PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 22


tentu saja kami terima dengan senang hati. Siapapun akan bergembira menerima kunjungan tokoh Beng kau. Bukankah demikian, Ma-Taihiap?" Liu Wan menyahut dengan nada yang semakin berhati-hati.

   "Benar, Ciok Sinshe." Ma Sing yang dapat merasakan keraguan sahabatnya itu mengangguk sambil mengedipkan matanya.

   "Terima kasih! Emm, tapi... aku tidak melihat kehadiran Pangeran Liu Wan di tempat ini. Apakah Beliau tidak datang?" Tiau Hek Hoa merangkapkan kedua tangannya.

   "Tentu saja tidak, Lihiap. Perkumpulan ini merupakan keinginan kami sendiri dan tidak melibatkan Pangeran Liu..." Huang-ho Siang-kiam Ma Sing menjawab dengan berhati-hati pula.

   "He, Ma-Taihiap!" Tiba-tiba terdengar teriakan Pek Hou.

   "Kapan pemilihan akan dimulai? Sudah hampir pagi, nih!" Terdengar suara tertawa di sana-sini. Ma Sing kembali mengangkat kedua tangannya ke atas.

   "Baiklah. Pemilihan akan kita mulai. Supaya bisa adil maka setiap perkumpulan hanya memilih satu suara. Demikian pula dengan kelompok saudara-saudara kita yang mencalonkan Taihiap tadi. Sehingga akan ada enam suara yang berhak memilih nanti. Nah, sekarang... silakan setiap perkumpulan mengirimkan wakilnya ke depan!" Enam orang maju ke depan. Mereka adalah wakil dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng, Bu-lim-eng dan kelompok lelaki kasar tadi. Ma Sing lalu menancapkan lima batang kayu di tengah-tengah arena. Setiap kayu diberi tulisan nama para calon ketua yang hendak mereka pilih.

   "Nah, saudara berenam! saudara tentu telah mendapatkan pesan dari kelompok saudara. Sekarang pilihlah batang kayu yang sudah diberi nama para calon ketua itu! Dan pemenangnya adalah calon yang paling banyak pemilihnya! Dia berhak diangkat menjadi ketua perkumpulan kita!" Enam orang itu bergegas memilih kayu yang diinginkan. Ternyata hampir semuanya memilih kayu bertuliskan nama Ma Sing! Hanya seorang yang memegang kayu bertuliskan Tiau Hek Hoa, yaitu wakil dari rombongan lelaki kasar tadi. Semuanya bersorak gembira. Ma Sing tidak bisa menolak lagi. Ketua Pek-lian-eng itu kini resmi menjadi Ketua Perkumpulan Pendekar di sepanjang Sungai Huang-ho!

   "Sekarang kita rayakan penobatan ketua kita ini dengan berpesta seadanya! Setuju...?" Gobi Sam-ci berseru dari tempat duduknya.

   Setujuuuuuu...!"

   "He! Nanti dulu...! Kita masih melupakan sesuatu! Kita belum memberi nama perkumpulan kita!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berteriak melengking. Semuanya terdiam. Lagi-lagi gadis berkulit hitam itu menyadarkan mereka. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama. Seseorang berteriak dari bagian belakang.

   "Mudah saja! Kita namakan... Huang-ho Eng-hiong! Bukankah kita berasal dari daerah sepanjang aliran Sungai Huang-ho?"

   "Setuju! Setujuuuuuu...!"

   "Setujjjuuuuu...!" Demikianlah sisa malam itu mereka pergunakan untuk berpesta pora. masing dengan gaya dan cara sendiri. Ada yang bergerombol sambil minum arak yang telah mereka sediakan. Ada pula yang bersantap-ria membakar daging buruan atau daging ikan yang banyak terdapat di tempat itu. Ma Sing bersama dengan bekas ketua-ketua perkumpulan lama saling berbicara di sekeliling api unggun. Ikut duduk di antara mereka itu, si Pencuri Sakti Ang Jit Kun, Ui Tiam Lok, A Liong dan Souw Hong Lam.

   "Kita harus segera membuat rencana bagi perkumpulan kita. Kita tidak boleh terlambat. Pasukan Mo Tan sudah menyusup ke selatan..." Gobi Sam-ci berkata dengan suara bergetar.

   "Benar, Ma Taihiap! Mari kita susun rencana kita! Mumpung kita masih berkumpul di sini..." Pek Hou mengangguk-anggukkan kepalanya. Ma Sing menghela napas panjang. Matanya yang kecil namun tajam luar biasa itu memandang ke kanan dan ke kiri. Dan pandangannya. segera berhenti wajah hitam legam yang saat itu mengawasinya pula. Ma Sing menarik napas panjang. Ternyata Tiau Hek Hoa duduk tidak jauh dari tempat itu. Bahkan mata Ma Sing juga melihat seorang pemuda jangkung berdiri tak jauh dari gadis itu. Pemuda itu sebentar-sebentar memandangi gadis itu.

   "Ahhh...!" Ma Sing berdesah sambil memalingkan mukanya.

   "Sebenarnya aku sudah mempunyai rencana. Tapi... aku tidak berani mengatakan. Rencana itu sangat berbahaya bagi perkumpulan kita."

   "Cepat katakan, Ma-Taihiap! Apa rencanamu? Kita bisa mengaturnya nanti..." Ang-bin Kuai-jin yang tidak sabaran itu mendesak. Ui Thian Lok menggamit Liu Wan. Sambil mendekatkan bibirnya dia berbisik di telinga pemuda itu.

   "Ciok Sinshe, kau juga punya rencana yang belum jadi kau beritahukan kepadaku!" Liu Wan tersenyum. Seolah-olah ingin bercanda pemuda itu juga berbisik di telinga Ui Tiam Lok.

   "Ah, mudah saja kalau begitu. Akan kukatakan sekarang juga. Heem, kalau aku menjadi ketua, perkumpulan ini, aku akan membawa para pendekar ke Benteng Langit untuk membebaskan Yap Tai-Ciangkun! Hehe-hehe...!" Ui Tiam Lok terbelalak, namun segera tersenyum pula. Dia tahu Ciok Sinshe yang dikenalnya itu sedang bercanda. Sementara itu Ma Sing juga menjawab desakan rekannya.

   "Kita tak akan berhasil menghalau pasukan Mo Tan tanpa seorang ahli siasat perang di antara kita. Kita membutuhkan seorang ahli perang seperti... yap Tai-Ciangkun!"

   "Hah...???" Semuanya terkejut. Tak terkecuali Liu Wan dan Ui Tiam Lok sendiri yang baru saja menyebut nama itu. Huang-ho Siang-kiam Ma Sing memandang wajah rekan-rekannya.

   "Memang, rencanaku ini sangat tidak masuk akal dan amat berbahaya! Kita dapat dituduh sebagai pemberontak! Tapi apa boleh buat, memang tidak ada jalan yang lain lagi! Di medan perang memang butuh seorang jendral yang baik! Tanpa pimpinan seorang ahli perang, maka ribuan atau laksaan prajurit takkan dapat berbuat banyak!" Tak seorangpun memberi komentar. Apa yang diucapkan oleh Huang-ho Siang-kiam Ma Sing itu memang benar. Dan apa yang direncanakan itu sebenarnya juga baik sekali. Cuma pelaksanaannya saja yang sulit! Yap Tai-Ciangkun adalah tawanan pemerintah, bahkan di-anggap sebagai pengkhianat negara. Jadi memberontak terhadap negara!

   "Ah, mudah saja! Kalau memang hanya itu jalan keluarnya, kita lakukan saja rencana itu.! Kita tidak perlu banyak berpikir tentang salah-benarnya! Kata para cerdik-pandai, seorang budiman lebih banyak menurutkan naluri dan perasaannya, daripada oleh pikirannya! Kalau jalan itu kita anggap paling benar bagi kita semua, yah... Kita laksanakan saja! Adapun akibatnya, kita hadapi saja dengan dada terbuka!" Tiba-tiba A Liong berkata tegas dan mantap. Semuanya tertegun. Sebenarnya jawaban seperti itu sudah bergema di hati mereka masing-masing. Namun untuk mengucapkannya mereka tidak berani. Kini melihat seorang pemuda berusia dua puluhan tahun berani mengucapkannya, hati mereka terasa bergetar!

   "Saudara kecil, boleh aku mengetahui namamu?" Ang-bin Kuai-jin bertanya dengan suara bergetar pula.

   "Aku yang sudah tua ini sebenarnya sependapat denganmu. Cuma, hehehe... bagaimana cara melaksanakannya? Semua orang mengetahui, bahwa Benteng Langit dijaga ketat oleh lebih dari seribu orang prajurit pilihan. Selain itu Benteng Langit merupakan bangunan besar, terdiri dari ratusan kamar dan lorong bangunan. Bagaimana kita dapat menemukan kamar penjara Yap Tai-Ciangkun?" Gobi Sam-ci menatap A Liong sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Apa yang dikatakan Ang-bin Kuai-jin itu memang benar, Anak Muda, Kita tak mungkin menyerbu benteng di atas pulau karang itu dengan segenap kekuatan kita. Selain kita tidak punya perahu, kedatangan kitapun akan" mudah mereka ketahui. Sebelum kita dapat memanjat dinding tembok, kita akan dihujani panah dan tombak!" A Liong tersenyum. sombong pada sikap dan cara berbicaranya.

   "Tentu saja kita tak perlu mengerahkan pasukan besar hanya untuk mengetahui di mana Yap Tai-Ciangkun itu ditawan, Lo-Cianpwe! Apalagi kita juga belum tahu, apakah Beliau masih hidup atau tidak!"

   "Jadi, bagaimana menurut saran saudara A Liong?" Liu Wan mulai tertarik mendengar cara berbicara pemuda itu.

   "Kita kirimkan beberapa orang petugas pilihan untuk menyusup ke dalam benteng itu. Setelah kita tahu tempat di mana Yap Tai-Ciangkun ditawan, kita baru dapat mengatur siasat yang tepat untuk membebaskannya!" Mereka saling pandang dengan kening berkerut. Saran itu sebenarnya sederhana sekali, tapi sungguh tepat dan bagus. Untuk membebaskan Yap Tai-Ciangkun memang tidak boleh dilakukan secara terang-terangan. Apalagi oleh perkumpulan para pendekar seperti mereka.

   "Bagus! Nah, kalau begitu... siapa kira-kira yang harus pergi ke benteng itu?" Ma Sing menjadi tertarik pula dengan rencana tersebut. A Liong menunduk sambil memegangi dagunya.

   "Tentu saja yang pergi adalah mereka yang memiliki kepandaian tinggi. Tapi yang jelas mereka bukan... Lo-Cianpwe sekalian! Lo-Cianpwe sekalian sudah dikenal orang banyak, termasuk petugas kerajaan, sehingga tugas itu sangat berbahaya bagi nama dan martabat Lo-Cianpwe. Sungguh berbahaya dan sangat tidak enak dituduh sebagai pemberontak." Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Apa yang diucapkan pemuda itu memang benar serta masuk akal. Mereka memang tak berani menanggung resi-ko dicap sebagai pemberontak, yang berakibat akan selalu dikejar-kejar oleh petugas kerajaan.

   "Lalu... Kalau bukan para ketua perkumpulan, siapa lagi...?" Liu Wan bertanya lirih. A Liong mengangkat wajahnya.

   "Lo-Cianpwe harus memilih empat atau lima orang di antara para pendekar yang hadir malam ini! Dan mereka itu harus memiliki kepandaian tinggi! Paling tidak harus sejajar atau syukur lebih tinggi dari Lo-Cianpwe sekalian! Selain daripada itu mereka harus siap untuk mati demi tugas ini!" ucapnya kemudian dengan suara tegas dan bersemangat.

   "Aaaaaah...!" Semuanya berdesah.

   "Bagus! Aku setuju!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru seraya melangkah menghampiri tempat itu.

   "Rencana saudara A Liong itu sangat baik. Aku mendukungnya."

   "Hmmh...!" Pemuda jangkung yang berada di belakang Tiau Hek Hoa tadi menggeram dan terbatuk-batuk.

   "Ah, Lihiap juga mendengarkan percakapan kami?" Huangjio Siang-kiam. Ma Sing berkata kaget. Tiau Hek Hoa berdiri di depan A Liong. Sorot api unggun menerpa wajahnya yang hitam legam bak pantat kuali itu.

   "Maaf, Ma-Lo-Cianpwe. saudara A Liong ini berbicara dengan keras dan bersemangat sehingga telingaku juga mendengarnya." Ma Sing menarik napas panjang.

   "Baiklah, tidak apa-apa. Semua orang memang boleh mendengarnya, asal dapat menyimpan dan merahasiakannya. Nah, bagaimana pendapat cuwi sekalian dengan rencana saudara A Liong tadi?" Katanya kemudian kepada para ketua perkumpulan itu.

   "Aku setuju!" Liu Wan dengan cepat menjawab.

   "Lohu juga sependapat! Rencana itu memang hebat! Kalau boleh... Lohu juga mau berangkat!" Ang-bin Kuai-jin yang berangasan itu berseru pula.

   "Wah, tentu saja tidak boleh, Kuai-jin! Wajahmu banyak dikenali orang. Begitu para perajurit kerajaan itu tahu, maka seluruh anggota Huang-ho Eng-hiong kita akan diburu dan dimusnahkan oleh bala tentara kerajaan! Kita memang harus memilih orang seperti yang diusulkan oleh saudara A Liong tadi." Pek-hou tertawa sambil mmengelus-elus jenggotnya.

   "Sudahlah! Cepat kita pilih orang yang akan berangkat ke benteng itu! Nah, Ma Taihiap... beberapa orang yang hendak kita pilih? Satu, dua, atau... sepuluh orang?" Gobi Sam-ci menyela tak sabar. Setelah berpikir sebentar, Ma Sing menjawab perlahan.

   "Sebaiknya memang tidak boleh terlalu banyak. Tetapi juga tidak boleh terlalu sedikit. Terlalu banyak justru akan menyulitkan kerjasama mereka. Tapi terlalu sedikit juga akan mengurangi kemungkinan keberhasilan tugas itu. Yah, tampaknya yang baik memang... empat atau lima orang itu! Mudah diatur, gampang menyusupnya dan apabila terlihat oleh lawan, maka salah seorang tentu dapat menyelamatkan diri. Dan hal itu sudah cukup bagi kita untuk mendapatkan keterangan."

   "Bagus! Sekarang tinggal menentukan cara memilihnya!" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing berdiri sambil mengangkat tangannya. Sikapnya kelihatan serba salah.

   "Mencari orang terbaik berarti harus memilih calon yang ada. Dan untuk menentukan pilihan, harus dilihat dulu kemampuannya. Untuk melihat kemampuan mereka, terpaksa harus diadu. Nah... Ini lah yang kurang kusukai!" Katanya sambil berpantun. Hiruk-pikuk di tengah rawa terpencil itu tiba-tiba berhenti! Semuanya memandang Huang-ho Siang-kiam Ma Sing. Mereka tidak tahu, apa yang sedang dibicarakan oleh para pimpinan mereka. Namun yang jelas Ma Sing baru saja berkata tentang pemilihan adu silat. Mereka berbisik satu sama lain. Dan sesaat kemudian sorak-soraipun kembali bergema di tempat itu. Pengaruh arak telah membakar kegembiraan mereka.

   "Bagus! Bagus! Mari kita pilih jago kita malam ini...!" Mereka bersorak dan berteriak kegirangan.

   "Apa pendapatmu, Ciok-heng? Ma Sing yang tidak menyukai pertandingan silat itu meminta pendapat Liu Wan.

   "Waaah...! Repot juga!" Liu Wan bergumam melihat kegembiraan para pendekar itu. A Liong melangkah ke depan.

   "Lo-Cianpwe! Bagaimana kalau diatur saja dengan cara yang lebih aman? Para calon tidak perlu bertanding! Masing-masing hanya diminta untuk menunjukkan kemampuannya! Dan Lo-Cianpwe berlima yang akan menjadi juri. Lo-Cianpwe tentu akan dapat memilih jago yang dikehendaki!" Ma Sing dan para ketua lainnya memandang A Liong dan Liu Wan bergantian. Sejak semula mereka memang tidak begitu memperhatikan A Liong. Mereka percaya bahwa semua teman Ciok-Sinshe adalah kawan seperjuangan mereka pula. Namun sebenarnya mereka juga bertanya-tanya di dalam hati. Apalagi anak yang masih sangat muda itu kelihatannya amat disegani oleh yang lain. Memang repot bagi Liu Wari untuk memberi penjelasan. Di satu pihak dia sudah percaya penuh kepada pemuda asing itu, tapi di lain pihak dia memang tidak tahu banyak tentang asal-usulnya.

   "Saudara A Liong... semua orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya! Silakah! Siapa tahu saranmu benar-benar memberi jalan keluar yang baik?" Akhirnya Liu Wan berkata perlahan. Ma Sing mengerutkan keningnya.

   "Tapi... setiap ilmu silat memiliki rahasia dan keistimewaannya sendiri-sendiri. Kadang-kadang ilmu silat baru menunjukkan kedahsyatannya setelah berhadapan dengan lawan. Bagaimana mungkin kita bisa menilainya?" A Liong tersenyum pahit.

   "Benar, Lo-Cianpwe. Usulku memang bukan yang terbaik, karena usul itu hanya berpijak pada keinginan untuk menghindari korban di antara kita. Sebab, apa yang kita perlukan hanyalah memilih beberapa orang yang pantas menerima tugas itu. Bukan mencari siapa yang paling sakti di antara kita!"

   "Ah, kau benar, saudara A Liong! Maafkan aku...!" Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tergagap. Usul A Liong itu sungguh tepat dan cocok dengan keinginannya. Hilang semua kecurigaannya kepada pemuda itu. Segera dimintanya pemuda itu menjelaskan usulnya lebih lanjut. A Liong menunjuk ke sebuah batu karang besar yang tersembul di tengah-tengah rawa. Tempat itu kira-kira sepuluh tombak jauhnya dari tempat itu. Air tak terlalu dalam. Paling hanya sepuluh lutut orang dewasa. Persis di bagian atas batu karang itu terdapat pecahan karang sebesar kambing. Berwarna hijau lumut. Entah sudah berapa ratus tahun batu itu bertengger di sana. Namun yang jelas, guyuran air hujan serta hembusan angin di setiap musim, belum mampu menggesernya darri tempat itu.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT