PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 25

 


“ING MOI, mari kita padamkan dulu api-api itu!"


Tio Siau In dan Yok Ting Ting beru¬saha memadamkan api yang mulai ber¬kobar di atas geladak. Keduanya ber¬gerak dengan cepat, walaupun mereka selalu dirintangi oleh orang-orang yang menyerang perahu itu. Tapi pukulan dan tendangan mereka membuat orang-orang itu terlempar ke dalam sungai.


Kehebatan Tio Siau In dan Yok Ting Ting segera menarik perhatian lelaki pendek kekar itu. Orang itu bergeser da¬ri tempatnya, kemudian menyerang Yok Ting Ting dari samping. Lengannya yang panjang menyambar ke arah pinggang Yok Ting Ting.


Hembusan angin tajam mengejutkan Yok Ting Ting. Gadis itu sadar akan bahaya. Dengan tangkas dia menarik tubuhnya ke belakang, kemudian melon¬cat tinggi ke udara. Sambil berjumpalit¬an gadis itu ganti menyerang dengan sisi tangannya. Gerakannya sungguh lin¬cah dan gesit, seperti seekor tupai me¬loncat di atas pohon. Sementara dari ke¬dua belah telapak tangannya terhembus angin dingin ke segala penjuru.
Lelaki pendek itu terkejut. Sekejap udara di sekelilingnya terasa berat dan sulit untuk bernapas. Otomatis ge¬rakannya terganggu. Untunglah dengan mengerahkan tenaga sepenuhnya, ia ma¬sih mampu menghindar dari pukulan Yok Ting Ting. Namun demikian jjantungnya terasa berdegup dengan keras.
"Siapa kau...? Apa hubunganmu de¬ngan partai Soa-hu-pai?" Lelaki pendek itu berseru kaget.
Yok Ting Ting memang menggunakan ilmu meringankan tubuh ajaran Han Tui Lan, yang bersumber pada ilmu warisan Bit-bo-ong (Raja Kelelawar) almarhum. Ilmu tersebut diberi nama Bu-eng Hwe-teng (Loncat Terbang Tanpa Bayangan), yang merupakan salah satu dari tiga ilmu silat ciptaan Bit-bo-ong.
Bit-bo-ong hidup hampir setengah abad yang lalu. Sebenarnya ia adalah anak murid Soa-hu-pai, yang membelot dan memusuhi perguruannya sendiri. Dia mampu menemukan rahasia ilmu perguru¬annya, sehingga mampu menciptakan ilmu silat yang tiada taranya. Dengan ilmu ciptaannya itu ia malang-melintang sebagai raja iblis di dunia persilatan. Tak seorang pun mampu menandinginya. Bahkan datuk-datuk persilatan yang hi¬dup pada zaman itu, kewalahan pula menghadapinya. (Baca: Pendekar Penye¬bar Maut dan Memburu Iblis)
Ilmu ciptaan Bit-bo-ong yang meng¬gegerkan persilatan itu adalah Pat-hong-sin-ciang (Telapak Sakti Delapan Pen¬juru), Kim-liong-sin-kun (Pukulan Sakti Naga Emas) dan Bu-eng Hwe-teng (Lon¬cat Terbang Tanpa Bayangan). Karena tokoh itu memang bekas murid Soa-hu-pai maka tidak mengherankan kalau ilmu ciptaannya juga tidak jauh berbeda de¬ngan ilmu silat Soa-hu-pai. Seperti hal4-nya ilmu silat Soa-hu-pai, maka ilmu ciptaannya juga mengandung kekuatan sihir. Bahkan bisa dikatakan kalau ilmu ciptaannya itu bertumpu pada kekuatan sihirnya. Sehingga makin tinggi dan ma¬kin dalam ilmu tersebut dipelajari, maka akan semakin kuat pula cengkeraman ilmu sihirnya.
Dan takdir telah menentukan, bahwa ilmu ciptaan Bit-bo-ong itu secara tidak sengaja jatuh ke tangan Han Tui Lan dan Pangeran Liu Yang Kun. Keduanya mempelajari ilmu tersebut, walau akhir¬nya Han Tui Lan tidak berani menerus¬kannya.
Selain amat dahsyat, ternyata ilmu itu juga dapat mempengaruhi jiwa pe¬miliknya. Ilmu yang diciptakan dengan semangat dan nafsu tamak, serakah, ke¬jam dan tak mengenal belas kasih itu, ternyata juga menyeret jiwa dan pikiran pemiliknya ke jalan yang kelam. .
Hanya Pangeran Liu Yang Kun yang mampu mempelajari ilmu-ilmu tersebut sampai tuntas. Walaupun semasa muda¬nya pangeran itu juga pernah menapak di jalan kelam, namun dengan kekuatan
tenaga dalamnya yang dahsyat, dia dapat menjinakkan pengaruh buruk dari ilmu tersebut.
Oleh karena itu Han Tui Lan juga tidak berani menurunkan ilmu silat ter¬sebut kepada Yok Ting Ting maupun Tio Siau In. Dia hanya berani mengajarkan ilmu meringankan tubuhnya saja, yakni Bu-eng Hwe-teng. Dan salah satu gerak¬nya telah dilakukan oleh Yok Ting Ting tadi.
Siapa sangka lelaki pendek itu ter¬nyata sangat awas. Sekalipun hanya se¬kilas, ternyata orang itu dapat menebak asal-usul gerakan Yok Ting Ting. Namun karena selama ini Yok Ting Ting juga tidak pernah diberitahu oleh Han Tui Lan, maka gadis itu juga tidak dapat menjawab pertanyaan lawannya.
"Aku tidak memiliki hubungan sedikit pun dengan Partai Soa-hu-pai. Apabila ilmu silatku hampir sama dengan me¬reka, hem m... mungkin cuma kebetulan saja. Sudahlah, kau sendiri siapa? Meng¬apa kau dan orang-orangmu ini menye¬rang prajurit-prajurit pemerintah? Apa-kah kau mau berontak?"
"Hohoho...! Berontak? Kaukira siapa kami ini, heh? Kami bukan orang Han. Kami datang dari utara untuk menakluk¬kan negeri ini! Dan... akulah pemimpin pasukan ini. Namaku... Yuen Ka, pem¬bantu terpecaya Panglima Yeh Sui."
Yok Ting Ting tidak kaget mende¬ngar perkataan lawannya. Khabar ten¬tang pasukan Mo Tan yang menyerbu ke selatan, memang sudah banyak ia de¬ngar dalam perjalanan.
"Bagus. Kalau begitu biarlah kubunuh kau lebih dulu, agar kawan-kawanmu segera menyerah!"
Begitulah, mereka segera terlibat dalam perkelahian seru. Yok Ting Ting yang kini telah tumbuh menjadi seorang gadis lihai, berhadapan dengan Yuen Ka, seorang pembantu dekat Panglima Yeh Sui. Yuen Ka memiliki ilmu silat dari utara. Turun-temurun keluarganya me-ngabdi pada keluarga Mo Tan.
Sementara itu panah berapi semakin banyak beterbangan di atas perahu. Chin Tong Sia yang berada di bagian de-
pan juga sibuk menghadapi keroyokan gerombolan penyerang itu. Dan ternyata jumlah mereka semakin lama semakin banyak. Mereka berebut naik ke atas perahu dan menyerang para prajurit Han dengan ganasnya. Mereka menyerang se¬perti kawanan lebah yang tidak takut mati.
Di beberapa tempat api tidak bisa dipadamkan lagi. Api berkobar dan mem¬bakar apa saja di dekatnya, sehingga perahu itu mulai miring. Beberapa orang mulai terjun ke dalam sungai. Mereka tidak ingin terpanggang dalam panasnya api. Suasana menjadi kacau-balau.
'Tidak berapa jauh dari perahu itu Souw Thian Hai masih mencoba meng¬halangi para penyerang yang lain. Pen¬dekar sakti itu menyongsong kedatangan mereka dan menenggelamkan sampan yang mereka tumpangi. Kekuatan dan kesaktian pendekar itu benar-benar menggiriskan hati.
Namun demikian usaha untuk meno¬long prajurit-prajurit kerajaan itu tetap sia-sia. Begitu banyaknya gerombolan yang menyerang, sehingga prajurit-praju¬rit itu tidak mampu bertahan lagi. Satu-persatu mereka mati di tangan gerom¬bolan penyerang. Bahkan perahu besar itu akhirnya mulai tenggelam pula.
"Tong Sia! Siau In! Ting Ting! Kita tinggalkan tempat ini! Cepat...!" Tiba-tiba terdengar teriakan Souw Thian Hai, mengatasi suara hiruk-pikuk di atas air tersebut.
Sementara itu Chu Bwe Hong telah membawa perahunya jauh ke hilir. Wa¬nita tua yang masih amat cantik itu tetap mentaati perintah suaminya. Dia menghindar dari arena pertempuran, dan membawa perahunya terus ke hilir. Pa¬nah dan api yang nyasar ke perahunya, dihalaunya dengan dayung.
Yok Ting Ting dan Tio Siau In juga mendengar perintah Souw Thian Hai. Mereka segera bersiap untuk pergi. Sam¬bil menghindari serangan Yuen Ka, Yok Ting Ting berteriak ke arah Tio Siau In.
"Cici! Ayoh, kita pergi dari tempat ini!"
Tapi dengan wajah beringas Yuen Ka mencoba menghalang-halanginya.
"Hoho, jangan harap bisa lolos...” Yuen Ka mengejek sambil menghadang langkah Yok Ting Ting.
Namun belum juga hilang gema sua¬ranya, lelaki pendek kekar itu tiba-tiba menjerit kesakitan! Tio Siau In yang se¬jak tadi berada di dekatnya, sekonyong-konyong berbalik dan menyerang dengan pedang pendek! Cresss...! Pedang itu me¬nyerempet pinggangnya! Maka tiada am¬pun lagi dia terdorong mundur dan jatuh keluar perahu! Byuuurr!
"Ayolah, Ting-moi! Kita jangan sam¬pai kehilangan Souw Taihiap! Marilah...!"
Tio Siau In dan Yok Ting Ting se¬gera mencari sampan kosong dan ber¬gegas pergi dari tempat itu. Beberapa orang yang berusaha menghalangi me¬reka langsung saja mereka bereskan.
Sementara itu di bagian depan, Chin Tong Sia masih berkutet dengan para pengeroyoknya. Pemuda itu berusaha me¬nolong perwira kerajaan yang pada akhir¬nya harus berjuang sendirian melawan gerombolan penyerang itu.
Chin Tong Sia tidak ingin ditinggal¬kan Tio Siau In maupun Souw Thian Hai. Tetapi pemuda itu juga tak ingin meninggalkan perwira tersebut. Oleh ka¬rena itu tiada jalan lain baginya selain mengeluarkan ilmu pamungkasnya, Cuo-mo-ciang! Perwira itu harus segera di¬bawa pergi!
Hanya sesaat saja pemuda itu ber¬siap, maka seluruh tenaga saktinya te¬lah berkumpul di dalam perutnya. Ke¬tika kemudian ia berteriak dan mener¬jang kepungan lawan, maka hasilnya benar-benar menggiriskan! Wuuuuus!
Tujuh orang penyerang yang menge¬royok perwira itu tiba-tiba terpental pergi, bagai dilanda angin puting-beliung. Tubuh mereka terlempar tinggi ke udara dan jatuh di luar perahu.
"Cian-bu! Tinggalkan saja perahu ini! Tidak ada harapan untuk mempertahan¬kannya lagi! Semua prajuritmu telah habis dan perahu ini juga akan tengge¬lam! Ayoh, ikutlah aku!" Pemuda itu menyambar lengan perwira itu dan me¬ngajaknya turun ke sebuah sampan kecil
yang tiada penghuninya lagi.
Chin Tong Sia lalu mendayung sam¬pan tersebut ke daratan. Puluhan anak panah bertaburan bagai hujan ke arah mereka, namun dengan mudah mereka menangkisnya. Beberapa orang yang men¬coba menghalang di depan mereka, me¬reka singkirkan pula. Ilmu silat Chin Tong Sia memang menakutkan. Selain sangat ganas juga aneh luar biasa.
Mereka mendarat di tepi sungai ham¬pir berbareng dengan sampan Tio Siau In. Souw Thian Hai yang telah tiba le¬bih dahulu, segera mengajak mereka, pergi meninggalkan tempat itu. Mereka berlalu menyusuri sungai ke arah hilir.
"Marilah! Isteriku tentu sudah tidak sabar lagi menantikan kita!"
Perahu Chu Bwe Hong memang be¬lum terlalu jauh, sehingga mereka se¬gera dapat bergabung kembali. Souw Thian Hai memerintahkan Tukang Perahu yang telah siuman, untuk memacu pe¬rahu mereka. Souw Thian Hai tidak ingin terkejar lawan.
Sementara itu cahaya kemerahan mulai mengintip di balik pepohonan. Dan beberapa saat kemudian gelombang air yang bergulung di sekitar perahu me¬reka pun tampak dengan jelas. Apalagi setelah kehangatan matahari mulai me¬nepis kabut yang ada.
Rasa lega tampak di wajah rombong¬an itu. Perasaan tegang serasa hilang bersamaan dengan hilangnya kabut itu. Kini semuanya dapat saling bertatap muka. Dan semua mata tertuju ke arah perwira itu.
"Cianbu...! Apa sebenarnya yang teT lah terjadi? Mengapa pasukanmu sampai bentrok dengan pasukan asing itu?" Souw Thian Hai bertanya pelan.
Perwira itu menarik napas panjang. Rasa sesal tampak sekali di matanya.
"Terima kasih atas pertolongan Tai-hiap. Terus terang aku tidak mengenal Saudara-saudara, tetapi aku percaya bah¬wa Saudara semua adalah pendekar-pen¬dekar yang mencintai negeri ini. Aku Li Ku Si, perwira pada pasukan Jenderal Ciang Kwan Sit. Pasukan kami digempur habis-habisan oleh pasukan Mo Tan yang dipimpin oleh Panglima Yeh Sui. Kami tercerai berai dan berusaha mencari ke¬selamatan sendiri-sendiri. Aku terpaksa membawa sisa pasukanku ke selatan, me¬nyusuri sungai ini. Tapi di sini pasukan¬ku tetap saja dihancurkan lawan. Tak seorang pun lolos dari tangan Mo Tan. Aku benar-benar sangat menyesal...."
"Sudahlah, Li Cianbu. Tidak seorang pun menyalahkanmu. Mereka memang lebih kuat. Sekarang Li Cianbu harus cepat-cepat melaporkan keadaan ini. Apabila terlambat, maka negeri"' ini akan benar-benar dikuasai Mo Tan. Kami a,kan_ membantu, meskipun hanya sebatas te¬naga saja, karena soal tatacara atau siasat perang kami tidak mengerti."
Tak terduga wajah Li Kui Si sema¬kin kusam. "Justru hal tersebut yang memprihatinkan kami. Sebenarnya di¬lihat dari jumlah prajurit dan perleng¬kapannya, kami sama sekali tidak kalah. Keadaan kami malah lebih baik dari me¬reka. Tapi perang bukan hanya mengan¬dalkan jumlah dan perlengkapan saja. Taktik dan siasat perang justru memegang peranan yang lebih penting. Me¬reka dipimpin oleh jago-jago perang yang hebat, sementara kami hanya me¬ngandalkan kekuatan dan perlengkapan saja. Bagaimana mungkin bisa menang?"
Souw Thian Hai terbelalak. "Bagai¬mana hal itu bisa terjadi? Di mana jen-dral-jendral perang yang dulu kita bang¬gakan?"
Li Ku Si berdesah pendek. "Aku ti¬dak berani mengatakannya."
Souw Thian Hai mengangguk-angguk; Dia memang sudah banyak mendengar tentang keadaan di kota raja. Oleh ka¬rena itu dia dapat mengerti ucapan Li Ku Si.
Tapi tidak demikian dengan Chin Tong Sia. Pemuda itu menjadi marah. Ucapan Li Ku Si benar-benar membuat¬nya penasaran. Serentak dia berdiri dan berseru keras sekali.
"Suasana di kota raja sekarang me¬mang tidak sehat. Manusia-manusia ta¬mak dan bodoh, yang cuma mengandal¬kan mulut manis dan kata-kata busuk, dibiarkan memimpin negara. Sebaliknya pahlawan-pahlawan kebanggaan rakyat justru dibuang dan dijebloskan ke dalam penjara. Mana mungkin negeri ini bisa bertahan?"
"Saudara Chin...!" Souw Thian Hai berbisik.
"Biarlah, Taihiap. Kesal rasanya ka¬lau perasaanku ini tidak aku keluarkan. Biarlah semua orang tahu. Biarlah me¬reka mengerti. Negeri ini dalam bahaya. Kita harus bangkit. Kita harus menye¬lamatkannya. Kalau perlu kita singkir¬kan orang-orang bodoh dan tamak itu! Kita kembalikan pahlawan-pahlawan yang masih ^akr" Mumpung» musuh belum menduduki negeri ini!" Suara Chin Tong Sia makin bersemangat.
"Saudara Chin, tenanglah...! Dingin¬kan hatimu! Kau berbicara di depan pe¬tugas kerajaan. Apakah kau tidak takut dituduh sebagai pemberontak?" Souw Thian Hai membujuk.
"Biarlah, Souw Taihiap. Aku tidak takut. Biarlah Au-yang Goanswe dan para begundalnya memburu aku. Yang penting, negeri ini harus diselamatkan!"
Li Ku Si menatap Souw Thian Hai dengan mata terbelalak. "Jadi Tuan ini .... Hong-gi-hiap Souw Thian Hai yang terkenal itu?"
"Benar, Cianbu. Perkenalkan ini... is-teriku. Dan anak-anak muda ini adalah teman puteriku. Maafkanlah mereka. Usia mereka masih terlalu muda untuk mengerti urusan negara."
"Ah, tidak apa... Souw Taihiap. Apa yang diucapkan anak muda ini memang benar. Kalau boleh memilih, sungguh menyenangkan sekali di bawah pimpinan Yap Tai-ciangkun dulu. Sayang beliau di¬anggap bersalah terhadap negara, sehing¬ga harus menjalani hukuman di Benteng Langit. Coba kalau beliau masih ber¬kuasa, hem... tidak mungkin Mo Tan berani menyerang negeri ini!"
"Bagus. Ternyata Cianbu masih me¬miliki kecintaan terhadap tanah ini. Na¬mun demikian kecintaan itu tidaklah lengkap tanpa diikuti dengan semangat berkorban." Chin Tong Sia kembali ber¬seru.
"Anak muda, apa maksudmu?" Li Ku Si mengerutkan keningnya.
"Melihat dan menyadari kekeliruan, tetapi tidak berani bertindak, sama saja dengan pengecut. Nah, kalau keadaan negeri sudah begini, mengapa kita tidak berusaha menyelamatkannya.
"Saudara Chin, katakan yang jelas! Apa maksudmu? Kami belum bisa men¬cerna kata-katamu...." Souw Thian Hai berdesah.
Chin Tong Sia menatap semua orang yang ada di perahu itu. Tatapan mata¬nya yang dingin dan keras itu mengge¬tarkan juga hati Li Ku Si maupun yang lain.
"Li Cian-bu, Souw-taihiap...! Hanya seorang saja di negeri ini yang sangat disegani Mo Tan! Dia adalah... Panglima Yap Kim! Nah, mengapa tidak kita kelu¬arkan saja panglima itu dari penjara? Kita minta beliau untuk memimpin para pejuang!"
Kata-kata yang keluar dari mulut Chin Tong Sia itu benar-benar menge¬jutkan mereka. Ucapan itu terlalu bera¬ni, karena ucapan seperti itu sudah cu-
kup untuk menuduhnya sebagai pemberon¬tak.
Akhirnya Souw Thian Hai maju ke depan. Dengan sareh ia berkata.
"Saudara Chin, sadarlah. Kami paham perasaanmu. Tapi hati-hatilah berbicara. Ucapan itu sangat membahayakan jiwa¬mu. Kau... hem... lebih baik kau segera meminta maaf kepada Li Cian-bu." Souw Thian Hai berkata tegas.
Tidak terduga Li Ku Si maju ke depan dan memegang lengan Souw Thian Hai. Ucapan yang keluar dari mulutnya jus¬tru lebih mengagetkan dari pada perka¬taan Chin Tong Sia.
"Souw Tai-hiap, biarlah. Kurasa apa yang dikatakan anak muda ini memang benar semua. Dalam situasi seperti ini pikiranku justru terbuka. Kita memang harus berani berkorban demi negeri ini. Berapalah harganya jiwa ini kalau diban¬dingkan dengan kepentingan negara? Me¬ngapa kita harus takut mati? Mengapa kita harus takut sengsara dan menderi-ta? Hmmh... aku setuju untuk mengeluarkan Yap Tai-ciangkun dari Benteng Langit!"
Semuanya terdiam. Ucapan perwira kerajaan itu bagaikan petir yang me¬nyambar lubuk hati mereka. Kesadaran mereka timbul. Terutama Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Di waktu muda pende¬kar itu pernah berjuang bersama Pangli¬ma Yap Kim menegakkan negeri ini. Sekarang setelah semuanya menjadi ba¬ik, seorang pengkhianat justru menje¬bloskan pahlawan itu ke dalam penjara.
"Baik! Aku juga setuju! Mari kita bu¬at rencana untuk membebaskan dia!" Tiba-tiba pendekar tua itu berkata tegas.
"Hai-ko...?" Chu Bwe Hong menyen¬tuh lengan suaminya.
Souw Thian Hai merangkul pundak isterinya. "Aku tahu bahwa usiaku sudah tua, Hong-moi. Tapi bila kuingat saat-saat kita berjuang bersama Saudara Yap, hati¬ku kembali terbakar. Sungguh tidak adil. Seorang pahlawan dan pejuang besar, yang ikut menegakkan negeri ini malah dikurung di dalam penjara! Sungguh tidak
adil! Almarhum Kaisar Liu Pang tentu tidak akan menerima perlakuan ini. Kita harus berbuat sesuatu!"
"Jadi....?" Chu Bwe Hong menatap wajah suaminya.
"Benar apa yang dikatakan Saudara Chin. Kita harus berani berkorban. Kalau anak muda seusia dia saja berani meng-ngorbankan nyawanya, apalagi kita yang sudah mau masuk liang kubur ini!"
"Baiklah, Hai-ko. Aku juga setuju pada niatmu. Kita berangkat bersama! Kita tunda dulu urusan anak kita."
Wajah Chin Tong Sia yang dingin itu menjadi lega dan gembira sekali. Tanpa harus membujuk atau memberi alasan macam-macam, mereka telah memutus¬kan sendiri untuk pergi ke Benteng Langit! Kini tinggal Tio Siau In dan Yok Ting Ting yang belum bicara.
"Bagaimana dengan Ji-wi Li-hiap?" Pemuda itu bertanya dengan suara kaku.
Tio Siau In dan Yok Ting Ting saling pandang. Keduanya memang belum me¬ngenal Panglima Yap Kim. Tapi melihat Souw Thian Hai yang terkenal itu ingin pergi ke Benteng Langit, mereka mera¬sa tertarik pula. Tak terasa keduanya mengangguk.
"Bagus. Kalau begitu sekarang juga kita ke sana...!" Chin Tong Sia berseru lega. Lalu sambil berjalan pemuda itu menjelaskan apa yang hendak dia kerja¬kan di Benteng itu bersama teman-teman nya.
"Jadi... itukah yang hendak kau ker¬jakan bersama teman-temanmu? Ah, Lo-hu semakin menjadi tidak sabar untuk melihat Souw Hong Lam. Siapa sebenar¬nya anak itu?" Souw Thian Hai berde¬sah dengan suara gemetar.
"Tai-hiap dapat menemuinya nanti. Tapi yang jelas kita harus segera mene¬mui mereka. Kita harus membentahu bahwa salah seorang dari mereka adalah penyelundup."
"Benar. Sementara itu aku bisa me¬ngumpulkan sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit yang kita temui. Siapa tahu mereka dapat membantu rencana ini?" Li Ku Si berseru pula dengan wa¬jah gembira.
Demikianlah mereka lalu memperce¬pat jalan perahu mereka. Benteng Langit tinggal setengah hari perjalanan lagi. Sambil melaju mereka juga melihat-lihat, kalau ada sisa-sisa prajurit Jendral Ciang Kwan Sit yang dapat mereka kumpulkan.
Sekarang kita ikuti kembali rombong¬an Liu Wan yang telah tiba lebih dulu di Benteng Langit. Rombongan itu tiba tepat pada waktu tengah malam, di sa¬at rombongan Chin Tong Sia bertempur melawan pasukan Yuen Ka.
Seperti yang pernah mereka dengar sebelumnya, benteng itu didirikan Kaisar Chin di atas tanah karang luas. di tengah-tengah pertemuan dua aliran su¬ngai besar, yaitu Sungai Huang-ho dan Sungai Huai. Tanah berkarang terjal itu menjulang tinggi di atas permukaan air, sehingga sulit dijangkau dari daratan.
Dan tempat itu sangat berbahaya bagi perahu-perahu yang lewat. Selain gelombangnya besar, di tempat itu juga banyak pusaran air akibat pertemuan dua aliran sungai.
Untuk memasuki benteng juga hanya satu jalan, yaitu dari pintu gerbang de¬pan. Di bagian ini dibangun anak tang¬ga menuju gerbang. Sementara bagian samping dan belakang hanya terdiri dari bangunan tembok tinggi di atas karang terjal.
Meskipun demikian tadi malam Liu Wan dan rombongannya telah berhasil memasuki benteng. Mereka merayap se¬perti cecak di atas dinding terjal itu. Kenyataan di mana selama ini tidak per¬nah seorang pun berani memasuki ben¬teng itu, membuat penjaganya lengah, tidak seorang pun menyadari bahwa ben¬teng mereka dimasuki orang.
Akan tetapi Liu Wan dan kawan-kawannya menjadi bingung setelah ber¬ada di dalam benteng. Tempat itu demi¬kian luas dan rumit. Puluhan gedung atau bangunan tersebar di mana-mana. Ratusan kamar dan ruangan terdapat di dalamnya. Mereka tidak tahu, di mana Panglima Yap Kim disekap.
Semalam mereka mondar-mandir. De¬ngan kesaktian mereka, tidak seorang penjaga pun mampu melihat mereka. Namun demikian mereka tetap tidak da¬pat menemukan Panglima Yap Kim. Sampai matahari terbit usaha mereka belum membawa hasil. Terpaksa mereka mencari tempat bersembunyi. Akhirnya mereka menyelinap di gudang bawah ta¬nah.
"Wah! Sama sekali tidak terbayang-kan olehku, bahwa benteng ini demikian luasnya. Bagaimana kita dapat menemu¬kan ruang itu, tanpa petunjuk dari orang-orang dalam benteng ini sendiri...?11 A Liong yang belum pernah melihat ben¬teng itu bersungut-sungut.
"Kau benar. Kita memang harus menangkap seorang dari penjaga itu. Kita paksa dia menunjukkan tempatnya. Benar, cuma itu yang dapat kita tem¬puh!" Tiau Hek Hoa tersentak lega, se¬akan dapat menemukan sebuah benda berharga.
Liu Wan mengangguk-angguk. "Baik. Kita coba setelah hari menjadi gelap nanti. Sekarang sangat berbahaya. Lebih baik kita beristirahat dan menyusun te¬naga» Rencana kita ini harus berhasil. Apabila gagal, maka Panglima Yap Kim akan mereka sembunyikan di tempat yang lebih sulit lagi!"
Mereka lalu mencari tempat sendiri-sendiri yang mereka anggap nyaman un- ' tuk beristirahat. Gudang itu sangat luas dan kurang terawat. Rongsokan senjata atau bekas peralatan .bangunan banyak berserakan di tempat itu.
A Liong mendapatkan tempat tersem¬bunyi di bawah tangga. Badannya yang besar seperti kerbau jantan itu segera tergeletak di atas papan kayu.
"Awas! Kalau sampai mendengkur, ku¬bunuh kau!" Terdengar suara ancaman Tiau Hek Hoa di belakangnya.
A Liong menoleh. Dilihatnya gadis berkulit hitam itu melotot di pojok ru¬angan, tidak jauh dari tempatnya. Tidak terasa bibir A Liong tersenyum.
"Apakah kau tega membunuh aku? Lihatlah baik-baik! Betapa' tampannya 1 aku! Sayang, bukan?" Pemuda itu meledek dengan suara tertahan.
Srettt! Gadis bermuka hitam itu tiba-tiba melompat dan menyerang A Liong! Tangannya telah menggenggam kipas baja!
"Kerbau jelek! Lebih baik kubunuh saja kau sekarang!"
A Liong mengelak. Pemuda itu telah bersiap sejak tadi. Dua kali dibokong Tiau Hek Hoa, membuat A Liong selalu waspada terhadap gadis itu. Ternyata be¬nar juga kekhawatirannya, gadis berkulit hitam itu telah membokongnya lagi.
"Ssst! Jangan berisik, atau... kita akan menggagalkan tugas kita, A Liong menggeram. Kali ini suaranya berubah tegas dan bersungguh-sungguh.
Tiau Hek Hoa menahan tangannya. Matanya melirik. Sekilas ia melihat rasa kesal dan marah di wajah Tabib Ciok dan Souw Hong Lam. Otomatis tangan¬nya menurun.
"Baik. Kita tunda dulu urusan kita. Tapi setelah tugas ini selesai, hem m... jangan harap bisa lolos dari tanganku!" Tiau Hek Hoa tetap mengancam.
A Liong tersenyum geli. Sambil me¬rebahkan tubuhnya kembali, ia menja¬wab seenaknya.
"Ah, peduli amat! Kalau nasibku me¬mang akan mati, orang lain pun bisa membunuhku. Tidak perlu harus menggu¬nakan tanganmu. Hehehehe...! Apa beda¬nya mati di tangan gadis ayu atau ne¬nek-nenek jelek?"
"Apa katamu...?" Tiau Hek Hoa ham¬pir kehilangan kendali lagi.
"Tiau Li-hiap...! Saudara A Liong!" Liu Wan berdesah pendek. "Kuharap ka¬lian dapat saling menahan diri."
Souw Hong Lam menggeleng-geleng¬kan kepalanya. "Seperti anjing dan ku¬cing saja...."
Hari itu terasa panjang sekali. Tiau Hek Hoa selalu bersungut-sungut dan mondar-mandir mengelilingi ruangan itu. i Gadis yang biasanya bergerak bebas dan berbuat apa saja itu benar-benar merasa tersiksa harus menunggu. Ingin benar rasanya dia mendobrak pintu ruangan dan mengamuk di luar sana.
Untunglah Liu Wan selalu membujuknya. Sambil bermain "petak kerikil", pe- ; muda itu berusaha mendinginkan hati i Tiau Hek Hoa.
"Waduh, perutku mulai lapar...! Sial¬an!" Tiba-tiba A Liong bangkit dari ti- | durnya dan menggerutu.
Liu Wan dan Souw Hong Lam terse¬nyum. "Badanmu terlalu besar sehingga cepat lelah dan lapar." Liu Wan menggoda.
Pemuda itu tidak meladeni kelakar Liu Wan. Perlahan-lahan dia melangkah-ke pintu samping.
"Hai, Saudara A Liong... mau kemana kau? Di luar banyak prajurit ber¬jaga."
"Ciok Sinshe, jangan khawatir. Aku ' cuma ingin mengintip saja. Siapa tahu di luar ada makanan. Bisa melihat pun sudah cukup bagiku...."
"Silakan saja, asal tidak keluar!"
"Beres, deh!" A Liong menjawab san¬tai sambil tetap melangkah melintasi ru¬angan itu.
Mula-mula pemuda itu memang ha- I nya mengintip saja dari celah-celah da-
un pintu. Tapi begitu melihat di luar kelihatan sepi dan kosong, dia segera menyelinap keluar dengan mengendap-endap. Seluruh uratnya menegang, suatu tanda bahwa dia dalam keadaan siap-siaga penuh.
Ternyata lorong di luar pintu itu me¬nembus ke bangunan belakang. Bau asap yang terbawa oleh angin menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah dapur. Diam-diam A Liong gembira. Sungguh sangat kebetulan baginya.
Beberapa saat lamanya A Liong ber¬diam diri di mulut lorong. Matanya ber¬edar ke segala penjuru. Setelah yakin tidak ada orang, baru dia menyelinap ke luar. Dalam sekejap tubuhnya telah me¬lesat ke atas bangunan.
Dari atas A Liong dapat melihat be¬berapa orang petugas sedang menanak nasi dan membuat bubur panas.
"Nasi itu tentu untuk para penjaga; sedangkan buburnya untuk para tawan¬an." A Liong berkata dalam hati.
Ilmu meringankan tubuh A Liong sungguh hebat sekali. Meskipun bertubuh besar, namun A Liong mampu bergerak cepat dan lincah. Pemuda itu berloncat¬an di atas penglari rumah, seperti seekor tupai berkejaran. Demikian ringan dan gesit gerakannya, sehingga petugas da¬pur itu tidak ada yang tahu.
A Liong cepat berlindung di balik kayu ketika seorang prajurit masuk ke dalam ruangan. Prajurit itu duduk di atas bangku sambil mengeluh.
"Uh, gila! Semalaman aku tak bisa tidur! Kini harus berkumpul pula! Huh! A-sam, berilah aku semangkuk bubur aku lapar sekali.”
"Berkumpul? Bukankah sekarang belum waktunya untuk berganti pasukan?" Seorang tukang masak mendekat sambil membawakan bubur panas. Demikian ge¬muk badannya, sehingga langkahnya te¬rasa berat sekali.
"Bukan itu sebabnya, katanya tadi malam ada utusan dari kota raja masuk ke dalam benteng ini. Utusan itu mem¬peringatkan kita, agar bersiap-siaga me¬nerima kedatangan musuh."
"Hei...???" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget.
Prajurit itu tidak peduli. Sambil me¬nikmati buburnya, dia melanjutkan ce¬ritanya.
"Katanya... pasukan Raja Mo Tan te¬lah merembes ke selatan. Kemarin telah terjadi pertempuran di hulu- sungai, an¬tara sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit melawan pasukan Mo Tan. Dan sisa-sisa pasukan itu dibabat habis oleh mereka. Sekarang pasukan Mo Tan dalam perjalanan ke daerah ini. Diperkirakan mereka akan sampai di sini besok lusa”
“Aduh! Celaka, bagiamana mereka dapat menyeberangi tembok besar bukankah di sana ada bala tentara Jendral Kongsun yang kuat dan besar jumlah¬nya?"
"Ah, piciknya pengetahuanmu! Pasukan Raja Mo Tan juga banyak sekali jumlah¬nya. Panglima-panglima mereka juga ter¬kenal gagah berani. Kau pernah mende¬ngar nama... Panglima Solinga? Panglima Yeh Sui? Atau... Panglima Huang Yin? Huh, mereka itu tidak kalah hebatnya dengan bekas Panglima Yap Kim!"
A Liong kaget juga mendengar ce¬rita itu. Ternyata keadaan telah ber¬ubah dengan cepat. Pasukan Mo Tan benar-benar bergerak sangat cepat. Be¬lum ada sepekan khabar tentang gerak¬an pasukan itu, kini sebagian dari me¬reka telah menyeberangi Propinsi Syan-si.
"Panglima Solinga yang terkenal ke¬jam itu? Tentu saja semua orang me¬ngenalnya. Memang hanya Panglima Yap Kim yang dapat menandingi dia!" Salah seorang dari tukang masak itu kelepasan bicara.
"Sssst! Berani benar kau omong se¬perti itu?" Kawannya cepat menyodok pinggangnya.
"Tapi... tapi aku hanya mengikuti omongan dia!" Tukang Masak itu menun¬juk ke arah prajurit yang sedang makan bubur.
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Kita cuma berbicara tentang kehebatan bekas pang¬lima itu. Kita tidak berbuat hal-hal yang menyalahi aturan. Bekas panglima
itu memang hebat dan sangat pandai ilmu perang. Tidak salah, bukan?" Praju¬rit itu tersenyum santai.
Tukang Masak itu menjadi lega. Sam¬bil mengambilkan semangkuk bubur lagi, dia duduk di sebelah prajurit itu.
"Eh! Omong-omong tentang bekas panglima itu, emm... bagaimana khabar¬nya sekarang? Apakah dia baik-baik saja?"
Sambil menyambar bubur yang diso¬dorkan kepadanya, prajurit itu mende¬ngus. "Tentu saja keadaannya tetap baik. Sebagai bekas panglima, ia tetap diper¬lakukan secara khusus. Ruangannya se¬lalu bersih. Makanannya pun selalu ter¬atur."
"Ah! Baik sekali kalau begitu. Bagai¬manapun juga dia pernah ikut berjasa mendirikan negeri ini. Ehm, lalu... apa¬kah ruangnya masih tetap di atas Ru¬ang Penyiksaan itu? Tidak dipindah-pindahkan lagi?" Tukang Masak yang gemuk itu bertanya lagi dengan suara¬nya yang nyaring.
"Dulu memang harus selalu dipindah-
pindah untuk mengelabuhi kawan dan para pendukungnya. Tapi sekarang? Sudah bertahun-tahun tidak ada orang yang datang kemari. Mereka telah bosan. Ke¬kuatan mereka telah habis. Sekarang kita tak perlu khawatir lagi."
A Liong beringsut. Tiba-tiba muncul sebuah rencana di idalam benaknya. Prajurit itu dapat dipergunakan sebagai penunjuk jalan menuju ruang penjara.
Selesai menghabiskan dua mangkuk bubur, prajurit itu menguap. Sambil me¬ngelus-elus perutnya, ia melangkah ke luar menuju baraknya. Di hiar pintu ia berpapasan dengan petugas pengambil air, seorang lelaki tua berambut putih. Orang tua itu memikul dua gentong be¬sar tanpa kesulitan.
"Persediaan air di sini masih cukup banyak, Lo Liu. Kau tidak perlu me¬nambahnya lagi." Prajurit itu menegur sambil menghadang di depan Tukang Air.
Tukang Air itu berhenti. Tanpa me¬letakkan pikulannya dia memasang teli nga, sementara matanya justru terpejam.
"Ah, Prajurit Go rupanya. Maaf. Air di dapur ini memang masih banyak. Ta¬pi aku ingin menambahnya lagi barang sepikul...."
"Hohoho, ternyata ingatan dan pen¬dengaranmu hebat sekali. Hanya dengan mendengar suaraku, kau langsung bisa menebak namaku."
"Prajurit Go, orang buta seperti aku harus dapat menggunakan panca in¬dera yang lain sebaik-baiknya."
"Baiklah, silakan...."
A Liong tertegun. Tukang air itu ter¬nyata buta. Namun demikian langkahnya amat mantap dan tegas. Sama sekali tidak canggung atau ragu. Gerakannya seperti orang waras saja.
Ketika lewat di bawah penglari di mana A Liong bertengger, tukang air bernama Lo Liu itu berhenti sebentar. Mulutnya terbatuk-batuk, kemudian ber¬jalan lagi.
A Liong berdebar-debar. Dia merasa orang itu tahu akan kehadirannya.
"Wah, kalau orang itu benar-benar pekerja beteng ini, aku harus berhati-hati. Firasatku mengatakan kalau dia memiliki kepandaian sangat tinggi."
Ketika orang-orang itu mulai bekerja lagi, A Liong lalu beringsut keluar. Di¬lihatnya prajurit Go itu masih berjalan santai menuju baraknya. Sebuah barak panjang di dekat kandang kuda. Dan di depan barak itu berkumpul belasan pra¬jurit lainnya.
A Liong melihat seorang Tukang Ku¬da melintas di dekat gudang penyimpan jerami. Dan kesempatan itu tidak disia-siakannya. ^Cus4 Sekejap saja f ia telah berada di belakang orang itu. Tukk! Tukk! Tukang Kuda itu roboh pingsan terkena totokannya.
Sebelum ada yang tahu, orang itu te¬lah diseret A Liong ke dalam gudang jerami. Bergegas celana dan bajunya dia ambil dan dipakai. A Liong tidak peduli meskipun agak kekecilan.
Setelah menyembunyikan tubuh Tu¬kang Kuda itu di balik tumpukan jera¬mi, A Liong keluar sambil menggendong seikat jerami.
"Prajurit Go...!" A Liong memanggil prajurit yang sedang melangkah ke barak itu.
Prajurit itu menoleh. "Ada apa...? Hmm, kau Tukang Kuda baru, ya?" Kata prajurit itu kemudian sambil melangkah kembali mendekati A Liong.
A Liong melirik ke sekelilingnya. Perasaannya menjadi lega ketika para prajurit di depan barak itu tidak me¬lihat ke arahnya.
"Prajurit Go, di dalam gudang jerami ada... kantung emas. Lihatlah!" Setelah berhadapan A Liong berbisik.
Mendengar perkataan "emas", prajurit itu segera kehilangan kewaspadaannya. Dengan wajah kaget prajurit itu segera masuk ke dalam gudang.
"Mana....?"
Tapi belum juga habis perkataannya, jari A Liong telah menotok pangkal le¬hernya. Bruuug! Prajurit itu terpuruk di atas jerami.
"Bagus. Sekarang tinggal memikir¬kan, bagaimana caranya membawa dia ke gudang bawah tanah." A Liong ber¬pikir.
Belasan orang petugas telah mulai membawa nasi dan bubur dari dapur ke beberapa tempat. Dalam kesibukan se¬perti itu A Liong menyelinap keluar de¬ngan sebongkok besar jerami di atas kepalanya. Dia sengaja mengambil jalan memutar, melewati semak-semak perdu yang banyak terdapat di antara kandang kuda dan dapur.
Seorang petugas dapur melihatnya, tetapi dia menyangka A Liong sedang memindahkan jerami ke bangunan bela¬kang.
"Hei, apakah gudang jeramimu sudah penuh?"
Tanpa mengendorkan langkahnya A Liong mengiyakan. Tapi demikian lolos dari penglihatan semua orang, pemuda itu segera masuk ke dalam lorong ba¬wah tanah.
Dan tentu saja kedatangannya sangat mengagetkan kawan-kawannya. Apalagi setelah dari gulungan jerami yang di¬bawanya itu muncul tubuh Prajurit Go tadi.
‘Saudara Aliong dari mana kau dapatkan orang ini...?" Liu Wan berta¬nya dengan suara tegang.
"Benar, kemana saja kau ini...?" Souw Hong Lam mendesak pula.
"Dia seorang prajurit penjaga ben¬teng ini. Aku membawanya kemari ka¬rena dia mengetahui tempat Panglima Yap Kim disembunyikan. Dia dapat me¬nunjukkan tempat itu." Dengan tenang A Liong menjelaskan.
Begitu siuman, prajurit itu terkejut sekali. Dia segera bangkit, namun se¬gera jatuh kembali di atas lantai. Tiau Hek Hoa menghantam tengkuknya dengan gagang kipasnya.
"Kau tidak boleh pergi. Kau harus menunjukkan tempat di mana Panglima Yap Kim dikurung." Gadis itu mengan¬cam.
"Kalian siapa? Kalian mau menye¬rang benteng ini?" Dalam keadaan ter¬desak prajurit itu mencoba menggertak.
"Jangan banyak bicara! Pilih saja salah satu! Mengantar kami ke tempat Panglima Yap Kim nanti malam, atau ...kubunuh saja kau sekarang!" Tiau Hek Hoa yang kejam itu menghardik.
"Nona Tiau, jangan terlalu keras...!" Liu Wan berdesah pendek.
Prajurit itu melirik Liu Wan, lalu ia menggeram. "Bagaimana kalau aku tidak bersedia?"
Tiba-tiba tangan kiri Tiau Hek Hoa mencengkeram rambut prajurit itu, se¬mentara tangan kanannya mengeluarkan sebutir pel merah dari kantungnya. Se¬belum yang lain dapat mencegah, pel itu telah dijejalkan ke mulut Prajurit Go.
"Nah! Dengarlah...! Tanpa obat pe¬munah dari aku, jangan harap kau bisa hidup! Lihatlah....!"
Sekali lagi gadis itu bergerak. Kali ini dia menyambar cecak yang sedang merayap di atas dinding. Binatang itu lalu diletakkan di depan Prajurit Go. Cecak itu lalu dijejali dengan pel yang sama. Hanya kali ini tidak diberikan se¬luruhnya, tapi hanya sepotong kecil saja.
"Nih, lihatlah...!" Gadis itu lalu me¬letakkan binatang tersebut di atas lan¬tai.
Baik A Liong maupun Liu Wan hanya saling pandang sambil mengerutkan dahi mereka. Seperti halnya Souw Hong Lam, mereka juga belum memahami maksud Tiau Hek Hoa.
"Nona Tiau, kasihan cecak ini. Kembalikan dia ke...."
Belum habis kata-katanya, mata Liu Wan terbelalak. Tubuh cecak yang meng¬geliat-geliat di atas lantai itu tiba-tiba mencair. Mula-mula dari kepalanya, ke¬mudian merata ke seluruh badannya. Se¬bentar saja binatang itu telah berubah menjadi cairan kuning kehijauan!
"Oooh...!" Prajurit Go memekik ke¬takutan.
Tapi bukan hanya prajurit itu yang ! merasa ngeri melihat keganasan pel Tiau Hek Hoa. Ternyata A Liong, Liu Wan, dan Souw Hong Lam pun diam-diam me¬rasa ngeri juga.
"Gadis ini sungguh berbahaya...." Masing-masing berkata di dalam hati.
Sekarang Prajurit Go benar-benar ketakutan setengah mati. Dia tak ingin dagingnya mencair seperti cecak itu.
"Li-hiap, to-tolonglah...! Jangan bu¬nuh aku! Akan aku tunjukkan tempat itu! Percayalah! Tapi... t-tapi... berilah aku obat pemunahnya dulu! Tolonglah!"
Tiau Hek Hoa mencibirkan bibirnya. "Huh, aku tidak sebodoh yang kau kira. Obat pemunah itu baru akan kuberikan kepadamu setelah kau menunjukkan tem¬pat Panglima Yap Kim. Untuk sementara kamu tak usah takut pada Pel Pemusnah Dagingku. Aku hanya memberimu se¬butir pel saja. Berarti tubuhmu masih dapat bertahan sampai besok pagi. Per¬cayalah!"
"Jadi... jadi....??"
"Sudahlah. Kita tunggu saja sampai matahari terbenam. Setelah kautunjuk¬kan ruang Panglima Yap Kim, pel pe¬munahnya akan kuberikan padamu." Ga¬dis itu sekali lagi mencibirkan bibirnya.
Liu Wan menggeleng-gelengkan kepa¬lanya. Meskipun gertakan itu sangat jitu, namun rasanya terlalu keji dan semena-mena.
"Tapi... Li-hiap, bagaimana kalau ra¬cun pel itu terlanjur merusak isi perut-ku? Li-hiap, kumohon... berikan obat pemunahnya sekarang! Aku bersumpah tidak akan ingkar janji! Kasihanilah aku...." Prajurit itu merintih dan meng¬iba-iba di depan Tiau Hek Hoa.
"Diam kau! Sekali kukatakan nanti... ya nanti! Keputusanku tidak dapat di¬ubah-ubah lagi!" Tiau Hek Hoa mem¬bentak.
A Liong merasa kasihan. Bagaimana¬pun juga dialah yang membawa prajurit itu ke sini.
"Ah! Mengapa kita harus takut pada¬nya? Berikan saja pel pemunahmu itu! Aku tanggung dia takkan berani melari¬kan diri!"
Mata Tiau Hek Hoa mendelik. Suara¬nya terdengar kaku dan ketus ketika menjawab perkataan A Liong.
"Huh! Tampaknya kau memang tidak tahan lagi! Kau ingin bertarung dengan aku sekarang juga! Baik! Akan kulayani sampai salah seorang diantara kita mam¬pus di tempat ini!"
A Liong berdiri tegak. Tampaknya pemuda itu juga tidak mau mengalah lagi. Wajahnya tampak keruh dan kesal, orot matanya^ juga kelihatan seram dan menakutkan. Dari kedua belah tangan¬nya yang terkepal terdengar suara ber-kerotokan.
"Kau memang perempuan tak tahu diri. Orang sudah mau mengalah, kau te¬tap saja menindas dan memojokkan! Hmh, kaukira orang lain juga tidak dapat berbuat gila sepertimu? Baik! Kalau kau memang ingin bermain gila-gilaan, ber¬main menang-menangan, kau akan men¬dapatkannya! Kau akan mendapat lawan main yang cocok! Aku dapat berbuat lebih edan dan lebih menyeramkan dari pada kamu!"
Sebagai manusia yang sudah kenyang dengan segala macam pengalaman bu¬ruk, maka A Liong memang dapat ber¬buat apa saja. Dia pernah .diperlakukan orang seperti anjing, seperti benda mati, seperti kotoran! Sebagai pengemis hidupnya memang penuh penghinaan dan kesengsaraan!
Ternyata sikap pemuda itu cukup menggetarkan hati Tiau Hek Hoa. Wajahnya yang galak sedikit meredup. Na¬mun sebelum mereka benar-benar ber¬tarung, Liu Wan sudah lebih dulu me¬lerainya.
"Hentikan! Kalian mau berhenti atau tidak?" Pemuda yang sedang menyamar sebagai tabib tua itu berteriak tertahan.
Dua orang yang siap berlaga itu menggeram. Keduanya tampak marah dan penasaran.
"Baiklah, Ciok Sinshe. Maafkanlah aku." Akhirnya A Liong mengendorkan tangannya.
"Terima kasih, Saudara A Liong. Dan ...kau, Li-hiap! Kuharap kau pun dapat menahan diri. Kita semua sedang me¬laksanakan tugas berat. Kita harus meng¬galang kekuatan kita. Singkirkan dulu se¬gala macam pertengkaran dan perbedaan kita! Bagaimana...? Emm, baiklah... se¬karang kuminta Tiau Li-hiap mau mem¬berikan obat pemunah racunnya! Berikan kepada orang ini supaya dia dapat me¬nunjukkan tempat itu dengan hati te¬nang!"
Mata yang menyala itu perlahan-lahan meredup. "Baiklah, aku turuti katamu. Kau yang paling tua. Dan... kau pula yang memimpin tugas ini. Tapi setelah tugas ini selesai, jangan harap kau dapat melarangku lagi. Kerbau dungu ini tetap akan kubunuh!"
"Terserah...! Lohu memang tidak ber¬hak untuk mencampuri urusan kalian."
A Liong tidak mau berbicara lagi. Setelah gadis itu memberikan pel pemu¬nah racunnya, dia segera kembali pula ke tempatnya. Souw Hong Lam yang jarang berbicara itu datang mendekati¬nya.
"Saudara A Liong, bersabarlah! Kami tahu bahwa kau sudah banyak mengalah kepadanya. Tapi demi keberhasilan tu¬gas kita, kuharap kau lebih banyak me¬ngalah lagi. Rasanya kau lebih dapat berpikir jernih daripada dia. Nah, seka¬rang beristirahatlah....!"
A Liong tersenyum. "Jangan khawa¬tir, Saudara Souw. Aku bukan macam orang suka berkelahi. Bahkan sejak kecil aku sudah terbiasa hidup bergotong-royong dengan orang lain. Aku bekas gelandangan, yang tumbuh diantara kawa¬nan pengemis. Rasanya aku lebih banyak memiliki rasa perdamaian daripada per¬musuhan."
"Gelandangan...? Kau bekas gelan¬dangan? Ah, aku tidak percaya. Tubuh¬mu besar dan kuat!"
Sekali lagi A Liong tersenyum. "Sau¬dara Souw! Aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak mempunyai sanak-keluarga seperti engkau. Sejak kecil aku selalu berkelana dari kota ke kota. Ka¬wanku banyak sekali. Kalau akhirnya ba¬danku bisa tumbuh seperti ini, aku~ sen-diri juga tidak tahu. Mungkin karena nafsu makanku besar sekali. Sekali ma¬kan aku bisa menghabiskan sebakul nasi."
"Ah, kau bisa saja....!"
Ternyata pada saat yang sama, Tiau Hek Hoa juga sedang mendekati Prajurit Go. Dengan suara geram bibir tipis itu berbisik di telinga prajurit itu. Perlahan saja, tapi sangat mengejutkan pendengar¬nya!
"Awas! Jangan macam-macam kau! Obat yang kuberikan itu obat palsu, bukan obat pemunah racunku! Obat pemu¬nah yang asli baru akan kuberikan se¬telah tugasmu selesai! Tahu....?"
Demikianlah, malam itu mereka mu¬lai bergerak setelah lonceng berdentang sembilan kali. Prajurit Go yang tidak mau mati konyol membawa mereka me¬nyelinap melalui tempat-tempat yang aman. Mereka melewati lorong-lorong rahasia, yang tidak mungkin mereka ke¬tahui tanpa bantuan Prajurit Go.
Setelah naik-turun tangga dan ber¬putar-putar melewati puluhan lorong rahasia, mereka muncul di tempat ter¬buka. Prajurit Go berhenti. Kulit muka¬nya tampak pucat.
"Nah! Mulai dari tempat ini kita ti¬dak dapat melalui jalan rahasia lagi. Kita harus menyeberang halaman ini dan masuk ke pintu gerbang di tengah-tengah bangunan itu. Tapi hal itu tidak mungkin kita lakukan tanpa diketahui penjaga. Di sekeliling halaman ini banyak pos-pos penjagaan yang dihuni oleh pa¬sukan prajurit pilinan. Lihatlah lampu-lampu minyak itu...! Itulah pos-pos pen¬jagaan!"
Liu Wan termangu-mangu. Prajurit itu tentu tidak berbohong. Memang sulit melintas di halaman luas itu tanpa ter¬lihat oleh penjaga. Apalagi bulan ber¬sinar dengan cerahnya.
"Bagaimana pendapatmu, Saudara Souw? Kau jarang . sekali berbicara. Mungkin kau dapat menemukan jalan yang terbaik?"
Pemuda ganteng itu tidak segera menjawab. Matanya menatap ke ujung halaman tanpa berkedip. Tiba-tiba ia melihat kesibukan di setiap pos penjaga¬an itu.
"Ciok Sinshe, lihat...! Prajurit-praju¬rit itu keluar dari pos masing-masing! Mereka menyusun barisan dengan ter¬gesa-gesa! Tampaknya telah terjadi se¬suatu dalam benteng ini....!"
Tangan Tiau Hek Hoa dengan cepat menyambar lengan Prajurit Go.
"Cepat katakan! Apakah mereka tahu kedatangan kita?" Gadis itu menggeram marah.
"Aku~. aku tidak tahu! Benar! Aku tidak tahu! Bukankah seharian penuh aku bersama kalian? Mana sempat aku berbuat yang bukan-bukan?" Prajurit itu mendesis kesakitan.
"Kalau begitu... mengapa mereka ber-siap-siaga seperti itu?" A Liong cepat-cepat menengahi.
"Sungguh! Aku tidak tahu! Oh, ya... mungkin... mungkin pasukan Mo Tan itu benar-benar sudah datang! Jadi... jadi mereka bersiap untuk mempertahankan benteng ini. Pertempuran besar akan se¬gera berlangsung....!"
"Pasukan Mo Tan? Oh? Begitu cepat¬nya mereka datang?"
Sekejap kemudian suasana di dalam benteng itu menjadi sibuk luar biasa. Ratusan prajurit yang sedang berada di dalam benteng itu segera menyebar ke segala penjuru. Mereka menempati pos masing-masing. Segala macam perleng-^ kapan tempur mereka siapkan.
Mereka mengeluarkan gerobag-gerobag senjata, kereta berisi batu-batu pelun¬cur, dan segala macam peralatan perang lainnya. Semua itu mereka lakukan tan¬pa banyak menimbulkan suara. Mereka bekerja seperti kawanan hantu.
"Bagus! Keributan ini justru mem¬bantu kita! Ayoh, sekarang kita menye¬berang ke pintu gerbang itu!" Liu Wan berbisik sambil mencengkeram lengan Prajurit Go.
"Nanti dulu! Bagaimana kalau ada yang melihat kita...?" Souw Hong Lam mencegah niat itu.
Semuanya tertegun. Ucapan itu me¬mang mengandung kebenaran. Walaupun suasana sedang ribut, tapi hanya mereka sendiri yang tidak mengenakan seragam.
"Hei, dimana Kerbau Dungu itu?" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru lirih ketika matanya tidak melihat A Liong.
Liu Wan dan Souw Hong Lam terke¬jut. Tapi mereka segera menghela napas lega. Pemuda tinggi besar itu melangkah dari tempat gelap. Kedua tangannya me¬meluk tumpukan seragam prajurit.
"Maaf, aku baru saja mencari sera¬gam prajurit! Nih! Silakan pakai! Pilih¬lah yang cocok! Kita pergunakan untuk
menyamar seperti mereka!"
Liu Wan saling pandang dengan Souw Hong Lam. Mereka benar-benar kagum atas kecekatan pemuda itu. Hanya Tiau Hek Hoa yang semakin masam mukanya. Hampir saja ia tak mau memakainya.
Dalam situasi kalut seperti itu, ma¬ka seragam mereka benar-benar mem¬bantu. Apalagi disamping mereka ada Prajurit Go yang mengenal baik isyarat atau kode-kode di dalam benteng itu.
Namun demikian ketika hendak masuk ke dalam pintu gerbang, Prajurit Go sempat gemetar juga. Pintu gerbang itu dijaga ketat oleh pasukan khusus, yang terdiri dari tiga puluh enam orang. Pa¬sukan itu dibagi menjadi empat kelom¬pok, yang bergantian menjaganya. i
Tapi A Liong tidak takut. Pemuda itu tetap melangkah dengan tenang, se¬perti layaknya seorang prajurit jaga. Di tengah pintu dia berhenti. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak melihat seorang penjaga pun di tempat itu.
A Liong justru menjadi curiga. Jangan-jangan para penjaga itu telah me¬ngetahui kedatangan mereka dan mema¬sang jebakan.
"Tidak ada penjaga di sini. Hei, Pra¬jurit Go... benarkah pintu ini "tidak ada penjaganya?" Katanya perlahan.
"Hemm! Ada yang tidak beres di si¬ni! Biasanya tempat ini dijaga ketat, ka¬rena gerbang ini merupakan pintu peng¬hubung menuju ke benteng dalam. Di sanalah tempat Panglima Yap Kim di¬penjara!" Prajurit Go menerangkan.
"Ssssst!" Tiba-tiba Souw Hong Lam memperingatkan.
Sesosok bayangan tampak berkelebat dalam gelap. Bayangan itu melesat ke atas genting dan hilang di balik bubu¬ngan.
"Benar! Memang ada orang yang men¬dahului kita!" Liu Wan berdesis pendek.
"Inilah mereka! Penjaga-penjaga itu dibuang ke sini!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru pula. Kepalanya melongok ke balik gardu jaga.
. Liu Wan menghela napas panjang. Hatinya berdebar. Siapa orang itu? Kawan atau lawan?
"Sudahlah! Kita masuk saja! Kita ha¬dapi bersama semua rintangan! Nah, Pra¬jurit Go...! Di mana... ruang Panglima Yap Kim?" A Liong bertanya kepada Prajurit Go.
"Di dalam bangunan itu! Di ruang be¬lakang! Tapi... hati-hatilah! Tempat ini penuh dengan jebakan! Setiap lorong pas¬ti ada jebakannya! Aku... hei!!"
Belum juga habis dia berkata, seko¬nyong-konyong terdengar suara ledakan keras di bagian belakang bangungan itu. Bahkan berbareng dengaji itu, di luar benteng juga terdengar suara terompet dan genderang memecah kesunyian ma¬lam!
"Ada musuh menyerang benteng ini ...!" Prajurit Go berkata dengan suara gemetar.
"Tapi... ledakan di dalam bangunan itu?" A Liong berkata pula dengan suara ragu.
"Jebakan...! Orang yang masuk tadi telah melanggar salah satu dari jebakan itu!" Prajurit Go menjelaskan.
Sekejap kemudian halaman kecil itu menjadi ramai sekali! Penjaga berlarian keluar. Mereka berlari ke tempat di mana telah terjadi ledakan tadi. Bebe¬rapa orang membawa obor sambil ber¬teriak-teriak.
"Musuh menyerang benteng!"
"Awas! Ada penyelundup yang masuk ke dalam bangunan ini! Kita cari dia....!"
"Musuh datang menggempur ben¬teng....!"
"Tutup semua pintu! Cepat....!"
Liu Wan menarik tangan Prajurit Go ke jurusan lain. Tiau Hek Hoa, Souw Hong Lam dan A Liong mengikuti di be¬lakangnya. Mereka langsung masuk ke dalam gedung dan menyelinap ke pintu belakang. Setiap kali bertemu penjaga mereka menghindar. Tapi dalam keadaan terpojok, Tiau Hek Hoa tidak segan-segan menggunakan senjatanya!
"Li-hiap, hindari pembunuhan!" Liu Wan memperingatkan.
Mereka tiba di ruang tengah. Belas¬an prajurit tampak berjaga di sana. Me¬reka seperti tidak terpengaruh oleh ke-
adaan di sekeliling mereka. Demikian berhadapan dengan Liu Wan dan Prajurit Go, salah seorang diantara mereka se¬gera menggertak sambil mengacungkan tombaknya.
"Berhenti! Prajurit dari kesatuan ma¬na kalian ini, heh? Mengapa datang ke mari? Jawab!"
Liu Wan menekan tangan Prajurit Go agar menjawab pertanyaan itu. Tapi ter¬lambat. Samaran mereka segera terbaca oleh penjaga-penjaga itu! Rambut Tiau Hek Hoa yang panjang itu terjulur keluar dari seragamnya!
"Awaaaas, penyelundup! Ringkus mereka!"
Belasan penjaga itu segera mengham¬bur datang. Mereka menyerang tanpa memberi kesempatan lagi. Tombak dan panah segera beterbangan ke arah Liu Wan dan kawan-kawannya.
Dalam keadaan gawat seperti itu semuanya tidak dapat mengekang diri lagi. Masing-masing segera mengeluarkan kesaktiannya. Apalagi mendengar keri¬butan itu, penjaga yang berada di bagian
lain segera datang mengalir ke tempat itu.
"Perajurit Go! Di mana kamar itu? Lekas katakan!" Sambil menangkis panah-panah itu Liu Wan berteriak.
"T-t-t-tapi... bagaimana dengan obat pemunah itu?" Prajurit itu berseru keta¬kutan.
"Apa... maksudmu? Obat apa?" Liu Wan bertanya heran.
"Nona itu... belum memberikan obat¬nya! Sebentar lagi dagingku akan men¬cair...!" Prajurit itu menjerit dengan air mata bercucuran.
Mata Liu Wan bagaikan menyala saking marahnya. Dengan suara kasar ia berteriak kepada Tiau Hek Hoa.
"Mengapa tidak kauberikan juga obat itu? Di pihak mana sebenarnya kau ini...? Tugas ini tinggal selangkah saja lagi! Lihat! Apakah kau benar-benar ingin menggagalkannya?"
Belasan orang penjaga kembali me¬nyerang dengan tombaknya. Semuanya menyerang Liu Wan dan Prajurit Go. Karena sedang marah Liu Wan tidak da-
pat mengendalikan diri lagi. Pemuda itu dengan cepat menggeser ke depan. Kedua tangannya terayun tanpa disadari.
Thuuaaaas....! Terdengar suara letup¬an kecil seperti tepukan tangan! Tapi akibatnya sungguh hebat! Separuh dari prajurit itu terpental jatuh tanpa dapat bangun kembali!
Sekejap Mo Goat yang menyamar sebagai Tiau Hek Hoa itu terkejut. Ra¬sanya dia pernah melihat pukulan itu!
"Kau... kau, eh... baik! Baik! Inilah obatnya!" Dalam keadaan gugup gadis itu menyerahkan obatnya.
Sementara itu beberapa langkah di dekat mereka, Souw Hong Lam dan A Liong juga dipaksa untuk bertempur pula. Kehebatan pukulan Liu Wan sama sekali tidak mempengaruhi daya tempur prajurit-prajurit pilihan itu. Tanpa ragu-ragu mereka menerjang Souw Hong Lam dan A Liong, sehingga keduanya terpak¬sa harus bekerja keras untuk menahan mereka.
Souw Hong Lam mengerahkan gin-kangnya dan berloncatan di antara kepala lawan-lawannya. Badannya yang jang¬kung itu melayang-layang seperti burung rajawali di antara kawanan serigala. Sementara tangannya menyambar ke sana ke mari, bagaikan tangan malaikat mencabut nyawa! Setiap kali tangan itu menyambar, seorang prajurit pasti terpe-lanting tak berdaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT