PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI jilid 7





“Tahaan” bayangan pertama yang tidak lain adalah orang tua bongkok tadi berteriak seraya menyerang punggung Ketua Kuil Pek-hok-bio.

"Hentikan...!" bayangan ke dua yang tidak lain adalah bayangan Tio Ciu In berseru pula seraya menerjang ke arah altar.

Semua orang terkejut. Kejadian itu benar-benar di luar dugaan. Tak seorang pun berpikir bahwa tempat yang terjaga kuat dan rapi itu akan bisa kemasukan perusuh dari luar. Demikian pula halnya dengan para pimpinan, pendeta dan para anggota Kuil Pek-hok-bio itu.

Namun semua telah terjadi. Dua orang tamu undangan telah meloncat menyerang ke arah panggung. Dan pe¬nyerang itu ternyata sangat dikenal. Oleh para anggota Kuil Pek-hok-bio tersebut, karena mereka adalah Gu Lain Si Kakek Penjaga Kamar Buku, dan Nyonya Cia anggota kehormatan Kuil Pek-hok-bio sendiri.
"Gu Lam! Apa yang kaulakukan?" Ketua Kuil Pek-hok-bio yang kurus ke¬ring itu membentak sambil mengelak ke samping.
"Cia Hu-jin (Nyonya Cia), tahaaaaaan ...!" para pendeta yang mengelilingi altar itu berteriak seraya menghadang lang¬kah Tio Ciu In.
Melihat serangan tangannya gagal, ka¬kek bongkok itu segera berputar pula ke samping untuk mengejar lawannya, tapi dua orang pendeta berjubah merah itu te lah memotong langkahnya. Bahkan kedua orang itu telah menyabetkan dua pasang ujung lengan baju atau jubah mereka yang panjang ke arah dada dan kepala¬nya. Begitu kuat tenaga dalam yang mereka pergunakan sehingga angin pu¬kulannya telah lebih dulu datang daripa¬da ujung lengan bajunya.
"Gu Lam! Apakah kau sudah gila,
menyerang Ketua sendiri?" sambil me¬nyerang salah seorang dari pendeta itu menghardik.
Wuuuuus! Wuuuuus!
Plak! Plak!
Kakek bongkok itu tidak berusaha un¬tuk mengelak, sebaliknya ia mengerah¬kan tenaga ke lengannya untuk. menang¬kis serangan tersebut. -Dan akibatnya sungguh di luar dugaan masing-masing.
Kedua pendeta berjubah merah, itu merupakan tokoh tingkat dua di. Kuil Pek-hok-bio, dan merupakan orang-orang ke dua setelah ketuanya. Sedangkan Gu Lam hanyalah penjaga Kamar Buku. Maka tidaklah aneh kalau kedua pende¬ta berjubah merah tersebut tidak ber¬sungguh-sungguh dalam serangan mereka. Mereka hanya mengerahkan separuh ba¬gian dari tenaga dalam mereka, dan se¬mua itu sudah lebih dari cukup untuk menghentikan amukan Gu Lam.- Dan ke-duanya yakin betul akan hal itu. -
Akan tetapi hasilnya sungguh menge¬jutkan! Bukannya Gu Lam yang jatuh tunggang langgang akibat bentrokan kekuatan itu, lapi sebaliknya justru mere¬ka berdualah yang terdorong ke belakang dengan kuatnya! Untunglah dalam keka¬getan mereka, mereka masih bisa berta¬han untuk tidak jatuh terjengkang ke atas panggung, sehingga untuk sementa¬ra mereka masih dapat menyelamatkan diri dari rasa malu yang lebih besar!
Tentu saja kedua pendeta itu menja¬di marah bukan main. Wajah mereka menjadi merah padam saking malu dan gusarnya. Namun ketika mereka berdua sudah bersiap sedia untuk menghukum Kakek Gu Lam, tiba-tiba mereka terbe¬lalak! Kakek penjaga kamar buku itu ki¬ni telah berubah bentuk maupun wajah¬nya!
Kakek bongkok itu kini dapat berdiri dengan tegap. Sebuah bantal kecil yang dipakai untuk mengganjal punggungnya tadi tampak tergeletak di bawah kakinya. Wajahnya yang berjenggot dan berkeriput tadi kini kelihatan bersih dan gagah. Ternyata getaran udara yang diakibat¬kan oleh bentrokan tenaga tadi telah merontokkan tempelan-tempelan bedak kering yang dipakai untuk menyamar se¬bagai Gu Lam.
Sementara itu nasib Tio Ciu In ter¬nyata juga tidak jauh bedanya dengan Gu Lam palsu! Di dalam ketergesaannya tadi ternyata Ciu In juga telah melupa¬kan pula penyamarannya sendiri. Ketika empat orang pendeta yang berada di se¬keliling altar tadi mencegatnya, ia tidak peduli. Ciu In nekad saja menjenguk ke arah altar untuk melihat gadis korban itu. Gadis itu hanya mengelak saja se¬cara reflek ketika dua orang di antara pendeta itu mendorongnya. Akibatnya do¬rongan itu mengenai bantal yang meng¬ganjal perut dan dadanya, sehingga ban¬tal itu tersembul ke luar dari tempat¬nya. Tentu saja bentuk tubuhnya menjadi lucu dan aneh!
"Hah, kau bukan Cia Hu-jin!" kedua pendeta itu segera berteriak.
"Hei? Siapa kau...?" dua orang pende¬ta berjubah merah itu juga berteriak pu¬la ke arah Gu Lam palsu.
Kejadian yang tak tersangka-sangka itu segera merubah suasana yang semuIa tenang dan serius itu menjadi ribut dan panik. Para tamu yang rata-rata tak . mengerti ilmu-ilmu silat itu menjadi ke-takutan. Mereka menyangka kuil itu te¬lah kedatangan musuh atau pasukan ke¬amanan kota. Mereka segera berlarian ke arah pintu, sehingga tak ayal lagi mereka saling bertubrukan dan berdesak-desakan. Jerit dan tangis para tamu wa¬nita tak dapat dicegah lagi.
Namun keributan itu sama sekali tak mempengaruhi keadaan di atas panggung. Lelaki yang menyamar sebagai Gu Lam palsu dan masih tetap berhadapan dengan pendeta berjubah merah. Lelaki 'yang masih amat muda itu tidak segera men¬jawab pertanyaan lawan-lawannya. Mata¬nya yang tajam itu justru melirik ke arah Tio Ciu In yang juga kedodoran pe¬nyamarannya. Sekilas dahinya yang lebar itu berkerut, agaknya ia merasa kaget atau heran, karena ada orang lain yang sedang menyamar pula seperti dirinya. . Ada terbersit keinginannya untuk menge¬tahui siapa gadis itu, tapi kedua lawan¬nya tak memberi kesempatan kepadanya.
Melihat perusuh yang menyaru seba¬gai Gu Lam palsu itu tidak mempeduli-kan pertanyaan mereka, kedua pendeta berjubah merah itu menjadi marah bukan buatan. Berbareng mereka menerjang dari kanan dan kiri. Masing-masing tetap mem pergunakan ujung lengan baju mereka yang lebar itu sebagai senjata.
Whuuus! Whus! Whuuuss!
Hembusan angin yang amat kuat se¬gera mengurung Gu Lam palsu. Begitu kuatnya sehingga anak muda itu tidak berani lagi adu kekuatan seperti tadi. fDdBm yTfpt menyelamatkan diri dari ku-rungan tersebut, pemuda itu cepat me¬rendahkan tubuh serendah-rendahnya, ke¬mudian bergeser mundur mengikuti hem¬busan angin pukulan lawannya.
Sesaat dua pendeta berjubah merah itu terkesiap melihat gerakan anak mu¬da tersebut. Gerakan yang dilakukan oleh anak muda itu terang sangat sulit dan merupakan bagian dari sebuah jurus ilmu silat yang sangat tinggi. Kelihatannya memang sederhana, tapi tanpa dasar dan perhitungan yang matang tak mungkin gerakan tersebut bisa dilaksanakan de¬ngan mulus. Jelas bagi kita sekarang, pemuda itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Cuma mereka berdua tidak tahu, dari aliran atau perguruan mana lawan mereka tersebut berasal. Yang te¬rang mereka berdua harus berhati-hati.
Sementara itu di dekat mereka Tio Ciu In juga sedang menghadapi empat orang pendeta berjubah kuning tingkat tiga di kuil Pek-hok-bio itu. Karena pe¬nyamarannya sudah terlanjur kedodoran, maka Tio Ciu In juga tak ingin direpot¬kan oleh dandanannya lagi. Baju luar, sanggul, ganjal perut dan tempelan-tem¬pelan bedak yang menutup sebagian wajah nya segera dibuangnya.
Melihat lawan mereka sekarang beru¬bah menjadi gadis yang lebih cantik lagi, empat pendeta berjubah kuning itu terke jut. Apalagi ketika mereka lihat gadis itu masih sangat muda sekali.
"Kau... kau siapa? Mengapa kau me¬ngacau upacara kami?11 dalam gugupnya salah seorang dari pendeta itu berseru.
Seperti halnya dengan Gu Lam palsu,
sikap Tio Ciu In sekarang juga tidak se¬tegang tadi. Kenyataan bahwa gadis yang terbaring di atas altar itu bukan adik¬nya membuat hati Tio Ciu In menjadi tenang kembali. Namun demikian Tio Ciu In tetap bertekad untuk menolong gadis itu. Gadis yang tak berdosa itu harus diselamatkan.
"Jangan kalian ributkan aku ini siapa! Lebih baik kalian melepaskan gadis yang tak berdosa itu!"
"Kurang ajar! Kau bocah kecil ini memang sudah bosan hidup! Pergi...!"' Pendeta itu tersinggung dan berteriak gusar.
Tanpa basa-basi lagi keempat pen¬deta berjubah kuning itu lalu menyerang Tio Ciu In. Seperti teman-teman mere¬ka yang berjubah merah, mereka pun mempergunakan lengan baju mereka yang lebar dan panjang itu untuk senjata. Ba¬gaikan gumpalan awan yang bertebaran di udara, lengan baju mereka bergulung-gulung menimpa ke arah dada Tio Ciu In. Begitu dahsyatnya tenaga yang mereka kerahkan sehingga Tio Ciu In merasa seperti ada ratusan batu besar yang hendak menimpanya.
Dan kali ini Tio Ciu In tidak mau sembrono lagi seperti tadi. Dengan tang¬kas kedua tangannya mencabut pedang pendek yang terselip di lengannya. Srrrt! Srrrt..! Pedang itu lalu diputarnya de-ngan kencang mengelilingi tubuhnya, se¬hingga lawan-lawannya terpaksa menarik kembali serangan mereka agar tidak ter¬potong oleh sabetan pedang tersebut.
Tapi para pendeta itu juga tak ingin melepaskan Tio Ciu In. Untuk menanggu¬langi pedang tesebut mereka terpaksa mengeluarkan senjata pula, yaitu kebut¬an lalat yang gagangnya terbuat dari be¬si dan bulu kebutannya dari ekor kuda pilihan. Dengan bulu kebutan tersebut para pendeta itu ingin merampas pedang pendek Tio Ciu In.
Demikianlah pertempuran seru pun tak bisa dielakkan lagi, sehingga pang¬gung yang sempit itu menjadi terlalu se¬sak untuk pertempuran dua arena ter¬sebut. Terpaksa dalam sebuah kesempatan Tio Ciu In meloncat turun ke bawah
panggung. Tentu saja lawan-lawannya tak ingin kehilangan dirinya. Mereka mela¬yang turun pula mengejar dia.
Sambil melayani kurungan lawannya Tio Ciu In mencuri lihat ke sekeliling¬nya, ke ruang kosong yang telah diting¬galkan tamu-tamunya. Gadis itu hanya melihat belasan penjaga atau anggota Kuil Pek-hok-bio di tempat itu. Mereka bersiaga penuh dengan senjata masing-masing mengurung ruangan tersebut. Ta¬pi ia tak melihat Liu Wan di antara me¬reka. Kemanakah sebenarnya pemuda lihai itu?
Ternyata apa yang dilakukan oleh Liu Wan juga tidak kalah sibuknya dengan Tio Ciu In maupun Gu Lam palsu. Pemu¬da itu sekarang sedang bertempur pula dengan hebatnya melawan So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio di atas genting. Jauh lebih dahsyat dan. lebih seru dari pada pertempuran di dalam ruangan ter¬sebut.
Tadi ketika seluruh perhatian orang tertuju ke arah keributan di atas pang¬gung, diam-diam Liu Wan melihat musuh lamanya, So Gu Tai bersama Ketua Kuil Pek-hok-bio berusaha meloloskan diri melalui lobang genting yang terbuka. Tentu saja pemuda itu tak mau melepas¬kannya. Dengan tangkas ia mengejar me¬reka.
Untuk beberapa saat kedua tokoh Pek-hok-bio itu menjadi bingung melihat Cia Wan-gwe yang telah mereka kenal itu bisa melompat ke atas genting me¬ngejar mereka. Tetapi setelah Liu Wan tertawa dan mengejek tingkah laku me¬reka, So Gu Tai segera mengenalnya.
"Bun-bu Siu-cai (Pelajar Serba Bisa), mengapa kau selalu saja mengejar-ngejar aku? Apa salahku kepadamu?11 peranakan suku bangsa Monggol dan Hun itu berta¬nya jeri.
"Saudara So, siapakah yang menya¬mar seperti Cia Wan-gwe ini?" Ketua Pek-hok-bio bertanya kepada So Gu Tai.
"Dialah pemuda yang kuceritakan du¬lu. Namanya Liu Wan, digelari orang Si Pelajar Serba Bisa karena dia pandai ilmu silat, ilmu sastra, ilmu-ilmu peng¬obatan, melukis dan menyaman"
"Oooh!" Ketua Kuil Pek-hok-bio yang ku¬rus kering itu terkejut.
"Benar, hahaha...! Kalian tak menyang ka, bukan? Aku pun tak menyangka pula bahwa tokoh-tokoh terhormat seperti ka¬lian berdua ini bisa berubah menjadi pe¬ngecut yang meninggalkan anak buahnya untuk menyelamatkan dirinya sendiri!" Liu Wan tertawa mengejek sambil mele¬paskan alat-alat penyamarannya.
"Bangsat! Kau benar-benar sombong! Kaukira aku takut mendengar namamu, hah?" Ketua Kuil Pek-hok-bio itu ter¬singgung dan menjerit berang.
Selesai mencopoti semua alat yang ia pakai untuk menyamar, Liu Wan ber-,. tolak pinggang. "Hehehe, kalau kau me¬mang tidak takut... mengapa kau harus melarikan diri?"
"Kurang ajar! Bocah bermulut lancangi Lihat kebutanku...!" sambil berteriak ma¬rah Ketua Kuil Pek-hok-bio itu menge¬luarkan kebutan dan menyerang Liu Wan.
Bulu kebutan yang lemas itu menda¬dak menjadi kaku seperti sikat baja dan menusuk ke uluhati. Tapi dengan lincah Liu Wan menggeliat' ke samping, kemu¬dian balas menyerang dengan tusukan ja¬ri tangannya. Cuuuus! Jari itu melesat ke arah ketiak lawannya.
Ketua Pek-hok-bio semakin gusar. Kebutan yang gagal mengenai lawannya itu ia tarik ke atas, kemudian ia sabet¬kan mendatar mengarah ke kepala Liu Wan. Dan kali ini bulu kebutan itu telah berubah menjadi lemas kembali seperti cambuk.
Taaaaar! Bulu kebutan itu melecut udara kosong, karena Liu Wan telah le¬bih dulu menundukkan tubuhnya. Bahkan sambil menundukkan tubuhnya pemuda itu masih sempat membalas pula. Siku kanannya terayun menghajar lutut lawan¬nya.
Dengan tergesa-gesa Ketua Kuil Pek-hok-bio itu membuang tubuhnya ke bela¬kang! Praaak! Dua buah genting hancur terijak kakinya. Dan tubuh yang kurus kering itu terguling ke kiri hampir jatuh. Untunglah So Gu Tai cepat menyambar ujung jubahnya.
"Bedebah! Kau memang harus dibunuh!" untuk menutupi perasaan malunya Ketua Kuil Pek-hok-bio itu mengumpat-umpat.
"Sudahlah! Mari kita lawan bersama-sama!" akhirnya So Gu Tai yang lihai itu menawarkan diri.
"Baik! Marilah...!" ternyata Ketua Kuil Pek-hok-bio itu menyahut tanpa malu-malu lagi.
Namun sebelum pertempuran itu di¬lanjutkan kembali, tiba-tiba di halaman depan terdengar suara ribut-ribut pula. So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio saling pandang dengan wajah kaget, lalu menatap Liu Wan dengan curiga.
"Kau membawa teman?" So Gu Tai menggeram.
Liu Wan tercengang. Tapi di lain sa¬at bibirnya kembali tersenyum. "Kau ja¬ngan mengada-ada! Bukankah itu suara para tamu yang lari ketakutan? Kau jangan mencari-cari atasan untuk melari¬kan diri!" ejeknya pedas.
"Bangsat sombong...!" Ketua Kuil Pek-hok-bio mengumpat.
Tapi sebelum orang kurus kering itu melompat menerjang Liu Wan, menda-
dak dari bawah genting meloncat tiga orang berjubah kuning.
"Suhu! Kuil... kuil kita diserbu gerom¬bolan pengemis! Mereka telah masuk ke halaman!" dengan suara gugup mereka bertiga melapor kepada Ketua Kuil Pek hok-bio.
"Hah...? Gerombolan pengemis? Pe¬ngemis dari mana?" So Gu Tai menyahut dengan suara geram.
"Tampaknya mereka dari perkumpul¬an Tiat-tung Kai-pang!"
"Tiat-tung Kai-pang?" Ketua Kuil Pek-hok-bio berdesah cemas." Hmmh, ka¬lau begitu.... cepat kalian siapkan sauda¬ra-saudara kalian untuk menghadapi me¬reka! Sebentar lagi aku datang!"
Tak heran kalau Ketua Kuil Pek-hok-bio itu merasa cemas. Perkumpulan Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan Penge¬mis Bertongkat Besi) memang sebuah perkumpulan yang amat disegani di da-erah selatan. Belasan tahun yang lalu ketika masih dipimpin oleh Tiat-tung Lo-kai, perkumpulan pengemis tersebut be¬nar-benar mengalami kejayaannya. Sedemikian kuat dan besar anggota mereka waktu itu sehingga perkumpulan mere¬ka terpaksa dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah selatan dan utara aliran Sungai Yang-tse. Daerah di sebelah sela¬tan Sungai Yang-tse dipimpin oleh Tiat-tung Lo-kai, sedangkan di sebelah utara Sungai Yang-tse dipimpim oleh Tiat-tung Hong-kai (Pengemis Gila Bertongkat Be¬si). Mereka berdua adalah saudara seper¬guruan. Dan sekarang, meskipun perkum¬pulan itu tidak sebesar dan sekuat dulu lagi, namun sisa-sisa kebesarannya ma¬sih tetap melekat di hati kaum persilat¬an.
Begitu pendeta-pendeta berjubah ku¬ning itu pergi, Ketua Kuil Pek-hok-bio kembali menghadapi Liu Wan.
"Huh! Ternyata kau bersekongkol de¬ngan pengemis-pengemis busuk dari Tiat-tung Kai-pang!"
Liu Wan menjadi marah juga akhir¬nya. "Kau jangan mencampur - adukkan urusanku dengan urusan Tiat-tung Kai-pang! Aku tidak mengenal mereka, dan mereka juga tidak mengenal aku! Kalau
kebetulan sekarang mereka datang ke sini bersamaan dengan kedatanganku, hal itu berarti bahwa kuilmu ini memang mempunyai banyak musuh!"
"Tutup mulutmu!" orang tua itu men¬jadi marah.
Demikianlah pertempuran tak bisa di¬elakkan lagi, Liu Wan dikeroyok Ketua Kuil Pek-hok-bio dan So* Gu Tai. Mereka bertempur di atas genting dengan gin-kang mereka yang tinggi. Di dalam ca-haya bulan yang gilang gemilang tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari bagaikan burung malam yang sedang be¬rebut mangsa.
Ketua Kuil Pek-hok-bio tetap meme¬gang kebutannya, sementara So Gu Tai telah mengeluarkan ruyungnya pula, tapi Liu Wan 'tetap mempergunakan tangan kosong untuk melayani mereka. Meski¬pun demikian pemuda itu tidak tampak di bawah angin. Malahan sering- kali pe¬muda itu bisa menindih permainan senja¬ta lawannya.
"Anak Setan! Anak Gila! Siapakah se¬benarnya kau ini? Siapakah Gurumu?"
karena kesalnya Ketua Kuil Pek-hok-bio itu mengumpat-umpat tiada habisnya.
Liu Wan tertawa lepas. "Kau ingin mengetahui siapa aku dan siapa Guruku? Hahahaha, mudah sekali! Desaklah aku! Paksalah aku untuk mengeluarkan ilmu silatku yang sejati! Nanti kau akan me¬ngenalnya...!"
"Baik! Hati-hatilah...!"
Ketua Kuil Pek-hok-bio itu lalu mem¬beri tanda kepada So Gu Tai. Bersama-sama mereka menerjang Liu Wan. Sambil mengibaskan kebutannya Ketua Kuil Pek-hok-bio itu menebarkan tepung kuning berbau wangi ke tubuh Liu Wan. Dan se¬rangan tersebut segera dibantu pula oleh So Gu Tai. Raksasa Monggol itu menya¬betkan ruyungnya ke bawah, sementara tangannya yang lain mengayunkan belas¬an batang paku kecil ke arah kepala, da¬da dan perut Liu Wan. Tampaknya mere¬ka berdua memang benar-benar ingin mendesak pemuda itu.
Serangan yang bertubi-tubi itu me¬mang membuat Liu Wan kewalahan, ta¬pi pemuda itu masih tetap bertahan untuk tidak mengeluarkan ilmu andalannya. Dengan berjungkir balik sambil berkali-kali mengibaskan lengan bajunya, pemu¬da itu berusaha mengelak dan menying¬kirkan paku-paku serta tepung beracun yang mengurung dirinya.
Tapi So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio sudah bertekad untuk memaksa Liu Wan mengeluarkan ilmu andalannya. Belum juga pemuda itu mampu membebas kan dirinya, mereka telah menyusulkan pula serangan yang lain. Bulu kebutan Ketua Kuil Pek-hok-bio itu tiba-tiba me¬ledak ketika disabetkan, dan sejumput bulu pada ujungnya mendadak putus, la¬lu menebar ke arah Liu Wan. Sedangkan So Gu Tai dengan tenaga dalamnya yang kuat memutar-mutar ruyungnya sekuat tenaga.
Kini Liu Wan memang tidak memiliki kesempatan untuk mengelak lagi. Dalam keadaan sibuk menghindari serangan paku dan taburan tepung wangi itu, dia tidak mungkin bisa mengelakkan dua serangan tersebut. Apalagi putaran ruyung So Gu Tai itu benar-benar ganas luar biasa.
Dalam keadaan seperti itu Liu Wan memang dipaksa untuk mengeluarkan ke¬saktiannya. Tanpa mempergunakan jurus-jurus silat tingkat tinggi tak mungkin seseorang dapat melepaskan diri dari hu¬jan serangan seperti itu. Dan hal itu memang dilakukan oleh Liu Wan!
Ketika akhirnya pemuda itu merasa tidak dapat menghindar lagi, tiba-tiba ia memutar tubuhnya seperti gasing. Dan pada saat itu pula sekonyong-konyong dari telapak tangan Liu Wan meniup angin pusaran yang amat kuat, berputar seperti puting beliung, yang melanda dan melontarkan kembali semua benda yang kembali mendekati dirinya. Begitu dahsyatnya hembusan angin yang keluar dari tela¬pak tangan pemuda itu, sehingga tidak cuma paku, tepung wangi, dan bulu ke¬butan saja yang terpental balik, tapi tu¬buh Ketua Pek-hok-bio dan So Gu Tai pun ikut terdorong mundur pula dengan kuatnya. Bahkan tumpukan genting yang terinjak oleh . pemuda itu turut tersibak dan terlempar ke mana-mana. Dan seba¬gian di antaranya jatuh ke bawah menimpa panggung upacara!
Semuanya terkejut. Tidak terkecuali Gu Lam palsu yang masih bertempur se¬ru melawan dua pendeta berjubah merah itu. Pecahan-pecahan genting yang ber¬jatuhan dari atas itu memaksa dia ber¬jumpalitan ke arah altar untuk menyela¬matkan gadis korban yang masih terbu¬jur diam di tempat tersebut. Sekali sam¬bar pemuda itu berhasil menyingkirkan tubuh telanjang itu dari malapetaka.
Bergegas pemuda itu melepaskan ba¬ju luarnya dan mengenakannya pada tu¬buh gadis itu. Kemudian dengan geram pemuda itu menatap ke atas panggung kembali. Tapi kedua lawannya tadi telah menghilang. Demikianlah pula halnya de¬ngan anggota-anggota Pek-hok-bio lain¬nya. Ruangan itu telah kosong. Tinggal gadis yang menyamar sebagai Cia Hujin bersama lawan-lawannya saja yang masih berada di sana.
Pemuda yang menyamar sebagai Gu Lam itu menatap ke atas genting. Ia ti¬dak tahu siapa yang sedang berlaga di sana. Namun mendengar deru angin dahyat yang menggetarkan bangunan gedung itu ia percaya tentu ada orang sakti di atas genting. Tak terasa matanya mena¬tap ke arah Tio Ciu In kembali.
"Tampaknya gadis itu juga membawa teman pula. Mungkin gurunya. Dia juga bermaksud menolong Li Cu. Eeem, siapa¬kah dia...?" pemuda itu berkata di dalam hatinya.
Pemuda itu lalu melangkah ke jendela dan melongok ke halaman. Di dalam ce¬rahnya sinar rembulan ia melihat pertem puran yang kacau balau di sana.
"Ah, teman-teman dari Tiat-tunig kai pang benar-benar telah datang aku tinggal merawat dan mengurusi Li Cu saja sekarang." desisnya gembira.
Pemuda itu lalu kembali lagi ke da¬lam. Sambil bersila di dekat gadis yang ditolongnya, pemuda itu memusatkan se¬luruh pikiran dan perasaannya. Jari-jari nya yang telah terisi tenaga sakti itu lalu menotok dan mengurut beberapa jalan darah di tubuh gadis yang baru sa-. ja ditolongnya tersebut. Peluh mengalir membasahi dahi dan lehernya, tapi pemuda itu tak mempedulikannya. Tangan¬nya terus sibuk mengurut di sana-sini.
Tubuh yang terpaku diam seperti pa¬tung itu tiba-tiba bergerak. Mula-mula bola matanya melirik ke kanan dan ke kiri, lalu kepalanya menoleh pula ke ka¬nan dan ke kiri. Demikian melihat pemu¬da yang duduk di dekatnya, gadis itu tiba-tiba bangkit dengan kaget. Tak ter¬duga tangannya melayang menampar pi¬pi Gu Lam palsu beberapa kali.
Plaak! Plaaak! Plaaak!
Lalu dengan isak tertahan gadis itu melompat berdiri terus berlari meninggalkan tempat itu, namun begitu sadar bagian bawah tubuhnya ak mengenakan apa-apa gadis itu segera mendekam kembali dengan tergesa-gesa. Dan tangisnya pun segera meledak pula dengan hebatnya.
"Kau jelek...! Kau jahat...! Kau apa-kan aku tadi? Uhu-huuuuu...!"
Pemuda yang menyamar sebagai Gu-Lam palsu itu beringsut, namun tidak be¬rani terlalu dekat. Dengan sedih ia me¬mandang gadis yang sedang menangis itu. Tangannya mengusap-usap pipinya yang bengkak.
"Li Cu Sumoi...! Aku tidak berbuat apa-apa kepadamu. Percayalah. Aku tahu kau membenciku. Tapi apa daya, Suheng te¬lah mengutus aku untuk membawamu pu¬lang. Maafkan aku...."
Tak terduga tangis perempuan itu malahan semakin menjadi-jadi.
"Bohong! Kau bohong! Kau tentu te¬lah menculik aku! Kau tidak bisa menda¬patkan aku secara wajar, maka kau la¬lu menculik aku! Memperkosa aku! Huuuuu...!"
"Tidak, Su-moi... aku tidak serendah itu! Aku justru yang menolongmu dari cengkeraman pendeta-pendeta Pek-hok-bio ini! Lihatlah...! Pertempuran antara kawan-kawan kita kaum Kai-pang mela-wan penculikmu masih berlangsung!"
Gadis yang bernama Li Cu itu ter¬sentak kaget. "Kai-pang...? Kaumaksud¬kan perkumpulan Tiat-tung Kai-pang? Ada apa mereka itu di sini?" serunya tak percaya. Otomatis tangisnya berhenti, dan tinggal sedu-sedan saja.
Pemuda yang baru saja menyamar se¬bagai Gu Lam palsu itu menghela napas panjang.
"Sumoi, ketahuilah...! Kau telah dicu¬lik oleh pendeta Kuil Pek-hok-bio ini un¬tuk dikorbankan kepada Dewi Bulan. Un¬tunglah aku dapat melacak jejakmu, se¬hingga dengan pertolongan kawan-kawan kita dari Tiat-tung Kai-pang aku bisa membebaskanmu. Lihatlah di luar, ka¬wan-kawan kita masih bertempur mela¬wan orang-orang Pek-hok-bio ini!"
Gadis itu memandang ke jendela se¬bentar, lalu menunduk kembali. Wajah¬nya yang cantik manis itu masih tam¬pak marah dan kesal.
"Kau jangan melihat aku saja! Cari¬kan kembali pakaianku!" bentaknya kaku.
"Eh... ba-baik, Su-moi!" dengan gugup pemuda itu menjawab, lalu berlari ke atas panggung untuk mencari pakaian su-moinya tadi.
Sekilas pemuda itu menoleh ke pertem¬puran yang masih berlangsung antara Tio Ciu In dan empat orang pengeroyoknya.
Dengan sepasang pedang pendeknya gadis itu menghadapi lawan-lawannya yang ga¬rang. Pedangnya berkelebatan mengeli¬lingi tubuhnya, seakan-akan sedang me¬rangkai sebuah pagar besi yang menutup dan melindungi seluruh bagian tubuhnya. Dan dalam waktu dan kesempatan yang tepat, pagar besi itu tiba-tiba terbuka untuk balas menyerang lawan-lawannya. Permainan pedang gadis itu sangat rapi dan kuat, baik pada saat menyerang maupun bertahan.
"Ilmu pedang gadis itu agak aneh. Bi¬asanya orang selalu mengandalkan kelin¬cahan dan kecepatannya dalam bermain pedang, tapi gadis ini ternyata tidak de¬mikian. Dia justru selalu bertumpu pada kuda-kudanya yang kuat dan gerak pergelangan tangannya yang luwes. Rasanya seperti tidak bermain pedang, tapi se¬dang menulis atau menggambar saja."
Gerakan-gerakan pedang Tio Ciu In memang sangat berlainan dengan gerak¬an ilmu pedang pada umumnya. Selain tidak mengandalkan kecepatan maupun kelincahan gerak, permainan pedang Tio Ciu In juga tidak mengandalkan ketajam¬an mata pedang pula seperti halnya il¬mu-ilmu pedang umumnya. Ilmu pedang Hok-hong Kiam-hiat milik. Tio Ciu In justru bertumpu pada kelihaian memain¬kan ujung pedangnya. Dengan keluwesan serta ketrampilan pergelangan tangannya, ujung pedang pendek itu mampu menu¬suk, menoreh, mengungkit, mencongkel dan mengukir tubuh lawan, tanpa mem¬butuhkan ancang-ancang.
Maka tidak mengherankan bila ke empat pendeta berjubah kuning itu men¬jadi kebingungan melayani Tio Ciu In. Semula mereka berempat sangat berbesar hati karena merasa dengan kebutan me¬reka itu mereka akan segera bisa me¬nundukkah ilmu pedang gadis tersebut. Senjata kebutan yang bergagang pendek dengan juntai rambut panjang itu benar-benar sebuah senjata yang cocok untuk menundukkan pedang. Ketajaman mata pedang takkan berguna menghadapi jun¬tai rambut yang lemas. Sebaliknya jun¬tai rambut panjang itu akan dengan mu¬dah membelit batang pedang dan merampasnya.
Akan tetapi permainan pedang Tio Ciu In yang aneh dan tidak umum itu ternyata sangat sulit untuk ditundukkan. Bahkan sebaliknya mereka berempat sen¬dirilah yang menjadi kelabakan melayani ilmu pedang gadis itu. Padahal kalau di¬ukur, kepandaian gadis itu terpaut banyak dengan mereka. Gadis itu hanya menang sedikit bila dibandingkan dengan masing-masing dari mereka. Tapi ilmu pedang aneh itulah yang membuat gadis itu sulit dihadapi.
Demikianlah, pertempuran antara Tio Ciu In dan empat orang pengeroyoknya semakin tampak seru dan menegangkan. Untuk beberapa saat sulit untuk menentu¬kan siapa yang lebih unggul. Tio CiU In sendiri sangat sukar memecahkan kepung¬an lawan-lawannya, tapi sebaliknya ke empat pendeta tersebut juga sulit menun¬dukkan gadis yang masih muda belia itu. Mungkin cuma daya tahan mereka berli-malah yang akan menentukan akhir dari pertempuran tersebut.
Sementara itu pecahan kayu dan genting yang berjatuhan dari atas semakin lama semakin banyak pula, sehingga atap ruangan itu lambat-laun tinggal kerang¬kanya saja. Akibatnya orang yang se¬dang berlaga di atas genting itu lalu menjadi kelihatan dari bawah.
Tapi pertempuran mereka memang tinggal menunggu saat-saat akhir saja. Setelah Liu Wan mengeluarkan kesaktian¬nya. So Gu Tai dan Ketua Kuil Pek-hok-bio itu sama sekali tak mampu melawan lagi. Dengan ilmunya yang dahsyat, yang mampu menimbulkan gejolak angin pusar¬an yang amat kuat, pemuda itu sama sekali tak bisa didekati lagi. Bahkan de¬ngan pukulan-pukulan jarak jauhnya (pek-kong-ciang) yang ampuh, pemuda itu da¬pat membunuh lawan-lawannya setiap sa¬at.
So Gu Tai menyadari bahaya terse¬but. Oleh karena itu pula, meskipun ke¬adaannya sangat sulit, otaknya selalu mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat itu. Dan kesempatan itu akhirnya memang ia dapatkan!
Suatu saat ketika rekannya, Si Ketua Kuil itu, tak mampu mengelak lagi dari sambaran pukulan Liu Wan, So Gu Tai pura-pura memberi pertolongan. Tubuh kurus kering itu dipeluknya agar tidak terbanting ke bawah tapi bersamaan dengan saat itu tangan kirinya menghajar genting dibawahnya hingga ambrol seperti tidak disengaja tubuhnya yang besar itu terjeblos ke bawah. Na-mun ketika Liu Wan mencoba menge¬jar dirinya, So Gu Tai cepat melem¬parkan tubuh Ketua Kuil Pek-hok-bio yang ada di dalam pelukannya itu ke arah Liu Wan.
'Terpaksa Liu Wan menghantam seka¬li lagi tubuh Ketua Kuil Pek-hok-bio itu dengan Pek-khong-ciangnya. Bhuuk! Tubuh kurus kering itu terhempas ke samping, membentur dinding dan terkulai di atas genting. Darah segar tampak mengalir dari mulut orang tua itu.
Liu Wan cepat melongok ke lobang genting di mana So Gu Tai tadi melon¬cat turun, tapi buruannya itu sudah hi¬lang. Di bawah hanya terlihat pertempur¬an antara Tio Ciu In melawan empat orang pengeroyoknya. Ketika pemuda itu bermaksud membantu gadis tersebut, se¬konyong-konyong terdengar suara mena¬hannya.
"Liu Wan, tunggu...!"
Pemuda itu mengurungkan niatnya. Dilihatnya Ketua Kuil Pek-hok-bio itu masih bisa bergerak. Mata yang sudah hampir kehilangan cahayanya itu mena¬tap ke arah dirinya.
"Kau benar, Anak Muda.... Aku seka¬rang tahu siapa dirimu. Kau... kauuu... huk-huk! Kau... huk... ooough....!"
Ternyata orang tua itu tak kuasa me¬neruskan perkataannya. Kepalanya terku¬lai, nyawanya melayang. Liu Wan menghela napas, kemudian melompat turun melalui lobang tadi.
Belum juga kakinya menyentuh lantai seseorang telah membentaknya.
"Kau... siapa?"
Liu Wan cepat membalikkan tubuhnya. Di depannya berdiri sepasang muda mudi dalam sikap siap sedia untuk ber¬kelahi. Mereka adalah Gu Lam palsu dan Li Cu, yang kini sudah mengenakan pakaiannya kembali.
"Ooooh, Nona adalah gadis yang hen¬dak dikorbankan tadi...." begitu meman¬dang Li Cu, Liu Wan segera menyapa ramah.
Pemuda yang menyaru sebagai Gu Lam itu mengerutkan keningnya. Hati¬nya sedikit cemburu mendengar pemuda tampan itu menyapa sumoinya.
"Kau siapa...?" tanyanya kemudian dengan suara kaku.
Liu Wan tersenyum. Dan pemuda itu memang ganteng sekali kalau tersenyum, hingga Gu Lam palsu itu semakin cem¬buru dibuatnya.
"Saudara tidak perlu khawatir kepada saya. Saya adalah teman gadis yang se¬dang bertempur itu. Kami berdua ber¬maksud menolong Nona ini dari kebia¬daban orang-orang Pek-hok-bio." Liu Wan menerangkan maksudnya berada di tem¬pat itu.
Pemuda yang menyaru sebagai Gu Lam itu menyeringai malu. "Maaf, kalau begitu kami berdua sangat berhutang bu¬di kepada Tuan. Ehm, kami berdua ada-
lah kakak beradik seperguruan. Namaku Ku Jihg San, sedangkan Sumoiku ini ber¬nama Song Li Cu. Bolehkah kami menge¬tahui nama Tuan?" katanya kemudian de¬ngan suara lantang dan tegas.
Liu Wan membalas penghormatan Ku Jing San dan Song Li Cu.
"Ah, jangan sungkan-sungkan. Aku, Liu Wan, memang telah' lama bermusuh¬an dengan pimpinan Kuil Pek-hok-bio ini. Kebetulan saudara perempuanku juga hi¬lang, sehingga aku yang curiga kepada pendeta jahat itu lalu mencarinya ke si¬ni. Tapi ternyata Nona Li Cu yang dicu¬lik oleh mereka, bukan adikku...."
Ku Jing San dan Song Li Cu terke¬jut. "Jadi adik Tuan juga diculik orang?" Ku Jing San bertanya kaget.
Liu Wan mengangguk, lalu memandang keluar jendela. "Apakah Saudara Ku yang membawa kaum Kai-pang itu?" katanya mengalihkan pembicaraan.
"Benar aAntara kami dan perkumpul¬an Tiat-tung Kai-pang memang bersaha¬bat erat. Guru kami sangat dekat dengan pimpinan mereka." Ku Jing San menerangkan.
"Baiklah. Kalau begitu saya akan mem bantu temanku itu dahulu. Silakan Sauda¬ra Ku dan Nona Song melihat di luar, mungkin orang-orang Kai-pang itu ingin bertemu dengan kalian!"
Setelah merangkapkan kedua tangan¬nya di depan dada Liu Wan lalu melang¬kah menghampiri arena pertempuran Tio Ciu In. Dan gadis ayu itu segera me¬nyambutnya dengan dampratan.
"Twako, ke mana saja kau tadi? Aku sampai kewalahan memecahkan kepung¬an pendeta-pendeta jahat ini!"
Liu Wan berhenti di luar arena dan tidak segera terjun membantu Tio Ciu In. Dengan tenang pemuda itu menonton pertempuran sambil bersilang tangan di atas dada. Akan tetapi sikap itu justru menggetarkan hati empat orang pendeta berjubah kuning tersebut. Apalagi ketika pemuda itu bercerita kepada Tio Ciu In tentang kedatangan orang-orang Kai-pang dan kematian Ketua Kuil Pek-hok-bio, empat orang pendeta tak bisa lagi me¬nguasai hatinya. Mereka menjadi ketakutan dan putus asa.
"Kau... bohong! Kau berusaha. mempe¬ngaruhi kami!" salah seorang dari pende¬ta itu berteriak.
Liu Wan tertawa. "Kau tak percaya? Lihatlah di atas genting! Kau akan me¬lihat mayat ketuamu! Nah... itu lihat! Tangan dan kaki yang terjulur keluar da¬ri lobang genting itu, bukankah tangan dan kaki ketuamu? Atau... kalian ingin menyaksikan dulu mayat-mayat kawan kalian yang dibantai oleh orang-orang Kai-pang di luar sana?"
Ucapan yang bernada ejekan dan an¬caman itu ternyata besar sekali penga¬ruhnya. Suasana ruangan yang sepi, keri¬butan di luar gedung, dan hancurnya se¬bagian besar atap dan genting ruangan itu, benar-benar membuat empat pendeta itu percaya akan ucapan Liu Wan terse¬but. Otomatis semangat dan keberanian mereka menghilang. Tak ada keinginan mereka untuk melawan lagi.
"Aku menyerah...!" orang yang paling tua di antara mereka kemudian berseru sambil melompat mundur. Senjatanya di¬buang.
Ternyata yang lain pun mengikuti pu¬la langkah pendeta tertua tersebut. Me¬reka meloncat mundur dan membuang kebutan mereka. Tio Ciu In juga tidak mengejar mereka lagi. Dan gadis itu se¬makin kagum pada kecerdikan Liu Wan. Tanpa turun tangan pemuda itu ternya¬ta bisa menundukkan perlawanan mereka.
Liu Wan lalu mengumpulkan senjata-senjata mereka, lalu menaruhnya di atas meja. "Coba dua orang di antara kalian pergi ke atas genting untuk mengambil mayat ketua Pek-hok-bio!" perintahnya kepada pendeta yang tertua tadi.
"Baik...!"
Demikianlah pertempuran di dalam ge¬dung itu sudah selesai. Kini tinggal per¬tempuran seru di halaman, antara anak buah Kuil Pek-hok-bio melawan orang-orang dari Kai-pang. Ku Jing San dan Song Li Cu yang telah turun di halaman depan tampak mengamuk dengan hebat¬nya. Tak seorang pun anak buah Kuil Pek-hok-bio yang mampu menahan pukul¬an dan tendangan mereka. Mayat-mayat dari kedua belah pihak telah bergelimpangan, terutama orang-orang dari Pek-hok-bio.
"Berhenti semua...!!!"
Seperti seorang panglima perang, Liu Wan berseru sambil berkacak pinggang di atas tangga pendapa. Di belakangnya tampak empat pendeta berjubah kuning, di mana salah seorang di antaranya tam¬pak membawa mayat Ketua Kuil Pek-hok-bio. Tio Ciu In mengawasi mereka dari samping dengan pedangnya.
Suara bentakan Liu Wan itu disertai oleh lwe-kahgnya yang tinggi, maka tidak lah mengherankan bila suaranya dapat mengatasi gaduhnya suasana di tempat tersebut. Bahkan demikian kuat getaran suaranya sehingga mampu mengguncang jantung setiap orang yang berada di ha¬laman itu. Tak terkecuali Ku Jing San dan Song Li Cu sendiri.
Pertempuran pun berhenti dengan ti¬ba-tiba. Semuanya memandang ke atas tangga pendapa seperti terkesima. De¬ngan takjub mereka menatap Liu W an yang sangat berwibawa itu.
"Saya harap semuanya menghentikan pertumpahan darah ini! Lihat...! Orang yang menjadi biang keladi pertumpahan darah malam ini telah mati! Oleh kare¬na itu semua anggota Kuil Pek-hok-bio harap meletakkan senjata masing-ma¬sing- Liu Wan berteriak sekali lagi.
Melihat tokoh-tokoh mereka telah me nyerah, bahkan ketua mereka juga sudah meninggal, maka seluruh anggota Kuil Pek-hok-bio yan^ masih hidup lalu mem¬buang senjata mereka pula. Mereka diam dan menurut saja ketika digiring lawan-lawan mereka ke pendapa.
Beberapa saat kemudian terjadi kesi¬bukan di ruang pendapa yang luas itu. Ku Jing San dan beberapa tokoh Kai-pang tampak mengatur tawanan dan ka¬wan-kawan mereka sendiri. Beberapa orang ditugaskan untuk mengumpulkan orang-orang yang terluka dan yang men¬jadi korban di dalam kemelut tadi. De¬mikian sibuknya mereka sehingga mere¬ka seolah-olah melupakan Liu Wan dan Tio Ciu In yang secara diam-diam me¬ninggalkan tempat itu.
Dari kejauhan terdengar dentang suara lonceng dua kali, pertanda waktu te¬lah menunjukkan pukul dua malam. La¬ngit terang benderang, sehingga rembu¬lan penuh yang telah jauh bergulir ke arah barat itu bebas menebarkan sinar¬nya ke seluruh permukaan bumi.
Semua jalan-jalan yang membelah ko¬ta Hang-ciu tampak sepi, sama sekali tidak mencerminkan bahwa seharian tadi orang baru saja bersuku ria menyambut kedatangan Tahun Baru: Malam ini semua orang tampaknya benar-benar ingin. me¬ngaso setelah seharian penuh mereka tak beristirahat.
Yang masih kelihatan hidup dan ber¬gerak di jalan-jalan itu hanyalah hewan-hewan piaraan seperti anjing, kucing dan lain sebagainya. Mereka masih berkeliar¬an di jalan-jalan untuk mengais sisa-sisa makanan yang dibuang orang di pinggir jalan.
Tampaknya penduduk kota itu benar-benar telah dicekam oleh mimpi mereka masing-masing, sehingga kedatangan ke¬reta Liu Wan itu sama sekali tak meng¬goyahkan tidur mereka. Lo Kang dan Lo Hai yang amat setia itu membawa kere¬ta tersebut ke penginapan. Suara roda besinya yang geludak-geluduk itu terde¬ngar amat nyaring dan berkumandang memenuhi jalanan. Dari jauh suaranya seperti genderang perang yang ditabuh di malam hari, nikmat namun juga meng getarkan hati.
Kereta itu berhenti di depan pengi¬napan. Lo Hai turun membukakan pintu dan mempersilakan Liu Wan dan Tio Ciu In untuk menemui pemilik penginapan itu sendiri.
"Ciu-moi, malam ini kita beristirahat dulu di penginapan ini. Besok pagi kita lanjutkan usaha kita untuk mencari Adik¬mu. Marilah... kau tidak usah curiga atau ragu-ragu. Aku telah mengenal de¬ngan baik pemilik penginapan ini. Lo Kang dan Lo Hai telah memesan dua ka¬mar untuk kita berdua. Ayo...!
Sesaat Tio Ciu In masih merasa ragu. Tapi di lain saat melihat kesungguhan hati Liu Wan, hatinya menjadi tenteram pula.
"Baiklah, Twako...." desahnya pelan tanpa berani memandang Liu Wan.
"Bagus. Nah, Lo Kang dan Lo Hai, ka¬lian kembalilah ke pondok kita di tengah empang itu! Tunggulah aku di sana!" pe¬muda itu memberi perintah kepada pem¬bantunya.
*
**
Demikianlah, sepera yang telah dice¬ritakan di bagian depan, malam itu Tio Ciu In sama sekali tak bisa memejam¬kan matanya. Bayangan wajah Siau In yang lincah dan bandel itu selalu melin¬tas dan menggoda hatinya. Adiknya itu memang nakal dan usil sehingga sering¬kah sangat menjengkelkan hatinya. Tapi bagaimanapun juga gadis itu adalah satu-satunya keluarga yang dimilikinya di du¬nia ini.
Untuk kesekian kalinya Tio Ciu In menarik napas panjang. Panjang sekali, la mengenang nasibnya. Nasib perja¬lanan hidupnya dengan Siau In, adiknya. Sejak kecil mereka diasuh oleh gurunya, Giam Pit Seng, seorang tokoh aliran Im-yang-kau.
Menurut cerita gurunya, dia dan adik¬nya dulu diambil dari dekapan seorang nelayan tua yang mati akibat kebiadaban bajak laut yang menjarah rayah kam¬pungnya. Nelayan she Tio itu menitipkan dia dan adiknya kepada Giam Pit Seng agar dirawat seperti anaknya sendiri.
Kebetulan Giam Pit Seng juga tidak memiliki anak isteri pula, sehingga keda¬tangan dia dan adiknya itu benar-benar sangat membahagiakan hati pendekar pit (pena) tersebut. Dia dan Siau In be¬nar-benar dianggap sebagai anak sendiri, diasuh dan diberi pelajaran ilmu silat tinggi. Waktu itu dia sudah berusia enam tahun, sementara Siau In berumur tiga tahun.
Menurut Giam Pit Seng, dia dan Siau In. adalah anak-anak yang cerdas dan cerdik, sehingga semua pelajaran ilmu si¬lat dan ilmu sastra yang diberikan oleh gurunya itu cepat sekali diserap dan di-terima. Namun demikian sesekali guru¬nya itu masih mengeluh karena mereka berdua adalah wanita. Gurunya juga menginginkan seorang murid lelaki, yang akan diwarisi ilmunya Hok-hong Pit-hoat.
Dan keinginan Giam Pit Seng itu akhirnya terkabul juga. Setelah mengasuh dia dan Siau In selama empat tahun, suatu hari Giam Pit Seng membawa se¬orang anak lelaki berusia dua belas tahun ke rumah. Anak yang lebih tua dua ta¬hun dari dia itu bernama Tan Sin Lun, putera seorang kepala desa, sahabat Giam Pit Seng.
Meskipun lebih dulu berguru kepada Giam Pit Seng, tetapi dia dan Siau In memanggil suheng kepada Tan Sin Lun. Hubungan mereka bertiga sangat baik dan rukun seperti saudara sekandung sa¬ja. Hal itu berlangsung hingga mereka menjadi dewasa.
Setelah menjadi dewasa itulah lambat laun tali hubungan mereka semakin beru¬bah. Kata orang, dia dan adiknya memili ki wajah yang sangat cantik sehingga orang orang selalu memandang kagum kepada mereka. Dan anggapan seperti itu akhir¬nya menular pula kepada Tan Sin itu jatuh cinta kepadanya. Dan rasa cin¬ta itu selalu diperlihatkan oleh suhengnya apabila tiada seorang pun di dekat mereka.
Selama ini dia memang belum paham akan perasaannya sendiri. Ia memang menyukai Tan Sin Lun, karena sejak kecil mereka selalu bersama-sama. Tapi ia tidak tahu, rasa sukanya itu berdasarkan rasa cinta atau cuma rasa sayang saja. Ia memang senang selalu berdekatan dengan suhengnya itu, tapi selama ini ia tak pernah berpikir atau membayangkan bah¬wa ia akan menjadi jsuami isteri dengan Tan Sin Lun. Selama ini ia hanya berpi¬kir bahwa Tan Sin Lun adalah pemuda yang baik hati dan berjiwa ksatria. Itu saja. Lain tidak. Itulah sebabnya ketika kemarin siang Tan Sin Lun mencium pipinya, ia menjadi tersinggung dan marah.
Sekali lagi Tio Ciu In menghela napas panjang. Tiba-tiba saja bayangan Liu Wan berkelebat di depan matanya. Pe¬muda yang baru dijumpainya kemarin si¬ang itu seperti telah dikenalnya berta¬hun-tahun. Wajahnya, kepandaiannya, sikapnya serta semua tindakannya, rasa¬nya selalu mengundang kagum di hati¬nya.
Tiba-tiba Tio Ciu In menjadi jengah sendiri. Belum-belum ia telah memper¬bandingkan Liu Wan dengan Tan Sin Lun.
Tok! Tok! Tok!
Tio Ciu In terkejut. Pintu kamarnya diketuk orang. Bergegas turun dari pem¬baringan dan mengenakan . baju luarnya. Sebelum membuka pintu ia merapikan dulu rambutnya.
"Selamat pagi, gadis ayu...!" Liu Wan memberi salam.
"Eh-oh... pukul berapa sekarang?" Tio Ciu In menjawab gugup.
Tiba-tiba berhadapan dengan orang yang baru saja dilamunkan membuat ga¬dis itu gugup tidak keruan. Untunglah Liu Wan seorang pemuda yang pandai bicara, sehingga rasa kikuk dan malu yang mengharu biru di hati Tio Ciu In segera menghilang pula.
"Hei, kau jadi mencari adikmu tidak? Hari sudah siang. Lihatlah, matahari te¬lah berada di atas atap! Mengapa kau belum bangun juga? Apakah mimpimu indah sekali? Ahaa, tahulah aku! Kau tentu bermimpi jadi pengantin, sehingga kau menjadi segan untuk bangun. Peng¬antin lelakinya tentu... tentu...."
"Apaaa...? Coba, siapa...? Siapa Se¬butkan! Sekali kau kesalahan omong, aku akan pergi dan tak mau kenal kau lagi!" seru Tio Ciu In gemas. Matanya membe¬lalak, pipinya merah.
Liu Wan meringis dan tak berani menggoda lagi. "Maaf, Ciu-moi.... Jangan marah. Aku cuma ingin bercanda dengan¬mu. Entah mengapa, pagi ini hatiku me¬rasa gembira bukan main, sehingga rasa-nya aku jadi ingin menggoda siapa saja yang kutemui."
Tio Ciu In mencibirkan mulutnya. "Huh! Dasar...! Kalau mau bercanda li¬hat-lihat dulu orangnya! Jangan asal sambar saja! Huh, coba katakan terus terang! Siapa yang hendak kausebutkan sebagai... pengantin lelaki? Suhengku, bu¬kan?" sergahnya kemudian dengan nada tetap marah-marah.
"Haaah...?" Liu Wan berdesah kaget.
Mulutnya ternganga, matanya melotot. "Sungguh mati aku tak bermaksud me¬ngatakan seperti itu! Sumpah!"
Kini giliran Tio Ciu In yang terce¬ngang keheranan. "Kau tidak* bermaksud mengatakan seperti itu? Lalu... lalu apa yang hendak kaukatakan?" suara Tio Ciu In merendah. Wajahnya menjadi pucat.
Mendadak air muka Liu Wan menjadi merah padam. Sikapnya menjadi kikuk dan kemalu-maluan, persis seperti pe¬ngantin yang sedang dipertemukan di de¬pan tamu.
"Apa...? Apa yang hendak kaukatakan tadi?" Tio Ciu In mendesak penasaran.
Sambil cengar-cengir Liu Wan me¬mandang Tio Ciu In. Masih kelihatan ra¬sa takutnya kalau-kalau gadis itu akan menjadi marah lagi.
"Aku tadi ingin mengatakan bahwa... pengantin prianya adalah aku sendiri!" akhirnya pemuda itu berani juga menga¬takannya.
Wajah yang putih mulus itu tiba-tiba berubah menjadi merah seperti udang di¬rebus. Tanpa mengatakan apa-apa lagi pintu kamarnya dibanting.
"Ciu-moi... Ciu-moi! Maafkanlah aku!" Liu Wan berseru sambil berusaha membuka pintu itu dari luar, tapi tidak bisa. Tio Ciu In menguncinya dari dalam.
"Wah, gawat...! Dia benar-benar ma¬rah sekarang! Huh... inilah akibatnya kalau orang suka bergurau!" Liu Wan meng¬gerutu sambil menggaruk-garuk kepa¬lanya yang tidak gatal.
Dengan lesu pemuda itu melangkah meninggalkan kamar Tio Ciu ln. Wajah¬nya yang semula cerah dan gembira itu kini kelihatan susah dan sedih. Hatinya sungguh-sungguh amat menyesal telah menggoda Tio Ciu In tadi. Seharusnya dia tidak omong sembarangan di depan Tio Ciu In yang sedang bersusah hati ka¬rena kehilangan adiknya itu.
"Tapi apa hendak dikata, nasi telah menjadi bubur. Mulutku ini kadang-ka¬dang memang terlalu ceriwis, sehingga sering membuat gara-gara."
Liu Wan lalu melangkah ke ruang makan. Di ruangan yang luas itu sudah banyak orang, sebagian besar adalah tamu-tamu yang menginap di rumah pe¬nginapan itu sendiri. Rata-rata mereka telah bersiap-siap untuk meninggalkan penginapan itu. Ada yang hendak mene¬ruskan perjalanannya, ada pula yang akan pulang ke kampung setelah menyaksikan perayaan Tahun Baru yang sangat meriah kemarin.
"Tuan Liu...! Ah, hampir saja kami kehilangan jejak Tuan tadi malam. Un¬tunglah ada seorang teman kami yang melihat Tuan masuk ke penginapan ini." tiba-tiba terdengar suara orang menegur.
Liu Wan menoleh. Seorang pemuda gagah bangkit dari kursinya dan berge¬gas menghampiri dirinya. Liu Wan sege¬ra mengenalnya sebagai Ku Jing San, pe¬muda yang ditemuinya tadi malam di Ku¬il Pek-hok-bio.
"Oh, Saudara Ku Jing San rupanya. Bagaimana Saudara Ku tahu aku mengi¬nap di sini?" Liu Wan menyambut tegur¬an pemuda itu dengan ramah pula.
"Ah, mudah saja. Bukankah di kota ini banyak anggota Kai-pang yang berke¬liaran? Tuan Liu marilah kita duduk semeja saja di sana. Nanti kuperkenalkan dengan suhengku. Dia baru saja datang di kota ini beberapa saat yang lalu. Dia ingin sekali berkenalan dengan Tuan Liu, sekalian mengucapkan rasa terima kasih atas bantuan Tuan membebaskan Sumoi kami."
Liu Wan memandang ke meja yang ditunjuk oleh Ku Jing San. Di sana telah berdiri seorang pemuda tampan bertubuh tinggi tegap bersama Song Li Cu. Mere¬ka berdua tampak tersenyum menanti¬kan kedatangannya. Liu Wan menjadi ki¬kuk dan tidak enak hati.
"Wah, Saudara Ku terlalu membesar-besarkan masalah sepele seperti itu. Aku malah menjadi malu...." Liu Wan meng¬gerutu, tapi terpaksa menurut saja keti¬ka lengannya ditarik Ku Jing San ke me¬janya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap itu memberi hormat kepada Liu Wan dan mempersilakan Liu Wan untuk duduk di depannya. Dengan berat hati Liu Wan terpaksa mengikuti saja kemauan mereka.
"Maaf, kami telah mengganggu Saudara Liu Wan pagi ini." Pemuda tinggi te¬gap itu membuka pembicaraan. "Perke¬nalkan, aku yang rendah adalah saudara seperguruan tertua dari Ku. Jing San dan Song Li Cu ini. Namaku Kwe Tek Hun. Atas nama adik-adikku ini aku mengu¬capkan banyak terima kasih atas bantu¬an Saudara Liu Wan tadi malam."
Liu Wan tersenyum dan melirik ke arah Song Li Cu, tapi yang dilirik sedang asyik mengawasi toa-suhengnya yang ga¬gah ganteng itu.
"Ah, Saudara Kwe... kau keliru! Aku sama sekali tidak merasa telah memban¬tu Saudara Ku Jing San dalam membe¬baskan Nona Song Li Cu. Dia sendirilah yang sebenarnya telah membebaskan su-moinya. Aku hanya kebetulan saja di sa¬na, karena aku juga sedang mencari adik ku yang hilang." Liu Wan cepat menyang gah perkataan Kwe Tek Hun.
Sambil berkata Liu Wan menepuk pundak Ku Jing San, seakan-akan hen¬dak mengatakan bahwa yang sebenarnya sangat berjasa di dalam pembebasan Song Li Cu itu adalah Ku Jing San sendiri Bukan dirinya.
Ku Jing San tampak tersipu, namun kilatan matanya menunjukkan bahwa ia sangat senang dan bangga mendengar perkataan tersebut. Berkali-kali matanya yang polos jujur itu menatap ke arah su-moinya, walaupun Song Li Cu sendiri tampak acuh tak acuh terhadapnya. Ga¬dis cantik itu masih tetap memandangi Kwe Tek Hun yang tampan dan gagah.
Diam-diam Liu Wan menghela napas. Ia melihat sesuatu yang kurang serasi di antara mereka. Tampaknya ada jalin¬an cinta segitiga yang ruwet di antara tiga saudara seperguruan itu.
"Cinta... cinta. Kau memang aneh. Kadang-kadang kau bisa membuat orang merasa sangat berbahagia. Namun sering kali pula kau membikin orang menjadi sangat menderita. Hemmmmmmmmm...!" Liu Wan mengeluh di dalam hati.
Melihat tamunya termenung diam se¬perti sedang memikirkan sesuatu, Kwe Tek Hun cepat menghibur. "Saudara Liu, bagaimanapun juga kami tetap mengang¬gap bahwa kau telah membantu kami membebaskan Song Li Cu. Dan untuk membalas kebaikan Saudara Liu itu ka¬mi telah berjanji pula akan membantu mencari adik Saudara Liu yang hilang. Bahkan kami juga akan meminta perto¬longan orang-orang Tiat-tung Kai-pang untuk mencarinya."
Wajah Liu Wan menjadi cerah dengan tiba-tiba. Usul Kwe Tek. Hun itu benar-benar amat bagus dan menggembirakan hatinya. Dengan pertolongan orang-orang Kai-pang, jejak Tio Siau In tentu akan mudah diketahui. Bukankah ratusan ang¬gota Tiat-tung Kai-pang yang ada di da¬erah itu .setiap harinya selalu tersebar di segala tempat? Bukan mustahil salah seorang di antaranya pernah melihat ke-pergian Tio Siau In.
"Terima kasih, Saudara Kwee... teri¬ma kasih. Aku sungguh-sungguh sangat gembira dan berterima kasih sekali bila Saudara Kwe dan kawan-kawan dari Tiat-tung Kai-pang mau' membantu aku men-cari adikku."
Kwe Tek Hun tersenyum puas. "Ba¬gus. Kalau begitu mau tunggu apa. Lagi?
Marilah kita sekarang menemui Jeng-bin Lo-kai (Pengemis Tua Bermuka Seribu) yang kebetulan berada di kota ini. Nanti aku yang akan berbicara kepadanya."
"Jeng-bin Lo-kai...? Siapakah dia?" Liu Wan bertanya pelan.
"Dia adalah Hu-pangcu (Wakil Ketua) Tiat-tung Kai-pang. Kepandaiannya amat tinggi, terutama di bidang berdandan dan menyamar, sehingga ia dijuluki orang Jeng-bin Lo-kai. Dia pulalah yang telah mendandani Ku Jing San tadi malam."
"Apakah dia juga ikut datang di kuil Pek-hok-bio tadi malam?"
"Benar. Dia memang ikut memimpin anak buahnya di halaman kuil itu. Bah¬kan dia sempat mengutarakan kekaguman nya ketika Tuan Liu dengan amat berwi¬bawa menghentikan pertempuran dari atas pendapa. Namun ketika dia ingin bersua dan berkenalan, ternyata Tuan Liu sudah pergi." Ku Jing San yang se¬jak duduk di kursi tadi hanya berdiam diri saja, tiba-tiba menjawab pertanyaan Liu Wan.
"Ah, maaf... aku memang segera me-
tidak ingin mengganggu...."
Suara Liu Wan sekonyong-konyong me rendah. Begitu pula halnya dengan tamu-tamu yang lain. Suara percakapan dan o-brolan yang ramai di dalam ruangan itu mendadak menurun, bahkan hampir terhen ti sama sekali. Semua mata memandang keluar, ke pintu yang menghubungkan ru-ang makan tersebut dengan pendapa depan.
Seorang gadis remaja yang cantik se¬kali, berusia antara enam belas atau tu¬juh belas tahun, dengan pakaian dan per¬hiasan mahal, tampak melangkah lincah ke dalam ruangan itu. Tubuhnya yang kecil namun berbentuk indah itu meleng¬gang sedikit genit ke arah meja yang kosong. Sikapnya sangat tenang dan be¬rani, bahkan terasa agak dingin dan pe¬nuh percaya diri, sehingga orang-orang yang ada di dalam ruangan itu tak ada yang berani bersikap kurang ajar. Apala¬gi ketika gadis cantik itu meletakkan kipasnya di atas meja. Sebuah kipas yang sangat aneh karena kipas tersebut terbuat dari lembaran baja tipis bermata tajam. lima orang lelaki dan seorang wanita, lalu hidangkan di atas meja ini! Nih, kau bawa sekalian uang pembayarannya!" ga¬dis itu berkata nyaring seraya memberi-kan uang dua tail perak. Suaranya terde¬ngar bening dan merdu sehingga pelayan itu menjadi bengong seperti orang yang kesengsem mendengarkan suara buluh pe¬rindu.
Pelayan itu menjadi gugup dan salah tingkah melihat uang sebanyak itu.
"Ini...ini, eh... ini terlalu banyak, Sio-cia. Satu tail pun sudah lebih dari cu¬kup untuk memenuhi meja ini...."
"Sudahlah! Kaubawa saja uang ini! Aku memang sengaja membayar dua kali li¬pat. .Tapi ingat...! Kalau masakanmu ti¬dak bisa memenuhi seleraku, nasibmu dan nasib rumah makanmu, ini benar-benar akan menjadi jelek sekali! Nah, pergi¬lah...!"
Mata yang bulat indah itu menatap dingin seperti mengandung ancaman, membuat pelayan itu meremang bulu ku¬duknya. Entah mengapa sikap gadis can¬tik itu benar-benar amat berwibawa dan menggiriskan hati.
"Ba-baik, Sio-cia...."
Hampir serentak para pengunjung restoran itu menghela napas panjang. Dalam waktu yang cuma sesaat tadi me¬reka seperti disuguhi sebuah pemandang¬an yang menegangkan. Demikian pula halnya dengan Liu Wan dan Kwe Tek Hun bersaudara. Tak terasa sikap dan tingkah laku gadis cantik itu telah mama. pu merampas dan mempengaruhi perha¬tian mereka berempat.
"Saudara Kwe mengenal dia?" Liu Wan bertanya perlahan kepada Kwe Tek Hun.
Pemuda tinggi tegap itu menggeleng¬kan kepalanya. "Tidak. Aku belum pernah melihat dia. Tapi kipasnya itu...?" tiba-tiba pemuda itu menghentikan kata-kata¬nya. Matanya memandang ke arah pintu yang menghubungkan ruangan itu dengan ruang dalam.
Semua pengunjung yang sudah mulai mengobrol lagi itu sekonyong-konyong menghentikan pula obrolan mereka se¬perti halnya Kwe Tek Hun. Pandangan mereka juga tertuju pula ke pintu da¬lam, ke arah Tio Ciu In yang mendadak keluar menuju ruang makan tersebut.
Tidak seperti biasanya, kali ini Tip Ciu In memang berdandan sedikit luar biasa. Tubuhnya yang tinggi lentur itu dibalut pakaian berwarna hijau muda, se¬hingga kulitnya yang putih halus itu tampak semakin cerah dan segar dipan¬dang mata. Rambutnya yang biasanya cuma dikepang dan dibiarkan terurai di belakang punggungnya itu sekarang di¬sanggul ke atas seperti layaknya gadis-gadis pingitan. Maka tidaklah menghe¬rankan bila wajahnya yang sudah ayu itu menjadi semakin cantik seperti bidadari.
"Gila! Rasanya seperti bermimpi sa¬ja... melihat dua bidadari di pagi hari!" seorang tamu yang duduk di sebelah me¬ja Liu Wan berdesah tak terasa.
Ternyata kali ini Kwe Tek Hun juga tak bisa menyembunyikan kekagumannya.
Matanya menatap tak berkedip ke arah Tio Ciu In yang melenggang lembut men¬dekati mereka berempat. Dan matanya mungkin akan terus melotot kalau Song Li Cu tidak segera menggamit lengan¬nya dengan perasaan tak senang.
"Huh...!" Song Li Cu yang mendadak merasa seperti kehilangan kecantikannya di depan gadis-gadis ayu yang baru saja datang itu bersungut-sungut kesal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT