PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 23

 

MENURUT penuturan Ho Bing, Chin Tong Sia adalah adik seperguruan Put-pai-siu Hong-jin. Sementara Mo Goat, yang kini sedang menyamar sebagai Tiau Hek Hoa, juga mengatakan bahwa Chin Tong Sia memiliki ilmu silat yang tidak kalah dengan tingkatan mereka.

"Tampaknya pemuda ini memang be¬nar-benar berbahaya. Kemampuannya .sama dengan sepuluh orang panglima ayahku. Sayang sekali dia belum dapat disingkirkan sekarang. Nyawanya merupa¬kan jaminan bagi keselamatan Mo Goat." Mo Hou berdesah di dalam hati melihat kehebatan Chin Tong Sia.

Memang benar juga kekhawatiran Mo Hou. Sepuluh orang panglima suku bangsa Hun belum tentu dapat menandingi ke¬saktian Chin Tong Sia. Apa lagi hanya tokoh semacam Ho Bing dan Bayan Tanu.

"Kisah lucu Si Kera Bodoh,
Ingin menangkap Burung Kenari.
Walau Kenari lemah dan kecil,
Kera Bodoh tetap tak berdaya."

Sambil bertempur sesekali Chin Tong Sia menyelipkan senandung kesukaannya. Bagi anggota Aliran Beng-kau berkelahi sambil mengoceh merupakan sebuah ciri tersendiri. Turun-temurun mereka telah terbiasa bernyanyi dan berpantun dalam menjalankan agamanya. Sampai pada saat berlatih silat pun mereka juga latah melantunkan pantunnya. Dan kela¬tahan tersebut semakin parah pada saat mereka memainkan Ilmu Silat Cou-mo-ciang (Tangan Menangkap Setan)!
Tentu saja ocehan "ngawur" itu mem¬buat Ho Bing dan Bayan Tanu menjadi berang sekali.
"Tutup mulutmu! Kau anggap kami kera besar? Kurang ajar!" Bayan Tanu menjerit marah.
"Lihat Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)...!" Ho Bing berteriak pula sambil memencet tongkatnya. Tapi Chin Tong Sia merupakan tokoh paling berbakat di antara angkatan muda Beng-kauw. Sebagai murid bungsu Put-ceng-li Lojin (Orang Tua yang Tidak Tahu Aturan), yaitu mendiang ketua Beng-kau lama, ilmu silatnya justru lebih hebat dari semua kakak seperguruannya. Bahkan selapis lebih tinggi daripada Put-sim-sian (Si Dewa Tak Punya Perasaan), kakak seperguruannya yang kini menjabat sebagai Ketua Beng-kau. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau serang¬an Bayan Tanu dan Ho Bing sama sekali tidak menyulitkan dia. Hanya dengan mengandalkan kecepatan tangan dan ke¬kuatan lweekangnya, mata tombak Bayan Tanu dengan mudah disambarnya. Bahkan semua itu dilakukan sambil me¬raup jarum Ho Bing ke dalam lengan bajunya.
Dan pada saat itu pula, tiba-tiba pintu halaman depan terbuka dari luar. Enam orang penunggang kuda menerobos masuk.
Chin Tong Sia melihat peluang yang baik untuk meloloskan diri. Cepat ia meompat ke belakang. Mata tombak Bayan Tanu yang ada di tangannya segera ia lemparkan ke arah Mo Hou. Sementara kumpulan jarum yang ada di dalam le¬ngan bajunya diayunkan pula ke arah musuhnya itu.
Ternyata kedua macam senjata itu menjadi lebih dahsyat dalam tangan Chin Tong Sia. Demikian cepat dan kuatnya ayunan mata tombak itu, sehingga Bayan Tanu yang tetap masih meme¬gangi ujung rantainya, ikut terlempar pula ke arah Mo Hou. Demikian pula halnya dengan jarum-jarum Ho Bing. Benda kecil itu melesat bagai curah hu¬jan ke tubuh Mo Hou.
"Bangsat...!" Mo Hou mengumpat kasar.
Putera Raja Mo-tan itu menghindar dengan cepat. Begitu cepatnya sehingga tubuhnya seperti hilang begitu saja. Tahu-tahu pemuda itu telah berada di atas pendapa.
Chin Tong Sia benar-benar kaget menyaksikan kegesitan lawan. Terlintas dalam ingatannya, cerita yang pernah dikatakan oleh suhengnya. Put-pai-siu Hong-jin pernah bercerita tentang se¬orang pemuda yang mampu bergerak seperti angin. Lima tahun yang lalu su¬hengnya berkelahi dengan pemuda itu, dan hampir saja dikalahkan. Untunglah Put-pai-siu Hong-jin dapat meloloskan diri dengan cara menceburkan diri ke dalam laut.
"Saat itu Suheng dalam. keadaan mabuk. Oh! Jangan-jangan pemuda yang dia maksudkan itu adalah.... Mo- Hou, putera Raja Mo Tan ini!" Chin Tong Sia tapi Chin Tong Sia tak ingin kehi¬langan kesempatan. Sebelum mereka sadar apa yang terjadi, dia cepat-cepat melesat ke pintu halaman. Wuuuuuus! Tubuhnya melejit seperti kijang cepat¬nya! Hampir-hampir seperti gerakan Mo Hou!
"Lok-kui-tin! Tangkap dia!" Sambil mengelak Mo Hou masih sempat berte¬riak kepada penunggang kuda yang baru saja datang itu.
"Baik, Kong-cu!" Dua di antara enam orang penunggang kuda itu melompat , turun untuk menyongsong kedatangan Chin Tong Sia.
"Awaaaas! Jangan sembrono....!" Mo Hou berteriak memperingatkan mereka.
Terlambat. Pek-kui dan Ang-kui, yang tidak menyadari akan kehebatan ilmu silat Chin Tong Sia, sudah terlanjur mengayunkan tangannya, menyongsong kedatangan pemuda tersebut.
Dhuuuuuuar....!!
"Aaaarrgghh....!"
Terdengar Ang-kui dan Pek-kui me¬ngeluh pendek. Mereka terbanting ke tanah dengan mata terbelalak. Terpantul perasaan tak percaya di mata mereka.
Tetapi Chin Tong Sia juga tidak lolos dari pengaruh benturan itu. Tubuhnya tergetar mundur dengan kuatnya. Dia merasa seperti menerjang tembok besi. Begitu kuatnya sehingga dalam sekejap aliran darahnya terasa kacau. Bahkan dari dalam mulutnya mengalir darah se¬gar.
Anggota Liok-kui-tin memang bukan tokoh sembarangan. Mereka berenam merupakan tokoh-tokoh persilatan yang sangat ditakuti di luar Tembok Besar. Kekuatan mereka berenam bagaikan ke¬kuatan sepuluh ekor gajah menjadi satu.
Chin Tong Sia cepat mengatur perna¬pasannya kembali. Percikan darah yang menetes di bawah dagunya, dia bersih¬kan dengan lengan bajunya. Perasaannya mulai ragu.
"Gila! Siapa pula orang-orang ini?" Pemuda itu menggeram.
Demikianlah, ternyata Chin Tong Sia tak mampu memanfaatkan kesempatan itu. Kini Mo-dHou dan Lok-kui-tin telah -i mengelilinginya. Mo Hou kelihatan ram sekati.
"Baru saja aku berteriak untuk mem¬peringatkan kalian' Tapi kalian main gempur saja! Untunglah nyawa kalian masih ada! Kaukira siapa lawan kalian itu? Ketahuilah, dia adalah adik sepergu¬ruan Put-pai-siu Hong-jin!" Mo Hou me¬marahi pengawal-pengawal ayahnya itu.
"Aaaah...!" Semuanya tersentak ka¬get. Termasuk puia Chin Tong Sia yang menyangka telah dikenal oleh lawan-tawannya. "Hek-kui! Bawa Ang-kui dan Pek-kui ke pendapa! Biarlah aku yang menang¬kap bocah ini!" Akhirnya Mo Hou mem¬beri perintah.
Chin Tong Sia kembali mengerahkan segala kekuatannya. Dia merasa bahwa tingkatan ilmu silat lawannya, tidak ja¬uh berbeda dengan dirinya. Bahkan ilmu silat Mo Hou kelihatan lebih matang dan lebih sempurna dari dugaannya.
Cing-kui, Ci-kui dan Ui-kui melangkah ke depan. Ui-kui memberi hormat. "Kongcu, biarlah kami bertiga yang membereskan pemuda ini. Belum saat¬nya Kongcu turun tangan sendiri. Keka¬lahan Ang-kui dan Pek-kui merupakan kesalahan mereka sendiri. Mereka kurang waspada melihat kekuatan lawan. Bah¬kan kami semua juga lengah akibat ke¬gembiraan yang berlebihan. Tugas untuk menangkap Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan isterinya, telah kami laksanakan dengan baik."
"Bagus! Kalian berhasil meringkus pendekar itu? Lalu di mana mereka se¬karang...?"
"Kami kurung di ruang bawah tanah."
Diam-diam hati Chin Tong Sia berge¬tar juga. Dia memang belum pernah ber¬jumpa dengan Souw Thian Hai, tapi ke¬saktian tokoh besar itu sudah sering ia dengar sejak kecil. Benarkah mereka mengalahkan pendekar ternama itu?
"Baik, kalau begitu.... ringkuslah pe¬muda ini! Jangan dibunuh! Aku ingin me¬ngorek keterangan dari mulutnya." Akhir¬nya Mo Hou memberikan perintahnya.
Selesai berkata pemuda itu melesat pergi meninggalkan halaman tersebut. Ia kelihatan begitu percaya pada kemam¬puan anak buahnya.
Hek-kui memapah Ang-kui dan Pek-kui ke pendapa, sementara Ui-kui, Ci-kui dan Cing-kui menghadapi Chin Tong Sia.
"Bagus! Jadi, kau... adik seperguruan Orang Gila itu? Siapa namamu?" Ui-kui yang berbaju kuning itu membentak Chin Tong Sia yang sedang berusaha memulihkan aliran darahnya.
"Hmmh...! Apa perlunya namaku bagi kalian? Sebentar lagi kita akan saling membunuh di sini! Kita tak perlu tahu nama masing-masing! Kalian atau aku » yang mati! Habis perkara!" Chin Tong Sia yang mudah tersinggung itu balas menggertak.
"Hohoho, agaknya namamu yang aneh dan lucu itu takut ditertawakan orang, heh?" Cing-kui yang berbaju hijau me¬ngejek.
Wajah Chin Tong Sia menjadi merah. Nama orang Beng-kauw memang aneh dan terasa lucu di telinga orang keba¬nyakan.
"Kurang ajar! Kaukira namamu lebih bagus daripada namaku? Dengar, Boneka Katak Hijau! Namaku... Chin Tong Sia, atau Put-tong-sia! Dan aku akan membu¬nuhmu lebih dulu daripada kawan-kawan¬mu yang lain!" Chin Tong Sia menjerit marah.
Lalu tanpa menanti jawaban lagi, Chin Tong Sia menerjang Cing-kui! Ke¬dua telapak tangannya mendorong dengan kekuatan penuh!
Sekarang tak seorangpun dari ketiga orang itu yang berani menyongsong pukulan Chin Tong Sia. Dalam keadaan belum bersiaga penuh, lebih baik mereka menghindari pukulan pemuda itu. Demiki¬an pula yang mereka lakukan sekarang.
Mereka cepat mengelak, lalu berpen¬car mengelilingi Chin Tong Sia. Secara berbareng mereka menyerang. Wuuush!
Chin Tong Sia melambung tinggi ke udara, kemudian berjumpalitan mende¬kati Cing-kui. Dengan tubuh masih menggeliat di udara, jari-jari tangan kanannya mencakar • ke wajah Hantu Berbaju Hijau tersebut. Terdengar suara mendesis ketika jari tangan itu menge-luarkan asap tipis!
"Awaaaas, Cing-kui!" Ui-kui berseru sambil memukul punggung Chin Tong Sia dengan kedua kepalannya. Terdengar su¬ara mencicit ketika kepalan itu mener¬jang menuju sasarannya.
Ternyata sejak dini Chin Tong Sia telah menyadari kedudukannya. Orang-orang yang sedang dia hadapi adalah jago-jago silat kelas satu. Satu lawan satu, dia yakin bisa menang. Satu lawan dua, mungkin dia masih bisa bertahan.
Tetapi kalau harus menghadapi tiga orang sekaligus, jelas ia akan kewalahan. Oleh karena itu begitu menyerang dia langsung mengeluarkan jurus Cuo-mo-ciangnya. Siapa tahu lawan kembali ter¬kecoh, sehingga dalam gebrakan pertama dia dapat mengurangi satu lawan lagi.
Tetapi ternyata Lok-kui-tm tidak dapat dijebak untuk yang kedua kali. Begitu Chin Tong Sia mencakar ke wajah Cing-kui, Ui-kui cepat membokong punggung pemuda itu dengan pukulan ganasnya.
Terpaksa Chin Tong Sia berbalik sam¬bil menyambut pukulan itu! Dan kali ini masing-masing benar-benar telah bersiap dengan segala kekuatannya!
Thuuaaaas....! Plak!
Tubuh Chin Tong Sia yang masih ter¬apung di udara itu terlempar ke sam¬ping, sementara Ui-kui jatuh terduduk di atas tanah. Ternyata selisih kekuatan mereka memang tidak terpaut banyak. Mungkin cuma selapis saja.
Setelah berjumpalitan beberapa kali, Chin Tong Sia mendaratkan kakinya di
luar kepungan. Beberapa saat masih terasa getaran pukulan Ui-kui di dalam dadanya, sehingga ia semakin yakin akan kemampuan lawan-lawannya.
Demikianlah halaman itu kembali disibukkan oleh pertempuran yang amat seru. Satu lawan tiga. Memang pertem¬puran yang tidak seimbang, karena ke¬kuatan dari masing-masing anggota Lok-kui-tin itu hampir sejajar dengan Chin Tong Sia.
Semakin lama Chin Tong Sia semakin dipaksa untuk memeras keringatnya. Ketiga hantu itu benar-benar lihai bukan main. Bahkan mereka bertiga mulai men¬desaknya. Mereka mengambil keuntungan dengan kelebihan jumlah kekuatan mere¬ka. Mereka memancing Chin Tong Sia untuk beradu tenaga secara bergantian, sehingga kekuatan pemuda itu semakin cepat surut.
"Gila! Mereka benar-benar licik! Aku .... aaaah!"
Karena kurang cepat, sebuah tendang¬an dari Ui-kui telah mengenai pundak Chvn Tong Sia. Begitu kuatnya sehingga lengan kanan pemuda itu serasa lumpuh dan sulit digerakkan.
Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh ketiga lawannya. Mereka cepat mengejar dan memberondong pukulan secara berbareng. Mereka ingin mering¬kus Chin Tong Sia dalam satu gebrakan.
Tapi dengan cepat Chin Tong Sia menjatuhkan diri ke tanah, kemudian berputar seperti baling-baling. Pemuda itu tidak memikirkan lagi kalau pakaian¬nya menjadi kotor oleh debu.
Meski dihempas badai!
Digulung oomaw!*
Dihantam petir!
Digilas karang! Namun,
Batu dan pasir tetap bertahan!
Hancur satu, muncul seribu.........'
Sambil berputar tidak lupa pemuda itu berpantun dengan suara tinggi. Bahkan sangat bersemangat! Ternyata dalam keadaan sulit, pemuda itu justru mengeluarkan gerakan yang aneh, yaitu Menggali Liang Ubur-ubur! Salah satu dari jurus Cuo-mo-ciangnya yang aneh dan membingungkan!
Sekejap ketiga lawannya benar-benar menjadi bingung. Otomatis mereka me¬lompat menjauhi Chin Tong Sia. Namun betapa kagetnya mereka ketika baling-baling itu mendesak melenting ke arah Cing-kui Si Hantu Hijau! Cepat bukan main! Bagaikan baling-baling patah yang terhempas ke udara! Lebih cepat dari kilatan halilintar!
Deessss!
Tubuh Cing-kui terlempar bagaikan layang-layang putus. Dan dia tentu akan terbanti*ng tanah, apabila Hek-kui
yang baru saja keluar dari dalam gedung tidak segera menyambarnya!
Demikianlah, dalam waktu yang ti¬dak terlalu lama, separuh dari barisan Lok-kui-tin telah menjadi korban kega¬nasan Cuo-mo-ciang! Walau tidak terlalu berat, namun mereka harus segera dira¬wat, sehingga untuk sementara mereka tidak dapat berkelahi lagi.
Setelah membawa Cing-kui ke pinggir, Hek-kui melangkah ke dalam arena. Wajahnya tampak merah padam mena¬han marah.
"Ui-kui! Ci-kui! Ayoh kita ringkus bocah ini!"
Chin Tong Sia bersiap siaga kembali menghadapi segala kemungkinan. Dia sadar bahwa lawannya memiliki ilmu yang dahsyat. Meskipun Cuo-mo-ciang merupakan ilmu yang mentakjubkan, na¬mun kemenangan-kemenangannya tadi lebih banyak disebabkan oleh faktor keberuntungan!
Mendadak pemuda itu bergetar dengan hebat. Perasaan ngeri tiba-tiba mence¬kam hatinya. Dia melihat bola mata lawannya seolah-olah mengeluarkan sinar cahaya kemerahan, bagaikan mata iblis yang hendak membakar dirinya.
"Kami bertiga adalah utusan Iblis Neraka. Kau menyerahlah!" Tiba-tiba Hek-kwi menggeram dengan suara berat seakan-akan suaranya itu datang dari liang kubur.
Getaran magis seperti membelenggu jiwa dan pikiran Chin Tong Sia. Sekejap kesadaran pemuda itu terusik.
"B-ba-baik, a-aku.... mmm-menyerah!" Tak terasa bibirnya bergetar.
"Bagus! Nah, sekarang acungkan kedua lenganmu ke depan! Kami akan meng¬ikatmu...." Hek-kui memberi perintah.
"Ya-ya, eh-oh....? Apa pula ini? Ku¬rang ajar!" Ternyata Chin Tong Sia ce¬pat menyadari keadaannya. Lweekangnya yang sangat tinggi itu segera bertahan dan melawan gempuran kekuatan sihir tersebut.
Dalam keadaan kaget pemuda itu menyerang Hek-kui! Kedua tangan yang teracung ke depan itu sekonyong-konyong berputar dan menyambar dada Hek-kui dengan jari-jari terbuka. Wuuut!. Seperti bermain sulap, jari tangan itu sudah menyentuh pakaian Hek-kui.
"Aaaaaaaa....??" Hek-kui menjerit ketika kain bajunya yang tersentuh jari Chin Tong Sia itu hancur berkeping-keping.
"Kurang ajar! Bocah ini memang pan¬tas dibunuh!"
Si Hantu Hitam Hek-kui memberi aba-aba, dan mereka berpencar mengelilingi Chin Tong Sia. Mereka dalam kea¬daan siaga penuh, sehingga Chin Tong Sia tidak berani sembarangan menyerang salah seorang dari mereka. Begitu dia berani menerjang salah seorang dari mereka, maka yang lain akan segera menggempur dirinya habis-habisan. Dan hal itu sangat berbahaya sekali.
Chin Tong Sia tetap saja menunggu, ketika lawannya berputaran di sekeliling¬nya. Semakin lama langkah mereka se¬makin cepat. Namun ketika Chin Tong Sia mulai bersiap hendak menyerang, langkah mereka tiba-tiba berubah pelan. Semakin pelan.
Namun sejalan dengan itu, Chin Tong Sia merasakan adanya perubahan yang mengejutkan. Ototnya terasa kaku dan berat untuk bergerak. Sementara udara terasa semakin tebal dan kental, sehing¬ga paru-parunya terasa sulit untuk ber¬napas.
"Gila! Ilmu apa lagi, nih?" Chin Tong Sia terkesiap.
Pemuda itu bergegas mengerahkan lweekangnya untuk melawan pengaruh ilmu silat lawannya yang aneh itu. Sam¬bil menghentakkan tenaga saktinya, Chin Tong Sia menerjang Hek-kui yang berada di depannya. Kedua tangannya mendorong dengan kekuatan penuh. Whhhuuuuuuaaas!
Dalam keadaan biasa dorongan tangan Chin Tong Sia yang penuh tenaga sakti itu akan dapat merubuhkan seekor kerbau jantan. Tapi dalam pengaruh ilmu yang aneh dari ketiga lawannya itu, ternyata kekuatannya menjadi hambar. Kekuatan yang dahsyat itu seperti tertahan oleh kepadatan udara yang berputar di seke¬lilingnya.
Tentu saja Hek-kui mengelak dengan mudah. Bahkan Hantu Hitam itu mem¬beri isyarat kepada kawan-kawannya un¬tuk menambah kekuatan ilmu mereka.
Chin Tong Sia semakin sulit berge¬rak. Pemuda itu seperti berenang dalam lumpur yang kenyal. Dan dalam keadaan yang sulit itu tiba-tiba matanya terbela¬lak. Dilihatnya kepala Hek-kui, Ci-kui dan Ui-kui berubah menjadi kepala singa yang menakutkan.
"Ah, aku tidak boleh terpengaruh. Mereka cuma menciptakan bentuk-bentuk semu. Tidak mungkin seorang manusia berkepala singa. Mereka hanya mau me-ngelabuhi penglihatanku. Mereka ingin mempengaruhi perasaanku."
Sambil bertempur Chin Tong Sia men¬coba melawan pengaruh aneh itu dengan segala kemampuannya. Tetapi semakin dilawan, pengaruh aneh itu menjadi se¬makin kuat mencekam pikiran dan pera¬saannya. Bahkan ia semakin menjadi bi¬ngung pula ketika lawannya mulai berpu¬tar mengelilinginya. Ketiga orang berke¬pala singa itu tiba-tiba menjadi banyak sekali. Mereka berputar¬an di sekitarnya.
"Gila...! Aduh!"
Chin Tong Sia mengumpat keras seka¬li ketika jalan darah "tia-ping-hiat" di bawah punggungnya disambar siku Hek-kui! Begitu kuatnya sehingga separuh badannya menjadi lumpuh seketika! Ma¬ka tiada ampun lagi tubuh Chin Tong Sia terjerembab ke tanah!
Pemuda itu bangkit lagi. Tapi sebuah pukulan kembali menghajar perutnya. Dan kali ini benar-benar telak, sehingga dia tak dapat bangun pula. Pingsan.
"Hebat sekali kepandaiannya. Baru sekali ini Lok-kui-tin dibikin kalang kabut oleh seorang pemuda tak ternama. Hmmh....! Ayoh, kita bawa dia ke ruang bawah tanah!" Hek-kui menggeram.
Chin Tong Sia dibawa masuk ke dalam gedung. Mereka langsung memba¬wanya ke ruang bawah tanah. Dan maji¬kan mereka, Mo Hou, ternyata sudah berada di sana pula.
"Bagus! Akhirnya kalian dapat juga meringkusnya....!"
"Ucapan Kongcu benar. Anak ini memang hebat sekali. Walaupun berha¬dapan dengan kami bertiga, dia masih dapat melukai Cing-kui. Orang ini seba¬iknya dibunuh saja. Dia dapat merepot¬kan kita di kemudian hari...."
Mo Hou tersendat kaget. "Cing-kui terluka? Jadi.... tiga di antara Barisan Lok-kui-tin yang tersohor itu.... terjung¬kal olehnya? Sungguh memalukan! Bagai¬mana kita akan dapat menaklukkan negeri ini, kalau orang-orang kita gampang dikalahkan oleh bocah ingusan seperti dia?" Mo Hou mendengus marah.
"Maafkan kami, Kong-cu. Kami su¬dah berusaha dengan baik. Tetapi bocah ini memang memiliki ilmu silat yang amat tinggi."
"Sudahlah! Rantai kaki dan tangannya! Kurung di ruang Pendekar Souw dan isterinya!"
*
**
Sementara itu. di rumah makan, Liu Wan dan yang lain-lain masih tetap me¬nunggu kedatangan Tiau Hek Hua. Mere¬ka menjadi lega ketika gadis berkulit hitam itu datang membawa empat ekor kuda.
"Eh, mengapa datang sendirian? Di mana Saudara Chin tadi?" A Liong me¬nyambutnya dengan tergesa-gesa.
Mo Goat yang sedang menyamar itu turun dari kudanya. Air muka tampak kesal sekali. "Kita tak usah memikirkan¬nya lagi. Dia telah berangkat lebih dulu.
Katanya dia tahu jalan yang lebih ce¬pat. Huh!"
"Begitukah....?!?" Liu Wan berdesah. Wajahnya menampilkan rasa kurang per¬caya. Ditatapnya wajah Tiau Hek Hoa yang hitam itu tanpa berkedip.
"Apakah Sin-she tidak percaya kepa¬daku?" Gadis itu berteriak kesal.
Liu Wan berpaling ke arah Souw Hong Lam. "Bagaimana pendapatmu, Saudara Souw? Lohu sama sekali tidak menyang¬ka kalau Saudara Chin pergi mendahului kita...."
Souw Hong; Lam mengangkat pundak¬nya. "Kemanakah Tiau Lihiap dan Sauda¬ra Chin tadi? Apakah para penjual kuda itu anak buah Kim Wang-we? Jangan-jangan Saudara Chin dipengaruhi tengku¬lak kuda itu...."
"Mereka memang anak buah Kim Wang-we. Kuda-kuda ini memang dari peternakannya. Tapi semua itu tak ada hubungannya dengan kepergian Saudara Chin. Dia pergi begitu saja, setelah mendapatkan kuda. Huh, sudahlah....! Terserah kalau kalian tetap ingin menunggu dia. Aku akan berangkat lebih dulu..."
Tiau Hek Hoa melompat ke atas punggung kudanya dan melangkah me¬ninggalkan teman-temannya.
"Nona Tiau, tunggu....! Aku percaya padamu!" Souw Hong Lam memilih salah seekor dari kuda itu dan mengendarainya di belakang Tiau Hek Hoa.
A Liong memandang Liu Wan yang ia anggap sebagai pimpinan rombongan mereka. "Bagaimana, Ciok Sinshe? Rom¬bongan ini bisa terpecah belah sebelum tiba di tempat tujuan,
"B-baiklah....! lupakan saja keadaan Saudara *Chin. Apa boleh buat. Mari.... kita berangkat bersa¬ma mereka! Hemmmm...." Liu Wan ber¬kata dengan suara berat.
Liu Wan segera naik ke punggung kuda dan mengejar Tiau Hek Hoa. Tapi s ngguh celaka bagi A Liong. Sejak kecil pemuda itu tak pernah mengenal kuda. Jangankan harus menaikinya, menuntun-pun dia belum pernah. Lebih celaka lagi, dia justru mendapatkan kuda yang paling besar dan paling liar.
"Locianpwe! Ini.... ini, wah.... bagai¬mana aku harus menaikinya?" Ia berte¬riak gugup.
Tapi semuanya telah hilang dari pan¬dangan. Mereka telah berbelok ke jalan yang lebih besar. Dalam keadaan bingung pemuda itu terpaksa nekad melompat ke punggung kuda.
Hupp! Karena terlalu kasar, kuda itu menjadi kaget. Otomatis kedua kaki de¬pannya terangkat tinggi ke atas sambil meringkik keras sekali! Tentu saja A Liong terlempar ke udara. ALiong menjadi malu sekali. Meski¬pun dengan ginkangnya dia tidak terban¬ting ke tanah, tapi keadaannya memang sangat menggelikan bagi setiap orang.
Sambil meringis A Liong kembali melompat ke punggung kuda. Kali ini ia mengerahkan ginkangnya. Namun karena gugup dan malu, dia lupa bagaimana harus menaikinya. Bukan pantatnya yang mendarat di atas pelana, tapi.... kakinya! Sehingga dia mengendarai kuda itu dengan berdiri, seperti pemain akrobat yang sedang menunjukkan kebolehannya! Dan kuda itu berlari kencang meninggal¬kan orang-orang yang kini berubah tak¬jub menyaksikan kelihaian pemuda itu.
Di sebuah tikungan jalan, A Liong berhasil mengejar rombongannya. Tetapi mereka menjadi heran dan geli melihat cara berkuda A Liong. Apalagi ketika di tikungan kuda itu berlari tanpa me-ngendorkan langkahnya. A Liong seperti dilemparkan dari punggung kudanya!
"Hehehe! Saudara Liong! Apa-apaan kau ini? Masa naik kuda seperti itu" Liu Wan terkekejl
Souw Hong Lam juga tersenyum. Tapi pemuda tampan itu tak berkata apa-apa. Justru Tiau Hek Hoa atau Mo Goat yang berdesis agak kurang senang.
"Tampaknya bisul di pantatnya sedang kumat, sehingga tidak dapat duduk dengan baik!"
Tidak terduga A Liong berteriak marah! Sambil menyambar rambut kuda¬nya, dia berjumpalitan di udara, kemudi¬an kembali mendaratkan kakinya- di atas pelana!
"Siapa bilang aku bisulan? Sudah kukatakan bahwa aku tak dapat naik kuda!"
Pertunjukan ginkang pemuda itu se¬pintas lalu tidak mengesankan kehebatan¬nya. Tapi ketika kemudian mereka meli¬hat sepatu pemuda itu seolah-olah lengket di atas pelana yang licin, mereka baru merasa kaget sekali!
"Hmmh, tampaknya kerbau dungu ini memiliki tenaga dalam yang cukup hebat! Aku harus berhati-hati terhadapnya!" Tiau Hek Hoa atau Mo Goat mencatat di dalam hati.
Akhirnya A Liong dapat juga mengua¬sai kudanya. Dia duduk seperti kawan-kawannya, walaupun masih terasa kaku.
Mereka menerobos hutan dan bukit-bukit gundul yang jarang dilalui orang, sehingga malam harinya mereka sudah sampai di tepian Sungai Huangho. Mereka langsung menuju ke dusun Luan-cung.
Dusun itu bagaikan sebuah kota kecil saja ramainya. Walau hari telah menjadi gelap, namun suasana di pinggiran sungai itu masih ramai dengan para nelayan, pedagang, maupun penduduk yang menca¬ri nafkah di tempat tersebut.
Warung-warung minum ataupun wa¬rung-warung makan juga penuh dengan para pembeli. Mereka rata-rata adalah para pekerja atau para nelayan yang kelelahan setelah sehari penuh bekerja keras.
Tiau Hek Hoa mengajak Liu Wan ke tempat penitipan kuda.
"Ciok-locianpwe....! Kita langsung mencari tumpangan perahu, atau.... isti¬rahat dulu di tempat ini?"
Liu Wan menoleh ke arah Souw Hong Lam dan A Liong untuk meminta penda¬pat mereka. Tapi kedua pemuda itu me¬nyerahkan keputusan kepada Liu Wan.
"Baiklah. Tampaknya kita harus ber¬malam di tempat ini. Selain kita harus mencari perahu yang baik, berlayar da¬lam gelap juga sangat berbahaya bagi keselamatan perahu kita. Marilah kita mencari penginapan dulu!"
Dusun itu memang menyediakan ba¬nyak penginapan. Dari yang sangat se¬derhana sampai yang cukup baik. Setelah mendapatkan tempat menginap, mereka[ lalu keluar mencari tempat untuk me¬nyewa perahu.
"Silakan Anda bertiga mencari tempat makan dahulu, sementara lo-hu akan ke tempat penyewaan perahu." Liu Wan berkata sambil menunjuk ke arah timur.
"Ah, mengapa kita tidak pergi ber¬sama-sama? Kita tinggal empat orang lagi. Bagaimana kalau Ciok-sinshe nanti kabur pula?" A Liong bergurau sambil tertawa.
"Hehehe! Lohu sudah tua. Langkah Lo-hu gampang dikejar oleh anak-anak muda seperti kalian...." Liu Wan tertawa pula.
Tapi di tempat penyewaan perahu mereka menjadi kecewa. Mereka hanya mendapatkan perahu yang sudah agak tua. Kata pemilik perahu telah ada beberapa rombongan yang lebih dulu me¬nyewa perahunya.
"Oh, siapakah mereka itu? Ke mana tujuan mereka....?" Liu Wan berdesah kaget.
"Entahlah. Tampaknya mereka orang-orang dari rimba persilatan pula seperti Cuwi sekalian. Semuanya menuju ke hilir. Ada empat rombongan yang menyewa perahu di sini. Lainnya menyewa di tempat Lou Pai...."
"Heran. Tampaknya ada yang tak beres. Jangan-jangan...." Liu Wan menge¬rutkan keningnya. "Eeh, apakah Saudara tahu.... atau mengingat salah seorang dari mereka?"
Pemilik perahu itu mengusap rambut kepalanya yang mulai memutih, lalu menggeleng. "Aku belum pernah melihat mereka sebelumnya. Tapi mereka benar-benar garang dan suka berkelahi. Hanya satu rombongan yang masih kuingat de¬ngan baik, yaitu seorang lelaki tua ber¬sama puterinya. Orang itu menggeser perahu besar hanya dengan tongkat ke¬cilnya....."
"Orang tua? Siapa dia....?" Tiau Hek Hoa berdesah pendek. Matanya yang ta¬jam itu menerawang jauh.
"Baiklah. Terima kasih atas keterang-anmu. Kami jadi menyewa perahu ini besok pagi. Sekali lagi terima kasih." Liu Wan berterima kasih, kemudian mengajak
kawan-kawannya pergi.
"Menggeser perahu hanya dengan se¬batang tongkat kecil. Amboi! Sungguh sakti sekali." A Liong bergumam pelan.
"Huh! Apa anehnya menggeser pera¬hu di atas pasir?" Tiau Hek Hoa menci¬birkan bibirnya.
A Liong tertawa. Meskipun kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda gagah perkasa, namun wataknya yang lugas dan suka bergurau itu masih tetap melekat pada diri pemuda yatim piatu tersebut.
"Apakah kau juga mampu? Kalau be¬gitu... biarlah kau yang menjadi tukang kemudinya besok pagi. Setuju....?"
Tiba-tiba wajah hitam itu menjadi beringas. "Setan! Kaukira semua orang takut pada badanmu yang besar seperti raksasa itu? Huh, walaupun kecil... aku bisa membantingmu sampai lumat! Lihat¬lah!" Gadis itu menjerit marah.
Entah bagaimana caranya bergerak, tapi tahu-tahu gadis itu sudah bergeser di belakang A Liong. Cepat bukan main. Bahkan bayangan gadis itu rasanya ma¬sih tertinggal di tempat semula.
Weeesssh! Siiiing.... siiing... siiiing!.
Dan dalam jarak yang begitu dekat, \ tiba-tiba gadis itu membokong dengan lemparan pisau terbangnya! Bahkan de¬ngan tiga buah pisau sekaligus!
"Oh...!?" Semua terpekik kaget.
Liu Wan menjadi pucat. A Liong ten¬tu akan binasa, karena tidak seorang pun di dunia ini yang akan mampu me¬nyelamatkan diri dari serangan seperti itu. Kecuali dia mengenakan baju besi.
"Hei, kau....?" A Liong berteriak ke¬ras sekali.
Ternyata A Liong sama sekali juga tidak menduga kalau Tiau Hek Hoa bisa seganas itu. Namun dalam keadaan yang tidak memungkinkan seperti itu, A Liong masih sempat menggeliatkan tubuhnya. Dan selanjutnya terdengar suara kain robek, disertai denting pisau tiga kali pula.
Brett...! Ting! Ting! Tiiiing....!
Kali ini semua orang melongo! Me¬reka tidak tahu apa yang terjadi. Se¬muanya berlangsung dengan begitu ce¬patnya!
Mereka hanya bisa melihat pisau-pisau
itu sudah berserakan di atas pasir. Dan dalam sekejap tadi mereka juga masih dapat menyaksikan, asap tipis berwarna-warni, menghilang dari tubuh A Liong.
Kini di depan kaki A Liong terlihat sebilah pedang pendek, tergeletak utuh, dan masih tetap berada di dalam sarung¬nya. Dan pemuda itu dengan cepat me¬mungutnya, kemudian menyelipkan kem¬bali ke dalam bajunya. Baju yang kini tampak menganga lebar akibat terpotong di bagian perutnya.
"Kau....!!?" Tiau Hek Hoa memekik berang. Siap untuk menyerang lagi.
"Tahan...!" Liu Wan berseru sambil meloncat di tengah-tengah mereka.
"Akan kubunuh bocah ini!" Gadis ber¬muka hitam itu tetap menjerit-jerit. Tapi Souw Hong Lam dengan tangkas menghalanginya.
"Sabar, Lihiap! Bersabarlah...!" Pe¬muda ganteng itu membujuk.
Liu Wan segera membujuk pula. De¬ngan panjang lebar pemuda itu meng¬ingatkan tugas penting mereka. Rom-b ngan itu tinggal empat orang lagi.
Selanjutnya tidak boleh berkurang pula. Tiga orang tidak akan cukup untuk me¬masuki Benteng Langit. Mereka akan gagal tanpa keikutsertaan salah seorang dari mereka.
Demikianlah, mereka lalu kembali ke penginapan setelah melihat keadaan pe¬rahu yang mereka sewa. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa gerak-gerik mereka tadi selalu diikuti oleh seseorang.
Keesokan harinya mereka sudah ber¬layar mengikuti arus sungai. Tiau Hek Hoa masih kelihatan geram terhadap A Liong, walaupun A Liong sendiri seperti sudah melupakan peristiwa kemarin.
Justru Liu Wan dan Souw Hong Lam yang diam-diam masih sibuk memikirkan peristiwa kemarin. Semalaman dua orang itu memeras otak untuk mengetahui cara bagaimana A Liong meloloskan diri dari pisau terbang Tiau Hek Hoa! Dan dari mana munculnya pedang pendek yang sarungnya tampak kuno itu? Benarkah pedang tersebut milik A Liong? Tapi sejak kapan pemuda itu mengeluarkan¬nya?
"Pemuda itu hanya menggeliatkan i. pinggangnya. Kedua tangannya sama se¬kali tak ada kesempatan untuk menang¬kis ataupun menghindarkan diri. Apalagi harus mencabut senjata." Souw Hong Lam tak habis pikir.
Sebaliknya, selain berpikir tentang hal itu, Liu Wan juga mulai curiga ke¬pada Tiau Hek Hoa. Pemuda yang sedang menyamar sebagai tabib tua itu, merasa pernah melihat gerakan melempar pisau Tiau Hek Hoa. Tapi dia tidak dapat mengingatnya lagi.
Air sungai Huang-ho mengalir dengan tenang. Begitu tenang dan luasnya se¬hingga orang sulit menduga, berapa dalam dasar sungai itu. Sinar matahari menyorot menembus kabut, dan mulai menggapai ujung layar mereka.
"Lihat...! Indah sekali! Sedemikian banyaknya perahu berlayar di sungai ini, sehingga dari jauh seperti barisan semut yang sedang berbaris menuju ke liang¬nya." Liu Wan yang suka keindahan alam itu mulai berpantun.
Souw Hong Lam tersenyum. Perlahan-lahan tangannya mengambil suling dari balik, mantelnya, kemudian meniupnya dengan halus. Suaranya mengalun pan¬jang, semakin lama semakin nyaring. Dan Liu Wan pun tak tahan untuk tidak bernyanyi. Walaupun harus membuat su¬aranya seolah-olah sedikit serak, tapi nyanyiannya terasa sedap didengar te-linga.
A Liong mengetuk-ngetukkan jarinya di pagar perahu. Meskipun tidak me¬ngerti irama, apalagi soal pantun dan musik, namun pemuda itu bisa merasa¬kan kenikmatan lagunya.
Hanya Tiau Hek Hoa yang masih tetap diam di tempatnya. Air mukanya juga masih gelap, sementara bibirnya yang hitam itu tetap merengut pula.
"Awan berarak ke selatan,
Mengalir ke Bukit Kun-lun,
Menebar pasir dari Gurun Go-bi,
Merata bagai tikar dari Parsi."
Para penumpang perahu yang lain pun kelihatan menikmati pula alunan suara suling dan nyanyian Liu Wan. Be¬berapa orang nelayan sampai melongok¬kan kepalanya ke arah mereka.
Sebuah perahu mendekati mereka. Seorang kakek tinggi kurus dengan ram¬but putih menganggukkan kepalanya ke arah mereka. Kakek itu memegang se¬batang suling pula.
"Tiupan sulingmu sungguh bagus, Anak muda. Bolehkah Lo-hu turut menyema-rakkannya?" Tiba-tiba terdengar suara halus di telinga mereka. Suara yang di dorong oleh tenaga dalam yang sangat tinggi.
Meskipun kaget, Souw Hong Lam ti¬dak menolaknya. Sambil mengangguk •pemuda itu mulai meniup sulingnya le¬bih keras lagi. Kali ini nadanya tambah renyah dan gembira.
Ternyata kakek berambut putih itu tidak mau kalah pula. Dengan nada tinggi sulingnya mengikuti irama Souw Hong Lam. Nada dan suaranya terasa serasi dan nyaman di telinga, membuat duet seruling mereka terdengar nikmat dan menyenangkan.
Akhirnya perahu kakek berambut putih itu berendeng dengan perahu mereka.
"Bukan main...! Saudara masih muda, tapi suara sulingmu sudah mampu meng¬getarkan awan di langit! Bukan main! Saudara muda, bolehkah Lohu yang tua ini mengenal namamu?"
Souw Hong Lam menggosok-gosok sulingnya dengan ujung bajunya. "Siau-te bernama... Souw Hong Lam, Locian-pwe. Maaf, siauwte juga belum menge¬nal Locianpwe pula...."
Mata yang tajam berkilat tegun sebentar, lalu kembali seperti semula. "Hohoho, lohu tidak pernah menginjak daerah biasa berkeliaran di sepanjang pantai timur Propinsi Shantung. Lohu bernama Kwe Tiong Li...."
"Kwe Tiong Li...?" Liu Wan berdesah kaget. Nama itu sangat terkenal puluh¬an tahun lalu. Sebuah nama yang dikait¬kan dengan julukan yang menyedihkan. Keh-sim Tai-hiap atau Pendekar Patah Hati. .
"Ciok Sinshe mengenal namanya?" A Liong bertanya ketika melihat kegugupan Liu Wan.
"Yah! Dia seorang pendekar ternama yang kemudian mengasingkan diri di Pu¬lau Meng-to. Lohu juga kenal puteranya yang gagah perkasa, Kwe Tek Hun. Tapi beberapa tahun yang lalu Keh-sim Tai-hiap dikhabarkan pergi ke Pondok Pe¬langi. Entah benar atau tidak."
"Oh, jadi beliau yang bernama Keh-sim Tai-hiap?" A Liong tersentak kaget.
"Kau pernah mendengar namanya?"
A Liong tidak menjawab. Dia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menatap orang tua gagah itu tanpa ber¬kedip.
Ternyata bukan hanya Liu Wan dan A Liong yang terkejut mendengar nama Kwe Tiong Li. Souw Hong Lam pun ter¬nyata juga kaget pula. Terbukti mata¬nya yang tajam itu terbelalak lebar.
"Ah, Kwe Tai-hiap rupanya. Nama Locianpwe terkenal di mana-mana. Se¬tiap orang kang-ouw tentu mengenalnya. Sayang siaute baru dapat bertemu se¬karang..." Souw Hong Lam berkata sambil memberi hormat.
"Ah, sudah lama lohu mengasingkan diri. Sungguh tidak kusangka kini banyak tumbuh jago-jago muda di kalangan persilatan. Dan caramu meniup suling mengingatkan aku kepada seseorang. Hmmm, apakah Saudara mempunyai hu¬bungan darah dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?"
Sekali lagi Souw Hong Lam terkejut. Orang tua itu benar-benar awas dan lihai sekali. Hanya dengan mendengar¬kan caranya meniup suling, dia sudah dapat menebak asal usulnya.
"B-benar, Locianpj^.BSirfute#nlemaflg masih mempunyai pertalian darah de¬ngan Souw Tai-hiap. Sayang sekali siau-te jarang dapat berjumpa dengan be¬liau."
"Benarkah? Oh, ternyata masih baik juga telingaku ini."
Aliran sungai itu mulai mendekati belokan yang tajam. Arus juga mulai terasa kuat menggoyang perahu mereka. Liu Wan yang sedianya hendak memper¬kenalkan diri menjadi batal. Dengan tangkas pemuda itu meraih dayung untuk ikut menjaga . keseimbangan perahu.
"Tiau Li-hiap! Saudara A Liong! Awas...! Jangan sampai perahu kita ber¬senggolan dengan perahu Kwe Taihiap! Ombak sungai ini dapat menenggelam¬kan perahu yang saling berbenturan!" Liu Wan berteriak sambil membelokkan kemudinya.
"Benar! Kita tidak boleh terlalu ber¬dekatan!" Kwe Tiong Li berseru pula dari atas perahunya. Dan kakek gagah itu bergegas mengayunkan dayungnya ke dalam air.
A Liong, Tiau Hek Hoa dan Souw Hong Lam bekerja sama mengendalikan perahu. Dengan kesaktian mereka, perahu itu mudah saja mereka kuasai. Terutama A Liong. Pemuda itu telah terbiasa mengarungi lautan ganas hanya dengan sampan kecil dari tulang ikan hiu. Bagi¬nya, ayunan ombak sungai itu belum sebe¬rapa bila dibandingkan dengan keganasan arus Pusaran Maut di Laut Utara!
Apabila kawan-kawannya tampak tegang dalam usaha melawan ombak arus sungai, maka tidak demikian dengan' ALiong. Pemuda itu kelihatan tenang saja berdiri di ujung perahu. Matanya tak *• pernah lepas dari arus air di bawahnya. Sebentar-sebentar dayungnya dihentak¬kan ke dalam air untuk menggeser arah perahu.
Tak seorang pun menyadari perbuat¬an A Liong. Semuanya baru sadar sete¬lah beberapa kali perahu mereka lolos dari terjangan ombak. Setiap arus datang dari samping, tahu-tahu ujung perahu mereka telah berbalik menyongsong arus. Mereka baru sadar bahwa semua itu adalah hasil perbuatan A Liong!
"Ooooiiii...! Anak muda! Kau sungguh hebat...!"Kwee Tiong Li berseru dari pe¬rahunya. Suaranya tertelan oleh deru angin dan ombak. Kakek tua yang sudah terbiasa mengarungi lautan itu gampang saja mengendalikan perahunya.
Perahu-perahu yang lain bergulat pula seperti mereka. Walaupun sulit tapi tak sebuah perahu pun yang terbalik atau tenggelam. Semua orang memang sudah tahu keganasan tempat itu, sehingga mereka pun telah berjaga-jaga sebelumnya. Hanya orang yang pandai mengemu¬dikan perahu, berani melewati tikungan tersebut.
Selepas dari tikungan itu aliran sungai kembali bergelombang seperti biasa. Hanya arusnya saja yang masih terasa deras. Tetapi sebagai gantinya deru angin bercampur debu mulai terasa meniup dari arah utara.
"Di manakah perahu Kwe Taihiap tadi?" Liu Wan melongok ke sana ke mari, tapi perahu yang dimaksud sudah tak kelihatan lagi.
"Perahunya lebih kecil. Mungkin sudah meluncur lebih dulu." A Liong menjawab.
"Eh, lihat...! Orang-orang itu seperti mau berpindah. Apakah mereka juga mau rriengungsi seperti penduduk di sepanjang Tembok Besar?" Tiba-tiba Souw Hong Lam mengacungkan tangannya ke daratan.
"Benar. Tampaknya pasukan Mo Tan sudah ada yang menyusup sampai ke daerah ini. Gawat! Sungguh gawat!" Liu Wan berdesah cemas.
A Liong yang tidak begitu paham soal negara hanya diam saja di tempatnya.
Dia yang sejak kecil hidup menderita di kolong-kolong jembatan, tak begitu acuh pada persoalan-persoalan pemerintahan. Ia hanya tahu, peperangan membuat ke¬hidupan menjadi sulit. Terutama bagi rakyat kecil. Di masa perang seorang pengemis pun akan sulit mencari sisa-sisa makanan. Dia sendiri pernah meng¬alaminya.
"Heran. Mengapa orang suka benar berperang?" Tak terasa pemuda itu ber¬gumam perlahan.
"Ciok Sin-she! Kita harus lekas-lekas membebaskan Yap Tai-ciangkun! Kita ti¬dak boleh terlambat!" Souw Hong Lam berkata.
"Benar, Hian-te. Marilah...!"
Mereka semakin bersemangat menda¬yung perahu. Beberapa kali mereka me¬lewati dusun-dusun kecil yang sudah di¬tinggalkan penghuninya. Seharian mereka mendayung perahu tanpa mengenal lelah. Terik matahari tidak menghalangi sema¬ngat mereka. Apalagi kalau mereka menyaksikan para penduduk yang berbon¬dong-bondong meninggalkan sawah ladangnya.
"Eh, Locianpwe. Rasa-rasanya orang di perahu itu selalu mengawasi kita. Mencurigakan benar...." Tiba-tiba A Liong menggamit Liu Wan.
"Perahu mana...?"
"Empat perahu besar di belakang kita itu! Seharusnya perahu mereka lebih cepat dari perahu ini. Layar mereka juga lebih besar dan lebih lebar. Tapi, tam¬paknya mereka memang sengaja tidak memasang layar sepenuhnya. Mereka memang memperlambat perahu mereka."
"O, perahu itu! Apakah mereka bukan pengungsi pula? Hem mm, jangan-jangan mereka malah mencurigai kita. Siapa ta¬hu mereka justru menganggap kita pe¬rampok?" Souw Hong Lam yang ikut men¬dengar percakapan mereka tertawa lirih.
"Benar. Dalam keadaan seperti ini, setiap orang tentu akan saling curiga-mencurigai. Sulit untuk menentukan, si¬apa kawan siapa lawan." Sekonyong-ko¬nyong Tiau Hek Hoa mendengus.
A Liong tertawa lebar. "Ah, aku ha¬nya omong sekenanya saja. Kau juga tak perlu marah-marah."
"Siapa yang marah? Marah pun juga percuma melihat tampangmu yang bodoh seperti kerbau ini!"
"Nah! Nah...! Kalau tidak merasa marah, jangan mengumpat-umpat begitu! Tenang saja...!" A Liong yang tidak mudah marah itu tersenyum menggoda.
"Bangsat kecil...!" Tiau Hek Hoa menjerit. Mendadak kedua tangannya terayun ke depan.
Sing! Sing! Sing! Belasan buah paku kecil melesat ke tubuh A Liong. Semua¬nya menuju ke jalan darah kematian!
"Tiau Lihiap!" Liu Wan berseru. Begi¬tu pula dengan Souw Hong Lam. Serang-flm itu sungguh amat ganas dan keji. Sama sekali tidak memberi kesempatan atau peringatan kepada lawannya.
Perahu itu tidak begitu besar. Paling-paling hanya dua tombak panjangnya, se¬hingga jarak antara Tiau Hek Hoa dan A Liong juga tidak lebih dari sepanjang dua lengan mereka. Maka dapat diba¬yangkan bahwa serangan paku itu tidak mungkin dapat dihindari lagi. Kalaupun A Liong sempat menangkis, maka tak mungkin dapat ditangkis semuanya.
"Gila...!" A Liong mengumpat lirih.
Kemudian dengan gerakan yang raen-takjubkan, tubuh pemuda itu meliuk ke kanan dan ke kiri sambil menggeser ke samping, sehingga badannya yang kekar itu terperosok keluar perahu.
"A Liong...!??" Souw Hong Lam yang berada di dekat pemuda itu berteriak kaget. Bergegas ia melongok ke bawah.
"Bagaimana...?" Liu Wan ikut melo¬ngok ke bawah pula.
"Heran. Tidak terdengar suara dia tercebur air."
"Ciok Sin-she, aku di sini! Jangan khawatir, aku tidak apa-apa..." Tiba-tiba terdengar suara A Liong di buritan. Pemuda itu baru saja mengangkat kaki¬nya dari pagar perahu.
"Kau...?!?" Tiau Hek Hoa memekik dan siap menyerang kembali.
"Aduh, tahaaaan! Kenapa sebenarnya kalian ini?" Liu Wan cepat melerai di tengah-tengah mereka.
"Ciok Locianpwe, menyingkirlah! Akan kubunuh kerbau dungu ini!" Tiau Hek Hoa
menggeram.
Sebaliknya A Liong tetap bersikap tenang. "Aku sudah dua kali bersikap sabar kepadamu. Tapi kesabaran orang tentu ada batasnya. Terserah kepadamu. Yang jelas aku tidak takut pada wajah hitammu itu. Dari harap kauketahui juga, bahwa kau tidak akan mudah mengalah¬kan aku. Sebaliknya, aku justru mempu¬nyai kesempatanku lebih banyak untuk mengalahkanmu. Mau coba?"
"Kau menantang aku?" Wajah hitam itu semakin kelam.
"Sudahlah! Kalian ini mau melanjut¬kan perjalanan kita atau tidak? Kalau tidak, silakan turun dari perahu! Lo-hu dan Saudara Souw akan berangkat sendi¬ri! Marilah, Saudara Souw... kita turun¬kan mereka ke pinggir! Kita berdua saja!" Liu Wan berseru marah.
"Baik, Locianpwe...." Souw Hong Lam mengangguk.
Tiba-tiba A Liong mengangkat tangan¬nya. "Maaf, Ciok Sin-she. Aku mengaku salah. Tak kusangka tadi membuat ma¬rah Nona Tiau. Biarlah aku meminta maaf kepadanya."
Dan pemuda pendekar itu benar-benar > membungkuk di depan lawannya. Liu Wan dan Souw Hong Lam tercengang. Bagi mereka A Liong sebenarnya tidak bersalah. Justru Tiau Hek Hoa yang mereka anggap keterlaluan. Gadis itu yang seharusnya meminta maaf kepada A Liong.
Tiau Hek Hoa membuang muka. Tapi keinginan untuk berkelahi sudah tidak ada. Ternyata pada saat yang tepat pi¬kiran sehatnya telah muncul kembali. Dia ingat tugas yang diberikan oleh ayahnya. Bersama Mo Hou, dia ditugaskan untuk mengawasi gerakan para tokoh persilat¬an di daerah Tiong-goan.
Kebetulan dalam perjalanan mereka di Tai-bong-sui, mereka mencium berita tentang pertemuan para pendekar persi¬latan daerah utara. Dan secara kebetul¬an pula mereka mendengar rencana pem¬bebasan Panglima Yap Kim. Mereka lalu membagi tugas. Mo Goat menyusup di antara para pendekar sebagai Tiau Hek Hoa, sementara Mo Hou melindunginya dari kejauhan.
Panglima Yap Kim memang sangat disegani Mo Tan. Beberapa kali raja suku bangsa Hun itu menelan kekalahan bila berperang melawan pasukan Yap Kim. Oleh karena itu Mo Hou bersama Mo Goat harus dapat menggagalkan rencana pembebasan itu. Bahkan kalau dapat, mereka harus bisa melenyapkan panglima perang yang tersohor itu.
Semakin ke timur, suasana perang se¬makin terasa panas. Pasukan Mo Tan yang dipimpin oleh Panglima Yeh Sui, tampaknya sudah tidak main kucing-kucingan lagi. Kelihatannya pasukan itu sudah mulai menyerang dengan terang-terangan. Dan kemungkinan besar pasu-kan itu sudah bertemu dengan pasukan Ciang Kwan Sit, sehingga pasukan Au-yang Goanswe yang sedianya akan me¬nangkap Pangeran Liu Wan Ti itu berha¬dapan dengan mereka.
Pertempuran dahsyat tak bisa dielak¬kan lagi. Korban berjatuhan. Pasukan Han sebenarnya lebih banyak dan lebih lengkap peralatannya, tapi semangat tempur mereka ternyata tidak setinggi pasukan Mo Tan. Pasukan Ciang Kwan Sit yang telah terbiasa hidup enak itu segera kocar-kacir dilanda pasukan Yeh Sui.
Akibatnya dapat diduga. Kekalahan itu membuat penduduk di sekitar daerah pertempuran menjadi kalang-kabut. Me¬reka menerima perlakuan kasar dari pa¬sukan Mo Tan. Seperti halnya negeri yang kalah perang, tempat itu dijarah rayah oleh pemenangnya.
Benar juga. Berita tentang pertempur¬an itu segera mereka dengar dari para pengungsi. Bahkan diberitakan pula bah¬wa Panglima Ciang Kwan Sit terbunuh dalam pertempuran itu.
"Celaka! Sekarang di kota raja tidak ada panglima perang yang pandai. Semua jendral yang setia kepada Panglima Yap Kim telah dibuang atau dipenjarakan. Bagaimana mungkin negeri ini dapat mempertahankan diri? Ah! Mo Tan sung¬guh pintar dan licik! Bertahun-tahun dia telah mempersiapkan penyerangan ini...." Liu Wan bergumam perlahan. Suaranya gemetar mencerminkan kegelisahan hati.
Sementara itu Chin Tong Sia yang » terkurung di ruang bawah tanah, terke¬jut sekali ketika siuman dari pingsannya. Sepasang kaki dan tangannya terikat ran¬tai besi. Dan dia tidak tahu di mana dia berada.
Ruangan luas itu hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak di pojok ruangan. Dan sinarnya yang lemah hanya mampu menggapai meja" kecil tempat ia diletak¬kan.
"Anak muda...? Engkau siapa? Apakah kau juga ditangkap oleh Liok-kui-tin?" Tiba-tiba terdengar suara berat dari pojok ruangan.
Chin Tong Sia berpaling kaget. Tapi sinar lampu terlalu lemah untuk menca¬pai tempat itu, sehingga matanya tak mampu melihat siapa yang berbicara. Matanya hanya mampu menangkap dua sosok bayangan kehitaman.
"Aku... eh, kau.... siapa?" Pemuda itu balik bertanya. Otomatis kaki tangannya bersiaga.
"Aku ber ma Souw Thian Hai. Ini isieriku.... Kami berdua juga ditawan oleh pengawal Raja Mo Tan itu."
"Hong-gi-hiap Souw Thian Hai?"
Terdengar gemerincing suara rantai ketika pendekar ternama itu mendekati Chin Tong Sia. Dan sesaat kemudian terlihatlah bayangannya di keremangan lampu. Pendekar itu datang bersama Chu Bwe Hong, isterinya. Mereka masih tampak kuat dan bersemangat walaupun rambutnya telah memutih.
Meski sudah sering melihat dan men¬dengar namanya, tapi baru sekali inilah Chin Tong Sia berhadapan langsung dengan Souw Thian Hai dan isterinya.
katanya masih keluarga dan mencarimu. Namanya Souw Hong Lam. Sekarang dia juga ada di kota ini. Kami bersama beberapa teman bermaksud per¬gi ke suatu tempat. Sayang aku terpe¬rangkap di sini...."
Souw Thian Hai memandang Chu Bwe Hong. Dahinya berkerut.
"Souw Hong Lam...? Siapakah dia? Rasanya tak ada nama itu di keluarga Souw kami. Berapakah usianya?" Chu Bwe Hong berbisik sambil tetap menga¬wasi suaminya.
"Masih muda. Mungkin empat atau lima tahun lebih muda dariku. Tinggi langsing dan ganteng."
Souw Thian Hai menggeleng lemah.' "Sudahlah, nanti kalau sempat bertemu, tentu akan saling mengenal. Sekarang kita pikirkan dulu keadaan kita. Emmm, kau tadi belum menyebutkan namamu."
"Namaku Put-tong-sia, dari Beng-kau...."
Terdengar jerit lirih dari bibir Chu Bwee Hong yang masih menatap wajah Chin Tong Sia seperti melihat hantu.
"Kau... kau putera Put-ceng-li lo jin?" Souw Thian Hai bertanya dengan suara sedikit gemetar.
Sekejap Chin Tong Sia menjadi gugup. Sikap suami-isteri ternama itu tiba-tiba terasa aneh. Mereka kelihatan kaget se¬kali ketika mendengar namanya.
"Benar, Locianpwe. Aku memang pu¬tera mendiang Put-ceng-li Lo-jin. Menga¬pa Locianpwe kelihatan kaget?"
Souw Thian Hai memandang isterinya, dan tiba-tiba wanita cantik itu menubruk serta menangis di dadanya. Tentu saja Chin Tong Sia semakin bingung.
Sambil mengelus rambut isterinya, Souw Thian Hai berpaling kepada Chin Tong Sia.
"Tapi, maaf... kami... kami tidak per¬nah tahu kalau Put-ceng-li Lo-jin sudah pernah menikah. Sejak kami saling me¬ngenal, orang tua itu selalu sendirian."
Chin Tong Sia menghela napas pan¬jang. Wajahnya kelihatan sedih. "Menurut penuturan Ayah, Ibu meninggal pada sa¬at melahirkan aku. Dan Ayah tidak pernah kawin lagi...."
Tak terduga Chu Bwe Hong semakin terisak-isak.
"Jadi kau belum pernah melihat wa¬jah Ibumu? Apakah Put-ceng-li Lo-jin juga tidak pernah bercerita tentang Ibu¬mu?" Souw Thian Hai bertanya seolah tak percaya.
Chin Tong Sia menatap wajah pende¬kar ternama itu lekat-lekat. Ada perasa¬an tidak enak di hatinya. Orang tua itu menanyakan hal-hal yang terlalu pribadi baginya. Dan kebetulan pula mengenai masalah yang kurang begitu disukainya.
Tapi wajah pendekar tua itu kelihat¬an bersungguh-sungguh. Bahkan kulit mu¬kanya tampak pucat dan serba salah.
Chin Tong Sia menggelengkan kepala-ya. "Apakah... Locianpwe mengenal Ibu¬ku?"
Souw Thian Hai menepuk punggung isterinya. "Sudahlah, Put-ceng-li Lo-jin memang seorang lelaki sejati. Meskipun pembawaannya seperti orang yang tidak beradab, tetapi ia seorang yang tahu memegang janji dan sumpahnya. Sekarang semuanya tergantung kepadamu. Apakah engkau sudah dapat menghapus kebenci¬an itu?"
"Aku... aku, oh... entahlah." Chin Tong Sia semakin tak mengerti. Kelakuan sepasang pendekar ternama itu terasa sangat aneh baginya. Mula-mula mereka kaget ketika mendengar nama dan asalnya. Lalu isteri pendekar tua itu menangis terisak-isak setelah ia berceri¬ta tentang ayah-ibunya.
"Locianpwe, apakah sebenarnya yang terjadi? Tampaknya Locianpwe berdua sangat mengenal Ayah-ibuku...."
Chu Bwe Hong semakin kuat tangis¬nya, sehingga Souw Thian Hai terpaksa membujuknya.
"Baiklah.... Kau tidak usah memikir-kannnya lagi kalau memang belum dapat melupakan peristiwa itu. Tapi kuminta kau jangan menyakiti hatinya. Bagaima¬napun dia tidak bersalah. Dia tidak tahu apa-apa...." Akhirnya Souw Thian Hai menghibur isterinya.
"Maaf, Locianpwe... aku menjadi bi¬ngung. Apa yang telah terjadi sebenar¬nya? ' Apakah ada sesuatu yang Locian¬pwe ketahui tentang kedua orang tuaku?"
Souw Thian Hai melepaskan pelukan isterinya melangkah mendekati Chin Tong Sia. Pendekar itu lalu mengangkat ta¬ngannya dan menepuk pundak Chin Tong Sia, sehingga rantai besi yang terikat di pergelangan tangannya saling berge¬sekan dan menimbulkan suara gemerin-cing nyaring.
"Kau tidak perlu bingung. Kami berdua memang mempunyai sebuah rahasia besar tentang orang tuamu. Tapi seka¬rang belum saatnya rahasia itu dibeber¬kan. Aku berjanji, suatu saat kami ber¬dua tentu akan memberitahukannya kepa¬damu. Kau tidak usah khawatir...." Souw Thian Hai berkata perlahan.
Chin Tong Sia mengerutkan kening¬nya. Wajahnya kelihatan kecewa. Tapi dia memang tidak dapat memaksa.
Chin Tong Sia bagaimana ceritanya se¬hingga kau berada di sini? Apakah orang-orang Mo Tan itu bermusuhan denganmu?" Souw Thian Hai mengalih¬kan pembicaraan.
"Benar, Locianpwe. Semula aku tidak menyangka kalau mereka orang Hun. Tapi setelah pemuda yang berhadapan dengan aku itu menyebut dirinya putera Raja Mo Tan, baru aku sadar bahwa aku berhadapan dengan pasukan asing. Sayang jumlah mereka sangat banyak se¬hingga aku tak berdaya melawannya."
Souw Thian Hai mengangguk-angguk¬kan kepalanya. "Tak kusangka semuanya berubah dengan cepat sekali. Semenjak pengkhianatan Auyang Goanswe itu ber¬kuasa dan berhasil mempengaruhi Ibu ^ Suri negeri ini benar-benar kacau."
Chin Tong Sia mengangkat wajahnya. "Kudengar Locianpwe pergi ke Pondok Pelangi dalam lima tahun ini. Benarkah?"
Pendekar itu menatap Chin Tong Sia kemudian mengangguk. Lengannya yang masih kelihatan kokoh disilangkan di depan dadanya.
"Sebenarnya aku belum sampai- di sana. Sulit sekali mencapai tempat - itu. Utusan Pondok Pelangi yang membawa aku dan isteriku, ternyata juga tidak mampu pulang ke tempat tinggalnya. Mereka tak mampu mengatasi keganasan laut utara. Kami terdampar di sebuah pulau kecil yang hampir selalu diselumuti es."
"Khabarnya Kwe Taihiap dari Pulau Meng-to juga pergi ke Pondok Pelangi. Locianpwe bertemu dengan dia?"
"Tidak. Aku justru mengetahui hal itu setelah pulang dari sana. Mungkin utus¬an Pondok Pelangi yang membawa Kwe Taihiap justru dapat membawanya ke
Pondok Pelangi. Aku belum sempat ber¬temu dengan Kwe Taihiap."
"Em, Locianpwe... kudengar Utusan Pondok Pelangi itu sangat sakti. Benar¬kah?"
Souw Thian Hai menghela napas pan¬jang. Terasa nada kecewa dalam suara¬nya. "Benar. Selama hidupku baru sekali itu aku dikalahkan orang dengan amat mudahnya. Ilmu silat yang kupelajari selama ini bagaikan permainan anak kecil saja bagi mereka. Sungguh mentak-jubkan...."
"Akh!" Chin Tong Sia berdesah ham¬pir tak- percaya. Jago-jago silat ternama seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai di¬kalahkan orang dengan mudah?
"Untunglah mereka bukan orang-orang jahat. Setelah bertahun-tahun tidak mampu kembali ke Pondok Pelangi, ka¬mi berdua diperbolehkan pulang. Bahkan selama lima tahun itu mereka telah memberikan tambahan penjelasan tentang ilmu silat secara panjang lebaE."
"Begitu sulitkah mencari jalan ke Pondok Pelangi? Rasanya sangat aneh kalau orang tak mampu mencari jalan pulang ke rumah sendiri."
Souw Thian Hai tersenyum. "Anak muda, kau memang belum menyaksikan sendiri kedahsyatan Laut Utara. Apabila kau sudah pernah ke tempat itu, kau baru akan percaya kata-kataku. Jadi bukannya mereka tak mampu mencari jalan pulang, tapi kedahsyatan alamlah yang menghalangi mereka untuk menca¬pai tempat tersebut."
"Oooh... ?.!?" Chin Tong Sia menarik napas panjang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT