PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 27

 



KEBERINGASAN mereka justru di¬manfaatkan oleh pasukan Hun. Para komandan pasukan Hun yang cerdik itu segera mengatur siasat. Mereka meng¬giring pendekar-pendekar itu ke dalam jebakan, sehingga banyak diantara pendekar yang jatuh ke dalam perangkap. Mereka terpisah dari kawan-kawannya dan terkurung dalam kepungan. Dan me¬reka segera dikeroyok dan dicincang seperti binatang buruan.


Korban semakin banyak. Baik di pihak para pendekar, maupun di pihak pasukan Hun. Namun karena jumlah pasukan Hun lebih banyak, maka pasukan para pende¬kar itu semakin terdesak.

Matahari naik semakin tinggi. Panas¬nya mulai membakar arena. Bau darah dan keringat' bercampur dengan kepulan asap dan debu. Pertempuran sudah ber¬langsung hampir setengah hari. ,
Diam-diam Liu Wan menjadi khawatir. Walaupun tidak dapat melihat seluruhnya, tapi ia merasa kesulitan berada di pihak¬nya.

"Eh? Mengapa Souw Hong Lam belum juga muncul? Kemana dia?"

Tampaknya kekhawatiran Liu Wan itu dirasakan pula oleh Yap Kim. Bekas panglima yang mahir ilmu perang itu sadar pula bahwa mereka dalam kesulitan. Dari suara terompet dan genderang yang terdengar, sudah dapat ditebak apa yang terjadi.

Tapi mereka bertiga tidak dapat ber¬buat banyak. Keenam bentuk Mo Hou itu hampir tidak pernah memberi kesempatan untuk berpikir. Mereka benar-benar dalam kesulitan. Bahkan berkali-kali mereka ha¬rus jatuh bangun untuk menghindari se¬rangan Mo Hou..

Baik Liu Wan maupun Si Pelayan Dapur sudah tidak dapat lagi melindungi alat penyamaran mereka. Satu persatu alat penyamaran mereka terlepas.

"Saudara A Liong...!?" Liu Wan men¬coba memanggil A Liong yang bertempur dengan barisan Lok-kui-tin.

"Aku di sini, Locianpwe!"

Pemuda itu hanya mampu menjawab, tapi tidak dapat berbuat apa-apa. Dia sendiri sedang berjuang menghadapi ba¬risan Liok-kui-tin. Mereka bertempur di atas tembok dan genting. Mereka ber¬gerak cepat sekali. Berputar-putar bagai¬kan kelompok hantu yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Begitu kuat¬nya angin pukulan mereka, sehingga debu dan daun beterbangan ke segala penjuru. Membuat orang-orang pada menyingkir dan menjauhi tempat itu.

Sementara itu keenam bayangan Mo Hou sudah dapat menguasai Yap Kim bertiga. Keenam buah kipas baja itu me¬layang-layang di sekitar lawannya. Pe¬muda sakti itu masih menunggu saat yang tepat untuk memilih mangsanya. Dan hal itu memang segera ia lakukan.

"Aduuuh!"

Kipas Mo Hou menyerempet punggung dan kepala Si Pelayan Dapur kemudian menghajar dada Liu Wan. Begitu kuatnya sehingga Liu Wan memuntahkan darah segar.
Yap Kim bergegas melepaskan pukul¬an petirnya untuk menahan serangan berikutnya. Dia benar-benar melepaskan seluruh kemampuannya dan tidak mem¬perhitungkan lagi kesehatannya. Dia tidak peduli lagi kalau kekuatannya akan ter¬kuras habis.

Dhuuuuar....!

Pukulan itu memang dapat mendorong bayangan Mo Hou ke belakang. Tapi ber¬samaan dengan itu tubuh Liu Wan dan Si Pelayan Dapur juga jatuh ke tanah.

Topi dan baju tebal Si Pelayan Dapur terkoyak dan terlepas. Begitu pula de¬ngan bantal dan jenggot Liu Wan. Alat penyamaran kedua orang itu sudah tidak berfungsi lagi.
"Heiii???" Mo Hou dan Yap Kim ber¬seru kaget. Otomatis Mo Hou dan kelima kembarannya melompat mundur.
Yap Kim ternganga menyaksikan wa¬jah Liu Wan dan Si Pelayan Dapur. Tiba-tiba saja mereka berdua berubah menjadi seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik. Dan wajah pemuda itu segera dikenal oleh Yap Kim.

"Pangeran Liu Wan Ti....?"

"Apa? Pangeran?" Seruan Yap Kim itu segera diikuti pula .oleh jeritan gadis cantik Si Pelayan Dapur yang tidak lain adalah Tio Ciu In itu.
Segumpal darah segar tiba-tiba me¬nyembur lagi dari mulut Liu Wan atau Pangeran Liu Wan Ti. Pangeran Mahkota yang telah menghilang hampir sepuluh tahun itu tampak pucat sekali. Pukulan gagang kipas fcju telah melukai isi dada¬nya. Meskipun demikian pemuda itu ma¬sih bisa tersenyum kepada Tio Ciu In.
"Nona Tio...? Aaaah!"
"Liu Toako? Kau benar-benar Pange¬ran Liu Wan Ti?"
Tak terduga Mo Hou tertawa gembira. Karena kelima kembarannya juga ikut tertawa, maka suaranya menjadi riuh se¬kali.
"Hahaha... aku benar-benar tidak me¬nyangka kalau Pangeran Mahkota yang dicari-cari itu ada di sini! Sungguh kebetulan sekali! Sekali tepuk kudapatkan dua harimau sekaligus! Hmmmh!"
Munculnya Pangeran Liu Wan Ti di tempat itu memang mengejutkan semua orang. Lima tahun lamanya pangeran itu dicari dan ditunggu-tunggu kedatangan¬nya. Tak terduga pangeran itu muncul dalam situasi yang sulit seperti itu.
Keenam bayangan Mo Hou itu kembali bergabung menjadi satu lagi. Dengan wa¬jah puas pemuda itu memandang ketiga lawannya. Mereka sudah tak berdaya lagi. Pangeran Liu Wan Ti terluka dalam. Tio Ciu In terluka punggungnya. Sedang¬kan Yap Kim berdiri lemah di tempatnya. Bekas panglima itu benar-benar kehabisan tenaga setelah melepaskan pukulan petir¬nya.
"Nah! Kuberi waktu untuk berunding! Siapa diantara kalian yang ingin kupeng-gal kepalanya lebih dahulu? Panglima Yap Kim? Atau... Pangeran Liu Wan Ti?"
"Jangan sombong! Aku belum .menye¬rah! Lihat pukulan...!" Tiba-tiba Tio Ciu In melompat sambil "menyerang Mo Hou.
Mo Hou berputar sambil melangkahkan kakinya ke belakang. Tubuhnya lalu meliuk ke samping sambil menyambar pinggang gadis itu.
Tentu saja Tio Ciu In tidak ingin ce¬laka. Dengan gesit ia menggeliat ke samping. Di lain saat tangannya telah memegang sepasang pedang pendek, dan langsung menyerang Mo Hou lagi. Lagi-lagi terasa udara menjadi padat sehingga Mo Hou sulit bernapas.
"Gila! Tampaknya kau mempunyai hu¬bungan perguruan dengan mendiang Bit-»!" Pemuda itu menggeram marah, fah, benar! Gadis itu memang meng-jnakan ilmu silat Bit-bo-ong! Tadi bo¬cah itu menggunakan Kim-liong Sin-kun, sekarang Pat-hong-sin-ciang! Apakah dia murid iblis itu?" Walaupun dalam keada¬an lemah Yap Kim masih juga berpikir tentang Tio Ciu In.
Mo Hou menghentakkan tenaganya. Sekejap tekanan udara itu mengendor. Dan kesempatan itu segera ia gunakan sebaik-baiknya. Ia melompat ke kiri sam¬bil menebaskan kipasnya ke tangan Tio Ciu In.
itu nyaris memotong pergelangan tangan Tio Ciu In. Untung dengan sisa-sisa tenaganya gadis itu berhasil meng¬elak. Gerakannya cepat bukan main.
Tio Cu In tidak mau memberi kesem¬patan pada lawannya. Walau punggungnya terasa sakit, tapi dia berusaha mati-ma¬tian untuk menahannya. Dia tak ingin pemuda itu membunuh Panglima Yap Kim dan Pangeran Liu Wan Ti.
Darah mulai merembes membasahi punggung Tio Cu In. Luka akibat goresan kipas itu mulai mengeluarkan darah. Un¬tunglah dalam penyamarannya tadi dia mengenakan pakaian berlapis-lapis, hingga sabetan kipas lawan lebih banyak mengiris pakaian daripada kulit punggungnya!
Selama tinggal di dalam gua Tio Ciu In mendapat banyak pelajaran dari Si Pendekar Buta. Pendekar berambut pan¬jang itu benar-benar memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Bahkan menurut Tio Ciu In, ilmu silat Pendekar Buta itu masih berada di atas Toat-beng-jin atau Lo-jin-ong!
Kini ilmu silat Tio Ciu In memang sudah melampaui Liu Wan. Tapi ilmu yang dia dapatkan itu ternyata masih jauh dari cukup untuk melawan Mo Hou. Putera Raja Mo Tan itu memang benar-benar hebat sekali.
Beberapa kali gadis itu terdorong mundur bila harus beradu tenaga dengan lawannya. Pedang pendeknya selalu ber¬getar bila beradu dengan kipas Mo Hou. Dan rasanya ia semakin sulit memper¬tahankan pedang itu.
"Lihatlah! Aku tak perlu memanggil enam orang kembaranku untuk mering¬kusmu! Bahkan sebenarnya aku juga tidak perlu menggunakan kipas ini untuk me-ngalahkanmu! Satu tangan kosong saja sudah cukup untuk membunuhmu!"
Tio Ciu In diam tak menjawab. Pe¬muda itu memang sangat sombong. Tapi kenyataannya memang benar. Dalam ke¬adaan terluka seperti sekarang, ia me¬mang tak lebih dari seekor anak ayam yang berusaha keras untuk melawan in¬duknya.
"Aduuuh!"
Sekali lagi Tio Ciu In memekik, kipas Mo Hou menyambar lengan kanannya dan hampir saja memutuskan urat nadinya, darah merembes keluar bersamaan dengan terlepasnya pedang yang tergengam di dalam tangan itu.
Lengan itu terasa nyeri dan sulit digerakkan, sementara luka di punggungnya juga semakin banyak mengeluarkan darah.
“Berdoalah! Tampaknya…. Engkaulah yang pertama akan mati oleh kipasku!” Mo Hou menggeram sambil mengangkat kipasnya tinggi-tinggi.
Kipas terbuat dari baja tipis itu berkelebat, terdengan suara mendesing saat kipas itu menyambar leher Tio Ciu In dan kali ini gadis itu memang tidak bisa berbuat banyak, walaupun masih ada pedang di tangan kirinya, tetapi luka di tangan dan punggunya membuat ia tidak leluasa menyalurkan tenaga dalamnya, satu-satunya jalan yang dapat dilakukan oleh Tio Ciu In hanya mengelak, itu pun hanya dapat dilakukan dengan cara melemparkan diri ke belakang dan ketika hal itu benar-benar dilakukannya maka sabetan kipas itu memang luput mengenai lehernya, Namun cara menghindar itu juga membuat posisi Tio Ciu In menjadi semakin sulit, tubuh Tio Ciu In terlentang diatas tanah, dengan demikian pertahanannnya menjadi terbuka dan otomatis dia tak bisa berbuat apa-apa menghadapi serangan Mo Hou berikutnya.
“Liu Toako…..!” tak terasa bibir gadis itu bergetar.
“nona Tio!” Liu Wan mencoba bangkit tapi segera jatuh kembali, wajahnya semakin pucat.
Mo Hou benar-benar membuktikan ancamannya, sekali lagi kipasnya menyambar ke leher Tio Ciu In, Wuuuu! Dan sekejap saja kipas itu sudah menempel di leher Tio Ciu In, namun pada saat yang sama seleret sinar merah tiba-tiba membentur daun kipas itu. Duk! Demikian kuatnya tenaga yang terkandung dalam sinar merah itu , sehingga kipas itu melenceng dan hampir terlepas dari gengaman Mo Hou!.
Mo Hou terkejut sekali. Terkejut dan marah. Dan dalam kemarahannya kekuat¬an ilmu sihir pemuda itu muncul dengan sendirinya! Wussss! Tiba-tiba saja pemuda gagah itu berubah menjadi mahluk yang sangat mengerikan!
Tubuh Mo Hou berkembang menjadi dua kali lipat besarnya. Sementara wa¬jahnya yang tampan itu berubah menjadi kasar dan berbulu lebat. Bahkan dari sela-sela giginya yang berubah menjadi tonggos itu menetes darah segar!
"Ooooh....???"
Tidak seorang pun yang tidak kaget menyaksikan pemandangan itu. Tidak ter¬kecuali Souw Hong Lam, orang yang baru saja datang dan menyelamatkan jiwa Tio Ciu In. Pemuda dari keluarga Souw itu sama sekali tidak menduga kalau totokan sinar merahnya membuat Mo Hou ber¬ubah menjadi raksasa.
"Souw-heng, awas...! Itu hanya ilmu sihir!" Liu Wan memberi peringatan.
Mo Hou yang telah berubah bentuk menjadi seorang raksasa itu menggeram. Matanya melotot seolah-olah mau keluar dari lobangnya.
"Siapakah kau? Sungguh berani sekali kau mengganggu dan melawanku!"
Suara itu terasa menggelegar di teli¬nga Souw Hong Lam. Membuat pemuda itu tiba-tiba tertegun dan merasa ngeri tanpa sebab. Rasanya wajah itu sangat menyeramkan sekali. Demikian menakut¬kan sehingga Souw Hong Lam tidak ingin melihatnya.
"Kau... kau...?" Souw Hong Lam ter¬bata-bata. Lehernya bagai tercekik.
Sementara itu Mo Hou telah meng¬angkat kipasnya. Perlahan-lahan kipas itu terayun ke bawah, siap untuk membelah tubuh Souw Hong Cam;
"Saudara Souw....!"
A Liong yang masih sibuk dengan ke¬royokan Lok-hui-tin itu tiba-tiba berte¬riak. Suaranya bergetar penuh tenaga. Demikian kuatnya sehingga pengaruh sihir yang mencekam hati Souw Hong Lam menjadi goyah.
Kesempatan itu segera dimanfaatkan oleh Souw Hong Lam. Dengan menghen¬takkan seluruh kekuatannya pemuda itu mengibaskan pengaruh sihir yang mencengkeram pikirannya. Dan begitu penga¬ruh sihir itu hilang, dia cepat-cepat me¬lompat ke depan untuk menyelamatkan Tio Ciu In dan membawanya ke tempat aman.
Namun bantuan itu justru berakibat buruk terhadap A Liong sendiri. Begitu perhatiannya terpecah, maka pukulan Lok-kui-tin menerobos pertahanannya dan menggempur bertubi-tubi. Keenam Hantu itu memang benar-benar tokoh berkepan¬daian tinggi.
Buk! Buk! A Liong terlempar ke ba¬wah.' Demikian cepatnya pukulan Enam Hantu itu sehingga A Liong tak mampu lagi menghindar.
Tapi dengan cepat A Liong bangkit kembali. Wajahnya menjadi merah. Pu¬kulan itu sangat menyakitinya, meskipun tidak sampai melukai kulitnya.
"Ah, kalian sungguh pandai mengguna¬kan kesempatan. Kalau begitu aku juga tidak akan segan-segan lagi. Awas, aku akan menggunakan senjata untuk menye¬lesaikan perkelahian ini."
Keenam Hantu itu benar-benar kaget.
Pukulan mereka ternyata tidak mampu membunuh pemuda itu. Pukulan berganda yang dapat meremukkan seekor gajah itu ternyata tidak berarti apa-apa bagi A Liong. Ternyata pemuda itu hanya ter¬lempar dari tempatnya.
Ang-kui yang paling berangasan di-antara Lok-kui-tin tampak bengong, se¬mentara saudara-saudaranya yang lain juga saling pandang dengan dahi berkerut.
"Bocah itu mempunyai tenaga tersem¬bunyi yang sangat hebat dalam tubuhnya. Kita... kita harus berhati-hati mengha¬dapinya," Hek-kui berdesah perlahan.
Ketika A Liong menghunus pedang anehnya, maka keenam hantu itu melangkah mundur. Pedang atau pisau panjang berbentuk aneh itu memantulkan sinar beraneka-warna, seperti pancaran sinar pelangi yang merebak dan mem¬bungkus mata pedang itu.
"Hati-hati! Pedang kecil itu memiliki perbawa aneh! Kita tidak boleh melawan¬nya dengan tangan kosong! Kita harus melawan dengan p iau kita pula!" Pek-kui memperingatkan saudara-saudaranya.
A Liong menimang-nimang pedang pemberian gurunya, Soat Ban Ong dan Bok Kek Ong. Pedang itu memang bukan pedang biasa seperti kebanyakan pedang di daerah Tiong-goan. Pedang itu lebih menyerupai pisau panjang yang meleng¬kung setengah lingkaran. Mata pisaunya yang mengkilat bersih itu memantulkan sinar beraneka-warna.
"Kalian memang beruntung! Pedang ini jarang sekali kupergunakan. Hanya dalam keadaan sulit aku memakainya. Kini dia terpaksa kukeluarkan untuk me¬lawan kalian. Nah, berhati-hatilah! Biasa¬nya lawanku tidak ada yang tahan menghadapinya! Ayoh....!"
"Sungguh sombong sekali! Tampaknya engkau juga belum pernah mengenal kami, sehingga kau menjadi takabur. Ketahui¬lah... sekarang kau berhadapan dengan Lok-kui-tin dari Gurun Go-bi!" Hek-kui berkata penuh geram.
"Sayang sekali. Aku memang belum mengenal kalian, karena aku hanya se¬orang pemuda gelandangan bernama A Liong, yang tidak mempunyai tempat tinggal dan sanak keluarga. Hehehe....!"
Wajah Ang-kui menjadi merah. "Tutup mulutmu!" Teriaknya keras sambil men¬dahului menyerang. Pisau lebarnya ter¬ayun ganas ke ulu hati A Liong. Dan ke¬lima saudaranya segera mengikuti pula langkahnya. Mereka menyerang dari se¬gala jurusan.
Siiing! Siiing! Siiing! Trang! Trang!
Sekilas nampak sinar pelangi berkele¬batan di arena itu, kemudian lenyap setelah terjadi benturan beberapa kali.
Apa yang terjadi benar-benar menge¬cutkan hati Lok-kui-tin! Dalam, gebrakan pertama itu mereka dikejutkan oleh ke¬hebatan ilmu pedang A Liong. Baru kali ini mereka berenam menyaksikan ilmu pedang sekuat dan sehebat itu.
Memang dapat dimaklumi kalau Lok-kui-tin terkesima melihat ilmu pedang A Liong. Sudah puluhan tahun mereka ma¬lang melintang di dunia persilatan, baik di luar maupun di dalam Tembok Besar. Dan selama itu pula mereka menyaksikan berbagai macam ilmu silat yang aneh-aneh. Namun ternyata baru sekarang ini mereka menemukan ilmu pedang seperti kepunyaan A Liong. Ilmu pedang anak muda itu sama sekali tidak mengandalkan ketajaman pedangnya, tapi justru meman¬faatkan pengaruh dari kilatan sinar pe¬dang tersebut.
Ternyata A Liong mampu membuat pedang itu seperti terbakar dan selanjut¬nya mengeluarkan kilatan sinar beraneka warna. Dan kilatan sinar itu lalu melun¬cur dan memburu Lok-kui-tin berenam. Anehnya sinar itu mampu melukai kulit daging mereka. Bahkan pisau Lok-kui-tin tidak kuasa menghadapi sinar itu. Pisau mereka menjadi rusak ketika me¬nangkis sinar itu.
"Aaah! Sungguh berbahaya!" Pek-kui menyeringai kecut.
"Kita gunakan Barisan Lok-kui-tin!" Hek-kui memberi aba-aba.
"Benar! Sinar itu jangan dilawan de¬ngan kekerasan. .Harus kita hindari atau kita pantulkan dengan badan pisau kita! Hanya dengan cara itu kita dapat meren¬dam kekuatannya!" Ui-kui menanggapi ucapan saudaranya.
"Tetapi sinar yang memantul itu ma¬sih berbahaya buat kita. Salah-salah bisa mengenai kawan sendiri." Ang-kui berka¬ta dengan suara bergetar.
"Kalau begitu kita arahkan pantulan¬nya ke atas! Jangan sampai mengarah ke samping atau ke bawah!"
"Baiklah! Mari kita lakukan!" Pek-kui mengangguk.
A Liong membiarkan lawan-lawannya berbicara. Dia tetap tenang saja di tem¬patnya. Bibirnya justru tersenyum.
"Sudah selesai berunding? Ayolah...!"
Sikap pemuda itu benar-benar mem¬bakar hati Lok-kui-tin. Mereka segera menyusun barisan dan menyatukan keku¬atan mereka. Mereka harus melawan tenaga A Liong secara bersama-sama. Mereka harus melawan pemuda itu seba¬gai kesatuan, bukan sebagai orang per orang.
"Kalian benar-benar cerdik. Begitu melihat kalian segera tahu kelemahan dan jalan keluarnya. Bagus sekali. Tam¬paknya pertempuran ini memang akan berlangsung lama. Tapi akan kita lihat, siapa di antara kita yang lebih dulu membuat kesalahan."
Selesai bicara A Liong menyabetkan pisaunya. Seleret sinar putih melecut seperti cambuk ke arah lawan-lawannya. Siiing...! Lok-kui-tin merunduk berbareng sambil bersama-sama menyilangkan senja¬ta mereka di atas kepala. Gerakan me¬reka begitu serempak dan indah sehingga senjata itu membentuk deretan tangga yang panjang.
Traaaaang!
Sinar putih itu mengenai deretan pisau-- yang disusun oleh Lok-kui-tin dan ^ memantul ke samping. Celakanya, pan¬tulan sinar itu menyambar dan mengenai beberapa pendekar persilatan di dekat mereka. Orang-orang itu menjerit kesa¬kitan, sebelum akhirnya jatuh dengan kulit terkelupas bagai dibelah senjata tajam.
A Liong terkejut. Dia tak menduga kalau serangannya akan melukai kawan sendiri.
"Ah! Mereka memang cerdik sekali!. Aku benar-benar ceroboh! Aku terlalu meremehkan mereka." A Liong menyesal.
Lok-kui-tin benar-benar puas; Mereka dapat menjinakkan ilmu pedang A Liong yang aneh. Bahkan mereka dapat meman¬faatkannya pula. Sekarang justru mereka berenam yang balik menguasai arena.
Sambil bertahan A Liong mencari jalan untuk menghadapi lawannya. Se¬rangan . Lok-kui-tin yang bertubi-tubi hanya ia hindari dan ia punahkan sebe¬lum mengenai tubuhnya. Namun karena serangan itu datang tanpa henti, maka sekali dua kali terpaksa harus ditahan dengan kekuatan pula. Dan akibatnya memang mengejutkan.
Karena tenaga yang dilontarkan oleh Lok-kui-tin itu merupakan tenaga ga¬bungan, maka kekuatannya pun bukan main hebatnya. Berbenturan dengan tena¬ga A Liong ternyata membuat kedua belah pihak merasakan akibatnya. Ma¬sing-masing tergetar mundur ke belakang.
Hek-kui dan Pek-kui terlongong-Io-ngong di tempatnya. Keduanya hampir tidak percaya melihat hasil benturan itu.
"Gila! Tenaga dalam pemuda itu masih selapis lebih tinggi dibandingkan te¬naga gabungan kita! Benar-benar tidak masuk akal."
Demikianlah, Lok-kui-tin semakin berhati-hati menghadapi A Liong. Seba¬liknya A Liong sendiri juga tidak berani berlaku ceroboh terhadap mereka. Ma¬sing-masing tak ingin mencelakai kawan sendiri.
Sementara itu Souw Hong Lam telah1 meletakkan tubuh Tio Ciu In di dekat Yap Kim dan Liu Wan Ti. Tio Ciu In semakin kelihatan lemah dan menderita. Punggungnya telah basah oleh darah yang terus mengalir dari lukanya.
"Saudara Souw...? Tolong, ambilkan obat luka di dalam bungkusanku! Berikan kepada Nona Tio agar darahnya segera berhenti mengalir." Tabib Ciok atau Liu Wan atau Pangeran Liu Wan Ti itu ber¬kata kepada Souw Hong Lam.
"Aku? Nona Tio...?" Pemuda ganteng itu mengerutkan dahinya seraya menga¬wasi Tio Ciu In dan Pangeran Liu Wan Ti berganti-ganti. Wajahnya kelihatan bingung.
Tio Ciu In tersenyum dan mengang¬guk. "Benar apa yang dikatakan Pangeran ' Liu Wan Ti. Aku yang rendah bernama Tio Ciu In. Terima kasih atas pertolong¬an Souw .Tai-hiap."
"Haaah...? Pangeran Liu Wan Ti? Siapa yang... lhoh, kau...? Kenapa kumis dan jenggotmu, Ciok Lo... eh!"
Souw Hong Lam kelihatan bingung sekali. Semula dia mengira berhadapan dengan Tabib Ciok, tetapi ternyata bukan. Orang yang berdandan seperti Tabib Ciok itu ternyata tidak memiliki kumis dan jenggot. Wajahnya juga tidak tua dan keriput seperti biasanya. Wajah itu masih • kelihatan muda dan tampan.
"Dia memang Pangeran Mahkota Liu Wan Ti yang hilang hampir sepuluh tahun lalu, Anak Muda. Nah, kini lakukan dulu perintahnya! Ambilkan obat yang ada di dalarn bungkusan itu."
"Yayaya, Tai-ciangkun!" Souw Hong Lam memandang Panglima Yap Kim yang terduduk lemah tak berdaya.
Namun sebelum pemuda itu bergerak, Mo Hou sudah berdiri di depannya. "Tak perlu bersusah-susah lagi! Bersiap sajalah untuk mati!" Hardik pemuda itu sambil mengayunkan kipasnya.
Souw Hong Lam terbelalak. Namun dia tidak segera menghindar. Dia hanya memutar atau membalikkan tubuhnya saja, sehingga kipas itu menghunjam telak ke arah punggungnya.
"Mampus... kau!" Mo Hou menggeram.
"Souw-heng...!" Pangeran Liu Wan Ti berdesah khawatir.
Duuk! Ujung kipas itu menghantam punggung Souw Hong Lam dan melem¬parkannya ke tanah. Kebetulan pemuda itu jatuh di dekat bungkusan Liu Wan Ti, sehingga kesempatan tersebut dia pergu¬nakan sebaik-baiknya. Obat yang dimak¬sud segera ia keluarkan dan ia lemparkan kepada Tio Ciu In.
Mo Hou terkesiap. Ujung kipasnya seperti menggores benda keras. Dan la¬wannya sama sekali tidak mati atau ter-luka seperti kehendaknya. Pemuda gan¬teng itu hanya tersungkur. Bahkan masih dapat bergerak dengan lincah seolah- olah tidak terjadi sesuatu.
"Hmm, kau...? Kau dapat menahan tajamnya kipasku?"
"Kenapa tidak? Kukira kipasmu tidak setajam mata pedang!" Souw Hong Lam menjawab sambil mengebutkan debu yang mengotori jubah panjangnya.
Tiba-tiba Mo Hou menyeringai. "Ah, aku tahu. Kau keturunan Keluarga Souw dan kini mengenakan mantel hitam pan¬jang.. Kau tentu mengenakan mantel pu¬saka warisan Bit-bo-ong itu, bukan?"
Souw Hong Lam tidak menjawab. Kedua tangannya bersilang di, depan da¬da, siap untuk menyerang Mo Hou. Asap putih dan merah tampak mengepul di atas kepalanya.
Mo Hou tersenyum. Sama sekali tidak ada kesan khawatir atau takut di wajah¬nya. Baginya, Souw Hong Lam bukan lawan yang perlu diperhitungkan. Dari rumah ia telah dibekali berbagai macam kiat untuk mengalahkan ilmu silat Tiong-goan. Termasuk juga ilmu silat Keluarga Souw. Jangankan cuma Souw Hong Lam, melawan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai pun dia tidak takut.
Ketika asap di atas kepala Souw Hong Lam itu semakin tebal, Mo Hou tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Kipas itu justru ia masukkan ke dalam saku, kemudian dengan tangan kosong dia menerjang ke depan. Kedua tangannya mencakar wajah Souw Hong Lam.
Souw Hong Lam tidak berani beradu tangan. Dia sadar bahwa Iwe-kangnya masih kalah jauh dibandingkan lawannya. Dari pukulan kipas di punggungnya tadi dia sudah dapat menyelami kekuatan lawan. Dia |memilih j|ajanf l»n,|' yaitu mengelak ke samping sambil memukul pinggang Mo Hou. Dan pukulan tersebut hanya pancingan saja, karena pukulan se¬benarnya akan ia susulkan kemudian.
Tapi Mo Hou adalah seorang jago silat yang cerdik dan berbakat sekali. Dalam hal tipu muslihat dan kelicikan, rasanya tidak ada orang lain yang mam¬pu melebihi dia. Pukulan pancingan itu ternyata ia biarkan saja mengenai ping¬gangnya, sehingga Souw Hong Lam justru menjadi bingung sendiri.
"Anak Muda, awas...!" Yap Kim yang sudah tidak berdaya itu berteriak lemah.
Souw Hong Lam berusaha menarik kembali pukulannya. Kakinya melangkah ke samping, lalu berputar menjauhi la¬wannya. Sambil bergerak jari telunjuk kirinya terayun ke depan! Cus! Seleret sinar merah menusuk ke arah punggung Mo Hou!
Bless! Sinar itu menghunjam telak ke punggung Mo Hou! Begitu kuatnya se¬hingga sinar itu tembus melewati dada.
Tapi sungguh mengherankan. Luka itu sama sekali tidak mengeluarkan darah. Bahkan tubuh itu ^ama legali tidak am¬bruk atau kesakitan. Sebaliknya putera Raja Mo Tan itu justru tertawa gembira. Suaranya terdengar dimana-mana, karena suara itu tidak cuma keluar dari mulut¬nya, tapi juga keluar dari mulut tujuh Mo Hou yang lain, yang tiba-tiba telah berdiri di sekitar arena.
Yap Kim, Lu Wan Ti, dan Tio Ciu In mengeluh. Mereka tidak mempunyai ha¬rapan lagi. Melawan satu orang Mo Hou saja sudah sulit, apalagi harus melawan delapan orang sekaligus.
Benar juga. Baru beberapa jurus saja Souw Hong Lam sudah kebingungan meng¬hadapi lawannya. Totokan Tai-kek Sin-ciangnya benar-benar tidak berguna meng¬hadapi bayangan-bayangan semu itu. Be¬berapa kali totokan jarinya mengenai ba¬yangan Mo Hou palsu, sehingga tenaga¬nya banyak terbuang sia-sia.
"Hmmm, sebentar lagi tenagamu ha¬bis. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi kepadaku." Mo Hou mengejek.
Beberapa buah pukulan mendarat di tubuh Souw Hong Lam, membuat pemuda itu jatuh bangun di atas tanah. Membuat pakaian pemuda ganteng itu menjadi lepas dan kedodoran. Bahkan debu dan tanah membuat wajahnya yang ganteng itu berlepotan tidak keruan.
Akhirnya ketika topi yang melekat di kepala Souw Hong Lam itu copot diter¬jang angin pukulan Mo Hou, semua orang yang melihatnya terkejut. Rambut yang hitam panjang tiba-tiba terurai lepas menutupi sebagian pundak dan punggung pemuda ganteng itu.
"Eh, Saudara Souw... jadi kau ini?" Liu Wan Ti berdesah perlahan. Matanya terbelalak.
Souw Hong Lam palsu yang tidak lain adalah Souw Giok Hong, puteri Hong-gi-hiap Souw Thian Hai, menjadi merah mukanya. Sambil tersenyum malu gadis itu membersihkan alis buatan dan semua kotoran yang menempel di wajahnya. Dan beberapa saat kemudian wajahnya yang cantik bak bidadari itu membuat terpe¬sona semua orang.
"Aah!" Tak terasa Pangeran Liu Wan Ti menelan ludahnya.
"Bukan main! Sungguh tak kusangka hari ini aku dapat bertemu dengan ba¬nyak anak muda berkepandaian tinggi! Aku benar-benar sudah ketinggalan za¬man." Panglima Yap Kim berdesah pan¬jang.
Orang yang tidak peduli akan per¬ubahan" itu hanya Mo Hou. Delapan sosok bayangan kembarnya masih tetap ber¬siaga penuh di sekitar mereka. Wajahnya tampak puas dan berseri ketika melihat pasukan Hun dapat menguasai seluruh arena.
"Nona! Kalau kau benar-benar dari keluarga Souw, kau tentu puteri kedua I Hong-gi-hiap Souw Thian Hai." Yap Kim berkata.
"Benar, Yap Tai-ciangkun. Aku me- | mang Souw Giok Hong, puteri kedua Souw Thian Hai."
"Dimana ayahmu sekarang? Apakah dia juga datang kemari?"
Wajah cantik itu tertunduk sebentar. Ketika kemudian wajah itu terangkat kembali dan siap untuk menjawab, tiba-tiba terdengar suara Mo HoJ membentak,
"Diam! Kubunuh- kalian semua....!"
Dua diantara delapan bayangan kem¬bar itu segera meloncat dan menyerang Souw Giok Hong. Sementara empat ba¬yangan lainnya mendekati Pangeran Liu Wan Ti, Tio Cu In, dan Panglima Yap Kim. Sisanya, dua bayangan, masih tetap berdiri tegak mengawasi keadaan.
Situasi memang sangat gawat bagi pasukan para pendekar dan bekas Pangli¬ma Yap Kim. Lawan mereka kali ini memang sangat kuat. Selain kalah banyak, pasukan asing yang dipimpin oleh Mo Hou itu memang lebih berpengalaman dalam perang besar.
Tampaknya keinginan para pendekar untuk membebaskan Panglima Yap Kim gagal total. Bahkan mereka sendiri se¬karang berada dalam kesulitan besar. Ternyata ilmu silat tinggi saja tidak dapat menjamin untuk menang perang.
Rombongan Kwe Tek Hun dengan para pengemis Tiat-tung Kai-pang, sudah tercerai-berai. Korban sudah tidak ter¬hitung lagi. P,ara pendekar persilatan yang lain juga sama saja keadaannya. Bersama-sama dengan para prajurit pen¬jaga benteng yang membelot, mereka mencoba bertahan sedapat mungkin. Me¬reka memanfaatkan lorong-lorong ba¬ngunan yang lebih mereka kenal untuk main petak-umpet.
Api berkobar dimana-mana. Pasukan Hun telah membakar apa saja untuk memburu lawannya. Mereka benar-benar menjadi brutal setelah merasa menang. Watak asli mereka s bagai bangsa barbar tak dapat dikendalikan lagi. Benteng itu benar-benar menjadi tempat pembantaian sadis.
Rombongan Souw Thian Hai, Kwe Tiong Li, serta para jago silat ternama lainnya, masih tetap mengamuk di arena masing-masing. Kesaktian mereka me¬mang membuat pasukan Hun kewalahan. Tetapi dalam perang besar seperti itu mereka tetap tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenangkan pertempuran. Mereka hanyalah beberapa tetes air di-antara api yang berkobar di medan per¬tempuran.
- Matahari mulai membakar atap ben¬teng itu. Panasnya menambah, gerah hati manusia-manusia haus darah, yang kini saling bunuh diantara mereka sendiri. Perang memang membuat manusia kehi¬langan harkat hidupnya sebagai manusia. Perang menghilangkan peradaban manusia sendiri.
Sementara itu Panglima Yap Kim dan rombongannya tinggal menantikan saat-saat kematian mereka pula. Mereka tidak mungkin lagi menyelamatkan diri. Apalagi sekarang tinggal Souw Giok Hong sendiri yang mampu melawan.
Tapi mana mungkin Souw Giok Hong melawan ilmu sihir Mo Hou? Tai-kek Sin-ciang dan Tai-lek Pek-kong-ciang andalan keluarga Souw, hampir tak ada gunanya melawan bentuk-bentuk semu itu. Bayangan itu sama sekali tidak da¬pat disentuh, apalagi diserang. Tapi se-baliknya bayangan itu mampu menyerang dan melukai Souw Giok Hong.
"Rahasianya hanya pada bentuk asli orang ini. Kalau aku bisa menyerang yang asli, dia pasti dapat kukalahkan. Tapi bagaimana aku dapat memilih, mana diantara mereka yang asli? Semuanya tampak sama, bahkan seperti hidup sen¬diri-sendiri." Souw Giok Hong berkata hampir putus asa.
Mo Hou memang pemuda pilihan. Bertulang baik. Dalam usia yang masih amat muda ia telah memiliki ilmu silat sangat tinggi. Bakat dan kemampuannya lebih baik daripada kebanyakan orang. Bahkan lebih baik dari Pangeran Liu Wan Ti, Kwe Tek Hun, Souw Giok Hong, Tio Ciu In atau lainnya. Selain itu ia masih juga beruntung mendapatkan guru yang baik.
Kalau diperbandingkan, mungkin cuma A Liong atau Chin Tong Sia yang setara dengan bakat Mo Hou. Hanya saja, ka¬rena ilmu yang mereka pelajari tidak sama, maka hasil yang mereka dapatkan juga tidak sama pula. Mereka memiliki kelebihan dan keistimewaan sendiri. Se-lain itu, dalam perjalanan hidup mereka, masing-masing juga memiliki suratan nasib serta keberuntungan yang berbeda pula, sehingga akhirnya ilmu yang me¬reka miliki juga tidak sama pula tinggi¬nya.
A Liong sejak kecil mempunyai ben¬jolan aneh di bawah pusarnya. Benjolan yang entah berisi apa, dan dari mana datangnya, namun yang jelas benjolan sebesar telor ayam itu mempunyai kha¬siat menguatkan tubuh dan melipatganda¬kan tenaga dalam. Dan keberuntungan seperti itu jelas tidak diperoleh Mo Hou maupun Chin Tong Sia.
Sedangkan Mo Hou, meskipun tidak seberuntung A Liong, tapi dia mendapat kan seorang guru yang memiliki ilmu silat sangat langka. Selain perguruan Soa-hu-pai itu sudah berusia ribuan tahun, ilmu silatnya juga berakar pada ilmu sihir. Oleh karena itu dapat di¬maklumi kalau Soa-hu-pai memiliki be¬berapa kelebihan dibandingkan Beng-kau atau aliran silat lainnya.
Sementara itu ilmu silat Beng-kau adalah ilmu silat murni dan usianya be¬lum setua Soa-hu-pai. Kelebihan Soa-hu-pai hanya terletak pada ilmu sihirnya.
Oleh karena itu untuk menghadapi ilmu silat Soa-hu-pai, orang har.us bisa mengatasi hrrai" smirnya dulu. Sebelum kekuatan sihir itu hilang, maka pertem¬puran dengan orang Soa-hu-pai boleh dikatakan berat sebelah.
Maka dapat dimaklumi kalau akhirnya pertempuran antara Souw Giok Hong melawan Mo Hou itu dimenangkan oleh Mo Hou. Seperti halnya ilmu silat aliran Beng-kau, ilmu silat keluarga Souw ada¬lah ilmu silat murni. Dan celakanya, tingkat kepandaian Souw Giok Hong se¬karang juga belum mencapai tingkat yang tertinggi, sehingga dia juga belum tahu | cara yang baik untuk mengatasi ilmu sihir tersebut.
Dua sosok bayangan Mo Hou itu me¬ngurung dan mendesak Souw Giok Hong. Karena bayangan itu hanya bentuk semu, maka tidak dapat disentuh maupun di¬lukai. Sebaliknya, dengan kehebatan te¬naga dalam pemiliknya, dua sosok ba¬yangan itu dapat menyerang dan melukai Souw Giok Hong.
Sementara itu empat bayangan Mo Hou lainnya, terus melangkah mendekati Yap Kim bertiga. Bentuk-bentuk semu itu siap menghabisi mereka.
"Pangeran...! Tampaknya kita tidak dapat mengelak lagi! Sebaiknya kita ga¬bungkan kekuatan kita untuk menyong¬song mereka. Lebih baik mati sebagai kesatria, daripada mati seperti binatang yang akan disembelih!" Yap Kim berbisik.
"Be-benar, Ciangkun...."
Keempat bayangan itu mengangkat tangannya. Terdengar suara gemeretak tulang dan otot mereka. Namun sebelum tangan itu melayang, tiba-tiba terdengar suara teriakan Chin Tong Sia "Tunggu....!"
Pemuda itu melenting dan berjungkir balik di atas kepala para prajurit, kemu¬dian berdiri di depan mereka. Dan air muka pemuda itu segera berubah melihat lawan yang ada di depannya. Selain su¬dah mengenal wajahnya, dia melihat wa¬jah itu tidak hanya satu, tapi empat se¬kaligus.
"Gila...!" Chin Tong Sia mengumpat.
"Saudara Chin, awas... dia itu putera Raja Mo Tan. Dia mahir ilmu sihir." Pangeran Liu Wan Ti memberi peringatan.
Chin Tong Sia menoleh. Air mukanya semakin keruh menyaksikan dandanan Pangeran Liu Wan Ti. Dia mengenal suara dan dandanan itu, tapi tidak menge¬nal orangnya.
Pangeran Liu Wan Ti menyeringai menahan sakit. "Ah, Saudara Chin, maaf¬kan aku. Aku... Tabib Ciok. Maksudku, aku menyamar sebagai tabib. Aku me¬nyamar untuk . mencari Panglima Yap Kim! Dan aku... aku telah menemukan orang yang kucari itu. Lihat, dia ada di sini!"
Chin Tong Sia tertegun, kemudian memandang bekas panglima yang sangat ia hormati itu. Kepalanya mengangguk, namun mulutnya masih terkunci.
Tiba-tiba Panglima Yap Kim beringsut ke depan. Tubuhnya masih sangat lemah. Sambil menunjuk Liu Wan Ti ia berbisik,
"Anak muda, ketahuilah...! Dia ini sebenarnya adalah Pangeran- Mahkota Liu Wan Ti!"
Sekali lagi Chin Tong Sia terkejut. "Pangeran Liu Wan Ti? Tapi kata orang Pangeran Liu Wan Ti berada di perbatas¬an? Beliau berada di Benteng Kongsun Goanswe. Kurasa... Ciok Lo-cianpwe sendiri yang mengatakan hal itu."
Liu Wan Ti menghela napas. "Saudara Chin, panjang ceritanya. Akan kucerita¬kan nanti."
Pembicaraan mereka terhenti, karena empat sosok Mo Hou itu tiba-tiba mem¬bentak Chin Tong Sia,
"Jadi kau dapat meloloskan diri dari penjara bawah tanah itu, heh? Siapa yang menolongmu-? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai....?"
"Benar. Tunggulah sebentar lagi. Pen¬dekar itu akan sampai di sini. Dia se¬dang membersihkan orang-orangmu yang berusaha merintangi jalannya."
"Bagus. Kalau begitu aku tidak perlu mencarinya!"
Keempat bayangan Mo Hou itu lalu menerjang Chin Tong Sia. Masing-masing menyerang dari arah berbeda, seakan-akan mereka itu memang hidup sendiri-sendiri. Dan seperti dugaan Chin Tong Sia, tenaga dalam Mo Hou memang sela¬pis lebih tinggi daripada tenaga dalam¬nya, sehingga dia harus berhati-hati.
Chin Tong Sia lalu melompat ke sam¬ping. Dari tempatnya berdiri ia melihat pertempuran lain di dekatnya. Dan ia benar-benar kaget ketika melihat bebe¬rapa orang Mo Hou lain di arena itu. Beberapa orang Mo Hou lain itu sedang mendesak gadis berwajah ayu.
Otak cerdas Chin Tong Sia segera melihat dan meyimpulkan keanehan itu. Untuk mengalahkan semua bentuk semu itu, dia harus tahu dulu mana yang asli. Dan untuk mencari yang asli, semua bentuk semu itu harus dikumpulkan dan tidak boleh ada yang bersembunyi.
Demikianlah, karena ingin , memilih sosok Mo Hou yang asli, maka Chin Tong Sia segera bergeser mendekati arena pertempuran gadis ayu itu. Dan seperti yang ia inginkan, empat bayangan itu terus memburunya pula. Maka di lain saat mereka telah berbaur dalam arena pertempuran Souw Giok Hong. Chin Tong Sia berdiri di sebelah Souw Giok Hong, sementara delapan sosok bayangan Mo Hou itu menebar di sekeliling mereka.
"Hei, Saudara Chin! Akhirnya kau datang juga....!" Souw Giok Hong menyapa dengan lega begitu melihat Chin Tong Sia.
Tentu saja Chin Tong Sia bingung. Dia tak mengenal wajah Souw Giok Hong. Dia tak tahu kalau Souw Giok Hong ada¬lah Souw Hong Lam.
Souw Giok Hong segera menyadari kekeliruannya. Sambil bertempur dia lalu bercerita tentang dirinya.
"Ah, jadi kau ini puteri Souw Tai-hiap. Kalau begitu malah kebetulan se-kali. Sebentar lagi Souw Tai-hiap dan is-terinya akan datang. Dia ingin berjumpa dengan Souw Hong Lam."
"Ayah-ibuku juga datang?" Gadis itu tidak dapat menyembunyikan kegembira¬annya.
Demikianlah, Souw Giok Hong lalu bertempur berpasangan dengan Chin Tong Sia, sehingga delapan bayangan Mo Hou itu harus bekerja keras menghadapi me¬reka.
Chin Tong Sia bergeser mendekati 5|QA]\54» Giok Hong, Jalu berbisik, "Nona Souw. Suhengku pernah mengatakan bah¬wa manusia-manusia -tiruan ini dikenda¬likan oleh yang asli. Semakin tinggi te¬naga dalam pemiliknya, maka semakin dahsyat pula kekuatan mereka. Untuk mengalahkan mereka, kita harus dapat mengetahui yang asli."
. Souw Giok Hong memandang Chin Tong Sia, lalu mengangguk-anggukkan ke¬palanya. Ia menjawab dengan suara lirih pula,
"Aku tahu. Tapi bagaimana caranya?" "Sebenarnya mudah, tapi sulit melakukannya. Pertama-tama kita harus dapat melacak sumber tenaga yang menggerak- ! kan bonska-bor,eka ini. Caranya, setiap kali mereka bergerak dan menyalurkan tenaga, kita Jihat dan kita rasakan. Kita lihat, siapa diantara mereka itu yang menjadi sumbernya, yang menyalurkan tenaganya kepada yang lain. Getaran tenaga itu yang harus kita lacak. Me-mang sulit, karena orang itu akan selalu berusaha mengacaukan indera kita."
"Suhengmu benar. Memang sulit mela¬kukannya. Apalagi mereka berjumlah de¬lapan, sementara kita' hanya berdua. Kita bertahan saja sudah sulit, apalagi harus melacak sumber tenaga mereka. Belum sampai ketemu, kita sudah mati duluan."
"Ah, jangan patah semangat dulu. Kita belum mencobanya. Ayoh, sekarang lindungi saja aku. Akulah yang akan me¬lacak sumbernya."
"Baiklah," Souw Giok Hong menarik napas panjang.
Keduanya lalu berdiri berendeng. Ke¬tika salah satu dari Mo Hou itu menye¬rang, Souw Giok Hong cepat melangkah
ke depan melindungi Chin Tong Sia. Di¬biarkannya pemuda itu mencari Mo Hou asli.
Tapi delapan orang Mo Hou itu terus saja bergerak ke sana kemari. Bagai kawanan burung elang yang mengincar anak ayam, mereka menyambar-nyambar dari segala jurusan. Souw Giok Hong ter¬paksa jatuh bangun melindungi Chin Tong Sia.
"Bagaimana, Saudara Chin? Belum kau dapatkan?"
"Wah, sulit sekali! Setiap kali kute*-mukan, mereka cepat bergeser .dan ber-
Ternyata Mo Hou mengetahui maksud Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong. Buktinya pemuda itu. lalu meningkatkan serangannya. Delapan sosok bayangannya menyerang habis-habisan, sehingga Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong menjadi kalang-kabut mempertahankan " diri. Ke¬inginan Chin Tong Sia untuk mencari Mo Hou asli, tidak dapat terlaksana.
Pat-sian-ih"-hoat memang terlalu sulit untuk dilawan. Ilmu silat bercampur ilmu sihir itu tidak mungkin dihadapi de¬ngan ilmu silat biasa. Untunglah Souw Giok Hong mengenakan mantel pusaka dan Chin Tong Sia mahir Cuo-mo-ciang. Walaupun kalah, tapi setiap kali terjepit masih dapat meloloskan diri.
"Sayang sekali suhengku tidak ada di sini. Kalau ada dia... hm, orang ini sudah lari terbirit-birit sejak tadi." Chin Tong Sia bergumam dengan suara dongkol.
Begitu ingat suhengnya, gerak-gerik Chin Tong Sia tiba-tiba berubah linglung. Mulutnya melantunkan pantun sekenanya. Suaranya sumbang dan sama sekali tidak enak untuk didengar.
Kalau saja burung gagak itu datang padaku,
Matahari pun terpaksa sembunyi.
"Saudara Chin, kau...?" Souw Giok Hong kaget.
Tapi Chin Tong Sia tidak peduli. Sam¬bil bergumam tak jelas pemuda itu me¬nyerang lawan yang berada di depannya. Wajahnya kelihatan. keras dan kaku. Pu-
kulannya juga kuat mengejutkan!
Demikianlah, walau terdesak dan tak bisa berbuat apa-apa lagi, tapi Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong tetap me¬lawan dengan gigih. Mereka mencoba bertahan dengan berpasangan. Masing-masing saling membantu dan saling me¬lindungi.
Tapi bagaimanapun juga delapan ba¬yangan Mo Hou itu terlalu berat bagi mereka. Seorang Mo Hou saja sudah sulit dilawan, apalagi sampai delapan orang. Maka dapat dimaklumi kalau akhirnya mereka menjadi bulan-bulanan serangan Mo Hou.
Karena marah dan kesal Chin Tong Sia mengumpat dan memaki sambil ber¬nyanyi. Gerakannya juga semakin ngawur ternyata pemuda itu justru semakin ber¬bahaya. Tampaknya saja ngawur, tapi ternyata gerakannya semakin sulit di¬duga. Seringkah pertahanannya juga ter¬buka dan tak terjaga. Namun anehnya, pukulan lawan justru sulit sekali menge¬nainya.

Babi, monyet,

kerbau sialan....
Tahu ada ekor,
tetap saja mencari
Dasar binatang bodoh!

Tentu saja Souw Giok Hong yang belum tahu adat kebiasaan Chin Tong Sia menjadi bingung dan risih. Bingung kare¬na mendadak Chin Tong Sia berlagak se¬perti orang tidak waras. Risih, karena pemuda itu mengucapkan kata-kata kasar di depannya.

Tapi seperti halnya Chin Tong Sia, Souw. Giok Hong tidak punya banyak waktu untuk berpikir. Gempuran Mo Hou benar-benar membuatnya putus asa. Be¬berapa kali pukulan dan tendangan Mo Hou mengenai tubuhnya. Untung saja mantel pusaka itu melindunginya. Walau sakit, tapi tidak sampai melukai bagian dalam tubuhnya.
Sebuah tendangan juga tidak bisa di¬hindari Chin Tong Sia. Begitu kerasnya sehingga Chin Tong Sia terlempar me¬nabrak tembok bangunan. Rasanya selu¬ruh bangunan itu ikut bergoyang.

"Aduh! Monyet gundul menampung air

. Sahabat dekat menggali kubur.
Monyet tua sialan....!»

Sambil berteriak kesakitan Chin Tong Sia berpantun. Sebuah pantun konyol yang diteriakkan sesukanya.

Tapi dalam keributan itu tiba-tiba terdengar suara pantun lain. Serangkai pantun yang dinyanyikan dengan suara lebih sumbang dan lebih jelek, tapi de¬ngan dorongan kekuatan tenaga dalam yang menggetarkan hati.
"Monyet mati belum tentu jadi mayat.

Apa gunanya menampung air?
Bila sahabat tidak putus asa.
Apa gunanya menggali kubur?"

Ketika orang berpantun itu tiba-tiba muncul di arena, Mo Hou benar-benar kaget setengah mati. Penyanyi bersuara jelek itu tidak lain adalah Put-pai-siu Hong-jin, manusia bertampang jelek yang dulu melukainya.

"Kau lagi...!" Pemuda itu menggeram marah.
Seperti orang tidak bersalah Put-pai- siu Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh. En- I tah apa sebabnya, kali ini dia datang I tanpa baju, sehingga tulang-tulangnya i yang kurus itu menonjol kesana-kemari. Wajahnya yang buruk itu sangat menge¬rikan, sehingga Souw Giok Hong tidak berani menatapnya lama-lama. *
Sebaliknya Chin Tong Sia kelihatan gembira dan berseri-seri. "Nona Souw, inilah... suhengku. Dia benar-benar da- I tang!"
Souw' Giok Hong berusaha tersenyum. ' Namun senyumnya segera hilang dan ber¬ubah kecut ketika Put-pai-siu Hong-jin tertawa kepadanya. Lobang mulut yang lebar itu sama sekali tidak ada giginya. , Kosong melompong.
"Waduh, temanmu cantik sekali....!"
"Suheng, jangan macam-macam!" Chin Tong Sia membentak.
"Baiklah. Aku tidak akan mengganggu¬nya. Sekarang pergilah kau membantu teman-temanmu itu! Serahkan saja anak j penyihir ini kepadaku. Akan kuajak dia main sihir-sihiran, heh-heh-heh."
Chin Tong Sia mengerutkan dahinya. "Suheng, kau juga mempunyai ilmu sihir?"
Put-pai-siu Hong-jin tertawa terke¬keh-kekeh. "Konyol kau! Siapa bilang aku bisa ilmu sihir? Ilmu bohong-bohongan itu tidak ada gunanya untuk dipelajari."
Mo Hou benar-benar marah sekali, begitu geramnya dia, sehingga semua bentuk kembarannya berteriak bersama-sama, lalu menerjang Put-pai-siu Hong-jin.
"Monyet ompong! Kubunuh kau!"
Delapan orang Mo Hou itu menggem¬pur Put-pai-siu Hong-jin dari empat pen¬juru. Tidak sesosok bayangan pun yang peduli pada Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong lagi. Sehingga kesempatan itu dipergunakan pula oleh mereka untuk meloloskan diri dari tempat itu.
Mereka menyelinap kembali ke tem¬pat Pangeran Liu Wan Ti berada. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan, sesosok bayangan telah berdiri bertolak pinggang di depan mereka. Seorang gadis cantik bermata liar dan ganas yang tidak lain adalah Mo Goat atau Tiau Hek Hoa!
"Saudara Chin, awaaas... dia Tiau Hek Hoa! Pengkhianat itu!" Souw Giok Hong yang amat mengenal Tiau Hek Hoa itu menjerit.
"Jadi kau gadis bermuka hitam itu, heh?" Chin Tong Sia yang telah dikhianati oleh Mo Goat itu membentak marah.
"Bocah bodoh...! Memang benar aku! Mau apa?"
"Huh! Sudah kuduga bahwa kau se¬orang pengkhianat! Menjebloskan aku ke dalam perangkap! Lalu kembali ke rom¬bongan dan membohongi mereka! Sungguh licik!" Chin Tong Sia berseru marah.
"Biar saja! Aku adalah puteri Raja Mo Tan, yang mendapat tugas untuk mencari dan membunuh bekas Panglima Yap Kim! Aku melakukan apa saja untuk melaksanakan tugas itu. Dan ternyata aku berhasil mendapatkan buruanku itu. Nah, kalian mau apa? Mau menghalangi aku? Huh! Jangan harap! Lihat saja se¬kelilingmu! Pasukanku telah menguasai benteng ini!"
Selesai bicara gadis itu mengerahkan tenaga dalamnya, kemudian memecah diri menjadi empat bayangan. Dan bayangan itu segera bergeser ke samping untuk mengepung Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong.
"Saudara Chin, hati-hati dengan sen¬jata gelapnya! Gadis itu suka mengguna¬kan racun!" Liu Wan Ti memberi per¬ingatan.
Mo Goat menoleh. Dia segera menge¬nal wajah Liu Wan yang pernah berkelahi dengan dia di kota Hang-ciu lima tahun lalu.
"Bagus. Sebenarnya aku sudah curiga padamu, karena aku pernah melihat ilmu pukulanmu. Kau bukan seorang tabib. Tapi aku tak menyangka kalau kau masih begini muda...."
"Adik Goat! Jangan lepaskan orang itu! Dia itu Liu Wan Ti! Putera Mahkota Han yang kita cari selama ini!" Tiba-tiba Mo Hou berteriak dari tempatnya begitu melihat kedatangan adiknya.
"Putera Mahkota? Wah, aku benar-benar terkecoh dalam beberapa hari ini!
Aku sama sekali tidak mengenalnya wa¬lau sudah berkumpul berhari-hari!"
Chin Tong Sia dan Souw Giok Hong saling pandang. Ternyata terlepas dari mulut singa, mereka jatuh ke taring serigala pula. Puteri Raja Mo Tan itu tidak kalah berbahayanya daripada Mo Hou.
Tio Ciu In yang duduk di sebelah Liu Wan Ti menjadi cemas pula. Dia teringat peristiwa lima tahun lalu, pada saat Mo Goat melukai Ku 3ing San sehingga pe¬muda itu harus dipotong kakinya.
"Liu Toako, eh... Pangeran Liu? Ba¬gaimana ini.
"Bagaimana dengan lukamu sendiri? Sudah lebih baik?" Pangeran Mahkota itu balik bertanya.
. "Lumayan. Tapi aku belum berani | mengerahkan tenaga dalam. Aku khawatir darahnya akan keluar lagi."
Panglima- Yap Kim menghela napas panjang. "3angan dipaksa. Istirahat saja¬lah barang sebentar lagi. Aku juga se¬dang berusaha mengembalikan tenagaku. Aku sebenarnya tidak terluka. Aku hanya kehilangan tenaga karena tadi terlalu memaksa diri."
Pangeran Liu Wan Ti mengangguk-angguk, lalu menatap Tio Ciu In kembali. Kenangan masa lalu kembali terbayang di depan matanya. Sungguh tidak diduga ia masih bisa berjumpa dengan gadis yang pernah merampas hatinya itu.
"Nona Tio, dimana saja kau selama Ini? Aku benar-benar tidak mengira bah¬wa kita bisa bertemu lagi. Pada waktu itu aku dan para tokoh Im-yang-kau me¬lihat sendiri gua yang runtuh itu. Kami semua berpendapat bahwa kau telah ter¬kubur di gua itu. Apalagi kami menemu¬kan sepatu dan ikat pinggangmu..." Liu Wan Ti berbisik perlahan.
Tio Ciu In tertunduk dalam-dalam. "Pendekar Buta itu menyelamatkan aku. Aku dibawa ke tempat tinggalnya dan diambil sebagai murid."
Selesai berkata gadis itu tiba-tiba tersentak. Dia ingat gurunya Si Pendekar . Buta, yang juga eistang ke benteng ini bersamanya.
"Lalu dimana Pendekar Buta itu sekarang, Nona Tio?"
"Eh, dia... dia juga berada di benteng ! Aku tidak tahu, dimana dia sekarang. Mungkin masih di dapur atau... di gudang penyimpanan kayu bakar."
"Dia? Dia ada di sini....?"
Sementara itu rombongan Souw Thian Hai masih berkutat dengan pasukan Ba-. yan Tanu yang mengeroyok mereka. Wa¬laupun pasukan pilihan itu tidak dapat mendekati mereka, namun Souw Thian Hai dan rombongannya juga tidak bisa mengalahkan barisan pengepung itu. Me¬reka 'bertempur sambil terus bergeser mendekati arena pertempuran Mo Hou dan Put-pai-siu Hong-jin.
Souw Thian Hai berpasangan dengan isterinya, Chu Bwe Hong. Tio Siau In berpasangan dengan Yok Ting Ting. Se¬dangkan Giam Pit Seng berpasangan de¬ngan muridnya, Tan Sin Lun. Mereka berenam selalu menjaga jarak agar pa¬sangan mereka tidak terpisah satu sama lain. Hanya dengan berpasangan mereka mampu bertahan dari kurungan lawan. Dua kelompok pasukan pilihan itu dipimpin oleh Bayan Tanu. Dibantu Ho Bing, Siang-kim-eng, Tiat-tou dan lain-lain. Dilihat dari segi ilmu silat, mereka itu memang bukan lawan Souw Thian Hai dan Tio Siau In. Namun karena mereka dibantu oleh pasukan pilihan yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi jago silat tinggi, maka mereka sangat sulit dikalah¬kan. Setiap kali terdesak atau mendapat bahaya, mereka selalu dilindungi barisan¬nya.
Ketika pertempuran itu terus berge¬ser maju dan akhirnya sampai di tempat Pangeran Liu Wan Ti berada, tiba-tiba Panglima Yap Kim bangkit berdiri. Bekas panglima itu segera mengenal Souw Thian Hai dan isterinya!
"Saudara Souw...! Souw Hujin! Selamat bertemu!"
Ternyata tidak hanya bekas panglima itu saja yang gembira melihat kedatang¬an rombongan itu. Ternyata Tio Ciu In dan Souw Giok Hong juga gembira sekali.
"Suhu...! Siau In!"
"Ayah! Ibu...,!"
Panggilan atau seruan itu benar-benar mengejutkan rombongan pendekar Souw I Thian Hai. Bahkan Souw Thian Hai sen¬diri sampai lupa bahwa dia sedang ber¬kelahi dengan Bayan Tanu. Dan kele¬ngahan itu benar-benar dimanfaatkan oleh Bayan Tanu. Tombak rantainya me¬nerobos pertahanan lawan dan melukai paha Souw Thian Hai.
"Souw Tai-hiap, awas...!" Giam Pit Seng berteriak.
Tapi mata tombak itu sudah terlanjur mengenai sasarannya. Darah memancar dari luka itu, membuat Souw Thian Hai menyeringai kesakitan. Sekejap kaki ka¬nan itu seperti lumpuh karena mata tombak itu tepat mengenai urat pokok.
"Aduuuh...!" Giam Pit Seng yang baru saja memberi peringatan itu tiba-tiba menjerit pula.
Ternyata pedang Siang-kim-eng juga menerobos pertahanan Giam Pit Seng dan menyambar lengan pendekar itu. Sebuah goresan yang panjang dan dalam mem¬buat lengan itu tidak bisa digerakkan lagi. Otomatis senjata "pit yang dipegang¬nya terlepas. Seperti berlumba Chu Bwe Hong dan Tang Sin Lun memberi pertolongan. Chu Bwe Hong menolong suaminya, sedangkan Tan Sin Lun menolong gurunya.
Walau kaget mendengar suara panggil¬an kakaknya, namun Tio Siau In tidak mengurangi kewaspadaannya, sehingga rasa kaget itu tidak sampai mencelaka¬kannya. Sambil berseru girang ia melon¬cat keluar arena. Dia berlari menuju ke arah Tio Ciu In.
Tapi jeritan Giam Pit Seng mengejut¬kan Tio Siu In. Sekejap pikirannya bi¬ngung. Siapa yang harus dia lihat lebih dulu? Gurunya yang berada dalam bahaya atau kakaknya yang sudah lima tahun berpisah?
Akhirnya Tio Siau In berbalik kembali. Dia tidak bisa meninggalkan gurunya. Dengan pedang pendeknya dia menerjang Siang-kiam-eng.
"Cici, maaf! Aku akan menolong Suhu dulu!"
Di pihak lain Souw Giok Hong tak dapat berbuat apa-apa melihat bahaya yang mengancam ayahnya. Dia dan Chin Tong Sia benar-benar tak berkutik meng¬hadapi delapan bayangan Mo Hou. Dia hanya bisa melihat, bagaimana sibuknya ibunya bersama Yok Ting Ting menolong ayahnya.
Demikianlah situasi benar-benar buruk bagi pihak Pangeran Liu Wan Ti. Pasukan para pendekar yang bergabung dengan perajurit benteng itu tidak mampu ber¬tahan lagi. Banyak diantara mereka yang tewas atau terluka. Bahkan banyak pula diantara mereka yang tertawan. Terom¬pet kemenangan telah ditiup di segala tempat.
Matahari tepat di atas kepala. Akhir¬nya pertempuran usai juga. Panas mata¬hari tidak menghalangi kegembiraan pa¬sukan Hun. Mereka bersorak sambil mem¬bunyikan terompet dan tamburnya. Ben¬teng itu telah mereka' taklukkan dan mereka kuasai.
Kalaupun masih ada pertempuran, maka pertempuran itu hanya pertempuran kecil, yaitu pertempuran beberapa tokoh persilatan yang dikepung prajurit Hun. Walau tidak memiliki kawan lagi, tapi tokoh seperti Kwe Tiong Li, Kwe Tek y Hun, Jing-bin Lo-kai, dan lainnya lagi, masih tetap bertempur sekuat tenaga. Seperti halnya rombongan Souw Thian Hai, mereka tetap tidak mau menyerah.
Pangeran Liu Wan Ti merasa sangat sedih. Walaupun serangan ke dalam ben¬teng itu bukan rencananya, tapi kekalah¬an para pendekar persilatan tersebut benar-benar menyakitkan hatinya. Rasa¬nya ia ikut bersalah atas kejadian itu.
Panglima Yap Kim juga menyesal sekali. Semua itu hanya karena dia. Dua kekuatan besar yang Bsama-sama meng¬inginkan dirinya. Yang satu ingin mem¬bebaskan dia, sementara yang lain ingin membunuh dirinya. Dan ternyata kekuat¬an yang menginginkan kematiannya itu telah mengalahkan kekuatan yang hendak membebaskan dia.
Yap Kim benar-benar sedih dan me¬nyesal sekali. Ratusan korban telah jatuh di kalangan pendekar persilatan. Mereka mati hanya karena mau membebaskan dirinya. Benar-benar suatu pengorbanan besar, pengorbanan yang sangat menyentuh jiwa dan semangatnya.
Perasaan seperti itu menghinggapi pula hati Pangeran Liu Wan Ti. Pangeran itu tak kuasa menyembunyikan rasa se¬dihnya. Berkali-kali dia berdesah panjang.
"Ciangkun, apa yang harus kita laku¬kan sekarang? Para pendekar itu telah dikalahkan. Tinggal tokoh-tokohnya saja yang masih bertahan. Dan mereka juga akan tergilas oleh pasukan Hun," Pange¬ran Liu Wan Ti mengeluh sedih.
Yap Kim tidak menjawab. Matanya menatap ke sekelilingnya. Dilihatnya A Liong, Souw Thian Hai ^Gialn /rJjSeng, Put-pai-siu Hong-jin, Chin Tong Sia, dan yang lain lagi. Semuanya bertempur de¬ngan susah payah. Lawan mereka me¬mang hebat. Pasukan dan jago yang di-bawa Mo Hou memang benar-benar pilih¬an.
Karena tempat itu lebih tinggi dari tempat lain, - maka Yap Kim juga dapat menyaksikan sisa-sisa pertempuran di sekitarnya. Ia masih melihat para tokoh Tiat-tung Kai-pang yang mati-matian bertahan dari kurungan pasukan Hun.
Bahkan dengan ketajaman matanya ia juga dapat melihat sahabat lamanya, Kwe Tiong Li dan puteranya, berkelahi dengan gagah perkasa. Keadaan mereka tidak kalah sulitnya dibandingkan tokoh-tokoh Tiat-tung Kai-pang. Barisan yang mengepung mereka terdiri dari empat lapis, yang secara bergantian menyerang mereka dari empat jurusan.
Ketika pandangan Yap Kim bergeser ke selatan, tiba-tiba matanya terbelalak. Lebih kurang seratus tombak jauhnya dari tempat itu, dia melihat keributan kecil diantar a kerumunan pasukan Hun. Wlasan orang prajurit Hun tampak be¬terbangan, terlempar ke kanan dan ke kiri, seolah-olah ada gajah mengamuk di tengah-tengah mereka.
Namun ketika kerumunan itu menyi¬bak, bukan gajah yang muncul, tapi se¬orang lelaki berpakaian tukang kebun de¬ngan topi lusuh di kepalanya. Orang itu melangkah perlahan, sambil sebentar-sebentar memasang telinganya. Wajahnya tidak dapat terlihat dengan jelas, karena rambut putih di bawa'- topi lusuh itu
dibiarkan terurai lepas menutupi muka¬nya.
"Siapa dia...?" Tak terasa bibir Yap Kim itu bergumam.
"Ada apa, Panglima?" Pangeran Liu Wan Ti dan Tio Ciu In bertanya kaget.
"Ah, tidak. Aku... aku hanya sedih sekali. Begitu tulus perjuangan para pendekar itu, sehingga mereka lebih rela mati daripada menyerah kepada musuh. Lihatlah! Masih banyak pendekar yang tidak mau meninggalkan benteng ini wa¬lau perang sudah usai. Mereka memilih gugur 'daripada pulang menanggung malu." Yap Kim menjawab hampir tidak terdengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT