"Pintu sebelah kanan!" Prajurit Go yang sudah mendapatkan obat pemunah itu menjawab dengan keras.
"Baik! Kalau begitu biar aku yang membuka jalan! Kalian semua mengikut di belakangku!" A Liong kembali berte¬riak.
Lalu tanpa menanti jawaban lagi pe¬muda itu benar-benar membuka jalan. Dengan kekebalan tubuhnya dia terus menerjang ke pintu sebelah kanan. Siapa-pun yang berusaha menghalang di depan¬nya, segera terlempar bersama senjata mereka.
Liu Wan cepat menyeret Prajurit Go di belakang A Liong. Souw Hong Lam dan Tiau Hek Hoa juga mengikuti di belakang mereka. Mereka berlari menuju pintu yang ditunjuk oleh Prajurit Go.
Mereka masuk ke dalam ruangan yang lebih luas. Namun kedatangan me¬reka di sana sudah dinantikan oleh kelom¬pok penjaga lain. Begitu datang mereka segera dikepung pula. Bahkan penjaga di tempat itu kelihatan lebih ganas dan lebih terlatih daripada tadi.
"Tangkap mereka...!" Seorang perwi¬ra tinggi dengan seragam gemerlapan, tampak berdiri di tengah ruangan. Suara¬nya bergetar penuh kekuatan.
A Liong tetap menerjang ke depan. Barisan pejijaga itu segera tersibak dan berjatuhan begitu berhadapan dengan A Liong. Mulai dari lapisan terdepan sampai ke lapisan yang ke empat lang¬sung terpental ke kanan dan ke kiri. Tetapi karena A Liong tidak berusaha melukai mereka, maka mereka pun sege¬ra berdiri kembali dan menyerang dari kanan dan kiri.
Sambil menghalau prajurit-prajurit itu A Liong melihat ke sekitarnya. Ia melihat belasan buah pintu keluar di dalam ruangan itu.
"Ciok sin-she, lihatlah! Banyak sekali pintu di sini! Pintu mana yang ha¬rus kita lalui?" Pemuda itu berseru sambil menoleh ke arah teman-teman¬nya yang selalu mengikut di belakang¬nya.
Liu Wan menggenggam lengan Praju¬rit Go. "Katakan...!" Di mana ruangan itu?"
"Pintu hijau! Pintu itu menuju ke lorong bawah, tempat Panglima Yap Kim dikurung!"
"Baik! Kita menuju ke sana!" A Liong kembali berteriak seraya menerjang ke depan.
Bagaikan kawanan serigala yang tidak takut mati barisan penjaga itu tetap me¬nyerang dan . menghalangi langkah A Liong. Walaupun mereka harus berja¬tuhan setiap kali bentrok dengan lengan pemuda itu, tapi mereka tetap saja me-rangsek ke depan. Mereka sama sekali tidak takut menyaksikan kehebatan A Liong. Mereka benar-benar memiliki di¬siplin prajurit yang tinggi.
Melihat kehebatan A Liong, akhirnya perwira tinggi itu terjun pula ke dalam arena. Dengan golok di tangan perwira itu menyerang A Liong. Demikian kuat ayunan goloknya sehingga terdengar suara desing yang mengerikan.
A Liong tidak berani menangkis go¬lok itu. Ia menghindar ke samping sam¬bil menghantam pinggang lawannya. Ta¬pi dengan tangkas perwira itu menggeli¬at ke samping pula. Goloknya yang gagal mengenai A Liong, berputar ke belakang dan kembali menebas ke depan.
A Liong cepat membungkukkan ba¬dannya, sehingga golok itu' nyelonong ke belakang, ke arah Tiau Hek Hoa!
Traaaang! Bunga api berhamburan ketika golok itu bertemu dengan kipas baja Tiau Hek Hoa.
"Aduh...!" Perwira itu menjerit sam¬bil melepaskan goloknya. Kekuatan gadis bermuka hitam itu membuat kulit ta¬ngannya seperti terkelupas.
Namun ketika gadis itu kembali me¬ngayunkan kipasnya ke depan, A Liong cepat-cepat menepisnya ke samping! Dalam keadaan terluka perwira itu tak mungkin dapat mengelakkan serangan tersebut. Dan A Liong tidak tega meli¬hat perwira itu mati.
"Gila! Kenapa kau... halangi aku? Bukankah dia ingin membunuh kita?" Tiau Hek Hoa menjerit penasaran.
Namun gadis itu tidak dapat melan¬jutkan kemarahannya. Belasan prajurit lainnya segera datang menolong perwira itu. Mereka menyerbu seperti lebah yang keluar dari sarangnya.
Hal itu membuat Tiau Hek Hoa ma¬rah bukan main sambil menjerit kesal ia menyebar paku beracunnya! Maka tia¬da ampun lagi kawanan prajurit itu ber¬jatuhan ke lantai!
Liu Wan tertegun. Kipas baja dan paku-paku beracun itu mengingatkan dia pada gadis cantik yang ditemuinya lima tahun lalu. "Dia...?"
Tapi belum sempat menyebut nama gadis itu, dari Pintu Hijau tiba-tiba ke¬luar belasan prajurit yang ketakutan! Mereka berlari seperti dikejar setan!
"Ada apa pula ini...?" Perwira yang. selamat dari tangan Tiau Hek Hoa tadi' berseru mengatasi keributan tersebut.
"Panglima Yap Kim lolos dari penja¬ra! Dua orang penyelundup telah membe¬baskan dia!" Seorang perwira yang ikut berlari di antara prajurit-prajurit itu berkata gugup. Seragamnya telah basah dengan darah.
"Panglima Yap Kim lolos? Kemana dia sekarang?"
"Aku ada di sini!"
Tiba-tiba prajurit yang ada di dekat pintu hijau itu menyibak. Seorang kakek berperawakan sedang, berusia se¬kitar enam puluh lima tahun, dengan rambut berwarna kelabu, keluar dengan langkah gagah. Sambil mengelus kumis dan jenggotnya yang tertata rapi orang tua itu menatap dengan penuh wibawa. Dan tak seorang pun dari para prajurit di ruangan itu yang berani menentang matanya.
"P-p-p-panglima...?" Perwira yang garang tadi ternyata menjadi gentar juga berhadapan dengan bekas panglima itu.
Sementara itu di pihak lain, wajah Tiau Hek Hoa kelihatan berubah ketika melihat Panglima Yap Kim. Matanya berkilat penuh nafsu membunuh. Namun ketika gadis itu melangkahkan kakinya ke depan, Liu Wan segera mengejarnya. Pemuda itu merasa curiga.
"Li-hiap, kau mau ke mana? Kita tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Panglima Yap Kim telah bebas. Sese¬orang telah mengeluarkannya dari penja¬ra. Sekarang tugas kita untuk melindungi dan membawanya keluar dari tempat ini."
Tiau Hek Hoa tertegun. Sesaat tim¬bul keraguan di hatinya. Tapi keraguan itu segera lenyap. Perintah ayahnya lebih penting dari segalanya. Dan seka¬rang adalah waktu yang paling tepat un¬tuk melaksanakan perintah itu. Mantan panglima yang sangat berpengaruh itu harus dibunuhnya sekarang. Apabila orang tua itu sampai lolos dan terlanjur dike¬lilingi para pengikutnya, maka akan su¬lit sekali untuk mendekatinya. Mulut Tiau Hek Hoa menggeram.
Tiba-tiba ia membalikkan badannya. Tangannya terangkat dan mendorong de¬ngan kekuatan penuh, menyongsong ke¬datangan Liu Wan.
"Aku memang hendak melindungi Panglima Yap Kim. Minggirlah!" Gadis itu mengeram.
Angin dingin tiba-tiba menyerang Liu Wan. Pemuda itu gelagapan. Sesaat tim¬bul rasa tak percaya bahwa gadis itu menyerang dirinya. Tapi kenyataan me¬mang demikian. Gadis itu benar-benar hendak membunuhnya.
Dalam keadaan terpojok, tiada jalan lain selain membela diri. Otomatis kedua tangan Liu Wan menyongsong ke depan pula. Hong-lui-kang tersalur sepenuhnya. Whhuuuuus...!
Tetapi sekali lagi Liu Wan menjadi gelagapan. Tangannya yang terulur pe¬nuh tenaga itu sama sekali tidak mem¬bentur tangan Tiau Hek Hoa. Pukulan¬nya menggapai tempat kosong.
Ternyata dalam waktu singkat, Tiau Hek Hoa sudah mengubah serangannya. Gadis itu bergeser ke samping. Bahkan sambil bergeser ia mengerahkan ilmu - pamungkasnya. Tubuhnya yang ramping kecil itu mendadak berubah menjadi delapan orang. Bentuk dan wajahnya sama. Bahkan pakaiannya pun juga sama pula. Semuanya bergerak menuju ke arah Panglima Yap Kim.
Tentu saja kejadian itu mengejutkan semua orang. Tidak terkecuali Panglima Yap Kim sendiri. Malah A-liong juga kaget pula melihatnya.
"Awas! Tahan Dia!" Liu Wan menje¬rit kuat-kuat.
Souw Hong Lam yang kebetulan ber¬ada paling dekat dengan gadis itu segera menusukkan jarinya ke depan! Srrrt! Seleret sinar kemerahan menyerang salah seorang dari delapan Tiau Hek Hoa itu. Persis pada punggungnya.
Cuuus! Sinar itu dengan tepat mengenai sasarannya.
"Haaah...?!?";
Souw Hong Lam ternganga kaget. Punggung itu jelas kena, malah sampai bolong! Tapi gadis itu seolah-olah tak merasakannya. Bahkan luka bolong itu sama sekali tidak mengucurkan darah!
"Ilmu sihir...?" A-liong berdesah.
"Tangkap dia! Dia orang Hun, anak buah Mo Tan!" Liu Wan sekonyong-konyong berteriak begitu ingat siapa gadis itu.
Tapi Mo Goat atau Tiau Hek Hoa sudah tidak memikirkan jiwanya lagi. Sejak kecil dia sudah dididik dengan keras oleh ayahnya. Seorang warga Hun selalu siap mengobankan nyawa untuk negerinya. Apalagi dia adalah puteri Raja Hun yang sangat dijunjung tinggi oleh rakyatnya.
Sesaat kemudian kedelapan orang itu kembali bergerak. Mereka berpencar, lalu menerobos kepungan prajurit yang mengelilingi Panglima Yap Kim. Masing-masing bergerak seolah-olah mereka memang hidup sendiri-sendiri.
Namun teriakan Liu Wan tadi sudah cukup untuk membuka kedok Mo Goat. Sehingga A Liong dan Souw Hong Lam seperti mendapatkan , komando untuk meghentikan gadis itu. Hampir berba¬reng keduanya melompat tinggi ke udara, melewati kepala prajurit yang menge¬pungnya! Mereka berusaha secepatnya mendahului lawan agar dapat lebih dulu tiba di dekat Panglima Yap Kim. Mere¬ka harus melindungi bekas panglima itu.
A Liong benar-benar mengeluarkan segala kemampuannya, sehingga tubuh kekar itu benar-benar melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan sekejap saja pemuda itu telah ber¬ada di dekat Panglima Yap Kim. Jauh mendahului Souw Hong Lam, Liu Wan, maupun kedelapan bentuk Mo Goat itu sendiri!
Tetapi kedatangannya segera disam¬but dengan tusukan pedang. Sedangkan lelaki gemuk berpakaian pelayan dapur menyerangnya.
Traaaang! A Liong menepis pedang itu dengan ujung sepatunya.
"Ughhh!" Pelayan dapur itu mengeluh pendek. Tubuhnya yang gemuk terhuyung, sementara pedang pendeknya hampir terlepas dari genggaman.
"Hah...?" A Liong sendiri juga tersentak kaget pula. Ternyata lelaki gemuk itu adalah pelayan dapur yang dilihatnya pagi tadi.
Sesaat mereka saling pandang dengan rasa kagum. Dan keduanya baru sadar ketika rombongan manusia Mo Goat itu datang menyerbu. Tanpa direncanakan lebih dulu mereka berdiri berdampingan menghadapi "delapan bayangan"' Mo Goat tersebut.
Dan selanjutnya pertempuran sengit tidak bisa dihindarkan lagi. Para prajurit di dalam ruangan itu .segera bergabung pula dengan Mo Goat. Mereka beramai-ramai menyerang rombongan Liu Wan yang berusaha melindungi Panglima Yap Kim.
Melihat pelayan dapur itu juga melindungi Panglima Yap Kim, maka A Liong segera tahu di mana lawannya berpijak.
"Apakah... Saudara yang membebaskan Panglima Yap Kim? Ah, maaf! Kami semua telah salah sangka. Kukira Saudara penghuni benteng ini...." A Liong menjelaskan.
Pelayan dapur itu tidak menanggapi omongan A Liong. Matanya justru mengawasi Liu Wan yang bertempur di dekat mereka.
"Bukankah dia itu... Tabib Ciok?" Katanya seperti tak percaya.
"Siapa? Oh, kawanku itu? Benar! Dia memang Ciok-sinshe."
"Ough? Jadi benar dia itu Tabib Ciok?" Pelayan dapur itu kelihatan gembira sekali!
Tapi kegembiraannya segera terputus oleh desakan para prajurit yang mengepungnya. Mereka menyerang seperti air bah yang tumpah dari bendungan. Gempuran mereka membuat A Liong dan pelayan dapur tidak sempat lagi untuk saling berbicara. Masing-masing harus melayani belasan prajurit, yang menyerang tanpa rasa takut. Suasana benar-benar ruwet dan campur aduk tidak karuan.
Tentu saja Liu Wan menjadi cemas sekali. Pertempuran brutal seperti itu sangat membahayakan jiwa Panglima Yap Kim. Tanpa pelindung atau penga¬wal, mantan Panglima itu dapat dibo-kong oleh lawan-lawannya.
"A Liong! Lindungi Panglima Yap Kim!. Cepat...!" Liu Wan berteriak keras meng¬atasi kegaduhan itu.
Tanpa diperintah dua kali, A Liong segera menerjang lawan yang mengha¬langi dirinya. Begitu dahsyat tenaganya, sehingga prajurit yang menghalang di depannya terlempar ke kanan dan ke kiri.
"Panglima aku akan mengawalmu ke¬luar...." Pemuda itu berseru kepada Yap Kim.
Orang tua itu menoleh. Sikapnya masih sangat tenang, walaupun empat sosok bayangan Mo Goat dan belasan orang prajurit mengepungnya. Ia selalu dapat menghindari serangan lawan. Bah¬kan sekali-sekali dari telapak tangannya meluncur pukulan jarak jauh yang perba-wanya sampai menggetarkan udara di ruangan itu.
Bagaimanapun juga Yap Kim adalah ahli waris keluarga Yap, keluarga pen¬dekar yang sangat terkenal di dunia per¬silatan. Selain ilmu silatnya sangat he¬bat, dia juga pernah menjabat sebagai
Panglima Perang di jaman Kaisar Liu Pang. Bahkan kakaknya, Yap Kiong Lee, adalah jago silat nomer satu di kota raja.
"Anak muda, ilmu silatmu sangat tinggi. Engkau murid siapakah?" Orang tua itu bertanya seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ah, Guruku sama sekali tak dikenal orang. Beliau belum pernah menginjak¬kan kakinya di daratan Tiongkok, karena beliau tinggal di sebuah pulau kecil di Laut Utara. Beliau bernama Soat Bun Ong dan Bok Kek Ong...."
Benar juga. Panglima itu mengerutkan keningnya. Nama-ama yang disebutkan A Liong itu sama sekali belum pernah didengarnya. Tapi sebelum dia bertanya lagi, salah seorang dari bentuk Mo Goat itu kembali menyerang dirinya. Yap Kim tidak tahu, orang itu Mo Goat asli atau palsu. Yang jelas serangan itu menebar¬kan hawa dingin!
Serangan gadis itu memang hebat. Se¬lain kuat dan cepat, ternyata waktunya sangat tepat. Kedua tangan Yap Kim baru saja menepis pedang dan golok yang menyerangnya dari kanan dan kiri, » sehingga dadanya otomatis terbuka.
Sesaat orang tua itu menjadi bim¬bang. Kalau dia menghindar, maka kor¬ban akan berjatuhan. Kipas itu tentu akan menyelonong dan mengenai prajurit-prajurit di dekatnya. Tapi kalau dia ti¬dak menghindar, berarti nyawanya yang akan melayang.
"Ah...!?" Orang tua itu berdesah bingung.
A Liong melihat kesulitan itu. Tiba-tiba kakinya melangkah dan berputar be¬berapa kali. Dan dalam sekejap saja ia telah berada di samping Panglima Yap Kim. Ketika tangannya terayun ke de¬pan, maka tangan itu telah menggengam sebilah pedang kecil mirip belati. Dan dari ujung belati itu melesat cahaya berwarna-warni. Semuanya tertuju ke arah kipas Mo Goat!
Criiing! Cring! Criiiing! Kipas itu terdorong ke belakang, seolah-olah mem¬bentur dinding baja!
'"Panglima, marilah kita keluar dari ruangan ini!" Pemuda itu berseru sambil mengayunkan kembali pedang kecil yang dapat mengeluarkan cahaya pelangi itu.
Seleret cahaya berwarna-warni kem¬bali meliuk-liuk seperti naga terbang. Benda apa pun yang membentur cahaya itu tentu terpental bagaikan membentur benteng yang amat kuat.
"Oh! Ilmu pedang apa itu?!" Dalam keadaan terdesak orang tua itu masih saja tergagap keheranan.
Ternyata cahaya pelangi itu benar-benar ampuh. Ke manapun cahaya itu bergerak, korban segera berjatuhan.. Ti¬dak terkecuali bentuk-bentuk Mo Goat berjumlah delapan buah itu. Walaupun setiap saat selalu dapat berdiri dan hidup kembali, namun bentuk-bentuk Mo Goat itu tidak dapat menahan setiap kali di¬terjang cahaya pelangi!
Tiba-tiba terdengar bunyi menggele¬gar, diikuti sorak-sorai setinggi langit! Sesaat para perajurit di dalam ruangan itu terkejut! Wajah mereka tampak pias!
Beberapa saat kemudian di luar ger¬bang terdengar suara terompet dan tambur bertalu-talu. Beberapa orang prajurit berbegas meninggalkan ruangan itu.
"Pasukan musuh berhasil "membobol benteng! Kita harus keluar menghadapi mereka!" Prajurit itu berteriak dan berlari keluar.
Ternyata langkah mereka diikuti pula oleh prajurit yang lain. Berbodong-bondong mereka berlari keluar untuk me¬nyongsong pasukan musuh. Tambur dan terompet tadi merupakan aba-aba buat mereka.
Akhirnya Mo Goat terpaksa harus bertempur sendirian. Meskipun dengan ilmunya PaP-sfan-ih-hoat, ia dapat ber¬ubah menjadi delapan orang, tapi dia tidak dapat menghadapi Liu Wan dan kawan-kawannya. Mereka terlalu kuat untuk dilawan seorang diri. Terutama A Liong, pemuda yang memiliki ilmu pe¬dang aneh itu.
Mo Gpat benar-benar menjadi repot. Cahaya pelangi yang muncul dari pedang A Liong mempunyai gerakan yang sulit diduga. Cahaya itu meliuk-liuk di atas kepala, seperti naga yang terbang di atas langit. Ilmu silat Pat-sian-ih-hoat miliknya, yang selama ini belum pernah menemukan tandingan, ternyata dibuat tak berkutik oleh permainan pedang kecil tersebut.
Oleh karena itu Mo Goat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Panglima Yap Kim dibawa keluar dari gedung itu. Dia justru ikut menyelinap keluar pula sete¬lah melepas Pat-sian-ih-hoatnya. Dia berbaur dalam arena pertempuran.
Sementara itu suasana di dalam ben¬teng benar-benar kacau-balau. Pintu ger¬bang utama sudah terbuka lebar dan pasukan penyerbu yang terdiri dari para pendekar persilatan menyebar di mana-mana. Mereka mencari ruang penjara Panglima Yap Kim.
Seorang pemuda tampan dengan pe¬dang di tangan, tampak mengamuk di dekat jembatan gantung. Pemuda itu ber¬tempur bersama-sama dengan seorang gadis manis, yang selalu mengekor di belakangnya. Walaupun dikepung oleh belasan prajurit bertombak, mereka sa-ma sekali tidak mengalami kesulitan.
"Saudara Kwe, Ayahmu sudah datang. pula! Beliau berada di bagian utara...!" Seorang pengemis tua berteriak dari atas tangga.
"Bagus!" Pemuda itu berseru gembira. "Jeng-bin Lo-kai, silakan membawa orang-orangmu ke dalam pula! Carilah Panglima Yap Kim sampai ketemu!"
"Apakah kita tidak ikut masuk ke dalam, Toa-suheng...?" Gadis manis yang tidak lain adalah Song Li Cu itu ber¬seru.
"Tentu saja! Tapi aku ingin memasti¬kan dulu, apakah semua kawan kita su¬dah masuk ke dalam benteng?" Kwe Tek Hun menjawab sambil menggempur para pengeroyoknya.
Sementara itu Jeng-bin Lo-kai telah pergi dengan para pengawalnya. Mereka menerobos barisan prajurit yang berada di bagian barat. Di sana bertempur rom¬bongan pendekar dari Im-yang-kau, yang bergabung dan bercampur dengan pende¬kar-pendekar dari perguruan lain. Bah¬kan Chin Tong Sia yang terpisah dari rombongan Souw Thian Hai pada saat
memasuki benteng itu, tampak berlon¬catan di antara para perajurit. Seperti biasanya pemuda itu berkelahi sambil mengoceh tidak karuan. Namun demikian setiap kali tangannya bergerak, dua atau tiga lawannya pasti tersungkur mencium tanah.
Giam Pit Seng yang berada tidak jauh dari tempat itu hanya dapat berde¬sah sambil menggeleng-gelengkan kepala¬nya. Meski umurnya lebih tua, tapi ke¬pandaiannya tidak mungkin dapat menya¬mai pemuda dari Aliran Beng-kau itu.
"Murid mendiang Put-ceng-li Lojin ini memang hebat. Dan biasanya anak ini selalu diikuti oleh suhengnya yang jauh lebih gila lagi!" Katanya sambil mengedarkan matanya.
Pertempuran semakin dahsyat. Para prajurit di dalam benteng bertempur dengan gagah berani. Sebagai perajurit pilihan mereka £ama sekali tidak gentar melihat ribuan musuh berhasil menjebol benteng mereka. Mes'upun korban berja¬tuhan, tetapi meresa tetap bertahan. Bahkan para perwiranya bertempur di antara prajurit dengan semangat menya¬la-nyala. Mereka bertempur di garis ter¬depan bagaikan banteng terluka.
Apabila dibuat perbandingan, sebenar¬nya kekuatan kedua belah pihak boleh dikatakan berimbang. Para pendekar per¬silatan itu memiliki jumlah yang lebih banyak, dan secara perorangan mereka juga memiliki kepandaian silat yang le¬bih baik. Tetapi prajurit yang bertugas di dalam benteng itu mempunyai penga¬laman tempur yang lebih terlatih. Mere¬ka juga hebat dalam pertempuran berke¬lompok. Mereka juga amat terlatih, menggunakan siasat dalam ilmu perang. Apalagi mereka juga bertempur di da¬lam benteng mereka sendiri.
Alhasil pertempuran itu masih belum dapat diramalkan kesudahannya. Kalau pun pada permulaannya para penyerang dapat menjebol benteng, hal itu disebab¬kan oleh karena kelengahan para peraju-rit itu sendiri. Mereka menjadi lengah karena sudah terlalu lama dalam suasa¬na tenang dan damai. Mereka benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya ada kekuatan yang berani menentang T kekuatan benteng itu.
Demikianlah, ketika bulan semakin turun ke barat dan cahaya terang mulai meremang di ufuk timur, maka suara dentang senjata dan sumpah serapah me¬reka juga mulai reda. Meskipun pertem¬puran masih tetap berlangsung, tetapi tenaga dan semangat tempur mereka juga mulai menyusut.
Api berkobar di mana-mana. Jilatan apinya menerangi mayat-mayat yang bergelimpangan di segala tempat. Ben¬teng itu benar-benar berubah menjadi padang pembantaian yang sangat menge¬rikan. Mayat berserakan, terinjak-injak oleh pasukan yang masih tetap bertempur untuk menentukan pemenangnya.
Mo Goat yang menyelinap di antara pertempuran itu membunuh siapa saja yang dijumpainya. Gadis itu tidak peduli lagi siapa yang dibunuhnya. Baginya se¬mua orang Han adalah musuh. Tidak peduli mereka itu perajurit kerajaan pen¬dekar persilatan.
Seiain kecewa atas kegagalannya, Mo Goat juga mendongkol karena bantuan yang dijanjikan kakaknya belum juga da¬tang. Seharusnya kakak dan pasukannya telah tiba di benteng itu, sesuai renca¬na yang mereka susun sebelumnya.
Ketika melintasi parit perlindungan, kaki Mo Goat ' hampir tersandung oleh mayat yang terbaring di atas tanah.
Karena kaget Mo Goat menjadi ma¬rah. Mayat itu ditendangnya dengan se¬kuat tenaga. Mayat itu harus "menying¬kir" dari jalannya!
Wuuuut!
"Eiiit...?!" Tiba-tiba Mo Goat menje¬rit. Kakinya menyambar tempat kosong.
Mayat itu bergeser dari tempatnya. Cara bergesernya pun sangat aneh dan mengejutkan. Sama sekali tidak terlihat gerakannya. Mayat itu bergeser begitu saja, seolah-olah berpindah tempat de¬ngan sendirinya.
Mo Goat terbelalak. Hatinya berde¬bar-debar. Bahkan jantungnya juga berge¬tar dengan kuat. Ternyata "Mayat" itu hanyalah seorang kakek tua berwajah sangat buruk. Selain kurus kering, tubuh itu juga kelihatan tidak sehat.
Orang itu berpakaian seadanya. Itu pun tidak dikenakan dengan rapi. Kaki¬nya juga tidak bersepatu. Bahkan kepa¬lanya yang nyaris gundul itu juga tidak mengenakan penutup sama sekali.
"Kau... siapa? Menyingkirlah!" Mo Goat membentak.
Sambil berkata Mo Goat kembali me¬nyerang dengan kipasnya. Tapi serangan¬nya menjadi batal, karena tiba-tiba muncul beberapa orang prajurit yang menyerbu ke arah dirinya. Kipas itu berbalik arah, menyongsong kedatangan prajurit-prajurit tersebut.
Trang! Trang! Trang!
Prajurit-prajurit itu terpental bersa¬ma senjata mereka. Namun beberapa di antara mereka segera bangkit kemba¬li. Tanpa rasa takut mereka kembali menerjang Mo Goat.
Mo Goat semakin marah. Sekali lagi ia mengayunkan kipasnya. Ia sama sekali tak mau menghindar dari terjangan lawan. ;
Crees! Cres! Cressss...! Daun kipas itu memotong tubuh "lawan bagaikan memotong pohon pisang! Prajurit itu segera bergelimpangan seperti potongan kayu di atas tanah.
"Huh!"Mo Goat berdesis puas.
Tapi matanya segera terbelalak keti¬ka melihat orang tua jelek tadi sudah tidak ada di tempatnya lagi. Mayat itu sudah lenyap. Namun lapat-lapat telinga¬nya masih mendengar suara orang meng¬gerutu di balik dinding halaman.
"Wah, sial...! Mau tidur saja tidak bisa! Belum-belum sudah bertemu Tukang Sihir!"
"Kurang ajar! Tua'Bangka jelek! Kelu¬ar kau!" Mo Goat mengumpat dan me¬maki.
Tak ada jawaban. Mo Goat melayang ke atas tembok. Belasan anak panah justru melesat ke arahnya. Wusss! Wusss! Mo Goat mengibaskan kipasnya sehing¬ga panah-panah itu jatuh berpatahan!
Mo Goat menggeram. Di bawah tem¬bok dia melihat seorang pemuda tampan telah siap untuk melepaskan anak panah¬nya lagi.
"Sin Lun, awas...!" Tiba-tiba terde¬ngar suara orang memberi peringatan kepada pemuda itu.
Benar saja. Belum juga gaung suara orang itu lenyap, tubuh Mo Goat yang kecil itu telah menyambar ke bawah. Kipasnya menyambar dari atas ke ba¬wah dalam Jurus Membelah Gunung Menyibak Lautan!
Pemuda yang tidak lain adalah Tan Sin Lun itu terkejut sekali. Tak ada waktu lagi untuk mengelak. Terpaksa dia menangkis dengan busurnya. Dan pada saat yang sama, sepasang senjata berbentuk pena ikut menangkis kipas tersebut.
Traaaang...!
Akibatnya sungguh hebat! Kipas itu bergetar di tangan Mo Goat. Tapi seba¬liknya busur dan pena itu terpental pa¬tah dari tangan pemegangnya!
Mereka berdiri berhadapan. Mo Goat di satu pihak, dan Tan Sin Lun bersama Giam Pit Seng dipihak lain. Mo Goat kelihatan marah sekali, sementara Tan Sin Lun dan Giam Pit Seng rnengerutkan dahinya. Keduanya tampak kesakitan. Bahkan dari telapak tangan Tan Sin Lun menetes darah segar.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai meng¬gelegar dari luar benteng. Sebuah pasu¬kan besar datang menyerbu benteng itu. Kekuatan mereka jauh lebih besar dari¬pada kekuatan pendekar persilatan. Begi¬tu masuk benteng, pasukan itu segera menggempur siapa saja yang mereka jumpai. Baik pasukan kerajaan maupun pasukan para pendekar.
"Apakah kakak kutelah datang?" Mo Goat bergumam di dalam hati.
Empat orang pendekar, terdiri dari seorang lelaki tua dan tiga orang wani¬ta, mendekati tempat itu. Begitu dekat, seorang dari ketiga wanita itu tiba-tiba berlutut di depan Giam Pit Seng.
"Suhu...!" Wanita yang tidak lain ada¬lah Tio Siau In itu berdesah haru.
"Siau In, kau!"
Giam Pit Seng mengelus kepala Siau In, sementara di belakangnya Tan Sin Lun hanya terlongong-longong saja seper¬ti tak percaya. Pendekar dari Im-yang-kau itu lalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia mencari Tio Ciu In.
Tetapi Tio Ciu In tidak ada. Dia jus¬tru melihat Souw Thian Hai dan isteri-nya. Pendekar ternama itu datang ber¬sama Tio Siau In.
"Souw-taihiap? Souw-hujin? Apakah selama ini muridku bersamamu?" Giam Pit Seng menyapa dengan terbata-bata.
Tio Siau In cepat bangkit dan mem¬perkenalkan gurunya kepada Souw Thian Hai, sekalian menjelaskan kepada guru¬nya itu ke mana ia selama ini berada.
"Ohh, lalu... Ciu In ke mana? Dia ju¬ga tidak pulang selama ini. Kukira dia pergi bersamamu." Giam Pit Seng ter¬tunduk.
Siau In kaget. Dia sendiri juga tidak menyangka kalau kakaknya tidak pulang.
Sementara itu Mo Goat sudah tidak sabar lagi melihat percakapan itu. Wa¬laupun ia pernah mendengar nama Souw Thian Hai, tapi ia tidak takut. Kata Ulan Kili, gurunya, dia tak perlu takut dengan siapa pun di Tiong-goan. Tidak seorang pun yang dapat menandingi ilmu silatnya.
"Hmm, jadi inikah pendekar tua yang sangat tersohor namanya itu? Hong-gi-hiap Souw Thian Hai! Huh!"
Souw Thian Hai mengerutkan kening¬nya. Tentu saja dia tak mengenal gadis berwajah hitam itu.
"Siapakah kau, gadis muda? Apakah aku mengenalmu?"
Mo Goat mencibirkan bibirnya. "Kau tentu tidak mengenalku, karena baru sekali ini kita berjumpa. Tapi Guruku pernah bercerita tentang engkau. Kata¬nya kau seorang pendekar silat yang sangat tersohor di daerah Tiong-goan. Dulu kau menempati urutan ke lima da¬lam daftar Urutan Jago Silat Terkemu¬ka di Dunia Persilatan!"
Souw Thian Hai tertawa panjang. "Se¬mua itu bohong, Gadis Muda. Siapakah gurumu itu? Dia salah menilai kalau menganggapku nomer lima di dunia per¬silatan. Dunia begini luasnya. Bagaimana mungkin aku berani mendudukkan diri di nomer lima? Ha-ha-ha-ha!"
"Tapi Guruku memang mengatakan demikian. Bahwa dengan sudah mening¬galnya beberapa orang di antara tokoh-tokoh persilatan itu, kau sekarang dapat menjadi tokoh yang nomer dua atau tiga."
Komentar
Posting Komentar