. Para penjaga itu berhenti di bawah tangga pendapa dan mempersilahkan mereka naik ke atas.

Laki Iaki bersenjata huncwe itu mendahului naik tangga, diikuti oleh Pek pi Siau kwi dan Chin Yang Kun. Di atas pendapa mereka telah dinantikan oleh para jagoan pengawal yang dikumpulkan Tan-wangwe, di antaranya Hui-chio Tu Seng, Houw-ho Lam-hui dan Ngo kui-shui! Ketika orang-orang itu melihat kedatangan Chin Yang Kun, mereka langsung berpencar dan menghunus senjata masing masing.

“Berhenti ! tidak ada lawan di sini, semuanya adalah kawan ! Kalian mundurlah….!" Laki-laki berhuncwe itu meloncat ke depan dan berteriak keras.

"Jai-hwa Toat beng-kwi (Hantu Cabul Pencabut Nyawa)......! Pek pi Siau-kwi! Itulah pemuda yang telah membunuh kawan kawan kita......!” Hui-chio Tu Seng balas berteriak.

"Kalian keliru ! Duduklah ! Mari kita bicarakan dengan hati dingin!" orang bersenjata huncwe yang dipanggil dengan sebutan Jai-hwa Toat-beng-kwi itu menarik lengan Hui-chio Tu Seng dan kawan kawannya ke kursi. Lalu sambil berbisik lirih Jai-hwa Toat-beng kwi menepuk bahu Hui chio agar menuruti saja segala perintahnya.

Sementara itu Lam Hui menatap Chin Yang Kun dengan rasa tak keruan. Menurut Hui chio, pemuda itulah yang telah membunuh Togu dan Huang ho Heng te dengan ilmu yang amat mengerikan. Sebuah ilmu siluman yang bisa memanjangkan dan memendekkan anggota badan! Padahal kepandaiannya masih berada di bawah ketiga orang yang telah mati itu. Oleh karena itu betapa kecut hatinya bila ia teringat akan lagaknya dulu ketika bertemu dengan pemuda itu di warung Hao Chi.

"Mari ! Marilah duduk, Yang sicu.....!” Jai-hwa Toat-beng kwi mempersilahkan Chin Yang Kun.

Dengan wajah tenang tanpa perasaan khawatir sedikitpun Chin Yang Kun duduk di atas kursi yang disediakan untuknya.Lalu dengan tenang pula, pemuda itu menatap orang-orang yang berada di sekitarnya satu persatu. Ketika pandangannya jatuh pada Lam Hui, orang bertubuh tinggi besar yang semula sangat garang itu tiba-tiba menggigil. Rasanya mata itu mencorong menyilaukan bagi Lam Hui, seperti sorot matahari yang menimpa mukanya.

"Saudara Tu Seng, Lam Hui dan Ngo kui shui...,,,” Jai-hwa Toat-beng-kwi berdiri dan mengawasi kawan-kawannya.

"Sekarang aku mau bertanya kepada kalian...... siapa sebenarnya lawan yang sedang kita tunggu tunggu itu?"

Hui chio Tu Seng, Houw-kho Lam Hui dan Ngo kui-shui saling memandang dengan bingung. Mereka benar benar tak mengerti, apa maksud Jai-hwa Toat-beng-kwi bertanya tentang hal yang telah mereka ketahui bersama itu ? Bukankah semua sudah tahu bahwa mereka sedang menantikan kedatangan Keh-sim Siauw hiap ?

"Ayoh, katakan ! Mengapa diam saja ? Katakan, siapa lawan yang kita tunggu tunggu itu!”

"Jai hwa Toat-beng-kwi, kau ini aneh benar. Bukankah kau juga sudah tahu kalau kita sedang menantikan Keh-sim Siauwhiap?" Tu Seng menjawab.

"Nah, ternyata kalian masih ingat juga. Lalu, apa yang akan kalian perbuat kalau ada rombongan lain yang bukan rombongan Keh sim Siauw hiap lewat di dusun ini ? Hanya sekedar lewat saja! Apakah rombongan itu akan kalian hantam juga?”

"Huh, apa gunanya kita menghantam mereka? Cuma mencari kesulitan sendiri saja. Baru berhadapan dengan Kehsim Siauw hiap saja kita sudah kehilangan kawan, mengapa kita harus menambahnya dengan musuh-musuh yang lain?"

Hui-chio Tu Seng menjawab tegas. Jai hwa Toat beng-kwi tersenyum, lalu melangkah mendekati Tu Seng. Matanya menatap jago tombak itu lekat lekat. "Lalu.... mengapa kau menyerang juga rombongan Yang sicu ini? Apakah kalian sudah yakin kalau mereka itu rombongan dari Keh-sim Siauw hiap ?"

"Ini ….ini….. aku tak tahu ...!” Tu Seng menjawab dengan gagap.

"Nah, ketahuilah sekarang. Yang sicu ini bukan orangnya Keh-sim Siauw-hiap! Jadi kalian kemarin telah keliru sangka....,"

"Tapi…. tapi... apa buktinya kalau dia bukan orangnya Kehsim Siauw-hiap?”

"Naah, ternyata kalian masih dapat berpikir juga sekarang.Tapi mengapa kemarin kalian tak punya pikiran untuk membuktikan terlebih dahulu, siapa sebenarnya dia ? Kalian langsung main labrak saja, dan akibatnya.... kalian sendiri yang rugi. Ternyata yang kalian tabrak adalah gunung karang.......”

Jai-hwa Toat-beng kwi kembali ke kursinya. Meskipun banyak yang belum puas, tapi tak seorangpun yang berani bersuara. Mereka memendam saja perasaannya, hanya kadang-kadang saja mereka melirik ke arah Chin Yang Kun. Akhirnya tak enak juga perasaan pemuda itu kalau cuma berdiam diri saja. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya.

"Cu wi sekalian.......! Aku tahu bahwa cu-wi belum percaya kepadaku. Tapi sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Jai-hwa Toat-beng-kwi tadi, aku bukan anak buah Keh sim Siauw hiap. Aku memang tidak mempunyai bukti. Tapi aku dapat membuktikannya bila Keh-sim Siauw-hiap berada di sini. Nah, sekarang terserah kepada cu-wi semua. Percaya atau tidak. Tidak percaya pun aku juga tidak peduli. Aku siap menghadapi siapa saja!"

Tak seorangpun berani berkutik, Ngo kui-shui memandang Lam Hui, Lam hui yang tinggi besar itu memandaug Hui-chio dan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Tapi dua orang pentolan pengawal ini juga diam saja menundukkan muka,

"Nah.......memang sebaiknya begitu !" tiba-tiba Pek-pi Siau-kwi memecahkan kesunyian tersebut, "Memang sebaiknya Yang-sicu berada di tempat ini dahulu untuk membuktikan bahwa dia bukan anak buah Keh-sim Siauw-hiap. Nanti setelah Keh-sim Siauw-hiap datang. Yang-sicu dapat pergi.... dengan bebas."

"Hahaha..... benar ! Benar ! Aku sepakat !" Jai-hwa Toat-beng-kwi bersorak.

"Hei! Hei! Ini....... aku.....” Chin Yang Kun berusaha untuk mencegah keputusan itu.

"Sudahlah, Yang-sicu. Duduk sajalah yang baik, kami akan menjamu Yang-sicu seperti kami menjamu tamu kehormatan kami...... Hei, pelayan ! Keluarkan meja jamuan selengkap-lengkapnya !" Jai-hwa Toatbeng-kwi berteriak ke dalam.

"Ah !” Chin Yang Kun berdesah kikuk. Dan seperti telah dipersiapkan sebelumnya, dari dalam lantas terlihat beberapa orang gadis keluar membawa nampan berisi segala macam makanan. Dengan cekatan mereka menata meja itu tanpa bersuara. Sekejap saja semuanya telah siap.

"Bagus! Bagus…..! Ada tamu agung rupanya ! Marilah..... kalau begitu aku Tan Hok akan ikut menikmati jamuan ini..." dari dalam tiba-tiba muncul seorang lelaki gagah berpakaian sangat indah. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Rambut di atas pelipisnya telah memutih. Begitu juga yang berada di atas ubun-ubunnya. Sebatang pedang panjang tergantung pada pinggangnya.

"Tan wangwe .,.,!” semuanya berdiri menyambut orang itu.

"Silahkan! Silahkan.....! Jangan sungkan-sungkan ! Ah, siapakah tamu kita kali ini ?"

Jai hwa Toat-beng-kwi menyongsong Tan-wangwe dan membawanya ke dekat Chin Yang Kun, lalu memperkenalkannya satu sama lain.

"Yang-sicu, beliau ini adalah pemilik rumah ini. Beliau bernama Tan Hok atau Tan wangwe .. "

Chin Yang Kun membungkuk sambil merangkapkan kedua belah telapak tangannya di depan dada, tapi mulutnya tetap diam tak bersuara. Sebaliknya ketika namanya disebut oleh Jai-hwa Toat-beng kwi dan diperkenalkan kepada tamu rumah, Tan-wangwe menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira sekali.

"Ooh, Yang Siauw-hiap rupanya....! Aku telah mendengar tentang kehebatanmu dari Huichio Tu Seng kemarin. Katanya seorang diri engkau dapat mengalahkan dan membunuh Togu dan Huang ho Heng te. Aku benar-benar sangat kagum kepadamu. Ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali..”

"Dan.... Tan wangwe paling suka berteman dengan jago silat yang berkepandaian tinggi !" Pek-pi Siau-kwi yang sedari tadi cuma diam saja, tiba-tiba menyahut.

“Benar. Aku memang sangat senang dan menghargai orang-orang yang hebat..... seperti Yang Siauw-hiap ini pula ! Maka dari itu aku akan bergembira pula hari ini apabila dapat bersahabat dengan Yang Siauw-hiap!"

"Hei, mengapa pula sampai tak bisa! Marilah kita makan dan minum untuk merayakan persahabatan kita ini.....!" Jai-hwa Toat-beng-kwi segera berseru sambil menyambar cawan arak yang berada di depannya. Yang Iain-lain segera mengikutinya pula.

Terpaksa Chin Yang Kun melayani kegembiraan mereka. Apalagi sejak kemarin ia memang belum makan sama sekali. Ia menerima saja setiap mereka menawari makanan dan minuman, sehingga akhirnya ia menjadi mabuk dan kekenyangan. Pemuda itu bangkit dari kursinya, lalu dengan sempoyongan ia berjalan ke dalam rumah.

“Marilah kubantu pergi ke kamarmu, Yang-sicu....." Pek-pi Siau-kwi meloncat mendekati.

Tangannya meraih ke arah pinggang Chin Yang Kun! Meskipun sedang dalam keadaan mabuk ternyata pemuda itu tetap sulit sekali untuk didekati orang. Beberapa kali Pek-pi Siau kwi berusaha menyambar lengan atau pinggang Chin Yang Kun, untuk membantunya pergi ke kamar, tapi selalu tak berhasil. Biarpun sempoyongan, gerakan kaki dan tangannya masih sangat gesit dan cepat bukan main!

“Ja-jangan dekati a-aku! Aku mau..... mau tidur sesebentar. Si-siapa y-yang mendekati aku akan kubunuh seperti...... seperti ini! Hiaaat !”

Pemuda itu mencengkeram ke arah ubun-ubun Pek-pi Siaukwi tapi karena sempoyongan sasarannya menjadi berubah ke arah pundak. Meski pun demikian serangan tersebut juga tidak kalah berbahayanya dengan sasaran semula. Kalau kena, tak pelak lagi wanita cantik itu tentu akan menjadi cacat badan seumur hidupnya. Oleh karena itu Pek-pi Siau kwi juga tidak berani sembrono melayani serangan itu.

Wanita itu mengerahkan segala kemampuannya, lalu
dengan cepat memiringkan tubuhnya ke kanan sehingga
cengkeraman Chin Yang Kun mengenal tempat kosong.
Kemudian sebelum pemuda itu sempat menarik lengannya,
Pek pi Siau kwi bergegas menabas lengan tersebut dengan sisi telapak tangannya. Tapi
entah karena sedang mabuk atau
karena memang sudah tak sempat lagi, Chin Yang Kun tak Tiraikasih Website
http://kangzusi.com/
berusaha mengelakkan serangan tersebut. Sebaliknya pemuda itu justru membarenginya dengan sapuan kakinya ke arah kuda-kuda lawan.

Pek pi Siau kwi menyangka bahwa Chin Yang Kun memang benar-benar sudah mabuk, maka hatinya menjadi gembira bukan main. Wanita itu sudah membayangkan bahwa sekejap lagi pergelangan tangan Chin Yang Kun akan terlepas persendiannya dan selagi pemuda itu merasakan kesakitan, ia akan segera mencengkeram lengan tersebut dan kemudian membantingnya ke atas lantai! Blug! Dan semuanya akan  bertepuk tangan untuknya.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya benar-benar membuat wanita itu hampir pingsan karenanya. Pada benturan pertama, bukanlah Chin Yang Kun yang terlepas persendian tulangnya, tapi Pek pi Siau-kwi sendirilah yang menjerit setinggi langit.

Serasa remuk seluruh tulang lengan wanita itu ketika membentur lengan Chin Yang Kun yang keras bagai besi baja. Dan selagi rasa sakit itu masih mencengkam tubuhnya, wanita itu menjerit pula sekali lagi ketika mendadak tubuhnya terangkat ke atas, kemudian terbanting kembali ke lantai dengan kerasnya ! Serasa ada seribu bintang yang tiba-tiba datang mengerumuninya. Pusing !

Selesai menyapu kaki lawan Chin Yang Kun sendiri lalu sempoyongan menabrak meja, sehingga meja yang penuh terisi makanan dan minuman itu terguling jatuh menumpahkan seluruh isinya. Seguci arak yang masih penuh terlontar dari meja itu dan pecah ketika menimpa kepala Chin Yang Kun. Isinya tumpah membasahi tubuh Chin Yang Kun dari ujung rambut sampai ke dalam sepatunya.

“Heheh... segar! Segar sekali ! Mmm ... mandi arak wangi memang segar sekali !" pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh sambil menjilati arak yang mengalir di atas bibirnya.

Kaki yang belum dapat berdiri tegak itu tiba-tiba melangkah kembali ke tempat Pek-pi Siau-kwi masih terbaring kesakitan. Tangannya terkepal, siap untuk memberi pukulan terakhir.

Jai-hwa Toat-beng kwi dan kawan-kawannya terlonjak kaget dari kursinya melihat bahaya yang akan menimpa sekutu mereka itu. Seperti mendapat aba-aba mereka melesat bersama-sama ke arah Pek-pi Siau kwi. Jai-hwa Toat-beng-kwi yang tak pernah lekang dari huncwenya, melemparkan senjata andalannya itu ke arah Chin Yang Kun. Begitu juga yang dilakukan oleh Hui-chio Tu Seng ! Orang yang sangat terkenal karena tombak terbangnya itu melontarkan senjatanya berbareng dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Dan kedua senjata tersebut melesat bagai kilat, menyongsong langkah Chin Yang Kun.

"Siuuuuuuut! Siuuuuuuut!"

"Ceeep ! Ceeep !”

Semuanya ternganga. Dua buah senjata yang melesat dengan dahsyat itu ternyata disambar dengan amat mudah oleh Chin Yang Kun, seakan-akan benda berbahaya itu cuma barang mainan baginya. Hanya karena kakinya memang sempoyongan sejak tadi, maka begitu berhasil menangkap senjata yang terlontar dengan kekuatan tinggi itu, Chin Yang Kun langsung terjengkang dan berguling-guling di atas Iantai.

Tapi itupun hanya sekejap, karena sesaat kemudian tubuh pemuda itu telah melenting ke atas, terus menerkam ke arah orang-orang yang mendatanginya. Dan orang-orang yang mau menolong Pek-pi Siau kwi itu juga bersiap-siap menghadapi pula.

"Wuuuut ! Siuuuut ! Plak!"

“Blug! Blug !”

Tujuh orang pengawal pilihan dari Tan-wangwe itu berjatuhan bagaikan buah kelapa yang dipungut dari
tangkainya. Mereka terkapar bergelimpangan di lantai dengan mulut mengaduh-aduh kesakitan. Sungguh menakjubkan! Seorang diri, sedang mabuk pula..... tapi dalam satu gebrakan telah mampu menjatuhkan semua musuh-musuhnya.

"Nah ! lni.....hik hik, ini cuma peringatan sa-saja untuk k-kalian, hik ! Lain kali.. jjj-jangan dekati aku lagi ! Eh, Tan-wangwe.... ayoh antarkan aku ke kamarmu!"

"Ba-baik ! Baik !" Tan Hok tersentak kaget.

Wajahnya pucat, seolah-olah tak percaya pada kejadian itu. Orang orang yang dia kumpulkan untuk menghadapi Keh-sim Siauw-hiap ternyata telah disikat oleh pemuda itu dalam satu gebrakan. Sungguh tak masuk di akal.

Setelah mengantar Chin Yang Kun ke kamarnya, Tan Hok bergegas keluar kembali menemui para pengawalnya. Orang orang itu segera ditolongnya. Ngo-kui shui yang lwee-kangnya paling rendah terpaksa harus minum obat, karena pukulan Chin Yang Kun ternyata mengandung racun.

“Gila! Anak itu kepandaiannya sungguh dahsyat !" Tan Hok berkata heran.

"Aku juga merasa heran. Dulu ayahnya tak sehebat dia. Maka ketika kemarin Tuan Tan menugaskan aku untuk membawanya kemari, aku menjadi salah hitung. Tadi siang tubuhku telah dilemparkannya ke dalam sungai seperti ini tadi.” Jai-hwa Toat-beng-kwi bersungut-sungut.

"Baiklah ! Sekarang kita teruskan rencana kita itu. Kita harus bisa mempergunakan kelihaiannya itu untuk melawan Keh-sim Siauw-hiap. Sekarang biarlah aku sendiri yang membujuknya." Tan Hok berbisik ke telinga Jai-hwa Toat-beng-kwi.

Tan Hok lalu berlari kembali ke dalam rumah. Ia melayani sendiri keperluan Chin Yang Kun. Dengan tekun hartawan itu menunggui sendiri di dekat pembaringan Chin Yang Kun.

Kemudian diajaknya berbicara dan mengobrol. Oleh karena Chin Yang Kun masih dalam keadaan mabuk, maka kata-kata yang keluar dari mulutnyapun juga tak beraturan dan asal bicara saja. Apa yang terpikir langsung keluar dari mulutnya.

Sama sekali pemuda itu tak memikirkan, di mana dia kini sedang berada. Di tempat kawan atau lawan, berbahaya bagi keseIamatannya atau tidak. Yang dirasakan oleh Chin Yang Kun pada saat itu cuma tubuhnya terasa enteng dan ringan sekali, seakan-akan ia mau terbang dibawa angin.

“Tan Hok, kau benar-benar kaya sekali..... hik." pemuda itu memanggil nama si tuan rumah dengan enaknya, seolah-olah memanggil pelayannya saja.

"Rumahmu..... hik...rumahmu bagus sekali, perabotannyapun bukan main indahnya. Semuanya terbuat dari emas....Tapi...hik.... kenapa sepi sekali? Di mana keluargamu? Maksudku......isteri dan anak-anakmu? Yang kulihat sedari tadi cuma para pelayan dan ... hik,. . para pengawalmu saja."

Tiba-tiba terdengar suara Tan Hok menghela napas berat. Beberapa saat lamanya orang kaya itu tak menjawab pertanyaan Chin Yang Kun, sehingga Chin Yang Kun yang belum sadar dari mabuknya itu menjadi heran.

“Eh, kau kenapa? Mengapa diam saja? Ooh, kau sedang sedih hahaha..... hik! Ayoh..... dong, jawab,.,..! Takut dengan Keh-sim Siauw-hiap? Haha.... jangan khawatir! Asal aku.... hik-hik.... masih berada di sini semuanya tanggung beres."

Sekejap air muka Tan Hok tampak berseri gembira, tapi sekejap kemudian kembali sedih pula lagi. Perlahan-lahan orang tua itu bangkit berdiri, lalu melangkah ke arah gambar yang tergantung pada dinding kamar. Diambilnya gambar itu dan dibawa ke pembaringan Chin Yang Kun, dan diperlihatkan kepada pemuda tersebut.

"Keluargaku telah meninggal semua. Mertuaku, isteriku, anak-anakku dan para pelayan dari keluargaku ! Inilah gambar mereka...." katanya sedih. Chin Yang Kun menerima gambar itu serta melihatnya dengan teliti.

Tampak Tan Hok bersama isterinya berdiri di belakang sepasang orang tua, yang duduk di atas kursi mewah. Di samping mereka berdiri empat orang anak kecil berpakaian indah dan anggun. Gambar itu diambil di depan sebuah gedung yang sangat indah mirip istana.

"Ahh, kelihatannya tuan memang keturunan orang kaya atau keturunan bangsawan." Chin Yang Kun memberi komentar setelah puas melihat gambar itu.

“Rumah yang ada di dalam gambar ini tentulah sebuah istana atau semacamnya itu."

''Saudara Yang sungguh sangat teliti. Benar. Gedung yang ada di dalam gambar itu memang sebuah istana kecil tempat tinggal mendiang Perdana Menteri Li Su."

"Oh, kalau begitu tuan Tan ini masih kerabat dari Perdana Menteri itu? Haha, aku..... hik hik .... aku tahu sekarang. Keluarga tuan tentu dibunuh oleh pasukan Liu Pang, bukan?”

Tan Hok menggeleng. ''Bukan ....!" jawabnya tegas.

"Hei? Bukan? Ah, lalu siapa kalau bukan mereka? Keh-Sim Siauw-hiap?" Chin Yang Kun yang sudah agak sembuh dari mabuknya itu merasa heran.

"Ah, panjang sekali ceritanya,.,,." Tan Hok tertunduk lesu sambil menghela napas berulang-ulang.

"Kematian keluargaku sungguh amat sengsara sekali. Kematian mereka cuma disebabkan oleh perebutan pusaka warisan keluarga. Aku mempunyai warisan pusaka yang ternyata juga diinginkan oleh banyak orang, di antaranya adalah Keh-sim Siauw-hiap. Tapi semuanya dapat kutanggulangi, selain......eh, panjang sekali ceritanya,”

“Ohh? Bolehkah aku mendengarkan ceritamu itu? Tampaknya Tuan Tan mempunyai nasib yang sama dengan nasib keluargaku." Chin Yang Kun bertanya dengan nada sedih pula.

Mendadak pemuda itu juga teringat kepada ayah, ibu dan paman-pamannya yang terbunuh pula.

"Baiklah, nanti aku ceritakan kepada Yang Siauw-hiap. Tapi marilah kita minum-minum dahulu, agar Yang Siauw-hiap merasa lebih segar lagi!" Tan Hok berkata sambil menuangkan arak ke atas cawan,

"Lihat! Matahari sudah hampir terbenam dan sebentar lagi bulan segera akan muncul. Siapa tahu malam ini Keh-sim Siauw hiap benar-benar datang, sehingga kita tak mempunyai kesempatan lagi untuk minum bersama."

"Baik ! Marilah ..., !" Chin Yang Kun yang mulai tertarik dan bersimpati kepada Tan Hok itu segera menyambar cawan yang disuguhkan kepadanya.

Mereka lalu makan minum lagi sepuas-puasnya, sehingga rasa pusing yang semula telah hilang dari kepala Chin Yang Kun kini kembali menggayuti kepala pemuda itu lagi.

"Nah, kau...... kau berceritalah ! Matahari telah ber..... hik,, bersembunyi sekarang. Bulan s-segera mmm...... muncul, hik ! Nanti tak ada kesempatan I-lagi kalau Keh-sim Siauw-hiap ddd..,„ datang."

Chin Yang Kun yang telah mabuk lagi itu mengguncang-guncang lengan Tan Hok. Mulutnya yang berbau arak keras itu berkata serak dan gagap.

"Baiklah, Yang Siauw-hiap…. Aku akan bercerita.." Tan Hok yang ternyata tidak ikut mabuk itu berdiri perlahan. Kemudian sambil melipat lengannya di bawah punggung dia mulai berceritera.

Sebelum para pemberontak sampai ke kota raja, Perdana Menteri Li Su telah berusaha menyelamatkan seluruh harta dan keluarganya dengan berbagai cara. Selain menyuruh belasan orang anak cucunya pergi meninggalkan kota raja dengan menyamar dan membawa harta sebanyak-banyaknya, Perdana Menteri Li Su juga menyelundupkan seluruh harta karun yang tak ternilai banyaknya. Harta karun itu diselundupkan melalui iring-iringan pengungsi yang terdiri dari wanita dan anak anak.

Ternyata iring-iringan pengungsi itu tak pernah mencapai tujuannya. Mereka hilang entah di mana, seperti juga anak cucu Perdana Menteri Li Su yang lain. Semuanya tidak ada yang bisa menerobos kebuasan para pemberontak yang telah menguasai hampir seluruh negeri itu. Semua anak cucu Perdana Menteri Li Su yang menyamar telah dibantai habis dan seluruh harta yang dibawanya juga habis untuk rebutan.

Hanya seorang yang tidak mengalami perlakuan seperti itu, yaitu Tan Hok dan keluarga yang dibawanya. Menantu Perdana Menteri Li Su itu dapat menyelamatkan diri bersama keluarganya, dan hidup mengasingkan diri di daerah padang ilalang yang sunyi. Dengan harta yang mereka bawa itu mereka membangun sebuah rumah di tempat terpencil tersebut. Mereka hidup bebas di tempat terasing itu selama bertahun-tahun tanpa mengalami gangguan dari siapapun.

Malapetaka mengerikan yang menghabiskan seluruh keluarga itu justru karena ulah Tan Hok sendiri. Ternyata biarpun sudah mendapatkan harta kekayaan yang sangat banyak dari mertuanya, Tan Hok masih selalu teringat pada harta karun yang diselundupkan oleh mendiang mertuanya itu. Beberapa kali ia keluar dari tempat persembunyiannya, mengembara seperti seorang pendekar untuk mencari berita tentang harta karun yang hilang itu.

Berbulan-bulan, bertahun tahun Tan Hok mencari, tapi tak didapatkan juga harta itu. Berkali-kali Tan Hok menyusuri daerah pantai sebelah timur, karena khabarnya iring-iringan pengungsi itu mengambil jalan menyusuri pantai timur. Sehingga di daerah yang sering ia kunjungi itu namanya menjadi terkenal dan disegani orang.

Akhirnya setelah kira-kira tiga tahun ia berkelana, Tan Hok bisa memperoleh berita tentang harta karun itu. Salah seorang prajurit yang mengawal iring-iringan itu ternyata masih hidup, biarpun tubuhnya cacat. Prajurit itu sebelum mati telah membuat sebuah peta pada sepotong emas yang ia dapatkan dari tumpukan harta karun tersebut. Peta itu ia wariskan kepada anak laki-laki yang bekerja sebagai nelayan. Nah, pada suatu hari nelayan muda itu diketemukan oleh Tan Hok di tepi pantai bersama perahu dan teman-temannya.

Perahu mereka baru saja dirampok ketika berlabuh di tempat itu. Para perampok tersebut mengambil semua harta mereka, termasuk hasil jerih payah mereka di laut. Yang paling disayangkan oleh nelayan muda itu ialah terbawanya sebagian dari benda warisan ayahnya yang berada di dalam buntalannya.

Tan Hok menjadi curiga dan merasa aneh ketika mengetahui bahwa benda warisan yang dimaksudkan oleh nelayan itu adalah potongan emas. Sungguh mengherankan bila nelayan miskin seperti mereka mempunyai emas, apalagi berupa potongan yang cukup besar pula. Oleh karena itu malam harinya Tan Hok menculik nelayan muda tersebut serta memaksanya untuk bercerita tentang potongan emas yang dibawa oleh perampok itu.

Karena takut nelayan itu mengatakan apa adanya, juga sisa potongan emas yang masih tertinggal di rumahnya. Akhirnya Tan Hok membeli potongan emas itu dari tangan si nelayan dan membawanya pulang. Potongan emas yang ada gambar petanya itu ia simpan dengan baik. Sekarang tinggal mencari potongannya yang lain.

Ternyata rahasia penemuannya itu tidak tersimpan dengan baik. Entah bagaimana, ternyata Keh-sim Siauw hiap yang tinggalnya di atas pulau yang tak jauh dari pantai tersebut, tahu pula tentang rahasia itu. Keh-sim Siauw-hiap yang mempunyai kegemaran mencari harta lalu membagi-bagikan kepada fakir miskin itu segera mencari Tan Hok. Dan itulah awal permusuhan antara mereka.

Pertama tama Keh-sim Siauw-hiap mengirim orang orangnya untuk menggeledah seisi rumah Tan Hok. Biarpun mereka tak mendapatkan benda yang mereka cari, tapi orang-orang Keh-sim Siauw hiap itu mengambil apa saja yang mereka ketemukan di rumah Tan Hok. Padahal pada saat itu Tan Hok sedang mengembara, mencari potongan emas lainnya. Baru setahun kemudian Tan Hok pulang. Hatinya marah sekali melihat rumahnya telah dirampok orang.

Seorang diri Tan Hok pergi ke Pulau Meng to untuk meminta kembali sebagian hartanya yang dirampok oleh anak buah Keh-sim Siauw-hiap. Dalam perjalanannya ternyata Tan Hok juga menjumpai banyak orang-orang yang sakit hati dan ingin pergi membalas dendam kepada Keh-sim Siauw-hiap.

Malahan beberapa orang di antaranya adalah kenalan dan sahabat baik Tan Hok sendiri. Mereka itu adalah Thio lung beserta adik-adik seperguruannya dari Kim-liong Piauw-kok. Lalu Tiat-i Su jin dari kota Tie-an, Jai-hwa Toat beng-kwi, Pek pi Siau-kwi dan lain lain. Bersama-sama dengan orang-orang itu serta masih banyak lagi yang belum dikenalnya, Tan Hok menemui Keh-sim Siauw-hiap di Pulau Meng to.

Ternyata di tempat itu mereka disambut pula dengan meriah oleh Keh-sim Siauw hiap dan sahabat-sahabatnya. Lalu terjadilah perang tanding yang amat hebat. Keh-sim Siauwhiap mengatakan, siapapun dapat meminta kembali barangnya apabila bisa mengalahkannya. Tapi dari sekian banyak orang itu ternyata tak seorangpun yang mampu menjatuhkan Keh sim Siauw-hiap. Jangankan Keh-sim Siauw-hiap, sedang melawan anak buah atau sahabat-sahabatnya saja jarang yang bisa memperoleh kemenangan.

Tan Hok pulang dengan tangan hampa. Hatinya terasa sakit dan penuh dendam. Tapi apa daya? Untunglah tidak semua hartanya kena rampok, sehingga ia dapat berdiri tegak kembali seperti semula. Dia lalu berusaha memperdalam dan mempertinggi ilmu silatnya. Ilmu Pedang Jit-seng Kiam hoatnya ia tekuni siang malam, sehingga akhirnya ia mampu menguasai ilmu itu melampaui tingkat kepandaian mendiang gurunya. 

Sementara itu keinginan hatinya untuk mendapatkan potongan emas yang lain semakin besar pula. Malahan maksud hatinya itu dikatakannya pula kepada sahabat sahabatnya. Siapa tahu sahabat-sahabatnya tersebut dapat menolong atau tahu tempatnya.

Benarlah. Pada suatu hari Jai-hwa Toat-beng kwi membawa Pek-pi Siau-kwi ke rumah Tan Hok. Penjahat cabul itu mengatakan bahwa tiga jago silat dari pantai timur, yang digelari orang dengan nama Tung-hai Sam-mo, sedang mencari Tan Hok untuk meminta potongan emas itu. Pek pi Siau-kwi mendengar berita itu dari seorang pemilik penginapan yang pernah mereka tumpangi.

Demikianlah, Tan Hok kemudian mengundang sahabat sahabatnya untuk menghadapi Tung-hai Sam-mo. Tan Hok tidak berani main-main menghadapi Tung-hai Sam-mo, karena Tung-hai Sam-mo adalah murid kesayangan Tung-hai-tiau (Rajawali Lautan Timur) maharaja bajak laut yang sangat terkenal akan kekejamannya, kesaktiannya dan banyak pengikutnya. Dahulu bersama dengan mendiang San-hekhouw (Harimau Gunung) dan Sin go Mo-kai-ci, Tung hai tiau disebut sebagai Sam Ok (Si Tiga Jahat Dunia)!

Semua sahabat-sahabat Tan Hok, seperti Jai hwa Toatbeng-kwi, Pek-pi Siau-kwi, Hui-chio dan Thio Lung sudah berkumpul di rumahnya. Rumah yang dibangun oleh Tan Hok di tengah-tengah padang ilalang yang sunyi dan terpencil ! Mereka berkumpul dan bersiap-siap untuk menghadapi Tunghai Sam-mo.

Begitulah. Malam yang naas dan mengerikan bagi keluarga Tan Hok itupun terjadilah ! Kejadian itu berlangsung kira-kira satu setengah tahun yang lalu. Malam maut yang menghabiskan seluruh keluarga Tan Hok!

Malam itu Tan Hok bersama para sahabatnya menunggu kedatangan Tung-hai Sam mo dengan perasaan tegang. Di luar rumah udara sangat dingin sekali. Bulan yang tinggal sepotong itupun tidak mau menampakkan wajahnya sehingga malam yang sunyi dan sepi itu semakin tampak gelap dan kelam. Sekelam hati orang-orang yang telah bersiap sedia untuk mengadu nyawa di dalam rumah itu.

Tapi hingga lewat tengah malam Tung-hai Sam-mo belum juga menampakkan batang hidungnya, sehingga orang-orang yang sejak sore telah menunggu kedatangannya, menjadi gelisah sekali. Terutama adalah orang-orang yang memperoleh tugas di bagian luar rumah ! Suasana yang sepi, udara malam yang kelewat dingin, nyamuk keparat yang menggigiti kulit mereka, embun malam yang membasahi rambut dan wajah mereka, serta kejemuan yang mulai mengikis dinding hati dan kesabaran mereka, itu semua membuat mereka menjadi manusia yang sangat berbahaya dan ganas !

Maka dari itu ketika di dalam kegelapan malam menjelang pagi itu ada lima bayangan manusia yang datang memasuki halaman rumah tersebut, mereka langsung menggempurnya tanpa menanya lebih dahulu siapa mereka.

"Pertempuran yang terjadi saat itu adalah pertempuran yang terdahsyat yang pernah saya alami…" Tan Hok melanjutkan ceriteranya.

“Mereka hanya empat orang, karena salah seorang di antaranya cuma pelayan mereka yang telah tua dan sakit-sakitan. Tapi meskipun hanya empat orang, kepandaian mereka ternyata hebat sekali. Terutama orang yang buntung lengan kanannya. Jai-hwa Toat-beng-kwi yang melayani orang itu sampai kewalahan dibuatnya. Padahal orang buntung itu cuma memainkan goloknya dengan tangan kiri…."

"Rumah terpencil di tengah padang ilalang.....Lalu lima orang tapi yang satu adalah kakek pelayan yang tua dan sakit-sakitan.... Yang satu lagi buntung lengan kanannya dan membawa golok!" Chin Yang Kun yang mendengarkan penuturan Tan Hok itu sibuk mengingat ingat di dalam hati, sehingga cerita Tan Hok selanjutnya tak begitu ia perhatikan lagi.

Tapi karena otak pemuda itu masih dipenuhi hawa arak, maka jalan pikirannya juga tidak jernih lagi. Oleh karena itu meskipun pemuda itu merasa ada sesuatu yang aneh pada ceritera itu, yaitu seolah-olah ia merasakan bahwa ayahnyalah yang sedang bertempur melawan Tan Hok dan kawan-kawannya, tapi otaknya yang beku itu seakan tak bisa memikirkan dan menyadarinya. Sementara itu dengan tak mengurangi kewaspadaannya, Tan Hok melanjutkan ceritanya.

"Belum juga pertempuran itu dapat dilihat kalah menangnya, tiba-tiba dari jauh terdengar suara siulan nyaring mendatangi rumahku. Pikir kami, mereka itu tentulah rombongan dari orang-orang yang bertempur dengan kami itu. Tapi dugaan kami tersebut ternyata keliru sama sekali.

Ternyata yang datang adalah Keh-sim Siauw-hiap dan anak buahnya. Begitu datang Keh-sim Siauw-hiap langsung menanyakan potongan emas itu kepadaku. Ketika kujawab bahwa benda itu takkan kuberikan kepada siapa pun juga, maka Keh-sim Siauw-hiap menjadi marah besar. Tanpa memilih buIu pendekar ternama itu membabat semua orang yang berada di tempat itu, yaitu para pendatang yang kami sangka Tung-hai Sam-mo, kawan-kawanku, isteri dan anak anakku! Semuanya dibantai habis oleh Keh-sim Siauw hiap dan anak buahnya. Untunglah aku, Jai-hwa Toat-beng kwi, Pek-pi Siau-kwi, Hui-chio dan Thio Lung dapat pergi meloloskan diri dari malapetaka itu.....” Tan Hok berhenti sebentar dan menghela napas sedih sekali.

''Orangnya buntung lengan kanannya..... memegang golok..., membawa pelayan tua sakit-sakitan....... larut malam..... di rumah terpencil.....!" Chin Yang Kun masih saja menundukkan mukanya sambil berpikir keras. Kini sama sekali ia tak mendengarkan ceritera Tan Hok.

"Kami memang bisa menyelamatkan diri dari kebuasan Keh-sim Siauw-hiap, tapi aku ternyata tak mampu menyelamatkan benda yang diperebutkan itu. Semula benda itu kutitipkan kepada salah seorang pelayanku. Tak tahunya aku lupa sama sekali ketika semuanya bingung untuk menyelamatkan diri....." Tan Hok meneruskan ceritanya.

“Ketika keesokan harinya aku kembali, kulihat pelayan itu juga sudah mati, dan..... potongan emas itu juga hilang. Aku benar benar putus asa. Tapi untunglah kawan kawanku mau membesarkan hatiku. Dengan sisa-sisa harta yang masih ada padaku, aku mengembara sampai ke dusun Ho-ma-cun ini. Aku membuat rumah lagi dan berdagang segala macam di tempat ini. Usahaku berhasil dan aku menjadi kaya raya kembali." 

Tan Hok menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Matanya menatap Chin Yang Kun yang masih saja menunduk dengan kening berkerut itu. Tan Hok mengira pemuda itu mendengarkan ceritanya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu dengan tergesa-gesa ia melanjutkan pula ceriteranya.

“Tak kusangka keparat Keh-sim Siauw-hiap itu masih saja mencariku. Dikiranya aku masih menyimpan potongan emas itu. Beberapa hari yang lalu ia memerintahkan seorang anak buahnya kemari untuk meminta benda itu lagi. Kalau tak kuberikan ia akan mendatangi rumahku dalam dua tiga hari ini.,,.. Dan malam ini adalah malam yang terakhir !" Tan Hok menutup ceritanya dengan menggeram marah dan penasaran.

Sementara itu keadaan Chin Yang Kun yang mabuk itu sudah menjadi semakin membaik. Sejalan dengan berkurangnya pengaruh arak yang membelenggu otaknya, bertambah pula kesadarannya sedikit demi sedikit.

"..... Karena tangan kanannya buntung, ia memainkan goloknya dengan lengan kiri...... Semuanya ada lima orang, tapi yang satu adalah pelayannya.... sudah tua dan sakit-sakitan," pemuda itu bergumam perlahan.

Matanya memandang kosong ke depan, sementara dahinya yang lebar itu selalu berkerut-kerut karena sedang berpikir keras.

"Hai !!" tiba-tiba Chin Yang Kun berteriak keras sekali, sehingga Tan Hok hampir terjatuh dari kursinya karena kaget.

Dari atas pembaringannya tiba-tiba Chin Yang Kun melompat turun. Tangannya menyambar leher baju Tan Hok dengan cepat sekali, sehingga yang belakangan ini tak mampu lagi mengelakkan diri atau menangkisnya. Maka di Iain saat tubuh Tak Hok yang agak gemuk itu telah terangkat dari lantai. Ternyata ilmu silatnya benar-benar tak mampu melindunginya.

"Katakan lekas! Apakah orang yang buntung lengannya itu berkumis dan berjenggot lebat? Apakah lengan yang buntung itu masih baru balutannya? Apakah kakek pelayan itu sakit batuk? Apakah keempat orang yang bertempur dengan kalian itu bersenjatakan golok semuanya? Apakah... apakah rumah terpencil itu berada tidak jauh dari kota Tie kwan? Apakab rumah itu...... eh, rumah itu bergenting merah?” bagaikan air hujan, pertanyaan itu meluncur dengan derasnya dari mulut Chin Yang Kun.

Karena kaget, bingung dan takutnya, Tan Hok malah tak bisa menjawab apa-apa. Orang kaya itu cuma dapat mengangguk-angguk saja dalam cengkeraman tangan Chin Yang Kun.

"Lalu. .. siapakah yang membunuh mereka ?" sekali lagi pemuda itu berteriak. Kali ini agaknya kesadarannya telah benar benar pulih kembali.

"Keh..... Keh-sim Siauw-hiap!" Tan Hok menjawab gagap.

"Kurang ajar ! Keh-sim Siauw hiap! Awas pembalasanku !"

Chin Yang Kun menggeram dengan gigi berkerotan. Suaranya sungguh sangat menakutkan. Lalu tubuh Tan Hok dilepaskannya begitu saja, sehingga orang itu sempoyongan mau jatuh.

"Siauw-hiap ... kau dapat menunggu pembunuh biadab itu di sini ! Dia mengatakan bahwa dia akan mengunjungi rumah ini untuk mengambil potongan emas itu," Akhirnya Tan Hok ikut memaki pula, sekedar untuk menutupi atau mengurangi rasa kikuk yang disebabkan oleh keadaannya yang runyam tadi.

Jika dipandang sepintas lalu, keadaan Tan Hok tadi memang benar-benar tak masuk di akal. Sebagai seorang jago silat kelas satu dan mempunyai banyak pengalaman pula, tak seharusnya dia ditangkap dan dikuasai oleh Chin Yang Kun dengan demikian mudahnya. Di dalam kalangan persilatan Ilmu Pedang Jit-seng Kiam hoatnya selalu ditakuti lawan dan disegani kawan. Buktinya tokoh penjahat lihai seperti Jai-hwa Toat-beng kwi dan Pek-pi Siau kwi tunduk pula kepadanya.

Tetapi apabila dipikirkan lagi lebih mendalam, hal seperti itu memang tidaklah mengherankan. Dalam dunia persilatan memang berlaku sebuah hukum, siapa lebih cerdik dan encer otaknya, serta pandai dan tangkas menilai setiap keadaan yang dia hadapi, dialah yang akan menjadi pemenangnya ! Tentu saja yang dimaksudkan adalah jago-jago silat yang mempunyai tingkat kepandaian seimbang, atau tingkat kepandaian mereka terpaut tidak begitu banyak.

Dapat diibaratkan sebagai dua orang jago silat yang mempunyai guru sama, ilmu sama dan kemampuan tubuh sama ! Belum tentu dengan kondisi yang semua sama seperti itu lantas tidak ada yang kalah atau menang bila mereka dipertandingkan. Niscaya jago silat yang lebih cerdik dan punya otak yang lebih encerlah yang akan memperoleh kemenangan. Sebab jago silat yang cerdik akan selalu bisa mencari keuntungan dalam setiap kesempatan, betapapun kecilnya, kemudian memanfaatkannya untuk mendapatkan kemenangan. Hal itu dapat dibuktikan tadi oleh Yang Kun ketika mengecoh dan mengalahkan lawan-lawannya dalam tempo yang amat singkat ! Pertama, ketika Chin Yang Kun melemparkan Jai-hwa Toat beng-kwi ke dalam sungai.

Padahal seperti halnya Tan Hok, hantu cabul itu mempunyai kepandaian yang amat tinggi pula. Jelek-jelek dia adalah tangan kanan San-hek houw pada sepuluhan tahun yang silam. Tapi pagi tadi hantu cabul itu sangat meremehkan kemampuan Chin Yang Kun, sehingga dia menjadi lengah.

Dan kelengahan tersebut tak disia-siakan oleh pemuda yang sangat cerdik dan berbakat itu. Coba hantu cabul itu mau berhati-hati dan melawan dengan penuh kewaspadaan belum tentu Chin Yang Kun mampu menundukkannya dalam sepuluh atau limabelas jurus!

Begitu juga halnya yang dialami oleh Pek-pi Siau kwi dan beberapa orang kawannya di dalam pendapa tadi. Mereka juga lengah karena terlalu meremehkan orang yang telah sempoyongan karena mabuk. Mereka kurang memperhatikan pertahanan tubuh sendiri, sehingga mereka kecolongan setelah lebih dulu terpedaya oleh kecerdikan Chin Yang Kun. Padahal untuk melawan mereka semua bagi Chin Yang Kun benar benar sangat berat. Biarpun mungkin dapat menang, tapi kemenangan itu tentu ia dapatkan dengan memeras keringat dan mengerahkan segenap kekuatannya.

Demikian pula yang terjadi pada Tan Hok tadi. Coba perasaannya belum dipesonakan oleh kehebatan-kehebatan Chin Yang Kun ketika menundukkan Pek-pi Siau-kwi dan teman-temannya di pendapa itu, mungkin ia tidak mudah terkecoh oleh serangan mendadak Chin Yang Kun tadi. Tapi karena nyalinya belum-belum sudah gentar, ditambah pula dengan keteledorannya sendiri, maka untuk sesaat ketangkasannya seperti hilang dari tubuhnya. Dan waktu yang hanya sesaat itu telah dilihat dan dipergunakan oleh Chin Yang Kun ! Akibatnya seperti orang yang kena sihir, Tan Hok dengan mudahnya diringkus oleh Chin Yang Kun.

Padahal dibandingkan dengan yang lain, kepandaian Tan Hok adalah yang paling unggul. Dalam keadaan biasa mungkin tak mudah bagi Chin Yang Kun untuk mengalahkannya.Apalagi dalam keadaan dirinya mabuk seperti tadi.  Tiba-tiba seorang penjaga masuk dengan tergesa-gesa. Air mukanya tampak tegang ketika memberi laporan kepada Tan Hok.

"Tuan...... mereka sudah datang !"

"Siapa ? Keh-sim Siauw-hiap ?” Tan Hok terkejut. Benar-benar terkejut dia !

Penjaga itu mengangguk dengan gugup. "Ya....ya!"

“Di mana Jai-hwa Toat beng-kwi dan yang lain-lain?"

"Semua telah berada di halaman depan menemui mereka,"

"Bagus!" Tan Hok tersenyum. Hilang semua kekhawatirannya dan kini timbul pula kembali rasa kepercayaannya pada diri sendiri. Sekejap diliriknya pemuda yang berada di dekatnya, tapi betapa kagetnya ketika Chin Yang Kun sudah tidak ada lagi di dalam kamar itu.

"He, ke mana dia...?"

"Tuan..... tuan maksudkan pemuda yang bersama Tuan Tan tadi? Bu .... bukankah dia telah melompat keluar jendela sejak tadi?” penjaga itu menjawab.

"Wah !”

Tan Hok segera berlari keluar dan diikuti pula oleh penjaga itu. Keduanya lari menerobos halaman tengah dan kemudian meloncat menaiki tangga pendapa bagian belakang. Dan tempat itu telah terdengar suara percakapan mereka, sehingga Tan Hok segera mengerahkan ginkangnya untuk melintasi Iantai pendapa yang luas.

Tan Hok membuka pintu pendapa, lalu matanya menatap ke halaman depan. Di dalam penerangan cahaya obor dan lampu halaman, dilihatnya Jai hwa Toat-beng-kwi dan kawan kawannya tengah berhadapan dengan tujuh orang tamu, yang terdiri dari lima orang pengemis Tiat-tung Kaipang dan dua orang gadis berpakaian serba hitam. Tapi Tan Hok tak melihat Chin Yang Kun di antara mereka, begitu pula dengan Kehsim Siauw-hiap! Agaknya pendekar dari Pulau Meng to itu belum mau menampakkan dirinya.

Tan Hok bergegas turun ke halaman, menyibakkan para penjaga yang telah mengepung tempat itu. Jai hwa Toat beng kwi dan kawan kawannya juga melangkah ke samping untuk memberi jalan, sehingga Tan Hok dapat langsung berhadapan muka dengan para tamunya.

"Haha..... Pendekar Li, akhirnya keluar juga kau !" salah seorang tamunya yang tidak lain adalah Tiat tung Lo-kai menyapa kedatangan Tan Hok dengan tersenyum.

"Pendekar Li? Mengapa para pengemis itu memanggilnya Pendekar Li?" Chin Yang Kun yang ternyata bersembunyi di atas genting pendapa itu berkemak kemik dengan bingung.

Tadi pemuda itu bergegas meloncat keluar begitu mendengar Keh-sim Siauw-hiap telah datang. Tapi sesampainya di halaman depan dia hanya melihat Tiat-tung Lo-kai, Tiat-tung Su lo dan ..... dua orang gadis yang dulu pernah berkelahi dengan dia di tempat para pengungsi !

Karena tidak ingin bentrok lagi dengan gadis gadis tersebut, apalagi Keh-sim Siauw-hiap ternyata juga belum tiba maka dia segera bersembunyi di atas genting. Dari tempat tersebut dia akan segera mengetahui kalau Keh-sim Siauw hiap datang, "Hmm, apa maksud kalian maIam-malam datang ke rumahku? Siapakah kalian?"

"Hahaha.... kau tidak usah berpura-pura dan berbelit-belit di depanku. Kau tidak usah mengganti namamu dengan Tan Hok segala. Di manapun kau bersembunyi kami tentu mengetahuinya. Nah, lekaslah kauberikan benda itu...!”

"Benda apa yang kaumaksudkan?"

"Kurang ajar . .! Engkau masih juga mau melawan? Haha, baiklah... kelihatannyapun masih mengandalkan pengawal-pengawalmu yang banyak ini," Tiat tung lo-kai menyiapkan tongkat besinya. "Su-Io! Hajar mereka !" teriak orang tua itu.

Tiat tung su lo cepat melangkah ke depan dan Ngo kui-shui segera menghadang mereka. Lalu terjadilah pertempuran dahsyat di antara mereka, empat melawan lima ! Tiat-tung Su-lo memegang tongkat besi sementara Ngo-kui-shui bersenjatakan ruyung besar bersegi delapan. Mereka bertempur dengan keras dan kasar !

"Nah, sekarang siapa yang akan melawan aku? Apakah kau sendiri, Pendekar Li ?" Tiat tung Lo-kai menantang.

"Tidak perlu ! Biarlah aku saja yang menghadapi tongkat besimu... ." Hui-chio Tu Seng meloncat ke depan dan melintangkan tombaknya di depan Tiat-tung Lo-kai.

"Hahah..... bagus ! Hui-chio Tu Seng rupanya. Ayoh ! Tapi berhati-hatilah menghadapi ilmu tongkatku! Aku takut kau takkan tahan menghadapinya...."

Hui chio tidak menjawab ejekan itu, tapi langsung menikamkan ujung tombaknya ke dada lawan. Wuut ! Tiat tung Lo-kai cepat menangkisnya dengan tongkat besi. Traang!
Dan bunga api memercik ke udara. Selanjutnya mereka bertempur dalam tempo yang sangat cepat dan seru !

Dua orang gadis berpakaian serba hitam itu menghunus pedang dari pinggang masing-masing, lalu maju pula ke tengah arena. Keduanya telah bersiap siap untuk turun tangan. Tapi dari pihak Pendekar Li atau Tan Hok, maju pula Pek-pi siau-kwi dan Lam Hui. Kedua orang pengawal pilihan dari Pendekar Li ini juga sudah mencabut senjata masing-masing, yaitu pedang dan golok. Tanpa banyak omong lagi mereka berempat langsung juga bergebrak dengan sengit !

Pendekar Li melangkah ke samping, mencari tempat yang lapang untuk mengawasi pertempuran tersebut. Jai hwa Toat beng kwi mengikuti pula di sampingnya. Sambil menonton mereka memperhatikan seluruh halaman di depan mereka. Di pojok pojok yang gelap atau di bawah atap-atap bangunan yang agak terlindung!

"Mengapa Keh-sim Siauw-hiap belum juga menampakkan dirinya? Apakah yang dikatakan oleh cecunguk cecunguk itu sebelum aku datang? Apakah Keh-sim Siauw-hiap memang belum datang?” Pendekar Li bertanya kepada Jai hwa Toat beng-kwi.

Hantu cabul itu menggeram menahan marah. "Katanya . . bangsat itu baru akan muncul setelah dia yakin bahwa benda itu benar-benar tidak diberikan kepadanya. Hmmm..... eh, di mana pemuda itu?"

"Yang Kun? Entahlah, akupun mencarinya pula. Dia sudah lebih dulu keluar ketika mendengar laporan penjaga kepadaku. Memang dialah satu-satunya andalan kita untuk menghadapi Keh-sim Siauw-hiap. Bocah itu memang lihai bukan main ! Arak yang kuberi obat pemabuk itu hampir-hampir tidak berpengaruh sama sekali terhadap dirinya. Hampir saja aku dibunuhnya di dalam kamar tadi."

"Aku juga heran, dulu ayah dan pamannya tidak seberapa kepandaiannya. Dengan mudah kita menaklukkan mereka. Eeh, Li Tai hiap..... benarkah anak itu putera orang she Chin itu ?"

"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia menangisi mayat ayahnya, ketika aku kembali ke rumah untuk mencari pelayan yang kutitipi potongan emas itu. Malahan kutunggu dia sampai selesai menguburkan mayat ayah dan pamannya.Maka dari itu aku lantas mengenalinya ketika kemarin aku menyelidiki sendiri ke rumah Kam Lojin....."

Pendekar Li menjawab dengan yakin.

"Wah, apabila demikian anak itu sungguh sangat berbahaya bagi kita." Jai-hwa Toat-bengkwi menyahut dengan perasaan khawatir.

"Jangan takut ! Rahasia itu hanya kita dan Keh-sim Siauwhiap sendiri yang mengetahuinya. Nah, kalau kedua orang itu sudah dapat kita adu satu sama lain, apa yang mesti ditakutkan lagi ? Siapa saja yang akan mati di antara mereka berdua tidak menjadi masalah lagi bagi kita."

Kedua orang itu lalu berdiam diri kembali, matanya mengawasi jalannya pertempuran. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan Hui-chio Tu Seng yang bertempur dengan Tiat-tung Lokai di tempat yang agak gelap di pojok halaman. Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi bergegas menghampiri, tapi sudah terlambat ! Tampak oleh mereka Hui-chio Tu Seng sudah terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang tertusuk oleh tombaknya sendiri.

Darahnya mengucur dengan deras dari sela-sela jarinya. Sekejap orang itu menoleh ke arah Pendekar Li yang datang, tapi sesaat kemudian tubuhnya telah terjerembab ke tanah dan...... mati !

"Hahaha.. . . ayo siapa lagi yang akan melawanku? Kau Pendekar Li.....?"

"Lewati dulu mayatku !" Jai hwa Toat-beng-kwi menyerang dengan tangkai huncwenya.

"Traang !”

Tiat-tung menangkis dengan tongkat yang dibawanya. Mereka sama-sama tergetar mundur, hanya kakek pengemis itu menjadi kaget ketika telapak tangannya terasa panas bagai terkelupas kulitnya. Gila ! Ketua Tiat-tung Kai-pang bagian selatan itu mengumpat di dalam hati. Kelihatannya dia memperoleh lawan berat kali ini.

Memang. Jai hwa Toat-beng-kwi tidak bisa dipersamakan dengan Hui chio Tu Seng. Hantu cabul ini selain mempunyai kepandaian yang lebih tinggi, orangnyapun lebih licik dan berbahaya. Huncwenya yang biasa untuk mengisap tembakau itu kadang kadang tidak berisi tembakau yang nikmat untuk diisap, tapi berisi racun memabukkan yang sangat berbahaya bagi lawannya. Dan lobang pipanya yang panjang ini kadang kala tidak hanya berisi kerak tembakau saja tetapi sering kali juga berisi jarum-jarum beracun yang sangat mematikan.

Maka dari itu Tiat tung Lo-kai juga tidak ingin terjebak oleh senjata lawan yang aneh tersebut. Dari mula bergerak pengemis tua itu selalu mengambil jarak dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Selain ia lebih beruntung dengan senjatanya yang lebih panjang, iapun dapat selalu berjaga-jaga terhadap serangan mendadak hantu cabul itu. Siapa tahu hantu cabul tersebut secara tiba-tiba meniupkan asap pipanya, atau siapa tahu hantu cabul itu mendadak melepaskan jarumnya ?

Oleh karena itu pertempuran mereka benar-benar alot dan hati hati sekali. Sementara itu di kalangan lain, yaitu di dalam arena Tiat-tung Su-lo, agaknya pertempuran juga sudah akan berakhir. Ngo kui-shui yang baru saja terluka oleh pukulan Chin Yang Kun itu memang bukanlah lawan yang seimbang bagi Tiat-tung Su lo. Biarpun jumlahnya lebih banyak tapi tingkat kepandaian mereka memang masih berada di bawah Tiat-tung Su-lo. Sudah berkali-kali terlihat beberapa orang di antara anggota Ngo kuishui terkena hantaman tongkat besi lawannya.

Sedangkan di kalangan yang lain lagi, keadaannya juga sama saja. Lam Hui yang tinggi besar dan juga memegang golok raksasa itu ternyata juga tidak berdaya menandingi kegesitan gadis yang jauh lebih kecil dan kelihatan lemah itu.

Tubuhnya yang besar itu justru kelihatan sangat kaku danlamban untuk menghadapi ketrampilan dan kelincahan lawannya. Beberapa kali ia menjadi salah tingkah, sehingga akhirnya tubuh yang kokoh kuat itu malah menjadi bulan-bulanan lawan.

Yang agak berimbang dan setanding adalah perkelahian antara Pek-pi Siau-kwi melawan gadis berbaju hitam lainnya. Gaya pertempuran mereka sama, yaitu sama-sama gesit, sama-sama lincah dan sama-sama menggunakan pedang.

Cuma bedanya, ilmu pedang Pek-pi Siau-kwi tampak ganas dan penuh tipu muslihat, sementara ilmu pedang lawannya lebih bersifat lembut, indah tapi kokoh dan mantap ! Oleh karena itu dalam waktu singkat pertempuran di antara mereka sulit diramalkan siapa yang akan menjadi pemenangnya.

"Aduuh... !" tiba tiba Lam Hui yang sedari tadi telah jatuh di bawah angin itu berteriak kesakitan. Pedang lawannya telah menggores sepanjang lengan kanannya, sehingga golok yang dia pegang terlepas dari tangannya. Otomatis pertempuran berhenti, karena Iawannya juga tidak berusaha untuk mengejar dia. Sebaliknya gadis itu justru pergi bergabung dengan kawannya yang bertempur melawan Pek-pi Siau-kwi. Sehingga hantu cantik itu kini harus melawan dua orang sekaligus.

"Kurang ajar !" Pendekar Li mengumpat-umpat.

Tapi sebelum pemilik rumah itu terjun ke dalam arena pertempuran, lagi-lagi terdengar teriakan Ngo-kui-shui yang silih berganti. Satu persatu anggota Ngo kui-shui itu berjatuhan ke tanah dibantai Tiat-tung Su-lo.

''Gila......!" sekali lagi Pendekar Li mengumpat keras sekali,  "Kubunuh kalian semua !"

Orang kaya itu menghunus Jit-seng-kiamnya (Pedang Tujuh Bintang). Dalam keremangan sinar obor tampak tujuh buah permata yang menempel pada batang pedang itu gemerlapan seperti bintang pagi. Lalu sambil berteriak keras pedang itu diayun ke depan sehingga mengeluarkan suara mendesing yang keras sekali. Perbawanya sungguh menakutkan. Pendekar Li meloncat ke samping Pek pi Siau-kwi.

Pedangnya yang gemerlapan itu menyontek ke atas, ke arah pedang gadis berbaju hitam yang sebelah kiri, sedang tangan kirinya menyambar pergelangan tangan gadis lainnya. Sekali gebrak Pendekar Li menyerang kedua orang lawan dari Pek-pi Siau-kwi sekaligus! Gerakannya memang cepat dan sigap, suatu pertanda kalau ilmunya sudah matang dan mantap.

Ternyata kedua orang gadis berbaju hitam itu mengenal bahaya pula. Mereka segera mengelak dengan meloncat mundur, karena keduanya tahu bahwa tenaga mereka masih kalah jauh bila dibandingkan dengan tenaga dalam Pendekar Li. Benturan-benturan di antara mereka hanya akan melemahkan kekuatan mereka saja. Satu-satunya jalan bila mau berhadapan dengan Pendekar Li hanyalah dengan kegesitan mereka saja. Celakanya pihak tuan rumah dibantu oleh Pek-pi Siau-kwi yang mempunyai kelincahan setaraf dengan mereka, sehingga sedikit banyak hantu cantik itu dapat membantu Pendekar Li untuk mencegat gerakan gerakan mereka.

Benarlah, sebentar kemudian kedua gadis itu telah terdesak dengan hebat. Untunglah Tiat-tung Su lo sudah selesai membereskan lima orang lawannya, sehingga ketika mereka melihat kesukaran yang dialami oleh kedua orang temannya tersebut, mereka segara datang menolong. Kini pertempuran menjadi lebih seru lagi. Dua orang melawan enam orang!

Tapi Jit-seng-kiam-hoat dan Pendekar Li memang hebat sekali. Hampir semua unsur gerakannya yang cepat dan mantap itu mengambil dasar segi empat. Baik gerakan gerakan kakinya maupun gerakan-gerakan pedangnya. Memang ilmu pedang tersebut diciptakan oleh penciptanya berdasarkan kedudukan Bintang Tujuh yang selalu muncul di langit pada lewat tengah malam itu.

Sementara itu pertempuran antara Tiat-tung Lo-kai melawan Jai-hwa Toat-beng-kwi, semakin lama semakin seru. Meskipun hanya satu lawan satu, tapi pertempuran mereka tidak kalah ramainya dengan pertempuran antara Pendekar Li yang dibantu oleh Pek-pi Siau-kwi dengan Tiat tung Su-lo yang dibantu oleh dua orang gadis berbaju hitam-hitam itu.

Tiat tung Lo-kai yang sudah tua dan banyak pengalaman itu bertempur dengan hati-hati sekali. Tongkat besinya menyambar-nyambar ke arah lawan untuk menahan agar lawannya tidak terlalu dekat dengan dirinya. Tongkat yang tidak begitu besar itu menghantam, memotong, menolak dan menyapu lawan dengan keras dan kuat !

Ternyata lawannya, Jai-hwa Toat-beng-kwi, tidak kalah pula cerdiknya. Karena tak bisa bertempur dalam jarak dekat, sehingga huncwenya tak bisa ia pergunakan dengan baik, maka hantu cabul itu segera mengobral asap mautnya. Malahan sering-sering, di antara asap tembakaunya yang bergulung-gulung itu, Jai-hwa Toat beng kwi menyelipkan serangan jarum rahasianya. Ternyata cara yang dilakukan oleh Jai-hwa Toat beng-kwi ini memang benar-benar menyulitkan

Tiat-tung Lo-kai. Bagaimanapun juga, hembusan asap dan luncuran jarum-jarum rahasia itu ternyata lebih jauh dan lebih luas daya jangkaunya dari pada tongkat besi Tiat-tung Lo-kai. Sehingga lambat laun pengemis tua itu terpaksa hanya sibuk untuk menghalau dan mengelakkan serangan asap dan jarum rahasia tersebut, sedikit pun tak ada kesempatan lagi untuk membalas. Tentu saja keadaan tersebut membuat Tiat-tung Lo-kai terjatuh di bawah angin.

"Hehehe..... pengemis tua yang malang, kini giliranmu untuk menghadap kepada Giam loong. Kau tadi telah membunuh temanku, sekarang akulah yang ganti membunuhmu....."

“Persetan kau..... aduuh!"

Sedikit saja pengemis itu memecah perhatiannya, sebatang jarum yang dilepaskan oleh Jai hwa Toat-beng kwi menancap di atas sikunya. Tentu saja hal itu membuat Tiat-tung Lo-kai semakin mendongkol dan marah, sehingga gerakannyapun semakin ngawur dan sia-sia.

"Heheh.,,.. kau jangan terlalu bernafsu begitu, pengemis tua! Ingatlah tubuhmu yang sudah waktunya pensiun itu ! Belum-belum sudah kehabisan napas kau nanti.., atau janganjangan tubuhmu tak mau menuruti perintahmu lagi nanti! heheh......semangat besar, tapi tenaga..... apa daya ! Huah-hahah.....!" Jai-hwa Toat beng-kwi tertawa terbahak-bahak untuk memanasi perut lawannya.

"Babi ! Anjing ! Keparat... aduuh !"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT