Tio Ciu In benar-benar sedih melihat kesulitan adiknya. Matanya berkaca-kaca. Lima tahun mereka berpisah. Kini me¬reka bertemu justru dalam situasi yang tidak menyenangkan. Dan celakanya dia sendiri juga terluka parah, sehingga tidak bisa menolong adiknya.
"Tak kusangka nasib kami sangat me¬nyedihkan. Tidak ada orang tua, tidak ada kebahagiaan. Ada guru yang mem¬besarkan kami, tapi sekarang guru juga menjadi korban keganasan perang. Aaah...."
Dalam kesedihannya tiba-tiba terlintas wajah Pendekar Buta, gurunya yang lain. Meski buta tapi memiliki kesaktian yang hebat.
“Ah, dimana guru sekarang ? Apakah dia juga menjadi korban perang besar ini ? mengapa dia tidak muncul-muncul?
Saking teganganya bibir Tio Ciu In bergetar menyanyikan lagu kesukaan Pendekar Buta. Mulanya hanya perlahan, tapi semakin lama semakin keras, sehingga akhirnya suara itu melengking tinggi penuh getaran tenaga dalam.
“Apabila di malam yang gelap gulita,
Tiba-tiba muncul bulan purnama,
Alam pun tersentak dari tidurnya,
Untuk menyambut kehangatan Sang Pelita malam.
Kekasihku …… !
Aku selalu mengharapkan kehadiranmu.. !
Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim kaget, bekas panglima itu memandang Tio Ciu In dengan bingung sekilas ia menyangka gadis itu menjadi gila. Namun dugaan itu segera dihapusnya.
Sebaliknya Pangeran Liu Wan Ti men¬jadi berdebar-debar hatinya. Masih ter¬ingat di benaknya peristiwa lima tahun lalu di kota Hang-ciu. Kala itu Tio Ciu In juga bernyanyi seperti sekarang, dan tiba-tiba muncul seorang pendekar sakti bermata buta menolong mereka.
"Apakah Nona Tio hendak meminta pertolongan pendekar buta itu lagi?"
Ternyata nyanyian itu sampai ke te¬linga Kwe Tek Hun pula. Pemuda yang sedang bertempur di samping ayahnya itu mempunyai pendapat yang sama dengan Pangeran Liu Wan Ti. Ia juga teringat peristiwa mengerikan di kota Hang-ciu itu. Peristiwa yang membuat Ku Jing San kehilangan salah satu kakinya.
Belum juga lagu itu habis dinyanyikan oleh Tio Ciu In, tiba-tiba terdengar suara gemuruh mendekati tempat itu. Suara itu seperti suara angin atau badai yang me¬nerjang pepohonan.
"In-ji...!" Aku datang! Bertahanlah!"
Bersamaan dengan hilangnya suara gemuruh itu, seorang lelaki separuh baya telah berdiri di depan Tio Ciu In. Wajah¬nya sama sekali tidak kelihatan karena tertutup oleh rambut putih yang terurai lepas di mukanya.
"Auuh...!" Pada saat yang sama Chin Tong Sia justru mengeluh karena pundak¬nya tergores kipas Mo Goat.
Souw Giok Hong terkejut. "Saudara Chin, kau terluka....?"
Walau tidak parah tapi kipas itu mengandung racun sehingga bahu Chin Tong Sia terasa linu sekali. Untung ia selalu membawa obat pemunah racun di sakunya. Walau tidak segera sembuh, tapi racunnya tidak berbahaya lagi.
"Nona Souw, berhati-hatilah! Kipas itu mengandung racun!"
Sementara itu pendekar Buta telah memegang lengan T.o Ciu In. Tubuhnya tiba-tiba bergetar begitu mengetahui ke¬adaan gadis itu.
"Siapa yang melukaimu? Siapa? Kata-kan!" Katanya kaku.
Tio Ciu In tak kuasa lagi memben¬dung air matanya. "Suhu, tolonglah me¬reka? Mereka itu para pendekar persilat¬an yang ingin membebaskan Panglima Yap Kim. Sekarang mereka dalam kesu¬litan. Pasukan Hun telah mengepung tempat ini. Tidak ada jalan untuk meloloskan diri."
"Apakah panglima itu sudah dapat di¬bebaskan?"
"Sudah, Suhu. Beliau juga ada di sini sekarang. Beliau berada di sebelah kananmu."
Wajah tertutup rambut itu kelihatan kaget sekali.
"Baiklah, aku akan mencoba menolong mereka." Ucapnya kemudian dengan terburu-buru.
Tapi ketika Pendekar Buta hendak berlalu, Tio Ciu In cepat meraih lengannya.
"Suhu! Di sini juga ada Pangeran Liu Wan Ti."
"A-apa...?" Sekali lagi Pendekar Buta itu terkejut.
"Benar, Suhu. Beliau duduk di dekat Panglima Yap Kim. Mereka berdua terluka parah seperti aku."
Pendekar itu menundukkan mukanya dalam-dalam. Sejenak tubuhnya seperti bergoyang-goyang mau jatuh. Tentu saja Tio Ciu In menjadi kaget sekali.
"Suhu! Suhu! Kau kenapa....?"
Wajah itu tengadah kembali. Sambil menghela napas ia berkata, "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir. Emmm, In-ji. Coba katakan! Siapa saja pendekar persilatan yang ada di tempat ini? Sebutkan satu persatu!"
Tio Ciu In menjadi lega kembali. Lalu disebutnya pendekar yang berada di arena itu satu persatu. Pendekar yang belum pernah dia kenal, hanya ia sebutkan ciri-cirinya. Disamping itu Tio Ciu In juga menyebutkan lawan yang mereka hadapi.
Pendekar itu tertegun ketika Tio Ciu In menyebutkan nama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Tapi ia segera mengalihkan perhatiannya.
"Jadi mereka itu benar-benar... pasu¬kan Hun? Baiklah, In-ji. Aku akan men¬coba menolong Panglima Yap Kim keluar dari benteng ini. Tapi kau jangan pergi ke mana-mana. Tetaplah di tempat ini. Berteriaklah kalau ada yang menggang¬gumu."
Sementara itu Panglima Yap Kim hampir tidak berkedip memandang pen¬dekar itu. Ternyata orang itu adalah orang yang dilihatnya melempar-lempar-kan prajurit Hun tadi. Dan setelah dekat, serasa ada sesuatu yang dikenalnya pada pendekar itu.
Di lain pihak, Pendekar Buta telah berjalan mendekati pertempuran, yaitu pertempuran antara Mo Goat dengan Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.
Semua orang melihat ada enam orang Mo Goat yang mengurung Chin Tong Sia. Tetapi bagi orang buta seperti Pendekar Buta, yang mengamati pertempuran itu dari indera tubuhnya yang lain, pertem¬puran di depannya itu hanya berlangsung antara seorang melawan dua orang saja.
Memang menurut pengamatan Pende¬kar Buta, orang dikeroyok itu memiliki ilmu silat yang sangat aneh. Orang itu mampu memecah tenaganya menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian dapat digunakan untuk menyerang lawan dari berbagai arah.
Sementara itu munculnya Pendekar Buta di arena itu benar-benar mengejut¬kan Mo Goat. Walau sudah lima tahun, tapi gadis itu tidak pernah melupakan orang yang pernah mengalahkan ilmu silatnya.
"Hou-ko! Kau ingat orang yang ku¬ceritakan itu? Dia berada di sini...!" Gadis itu berteriak kepada Mo Hou.
Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong terkejut, tapi tidak tahu apa yang di¬maksudkan lawannya. Mereka berdua hanya melihat seorang lelaki mengenakan pakaian tukang kebun, datang mengham¬piri mereka. Lelaki separuh baya itu ke¬lihatan sedang mengerahkan tenaga sak¬tinya.
Terdengar suara desis dari sela-sela bibir Pendekar Buta, seperti suara desis ribuan ular berbisa yang keluar dari liang¬nya. Dan berbareng dengan itu tercium pula bau amis yang menyengat hidung.
"Dia... dia...!" Panglima Yap Kim gelagapan.
Sekonyong-konyong tubuh Pendekar Buta itu mencelat ke depan. Demikian cepatnya, sehingga orang hanya melihat hembusan asap yang meluncur ke arena pertempuran. Gulungan asap itu menyam¬bar salah seorang dari- enam orang Mo Goat itu.
Mo Goat menghindar secepatnya, kemudian berbaur dengan Mo Goat yang lain. Tetapi Pendekar Buta itu terus saja memburunya, seolah-olah tidak ada Mo Goat lain di arena itu. Dia hanya meng¬elak atau menangkis bila Mo Goat yang lain itu menyerangnya.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong un¬tuk keluar dari arena. Mereka segera menghambur ke arena Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Tio Siau In.
Kedatangan Souw Giok Hong segera disambut ayah-ibunya dengan penuh ke¬gembiraan. Begitu berjumpa gadis ayu itu segera melapor.
"Ayah! Ibu! Aku sudah menemukan Cici Lian Cu....!"
"Souw Tai-hiap! Itu dia yang bernama, Souw Hong Lam!"
"Apaaaa...??" Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong berteriak bersama-sama. Begitu kerasnya teriakan mereka, sehingga Bayan Tanu menjadi kaget pula.
"Nanti aku ceritakan...!" Souw Giok Hong berseru gembira. Lupa bahwa me¬reka dalam kepungan musuh.
Tapi kedatangan Chin Tong Sia di arena Tio Siau In, disambut dengan ben¬tak kemarahan oleh gadis itu. Marah, karena tongkat Ho Bing mulai menyakiti tubuhnya.
"Mau apa kau ke sini? Mau ikut me¬ngeroyok aku? Majulah!"
Chin Tong Sia gelagapan tak dapat menjawab, sehingga Yok Ting Ting men¬jadi kasihan melihatnya. Sebenarnya gadis remaja ini amat senang dengan bantuan Chin Tong Sia. Dia dan Tio Siau In me¬mang berada dalam kesulitan.
"Sudahlah, Cici. Dia hanya ingin membalas kita, urusan nanti kita selesaikan.
Bahu Chin Tong Sia masih terasa Sakit , namun tidak sesakit bentakan Siau In di hatinya. Tapi ketika dia bermaksud meninggalkan tempat itu, Tiat-tou me¬nyerangnya dari belakang. Wuuuus!
Chin Tong Sia segera menghindar. Otomatis tangannya menyambar lengan Tiat-tou. Thaaaas! Kedua lengan mereka bentrok satu sama lain. Akibatnya Si Kepala Besi itu terdorong mundur bebe¬rapa langkah. Untung pasukannya segera menolong. Mereka menyerbu Chin Tong Sia dari segala jurusan.
Chin Tong Sia tidak bisa mundur lagi. Dia terpaksa bertempur melawan pasukan khusus itu bersama-sama Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Dan kedatangannya itu memang sangat membantu gadis itu. Paling tidak mengurangi lawan Tio Siau In.
Di lain pihak kedatangan Pendekar Buta benar-benar menjadi neraka buat Mo Goat. Walaupun sudah berusaha seButa menjadi cemas. Dalam keributan atau pertempuran yang hingar-bingar dia tak mungkin bisa menolong Panglima Yap Kim. Oleh karena itu dia harus segera meringkus gadis itu sebagai sandera.
Pendekar Buta lalu mengerahkan ilmu silatnya yang lain, yang jarang sekali ia keluarkan. Terdengar tulang dan urat-uratnya saling membelit dan beradu satu sama lain.
Ketika akhirnya Mo Goat yang marah itu menyerang dengan jarum-jarum be¬racunnya, kedua tangan Pendekar Buta itu segera menyambar ke depan. Taburan jarum beracun itu tersapu habis oleh ki¬basan tangan kirinya, sementara tangan kanannya tetap melaju ke depan, menuju ke arah muka Mo Goat.
Mo Goat cepat menarik kepalanya ke belakang. Tapi mulutnya menjerit keras sekali, ketika tangan itu tetap saja memburunya. Mati-matian gadis itu mem¬banting tubuhnya ke belakang.
Namun sekali lagi gadis itu berteriak ngeri. Lengan Pendekar Buta itu terus saja bertambah panjang, sehingga tangan itu tidak bisa dicegah lagi saat menceng¬keram pundak Mo Goat. Di lain saat gadis itu telah ditangkap oleh Pendekar Buta.
"Hou-ko! Tolong...!" Mo Goat menjerit keras.
Mo Hou terperanjat. Tanpa berpikir lagi pemuda itu melompat meninggalkan Put-pai-siu Hong-jin. Karena saat itu dia sedang mengerahkan Pat-sian-ih-hoat pada lapis yang teratas, maka gerakan¬nya sama sekali tidak terlihat oleh se¬mua orang. Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Pendekar Buta.
Put-pai-siu Hong-jin yang ditinggal¬kan, termangu-mangu di tempatnya. Ka¬kek buruk rupa itu tidak segera tahu kalau lawannya telah pergi.
"Tikus kecil! Dimana kau....?"
"Suheng, mengapa kau. memaki aku? Apa kau tidak mempunyai lawan lagi?" Tak terduga Chin Tong 5ia menjawab umpatan Put-pai-siu Hong-jin.
Dasar manusia sinting, kakek itu su¬dah melupakan keinginannya untuk men¬cari Mo Hou. Suara Chin Tong Sia telah merubah jalan pikirannya. Tiba-tiba saja ia ingin menggoda pemuda itu.
"Hei, Bocah Gendeng. Mengapa kau bersama gadis itu lagi? Apa gigimu ingin dipatahkan lagi?"
"Suheng, kemarilah! Bantu aku! Jangan berdiri diam saja."
"Hohoho, baik. Aku senang sekali. Di situ banyak musuhnya."
Lalu tanpa berbasa-basi lagi kakek buruk rupa itu segera menghambur ke dalam pertempuran. Gayanya yang kocak dan seenaknya sendiri itu membikin ge¬mas dan marah lawan-lawannya. Apalagi begitu masuk kakek itu sudah mengobral pukulan dan tendangan yang sulit dihin¬darkan.
Sementara itu para prajurit Hun yang mengepung tempat tersebut menjadi be¬ringas. Mereka menjadi marah karena Mo Goat tertangkap musuh. Hampir saja me¬reka menyerbu ke dalam arena pertem¬puran, kalau Mo Hou tidak segera meng¬hentikan mereka. Mo Hou sangat meng¬khawatirkan keadaan adiknya. Dia takut orang buta itu akan membunuh Mo Goat.
"Bagus. Tampaknya kau yang memim¬pin pasukan ini. Siapakah namamu, Anak Muda? Apakah kau salah seorang dari panglima Raja Mo Tan?" Sambil tetap mencengkeram punggung Mo Goat, Pen¬dekar Buta bertanya kepada Mo Hou.
Mo Hou menggeram menahan marah. "Namaku Mo Hou, putera Raja Mo Tan. Memang aku yang memimpin pasukan ini. Nah, lepaskan adikku! Kalau tidak, pasu¬kanku akan segera membunuh teman-temanmu!"
Pendekar Buta mengangkat mukanya. Suaranya terdengar kaku ketika menjawab ucapan Mo Hou,
"Kalau benar-benar putera Raja Mo Tan, engkau tentu mengenal Bok Siang Ki, ketua partai Soa-hu-pai."
"Beliau adalah guruku, beliau telah diangkat menjadi Pendeta Agung Ulan Kili oleh ayahku."
"Pendeta Agung? Apakah dia telah menyelesaikan tingkat terakhir dari Pat-sian-ih-hoat? Dia sudah mahir menghilang?"
Bukan main kagetnya Mo Hou. Orang buta di depannya itu seperti mengetahui segala hal tentang gurunya. Siapa dia?
"Kau... kau mengenal guruku? Siapakah kau?"
"Sudahlah. Lebih baik kau tanyakan sendiri kepada gurumu. Yang jelas gurumu tentu akan memperingatkan, agar kau tidak terlalu dekat dengan aku. Apalagi sampai melawan aku."
"Sombong sekali!"
Pendekar Buta menghela napas panjang. "Sudahlah, perintahkan saja prajurit-prajuritmu menyingkir. Biarkan kami membawa Panglima Yap Kim keluar dari benteng ini. Di luar nanti akan kulepas¬kan adikmu."
"Tidak bisa! Lepaskan adikku, atau... kuperintahkan pasukanku membunuh ka¬lian semua!" Mo Hou berseru marah.
"Begitukah? Baik! Majulah! Akan kuremukkan dulu kepala gadis ini, baru kita berkelahi!" Pendekar Buta berseru pula. Tangannya diangkat ke atas, siap untuk menghajar kepala Mo Goat.
Pasukan Hun menjadi beringas lagi. Mereka mengacung-acungkan senjata mereka dan siap untuk menerjang ke arena. Sebaliknya Mo Hou menjadi bimbang. Wajahnya bertambah kusut.
"Pengecut! Kalau berani, lawanlah aku! Jangan berlindung di balik nyawa perempuan! Bertempurlah dengan aku! Satu lawan satu!" Akhirnya Mou Hou menjerit marah.
Pendekar Buta tertegun. "Kau menantang aku? Wah, kau akan benar-benar dimarahi gurumu nanti."
"Diam! Lihat pukulanku!"
Mo Hou tidak dapat mengekang diri lagi. Tubuhnya melesat ke depan sambil mengayunkan kipasnya. Begitu bergerak dia sudah menggunakan tingkat akhir dari Pat-sian-ih-hoatnya. Tak seorang pun dari sekian ratus orang yang mengurung tem¬pat itu, yang dapat melihat dirinya. Semuanya mengira kalau tubuhnya hilang begitu saja. Kali ini Mo Hou memang ingin menunjukkan kesaktiannya.
Semua orang memang melihat bahwa Mo Hou menghilang. Tapi tidak demikian halnya dengan Pendekar Buta. Sebagai orang buta yang biasa mengandalkan perasaan dan indera tubuh selain mata¬nya, ia tetap dapat merasakan hembusan angin yang datang menerpa dirinya. Dan sentuhan angin lembut itu sudah cukup memberitahukan dia, bahwa ada orang yang mendekat dan menyerang tubuhnya.
Tanpa melepaskan tubuh Mo Goat, Pendekar Buta mengelak ke samping, lalu membalas dengan menyodokkan siku ka¬nannya ke belakang. Mo Hou yang tidak terlihat oleh mata itu terperanjat, dan cepat-cepat melenting menjauhkan diri. Sesaat pemuda itu merasa heran melihat lawannya tidak terpengaruh oleh ilmunya. Namun sebentar kemudian ia menjadi sadar pula akan kebodohannya. Lawannya buta, sehingga tidak ada bedanya, dirinya kelihatan atau tidak.
Mo Hou lalu berputar sambil menotok bahu kanan Pendekar Buta. Wusss! Kipas¬nya yang tergulung itu menyambar bahu lawannya. Sengaja dia menyerang sambil berputar untuk mengurangi getaran udara yang keluar dari kipasnya.
Sambil mengempit tubuh Mo Goat di ketiaknya, Pendekar Buta merendahkan tubuhnya. Betapapun kecil getaran itu, ternyata Pendekar Buta masih dapat menciumnya. Bahkan sambil merendah pendekar itu masih sempat menyabetkan rambut panjangnya ke leher Mo Hou. Taaaar! Ujung rambut itu melecut di udara, karena Mo Hou keburu mengelak ke samping.
Demikianlah mereka bertempur se¬makin lama semakin sengit. Dan per¬tempuran itu sama sekali tidak dime¬ngerti oleh orang lain. Bagi mereka Pen¬dekar Buta itu bermain silat sendirian. Kalaupun sekali-sekali tubuh Mo Hou itu kelihatan, mereka juga tidak dapat melihatnya dengan jelas.
Namun bagi Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti, pertempuran itu benar-benar mentakjubkan. Mereka me¬mang tidak dapat melihat Mo Hou, tapi mereka yakin bahwa Pendekar Buta itu sedang bertempur dengan Mo Hou. Oleh karena itu bagi mereka kesaktian Pen¬dekar Buta sungguh amat hebat. Betapa tidak? Ilmu sihir aneh >ang sempat membingungkan Put-pai-siu Hong-jin itu ternyata tidak berpengaruh apa-apa ter¬hadap Pendekar Buta. Padahal pendekar itu masih membawa tubuh Mo Goat pula.
Sementara itu situasi pertempuran di arena yang lain tetap belum berubah. Souw Thian Hai dan anak-isterinya tetap dikepung Bayan Tanu bersama pasukan pilihannya. Pasukan khusus yang berke¬lompok dan berlapis-lapis sehingga sulit sekali ditembus.
Demikian pula dengan keadaan Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Walaupun sudah dibantu Chin Tong Sia dan Put-pai-siu Hong-jin, mereka tetap belum bisa keluar dari kepungan. Memang, ke¬datangan Put-pai-siu Hong-jin dan Chin Tong Sia sangat menolong mereka. Te¬tapi pasukan khusus itu memang kuat se¬kali. Untunglah dengan gaya bertempur Put-pai-siu Hong-jin yang angin-anginan itu, pasukan pilihan itu tidak berani ter¬lalu mendesak.
Hanya pertempuran A Liong yang mulai menampakkan hasilnya. Walau se¬orang diri harus menghadapi enam jago pilihan dari Raja Mo Tan, tapi akhirnya pemuda itu dapat menguasai lawannya. Ilmu Pedang Pelangi yang belum pernah terlihat di dunia persilatan itu ternyata dapat menggempur Barisan Enam Hantu. Satu persatu Barisan Enam Hantu yang sangat ditakuti orang itu terlepas dari kelompoknya.
Mula-mula Ang-kui atau Si Hantu Merah, hantu paling muda dalam kelom¬pok itu, terpental keluar dari barisannya. Hantu Merah itu tergores pedang pelangi pada betisnya, yaitu pada saat dia dan saudaranya gagal menangkis pedang A Liong.
Barisan Enam Hantu itu semakin ka¬cau. Hek-kui segera berteriak mengatur barisan mereka. Ui-kui yang terluka le¬ngannya segera menempatkan diri di belakang barisan. Sedangkan Ang-kui yang terluka betisnya, tidak mampu bangkit lagi. Darah mengalir deras dari luka itu.
"Kalian tetap belum mau menyerah Baik! Akan kupotong kaki kalian satu persatu!" A Liong mengancam.
Benar juga. Belum habis pemuda itu mengucapkan ancamannya, pedang beng¬koknya telah terlepas dari tangan, dan terbang berputar-putar di udara. Ketika kemudian A Liong mengalihkan perhatian mereka dengan pukulan jarak jauhnya, tiba-tiba pedang itu menukik kembali dan menyambar Ui-kui di belakang barisan.
"Aduh...!" Hantu Kuning itu menjerit kesakitan.
Ui-kui jatuh ke tanah sambil memegangi lengan kirinya. Kini kedua lengan¬nya tidak dapat digunakan lagi. Pisaunya juga hilang entah ke mana.
Kini tinggal empat orang saja diantara Lok-kui-tin yang masih dapat bertempur. Hek-kui saling pandang dengan saudara-saudaranya. Mereka mulai berpikir untuk mengerahkan pasukan khusus.
Namun sebelum Hek-kui memberi perintah, tiba-tiba terdengar suara jeritan Mo Hou! Ketika Lok-kui-tin memandang ke arena itu, mereka menyaksikan dua majikan mudanya telah berada dalam genggaman Pendekar Buta!
"Apa... a-apa yang terjadi?" Hek-kui memekik bingung.
A Liong juga melihat ke tempat itu. Dia melihat seorang lelaki berpakaian tukang kebun mencengkeram punggung Mo Hou dan Mo Goat. A Liong juga diam saja ketika sisa-sisa Lok-kui-tin itu menghampiri Pendekar Buta.
Mo Hou tidak berkutik di tangan Pendekar Buta. Dia sama sekali tidak menduga kalau lawannya memiliki ilmu silat aneh, yang dapat mengecoh dirinya, sehingga dia terjebak pula seperti adik¬nya.
Ternyata Pendekar Buta itu dapat membuat tangan atau kakinya lebih pan¬jang daripada semestinya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, Pendekar Buta itu dapat melepas engsel sendinya, sehingga lengan dan kakinya dapat ditekuk dan di¬gerakkan ke segala arah.
Mo Hou juga terjebak ketika suatu saat berada di belakang Pendekar Buta. Sama sekali dia tak menyangka ketika tiba-tiba tangan pendekar itu menghan¬tam ke belakang seperti layaknya kalau tangan itu menghanam sasaran di muka¬nya. Ketika dia mencoba menghindar, ternyata lengan itu bertambah panjang, sehingga dengan mudah menotok urat di lehernya.
"Nah! Kau kalah, Anak Muda. Kau bukan tandinganku. Mungkin hanya gurumu yang dapat melayani aku. Itu pun kalau ilmunya sudah lebih baik daripada dulu." Pendekar Buta berkata ketus.
"Apa maumu sekarang?" Mo Hou berseru kesal.
Pendekar Buta membawa kedua tawanannya itu ke depan Tio Ciu In. Ketika Hek-kui bersama tiga saudaranya mengejar dan mengurung, Pendekar Buta menghardik mereka.
"Semuanya berhenti bertempur! Lihat...! Nyawa pimpinan kalian berada dalam genggamanku! Apakah kalian menginginkan kematian mereka?"
Suara Pendekar Buta itu benar-benar mengejutkan prajurit Hun. Semuanya berhenti bertempur. Termasuk juga Bayan Tanu, Ho Bing, dan seluruh pasukan khusus mereka.
Para tokoh persilatan yang tersisa segera berkumpul di dekat Pangeran Liu Wan Ti. Mereka menunggu perintah Pendekar Buta.
"Suhu! Para pendekar telah berkumpul di sini. Apa yang harus kami lakukan?" Tio Ciu In bertanya kepada gurunya.
Pendekar Buta mengangguk, kemudian membentak Hek-kui dan Pek-kui yang berdiri di depannya.
"Bagus! Nah, kalian dengar itu? Sekarang perintahkan kepada pasukan kalian untuk mundur! Aku tidak main-main! Kedua orang ini menjadi jaminannya!"
"Hek-kui...! Kau...!" Mo Hou membuka mulutnya.
Tapi belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, Pendekar Buta sudah lebih dulu menotok urat gagunya.
Hek-kui bertukar pandang dengan Pek-kui. Mereka merupakan pimpinan tertinggi setelah Mo Hou dan Mo Goat. Dengan tertangkapnya kedua pimpinan mereka itu, otomatis kini mereka berdua yang harus menentukan jalan pertempuran selanjutnya.
"Cepat lakukan! Atau kalian ingin gadis ini yang kubunuh lebih dahulu?
Baik...!" Pendekar Buta menggertak sam bil mengangkat Mo Goat di atas kepalanya.
Pendekar Buta sengaja mencengkeram jalan darah pao-si-hiat di dekat tulang punggung Mo Goat, sehingga gadis itu meringis kesakitan.
Hek-kui gemetar. Pikirannya menjadi bingung: Dia dan saudara-saudaranya tak mungkin bisa hidup bila kedua putera Raja Mo Tan itu mati. Tapi kalau me¬reka melepaskan Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti, mereka akan men¬dapat marah pula.
"Baiklah! Akan kami lakukan!" Tiba-tiba Pek-kui berseru.
"Pek-kui...?" Hek-kui berbisik pelan.
"Apa boleh buat. Masih ada waktu lain untuk membunuh mereka. Tapi tak ada kesempatan kedua bila dua junjungan kita itu mati. Bagaimana pendapatmu, Hek-kui?" Pek-kui menarik napas pedih.
Hek-kui mengangguk-anggukkan kepa¬lanya. Tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Pendekar Buta bernapas lega. Tangannya turun kembali.
"Kalau begitu lekas kalian perintahkan mereka untuk memberi jalan kepada kami! Siapkan pula dua perahu besar dan satu sampan kecil untuk kami!"
"Suhu...?" Tio Ciu In mendekati guru¬nya.
"In-ji! Kumpulkan teman-temanmu! Minta kepada mereka untuk mengikut di belakangku!"
Pek-kui dan Hek-kui terpaksa menuruti perintah Pendekar Buta. Mereka menyi¬bakkan prajurit Hun yang memenuhi tempat itu. Mereka juga harus mengha¬langi serta membujuk keberingasan praju¬rit Hun. Mereka benar-benar tidak meng¬inginkan orang buta itu membunuh Mo Hou dan Mo Goat.
Dalam perjalanan ke pintu gerbang itulah Tio Siau In bertemu dengan A Liong. Betapa gembiranya gadis itu, se¬hingga Chin Tong Sia menjadi iri meli¬hatnya.
Sebaliknya pertemuan antara Kwe Tek Hun dengan Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu In terasa kaku dan kikuk, karena Liu Wan yang mereka kenal dulu ter- i nyata adalah Pangeran Liu Wan Ti.
Ketika melewati kumpulan tawanan yang masih hidup, A Liong berteriak, "Locianpwe! Bagaimana dengan teman-teman kita yang tertawan itu?"
"Bawa mereka!" Pendekar Buta ber¬seru tegas.
"Baik!"
A Liong melesat pergi, diikuti Chin Tong Sia dan Kwee Tek Hun. Bertiga , mereka mengurus para pendekar persilatan yang tertawan itu dan membawa mereka pergi. Para pendekar yang terluka dipapah atau digendong perraekar lainnya.
Akhirnya rombongan itu menjadi ba¬nyak sekali. Mungkin lebih dari tiga pu¬luh orang. Mereka berbondong-bondong pergi ke pintu gerbang benteng. Setiap kali melewati mayat-mayat para pende¬kar yang tewas mereka berdesah sedih.
Matahari mulai bergulir ke barat. Panasnya benar-benar menyengat ubun-ubun. Di depan pintu gerbang, di bawah -tang¬ga, telah disiapkan dua perahu besar dan satu sampan kecil. Tampak belasan prajurit Hun berjaga-jaga di sekitar perahu tersebut.
"Aku mendengar suara air. In-ji, apakah kita telah sampai di pintu gerbang benteng? Apakah mereka telah menyiap¬kan perahu untuk kita?"
"Sudah, Suhu. Ada belasan prajurit yang menjaga perahu itu."
"Suruh mereka pergi!"
Hek-kui memberi isyarat kepada pra¬jurit-prajurit itu agar pergi meninggalkan perahu. A Liong dan Chin Tong Sia se¬gera meloncat* ke depan mendahului yang lain. Mereka memeriksa perahu tersebut lebih dahulu.
"Bagaimana, Saudara Chin? Baik dan aman?" Souw Giok Hong berseru kepada Chin Tong Sia.
"Marilah! Semuanya beres!" A Liong menjawab seruan itu.
"Nanti dulu...!" Pek-kui berseru dan melompat ke depan Pendekar Buta. "Ba¬gaimana dengan kedua pimpinan kami itu? Kami telah menuruti permintaanmu. Sekarang kau harus menepati janji pula. Bebaskan mereka!"
Pendekar Buta menggeram. "Jangan takut. Aku tentu akan membebaskan mereka. Tapi aku juga tidak sebodoh yang kau kira. Kami baru melepas mereka setelah semuanya pergi."
"Suhu...? Engkau tidak pergi bersama-sama kami?" Tio Ciu In memegangi lengan gurunya.
"Jagalah dirimu baik-baik, In-ji. Aku tentu mencarimu nanti. Nih! Ambil sapu¬tangan ini! Berikan kepada Pangeran Liu Wan Ti dan Panglima Yap Kim setelah semuanya aman! Mengerti....?"
"Sudanlah. Ikuti saja perintahku."
A Liong maju ke depan. "Locianpwe, biarlah aku menemanimu. Siapa tahu mereka berlaku curang?"
"Tidak usah, Anak Muda. Kau pergi saja bersama yang lain."
Para pendekar itu., mengikuti Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti ke dalam perahu. Mereka dibagi menjadi dua bagian, dan masing-masing mendapat satu perahu. Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti berada dalam satu perahu, sementara Souw Thian Hai dan keluarga¬nya di perahu lainnya. Mereka segera berangkat setelah mengucapkan terima kasih kepada Pendekar Buta.
Beberapa waktu kemudian dua perahu besar itu telah menghilang dari pandang¬an. Kini tinggal Pendekar Buta yang ma¬sih tinggal di tempat itu. Dia tinggal sendirian, dikelilingi Hek-kui dan sau¬dara-saudaranya. Bahkan ribuan prajurit Hun yang ada di dalam benteng itu ikut mengepung pula.
Perlahan-lahan Pendekar Buta mem¬bawa Mo Hou dan Mo Goat menuruni SJahgga. HwABi dan samlara-saudaranya mengikuti dari belakang. Sementara itu Bayan Tanu dan pasukannya tetap meng¬awasi dari kejauhan. Semuanya siap un¬tuk menyerang Pendekar Buta.
Sampai di bawah Pendekar Buta me¬masang telinganya. Suara kecipak air menjilat kayu, memberi petunjuk dimana sampan kecil itu berada. Dan pendekar itu segera melompat ke dalam sampan.
"Nih, terimalah!" Pendekar itu berseru sambil melemparkan tubuh Mo Hou dan Mo Goat ke atas tangga.
Selesai mengembalikan tawanan pen¬dekar itu rnenepukkan tangannya ke da¬lam air. Plak! Plak! Plak! Tiba-tiba sam¬pan kecil itu terbang ke tengah sungai. Ratusan anak panah segera bertaburan dari atas tembok, memburu sampan itu. Ternyata para prajurit Hun yang berada di atas tembok telah menyiapkan serang¬an anak panah.
Pendekar Buta segera melepas bajunya dan menangkis hujan anak panah itu. Cuma sebentar, karena hujan panah itu segera berhenti. Sampan itu telah berada di luar jangkauan anak panah.
Sementara itu perahu yang ditumpangi Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti melaju terus tanpa berhenti. Se¬muanya lupa lapar, lupa haus, dan lupa lelah. Yang mereka pikirkan hanya me¬nyingkir jauh-jauh dari benteng itu.
Akhirnya mereka mendarat di sebuah dusun di tepian sungai. Penduduknya me¬nyebut dusun itu Ui-kang-cung.
Kepala dusun Ui-kang-cung segera menyongsong dan menjamu mereka. Apalagi ketika dia tahu bahwa yang datang adalah Pangeran Liu Wan Ti dan bekas Panglima Yap Kim. Daerah itu memang daerah para pengagum Panglima Yap Kim.
"Pangeran...! Kedatangan Pangeran di dusun ini sungguh suatu keberuntungan yang tidak kami sangka sebelumnya. Ba¬gaimana tidak? Kebetulan sekali dusun ini menjadi ajang perjuangan para pende¬kar yang ingin menumbangkan kekuasaan Ouyang Goanswe." Kepala Dusun itu me¬lapor kepada Liu Wan Ti.
"Menjadi ajang perjuangan para pen¬dekar...?" Pangeran Liu Wan Ti mengerutkan keningnya.
"Benar, Pangeran. Akan hamba tunjuk¬kan tempat mereka bila Pangeran meng¬hendaki."
Pangeran Liu Wan Ti mengawasi Pa¬nglima Yap Kim untuk meminta penda¬pat. Dan panglima itu segera mengang¬gukkan kepalanya.
"Lebih baik kita melihatnya, Pange¬ran."
Demikianlah, Kemala Dusun itu lalu membawa mereka ke suatu tempat di pinggiran sungai. Di sana tampak ribuan tenda memenuhi tepian Sungai Huang-ho.
"Gila! Ini benar-benar kekuatan yang maha dahsyat!" Panglima Yap Kim ber¬desah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Siapa yang memimpin para pejuang ini?" Pangeran Liu Wan Ti bertanya ke¬pada Kepala Dusun Ui-kang-cung.
"Jenderal Yo Keng, Pangeran."
Pangeran Liu Wan Ti terkejut. "Kau¬maksudkan... Jenderal Yo Keng dari perbatasan itu?"
"Benar, Pangeran. Dulu beliau diutus Kongsun Goanswe ke kota raja untuk menemui Menteri Kui Hua Sin. Tapi sampai di istana beliau malah hampir dibunuh oleh Auyang Goanswe. Akhirnya Jenderal Yo Keng pulang, dan di sepan¬jang jalan beliau mengumpulkan para pejuang yang ingin menumbangkan keku¬asaan Auyang Goanswe. Sekarang pejuang yang bergabung dengan Jenderal Yo Keng telah mencapai ribuan."
Demikianlah, malam itu juga Pangli¬ma Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti menemui Jenderal Yo Keng. Bukan main gembiranya jenderal itu karena sejak dulu ia sangat mengagumi Panglima Yap Kim maupun Pangeran Liu Wan Ti. Bah¬kan kedatangannya ke kota raja dulu juga untuk memberitahukan munculnya Pangeran Liu Wan Ti di perbatasan. ?
Ketika berita kedatangan Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti itu diumumkan kepada para pejuang, mereka menyambut dengan gegap gempita. Dan jadilah malam itu mereka berpesta-pora menyambut kehadiran Panglima Yap Kim dan Putera Mahkota.
Kebetulan malam itu bulan muncul dengan terangnya. Maka dengan disaksi¬kan oleh gemerlapnya bintang di langit, Panglima Yap Kim dikukuhkan sebagai pimpinan dari para pejuang itu. Semen¬tara para pendekar yang lain, seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, Kwe Tai-hiap, Put-pai-siu ? ^ng-jin, A Liong, Tio Ciu In dan lain-lainnya, ikut membantu pula dari belakang.
Para pendekar itu lalu berkumpul di tepian sungai. Mereka bergerombol sam¬bil menikmati aliran sungai di atas bebatuan.
"Sayang sekali Pendekar Buta tidak ikut hadir di tengah-tengah kita. Di ma¬na dia sekarang?" Panglima Yap Kim bergumam perlahan.
"Benar, Saudara Yap. Kita banyak berhutang budi kepadanya. Tanpa perto¬longannya, kita semua sudah mati di dalam benteng itu. Ilmu silatnya benar-benar hebat».." Sow Thian Hai berkata pula.
"Tapi omong-omong... rasanya aku pernah mengenal gaya ilmu silatnya. Tapi aku benar-benar sudah lupa. Apakah Souw Tai-hiap juga berpikir demikian?"
"Entahlah. Semuanya serba cepat, dan aku sendiri sedang repot menghadapi la¬wan, sehingga tidak memperhatikan ilmu silatnya."
"Hai...!" Tiba-tiba Panglima Yap Kim tersentak kaget. "Aku ingat sekarang! Ilmu silat itu... ilmu silat itu...? Ah, dia... Pangeran Liu Yang Kun!"
"Pangeran... Liu Yang Kun?" Semua¬nya berseru kaget.
"Benar, Souw Tai-hiap. Sekarang aku ingat ilmu silat yang digunakan untuk menangkap putera Raja Mo Tan itu. Na¬manya... Kim-coa-ih-hoat (Baju Ular Emas)! Yah, benar... namanya Kim-coa-ih-hoat! Hanya Pangeran Liu Yang Kun saja di dunia ini yang memiliki ilmu silat itu."
"Benarkah? 3adi... dia masih hidup?"
"Wah, sungguh menyenangkan kalau dia masih hidup. Kita dapat memperte¬mukan Enci Lian Cu dengan suaminya." Sekonyong-konyong Souw Giok Hong ber¬sorak gembira sambil memeluk ibunya.
"Eh, aku lupa membawa titipan sapu¬tangan dari guruku!" Tio Ciu In ikut-ikutan berteriak.
Gadis itu merogoh sakunya dan me¬ngeluarkan saputangan putih. Saputangan itu lalu diserahkan kepada Pangeran Liu Wan Ti.
"Maaf, Pangeran. Aku benar-benar lupa. Guruku berpesan untuk memberikan saputangan ini kepadamu atau kepada anglima Yap Kim."
Pangeran Liu Wan Ti menerima saputangan itu dengan perasaan heran. Tapi jantungnya segera berdegup keras ketika melihat tulisan di atas saputangan itu. ,
Adikku,
Kau yang berbakat mengurus negara.
Kuserahkan segalanya kepadamu.
Kakakmu,
Komentar
Posting Komentar