PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 28

 


HO HOU dan pengikut-pengikutnya memang tidak bisa ditahan lagi. Walau dia dan Liok-kui-tin belum bisa menaklukkan lawan masing-masing, tetapi Mo Goat dan yang lain sudah dapat me¬nguasai keadaan. Bahkan Tan Sin Lun dan Tiam Pit Seng sudah terkapar di atas tanah. Kedatangan Tio Siau In untuk menolong mereka sudah tidak keburu lagi. Siang-kim-eng bersama Tiat-tou telah mengakhiri perlawanan mereka. Sabetan golok dan tusukan pedang membuat guru dan murid itu jatuh terluka parah.


"Suhu...!" Tio Siau In menjerit, namun tak bisa menolong karena pasukan Ho Bing segera mencegatnya.



Sebaliknya, pendekar Souw Thian Hai masih dapat diselamatkan oleh isterinya. Karena keduanya selalu berdampingan, maka kesulitan Souw Thian Hai segera dapat ditolong oleh Chu Bwe Hong. Bah¬kan pada waktu menolong tadi, pedang Chu Bwe Hong nyaris menebas leher Bayan Tanu.



Namun demikian luka di paha Souw Thian Hai itu benar-benar mengganggu sepak terjangnya. Kaki yang luka itu menjadi sulit digerakkan, sehingga Souw Thian Hai menjadi lamban dan kurang bersemangat. Pendekar itu lebih banyak diam di tempatnya, dan bersama Chu Bwe Hong mencoba bertahan sekuat te¬naga.


Yok Ting Ting yang berhadapan lang¬sung dengan Ho Bing juga tidak mampu berbuat apa-apa. Meskipun ilmu silat gadis itu jauh lebih tinggi daripada la¬wannya, tapi Ho Bing mendapat dukungan pasukan khususnya. Pasukan khusus yang sudah dilatih dan dipersiapkan untuk melayani jago silat berkepandaian tinggi. Mereka bergerak dalam kelompok atau barisan, seperti layaknya kawanan semut yang selalu bekerja bersama-sama. Me¬lawan satu dari mereka, berarti harus menghadapi seluruhnya.
A Liong sendiri masih terus berupaya menekan lawannya. Dengan habisnya per¬lawanan para pendekar, maka arena per¬tempuran itu menjadi longgar. A Liong tidak merasa takut lagi mengeluarkan ilmu pedang pelanginya. Kilatan-kilatan cahaya segera memancar dari pedang bengkoknya. Berkelebatan kesana-kemari, memburu dan mengurung anggota Lok-kui-tin.
Lok-kui-tin dengan Barisan Enam Hantunya memang dapat melayani kedah¬syatan sinar pelangi tersebut. Dengan cara mempersatukan tenaga dan pikiran mereka, Lok-kui-tin selalu berusaha me¬mantulkan cahaya yang menyerang me¬reka. Dan sebagai balasannya, mereka ganti , menyerang dengan segala macam senjata rahasia mereka.
"Baiklah. Akan kulihat sampai di ma¬na kalian bisa bertahan. Bagaimana kalau senjata rahasia itu habis?" A Liong mengejek.
Lok-kui-tin menggeram. Mereka be¬nar-benar menjadi gemas dan penasaran.
Baru sekarang mereka menemukan lawan setangguh A Liong. Biasanya mereka tidak pernah bertempur sesulit ini. Satu atau dua orang diantara mereka, biasa¬nya cukup untuk menyelesaikan masalah mereka.

"Marilah! Menang atau hancur!" Hek-kui berseru keras.

Demikianlah walau sangat sulit, A Liong mampu mengimbangi keuletan Lok-kui-tin. Bahkan pemuda itu selalu berada di atas angin. Celakanya, A Liong yang kurang pengalaman itu belum mampu menilai keadaan. Pikirannya hanya ter¬tumpah pada pertempurannya sendiri. Dia hanya berpikir, bagaimana mengalahkan Lok-kui-tin. Sama sekali tidak terpikir olehnya akan hasil akhir dari pertempuran itu.

Sementara itu Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong masih juga bertahan terhadap kurungan Mo Goat. Sebenarnya ilmu silat mereka berdua tidak kalah hebatnya dengan ilmu silat Mo Goat. Namun karena mereka berdua tidak mampu mencari Mo Goat asli diantara enam bayangan itu, mereka segera jatuh di bawah angin. Bagaimanapun juga dah¬syatnya ilmu silat mereka, tapi bayangan-bayangan itu tidak dapat diserang atau dilukai dengan pukulan atau senjata me¬reka.

Sebaliknya seperti yang dikhawatirkan Liu Wan Ti, bayangan Mo Goat itu mulai melepaskan senjata rahasianya. Senjata rahasia yang amat berbahaya karena mengandung racun.

Tapi Chin Tong Sia yang cerdik itu tepat lain.iy f lebih berbahaya, tapi aku justru dapat mengetahui aslinya! Ha¬nya yang asli yang melepaskan senjata rahasia, karena yang lain tidak mungkin melepas senjata betulan! Nah, Nona Souw... lindungi aku! Akan kucekik dia!" Chin Tong Sia berbisik kepada Souw Giok Hong dengan ilmu Coan-im-ji-bit, yaitu ilmu mengirim gelombang suara.

"Baik. Mari kita lakukan!" Souw Giok Hong mengangguk.

Dengan mantel pusakanya Souw Giok Hong memang tidak dapat dilukai oleh senjata rahasia Mo Goat. Sebaliknya, , setiap kali senjata rahasia itu meluncur dari tangan Mo Goat, maka Chin Tong Sia segera menyerang lawannya. Bebe¬rapa kali pukulan Chin Tong Sia yang amat mematikan itu nyaris mengenai tubuh Mo Goat asli, sehingga gadis itu segera menyadari kesalahannya. Ternyata maksudnya untuk segera mengakhiri per¬tempuran itu justru membahayakan diri¬nya.

"Kau benar-benar cerdik...!" Gadis itu berseru.

Mo Goat menarik kembali niatnya untuk mempergunakan senjata rahasia. Dia kembali mengurung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong dengan ilmu silat Pat-sian-ih-hoatnya. Karena tingkatan ilmu silat Mo Goat sekarang sudah lebih tinggi, maka dia sudah dapat mengubah dirinya menjadi enam sosok bayangan kembar. Dan semua itu amat merepotkan lawan-lawannya.

Sementara itu arena pertempuran di dekat mereka juga berlangsung tidak kalah sengitnya. Mo Hou dengan Pat-sian-ih-hoatnya melawan Put-pai-siu Hong-jin dengan Cuo-mo-ciangnya!

Tapi kali ini Mo Hou benar-benar ketemu batunya. Pat-sian-ih-hoat yang ia bangga-banggakan itu ternyata tidak mampu mengelabuhi mata Put-pai-siu Hong-jin. Seperti memiliki mata malaikat kakek tua jelek rupa itu dapat memilih Mo Hou asli diantara delapan sosok kem-barannya. Walau orang tua itu harus menerobos kesana-kemari menghindari lima bayangan Mo Hou palsu, namun dia terus saja memburu Mo Hou asli. Pukulan dan tendangan kakinya yang berba¬haya itu hampir tidak pernah keliru memilih sasaran.

"Monyet buruk!" Mo Hou mengumpat tidak habisnya.

"Sudahlah, menyerah sajalah! Kau tidak bisa mengakali aku dengan bentuk-bentuk palsumu itu. Meskipun hidungku ini bengkok dan jelek, tapi daya ciumnya tajam sekali. Aku dapat membedakan bau keringatku dan bau keringatmu. Semen¬tara semua bentuk palsumu itu tidak berkeringat, bukan? Heh-heh-heh!"

"Kurang ajar!" Mo Hou terkejut me¬lihat kecerdikan lawannya.

Put-pai-siu Hong-jin tertawa puas. Saking senangnya mulutnya segera ber¬dendang. Dendang yang tidak keruan lagunya.

"Bersampan di atas telaga,
Airnya bening bagai kaca.
Melihat rambut beralih rupa,
Serasa mimpi jadi bayangan."
Karena bibirnya tebal dan lebar, se¬mentara giginya juga sudah ompong, maka suara dendang yang keluar dari mulut kakek jelek itu lebih menyerupai omelan daripada nyanyian. Namun de¬mikian, apa yang terjadi sungguh diluar dugaan. Semakin panjang dan semakin getol kakek itu mengomel, semakin he¬bat pula jurus-jurus yang dia keluarkan. Benturan-benturan tenaga vang terjadi, semakin lama semakin menggoyahkan kuda-kuda Mo Hou.
"Monyet tua! Monyet gila!" Tiba-tiba gerakan Mo Hou berubah.
 
Satu persatu kembarannya menghilang. Put-pai-siu Hong-jin tidak mau terkecoh. Setelah kini tinggal satu, Mo Hou justru bergerak lebih cepat. Demikian cepatnya sehingga tubuh pemuda itu kadang-kadang menghilang dari pandangannya.
"Heh-heh-heh! Ilmu apa lagi yang kau keluarkan?" Put-pai-siu Hong-jin terke¬keh-kekeh.
Sungguh mendebarkan. Mo Hou mulai menapak ke tingkat akhir dari Pat-sian-ih-hoat, yaitu membuat tubuhnya menghi¬lang. Dengan tenaga dalamnya yang ting¬gi, disertai dengan kemampuan sihirnya yang hebat, pemuda itu mulai mengecoh pandangan Put-pai-siu Hong-jin.
Semakin cepat gerakan Mo Hou, maka semakin sering pula Put-pai-siu Hong-jin kehilangan lawannya. Ketika akhirnya pemuda itu mengerahkan segala kemam¬puannya, maka Put-pai-siu Hong-jin tidak dapat melihat lawannya lagi. Pemuda itu hanya kelihatan bila sedang mengambil napas.
"Ah! Bocah itu benar-benar hebat dan menakjubkan!" Yap Kim yang tidak pernah melepaskan matanya dari pertempur¬an itu memuji kedahsyatan ilmu silat Mo Hou.
Sekarang Put-pai-siu Hong-jin kebi¬ngungan. Dengan ketajaman indera dan perasaannya, sebenarnya dia dapat mela¬cak keberadaan Mo Hou. Tapi karena situasi di arena itu sangat riuh, dan ge¬rakan Mo Hou juga sangat cepat, maka langkahnya selalu lebih lambat dari la-wannya. Akibatnya serangan Mo Hou yang datang bertubi-tubi membuatnya kalang-kabut.

"Tikus busuk memakan cacing!
Cacing kurus kepanasan

Perubahan yang sangat mendadak itu sungguh mengejutkan Pangeran Liu Wan Ti. Sungguh tidak terduga keadaan men¬jadi berbalik seperti itu. Tampaknya se¬mua orang memang akan dikalahkan oleh pasukan Hun.

. Satu persatu tokoh Tiat-tung Kai-pang jatuh ke tanah. Demikian pula de¬ngan tokoh persilatan lainnya, hingga akhirnya tinggal rombongan pendekar Pulau Meng-to saja yang masih bertahan. Namun demikian mereka juga sudah ke¬payahan, sementara pasukan Hun terus mendesak dan memburu mereka. Akhir¬nya rombongan itu sampai juga di tem¬pat Pangeran Liu Wan Ti berada.

Demikianlah, akhirnya seluruh pasukan Hun mengepung tempat itu. Mereka ber¬sorak sambil meniup terompet dan me¬nabuh tambur perang. Suasana benar-benar ramai dan hingar bingar.

Yap Kim dan Pangeran Liu Wan putus asa. Seluruh kekuatan di pihak mereka sudah kalah. Tiada lagi yang dapat mereka andalkan. Tinggal A Liong yang masih berada di atas angin. Tapi apa gunanya kemenangan A Liong itu kalau seluruh kekuatan lainnya kalah?

Oleh karena itu pertempuran selanjut¬nya boleh dikatakan cuma menunggu waktu saja. Menunggu saat jatuhnya para pendekar itu seorang demi seorang. Dan semuanya memang tak bisa dihindarkan lagi.
Dengan dukungan pasukan khususnya, Ho Bing dan para pembantunya mulai mendesak Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Tongkat Ho Bing mulai menyentuh kulit Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Tapi sentuhan itu belum sampai membahaya¬kan jiwa mereka. Namun ketika akhirnya tongkat itu sering menyentuh tubuh me¬reka, otomatis perlawanan mereka men¬jadi terganggu. Apalagi ketika pasukan yang mengepung mereka itu semakin kuat mendesak mereka.
Tio Ciu In benar-benar sedih melihat kesulitan adiknya. Matanya berkaca-kaca. Lima tahun mereka berpisah. Kini me¬reka bertemu justru dalam situasi yang tidak menyenangkan. Dan celakanya dia sendiri juga terluka parah, sehingga tidak bisa menolong adiknya.
"Tak kusangka nasib kami sangat me¬nyedihkan. Tidak ada orang tua, tidak ada kebahagiaan. Ada guru yang mem¬besarkan kami, tapi sekarang guru juga menjadi korban keganasan perang. Aaah...."
Dalam kesedihannya tiba-tiba terlintas wajah Pendekar Buta, gurunya yang lain. Meski buta tapi memiliki kesaktian yang hebat.
“Ah, dimana guru sekarang ? Apakah dia juga menjadi korban perang besar ini ? mengapa dia tidak muncul-muncul?
Saking teganganya bibir Tio Ciu In bergetar menyanyikan lagu kesukaan Pendekar Buta. Mulanya hanya perlahan, tapi semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya suara itu melengking tinggi penuh getaran tenaga dalam.
Apabila di malam yang gelap gulita,
Tiba-tiba muncul bulan purnama,
Alam pun tersentak dari tidurnya,
Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita malam.
Kekasihku …… !
Aku selalu mengharapkan kehadiranmu.. !
Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim kaget, bekas panglima itu memandang Tio Ciu In dengan bingung sekilas ia menyangka gadis itu menjadi gila. Namun dugaan itu segera dihapusnya.
Sebaliknya Pangeran Liu Wan Ti men¬jadi berdebar-debar hatinya. Masih ter¬ingat di benaknya peristiwa lima tahun lalu di kota Hang-ciu. Kala itu Tio Ciu In juga bernyanyi seperti sekarang, dan tiba-tiba muncul seorang pendekar sakti bermata buta menolong mereka.
"Apakah Nona Tio hendak meminta pertolongan pendekar buta itu lagi?"
Ternyata nyanyian itu sampai ke te¬linga Kwe Tek Hun pula. Pemuda yang sedang bertempur di samping ayahnya itu mempunyai pendapat yang sama dengan Pangeran Liu Wan Ti. Ia juga teringat peristiwa mengerikan di kota Hang-ciu itu. Peristiwa yang membuat Ku Jing San kehilangan salah satu kakinya.
Belum juga lagu itu habis dinyanyikan oleh Tio Ciu In, tiba-tiba terdengar suara gemuruh mendekati tempat itu. Suara itu seperti suara angin atau badai yang me¬nerjang pepohonan.
"In-ji...!" Aku datang! Bertahanlah!"
Bersamaan dengan hilangnya suara gemuruh itu, seorang lelaki separuh baya telah berdiri di depan Tio Ciu In. Wajah¬nya sama sekali tidak kelihatan karena tertutup oleh rambut putih yang terurai lepas di mukanya.
"Auuh...!" Pada saat yang sama Chin Tong Sia justru mengeluh karena pundak¬nya tergores kipas Mo Goat.
Souw Giok Hong terkejut. "Saudara Chin, kau terluka....?"
Walau tidak parah tapi kipas itu mengandung racun sehingga bahu Chin Tong Sia terasa linu sekali. Untung ia selalu membawa obat pemunah racun di sakunya. Walau tidak segera sembuh, tapi racunnya tidak berbahaya lagi.
"Nona Souw, berhati-hatilah! Kipas itu mengandung racun!"
Sementara itu pendekar Buta telah memegang lengan T.o Ciu In. Tubuhnya tiba-tiba bergetar begitu mengetahui ke¬adaan gadis itu.
"Siapa yang melukaimu? Siapa? Kata-kan!" Katanya kaku.
Tio Ciu In tak kuasa lagi memben¬dung air matanya. "Suhu, tolonglah me¬reka? Mereka itu para pendekar persilat¬an yang ingin membebaskan Panglima Yap Kim. Sekarang mereka dalam kesu¬litan. Pasukan Hun telah mengepung tempat ini. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri."
"Apakah panglima itu sudah dapat di¬bebaskan?"
"Sudah, Suhu. Beliau juga ada di sini sekarang. Beliau berada di sebelah kananmu."
Wajah tertutup rambut itu kelihatan kaget sekali.

"Baiklah, aku akan mencoba menolong mereka." Ucapnya kemudian dengan terburu-buru.
Tapi ketika Pendekar Buta hendak berlalu, Tio Ciu In cepat meraih lengannya.
"Suhu! Di sini juga ada Pangeran Liu Wan Ti."
"A-apa...?" Sekali lagi Pendekar Buta itu terkejut.
"Benar, Suhu. Beliau duduk di dekat Panglima Yap Kim. Mereka berdua terluka parah seperti aku."
Pendekar itu menundukkan mukanya dalam-dalam. Sejenak tubuhnya seperti bergoyang-goyang mau jatuh. Tentu saja Tio Ciu In menjadi kaget sekali.
"Suhu! Suhu! Kau kenapa....?"
Wajah itu tengadah kembali. Sambil menghela napas ia berkata, "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir. Emmm, In-ji. Coba katakan! Siapa saja pendekar persilatan yang ada di tempat ini? Sebutkan satu persatu!"
Tio Ciu In menjadi lega kembali. Lalu disebutnya pendekar yang berada di arena itu satu persatu. Pendekar yang belum pernah dia kenal, hanya ia sebutkan ciri-cirinya. Disamping itu Tio Ciu In juga menyebutkan lawan yang mereka hadapi.
Pendekar itu tertegun ketika Tio Ciu In menyebutkan nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Tapi ia segera mengalihkan perhatiannya.
"Jadi mereka itu benar-benar... pasu¬kan Hun? Baiklah, In-ji. Aku akan men¬coba menolong Panglima Yap Kim keluar dari benteng ini. Tapi kau jangan pergi ke mana-mana. Tetaplah di tempat ini. Berteriaklah kalau ada yang menggang¬gumu."
Sementara itu Panglima Yap Kim hampir tidak berkedip memandang pen¬dekar itu. Ternyata orang itu adalah orang yang dilihatnya melempar-lempar-kan prajurit Hun tadi. Dan setelah dekat, serasa ada sesuatu yang dikenalnya pada pendekar itu.
Di lain pihak, Pendekar Buta telah berjalan mendekati pertempuran, yaitu pertempuran antara Mo Goat dengan Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.
Semua orang melihat ada enam orang Mo Goat yang mengurung Chin Tong Sia. Tetapi bagi orang buta seperti Pendekar Buta, yang mengamati pertempuran itu dari indera tubuhnya yang lain, pertem¬puran di depannya itu hanya berlangsung antara seorang melawan dua orang saja.
Memang menurut pengamatan Pende¬kar Buta, orang dikeroyok itu memiliki ilmu silat yang sangat aneh. Orang itu mampu memecah tenaganya menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dapat digunakan untuk menyerang lawan dari berbagai arah.
Sementara itu munculnya Pendekar Buta di arena itu benar-benar mengejut¬kan Mo Goat. Walau sudah lima tahun, tapi gadis itu tidak pernah melupakan orang yang pernah mengalahkan ilmu silatnya.
"Hou-ko! Kau ingat orang yang ku¬ceritakan itu? Dia berada di sini...!" Gadis itu berteriak kepada Mo Hou.
Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong terkejut, tapi tidak tahu apa yang di¬maksudkan lawannya. Mereka berdua hanya melihat seorang lelaki mengenakan pakaian tukang kebun, datang mengham¬piri mereka. Lelaki separuh baya itu ke¬lihatan sedang mengerahkan tenaga sak¬tinya.
Terdengar suara desis dari sela-sela bibir Pendekar Buta, seperti suara desis ribuan ular berbisa yang keluar dari liang¬nya. Dan berbareng dengan itu tercium pula bau amis yang menyengat hidung.
"Dia... dia...!" Panglima Yap Kim gelagapan.
Sekonyong-konyong tubuh Pendekar Buta itu mencelat ke depan. Demikian cepatnya, sehingga orang hanya melihat hembusan asap yang meluncur ke arena pertempuran. Gulungan asap itu menyam¬bar salah seorang dari- enam orang Mo Goat itu.
Mo Goat menghindar secepatnya, kemudian berbaur dengan Mo Goat yang lain. Tetapi Pendekar Buta itu terus saja memburunya, seolah-olah tidak ada Mo Goat lain di arena itu. Dia hanya meng¬elak atau menangkis bila Mo Goat yang lain itu menyerangnya.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong un¬tuk keluar dari arena. Mereka segera menghambur ke arena Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Tio Siau In.
Kedatangan Souw Giok Hong segera disambut ayah-ibunya dengan penuh ke¬gembiraan. Begitu berjumpa gadis ayu itu segera melapor.
"Ayah! Ibu! Aku sudah menemukan Cici Lian Cu....!"
"Souw Tai-hiap! Itu dia yang bernama, Souw Hong Lam!"
"Apaaaa...??" Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong berteriak bersama-sama. Begitu kerasnya teriakan mereka, sehingga Bayan Tanu menjadi kaget pula.
"Nanti aku ceritakan...!" Souw Giok Hong berseru gembira. Lupa bahwa me¬reka dalam kepungan musuh.
Tapi kedatangan Chin Tong Sia di arena Tio Siau In, disambut dengan ben¬tak kemarahan oleh gadis itu. Marah, karena tongkat Ho Bing mulai menyakiti tubuhnya.
"Mau apa kau ke sini? Mau ikut me¬ngeroyok aku? Majulah!"
Chin Tong Sia gelagapan tak dapat menjawab, sehingga Yok Ting Ting men¬jadi kasihan melihatnya. Sebenarnya gadis remaja ini amat senang dengan bantuan Chin Tong Sia. Dia dan Tio Siau In me¬mang berada dalam kesulitan.
"Sudahlah, Cici. Dia hanya ingin membalas kita, urusan nanti kita selesaikan.
Bahu Chin Tong Sia masih terasa Sakit , namun tidak sesakit bentakan Siau In di hatinya. Tapi ketika dia bermaksud meninggalkan tempat itu, Tiat-tou me¬nyerangnya dari belakang. Wuuuus!
Chin Tong Sia segera menghindar. Otomatis tangannya menyambar lengan Tiat-tou. Thaaaas! Kedua lengan mereka bentrok satu sama lain. Akibatnya Si Kepala Besi itu terdorong mundur bebe¬rapa langkah. Untung pasukannya segera menolong. Mereka menyerbu Chin Tong Sia dari segala jurusan.
Chin Tong Sia tidak bisa mundur lagi. Dia terpaksa bertempur melawan pasukan khusus itu bersama-sama Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Dan kedatangannya itu memang sangat membantu gadis itu. Paling tidak mengurangi lawan Tio Siau In.
Di lain pihak kedatangan Pendekar Buta benar-benar menjadi neraka buat Mo Goat. Walaupun sudah berusaha seButa menjadi cemas. Dalam keributan atau pertempuran yang hingar-bingar dia tak mungkin bisa menolong Panglima Yap Kim. Oleh karena itu dia harus segera meringkus gadis itu sebagai sandera.
Pendekar Buta lalu mengerahkan ilmu silatnya yang lain, yang jarang sekali ia keluarkan. Terdengar tulang dan urat-uratnya saling membelit dan beradu satu sama lain.
Ketika akhirnya Mo Goat yang marah itu menyerang dengan jarum-jarum be¬racunnya, kedua tangan Pendekar Buta itu segera menyambar ke depan. Taburan jarum beracun itu tersapu habis oleh ki¬basan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap melaju ke depan, menuju ke arah muka Mo Goat.
Mo Goat cepat menarik kepalanya ke belakang. Tapi mulutnya menjerit keras sekali, ketika tangan itu tetap saja memburunya. Mati-matian gadis itu mem¬banting tubuhnya ke belakang.
Namun sekali lagi gadis itu berteriak ngeri. Lengan Pendekar Buta itu terus saja bertambah panjang, sehingga tangan itu tidak bisa dicegah lagi saat menceng¬keram pundak Mo Goat. Di lain saat gadis itu telah ditangkap oleh Pendekar Buta.
"Hou-ko! Tolong...!" Mo Goat menjerit keras.
Mo Hou terperanjat. Tanpa berpikir lagi pemuda itu melompat meninggalkan Put-pai-siu Hong-jin. Karena saat itu dia sedang mengerahkan Pat-sian-ih-hoat pada lapis yang teratas, maka gerakan¬nya sama sekali tidak terlihat oleh se¬mua orang. Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Pendekar Buta.
Put-pai-siu Hong-jin yang ditinggal¬kan, termangu-mangu di tempatnya. Ka¬kek buruk rupa itu tidak segera tahu kalau lawannya telah pergi.
"Tikus kecil! Dimana kau....?"
"Suheng, mengapa kau. memaki aku? Apa kau tidak mempunyai lawan lagi?" Tak terduga Chin Tong 5ia menjawab umpatan Put-pai-siu Hong-jin.
Dasar manusia sinting, kakek itu su¬dah melupakan keinginannya untuk men¬cari Mo Hou. Suara Chin Tong Sia telah merubah jalan pikirannya. Tiba-tiba saja ia ingin menggoda pemuda itu.
"Hei, Bocah Gendeng. Mengapa kau bersama gadis itu lagi? Apa gigimu ingin dipatahkan lagi?"
"Suheng, kemarilah! Bantu aku! Jangan berdiri diam saja."
"Hohoho, baik. Aku senang sekali. Di situ banyak musuhnya."
Lalu tanpa berbasa-basi lagi kakek buruk rupa itu segera menghambur ke dalam pertempuran. Gayanya yang kocak dan seenaknya sendiri itu membikin ge¬mas dan marah lawan-lawannya. Apalagi begitu masuk kakek itu sudah mengobral pukulan dan tendangan yang sulit dihin¬darkan.
Sementara itu para prajurit Hun yang mengepung tempat tersebut menjadi be¬ringas. Mereka menjadi marah karena Mo Goat tertangkap musuh. Hampir saja me¬reka menyerbu ke dalam arena pertem¬puran, kalau Mo Hou tidak segera meng¬hentikan mereka. Mo Hou sangat meng¬khawatirkan keadaan adiknya. Dia takut orang buta itu akan membunuh Mo Goat.
"Bagus. Tampaknya kau yang memim¬pin pasukan ini. Siapakah namamu, Anak Muda? Apakah kau salah seorang dari panglima Raja Mo Tan?" Sambil tetap mencengkeram punggung Mo Goat, Pen¬dekar Buta bertanya kepada Mo Hou.
Mo Hou menggeram menahan marah. "Namaku Mo Hou, putera Raja Mo Tan. Memang aku yang memimpin pasukan ini. Nah, lepaskan adikku! Kalau tidak, pasu¬kanku akan segera membunuh teman-temanmu!"
Pendekar Buta mengangkat mukanya. Suaranya terdengar kaku ketika menjawab ucapan Mo Hou,
"Kalau benar-benar putera Raja Mo Tan, engkau tentu mengenal Bok Siang Ki, ketua partai Soa-hu-pai."
"Beliau adalah guruku, beliau telah diangkat menjadi Pendeta Agung Ulan Kili oleh ayahku."
"Pendeta Agung? Apakah dia telah menyelesaikan tingkat terakhir dari Pat-sian-ih-hoat? Dia sudah mahir menghilang?"
Bukan main kagetnya Mo Hou. Orang buta di depannya itu seperti mengetahui segala hal tentang gurunya. Siapa dia?
"Kau... kau mengenal guruku? Siapakah kau?"
"Sudahlah. Lebih baik kau tanyakan sendiri kepada gurumu. Yang jelas gurumu tentu akan memperingatkan, agar kau tidak terlalu dekat dengan aku. Apalagi sampai melawan aku."
"Sombong sekali!"
Pendekar Buta menghela napas panjang. "Sudahlah, perintahkan saja prajurit-prajuritmu menyingkir. Biarkan kami membawa Panglima Yap Kim keluar dari benteng ini. Di luar nanti akan kulepas¬kan adikmu."
"Tidak bisa! Lepaskan adikku, atau... kuperintahkan pasukanku membunuh ka¬lian semua!" Mo Hou berseru marah.
"Begitukah? Baik! Majulah! Akan kuremukkan dulu kepala gadis ini, baru kita berkelahi!" Pendekar Buta berseru pula. Tangannya diangkat ke atas, siap untuk menghajar kepala Mo Goat.
Pasukan Hun menjadi beringas lagi. Mereka mengacung-acungkan senjata mereka dan siap untuk menerjang ke arena. Sebaliknya Mo Hou menjadi bimbang. Wajahnya bertambah kusut.
"Pengecut! Kalau berani, lawanlah aku! Jangan berlindung di balik nyawa perempuan! Bertempurlah dengan aku! Satu lawan satu!" Akhirnya Mou Hou menjerit marah.
Pendekar Buta tertegun. "Kau menantang aku? Wah, kau akan benar-benar dimarahi gurumu nanti."
"Diam! Lihat pukulanku!"
Mo Hou tidak dapat mengekang diri lagi. Tubuhnya melesat ke depan sambil mengayunkan kipasnya. Begitu bergerak dia sudah menggunakan tingkat akhir dari Pat-sian-ih-hoatnya. Tak seorang pun dari sekian ratus orang yang mengurung tem¬pat itu, yang dapat melihat dirinya. Semuanya mengira kalau tubuhnya hilang begitu saja. Kali ini Mo Hou memang ingin menunjukkan kesaktiannya.
Semua orang memang melihat bahwa Mo Hou menghilang. Tapi tidak demikian halnya dengan Pendekar Buta. Sebagai orang buta yang biasa mengandalkan perasaan dan indera tubuh selain mata¬nya, ia tetap dapat merasakan hembusan angin yang datang menerpa dirinya. Dan sentuhan angin lembut itu sudah cukup memberitahukan dia, bahwa ada orang yang mendekat dan menyerang tubuhnya.
Tanpa melepaskan tubuh Mo Goat, Pendekar Buta mengelak ke samping, lalu membalas dengan menyodokkan siku ka¬nannya ke belakang. Mo Hou yang tidak terlihat oleh mata itu terperanjat, dan cepat-cepat melenting menjauhkan diri. Sesaat pemuda itu merasa heran melihat lawannya tidak terpengaruh oleh ilmunya. Namun sebentar kemudian ia menjadi sadar pula akan kebodohannya. Lawannya buta, sehingga tidak ada bedanya, dirinya kelihatan atau tidak.
Mo Hou lalu berputar sambil menotok bahu kanan Pendekar Buta. Wusss! Kipas¬nya yang tergulung itu menyambar bahu lawannya. Sengaja dia menyerang sambil berputar untuk mengurangi getaran udara yang keluar dari kipasnya.
Sambil mengempit tubuh Mo Goat di ketiaknya, Pendekar Buta merendahkan tubuhnya. Betapapun kecil getaran itu, ternyata Pendekar Buta masih dapat menciumnya. Bahkan sambil merendah pendekar itu masih sempat menyabetkan rambut panjangnya ke leher Mo Hou. Taaaar! Ujung rambut itu melecut di udara, karena Mo Hou keburu mengelak ke samping.
Demikianlah mereka bertempur se¬makin lama semakin sengit. Dan per¬tempuran itu sama sekali tidak dime¬ngerti oleh orang lain. Bagi mereka Pen¬dekar Buta itu bermain silat sendirian. Kalaupun sekali-sekali tubuh Mo Hou itu kelihatan, mereka juga tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Namun bagi Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti, pertempuran itu benar-benar mentakjubkan. Mereka me¬mang tidak dapat melihat Mo Hou, tapi mereka yakin bahwa Pendekar Buta itu sedang bertempur dengan Mo Hou. Oleh karena itu bagi mereka kesaktian Pen¬dekar Buta sungguh amat hebat. Betapa tidak? Ilmu sihir aneh >ang sempat membingungkan Put-pai-siu Hong-jin itu ternyata tidak berpengaruh apa-apa ter¬hadap Pendekar Buta. Padahal pendekar itu masih membawa tubuh Mo Goat pula.
Sementara itu situasi pertempuran di arena yang lain tetap belum berubah. Souw Thian Hai dan anak-isterinya tetap dikepung Bayan Tanu bersama pasukan pilihannya. Pasukan khusus yang berke¬lompok dan berlapis-lapis sehingga sulit sekali ditembus.
Demikian pula dengan keadaan Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Walaupun sudah dibantu Chin Tong Sia dan Put-pai-siu Hong-jin, mereka tetap belum bisa keluar dari kepungan. Memang, ke¬datangan Put-pai-siu Hong-jin dan Chin Tong Sia sangat menolong mereka. Te¬tapi pasukan khusus itu memang kuat se¬kali. Untunglah dengan gaya bertempur Put-pai-siu Hong-jin yang angin-anginan itu, pasukan pilihan itu tidak berani ter¬lalu mendesak.
Hanya pertempuran A Liong yang mulai menampakkan hasilnya. Walau se¬orang diri harus menghadapi enam jago pilihan dari Raja Mo Tan, tapi akhirnya pemuda itu dapat menguasai lawannya. Ilmu Pedang Pelangi yang belum pernah terlihat di dunia persilatan itu ternyata dapat menggempur Barisan Enam Hantu. Satu persatu Barisan Enam Hantu yang sangat ditakuti orang itu terlepas dari kelompoknya.
Mula-mula Ang-kui atau Si Hantu Merah, hantu paling muda dalam kelom¬pok itu, terpental keluar dari barisannya. Hantu Merah itu tergores pedang pelangi pada betisnya, yaitu pada saat dia dan saudaranya gagal menangkis pedang A Liong.
Barisan Enam Hantu itu semakin ka¬cau. Hek-kui segera berteriak mengatur barisan mereka. Ui-kui yang terluka le¬ngannya segera menempatkan diri di belakang barisan. Sedangkan Ang-kui yang terluka betisnya, tidak mampu bangkit lagi. Darah mengalir deras dari luka itu.
"Kalian tetap belum mau menyerah Baik! Akan kupotong kaki kalian satu persatu!" A Liong mengancam.
Benar juga. Belum habis pemuda itu mengucapkan ancamannya, pedang beng¬koknya telah terlepas dari tangan, dan terbang berputar-putar di udara. Ketika kemudian A Liong mengalihkan perhatian mereka dengan pukulan jarak jauhnya, tiba-tiba pedang itu menukik kembali dan menyambar Ui-kui di belakang barisan.
"Aduh...!" Hantu Kuning itu menjerit kesakitan.
Ui-kui jatuh ke tanah sambil memegangi lengan kirinya. Kini kedua lengan¬nya tidak dapat digunakan lagi. Pisaunya juga hilang entah ke mana.
Kini tinggal empat orang saja diantara Lok-kui-tin yang masih dapat bertempur. Hek-kui saling pandang dengan saudara-saudaranya. Mereka mulai berpikir untuk mengerahkan pasukan khusus.
Namun sebelum Hek-kui memberi perintah, tiba-tiba terdengar suara jeritan Mo Hou! Ketika Lok-kui-tin memandang ke arena itu, mereka menyaksikan dua majikan mudanya telah berada dalam genggaman Pendekar Buta!
"Apa... a-apa yang terjadi?" Hek-kui memekik bingung.
A Liong juga melihat ke tempat itu. Dia melihat seorang lelaki berpakaian tukang kebun mencengkeram punggung Mo Hou dan Mo Goat. A Liong juga diam saja ketika sisa-sisa Lok-kui-tin itu menghampiri Pendekar Buta.
Mo Hou tidak berkutik di tangan Pendekar Buta. Dia sama sekali tidak menduga kalau lawannya memiliki ilmu silat aneh, yang dapat mengecoh dirinya, sehingga dia terjebak pula seperti adik¬nya.
Ternyata Pendekar Buta itu dapat membuat tangan atau kakinya lebih pan¬jang daripada semestinya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, Pendekar Buta itu dapat melepas engsel sendinya, sehingga lengan dan kakinya dapat ditekuk dan di¬gerakkan ke segala arah.
Mo Hou juga terjebak ketika suatu saat berada di belakang Pendekar Buta. Sama sekali dia tak menyangka ketika tiba-tiba tangan pendekar itu menghan¬tam ke belakang seperti layaknya kalau tangan itu menghanam sasaran di muka¬nya. Ketika dia mencoba menghindar, ternyata lengan itu bertambah panjang, sehingga dengan mudah menotok urat di lehernya.
"Nah! Kau kalah, Anak Muda. Kau bukan tandinganku. Mungkin hanya gurumu yang dapat melayani aku. Itu pun kalau ilmunya sudah lebih baik daripada dulu." Pendekar Buta berkata ketus.
"Apa maumu sekarang?" Mo Hou berseru kesal.
Pendekar Buta membawa kedua tawanannya itu ke depan Tio Ciu In. Ketika Hek-kui bersama tiga saudaranya mengejar dan mengurung, Pendekar Buta menghardik mereka.
"Semuanya berhenti bertempur! Lihat...! Nyawa pimpinan kalian berada dalam genggamanku! Apakah kalian menginginkan kematian mereka?"
Suara Pendekar Buta itu benar-benar mengejutkan prajurit Hun. Semuanya berhenti bertempur. Termasuk juga Bayan Tanu, Ho Bing, dan seluruh pasukan khusus mereka.
Para tokoh persilatan yang tersisa segera berkumpul di dekat Pangeran Liu Wan Ti. Mereka menunggu perintah Pendekar Buta.
"Suhu! Para pendekar telah berkumpul di sini. Apa yang harus kami lakukan?" Tio Ciu In bertanya kepada gurunya.
Pendekar Buta mengangguk, kemudian membentak Hek-kui dan Pek-kui yang berdiri di depannya.
"Bagus! Nah, kalian dengar itu? Sekarang perintahkan kepada pasukan kalian untuk mundur! Aku tidak main-main! Kedua orang ini menjadi jaminannya!"
"Hek-kui...! Kau...!" Mo Hou membuka mulutnya.
Tapi belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, Pendekar Buta sudah lebih dulu menotok urat gagunya.
Hek-kui bertukar pandang dengan Pek-kui. Mereka merupakan pimpinan tertinggi setelah Mo Hou dan Mo Goat. Dengan tertangkapnya kedua pimpinan mereka itu, otomatis kini mereka berdua yang harus menentukan jalan pertempuran selanjutnya.
"Cepat lakukan! Atau kalian ingin gadis ini yang kubunuh lebih dahulu?
Baik...!" Pendekar Buta menggertak sam bil mengangkat Mo Goat di atas kepalanya.
Pendekar Buta sengaja mencengkeram jalan darah pao-si-hiat di dekat tulang punggung Mo Goat, sehingga gadis itu meringis kesakitan.
Hek-kui gemetar. Pikirannya menjadi bingung: Dia dan saudara-saudaranya tak mungkin bisa hidup bila kedua putera Raja Mo Tan itu mati. Tapi kalau me¬reka melepaskan Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti, mereka akan men¬dapat marah pula.
"Baiklah! Akan kami lakukan!" Tiba-tiba Pek-kui berseru.
"Pek-kui...?" Hek-kui berbisik pelan.
"Apa boleh buat. Masih ada waktu lain untuk membunuh mereka. Tapi tak ada kesempatan kedua bila dua junjungan kita itu mati. Bagaimana pendapatmu, Hek-kui?" Pek-kui menarik napas pedih.
Hek-kui mengangguk-anggukkan kepa¬lanya. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Pendekar Buta bernapas lega. Tangannya turun kembali.
"Kalau begitu lekas kalian perintahkan mereka untuk memberi jalan kepada kami! Siapkan pula dua perahu besar dan satu sampan kecil untuk kami!"
"Suhu...?" Tio Ciu In mendekati guru¬nya.
"In-ji! Kumpulkan teman-temanmu! Minta kepada mereka untuk mengikut di belakangku!"
Pek-kui dan Hek-kui terpaksa menuruti perintah Pendekar Buta. Mereka menyi¬bakkan prajurit Hun yang memenuhi tempat itu. Mereka juga harus mengha¬langi serta membujuk keberingasan praju¬rit Hun. Mereka benar-benar tidak meng¬inginkan orang buta itu membunuh Mo Hou dan Mo Goat.
Dalam perjalanan ke pintu gerbang itulah Tio Siau In bertemu dengan A Liong. Betapa gembiranya gadis itu, se¬hingga Chin Tong Sia menjadi iri meli¬hatnya.
Sebaliknya pertemuan antara Kwe Tek Hun dengan Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu In terasa kaku dan kikuk, karena Liu Wan yang mereka kenal dulu ter- i nyata adalah Pangeran Liu Wan Ti.
Ketika melewati kumpulan tawanan yang masih hidup, A Liong berteriak, "Locianpwe! Bagaimana dengan teman-teman kita yang tertawan itu?"
"Bawa mereka!" Pendekar Buta ber¬seru tegas.
"Baik!"
A Liong melesat pergi, diikuti Chin Tong Sia dan Kwee Tek Hun. Bertiga , mereka mengurus para pendekar persilatan yang tertawan itu dan membawa mereka pergi. Para pendekar yang terluka dipapah atau digendong perraekar lainnya.
Akhirnya rombongan itu menjadi ba¬nyak sekali. Mungkin lebih dari tiga pu¬luh orang. Mereka berbondong-bondong pergi ke pintu gerbang benteng. Setiap kali melewati mayat-mayat para pende¬kar yang tewas mereka berdesah sedih.
Matahari mulai bergulir ke barat. Panasnya benar-benar menyengat ubun-ubun. Di depan pintu gerbang, di bawah -tang¬ga, telah disiapkan dua perahu besar dan satu sampan kecil. Tampak belasan prajurit Hun berjaga-jaga di sekitar perahu tersebut.
"Aku mendengar suara air. In-ji, apakah kita telah sampai di pintu gerbang benteng? Apakah mereka telah menyiap¬kan perahu untuk kita?"
"Sudah, Suhu. Ada belasan prajurit yang menjaga perahu itu."
"Suruh mereka pergi!"
Hek-kui memberi isyarat kepada pra¬jurit-prajurit itu agar pergi meninggalkan perahu. A Liong dan Chin Tong Sia se¬gera meloncat* ke depan mendahului yang lain. Mereka memeriksa perahu tersebut lebih dahulu.
"Bagaimana, Saudara Chin? Baik dan aman?" Souw Giok Hong berseru kepada Chin Tong Sia.
"Marilah! Semuanya beres!" A Liong menjawab seruan itu.
"Nanti dulu...!" Pek-kui berseru dan melompat ke depan Pendekar Buta. "Ba¬gaimana dengan kedua pimpinan kami itu? Kami telah menuruti permintaanmu. Sekarang kau harus menepati janji pula. Bebaskan mereka!"
Pendekar Buta menggeram. "Jangan takut. Aku tentu akan membebaskan mereka. Tapi aku juga tidak sebodoh yang kau kira. Kami baru melepas mereka setelah semuanya pergi."

"Suhu...? Engkau tidak pergi bersama-sama kami?" Tio Ciu In memegangi lengan gurunya.

"Jagalah dirimu baik-baik, In-ji. Aku tentu mencarimu nanti. Nih! Ambil sapu¬tangan ini! Berikan kepada Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim setelah semuanya aman! Mengerti....?"

"Sudanlah. Ikuti saja perintahku."

A Liong maju ke depan. "Locianpwe, biarlah aku menemanimu. Siapa tahu mereka berlaku curang?"

"Tidak usah, Anak Muda. Kau pergi saja bersama yang lain."

Para pendekar itu., mengikuti Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti ke dalam perahu. Mereka dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing mendapat satu perahu. Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti berada dalam satu perahu, sementara Souw Thian Hai dan keluarga¬nya di perahu lainnya. Mereka segera berangkat setelah mengucapkan terima kasih kepada Pendekar Buta.

Beberapa waktu kemudian dua perahu besar itu telah menghilang dari pandang¬an. Kini tinggal Pendekar Buta yang ma¬sih tinggal di tempat itu. Dia tinggal sendirian, dikelilingi Hek-kui dan sau¬dara-saudaranya. Bahkan ribuan prajurit Hun yang ada di dalam benteng itu ikut mengepung pula.

Perlahan-lahan Pendekar Buta mem¬bawa Mo Hou dan Mo Goat menuruni SJahgga. HwABi dan samlara-saudaranya mengikuti dari belakang. Sementara itu Bayan Tanu dan pasukannya tetap meng¬awasi dari kejauhan. Semuanya siap un¬tuk menyerang Pendekar Buta.

Sampai di bawah Pendekar Buta me¬masang telinganya. Suara kecipak air menjilat kayu, memberi petunjuk dimana sampan kecil itu berada. Dan pendekar itu segera melompat ke dalam sampan.

"Nih, terimalah!" Pendekar itu berseru sambil melemparkan tubuh Mo Hou dan Mo Goat ke atas tangga.

Selesai mengembalikan tawanan pen¬dekar itu rnenepukkan tangannya ke da¬lam air. Plak! Plak! Plak! Tiba-tiba sam¬pan kecil itu terbang ke tengah sungai. Ratusan anak panah segera bertaburan dari atas tembok, memburu sampan itu. Ternyata para prajurit Hun yang berada di atas tembok telah menyiapkan serang¬an anak panah.

Pendekar Buta segera melepas bajunya dan menangkis hujan anak panah itu. Cuma sebentar, karena hujan panah itu segera berhenti. Sampan itu telah berada di luar jangkauan anak panah.

Sementara itu perahu yang ditumpangi Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti melaju terus tanpa berhenti. Se¬muanya lupa lapar, lupa haus, dan lupa lelah. Yang mereka pikirkan hanya me¬nyingkir jauh-jauh dari benteng itu.

Akhirnya mereka mendarat di sebuah dusun di tepian sungai. Penduduknya me¬nyebut dusun itu Ui-kang-cung.

Kepala dusun Ui-kang-cung segera menyongsong dan menjamu mereka. Apalagi ketika dia tahu bahwa yang datang adalah Pangeran Liu Wan Ti dan bekas Panglima Yap Kim. Daerah itu memang daerah para pengagum Panglima Yap Kim.

"Pangeran...! Kedatangan Pangeran di dusun ini sungguh suatu keberuntungan yang tidak kami sangka sebelumnya. Ba¬gaimana tidak? Kebetulan sekali dusun ini menjadi ajang perjuangan para pende¬kar yang ingin menumbangkan kekuasaan Ouyang Goanswe." Kepala Dusun itu me¬lapor kepada Liu Wan Ti.

"Menjadi ajang perjuangan para pen¬dekar...?" Pangeran Liu Wan Ti mengerutkan keningnya.

"Benar, Pangeran. Akan hamba tunjuk¬kan tempat mereka bila Pangeran meng¬hendaki."

Pangeran Liu Wan Ti mengawasi Pa¬nglima Yap Kim untuk meminta penda¬pat. Dan panglima itu segera mengang¬gukkan kepalanya.

"Lebih baik kita melihatnya, Pange¬ran."

Demikianlah, Kemala Dusun itu lalu membawa mereka ke suatu tempat di pinggiran sungai. Di sana tampak ribuan tenda memenuhi tepian Sungai Huang-ho.

"Gila! Ini benar-benar kekuatan yang maha dahsyat!" Panglima Yap Kim ber¬desah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa yang memimpin para pejuang ini?" Pangeran Liu Wan Ti bertanya ke¬pada Kepala Dusun Ui-kang-cung.

"Jenderal Yo Keng, Pangeran."

Pangeran Liu Wan Ti terkejut. "Kau¬maksudkan... Jenderal Yo Keng dari perbatasan itu?"

"Benar, Pangeran. Dulu beliau diutus Kongsun Goanswe ke kota raja untuk menemui Menteri Kui Hua Sin. Tapi sampai di istana beliau malah hampir dibunuh oleh Auyang Goanswe. Akhirnya Jenderal Yo Keng pulang, dan di sepan¬jang jalan beliau mengumpulkan para pejuang yang ingin menumbangkan keku¬asaan Auyang Goanswe. Sekarang pejuang yang bergabung dengan Jenderal Yo Keng telah mencapai ribuan."

Demikianlah, malam itu juga Pangli¬ma Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti menemui Jenderal Yo Keng. Bukan main gembiranya jenderal itu karena sejak dulu ia sangat mengagumi Panglima Yap Kim maupun Pangeran Liu Wan Ti. Bah¬kan kedatangannya ke kota raja dulu juga untuk memberitahukan munculnya Pangeran Liu Wan Ti di perbatasan. ?

Ketika berita kedatangan Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti itu diumumkan kepada para pejuang, mereka menyambut dengan gegap gempita. Dan jadilah malam itu mereka berpesta-pora menyambut kehadiran Panglima Yap Kim dan Putera Mahkota.

Kebetulan malam itu bulan muncul dengan terangnya. Maka dengan disaksi¬kan oleh gemerlapnya bintang di langit, Panglima Yap Kim dikukuhkan sebagai pimpinan dari para pejuang itu. Semen¬tara para pendekar yang lain, seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Kwe Tai-hiap, Put-pai-siu ? ^ng-jin, A Liong, Tio Ciu In dan lain-lainnya, ikut membantu pula dari belakang.

Para pendekar itu lalu berkumpul di tepian sungai. Mereka bergerombol sam¬bil menikmati aliran sungai di atas bebatuan.

"Sayang sekali Pendekar Buta tidak ikut hadir di tengah-tengah kita. Di ma¬na dia sekarang?" Panglima Yap Kim bergumam perlahan.

"Benar, Saudara Yap. Kita banyak berhutang budi kepadanya. Tanpa perto¬longannya, kita semua sudah mati di dalam benteng itu. Ilmu silatnya benar-benar hebat».." Sow Thian Hai berkata pula.

"Tapi omong-omong... rasanya aku pernah mengenal gaya ilmu silatnya. Tapi aku benar-benar sudah lupa. Apakah Souw Tai-hiap juga berpikir demikian?"

"Entahlah. Semuanya serba cepat, dan aku sendiri sedang repot menghadapi la¬wan, sehingga tidak memperhatikan ilmu silatnya."

"Hai...!" Tiba-tiba Panglima Yap Kim tersentak kaget. "Aku ingat sekarang! Ilmu silat itu... ilmu silat itu...? Ah, dia... Pangeran Liu Yang Kun!"

"Pangeran... Liu Yang Kun?" Semua¬nya berseru kaget.

"Benar, Souw Tai-hiap. Sekarang aku ingat ilmu silat yang digunakan untuk menangkap putera Raja Mo Tan itu. Na¬manya... Kim-coa-ih-hoat (Baju Ular Emas)! Yah, benar... namanya Kim-coa-ih-hoat! Hanya Pangeran Liu Yang Kun saja di dunia ini yang memiliki ilmu silat itu."

"Benarkah? 3adi... dia masih hidup?"

"Wah, sungguh menyenangkan kalau dia masih hidup. Kita dapat memperte¬mukan Enci Lian Cu dengan suaminya." Sekonyong-konyong Souw Giok Hong ber¬sorak gembira sambil memeluk ibunya.

"Eh, aku lupa membawa titipan sapu¬tangan dari guruku!" Tio Ciu In ikut-ikutan berteriak.
Gadis itu merogoh sakunya dan me¬ngeluarkan saputangan putih. Saputangan itu lalu diserahkan kepada Pangeran Liu Wan Ti.

"Maaf, Pangeran. Aku benar-benar lupa. Guruku berpesan untuk memberikan saputangan ini kepadamu atau kepada anglima Yap Kim."

Pangeran Liu Wan Ti menerima saputangan itu dengan perasaan heran. Tapi jantungnya segera berdegup keras ketika melihat tulisan di atas saputangan itu. ,

Adikku,
Kau yang berbakat mengurus negara.
Kuserahkan segalanya kepadamu.
Kakakmu,


"Benar. Dia... dia memang Pangeran Liu Yang Kun!" Panglima Yap Kim berdesah panjang.

Sejenak pertemuan itu menjadi sunyi, masing-masing memikirkan sepak terjang pangeran yang amat sakti itu. Hanya golongan muda seperti A Liong yang tidak tahu cerita tentang Pangeran Liu Yang Kun.


"Wah, tampaknya ilmu silat Pangeran itu tinggi sekali, ya?" A Liong yang duduk di dekat Tio Siau In itu berkata perlahan.


"Tentu saja. Bagaimana mungkin dia bisa menyelamatkan kita kalau ilmusilat-nya biasa-biasa saja. Lalu... bagaimana dengan keinginanmu dulu? Katanya kau ingin mendaki Gunung Hoa-san? Bagai¬mana? Jadi tidak?" Tio Siau In tersenyum menggoda.


“Wah, Cici. Kau ini baru bertemu sudah mengajak berantem”


Demikianlah, mulai malam itu Pangran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim bersumpah untuk melawan kekuasaan Auyang Goanswe. Mereka bahu-membahu memimpin para pejuang demi menegakkan keadilan di negeri mereka.

Tamat (walau belum tamat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT