PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 26

 


TAPI setiap kali ada prajurit ter¬jatuh, prajurit yang lain segera datang menggantikan. Mereka mengalir seperti semut yang tidak ada habisnya. Melihat kesibukan kawannya, A Liong tidak dapat tinggal diam. Dia turun ta¬ngan membantu. Tapi karena pada dasar¬nya memang tidak ingin melukai orang, maka pemuda itu hanya berusaha untuk melumpuhkan perlawanan lawannya.


Namun demikian apa yang dilakukan A Liong cukup membuat lawan-lawannya terkejut. Tanpa membawa senjata pemu¬da itu menyongsong serbuan mereka. Dan hanya dengan mengandalkan lengan dan kakinya, pemuda itu menangkis hujan senjata yang datang menghantam diri¬nya. Tapi apa yang terjadi selanjutnya, sungguh membuat lawan-lawannya ter¬nganga. Ternyata bukan tangan atau kaki pemuda itu yang patah atau terpotong, sebaliknya justru pedang dan golok me¬reka sendiri yang patah atau rusak! Pemuda itu seolah-olah telah berubah menjadi patung besi, yang mampu menahan sabetan golok dan pedang! Bahkan sambil melayani para perajurit itu, A Liong masih sempat berteriak ke arah Liu Wan.



"Ciok Sin-she! Kita jalan ke mana...?"



"Pintu sebelah kanan!" Prajurit Go yang sudah mendapatkan obat pemunah itu menjawab dengan keras.

"Baik! Kalau begitu biar aku yang membuka jalan! Kalian semua mengikut di belakangku!" A Liong kembali berte¬riak.

Lalu tanpa menanti jawaban lagi pe¬muda itu benar-benar membuka jalan. Dengan kekebalan tubuhnya dia terus menerjang ke pintu sebelah kanan. Siapa-pun yang berusaha menghalang di depan¬nya, segera terlempar bersama senjata mereka.

Liu Wan cepat menyeret Prajurit Go di belakang A Liong. Souw Hong Lam dan Tiau Hek Hoa juga mengikuti di belakang mereka. Mereka berlari menuju pintu yang ditunjuk oleh Prajurit Go.

Mereka masuk ke dalam ruangan yang lebih luas. Namun kedatangan me¬reka di sana sudah dinantikan oleh kelom¬pok penjaga lain. Begitu datang mereka segera dikepung pula. Bahkan penjaga di tempat itu kelihatan lebih ganas dan lebih terlatih daripada tadi.

"Tangkap mereka...!" Seorang perwi¬ra tinggi dengan seragam gemerlapan, tampak berdiri di tengah ruangan. Suara¬nya bergetar penuh kekuatan.

A Liong tetap menerjang ke depan. Barisan pejijaga itu segera tersibak dan berjatuhan begitu berhadapan dengan A Liong. Mulai dari lapisan terdepan sampai ke lapisan yang ke empat lang¬sung terpental ke kanan dan ke kiri. Tetapi karena A Liong tidak berusaha melukai mereka, maka mereka pun sege¬ra berdiri kembali dan menyerang dari kanan dan kiri.

Sambil menghalau prajurit-prajurit itu A Liong melihat ke sekitarnya. Ia melihat belasan buah pintu keluar di dalam ruangan itu.

"Ciok sin-she, lihatlah! Banyak sekali pintu di sini! Pintu mana yang ha¬rus kita lalui?" Pemuda itu berseru sambil menoleh ke arah teman-teman¬nya yang selalu mengikut di belakang¬nya.

Liu Wan menggenggam lengan Praju¬rit Go. "Katakan...!" Di mana ruangan itu?"

"Pintu hijau! Pintu itu menuju ke lorong bawah, tempat Panglima Yap Kim dikurung!"

"Baik! Kita menuju ke sana!" A Liong kembali berteriak seraya menerjang ke depan.

Bagaikan kawanan serigala yang tidak takut mati barisan penjaga itu tetap me¬nyerang dan . menghalangi langkah A Liong. Walaupun mereka harus berja¬tuhan setiap kali bentrok dengan lengan pemuda itu, tapi mereka tetap saja me-rangsek ke depan. Mereka sama sekali tidak takut menyaksikan kehebatan A Liong. Mereka benar-benar memiliki di¬siplin prajurit yang tinggi.
Melihat kehebatan A Liong, akhirnya perwira tinggi itu terjun pula ke dalam arena. Dengan golok di tangan perwira itu menyerang A Liong. Demikian kuat ayunan goloknya sehingga terdengar suara desing yang mengerikan.

A Liong tidak berani menangkis go¬lok itu. Ia menghindar ke samping sam¬bil menghantam pinggang lawannya. Ta¬pi dengan tangkas perwira itu menggeli¬at ke samping pula. Goloknya yang gagal mengenai A Liong, berputar ke belakang dan kembali menebas ke depan.

A Liong cepat membungkukkan ba¬dannya, sehingga golok itu' nyelonong ke belakang, ke arah Tiau Hek Hoa!

Traaaang! Bunga api berhamburan ketika golok itu bertemu dengan kipas baja Tiau Hek Hoa.

"Aduh...!" Perwira itu menjerit sam¬bil melepaskan goloknya. Kekuatan gadis bermuka hitam itu membuat kulit ta¬ngannya seperti terkelupas.

Namun ketika gadis itu kembali me¬ngayunkan kipasnya ke depan, A Liong cepat-cepat menepisnya ke samping! Dalam keadaan terluka perwira itu tak mungkin dapat mengelakkan serangan tersebut. Dan A Liong tidak tega meli¬hat perwira itu mati.

"Gila! Kenapa kau... halangi aku? Bukankah dia ingin membunuh kita?" Tiau Hek Hoa menjerit penasaran.

Namun gadis itu tidak dapat melan¬jutkan kemarahannya. Belasan prajurit lainnya segera datang menolong perwira itu. Mereka menyerbu seperti lebah yang keluar dari sarangnya.

Hal itu membuat Tiau Hek Hoa ma¬rah bukan main sambil menjerit kesal ia menyebar paku beracunnya! Maka tia¬da ampun lagi kawanan prajurit itu ber¬jatuhan ke lantai!

Liu Wan tertegun. Kipas baja dan paku-paku beracun itu mengingatkan dia pada gadis cantik yang ditemuinya lima tahun lalu. "Dia...?"

Tapi belum sempat menyebut nama gadis itu, dari Pintu Hijau tiba-tiba ke¬luar belasan prajurit yang ketakutan! Mereka berlari seperti dikejar setan!

"Ada apa pula ini...?" Perwira yang. selamat dari tangan Tiau Hek Hoa tadi' berseru mengatasi keributan tersebut.

"Panglima Yap Kim lolos dari penja¬ra! Dua orang penyelundup telah membe¬baskan dia!" Seorang perwira yang ikut berlari di antara prajurit-prajurit itu berkata gugup. Seragamnya telah basah dengan darah.

"Panglima Yap Kim lolos? Kemana dia sekarang?"

"Aku ada di sini!"

Tiba-tiba prajurit yang ada di dekat pintu hijau itu menyibak. Seorang kakek berperawakan sedang, berusia se¬kitar enam puluh lima tahun, dengan rambut berwarna kelabu, keluar dengan langkah gagah. Sambil mengelus kumis dan jenggotnya yang tertata rapi orang tua itu menatap dengan penuh wibawa. Dan tak seorang pun dari para prajurit di ruangan itu yang berani menentang matanya.

"P-p-p-panglima...?" Perwira yang garang tadi ternyata menjadi gentar juga berhadapan dengan bekas panglima itu.

Sementara itu di pihak lain, wajah Tiau Hek Hoa kelihatan berubah ketika melihat Panglima Yap Kim. Matanya berkilat penuh nafsu membunuh. Namun ketika gadis itu melangkahkan kakinya ke depan, Liu Wan segera mengejarnya. Pemuda itu merasa curiga.

"Li-hiap, kau mau ke mana? Kita tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Panglima Yap Kim telah bebas. Sese¬orang telah mengeluarkannya dari penja¬ra. Sekarang tugas kita untuk melindungi dan membawanya keluar dari tempat ini."

Tiau Hek Hoa tertegun. Sesaat tim¬bul keraguan di hatinya. Tapi keraguan itu segera lenyap. Perintah ayahnya lebih penting dari segalanya. Dan seka¬rang adalah waktu yang paling tepat un¬tuk melaksanakan perintah itu. Mantan panglima yang sangat berpengaruh itu harus dibunuhnya sekarang. Apabila orang tua itu sampai lolos dan terlanjur dike¬lilingi para pengikutnya, maka akan su¬lit sekali untuk mendekatinya. Mulut Tiau Hek Hoa menggeram.

Tiba-tiba ia membalikkan badannya. Tangannya terangkat dan mendorong de¬ngan kekuatan penuh, menyongsong ke¬datangan Liu Wan.

"Aku memang hendak melindungi Panglima Yap Kim. Minggirlah!" Gadis itu mengeram.

Angin dingin tiba-tiba menyerang Liu Wan. Pemuda itu gelagapan. Sesaat tim¬bul rasa tak percaya bahwa gadis itu menyerang dirinya. Tapi kenyataan me¬mang demikian. Gadis itu benar-benar hendak membunuhnya.

Dalam keadaan terpojok, tiada jalan lain selain membela diri. Otomatis kedua tangan Liu Wan menyongsong ke depan pula. Hong-lui-kang tersalur sepenuhnya. Whhuuuuus...!

Tetapi sekali lagi Liu Wan menjadi gelagapan. Tangannya yang terulur pe¬nuh tenaga itu sama sekali tidak mem¬bentur tangan Tiau Hek Hoa. Pukulan¬nya menggapai tempat kosong.

Ternyata dalam waktu singkat, Tiau Hek Hoa sudah mengubah serangannya. Gadis itu bergeser ke samping. Bahkan sambil bergeser ia mengerahkan ilmu - pamungkasnya. Tubuhnya yang ramping kecil itu mendadak berubah menjadi delapan orang. Bentuk dan wajahnya sama. Bahkan pakaiannya pun juga sama pula. Semuanya bergerak menuju ke arah Panglima Yap Kim.

Tentu saja kejadian itu mengejutkan semua orang. Tidak terkecuali Panglima Yap Kim sendiri. Malah A-liong juga kaget pula melihatnya.

"Awas! Tahan Dia!" Liu Wan menje¬rit kuat-kuat.

Souw Hong Lam yang kebetulan ber¬ada paling dekat dengan gadis itu segera menusukkan jarinya ke depan! Srrrt! Seleret sinar kemerahan menyerang salah seorang dari delapan Tiau Hek Hoa itu. Persis pada punggungnya.

Cuuus! Sinar itu dengan tepat mengenai sasarannya.

"Haaah...?!?";

Souw Hong Lam ternganga kaget. Punggung itu jelas kena, malah sampai bolong! Tapi gadis itu seolah-olah tak merasakannya. Bahkan luka bolong itu sama sekali tidak mengucurkan darah!

"Ilmu sihir...?" A-liong berdesah.

"Tangkap dia! Dia orang Hun, anak buah Mo Tan!" Liu Wan sekonyong-konyong berteriak begitu ingat siapa gadis itu.

Tapi Mo Goat atau Tiau Hek Hoa sudah tidak memikirkan jiwanya lagi. Sejak kecil dia sudah dididik dengan keras oleh ayahnya. Seorang warga Hun selalu siap mengobankan nyawa untuk negerinya. Apalagi dia adalah puteri Raja Hun yang sangat dijunjung tinggi oleh rakyatnya.

Sesaat kemudian kedelapan orang itu kembali bergerak. Mereka berpencar, lalu menerobos kepungan prajurit yang mengelilingi Panglima Yap Kim. Masing-masing bergerak seolah-olah mereka memang hidup sendiri-sendiri.

Namun teriakan Liu Wan tadi sudah cukup untuk membuka kedok Mo Goat. Sehingga A Liong dan Souw Hong Lam seperti mendapatkan , komando untuk meghentikan gadis itu. Hampir berba¬reng keduanya melompat tinggi ke udara, melewati kepala prajurit yang menge¬pungnya! Mereka berusaha secepatnya mendahului lawan agar dapat lebih dulu tiba di dekat Panglima Yap Kim. Mere¬ka harus melindungi bekas panglima itu.

A Liong benar-benar mengeluarkan segala kemampuannya, sehingga tubuh kekar itu benar-benar melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan sekejap saja pemuda itu telah ber¬ada di dekat Panglima Yap Kim. Jauh mendahului Souw Hong Lam, Liu Wan, maupun kedelapan bentuk Mo Goat itu sendiri!

Tetapi kedatangannya segera disam¬but dengan tusukan pedang. Sedangkan lelaki gemuk berpakaian pelayan dapur menyerangnya.

Traaaang! A Liong menepis pedang itu dengan ujung sepatunya.

"Ughhh!" Pelayan dapur itu mengeluh pendek. Tubuhnya yang gemuk terhuyung, sementara pedang pendeknya hampir terlepas dari genggaman.

"Hah...?" A Liong sendiri juga tersentak kaget pula. Ternyata lelaki gemuk itu adalah pelayan dapur yang dilihatnya pagi tadi.

Sesaat mereka saling pandang dengan rasa kagum. Dan keduanya baru sadar ketika rombongan manusia Mo Goat itu datang menyerbu. Tanpa direncanakan lebih dulu mereka berdiri berdampingan menghadapi "delapan bayangan"' Mo Goat tersebut.

Dan selanjutnya pertempuran sengit tidak bisa dihindarkan lagi. Para prajurit di dalam ruangan itu .segera bergabung pula dengan Mo Goat. Mereka beramai-ramai menyerang rombongan Liu Wan yang berusaha melindungi Panglima Yap Kim.

Melihat pelayan dapur itu juga melindungi Panglima Yap Kim, maka A Liong segera tahu di mana lawannya berpijak.

"Apakah... Saudara yang membebaskan Panglima Yap Kim? Ah, maaf! Kami semua telah salah sangka. Kukira Saudara penghuni benteng ini...." A Liong menjelaskan.

Pelayan dapur itu tidak menanggapi omongan A Liong. Matanya justru mengawasi Liu Wan yang bertempur di dekat mereka.

"Bukankah dia itu... Tabib Ciok?" Katanya seperti tak percaya.

"Siapa? Oh, kawanku itu? Benar! Dia memang Ciok-sinshe."

"Ough? Jadi benar dia itu Tabib Ciok?" Pelayan dapur itu kelihatan gembira sekali!

Tapi kegembiraannya segera terputus oleh desakan para prajurit yang mengepungnya. Mereka menyerang seperti air bah yang tumpah dari bendungan. Gempuran mereka membuat A Liong dan pelayan dapur tidak sempat lagi untuk saling berbicara. Masing-masing harus melayani belasan prajurit, yang menyerang tanpa rasa takut. Suasana benar-benar ruwet dan campur aduk tidak karuan.

Tentu saja Liu Wan menjadi cemas sekali. Pertempuran brutal seperti itu sangat membahayakan jiwa Panglima Yap Kim. Tanpa pelindung atau penga¬wal, mantan Panglima itu dapat dibo-kong oleh lawan-lawannya.

"A Liong! Lindungi Panglima Yap Kim!. Cepat...!" Liu Wan berteriak keras meng¬atasi kegaduhan itu.

Tanpa diperintah dua kali, A Liong segera menerjang lawan yang mengha¬langi dirinya. Begitu dahsyat tenaganya, sehingga prajurit yang menghalang di depannya terlempar ke kanan dan ke kiri.
"Panglima aku akan mengawalmu ke¬luar...." Pemuda itu berseru kepada Yap Kim.

Orang tua itu menoleh. Sikapnya masih sangat tenang, walaupun empat sosok bayangan Mo Goat dan belasan orang prajurit mengepungnya. Ia selalu dapat menghindari serangan lawan. Bah¬kan sekali-sekali dari telapak tangannya meluncur pukulan jarak jauh yang perba-wanya sampai menggetarkan udara di ruangan itu.

Bagaimanapun juga Yap Kim adalah ahli waris keluarga Yap, keluarga pen¬dekar yang sangat terkenal di dunia per¬silatan. Selain ilmu silatnya sangat he¬bat, dia juga pernah menjabat sebagai
Panglima Perang di jaman Kaisar Liu Pang. Bahkan kakaknya, Yap Kiong Lee, adalah jago silat nomer satu di kota raja.

"Anak muda, ilmu silatmu sangat tinggi. Engkau murid siapakah?" Orang tua itu bertanya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Ah, Guruku sama sekali tak dikenal orang. Beliau belum pernah menginjak¬kan kakinya di daratan Tiongkok, karena beliau tinggal di sebuah pulau kecil di Laut Utara. Beliau bernama Soat Bun Ong dan Bok Kek Ong...."

Benar juga. Panglima itu mengerutkan keningnya. Nama-ama yang disebutkan A Liong itu sama sekali belum pernah didengarnya. Tapi sebelum dia bertanya lagi, salah seorang dari bentuk Mo Goat itu kembali menyerang dirinya. Yap Kim tidak tahu, orang itu Mo Goat asli atau palsu. Yang jelas serangan itu menebar¬kan hawa dingin!

Serangan gadis itu memang hebat. Se¬lain kuat dan cepat, ternyata waktunya sangat tepat. Kedua tangan Yap Kim baru saja menepis pedang dan golok yang menyerangnya dari kanan dan kiri, » sehingga dadanya otomatis terbuka.

Sesaat orang tua itu menjadi bim¬bang. Kalau dia menghindar, maka kor¬ban akan berjatuhan. Kipas itu tentu akan menyelonong dan mengenai prajurit-prajurit di dekatnya. Tapi kalau dia ti¬dak menghindar, berarti nyawanya yang akan melayang.

"Ah...!?" Orang tua itu berdesah bingung.

A Liong melihat kesulitan itu. Tiba-tiba kakinya melangkah dan berputar be¬berapa kali. Dan dalam sekejap saja ia telah berada di samping Panglima Yap Kim. Ketika tangannya terayun ke de¬pan, maka tangan itu telah menggengam sebilah pedang kecil mirip belati. Dan dari ujung belati itu melesat cahaya berwarna-warni. Semuanya tertuju ke arah kipas Mo Goat!

Criiing! Cring! Criiiing! Kipas itu terdorong ke belakang, seolah-olah mem¬bentur dinding baja!

'"Panglima, marilah kita keluar dari ruangan ini!" Pemuda itu berseru sambil mengayunkan kembali pedang kecil yang dapat mengeluarkan cahaya pelangi itu.

Seleret cahaya berwarna-warni kem¬bali meliuk-liuk seperti naga terbang. Benda apa pun yang membentur cahaya itu tentu terpental bagaikan membentur benteng yang amat kuat.

"Oh! Ilmu pedang apa itu?!" Dalam keadaan terdesak orang tua itu masih saja tergagap keheranan.

Ternyata cahaya pelangi itu benar-benar ampuh. Ke manapun cahaya itu bergerak, korban segera berjatuhan.. Ti¬dak terkecuali bentuk-bentuk Mo Goat berjumlah delapan buah itu. Walaupun setiap saat selalu dapat berdiri dan hidup kembali, namun bentuk-bentuk Mo Goat itu tidak dapat menahan setiap kali di¬terjang cahaya pelangi!

Tiba-tiba terdengar bunyi menggele¬gar, diikuti sorak-sorai setinggi langit! Sesaat para perajurit di dalam ruangan itu terkejut! Wajah mereka tampak pias!

Beberapa saat kemudian di luar ger¬bang terdengar suara terompet dan tambur bertalu-talu. Beberapa orang prajurit berbegas meninggalkan ruangan itu.

"Pasukan musuh berhasil "membobol benteng! Kita harus keluar menghadapi mereka!" Prajurit itu berteriak dan berlari keluar.

Ternyata langkah mereka diikuti pula oleh prajurit yang lain. Berbodong-bondong mereka berlari keluar untuk me¬nyongsong pasukan musuh. Tambur dan terompet tadi merupakan aba-aba buat mereka.
Akhirnya Mo Goat terpaksa harus bertempur sendirian. Meskipun dengan ilmunya PaP-sfan-ih-hoat, ia dapat ber¬ubah menjadi delapan orang, tapi dia tidak dapat menghadapi Liu Wan dan kawan-kawannya. Mereka terlalu kuat untuk dilawan seorang diri. Terutama A Liong, pemuda yang memiliki ilmu pe¬dang aneh itu.
Mo Gpat benar-benar menjadi repot. Cahaya pelangi yang muncul dari pedang A Liong mempunyai gerakan yang sulit diduga. Cahaya itu meliuk-liuk di atas kepala, seperti naga yang terbang di atas langit. Ilmu silat Pat-sian-ih-hoat miliknya, yang selama ini belum pernah menemukan tandingan, ternyata dibuat tak berkutik oleh permainan pedang kecil tersebut.
Oleh karena itu Mo Goat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Panglima Yap Kim dibawa keluar dari gedung itu. Dia justru ikut menyelinap keluar pula sete¬lah melepas Pat-sian-ih-hoatnya. Dia berbaur dalam arena pertempuran.
Sementara itu suasana di dalam ben¬teng benar-benar kacau-balau. Pintu ger¬bang utama sudah terbuka lebar dan pasukan penyerbu yang terdiri dari para pendekar persilatan menyebar di mana-mana. Mereka mencari ruang penjara Panglima Yap Kim.
Seorang pemuda tampan dengan pe¬dang di tangan, tampak mengamuk di dekat jembatan gantung. Pemuda itu ber¬tempur bersama-sama dengan seorang gadis manis, yang selalu mengekor di belakangnya. Walaupun dikepung oleh belasan prajurit bertombak, mereka sa-ma sekali tidak mengalami kesulitan.
"Saudara Kwe, Ayahmu sudah datang. pula! Beliau berada di bagian utara...!" Seorang pengemis tua berteriak dari atas tangga.
"Bagus!" Pemuda itu berseru gembira. "Jeng-bin Lo-kai, silakan membawa orang-orangmu ke dalam pula! Carilah Panglima Yap Kim sampai ketemu!"
"Apakah kita tidak ikut masuk ke dalam, Toa-suheng...?" Gadis manis yang tidak lain adalah Song Li Cu itu ber¬seru.
"Tentu saja! Tapi aku ingin memasti¬kan dulu, apakah semua kawan kita su¬dah masuk ke dalam benteng?" Kwe Tek Hun menjawab sambil menggempur para pengeroyoknya.
Sementara itu Jeng-bin Lo-kai telah pergi dengan para pengawalnya. Mereka menerobos barisan prajurit yang berada di bagian barat. Di sana bertempur rom¬bongan pendekar dari Im-yang-kau, yang bergabung dan bercampur dengan pende¬kar-pendekar dari perguruan lain. Bah¬kan Chin Tong Sia yang terpisah dari rombongan Souw Thian Hai pada saat
memasuki benteng itu, tampak berlon¬catan di antara para perajurit. Seperti biasanya pemuda itu berkelahi sambil mengoceh tidak karuan. Namun demikian setiap kali tangannya bergerak, dua atau tiga lawannya pasti tersungkur mencium tanah.
Giam Pit Seng yang berada tidak jauh dari tempat itu hanya dapat berde¬sah sambil menggeleng-gelengkan kepala¬nya. Meski umurnya lebih tua, tapi ke¬pandaiannya tidak mungkin dapat menya¬mai pemuda dari Aliran Beng-kau itu.
"Murid mendiang Put-ceng-li Lojin ini memang hebat. Dan biasanya anak ini selalu diikuti oleh suhengnya yang jauh lebih gila lagi!" Katanya sambil mengedarkan matanya.
Pertempuran semakin dahsyat. Para prajurit di dalam benteng bertempur dengan gagah berani. Sebagai perajurit pilihan mereka £ama sekali tidak gentar melihat ribuan musuh berhasil menjebol benteng mereka. Mes'upun korban berja¬tuhan, tetapi meresa tetap bertahan. Bahkan para perwiranya bertempur di antara prajurit dengan semangat menya¬la-nyala. Mereka bertempur di garis ter¬depan bagaikan banteng terluka.
Apabila dibuat perbandingan, sebenar¬nya kekuatan kedua belah pihak boleh dikatakan berimbang. Para pendekar per¬silatan itu memiliki jumlah yang lebih banyak, dan secara perorangan mereka juga memiliki kepandaian silat yang le¬bih baik. Tetapi prajurit yang bertugas di dalam benteng itu mempunyai penga¬laman tempur yang lebih terlatih. Mere¬ka juga hebat dalam pertempuran berke¬lompok. Mereka juga amat terlatih, menggunakan siasat dalam ilmu perang. Apalagi mereka juga bertempur di da¬lam benteng mereka sendiri.
Alhasil pertempuran itu masih belum dapat diramalkan kesudahannya. Kalau pun pada permulaannya para penyerang dapat menjebol benteng, hal itu disebab¬kan oleh karena kelengahan para peraju-rit itu sendiri. Mereka menjadi lengah karena sudah terlalu lama dalam suasa¬na tenang dan damai. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya ada kekuatan yang berani menentang T kekuatan benteng itu.
Demikianlah, ketika bulan semakin turun ke barat dan cahaya terang mulai meremang di ufuk timur, maka suara dentang senjata dan sumpah serapah me¬reka juga mulai reda. Meskipun pertem¬puran masih tetap berlangsung, tetapi tenaga dan semangat tempur mereka juga mulai menyusut.
Api berkobar di mana-mana. Jilatan apinya menerangi mayat-mayat yang bergelimpangan di segala tempat. Ben¬teng itu benar-benar berubah menjadi padang pembantaian yang sangat menge¬rikan. Mayat berserakan, terinjak-injak oleh pasukan yang masih tetap bertempur untuk menentukan pemenangnya.
Mo Goat yang menyelinap di antara pertempuran itu membunuh siapa saja yang dijumpainya. Gadis itu tidak peduli lagi siapa yang dibunuhnya. Baginya se¬mua orang Han adalah musuh. Tidak peduli mereka itu perajurit kerajaan pen¬dekar persilatan.
Seiain kecewa atas kegagalannya, Mo Goat juga mendongkol karena bantuan yang dijanjikan kakaknya belum juga da¬tang. Seharusnya kakak dan pasukannya telah tiba di benteng itu, sesuai renca¬na yang mereka susun sebelumnya.
Ketika melintasi parit perlindungan, kaki Mo Goat ' hampir tersandung oleh mayat yang terbaring di atas tanah.
Karena kaget Mo Goat menjadi ma¬rah. Mayat itu ditendangnya dengan se¬kuat tenaga. Mayat itu harus "menying¬kir" dari jalannya!
Wuuuut!
"Eiiit...?!" Tiba-tiba Mo Goat menje¬rit. Kakinya menyambar tempat kosong.
Mayat itu bergeser dari tempatnya. Cara bergesernya pun sangat aneh dan mengejutkan. Sama sekali tidak terlihat gerakannya. Mayat itu bergeser begitu saja, seolah-olah berpindah tempat de¬ngan sendirinya.
Mo Goat terbelalak. Hatinya berde¬bar-debar. Bahkan jantungnya juga berge¬tar dengan kuat. Ternyata "Mayat" itu hanyalah seorang kakek tua berwajah sangat buruk. Selain kurus kering, tubuh itu juga kelihatan tidak sehat.
Orang itu berpakaian seadanya. Itu pun tidak dikenakan dengan rapi. Kaki¬nya juga tidak bersepatu. Bahkan kepa¬lanya yang nyaris gundul itu juga tidak mengenakan penutup sama sekali.
"Kau... siapa? Menyingkirlah!" Mo Goat membentak.
Sambil berkata Mo Goat kembali me¬nyerang dengan kipasnya. Tapi serangan¬nya menjadi batal, karena tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit yang menyerbu ke arah dirinya. Kipas itu berbalik arah, menyongsong kedatangan prajurit-prajurit tersebut.
Trang! Trang! Trang!
Prajurit-prajurit itu terpental bersa¬ma senjata mereka. Namun beberapa di antara mereka segera bangkit kemba¬li. Tanpa rasa takut mereka kembali menerjang Mo Goat.
Mo Goat semakin marah. Sekali lagi ia mengayunkan kipasnya. Ia sama sekali tak mau menghindar dari terjangan lawan. ;
Crees! Cres! Cressss...! Daun kipas itu memotong tubuh "lawan bagaikan memotong pohon pisang! Prajurit itu segera bergelimpangan seperti potongan kayu di atas tanah.
"Huh!"Mo Goat berdesis puas.
Tapi matanya segera terbelalak keti¬ka melihat orang tua jelek tadi sudah tidak ada di tempatnya lagi. Mayat itu sudah lenyap. Namun lapat-lapat telinga¬nya masih mendengar suara orang meng¬gerutu di balik dinding halaman.
"Wah, sial...! Mau tidur saja tidak bisa! Belum-belum sudah bertemu Tukang Sihir!"
"Kurang ajar! Tua'Bangka jelek! Kelu¬ar kau!" Mo Goat mengumpat dan me¬maki.
Tak ada jawaban. Mo Goat melayang ke atas tembok. Belasan anak panah justru melesat ke arahnya. Wusss! Wusss! Mo Goat mengibaskan kipasnya sehing¬ga panah-panah itu jatuh berpatahan!
Mo Goat menggeram. Di bawah tem¬bok dia melihat seorang pemuda tampan telah siap untuk melepaskan anak panah¬nya lagi.
"Sin Lun, awas...!" Tiba-tiba terde¬ngar suara orang memberi peringatan kepada pemuda itu.
Benar saja. Belum juga gaung suara orang itu lenyap, tubuh Mo Goat yang kecil itu telah menyambar ke bawah. Kipasnya menyambar dari atas ke ba¬wah dalam Jurus Membelah Gunung Menyibak Lautan!
Pemuda yang tidak lain adalah Tan Sin Lun itu terkejut sekali. Tak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa dia menangkis dengan busurnya. Dan pada saat yang sama, sepasang senjata berbentuk pena ikut menangkis kipas tersebut.
Traaaang...!
Akibatnya sungguh hebat! Kipas itu bergetar di tangan Mo Goat. Tapi seba¬liknya busur dan pena itu terpental pa¬tah dari tangan pemegangnya!
Mereka berdiri berhadapan. Mo Goat di satu pihak, dan Tan Sin Lun bersama Giam Pit Seng dipihak lain. Mo Goat kelihatan marah sekali, sementara Tan Sin Lun dan Giam Pit Seng rnengerutkan dahinya. Keduanya tampak kesakitan. Bahkan dari telapak tangan Tan Sin Lun menetes darah segar.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai meng¬gelegar dari luar benteng. Sebuah pasu¬kan besar datang menyerbu benteng itu. Kekuatan mereka jauh lebih besar dari¬pada kekuatan pendekar persilatan. Begi¬tu masuk benteng, pasukan itu segera menggempur siapa saja yang mereka jumpai. Baik pasukan kerajaan maupun pasukan para pendekar.
"Apakah kakak kutelah datang?" Mo Goat bergumam di dalam hati.
Empat orang pendekar, terdiri dari seorang lelaki tua dan tiga orang wani¬ta, mendekati tempat itu. Begitu dekat, seorang dari ketiga wanita itu tiba-tiba berlutut di depan Giam Pit Seng.
"Suhu...!" Wanita yang tidak lain ada¬lah Tio Siau In itu berdesah haru.
"Siau In, kau!"
Giam Pit Seng mengelus kepala Siau In, sementara di belakangnya Tan Sin Lun hanya terlongong-longong saja seper¬ti tak percaya. Pendekar dari Im-yang-kau itu lalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia mencari Tio Ciu In.
Tetapi Tio Ciu In tidak ada. Dia jus¬tru melihat Souw Thian Hai dan isteri-nya. Pendekar ternama itu datang ber¬sama Tio Siau In.
"Souw-taihiap? Souw-hujin? Apakah selama ini muridku bersamamu?" Giam Pit Seng menyapa dengan terbata-bata.
Tio Siau In cepat bangkit dan mem¬perkenalkan gurunya kepada Souw Thian Hai, sekalian menjelaskan kepada guru¬nya itu ke mana ia selama ini berada.
"Ohh, lalu... Ciu In ke mana? Dia ju¬ga tidak pulang selama ini. Kukira dia pergi bersamamu." Giam Pit Seng ter¬tunduk.
Siau In kaget. Dia sendiri juga tidak menyangka kalau kakaknya tidak pulang.
Sementara itu Mo Goat sudah tidak sabar lagi melihat percakapan itu. Wa¬laupun ia pernah mendengar nama Souw Thian Hai, tapi ia tidak takut. Kata Ulan Kili, gurunya, dia tak perlu takut dengan siapa pun di Tiong-goan. Tidak seorang pun yang dapat menandingi ilmu silatnya.
"Hmm, jadi inikah pendekar tua yang sangat tersohor namanya itu? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Huh!"
Souw Thian Hai mengerutkan kening¬nya. Tentu saja dia tak mengenal gadis berwajah hitam itu.
"Siapakah kau, gadis muda? Apakah aku mengenalmu?"
Mo Goat mencibirkan bibirnya. "Kau tentu tidak mengenalku, karena baru sekali ini kita berjumpa. Tapi Guruku pernah bercerita tentang engkau. Kata¬nya kau seorang pendekar silat yang sangat tersohor di daerah Tiong-goan. Dulu kau menempati urutan ke lima da¬lam daftar Urutan Jago Silat Terkemu¬ka di Dunia Persilatan!"
Souw Thian Hai tertawa panjang. "Se¬mua itu bohong, Gadis Muda. Siapakah gurumu itu? Dia salah menilai kalau menganggapku nomer lima di dunia per¬silatan. Dunia begini luasnya. Bagaimana mungkin aku berani mendudukkan diri di nomer lima? Ha-ha-ha-ha!"
"Tapi Guruku memang mengatakan demikian. Bahwa dengan sudah mening¬galnya beberapa orang di antara tokoh-tokoh persilatan itu, kau sekarang dapat menjadi tokoh yang nomer dua atau tiga."

Souw Thian Hai menghentikan tawa¬nya. Dengan suara keren dia berkata ke¬pada Mo Goat.
"Nona, katakan kepadaku! Siapa nama Gurumu?"
Tak terduga Mo Goat yang liar dan tak punya rasa takut itu balas memben¬tak. ___
"Guruku adalah Pendeta Agung Ulan Kili. Ayahku adalah Raja Mo Tan yang gagah perkasa."
Pengakuan gadis itu memang menge¬jutkan semua orang. Tak terkecuali Giam Pit Seng yang baru saja merasakan- ke¬saktian gadis itu.
Matahari benar-benar muncul dari balik cakrawala. Suasana menjadi terang, sehingga masing-masing dapat melihat dengan jelas wajah lawannya. Perang berkecamuk di sekitar mereka. Dan ke¬datangan pasukan baru tadi membuat keadaan semakin kisruh.
Suara terompet yang dibuyikan oleh pasukan baru itu sangat melegakan hati Mo Goat. Jelas bahwa suara itu adalah "tengara" yang biasa digunakan oleh pa¬sukan ayahnya. Kakaknya benar-benar datang menggempur benteng itu.
"Hou-ko, aku di sini...!" Tiba-tiba Mo Goat berseru dengan khikangnya yang tinggi. Suaranya melengking tajam, me¬nyusup di antara kegaduhan di sekitar¬nya. Dari tangannya melesat bola api yang kemudian meledak di angkasa.
Beberapa orang datang 'menghampiri tempat itu. Mereka adalah pasukan Mo Hou yang baru saja tiba. Seorang lelaki tinggi besar dengan tombak di tangan mendekati Mo Goat. Di belakangnya tampak pasukannya bergerak dalam ke¬lompok-kelompok yang teratur. Beberapa orang jago silat seperti Ho Bing, Tiat-tou, dan Siang-kiam-eng berada di anta¬ra mereka.
"Apakah aku berhadapan dengan Puteri?" Lelaki lelaki besar itu memberi hormat.
Mo Goat menoleh sambil memperli¬hatkan cincin di jari manisnya ia meng geram. "Berapa orang yang dibawa ka¬kakku ke sini, Bayan Tanu?"
Sungguh mengherankan. Panglima pa¬sukan yang tampak perkasa itu kelihat¬an gugup.
"Maaf, Puteri. Aku tidak mengenali samaranmu. Anu, eh... Kongcu memba¬wa empat ribu lima ratus prajurit untuk menaklukkan benteng ini! Tapi sebagian besar masih berada di luar benteng."
"Bagus! Sekarang bunuh orang-orang ini! Tapi awas! Mereka adalah tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Teruta¬ma orang tua itu. Gunakan barisan un¬tuk melawan mereka! Nah, aku akan menemui Kakakku dulu. Di mana dia sekarang?"
"Kongcu berada di bagian timur. Ka¬mi dapat berita kalau Kongcu dapat me¬nemukan bekas' panglima itu. Katanya bekas panglima itu dapat lolos dari pen¬jara dan berusaha kabur melalui pintu timur. Kabarnya beberapa orang tokoh persilatan . melidunginya...." Bayan Tanu menjawab.
"Aku tahu. Aku juga baru saja dari tempat itu. Nah, cepat bereskan orang-orang ini! Aku akan ke sana!"
Mo Goat melesat pergi meninggalkan tempat itu. Dia kembali ke halaman dalam. Sambil berlari ia dapat menyak¬sikan pasukan kakaknya sudah bertebar¬an di mana-mana. Pasukan itu meng¬gempur siapa saja yang mereka jumpai. Mereka tidak peduli, apakah lawan itu pasukan Kerajaan Han atau pasukan pa¬ra pendekar persilakan.
Ketika melewati lorong yang penuh dengan prajurit, Mo Goat segera berai? si. Dia menerobos dengan mengerahkan seluruh kemampuanya. Setiap tangan dan kakinya mengibas, maka lawan yang menghalang di depannya segera terbang seperti diguncang prahara.
"Menyingkir...!" Berkali-kali bibirnya melengking.
Siapa pun yang melihat keganasan ga¬dis itu menjadi giris. Bagi mereka yang sempat menghindar segeramenyingkir me¬nyelamatkan diri. Tapi bagi yang tidak sempat, terpaksa harus menjadi korban keganasan Mo Goat. Dhuuuug!
Tiba-tiba langkah gadis itu tertahan! Seorang kakek yang tidak sempat me¬nyingkir ternyata mampu menahan kibas¬an tangan Mo Goat. Dan hal ini sudah cukup untuk membuat Mo Goat menjadi marah sekali.
"Menyingkir kau, Kakek Tua!" Gadis itu berteriak seraya mengibaskan kipas¬nya. Segumpal angin dingin menghembus ke arah kakek itu.
“Waduuh Lohu menjadi bingung! Sun Tek bilang, katanya dia dikalahkan oleh seorang gadis cantik bersenjata ki¬pas baja di kota Hang-ciu lima tahun lalu. Sekarang lo-hu melihat, kau juga membawa kipas baja seperti yang dika¬takannya. Tapi kulihat wajahmu tidak mirip dengan ceritanya. Hmm, apakah kau mempunyai hubungan dengan gadis cantik itu?"
Sambil menghindar kakek tua itu ber¬bicara tanpa henti. Meskipun demikian serangan Mo Goat tak pernah dapat mengenainya. Langkah kakinya sangat aneh. dan mentakjubkan. Seperti orang berma¬in petak, tubuhnya selalu berpindah seti¬ap kali kakinya bergerak.
"Bagus! Aku tahu siapa kau! Kau ten¬tu pendekar dari Pulau Meng-to, yang disebut orang Keh-sim Tai-hiap itu! Nah, tampaknya anakmu yang jelek itu telah melapor kepadamu. Hu-hu-hu, sekarang ia akan menyadari bahwa ayahnya juga tidak mampu melawanku!"
Sambil tertawa Mo Goat melepas alat penyamarannya. Baju luarnya ia tanggal¬kan, sehingga pakaian dalamnya yang ge¬merlapan dapat terlihat oleh semua orang. Kulitnya yang hitam dia gosok dengan saputangan. Walau belum bersih benar, tapi kulitnya yang putih mulai ke¬lihatan bersinar di cahaya mentari.
"Huurraa! Hidup Puteri! Hiduup Pute-ri...!" Pasukan Hun yang berada di tem¬pat itu segera bersorak-sorai.
"Hah! Benar! Ternyata engkau yang dimaksud Tek Hun!" Pendekar tua dari Pulau Meng-to itu berdesah waspada.
"Keh-sim Tai-hiap, di mana anakmu itu? Beruntung dia ditolong oleh Pende¬kar Buta. Kalau tidak, nyawanya sudah melayang lima tahun lalu...."
Keh-sim Tai-hiap menghela napas panjang. Kwe Tek Hun memang sudah bercerita tentang hal itu. Ketika pulang ke Meng-to bersama Utusan Pondok Pe¬langi, Kwe Tek Hun bercerita tentang orang-orang dari suku bangsa Hun, yang berkeliaran di pesisir timur Propinsi Kiang-su dn Se-kiang.
Teringat akan Utusan Pondok Pelangi yang datang bersama puteranya, otoma¬tis Keh-sim Tai-hiap teringat pula akan kehebatan ilmu silat mereka. Ternyata pasangan suami isteri dari Pondok Pela¬ngi itu memiliki ilmu silat yang maha dahsyat. Sebuah ilmu silat yang ternya¬ta merupakan kelengkapan dari ilmu si¬lat Ban-seng-po Lian-hoan, miliknya.
Utusan itu datang ke Meng-to untuk melacak "pedang pusaka" milik Partai Pondok Pelangi, yang ratusan tahun lalu dibawa oleh leluhur mereka ke daratan Tiongkok. Karena ilmu silat Kwe Tek Hun menyerupai ilmu silat mereka, maka kedua utusan itu mengira kalau Kelu arga Kwe mempunyai hubungan dengan mendiang leluhur mereka.
Tentu saja Keh-sim Tai-hiap tidak tahu tentang pedang pusaka itu menja¬wab pula apa adanya. Utusan dari Pon¬dok Pelangi itu merasa tidak puas, se¬hingga akhirnya mereka bertempur. Teta¬pi seperti halnya Kwe Tek Hun, Keh-sim Tai-hiap juga tidak mampu menghadapi kedua utusan tersebut.
Selain kedua utusan itu memiliki ke¬saktian yang mal» dahsyat, ternyata mereka juga dapat memainkan Ban-seng-po Lian-hoan aaranT ■rontuk yang lebih lengkap. Bahkan mereka juga mampu .memainkan ilmu silat Keluarga Souw dengan lebih hebat pula.
Ketika hal tersebut ditanyakan kepa¬da mereka, kedua utusan itu menjadi sangat gembira. Mereka membawa Keh-sim Tai-hiap ke Gunung Hoa-san, tem¬pat tinggal keluarga Souw. Dan selanjut¬nya, seperti halnya ceritera yang telah berkembang di dunia persilatan selama ini, Keh-sim Tai-hiap dilepas oleh kedua utusan itu. Sebaliknya Thian Hai suami isteri dibawa pergi ke Laut Utara.
"Hei! Jawab pertanyaanku! Mengapa diam saja?" Tiba-tiba terdengar suara Mo Goat membentak keras sekali.
Keh-sim Tai-hiap tersentak dari la¬munannya.
"Ah, entahlah! Tek Hun tidak pernah berada di rumah. Dia selalu berkelana ke mana-mana. Mungkin sekarang pun dia berada di tempat ini pula. Mana Lo-hu tahu?"
"Bagus! Mudah-mudahan begitu. Biar dia tahu bahwa ayahnya mati di ben-I ng ini! Nah, bersiaplah...!"
Pengalaman Keh-sim Tai-hiap sangat banyak. Dia sadar bahwa gadis muda itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kalau lima tahun lalu Kwe Tek Hun dapat ditaklukkan dengan mudah, maka sekarang pun rasanya dia juga tidak mampu melawannya. Ilmu silatnya tidak berbeda jauh dengan puteranya. Apalagi gadis itu tentu sudah bertambah pula tingkat ilmunya.
Tapi tentu saja pantang bagi Keh-sim Tai-hiap untuk menyerah begitu saja. I Paling tidak ia tentu dapat bertahan de- j ngan langkah Ban-seng-po Lian-hoan.
Maka pertempuran antara dua jago silat tingkat tinggi itu berlangsung dengan hebatnya. Otomatis semua orang yang berada di tempat itu menyibak menjauh¬kan diri. Pukulan dan tendangan mereka sangat berbahaya bagi siapapun juga.
Sementara itu kehadiran pasukan Hun telah mengubah situasi pertempuran. Jumlah pasukan Hun yang dibawa Mo Hou sangat banyak, melebihi jumlah- nasukan kerajaan dan pasukan para /ef£kS| I Peralatan perang yang mereka bawapun juga jauh lebih lengkap pula. Tak heran kalau akhirnya kedua pasukan yang su¬dah babak belur itu terdesak ke dalam.
Walaupun para pendekar itu memiliki ilmu silat yang cukup, namun mengha¬dapi pasukan Hun yang terlatih dan ber¬senjata lengkaR, mereka sungguh tidak dapat berbuat banyak. Sedikit demi sedi¬kit mereka terdesak ke dalam. Bahkan beberapa kelompok pasukan penjaga ben¬teng juga telah menyerah. Mereka meletakkan senjata masing-masing.
Puluhan pendekar persilatan telah ter¬tawan pula. Pasukan Hun yang dipimpin oleh para panglima perangnya, benar-benar seperti "kereta penggilas" yang mampu meluluh - lantakkan siapa saja yang menghadang di depannya. Terom¬pet kemenangan bergaung semakin ke¬ras di angkasa, membuat pasukan asing itu bertambah garang.
"Munduuuuur...! Munduuuur...!" Terde¬ngar suara nyaring membelah udara.
Pasukan penjaga benteng dan pasu-ka para pendekar yang masih tersisa Sefusarra "rffindar ncebagian dalam ben¬teng. Tapi pasukan Hun berusaha memo¬tong jalan mereka. Pertempuran menjadi semakin seru. Jeritan, teriakan, sumpah serapah, berbaur menjadi satu dengan suara dentang senjata. Mayat dan darah berserakan di mana-mana.
Di bagian lajn pasukan Bayan Tanu. yang mendapat perintah untuk membe¬reskan rombongan Souw Thian Hai, ter¬nyata mengalami sedikit kesulitan. Souw Thian Hai dan Chu Bwe Hong, adalah
tokoh persilatan terkemuka. Seribu orang prajurit pun belum tentu dapat menga¬lahkan mereka. Apalagi suami isteri itu dibantu oleh Tio Siau In dan Yok Ting Ting.
Namun demikian Bayan Tanu tidak putus asa. Bersama pasukan khususnya dia terus mengepung dan menggempur lawan-lawannya. Anak buahnya memang telah dipersiapkan untuk menghadapi jago-jago silat berkepandaian tinggi. Se¬lain dilatih untuk selalu bertempur dalam kelompok atau barisan, pasukannya juga dilengkapi dengan senjata-senjata khusus. -Maka tidak mengherankan bila perlawan¬an mereka membuat sibuk Souw Thian Hai dan rombongannya. Apalagi di antara mereka terdapat Ho Bing, Tiat-tou dan Siang-kiam-eng, tiga jago silat yang ber¬kepandaian cukup tinggi. Walau tidak se¬hebat Souw Thian Hai, namun keberada¬an mereka bertiga tetap menyulitkan . lawan-lawannya.
Souw Thian Hai dengan Tai-lek Pek-khong-ciang dan Tai-kek Sin-ciangnya I memang sangat menggiriskan. Tapi menghadapi pasukan Bayan Tanu yang terlatih itu ternyata tidak dapat berbuat banyak. Seperti telah dipersiapkan sebe¬lumnya, pasukan Bayan Tanu melengkapi diri mereka dengan perisai baja tahan senjata. Kilatan-kilatan sinar Tai-lek Pek-khong-ciang ternyata tidak mampu menembus perisai tersebut. Sementara itu Tio Siau In dan Yok Ting Ting juga tidak dapat berkutik pula. Mereka ber¬dua dikepung oleh barisan yang kuat dan berlapis-lapis.
Satu-satunya kelebihan yang dapat diandalkan oleh Souw Thian Hai dan rombongannya hanyalah kelincahan gerak mereka. Walau terdesak, namun mereka selalu dapat menyelamatkan diri. Bagai¬kan belut mereka selalu lepas dari baha¬ya kematian.
Tapi memang sulit bagi mereka ber¬empat untuk meloloskan diri. Ke mana pun mereka pergi, Bayan Tanu dan pasu¬kannya selalu mengejar. Bagaikan keru¬munan lebah pasukan terlatih itu selalu merubung mereka.
"Wah! Di mana Chin Tong Sia tadi?
Pada saat dibutuhkan anak itu justru menghilang...!" Souw Thian Hai menggerutu.
Bayan Tanu, Ho Bing, Tiat-tou dan Siang-kiam-eng memang bukan lawan yang setimpal dibandingkan dengan Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Apalagi di¬bandingkan dengan Souw Thian Hai. Namun dengan dukungan pasukan khusus tersebut, Bayan Tanu benar-benar sulit dikalahkan.
Setiap kali rombongan Souw Thian Hai dapat melepaskan diri dari kepung¬an, Ho Bing dan temannya selalu dapat mengejar dan menghentikan mereka. Memang hanya sesaat, tapi sudah cukup untuk membuat pasukan itu datang me¬ngepung lagi.
Sementara itu di benteng bagian timur pertempuran juga tidak kalah serunya. Panglima Yap Kim yang dika¬wal oleh rombongan A Liong berusaha lolos dari pintu timur. Namun kenyataan¬nya mereka justru terjebak dalam ke¬pungan pasukan Mo Hou.
Sekali ini tampaknya Mo Hou benar-benar mengerahkan semua kekuatannya. Hampir semua pembantu-pembantunya ikut dalam pasukan ini. Bahkan Lok-kui-tin yang sangat lihai itu juga berada di dekatnya.
Pada bentrokan pertama hampir saja Liu Wan mendapat celaka. Melihat Mo Hou dan pasukannya memburu Panglima Yap Kim, langsung ia memotong dan menyerang. Namun ternyata bukan Mo Hou yang menangkis pukulannya, tapi seorang lelaki tua berseragam merah. Hanya dengan mengibaskan lengannya lelaki tua yang tidak lain adalah Ang-kui itu membuat Liu Wan terpelanting. Untunglah A Liong segera datang meno¬longnya! Kalau tidak, maka serangan Ang-kui selanjutnya tentu sudah membu¬nuhnya.
Dhieesss!
Pukulan Ang-kui yang ditujukan kepa¬da Liu Wan berhasil ditangkis oleh A Liong! Tidak banyak tenaga yang dike¬luarkan oleh pemuda itu, namun sudah cukup menggetarkan lengan Hantu Merah!
Anggota Lok-kui tin yang lain segera tahu kalau saudaranya membentur lawan berat.
"Ang-kui! Kau tidak apa-apa?" Hek-kui yang berada di dekatnya berbisik perlahan.
"Awas... Badai Pasir!" Ang-kui meng¬geleng sambil memperingatkan saudara-saudaranya.
Sementara itu Mo Hou telah berdiri di depan Panglima Yap Kim. Sambil me¬ngepalkan tangannya pemuda itu meng¬geram.
"Hmm. jadi inikah panglima yang ter¬kenal itu? Bukan main!"
Yap Kim tetap tenang. Sikapnya be¬nar-benar mencerminkan wibawa seorang panglima. Dan sikap itu amat sangat me¬legakan hati Liu Wan dan A Liong. Ber¬sama-sama dengan Si Pelayan Dapur me¬reka bertiga segera mengelilinginya.
"Ahh, waktu benar-benar cepat sekali berlalu. Rasanya baru kemarin aku ber¬tempur dengan Raja Mo Tan. Ternyata hari ini aku harus berhadapan pula dengan anaknya." Yap Kim bergumam perlahan.
Mo Hou mendengus. "Ayahku sering bercerita tentang kehebatanmu! Katanya ilmu perangmu tiada duanya di dunia ini. Pasukanmu tidak pernah kalah dalam se¬tiap pertempuran."
Pemuda sakti itu berhenti sejenak. Lalu sambungnya lagi dengan gigi geme¬retak. "Tapi semua itu sudah berlalu. Kini keadaanmu sudah jauh berbeda. Kau tidak memiliki pasukan lagi. Dan nasibmu akan segera berakhir di tempat ini. Kau akan hancur-luluh diterjang Pasukan Hun yang dulu selalu kau kalahkan."
"Aaaah...!" Yap Kim menghela napas panjang.
Liu Wan cepat menyentuh lengan be¬kas panglima itu. "Ciangkun, jangan kau¬hiraukan ucapannya. Dia hanya ingin mempengaruhi perasaanmu. Meskipun kau tidak memiliki pasukan, tetapi banyak pendekar yang siap menerima perintah¬mu. Lihatlah orang-orang yang datang menyerbu benteng ini! Mereka datang untuk membebaskanmu! Mereka siap mati dibawah pimpinanmu!"
Yap Kim menoleh. Dahinya berkerut ketika menatap Liu Wan.
"Kau siapa...? Rasanya aku pernah mengenal suaramu."
Liu Wan yang menyamar sebagai Ta¬bib Ciok itu tersentak mundur. "Ciang-kun, aku... aku hanyalah seorang tabib. Namaku... Tabib Ciok. Mungkin Ciangkun memang pernah berjumpa denganku."
"Apakah... kau yang memimpin para pendekar ini?"
"Bukan! Bukan! Tapi aku mengenal mereka semua....!"
Yap Kim mengangguk, lalu berkata tegas, "Baik. Kita enyahkan dulu pasukan asing ini! Nanti kita bicara lagi!"'
"Kalian memang kelinci yang tidak tahu diri! Kematian sudah di depan ma¬ta, masih saja bemimpi...!" Mo Hou meng¬geram.
Tapi Yap Kim tidak mempedulikan ancaman itu. Sambil mengatupkan ta¬ngannya di depan mulut ia berseru de¬ngan suara tinggi.
"Para pendekar semua...! Dengarlah! Aku... adalah Yap Kim! Marilah kita enyahkan pasukan asing ini!" Suaranya menggema di atas benteng.
Melingkar-lingkar, bagaikan suara gende¬rang yang bergaung di tengah medan pertempuran. Beberapa kali seruan itu diteriakkan oleh Yap Kim, agar semua orang tahu bahwa dia telah bebas
Tapi suaranya selalu tenggelam dalam hiruk-pikuknya pertempuran. Hanya orang-orang di sekitar mereka saja yang mem¬perhatikan seruannya.
"Huh, percuma saja kau berteriak se¬tinggi langit! Mereka tak akan peduli." Mo Hou mengejek.
Melihat hal itu A Liong menjadi tidak sabar lagi. Dengan mengerahkan seluruh tenaga saktinya dia meloncat ke atas tembok, lalu berteriak sekeras-kerasnya.
Namun pada saat yang sama, Mo Hou juga mulai menyerang Yap Kim. Pemuda , itu juga tidak sabaran pula.
"Haiii...! Panglima Yap Kim sudah bebas! Beliau ada di sini! Beliau meng¬ajak kita mengenyahkan pasukan musuh ini!" A Liong berseru sekuat-kuatnya.
Teriakan A Liong bagaikan suara petir yang menggelegar di angkasa. De¬mikian dahsyatnya sehingga udara di dalam benteng itu seperti ikut bergetar pula. Bahkan getarannya sampai menyu¬sup ke dalam dada dan mempengaruhi keseimbangan pendengarnya. Otomatis semua orang menahan diri. Mereka ber¬usaha untuk melawan pengaruh suara itu.
Mo Hou pun tidak terkecuali pula. Pada saat tubuhnya melayang ke depan, maka getaran suara A Liong menghentak isi dadanya. Otomatis ia menarik lagi tenaganya. Sebagian ia pergunakan untuk bertahan, dan sebagian lagi untuk me¬neruskan serangannya.
Terdengar suara gemuruh ketika ta¬ngan itu menyambar ke depan bergantian. Walaupun hanya sebagian, tapi tenaga yang keluar dari tangan itu benar-benar dahsyat.
Liu Wan dan Si Pelayan Dapur segera bersiap dengan seluruh tenaga mereka pula. Bertiga dengan Yap Kim mereka menyongsong gempuran Mo Hou. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan mereka.
"Huh! 3angan harap kalian dapat me¬nahan pukulanku!" Mo Hou menjerit marah.
Dhuuuaaar...! Dua buah' kekuatan yang maha dahsyat bertemu di udara! Dan akibatnya sungguh mengejutkan!. Tubuh Liu Wan dan Yap Kim terpelanting jatuh ke tanah, sementara Si Pelayan Dapur terhuyung ke belakang.
Demikianlah, dalam gebrakan pertama itu masing-masing telah menguji tingkat ilmu mereka. Dan ternyata tingkatan ilmu silat Mo Hou masih jauh di atas kepandaian Yap Kim, Liu Wan, maupun Si Pelayan Gemuk. Buktinya pemuda itu sama sekali tak bergeming melawan te¬naga gabungan mereka.
Kenyataan itu benar-benar sangat mengejutkan Yap Kim. Dia adalah ahli waris keluarga Yap, yang pada zaman ayahnya merupakan salah satu Datuk Persilatan ternama. Namun sekarang, menghadapi seorang pemuda saja dia tak mampu. Padahal ia telah melepaskan se¬luruh tenaga sakti Hong-lui-kangnya yang hebat!
Dan - rasa heran itu semakin bertam¬bah lagi, ketika ia menyadari bahwa kawan-kawannya juga mengerahkan ter- ] naga sakti yang tidak kalah hebat dengan j miliknya. Bahkan orang tua yang meng¬aku sebagai Tabib Ciok itu mengerahkan tenaga sakti Hong-lui-sin-kang seperti dirinya. Namun demikian tenaga gabung¬an mereka itu tetap tidak berdaya meng¬hadapi kekuatan Mo Hou!
Sementara itu pertempuran di dalam benteng semakin bertambah sengit. Ter¬nyata seruan A Liong tadi benar-benar manjur. Para pendekar persilatan yang mendengar berita itu segera berteriak gembira. Mereka menjadi sangat ber¬semangat. Mereka lalu bertempur seperti orang kesurupan. Mereka bertempur sam¬bil bersorak-sorai.
"Hidup Panglima Yap Kim! Hidup Panglima Yap Kim...! Mari kita usir pa¬sukan asing ini....!"
Ternyata berita lepasnya Panglima i Yap Kim itu berpengaruh pula pada pra- I jurit penjaga benteng. Sebagian besar dari prajurit itu tiba-tiba ikut bersorak pula. Mereka berteriak sambil mengacung-acungkan senjata mereka. Mereka ikut .
bergabung dengan para pendekar untuk menghadapi pasukan Hun.' Bagaimanapun juga banyak diantara mereka yang masih mencintai Panglima Yap Kim.
Yap Kim dan Liu Wan bangkit berdiri. Kedua mata mereka masih berkunang-kunang. Tulang-tulang mereka pun masih terasa linu pula. Namun demikian bekas panglima itu masih juga penasaran me¬lihat ilmu silat Liu Wan.
"Kau... menggunakan Hong-lui Kun-hoat! Siapa sebenarnya dirimu?" Bekas panglima itu bertanya kepada Liu Wan.
Liu Wan gelagapan. Dia tidak mampu menjawab. Untunglah serangan Mo Hou kembali datang mengempur mereka. Dan kali ini pemuda itu tidak mau mengulur-ulur waktu lagi. Tangannya menggenggam senjata kipasnya!
Melihat tuannya menghadapi banyak orang, Lok-kui-tin bergegas mendekati. Tapi Mo Hou segera membentak, "3angan ikut campur! Kalian bunuh saja pemuda di atas tembok itu! 3angan sembrono! Hadapilah dia bersama-sama!"
"Baik, Kongcu."
Demikianlah, Yap Kim bertiga ter¬paksa harus menghadapi Mo Hou. Walau¬pun mereka kalah, tapi mereka tetap bertahan sekuat tenaga. Mereka berusaha untuk mengulur waktu. Mereka menunggu kedatangan A Liong, meski mereka harus berjuang mati-matian.
Sambil bertempur mata Yap Kim masih saja melirik ke arah Liu Wan. Diam-diam hatinya semakin penasaran melihat tabib tua itu benar-benar meng¬gunakan ilmu yang sama dengan dirinya.
Dan ketika perhatiannya beralih ke¬pada Si Pelayan Dapur, panglima itu se¬makin tidak ialilLnlengerti pula. PefaV" gemuk itu ternyata bergerak dengan amat lincahnya. Nyaris selincah Mo Hou. Bahkan semakin lama gerakan pelayan itu semakin aneh dan mengerikan.
"Aaah! Siapa sebenarnya mereka? Sungguh mencurigakan."
Tapi bekas panglima itu tidak mem¬punyai banyak waktu utuk berpikir. Mo Hou tidak pernah berhenti menyerang. Kipasnya menyambar ke sana kemari, bagaikan burung elang yang terus memburu nyawa mereka. Bahkan sesekali dari telapak tangan pemuda itu melesat be¬lasan paku beracun.
Ternyata dalam menghadapi senjata rahasia, ilmu silat Si Pelayan Dapur justru paling hebat. Dengan kebutan le¬ngan bajunya yang longgar dia mampu meredam keganasan paku-paku beracun itu. Gerakannya sangat aneh. Setiap kali kedua lengannya selalu bergerak menyi¬lang. Dari bawah ke atas, dari kanan-kiri, atau sebaliknya. Gerakannya sangat kuat, namun berkesan berat, seperti ge¬rakan penari topeng yang menari dengan seragamnya yang^ Berlapis-lapis. Namun demikian setiap kali lengan itu bergerak, maka terasa semburan hawa dingin yang menyebar ke segala penjuru.
"Kim-liong Sin-kun (Kepalan Sakti Naga Emas)...." Tiba-tiba Yap Kim ber¬desah kaget menyaksikan gerakan-gerakan itu.
Kim-liong Sin-kun merupakan salah satu ilmu warisan Bit-bo-ong. Seharusnya ilmu itu dilengkapi dengan jubah atau mantel sakti tahan senjata, yang dahulu selalu dipakai oleh mendiang Bit-bo-ong. Tapi mantel pusaka itu khabarnya telah kembali ke tangan pendek, ir sakti Souw Thian Hai, yang memang berhak atas benda tersebut.
"Kurang ajar...! Kalian memang sudah bosan hidup!" Mo Hou benar-benar tidak sabar lagi.
Tiba-tiba saja tubuh pemuda itu pe¬cah menjadi enam orang. Bentuk, rupa dan pakaiannya semua sama. Semuanya persis Mo Hou. Dan semuanya juga me¬megang kipas baja. Mereka segera ber¬pencar dan mengepung Yap Kim bertiga.
"Awaaas! Dia menggunakan ilmu sihir! Kita harus berhati-hati!" Yap Kim ber¬seru ke arah Liu Wan dan Si Pelayan Dapur.
"Benar, Ciangkun. Kita memang harus hati-hati," Liu Wan menyahut dengan suara gemetar.
"Ya-yaa, aku juga pernah melihatnya di kota Hang-ciu lima tahun lalu..." Pe¬layan Dapur itu tiba-tiba menyahut.
"Kau pernah melihatnya di Hang-ciu?" Liu Wan tersentak.
Sementara itu pertempuran berkobar semakin hebat. Berita bebasnya Panglima Yap Kim sangat mempengaruhi semangat para pendekar. Bersama-sama dengan para prajurit yang membelot, pasukan para pendekar itu menyongsong gempuran lawannya.
Rombongan Souw Thian Hai, yang terdiri dari Chu Bwe Hong, Tio Siau In dan Yok Ting Ting, tetap belum bisa membebaskan diri dari kepungan pasukan Bayan Tanu. Mereka benar-benar terke¬pung oleh pasukan khusus yang sangat terlatih itu. Ilmu silat Souw Thian Hai sama sekali tidak berdaya melawan ke¬pungan prajurit-prajurit khusus itu. Selain mempergunakan perisai baja, pasukan yang amat terlatih itu selalu menghindar dari tusukan jari Souw Thian Hai.
"Wah, kemana Put-tong-sia tadi?" Souw Thian Hai- berseru.
"Entahlah. Pada waktu masuk ke da¬lam benteng tadi, dia masih berada di belakang kita." Chu Bwe Hong menyahut.
"3angan-jangan dia terluka....-"
"Aaaah, tidak...!" Tak terasa Chu Bwe Hong berdesah pendek. Wajahnya pucat.
Semua orang yang berada di arena itu juga dikagetkan oleh suara A Liong. Se¬lain berita itu amat menggembirakan mereka, mereka juga dipaksa untuk ber¬tahan atas getaran suara itu.
"Bukan main! Siapakah orang yang dapat mengeluarkan suara seperti ini?"
Demikianlah, dalam arena itu Tio Siau In dan Yok Ting Ting berhadapan dengan Ho Bing dan kawan-kawannya, sementara Souw Thian Hai dan isterinya tetap melawan Bayan Tanu dan pasukan khususnya. Walaupun ditekan dan didesak terus, tapi rombongan itu memberikan perlawanan hebat. Hanya karena mereka semua memiliki ilmu silat tinggi, maka Bayan Tanu dan pasukannya masih sulit untuk mengalahkan mereka.
Ho Bing dan kawan-kawannya, yang kebetulan menghadapi Tio Siau In dan Yok Ting, jpga dapat mendesak kedua gadis remaja itu. Tongkat Bocornya me¬layang-layang, mengurung Tio Siau In dan Yok Ting Ting. Untunglah kedua gadis itu sudah menerima pelajaran dari Han
Tui Lan dan Souw Lian Cu. Walaupun terdesak, mereka masih tetap dapat ber¬tahan.
Di bagian-bagian lain keadaannya sa¬ma saja. Pasukan para pendekar itu te¬tap tidak mampu menghadapi gempuran pasukan Hun. Walaupun mereka dibantu oleh pasukan penjaga benteng, tapi jumlah mereka masih tetap kalah banyak.
Pasukan Hun memang benar-benar pa¬sukan perang yang telah dipersiapkan de¬ngan matang. Walaupun mereka berhada¬pan dengan para pendekar yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, tetapi mereka selalu bergerak dalam barisan yang teratur. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok yang saling menun¬jang satu sama lain. Mereka bergerak di dalam strategi perang yang teratur. Ke¬kuatan lawan selalu mereka hadapi se-cara kelompok atau barisan. Tidak ada perang tanding satu lawan satu. Mereka selalu bergerak dalam barisan. Kekuatan mereka selalu bergt ung menjadi- satu. Maka tidak menghe: ankan kalau lawan mereka menjadi mati kutu. Para pendekar yang lihai-lihai itu. benar-benar tidak berdaya.
Para pendekar itu memang kuat dan banyak sekali jumlahnya. Tapi mereka bertempur secara perorangan, mengandal¬kan kemampuan mereka masing-masing. Mereka bertempur dengan semangat ting¬gi, tapi tidak saling menunjang satu sa¬ma lain. Mereka bertempur hanya dengan tujuan membunuh lawan sebanyak-banyak¬nya. Mereka bertempur sendiri-sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT