Beberapa kaii senjata mereka beradu di. udara. Dan dengan sifatnya masing-masing, kedua senjata itu berusaha un¬tuk menekan lawannya. Ciang Kwan Sit dengan cambuknya yang lemas dan pan-jang itu selalu mencoba memotong dan menahan gerakan lawan. Sementara Sogudai dengan belati besarnya, tetap me-rangsak ke depan dengan kekuatan be¬sarnya.
Keduanya memang bukan orang sem-barangan. Seperti halnya keturunan suku Mongol lainnya, Sogudai memiliki tubuh yang kokoh dan kuat. Ditambah dengan ilmu silatnya yang tinggi, maka kekuat¬annya semakin menjadi dahsyat sekali.
Sebaliknya Ciang Kwan Sit juga mempunyai ilmu silat yang hebat pula. Di kalangan Pasukan Rahasia ilmu cam¬buknya sangat terkenal. Rekan sepasu¬kannya, mendiang Su Hiat Hong dan Lim Kok Liang, amat segan terhadap ilmu cambuknya.
Begitulah, semakin lama pertempuran mereka menjadi semakin seru. Demikian sengitnya, sehingga masing-masing tidak ada waktu lagi untuk melihat sekeliling¬nya. Mereka tidak sempat pula melihat anak buah mereka. Apalagi arena per¬tempuran semakin menebar ke segala penjuru. Bahkan sebagian dari mereka kembali memasuki rawa-rawa.
Tapi jumlah mereka memang tidak seimbang. Pasukan Sogudai berlipat le¬bih banyak, sehingga dengan menebar¬nya arena itu semakin membuat pasukan Ciang Kwan Sit terpecah-belah. Akhir-nya setiap prajurit Ciang Kwan Sit ha¬rus melawan enam atau tujuh orang la¬wan. Akibatnya bisa diduga. Satu persatu mereka mati terbunuh.
"Lihat! Teman-temanmu sudah mati semua! Mengapa kau tidak menyerah sa¬ja?" Sogudai berseru gembira melihat lawannya tinggal Ciang Kwan Sit seorang.
Ciang Kwan Sit menggerakkan gi¬ginya. "Bangsat! Dari mana kau menda-patkan pasukan sedemikian banyaknya, heh? Kau tentu bukan gerombolan pe¬rampok biasa! Anak buahmu amat ter¬latih dalam pertempuran! Jangan-jangan kau mau memberontak, ya?"
"Gerombolan perampok? Kurang ajar ...! Kaukira kami siapa, heh? Jangankan cuma kau dan kawan-kawanmu itu, bala tentara dari negerimu pun takkan mam¬pu melawan pasukan kami, hohohehe!"
"Hei, kalian...? Jadi kalian ini ... pa¬sukan asing?" Ciang Kwan Sit tersentak kaget, sehingga pertahanannya m sedikit mengendor.
Akibatnya belati Sogudai menyerem¬pet bahunya. Membuat bahu itu tergores dalam dan hampir memutuskan uratnya. Darah mengucur membasahi pakaian Ciang Kwan Sit. Dan lengan itu terasa lemas dan sulit digerakkan.
"Gila! Kau benar-benar gila!" Ciang Kwan Sit mengumpat.
Tapi Sogudai tidak meladeni sumpah serapah Ciang Kwan Sit. Melihat lawan¬nya terluka, sepak-terjangnya justru se¬makin ganas. Matanya melotot penuh hawa pembunuhan, membuat Ciang Kwan Sit semakin turun semangat tempurnya.
"Aduuuuh...!" Sekali lagi Ciang Kwan Sit menjerit ketika belati besar itu menghunjam lengannya. Otomatis cam¬buknya terlepas dari pegangan.
"Mati kau sekarang...!" Sogudai berso¬rak kegirangan. Belatinya menyambar ke arah tenggorokan.
Traaaaang! Tiba-tiba belati besar itu terlempar ke udara! Sebutir kerikil meng¬hantam badan belati tersebut! Namun pada saat terakhir ujung belati itu masih sempat menyayat leher Ciang Kwan Sit! Perwira itu terjungkal pingsan dengan darah mengalir dari luka barunya!
"Aaaah!" Sogudai juga menggeram kesakitan.
Dengan muka merah padam Sogudai melihat ke sekelilingnya, mencari orang yang telah mengganggu perkelahiannya. Dan di tepi rawa, di atas sebuah ca¬bang pohon, dilihatnya seorang lelaki se¬tengah baya tertawa ke arahnya. Sogu¬dai tidak segera mengenalnya. Tetapi sua¬ra tertawa itu cepat mengingatkannya kembali kepada musuh bebuyutannya se¬lama ini, Bun-bu Siu-cai (Si Pelajar Ser¬ba Bisa) Liu Wan. Dan seperti halnya lima tahun lalu, pemuda itu masih juga menyamar sebagai tabib keliling. Bahkan pakaian dan buntalan obatnya juga masih memakai yang dulu pula.
"Sogudai! Kau masih ingat kepada¬ku?" Pemuda itu menyapa, dan sama se¬kali tidak peduli pada kawan-kawan So¬gudai yang mengepung di bawah pohon¬nya.
"Bun-bu Siu-cai!" Sogudai berdesah dengan suara gemetar.
"Hahaha" Sogudai... ternyata dugaanku selama ini memang benar. Keda¬tanganmu ke Tiong-goan dulu adalah untuk mencari jalan bagi pasukan Raja Mo Tan. Kini saat untuk menyerbu tam¬paknya sudah tiba. Kau benar-benar di¬kirim bersama pasukan perangmu me¬nyeberangi Tembok Besar!" Pemuda yang tidak lain adalah Liu Wan itu berseru dari atas .pohon.
"Bunuh dia....!" Sogudai berteriak ma¬rah. Belasan anak panah melesat menuju ke tempat Liu Wan berada. Namun de¬ngan cepat pemuda itu melompat ke ca¬bang yang lain, kemudian berjumpalitan ke bawah, sehingga anak panah itu ga¬gal memburunya.
Begitu berdiri di atas tanah, Liu Wan tidak segera melayani Sogudai dan anak buahnya. Sebaliknya dengan tenang pe¬muda itu menghampiri tubuh Ciang Kwan Sit, dan memeriksa luka-lukanya. Baru setelah yakin Ciang Kwan Sit masih hi¬dup, dia berdiri menghadapi lawannya.
Sekarangpun belum ter¬lambat! Katakan kepada Rajamu, bahwa kami telah mencium maksudnya! Kata¬kan pula, bahwa bangsa Han tidak akan membiarkan tanah ini diinjak oleh orang seperti dia! Para pendekar telah besatu, menyusun kekuatan untuk menghadapi serbuannya. Lihatlah...! Pasukan para pendekar telah siap bertempur dengan¬mu!" Kata Liu Wan berapi-api. Telunjuk¬nya menuding ke tengah rawa, di mana puluhan kepala tersembul di antara se¬mak dan alang-alang.
"Gila! Sejak dulu kau selalu merin¬tangi jalanku!"
Liu Wan tertawa panjang. "Sudah ku¬katakan dari dulu, bahwa aku paling ti¬dak suka melihat orang asing menginjak-injak dan merusak negeriku!"
"Bagus! Tampaknya kau memang te¬lah menunggu kedatangan kami. Nah, mari kita selesaikan saja secepatnya! Prajurit, cepat lepaskan panah berapi! Kita undang pasukan yang lain ke tem¬pat ini!"
Liu Wan terkejut. Otomatis otaknya bekerja. Kalau" Sogudai benar-benar me¬ngundang bantuan, berarti kekuatan me¬reka akan bertambah. Dan bila jumlah bantuan itu sama banyaknya dengan jumlah kekuatan Sogudai sekarang, ber¬arti para pendekar persilatan yang di¬bawanya takkan menang melawan me¬reka.
Liu Wan cepat memanggil tiga orang kawannya yang bersembunyi di dalam se¬mak di pinggir rawa. Salah seorang di antara mereka berbadan kecil, namun. lengannya tampak lebih panjang dari ukurannya. Orang itu berjalan seperti kera. Tapi ketika sebuah anak panah melesat ke arahnya, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara dengan gesitnya. Dan di lain saat anak panah itu telah berada dalam cengkeraman jarinya.
"Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun!" So¬gudai yang sudah terbiasa berkeliaran di Tiong-goan itu segera mengenali orang berbadan kecil itu.
"Ang-heng, pilihlah lima orang ber¬kepandaian tinggi di antara teman-te¬man kita! Bawalah mereka ke belakang untuk menjaga jalan ke dalam rawa! Kita tidak tahu persis, berapa jumlah musuh yang akan tiba nanti. Kita harus siap untuk mundur bila diperlu¬kan!" Liu Wan berbisik kepada Ang Jit Kun.
"Baik, Ciok-heng!" Pencuri Sakti itu lalu berkelebat cepat memasuki rawa-rawa kembali. Gerakannya cepat bukan main.
"Ciok-heng! Apa yang harus kami ker¬jakan?" Dua orang yang datang bersama Ang Jit Kun tadi bertanya kepada Liu Wan.
"Saudara Un dan Saudara Lo, kita bertiga tetap di sini. Kita pimpin rekan-rekan kita menghadapi mereka! Tapi ingat...! Kita harus tetap menjaga, agar kawan-kawan kita tidak keluar dari ga¬ris pertempuran! Kita tidak boleh me¬nerobos ke dalam lingkungan musuh! Ki¬ta harus tetap berada dalam satu baris tempur."
Un Kao dan Lo Su Ti, dua pendekar yang tampaknya merupakan pembantu utama Liu Wan, menganggukkan kepala.
"Baik, kami tahu maksud Ciok-heng. Kita harus segera bisa menyelamatkan diri kalau terdesak. Tetapi, sebelum ba¬la bantuan mereka datang, kita harus secepatnya mengurangi jumlah mereka. Siapa tahu bala bantuan mereka tidak banyak, sehingga kita bisa menumpas¬nya? Begitu bukan?"
Liu Wan mengangkat ibu jarinya. "Ba¬gus! Jiwi memang berpandangan tajam! Marilah! Mereka sudah tidak sabar lagi!"
Demikianlah pertempuran tak bisa di¬elakkan lagi. Masing-masing berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Anak buah Sogudai menyerang dengan ganas dan penuh semangat, sementara para pendekar yang dipimpin oleh Liu Wan pun melayani mereka dengan penuh semangat pula.
Meski secara perorangan para pende¬kar itu memiliki kepandaian lebih ting¬gi, tapi dalam pertempuran besar mere¬ka tetap harus waspada dan dapat me¬nempatkan diri dalam kelompoknya. Se¬kejap saja dia terlepas dari kelompok¬nya dan terjebak dalam kepungan lawan, maka akan sangat sulit untuk meloloskan djri. Betapapun lihai ilmu silat seorang perajurit, namun siasat dan cara bertem¬pur tetap diperlukan dalam setiap arena.
Walaupun demikian kemampuan per¬orangan juga tak bisa diabaikan. Seorang jago silat tetap lebih berbahaya daripa¬da prajurit biasa. Tanpa senjata pun mereka masih lebih berbahaya daripada prajurit bersenjata.
Korban mulai berjatuhan, sehingga ju¬mlah mereka semakin berkurang pula. Tempat yang licin berlumut itu kini mu¬lai tampak kemerahan. Sogudai yang sedang berhadapan dengan Liu Wan juga mulai gelisah pula. Bantuan belum da¬tang, sementara anak buahnya banyak yang telah menjadi korban.
Tapi wajah itu segera berseri kemba¬li ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai mendatangi. Benar juga, dari balik pepo¬honan tiba-tiba muncul belasan orang bersenjata yang segera menceburkan di¬ri ke dalam pertempuran.
Datangnya bala bantuan yang tidak kecil itu membuat perubahan kekuatan di arena. Pasukan Sogudai yang tadi ter¬desak, kini berbalik mendesak lawan. Apalagi bala bantuan yang datang masih tetap bermunculan tiada putusnya. Mere¬ka langsung menggempur pasukan pimpi¬nan Liu Wan.
Liu Wan cepat memberi isyarat kepa¬da Un Kao dan Lo Su Ti. Perlahan-lahan mereka mundur sambil membawa teman mereka yang terluka. Ang Jit Kun ber¬sama lima orang kawannya segera mene¬bar membuka jalan. Karena mereka me¬mang tak pernah meninggalkan jalan ma¬suk ke dalam rawa, maka pasukan para pendekar itu dengan mudah dapat melo¬loskan diri. Pasukan Sogudai yang tidak tahu keganasan rawa itu mencoba me¬ngejar mereka. Namun beberapa orang 'di antara mereka segera tenggelam - ke dalam lumpur.
"Jangan masuk ke dalam rawa! Hu¬jani mereka dengan panah!" Sogudai ber¬teriak.
Berpuluh-puluh anak panah meluncur mengejar para pendekar itu. Tapi sudah terlambat. Selain gerakan para pendekar itu sangat cepat, kondisi rawa-rawa itu benar-benat^sangat membantu mereka Sebentar saja mereka telah lenyap ke dalam rimbunnya semak belukar. Dan di lain saat rombongan para pendekar itu telah menaiki sampan masing-masing dan pergi dari tempat itu.
Sogudai berteriak marah. Musuh lama yang telah berada dalam genggaman, ternyata lepas begitu saja.
**
Sementara itu Liu Wan membawa kawan-kawannya ke kota Lau-ying, se¬buah kota kecil di sebelah utara Tai-bong-sui. Mereka langsung menuju ke markas darurat mereka, di sebuah kuil kosong di luar kota. Kedatangan mereka disambut oleh kawan-kawan mereka yang lain.
"Ciok-heng, kita mendapat tamu dari kota Ling-fu. Sekarang ia berada di da¬lam bersama kawan-kawan." Seorang le¬laki bersenjata golok memberi laporan.
Liu Wan mengangguk. Setelah meng¬atur dan menugaskan beberapa orang ka¬wannya untuk mengurusi yang luka, Liu Wan mengajak Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun ke dalam untuk menemui tamunya.
"Ahh...?" Liu Wan berdesah ketika melihat tamunya. Tapi rasa kaget itu cepat disembunyikannya. Dia' sedang me¬nyamar sebagai Tabib Ciok sekarang.
"Selamat bertemu, Ciok Sin-she! Per¬kenalkan... aku yang rendah bernama Tan Sin Lun, dari Aliran Im-yang-kau. Mungkin Sin-she masih ingat padaku, ka¬rena aku pernah datang mengunjungi pondokmu di kota Hang-ciu lima tahun lalu...." Tamu itu memperkenalkan diri.
"Ah, tentu saja.... Tan Siau-heng. Meskipun sudah tua ingatanku masih te¬tap baik. Hemm, apakah sumoimu yang hilang itu sudah kautemukan?"
Liu Wan tetap berusaha bersikap wa¬jar, walaupun hatinya tetap berdebar-debar. Bagaimanapun juga ia harus ber¬hati-hati, sebab sebagai Liu Wan maupun sebagai Tabib Ciok ia sama-sama telah mengenal Tan Sin Lun. Ia harus pandai membawakan perannya.
Tan Sin Lun menghela napas panjang. "Belum. Malah aku juga kehilangan ka¬kaknya pula. Dan sampai sekarang... ke¬dua sumoiku itu tak pernah kembali."
Mereka lalu duduk di ruangan tengah. Sebelum menanyakan maksud kedatangan ' tamunya, Liu Wan memperkenalkan ka¬wan-kawannya. Setelah itu baru dia me¬nanyakan keperluan Tan Sin Lun.
"Ciok Sin-she, rasanya kita semua su¬dah tahu bahwa suku bangsa Hun ber¬maksud mencaplok negeri kita. Bertahun-tahun mereka mempersiapkan diri. Dan tampaknya niat itu benar-benar mereka
laksanakan sekarang. Mereka melintasi Tembok Besar secara diam-diam!"
.Liu Wan tidak segera menyahut. Dia tetap berdiam diri menunggu habisnya ucapan Tan Sin Lun.
"Tapi... gerakan mereka tetap saja tercium oleh para pendekar persilatan. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang da¬tang ke daerah ini. Semuanya ingin meng¬hadapi para penyerbu itu. Dan kami de-ngar... Ciok Sin-she berhasil mempersa¬tukan para pendekar itu." Tan Sin Lun melanjutkan kata-katanya.
"Ah, hanya sebagian kecil saja. Di kota-kota lain juga banyak perkumpulan-perkumpulan seperti ini." Liu Wan me¬rendah.
"Benar, Ciok Sin-she. Di kota Leng-fu, kami juga mendirikan perkumpulan seperti ini. Kami memberi nama Pek-lian-eng (Pendekar Teratai Putih)." Tan Sin Lun melanjutkan kata-katanya.
"Ya, kami juga sudah mendengarnya, Tan-heng. Bahkan kami pernah bertemu pimpinannya, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing."
Tan Sin Lun tersenyum gembira. "Nah, Ciok Sin-she... kedatanganku ke si¬ni justru atas perintah Ma Su-siok itu. Beliau mengharapkan bantuan Ciok Sin-she."
"Bantuan? Bantuan apa?" Liu Wan mengerutkan keningnya.
"Tan Siau-hiap...! Selain memimpin Pek-lian-eng, Ma Tai-hiap adalah ketua cabang Aliran Im-yang-kau di bagian utara. Ilmu silat Ma Tai-hiap jauh lebih tinggi di atas kami. Lalu... bantuan apa lagi yang dapat kami berikan kepada¬nya?" Ang Jit Kun ikut berbicara.
Tan Sin Lun memperbaiki letak du¬duknya, kemudian merogoh saku dan me¬ngeluarkan segulung kain putih selebar saputangan.
"Ciok Sin-she...! Sekarang Pangeran Liu Wan Ti berada di dalam benteng Kong-sun Goan-swe. Di mana Pangeran Liu mencoba mengajak para pendekar untuk memerangi Raja Mo Tan. Beliau mulai mengumpulkan orang-orang yang betul-betul dapat dipercaya untuk mewu¬judkan maksudnya itu. Dan kebetulan Ma Su-siok terpilih sebagai salah seorang* yang mendapat kepercayaan tersebut. Sekarang Ma Susiok juga mulai mengum¬pulkan" kawan-kawan pula. Nah, salah se¬orang yang • sangat dipercaya oleh Ma Su-siok adalah... Ciok Sinshe! Dan kedatang¬an kami ke mari untuk menyerahkan un¬dangan .dari Ma Susiok kepada Ciok Sin-she. Silakan diterima...!"
Liu Wan menerima kain yang disodor¬kan Tan Sin Lun dan membacanya. Isi¬nya antara lain mengajak Ciok Sin-she dan kelompoknya untuk bergabung dengan barisan Pangeran Liu. Dan dalam waktu dekat Pangeran Liu ingin merundingkan cara mewujudkan rencana mereka.
Selesai membaca Liu Wan meminta pendapat rekan-rekannya. Terutama kepa¬da Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.
"Kalau memang benar demikian mak¬sud Pangeran Liu, maka tidak ada masa¬lahnya kita bergabung dengan mereka. Semakin besar dan terarah, maka ke¬kuatan kita akan semakin kokoh pula. Rasanya Pangeran Liu memang Cbcok untuk memimpin kita."
"Baiklah, Tan-heng. Rasanya kami ju¬ga tidak keberatan untuk bergabung. Katakan kepada Ma Tai-hiap, bahwa ka¬mi semua siap bergabung dengan Pange¬ran Liu!" Akhirnya Liu Wan menjawab.
Tan Sin Lun bangkit dan merangkap¬kan kedua tangannya. "Terima kasih, Ciok Sin-she. Ma Susiok tentu akan se¬nang sekali mendengarnya."
Matahari mulai terbenam. Mereka makan minum sekedarnya. Ketika akhir¬nya Tan Sin Lun meminta diri, maka matahari benar-benar sudah tenggelam. Sebelum berangkat pemuda itu masih sempat bercerita pula tentang utusan Kong-sun Goanswe yang telah sebulan lamanya belum kembali. Utusan itu ber¬nama Yo Keng, seorang perwira, diutus ke kota raja untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin.
"Utusan itu belum juga kembali?" Liu Wan mengerutkan dahinya. "Ah, mungkin dia mendapat kesulitan di kota raja...."
"Tampaknya memang demikian. Semua orang memang harus berhati-hati di ko-t a raja. Kata orang suasana di sana su¬dah tidak sehat lagi. Ibu Suri dalam ke¬adaan sakit, sementara keluarga Kaisar yang lain juga tidak ada yang dapat di¬harapkan lagi. Bahkan para pejabat kera-jaan juga tidak ada yang peduli pula. Mereka saling mencari kepuasannya sen¬diri."
"Benar. Oleh karena itu dengan mun¬culnya Pangeran Liu Wan Ti, rasanya ki¬ta semua harus bergembira...." Ang Jit Kun berkata pelan.
Setelah Tan Sin Lun pergi, Liu Wan memanggil Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.
"Saudara Ang, tampaknya situasi se¬makin gawat. Aku akan pergi dalam be¬berapa hari. Tolong kaupimpin kawan-kawan kita. Apabila saat bulan purnama aku belum datang, bawalah kawan-ka-kawan kita ke rawa Tai-bong-sui. Para pendekar akan mengadakan pertemuan di tempat itu. Mereka akan merunding¬kan jalan yang hendak kita tempuh ber¬sama. Aku akan pergi ke kota raja un¬tuk melihat keadaan. Siapa tahu aku mendapatkan sesuatu yang penting bagi perjuangan kita."
"Ciok Sin-she akan berangkat malam ini juga?" Ang Jit Kun bertanya kaget.
"Benar. Situasi sudah semakin gawat. Pasukan asing sudah masuk ke negeri -ki¬ta, sementara di kota raja malah sa¬ling cakar-cakaran sendiri. Kita harus segera berbuat sesuatu."
"Ciok Sin-she hendak berbuat apa...?" Ang Jit Kun berdesah tak mengerti.
Tapi Liu Wan tak menjawab. Selesai membenahi bekalnya ia segera berang¬kat meninggalkan tempat itu. Dia berku¬da ke arah timur.
Dua hari kemudian Liu Wan sudah melewati kota An-yang. Ia terkejut ke¬tika berjumpa dengan barisan prajurit dari kota raja. Demikian panjang baris¬an itu sehingga Liu Wan terpaksa me¬nyelinap ke dalam hutan dan kebun un¬tuk menghindari mereka.
"Ah! Tampaknya Au-yang Goanswe sudah mencium juga kedatangan pasukan Mo Tan. Pasukan ini sangat lengkap dan dipersiapkan untuk perang yang panjang."
Hampir setengah hari barisan praju-
rit itu baru habis. Liu Wan menyeka de¬bu dan keringat yang mengotori wajah¬nya. Sambil meneruskan perjalanan ia sibuk berpikir. Dua atau tiga hari lagi perang besar akan berkecamuk di sepan¬jang aliran Sungai Huang-ho. Dan pe¬rang itu akan membuat penderitaan dan kesengsaraan rakyat kecil.
Malam itu Liu Wan menginap di ko¬ta An-sing, sebuah kota kecil di sebe¬lah tenggara An-yang. Walaupun kecil tapi kota itu sangat ramai. Anak Sungai Huang-ho_ dL Bagian sel atap» kota, mem-beri banyak kesuburan pada sawah ladang, sehingga daerah itu tampak lebih mak¬mur daripada daerah sekitarnya.
Tapi barisan prajurit yang lewat di kota itu telah meresahkan hati mereka. Bagaimanapun juga perang tidak pernah mereka sukai.
"Maaf, Tuan... meja ini sudah dipesan orang. Sebentar lagi mereka datang. Ka¬lau Tuan ingin makan, Tuan dapat pergi ke rumah makan sebelah. Di sana masih banyak tempat kosong...." Pelayan mem-beri tahu ketika Liu Wan bermaksud duduk di ruangan makan penginapan itu.
Liu Wan menarik napas kecewa. Tapi ketika hendak berbalik, seorang lelaki berseru kepadanya.
"Ciok-heng, marilah kita duduk bersa¬ma...! Masih ada kursi kosong di mejaku!"
Liu Wan menoleh. Dilihatnya seorang lelaki tua berpakaian sederhana duduk di dekat jendela. Ketika Liu Wan mem¬perhatikan, dia segera mengingatnya. O-rang itu adalah Ui Tiam Lok, kepala kampung Ui-thian-cung di Hang-ciu. Orang tua itu duduk bersama dua orang putera-nya, Ui Kong Tee dan Ui Kong Lam, yang pandai bermain barongsai itu. Seba¬gai penduduk yang pernah tinggal satu kota tentu saja mereka mengenal satu sama lain.
"Ah, apakah aku yang sudah tua ini bertemu dengan keluarga Ui dari Ui-thian-cung...?" Liu Wan menyapa ramah.
Ui Tiam Lok berdiri sambil merang¬kapkan kedua tangannya di depan dada. Begitu pula dengan kedua puteranya. Me¬reka saling memberi hormat.
Liu Wan menerima undangan mereka.
Mereka lalu saling menanyakan kabar dan pengalaman masing-masing. Dan akhir¬nya mereka juga saling menanyakan ke¬perluan masing-masing di tempat itu.
"Ciok Sin-she...! Kau tentu masih ingat peristiwa lima tahun yang lalu, bu¬kan? Pada waktu itu muncul beberapa tokoh aneh di dunia persilatan, yang memperkenalkan diri sebagai utusan da¬ri Pondok Pelangi. Kepandaian mereka begitu tinggi, sehingga tokoh-tokoh be¬sar seperti Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Keh-sim Thai-hiap Kwe Tiong Li pun tidak mampu menandingi mereka. Bah¬kan keduanya ditaklukkan dengan mudah, Iflernudian dibawa pergi entah ke mana. Dan sampai sekarang mereka berdua be¬lum kembali. Usaha kaum persilatan un¬tuk mencari mereka juga tidak pernah berhasil. Tidak seorang pun tahu, di ma¬na Pondok Pelangi itu berada." Ui Tiam Lok bercerita perlahan.
Liu Wan mengangguk-anggukkan kepa¬lanya. Matanya menerawang jauh keluar jendela. Peristiwa di dunia persilatan pada lima tahun lalu memang tidak dapat dilupakan begitu saja. Terutama ba¬gi dirinya sendiri.
Banyak peristiwa mengesankan yang tidak mungkin bisa dia lupakan, Keda¬tangan anak-anak Raja Mo Tan yang me¬miliki kesaktian seperti iblis di daerah Tiong-goan. Kemudian lenyapnya Tio Ciu In, gadis yang baru saja dikenalnya, namun telah mampu mengusik hatinya. Dan yang terakhir adalah munculnya be¬berapa orang tokoh Pondok Pelangi yang sempat membikin geger dunia persilatan.
Lima tahun telah berlalu, namun se¬mua peristiwa itu seperti masih terba¬yang di pelupuk mata.
"Yaaah, tentu saja aku masih ingat, Ui-heng. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan peristiwa itu? Ilmu silat yang telah kupelajari selama puluhan tahun ini ternyata tidak berarti apa-apa diban-dingkan ilmu silat mereka. Cuma dengan tiga jurus, orang-orang dari Pondok Pe¬langi itu telah mengalahkan aku. ^ku benar-benar kecewa dan malu sekali pa¬da waktu itu."
Ui Tiam Lok tersenyum arif. Usianya yang sudah mencapai tujuh puluh lima tahun itu membuatnya matang luar da¬lam.
"Ciok-heng, kau tak perlu merasa malu dan patah semangat. Tidak hanya kau yang mengalami hal itu...."
"Yah, tapi.... rasanya mengganjal ju¬ga di dalam hati. Apalagi mereka da¬tang dan pergi begitu saja, seolah-olah tidak ada seorang manusia pun di Tiong-goan ini yang mampu mengusik mereka. Rasa-rasanya kita ini seperti anak-anak yang tak bisa berbuat apa-apa. Benar-hjwajp sebuah mimpi buajL^dalam kehi¬dupan kita...."
Pelayan yang mengusir Liu Wan tadi datang membawa makanan yang mereka pesan. Dengan sikap sopan dan ramah pelayan itu menaruh makanan di atas meja. Gerakannya sangat cekatan. Bebe-rapa kali tangan itu menyambar dan meletakkan mangkok kuah ke atas me¬ja. Dan yang sangat mengherankan, ku¬ah yang ada di dalam mangkok itu sa¬ma sekali tidak bergetar, apalagi memer¬cara sembarangan pula.
Tak seorang .pun melihat keanehan itu. Liu Wan juga baru menyadari keti¬ka pelayan tersebut sudah meninggalkan mereka.
"Eh....???"
"Ciok-heng, ada apa?" Ui Tiam Lok bagai tersengat lebah.
Liu Wan memandang kembali mang-kok kuah di depannya. Tak ada getaran. Tak ada percikan.
"Ah, tidak apa-apa... Ui-heng. Aku hanya sedikit terkejut. Rasa-rasanya per¬nah melihat pelayan itu. Tapi aku lupa di mana?" Liu Wan cepat mengalihkan pembicaraan. Dia tak ingin dianggap ter¬lalu berprasangka dan curiga.
Sambil makan mereka lalu berbicara lagi. Ui Tiam Lok bercerita tentang be¬berapa kejadian yang menimpa keluarga¬nya, yang akhirnya membuat dia keluar dari kampungnya.
"Ciok-heng.... Dalam satu bulan ini beberapa orang nelayanku telah empat kali melihat orang-orang misterius itu. Mereka naik sampan kecil terbuat dari ulang-tulang ikan paus."
"Orang-orang dari Pondok Pelangi...?"
Ui Tiam Lok mengangguk. "Aku su¬dah memberitahukan hal itu kepada to¬koh-tokoh persilatan yang kukenal, agar mereka bersiap-siap menghadapi keda¬tangan mereka. Siapa tahu mereka ingin menculik beberapa orang di antara kita lagi?"
Liu Wan menghela napas panjang. "Perang besar akan segera meletus. Pa¬sukan Raja Mo Tan telah menyeberangi Tembok Besar. Tapi, dunia persilatan justru bergolak sendiri...."
"Ciok-heng1, kau benar.... Tampaknya perang besar memang segera meletus. Aku juga sudah melihatnya. Bahkan pa¬sukan yang dikirim dari kota raja sudah melewati kota ini pula."
"Tapi bukan itu yang kuprihatinkan. Sebenarnya kita dapat mengusir musuh bila bersatu. Baik prajurit, rakyat, mau¬pun para pendekar persilatan. Tapi tam¬paknya Mo Tan memang tahu kelemahan kita. Sudah beberapa tahun ini rakyat hidup dalam kerusuhan dan ketidak-adilan. Di istana pun para pejabat saling berebut pengaruh. Kini para pendekar juga diteror pula oleh kemunculan orang-orang Pondok Pelangi. Nah... lengkap sudah!"
"Oh...?!" Ui Tiam Lok seakan-akan baru terjaga dari tidurnya. "Benar! Ja¬ngan-jangan semua itu memang berkait¬an satu sama lain. Nah, Ciok-heng! Apa yang sebaiknya kita lakukan?"
Mata Liu Wan berkilat-kilat. "Tentu saja yang terpenting adalah... mempersa¬tukan semua kekuatan kita! Mereka ha¬rus kita galang menjadi satu kekuatan untuk menghadapi pasukan Mo Tan!"
Ui Tiam Lok tersenyum. "Ya, tapi... bagaimana caranya?"
Liu Wan melirik ke sekitarnya. Sete¬lah yakin tak seorang pun memperhati¬kan mereka, ia berbisik perlahan.
"Mudah. Kita harus dapat mencari seorang pemimpin yang benar-benar mam pu menguasai semua kekuatan itu. Se¬orang pemimpin yang sangat disegani dan dihormati oleh kekuatan kita itu!"
"Siapa...?" Ui Tiam Lok menatap ta¬jam.
St-kali lagi Liu Wan mengedarkan pandangannya. "A.da dua tokoh! Mereka adalah.... Pangeran Liu Yang Kun dan bekas Panglima Besar Yap Kim! Menu¬rut pendapatku hanya mereka berdua yang mampu mempersatukan kekuatan itu!"
Mata Ui Tiam Lok yang sudah berke¬riput itu terbelalak. Namun sinar kegem¬biraan tampak di dalamnya.
"Benar, Ciok-heng. Aku sependapat denganmu. Tapi rasanya.... hanya tokoh ke dua saja yang bisa diharapkan. Itu pun harus ada yang dapat membebas¬kan dia dari Benteng Langit."
"Bagaimana dengan Pangeran Liu Yang Kun...?"
Ui Thian Lok menggelengkan kepala¬nya. "Aku tak yakin beliau masih hidup. Dua puluh tahun bukanlah waktu yang pendek. Kalau masih hidup, tidak mung¬kin dia melupakan keluarganya."
"Bukankah isteri dan " anak-anaknya telah mati semua?"
"Ya, tapi masih ada adik-adiknya. Bukankah mereka juga keluarganya?"
Liu Wan menghela napas dalam seka¬li. Wajahnya yang tertutup kumis dan jenggot palsu itu tampak gelap.
"Kau benar. Memang akulah yang terlalu berharap." Akhirnya Liu Wan ber¬gumam seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.
Ui Tiam Lok memandang tamunya. "Maaf, Ciok-heng. Bukannya aku meren¬dahkan nama Pangeran Liu Yang Kun, tetapi kita memang tidak mungkin meng¬harapkannya lagi. Kita harus berpijak pada kenyataan. Dan kenyataannya, Pangeran Liu Yang Kun sudah tidak mungkin diharapkan lagi. Kini tinggal Panglima Besar Yap Kim saja yang dapat kita ha¬rapkan. Sayang sekali... beliau terkurung dalam penjara. Apa daya kita...?"
Wajah Liu Wan yang tertutup cam¬bang itu tiba-tiba menjadi cerah kemba¬li. "Ui-heng, aku punya rencana...!" "Rencana...? Rencana apa?" "Ah, nanti saja! Belum saatnya dika¬takan...."
Liu Wan tidak meneruskan ucapannya, karena pelayan yang menghidangkan ku-ah tadi datang kembali. Dan Liu Wan baru menyadari, betapa gagahnya pela¬yan itu. Tubuhnya tinggi dan besar. Ra¬ut mukanya yang keras dan penuh keya¬kinan itu membuat usianya kelihatan lebih dewasa. Penampilannya sama sekali tidak sesuai dengan seragam kacungnya.
"Maaf, Tuan. Tuan Muda yang duduk di pojok ruangan itu ingin mengundang Cu-wi semua. Apakah Cu-wi bersedia...?"
Liu Wan dan Ui Tiam Lok melihat ke pojok ruangan. Mereka melihat seorang Pemuda berpakaian pelajar duduk sendirian di mejanya. Bajunya yang long¬gar berwarna putih, sementara topinya berwarna hitam seperti rambutnya. Ku¬mis tipis menempel di atas bibirnya, membuat pemuda itu kelihatan ganteng sekali.
Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Masing-masing mengangkat pundaknya. Keduanya tidak mengenal pemuda itu.
"Siapa dia? Mengapa dia mengundang kami?"
"Tuan Muda itu mengaku saudara Pangeran Liu Yang Kun dari istana kaisar.
“ Apakah Cu-wi belum mengenalnya?"
Tidak hanya Liu Wan yang kaget mendengar jawaban itu, tapi-^jyga Ui Tiam Lok beserta putera-puteranya. Ba¬gaimana tidak? Mereka baru saja berbi¬cara tentang Pangeran Liu Yang Kun, kini tiba-tiba saja ada orang yang me¬ngaku sebagai saudara pangeran itu.
Liu Wan dan Ui Tiam Lok berembug sebentar. "Baiklah, kami tidak berkebe¬ratan." Mereka lalu berdiri mengikuti pe¬layan itu.
gep^ria jjajtenj' iUi menyambut keda¬tangan mereka. "Oh, terima kasih atas kesediaan Cu-wi memenuhi undanganku. Perkenalkanlah, aku bernama Souw Hong Lam. Silakan duduk...!"
Mereka lalu saling memperkenalkan diri. Meskipun demikian Liu Wan dan Ui Tiam Lok tetap berhati-hati.
"Maaf...! Siau-te telah berani meng¬ganggu ketenangan Cu-wi berempat. Cu-wi tentu merasa kaget, curiga, dan bingung. Kita memang belum pernah sa¬ling mengenal sebelumnya. Tapi, apa boleh buat.... tidak ada cara lain. Siau-te ingin sekali berbicara tentang orang-orang Pondok Pelangi itu dengan Cu-wi berempat. Kudengar Cu-wi baru saja bercerita tentang mereka." Souw Hong Lam berkata panjang lebar.
Liu Wan "maupun Ui Tiam Lok terke¬jut. Jarak antara meja mereka dengan meja pemuda itu sangat jauh, bahkan di selingi oleh beberapa meja yang pemuh tamu pula. Bagaimana pemuda itu dapat mendengarkan percakapan mereka?
Liu Wan saling pandang dengan Ui Tiam Lok. Mereka semakin berhati-hati. Kalau memang benar apa yang diucap¬kan pemuda itu, berarti pemuda itu me¬miliki tenaga dalam yang hebat.
"Maaf, Souw-heng. Kata pelayan ru¬mah makan ini, kau masih memiliki hu¬bungan keluarga dengan Pangeran Liu Yang Kun. Hmm, benarkah...?" Liu Wan bertanya hati-hati.
Pemuda itu tertawa. Dan Liu Wan harus mengakui bahwa pemuda itu be¬nar-benar tampan sekali. Giginya tersu¬sun rapi, sementara bibirnya yang tertutup kumis tipis itu merekah seperti bibir wanita.
"Ah! Kalau mau dianggap masih ke¬luarga, yah... bisa saja, karena salah seorang keluargaku adalah menantu Ka¬isar Liu Pang. Tapi kalau hal itu diang¬gap bukan keluarga, yaaa... memang bu¬kan apa-apa!"
Liu Wan tersentak. Putera Kaisar Liu Pang yang sudah menikah hanya Pange¬ran Liu Yang Kun. Dan kedua isteri pa¬ngeran itu adalah Souw Lian Cu dan Han Tui Lan.
"Salah seorang isteri Pangeran Liu Yang Kun adalah puteri pendekar Souw Thian Hai. Apakah Saudara dari keluar¬ga pendekar ternama itu?" Liu Wan ber¬tanya kaget.
"Benar. Tapi aku tidak berani menga¬ku terlalu dekat dengan mereka. Aku ha¬nya keluarga jauh. Namun demikian ke-pergianku ini juga untuk mencari Pende¬kar Souw Thian Hai. Kata orang dia di-culik utusan dari Pondok Pelangi; Nah, apakah Ji-wi Locianpwe tahu letak Pon¬dok Pelangi itu?"
Ui Tiam Lok menelan ludah. Sambil bergeser di tempat duduknya, ia berka¬ta pelan. "Souw-heng...! Kami memang baru saja membicarakan orang-orang dari Pondok Pelangi itu. Aku mengatakan kepada Ciok Sin-she ini, bahwa bebera¬pa orang nelayan di kampungku telah melihat lagi kedatangan mereka di Laut Utara. Tapi para nelayan itu tidak ada yang tahu dari mana mereka datang...."
"Laut Utara....? Oh! Apakah mereka datang dari seberang lautan?. Bukan dari daratan kita ini?" Souw Hong Lam ber gumam.
"Dugaan Tuan memang ' benar.. Tiba-tiba pelayan muda itu datang lagi membawa botol arak pesanan Souw Hong Lam. Bibirnya tersenyum kepada Souw Hong Lam.
Tentu saja ucapan pelayan itu sangat mengejutkan mereka. Bahkan Liu Wan yang sudah bercuriga sejak tadi sampai melongo mendengarnya.
Tapi pelayan muda itu dengan tenang melanjutkan kata-katanya. "Maaf. Bukan maksudku untuk mencampuri pembicaraan Tuan. Tapi, orang-orang dari Pondok Pelangi itu memang bertempat tinggal jauh di seberang lautan sana. Siaute per¬nah berkunjung ke tempat itu. Pada mu¬sim panas begini, tempat tinggal mereka memang sangat indah. Tapi pada musim dingin, seluruh tanah mereka diselimuti oleh salju. Bahkan permukaan laut di se¬kitar tanah mereka pun dilapisi oleh es pula.
Liu Wan cepat berdiri sambil merang¬kapkan tangannya. "Maaf, bolehkah kami tahunama jfewidara? Sejak tadi aku me¬mang tidak percaya bahwa Saudara ada¬lah seorang pelayan biasa."
"Wah, Sin-she salah duga. Siau-te memang seorang pelayan. Sudah lima hari Siaute bekerja di sini. Siaute berna¬ma A Liong. Dan Siaute memang ber¬asal dari Lautan Es itu...."
Tiba-tiba tangan Souw Hong Lam me¬nyambar ke depan, ke arah pergelangan tangan A Liong. Gerakannya cepat bukan main, sehingga mata Liu Wan hampir ti¬dak bisa mengikutinya.
Tapi A Liong sekarang bukanlah ALiong lima tahun lalu. Gerak tangannya ternyata jauh lebih cepat daripada ge¬rakan Souw Hong Lam! Bagaikan main sulap, lengan pemuda itu tiba-tiba lenyap dari tempatnya. Dan tangan Souw Hong Lam hanya mampu meraup asap tipis yang tiba-tiba mengepul di tempat le¬ngan A Liong tadi berada. Asap itu se¬gera buyar tertiup angin, meninggalkan bau amis menyentak hidung.
"Gila...!" Liu Wan mengumpat di da¬lam hati. "Pelayan ini jelas lihai sekali! Jikalau aku yang mendapat serangan itu, aku tidak mungkin bisa mengelakkannya. Paling-paling aku hanya bisa mengadu tenaga!"
Ternyata Souw Hong Lam sendiri ju¬ga tidak kalah kagetnya. Dia tidak me¬neruskan gerakannya. Matanya yang jer¬nih dan tajam itu menatap lawan lekat-lekat.
"Maaf, aku tidak bermaksud menye¬rang, Saudara. Aku hanya ingin mengeta¬hui, siapakah .saudara ini sebenarnya...."
A Liong tersenyum. "Ah, tidak apa-apa. Siaute hanya bergurau pula. Siaute
ingat, waktu masih kecil dahulu sering bermain "tangkap tangan" dengan teman-temanku. Melihat gerakan tangan Tuan tadi, otomatis tanganku menghindar."
"Tapi.... asap itu?" Liu Wan menyela.
Lagi-lagi A Liong tersenyum. "Ah, bu¬kankah asap itu keluar dari arak yang kubawa? Arak itu baru saja dipanaskan!"
"Tapi baunya amis sekali...."
A Liong tidak menjawab. Dia cepat membungkukkan badan dan melangkah mundur untuk kembali ke tempatnya.
"Tunggu...!" Souw Hong Lam berseru.
Tapi A Liong tetap melangkah ke da¬lam, sehingga Souw Hong Lam terpaksa bangkit dan mengejarnya. Liu Wan dan keluarga Ui mengikut di belakangnya. Namun mereka tidak menemukan A Liong. Pelayan lainnya mengatakan bah¬wa A Liong baru saja keluar untuk mem¬beli daging.
Tampaknya Souw Hong Lam tidak mau kehilangan. Setelah membayar se¬mua makanan, ia berlari keluar. Liu Wan dan keluarga Ui tidak mau ketinggalan pula.
Mereka berlari-lari kecil di jalan ra¬ya. "Ah! cepat sekali dia menghilangi Padahal kita hanya terlambat beberapa langkah saja di belakangnya...!" Souw Hong Lam bersungut-sungut.
Mereka berdiri di perempatan jalan. Ui Tiam Lok tiba-tiba menunjuk ke se¬buah kereta yang berjalan lambat dari arah selatan. Dua orang petugas keaman¬an tampak berdiri di atas kereta, semen¬tara beberapa petugas lain membunyikan tambur untuk menarik perhatian orang. Dua petugas itu meneriakkan sebuah se-ruan tentang hadiah bagi siapa saja yang dapat menemukan Pangeran Liu Wan Ti.
"Eh, katanya Pangeran Liu berada di Benteng Kong-sun Goanswe. Mengapa para petugas itu meneriakkan pengumum¬an itu? Apakah berita itu belum didengar oleh pemerintah?" Ui Tiam Lok berbisik.
Souw Hong Lam menoleh. Dahinya berkerut. "Apa...? Pangeran Mahkota itu masih hidup?"
Liu Wan mengangkat pundaknya. "Be¬rita yang terdengar memang begitu. Ma¬lah kabarnya beliau sekarang sedang
mengumpulkan kekuatan untuk melawan Raja Mo Tan di benteng Kong-sun Goan¬swe."
"Lhoh? Mo Tan menyerang Tiong-goan?" Lagi-lagi Souw Hong Lam berse¬ru tak percaya.
"Wah, Siau-ya benar-benar ketinggal¬an jaman!" Entah dari mana datangnya tiba-tiba A Liong telah berada di bela¬kang mereka.
"Kau....???" Semuanya berdesah kaget.
"Oh, maaf! Siau-te telah mengagetkan Cu-wi sekalian! Siau-te dari pasar untuk membeli daging, tapi ternyata sudah ha¬bis. Jadi, siau-te terpaksa... eh, menga¬pa Cu-wi berada di sini? Bukankah Cu-wi sedang minum arak?" A Liong pura-pura terkejut.
Souw Hong Lam menelan ludah. "Maaf, kami memang mencari Saudara. Kami bersungguh-sungguh tentang Pondok Pelangi itu sehingga kami menginginkan beberapa keterangan lagi dari Saudara."
"Oh, ya-ya...! Tapi sekarang siau-te sedang sibuk. Bagaimana kalau kita bertemu saja di kuil San-hong-bio besok pa¬gi?"
"Baiklah, Saudara.... A Liong. Kami akan menunggu di depan Kuil San-hong-bio besok pagi." Liu Wan mengiyakan ke¬tika dilihatnya Souw Hong Lam tidak se¬gera menjawab.
Entah mengapa, tapi pelayan itu be¬nar-benar menarik perhatian Liu Wan. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh pe¬muda gagah itu. Sikapnya sangat aneh. Sama anehnya dengan Souw Hong Lam, yang juga baru dikenalnya itu. Diam-diam Liu Wan ingin tahu, siapa sebenar¬nya mereka itu.
Demikianlah hari berikutnya mereka bertemu di halaman San-hong-bio. Liu Wan teèap dalam penyamaran sebagai Tabib Ciok, sementara A Liong tidak berpakaian seperti pelayan lagi. Pemuda itu datang dengan pakaian longgar ber¬warna biru tua. Di atas pungungnya ter¬ikat sebuah bungkusan kain.
"Maaf, hari ini siau-te akan pergi ke suatu tempat, sehingga tak dapat mene¬mani Cu-wi terlalu lama. Kita langsung saja berbicara tentang Pondok Pelangi itu...." Begitu datang A Liong berkata lantang.
Souw Hong Lam maju ke depan. "Aku sependapat denganmu, Saudara A Liong! Aku juga tidak ingin berbelit-belit. Kedatanganku ke mari adalah un¬tuk mengajakmu pergi ke Pondok Pe¬langi."
"Ke Pondok Pelangi? Mau apa Siau-ya ke sana?" A Liong kaget.
"Saudara A Liong! Jangan panggil aku... Siau-ya! Kau bukan seorang pela-agi! Panggil saja aku Hong Lam! ku memanggilmu A Liong! Kita tak perlu berbasa-basi."
"Baiklah...!" Tak terduga A Liong mengiyakan.
"Nah, A Liong.... aku ingin mencari Souw Thian Hai! Dia masih keluargaku. Kata orang dia bersama isterinya diba¬wa oleh utusan dari Pondok Pelangi lima tahun lalu."
"Souw Thian Hai dan isterinya? Dia bertubuh tinggi besar berambut putih? Dan usianya kira-kira sama dengan.... Ui-locianpwe ini?" Mendadak A Liong berteriak gembira.
"A Liong! Apa maksudmu?"
Cepat bagai kilat A Liong menyam¬bar lengan Souw Hong Lam. Dan pemu¬da ganteng itu mengelak. Tapi sia-sia. Jari tangan A Liong yang kokoh kuat itu lebih dulu mencengkeram pergelang-an tangannya.
Souw Hong Lam berontak. Asap tipis berwarna kemerahan tiba-tiba mengepul di atas topinya. Dan kekuatan yang ma¬ha besar segera menghentakkan tangan¬nya dari cengkeraman A Liong. Demiki¬an besar kekuatan tersebut, sehingga ge¬taran anginnya dapat dirasakan oleh Liu Wan maupun Ui Tiam Lok.
A Liong melepaskan tangannya. Bibir¬nya tersenyum. "Bagus! Kau memang da¬ri keluarga Souw. Ketahuilah, Souw Tai-hiap memang berada di Pondok Pelangi selama lima tahun ini. Tapi beliau sudah kembali ke Tiong-goan sebulan lalu."
"Benarkah...?" Souw Hong Lam berse¬ru gembira. "Lalu ke manakah mereka sekarang?"
A Liong mengangkat pundaknya. "En¬tahlah, aku tidak tahu. Aku cuma ber¬jumpa saja di perjalanan. Mungkin dia langsung kembali ke kampungnya...."
"Ke rumahnya? Ah, tidak! Aku baru saja dari sana! Eh.... mengapa kau tahu benar keadaannya? Apakah kau dari.... Pondok Pelangi juga?" Tiba-tiba mata Souw Hong Lam terbelalak.
A Liong kembali tersenyum. "Benar, aku memang datang dari daerah itu. Walaupun bukan dari Pondok Pelangi."
Liu Wan dan Ui Tiam Lok terkejut. Otomatis mereka bersiaga. Namun de¬ngan tenang A Liong menerangkan bah¬wa dia bukanlah orang Pondok Pelangi. Seperti halnya pendekar Souw dan iste-rinya, dia juga seorang pendatang pula di tempat itu.
"Ah, tampaknya misteri tentang orang-orang dari Pondok Pelangi akan segera terkuak...." Tak terasa Liu Wan berde¬sah perlahan.
"Wah, kalau begitu... orang yang di¬lihat oleh para nelayan itu tidak lain adalah Hong-gi-hiap Souw Thian Hai.
Bahkan kemungkinan juga malah... Sauda¬ra A Liong ini." Ui Tiam Lok tiba-tiba berseru.
A Liong tertawa. "Mungkin juga, Ui- ' (locianpwe. Sebab banyak juga nelayan , yang kutemui di perjalanan. Rata-rata mereka merasa aneh melihat perahuku yang terbuat dari tulang-tulang ikan paus."
"A Liong, menurut pendapatmu ke 'mana kira-kira tujuan pendekar Souw Thian Hai?" Souw Hong Lam mendesak.
A Liong tidak menjawab. Pemuda itu memang tidak tahu arah dan tujuan Souw Thian Hai beserta isterinya.
Tiba-tiba Ui Tiam Lok memegang ta¬ngan Souw Hong Lam. "Souw-heng, rasa¬nya Saudara A Liong ini memang benar-benar tidak tahu! Tapi Souw-heng juga i tidak perlu khawatir! Pendekar Souw | sangat terkenal di dunia persilatan. Se- | mua orang tahu dia. Maka kedatangan¬nya kali ini tentu tidak akan lepas dari perhatian banyak orang. Sebaiknya kita I berangkat ke Tai-bong-sui saja. Tempat itu akan menjadi ajang pertemuan para pendekar persilatan. Aku yakin kita akan mendapatkan keterangan dari sana. Ba¬gaimana...?"
"Bagus, Ui-locianpwe! Pendapat Loci-anpwe benar sekali. Di sana akan ber¬kumpul para pendekar dari segala penju¬ru. Siapa tahu ada salah seorang yang pernah melihat Souw-taihiap? Kebetulan sekali aku juga hendak ke sana pula." A Liong bersorak gembira.
Demikianlah, dua hari kemudian para pendekar persilatan yang berdiam di se¬kitar aliran Sungai Huang-ho, berkumpul di- J£peah -J"^va Tai-bong-sui. Mereka datang secara rahasia. Dan undangan ha¬nya diberikan kepada orang yang sudah dikenal dan dipercaya. Namun demikian tamu yang datang ternyata lebih banyak dari yang diperkirakan. Mereka berkum¬pul di sebuah pulau gundul di tengah rawa. Tempat itu sangat cocok sekali untuk berkumpul. Selain tempatnya la¬pang, kebetulan pula air di sekitarnya amat lebar dan dalam.
Ketika rombongan Liu Wan datang, tempat itu telah ramai sekali. Ada rombongan dari Pek-lian-eng, Sin-hou-pang, Kong-sim-pang, Liong-gi-eng dan banyak pendekar lainnya. Rata-rata mereka da¬tang dari daerah sekitar aliran Sungai Huang-ho. Termasuk pula perkumpulan para pendekar yang didirikan oleh Liu Wan. Mereka dipimpin Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.
Sebagai Tuan rumah adalah Perkum¬pulan Pek-lian-eng, karena mereka pula yang mendapat kepercayaan dari Pange¬ran Liu Wan Ti. Maka tidak mengheran¬kan bila anggota mereka banyak yang tersebar di sekeliling arena itu. Mereka mengawasi dan meneliti semua undangan yang datang. Mereka juga meronda de¬ngan sampan-sampan kecil di rawa-rawa itu. Mereka juga menyiapkan petugas-petugas rahasia di tempat-tempat ter¬sembunyi, seperti di semak-semak, pepo- , honan dan sebagainya. Bahkan beberapa I orang di antaranya ada juga yang berba¬ur dengan tamu-tamu yang datang.
Liu Wan dan rombongannya segera bergabung dengan rombongan Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Setelah saling berkenalan, Liu Wan bertanya tentang Souw Thian Hai.
"Ah! Benarkah pendekar itu sudah muncul lagi? Wah, kalau begitu benar juga ucapan Huang-ho Siang-kiam. Dia tadi mengatakan bahwa salah seorang anak buahnya telah melihat suami-isteri Souw Thian Hai menyeberangi Sungai Huang-ho di kota Liang-an."
"Di kota Liang-an...?" Souw Hong Lam bergumam lirih.
Liang-an adalah kota kecil di Propin¬si San-tung. Sebuah kota pelabuhan su¬ngai yang cukup ramai, sehingga pendu¬duknya cukup padat dan sibuk.
"Jangan khawatir, Souw-heng! Nanti kubantu mencarinya. Kebetulan aku juga hendak ke San-tung setelah pertemuan ini." Liu Wan berkata pelan.
"Ah, aku tak berani merepotkan Lo-cianpwe...."
Ketika bulan purnama menyibak kabut yang menggenang di tengah rawa itu, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing tampil di tengah arena. Ketua Cabang lm-yang-kau bagian utara itu diapit oleh orang murid utamanya. Meskipun usianya telah mencapai enam puluh lima tahun, namun orang tua itu masih tampak ge¬sit dan lincah.
Setelah mengucapkan rasa terima kasih dan selamat datang kepada tamu-tamunya, Ma Sing lalu menjelaskan mak¬sud dan arti daripada pertemuan itu. Maksudnya yang utama adalah memben¬tuk wadah bersama dalam menanggu¬langi kekuatan Raja Mo Tan.
"Wadah ini akan membuat kekuatan kita menjadi satu kesatuan yang kokoh kuat. Di dalam satu wadah dan satu perintah, kekuatan kita tidak akan terpe¬cah-belah. Aku telah berbicara dengan Pangeran Liu Wan Ti. Beliau setuju de¬ngan niat tersebut, tapi beliau tidak ingin terlalu turut campur. Sebagai pa¬ngeran mahkota beliau tidak ingin ter¬jun langsung dalam gerakan seperti ini. Beliau khawatir hal itu akan berbuntut jelek di kemudian hari. Beliau tidak ingin ada yang menyalah-tafsirkan keterlibat¬annya itu. Siapa tahu ada yang berpra¬sangka jelek dan menuduhnya yang bu-kan-bukan. Karena mengumpulkan ke¬kuatan besar di kalangan rakyat dapat dianggap sebagai pemberontak yang hen¬dak merongrong kekuatan kaisar."
Ma Sing berhenti untuk mengambil napas. Kemudian lanjutnya dengan kata-kata yang tegas dan berwibawa.
"Tapi saya harap saudara jangan sa¬lah sangka. Ucapanku ini bukan lalu ber¬arti bahwa aku... ingin menggantikannya menjadi ketua. Sama sekali aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin seluruh kekuatan di
ini. Tentang ketuanya, sila-pilih saja yang lain!" Semuanya menyambut baik gagasan Ma Sing itu. Tapi banyak juga yang memprotes karena Ma Sing tidak berse¬dia menjadi ketua. Bahkan sebagian dari mereka justru ingin memilihnya.
"Sekali lagi aku mohon maaf. Kepu¬tusanku tidak dapat diubah lagi. Di sini banyak tokoh yang lebih patut menyan¬dang kedudukan itu. Biarlah aku yang tua ini berdiri sebagai penopangnya saja." Ma Sing menegaskan lagi. "Wah, aku tidak setuju!" Ang Jit Kun i tiba-tiba berseru.
Ang Jit Kun berkata sambil berdiri, sehingga semua orang dapat melihat dia.
"Perkumpulan kita berdiri di atas ke¬adilan bagi seluruh anggotanya. Tidak ada yang diistimewakan ataupun dibeda¬kan dari yang lain. Ma-taihiap juga me¬miliki hak dan kewajiban yang sama de¬ngan kita semua. Bukankah demikian, saudara-saudara?" Ang Jit Kun melanjut¬kan lagi.
Semuanya bertepuk tangan. Mereka sependapat dengan ucapan Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun. Akibatnya Ma Sing tidak dapat menghindar atau menolak lagi. Namun demikian Ma Sing tetap berkeberatan bila menjadi calon tunggal. Dia ingin agar semua ketua perkumpul¬an yang hadir dicalonkan pula untuk di¬pilih.
"Hahaha, baiklah.... kami juga tidak keberatan. Tapi bagaimanapun juga kami sudah sepakat untuk memilih Ma-taihiap. Hahahahahaha...!" Ang-bin Kuai-jin, Ketua Perkumpulan Sin-hou-pang menanggapi permintaan itu dengan tertawa mengge¬legar.
"Yah, benar...! Sebenarnya kita tak perlu lagi mengadakan pemilihan. Namun Huang-ho Siang-kiam sudah lebih dari cukup bagi kita semua." Go-bi Sam-ci dari Kong-sim-pang berseru pula dari tempat duduknya. Anak buahnya segera bertepuk tangan tanda setuju.
Ketua rombongan Liong-gi-eng bang¬kit dari tempat duduknya. Pendekar ber¬tubuh tinggi besar bercambang lebat itu tampak lebih menyeramkan dengan kulit¬nya berbercak-bercak putih bekas luka bakar.
"Ayolah, kita tidak usah bertele-tele lagi! Kita mulai saja pemilihan ketua ini! Nah, Ma-taihiap.... cara manakah yang paling sesuai kita pergunakan?" Pendekar yang dijuluki orang Harimau Putih atau Pek Hou itu berteriak lan¬tang.
Belum juga pertanyaan itu dijawab oleh Ma Sing, tiba-tiba sesosok bayangan kecil meloncat ke tengah arena. Gerak¬annya lincah dan cepat luar biasa, seperti belalang yang melenting dari pu¬cuk-pucuk ilalang. Sekejap saja bayang¬an itu telah berdiri tegak di tengah arena.
•Semua tamu yang hadir segera mem¬belalakkan matanya. Bayangan yang ber¬gerak lincah seperti belalang itu ternya¬ta seorang perempuan muda, berkulit hi-tam-legam bak pantat kuali. Begitu hi-tamnya, sehingga wajah itu tak dapat dilihat dengan jelas dalam keremangan malam. Di bawah redupnya sinar rembu¬lan hanya bola matanya saja yang keli¬hatan.
"Nanti dm" T^a^^ya kurang adil ka¬lau calon yang dipilih hanya dari kalang¬an lelaki. Seharusnya kaum wanita pun diberi hak untuk dipilih pula. Bukankah di sini juga banyak pendekar wanita yang hadir?" Perempuan muda itu berseru nyaring. "Selain daripada itu, acara dalam pertemuan ini rasanya juga terlalu terge¬sa-gesa! Eh, maaf...! Aku tidak bermak- I sud mengacau atau mau membikin onar pertemuan ini. Tapi ketika dibuka tadi, I Ma-taihiap belum berembug dengan kita
semua tentang pembentukan wadah per¬kumpulan itu. Kita langsung saja berbi¬cara tentang siapa ketuanya. Seharusnya kita bicarakan dulu niat tersebut dengan para tamu yang datang. Maksudku... apa¬kah tidak perlu ditanyakan dulu pendapat para pendekar yang hadir di sini? Yah, siapa tahu, mungkin ada yang kurang se¬tuju, atau.... mungkin justru mempunyai pendapat yang berbeda?"
Semua tertegun. Ucapan wanita berku¬lit hitam itu seperti dentang lonceng di tengah malam. Mengejutkan, tapi juga menyadarkan hati dan pikiran mereka. Mereka mengakui kebenaran ucapan itu, walaupun terasa kurang enak di dalam hati.
"Wanita itu memiliki tenaga dalam yang tinggi!" Souw Hong Lam bergumam perlahan.
"Ya, benar! Tapi.... rasanya kulit itu bukanlah kulit aslinya." Liu Wan meng¬anggukkan kepalanya.
"Maksud Sin-she....?'*Ang Jit Kun ter¬tegun.
"Tampaknya wanita muda itu berusaperti belalang yang melenting dari pu¬cuk-pucuk ilalang. Sekejap saja bayang¬an itu telah berdiri tegak di tengah arena.
semua tamu yang hadir segera mem¬belalakkan matanya. Bayangan yang ber¬gerak lincah seperti belalang itu ternya¬ta seorang perempuan muda, berkulit hi-tam-legam bak pantat kuali. Begitu hi-tamnya, sehingga wajah itu tak dapat dilihat dengan jelas dalam keremangan malam. Di bawah redupnya sinar rembu¬lan hanya bola matanya saja yang keli¬hatan.
"Nanti dulu,rasanya kurang adil ka¬lau calon yang dipilih hanya dari kalang¬an lelaki. Seharusnya kaum wanita pun diberi hak untuk dipilih pula. Bukankah di sini juga banyak pendekar wanita yang hadir?" Perempuan muda itu berseru nyaring. "Selain daripada itu, acara dalam pertemuan ini rasanya juga terlalu terge¬sa-gesa! Eh, maaf...! Aku tidak bermak- I sud mengacau atau mau membikin onar pertemuan ini. Tapi ketika dibuka tadi, I Ma-taihiap belum berembug dengan kita
semua tentang pembentukan wadah per¬kumpulan itu. Kita langsung saja berbi¬cara tentang siapa ketuanya. Seharusnya kita bicarakan dulu niat tersebut dengan para tamu yang datang. Maksudku... apa¬kah tidak perlu ditanyakan dulu pendapat para pendekar yang hadir di sini? Yah, siapa tahu, mungkin ada yang kurang se¬tuju, atau.... mungkin justru mempunyai pendapat yang berbeda?"
Semua tertegun. Ucapan wanita berku¬lit hitam itu seperti dentang lonceng di tengah malam. Mengejutkan, tapi juga menyadarkan hati dan pikiran mereka. Mereka mengakui kebenaran ucapan itu, walaupun terasa kurang enak di dalam hati.
"Wanita itu memiliki tenaga dalam yang tinggi!" Souw Hong Lam bergumam perlahan.
"Ya, benar! Tapi.... rasanya kulit itu bukanlah kulit aslinya." Liu Wan meng¬anggukkan kepalanya.
"Maksud Sin-she....?'*Ang Jit Kun ter¬tegun.
"Tampaknya wanita muda itu berusakami belum pernah melihat Lihiap, atau mendengar nama Li-hiap di dunia persi¬latan. Selain daripada itu kami juga me¬rasa heran, bagaimana Li-hiap dapat hadir dalam pertemuan rahasia ini. Apa¬kah Lihiap mewakili Gurumu, atau me¬wakili ketua perkumpulanmu?"
Perempuan muda itu membalikkan tu¬buhnya. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Liu Wan. Dan matanya yang bulat lebar itu menatap Liu Wan dengan tajamnya.
"Oh, tampaknya Locianpwe menaruh curiga kepadaku! Baiklah, namaku... Tiau Hek Hoa! Aku mewakili Ketua Alir¬an Beng-kau."
Thuuuuuuuuoooot....! Tiba-tiba terde¬ngar suara kentut keras sekali. Sekejap pertemuan itu menjadi gaduh. Banyak yang tertawa,. tapi ada pula yang meng¬geram dan mengumpat-umpat.
Perempuan itu kelihatan mendongkol pula, biarpun dia telah berusaha mere¬damnya. Bagaimanapun juga dia tak ingin memancing keributan, yang akibatnya akan menyulitkan dirinya sendiri.
"Tampaknya ada yang tidak menyukai kehadiranku...." Katanya perlahan sambil menarik napas panjang.
Tak seorang pun menjawab keluhan itu. Orang yang kentut pun ternyata ju¬ga tidak mau keluar untuk memperlihat¬kan diri. Sekali lagi perempuan itu meng¬hela napas panjang, lalu kembali meng-hadapi Liu Wan.
Sebaliknya Liu Wan justru sedang berusaha memeras otaknya. Ternyata se¬telah berhadapan langsung' dengan perem¬puan itu, Liu Wan seperti pernah meli¬hat wajahnya. Namun dia lupa siapa dan di mana.
"Nah, Locianpwe.... aku sudah menga¬takan asal-usulku. Apakah Locianpwe masih mencurigaiku? Apakah kedatangaku ini tidak diinginkan." Tiau Hek Hoa bertanya dengan suara bergetar.
"Ah, jadi Li-hiap mewakili Aliran Beng-kau yang besar itu? Wah! Tapi rasanva.... kami tidak mengundang Alir¬an Bengkau." Liu Wan tidak menjawab secara langsung.
Perempuan itu terdiam, lapi sesaat kemudian bibirnya yang hitam kebiruan itu berkata pula. "Memang! Aku tidak mempunyai undangan! Namun demikian sebagai orang Han, aku juga berhak un¬tuk ikut mempertahankan tanah ini. Apa¬lagi sejak dulu Aliran Bengkau selalu ber¬juang untuk menegakkan keadilan di nege¬ri ini. Nah, apakah kedatanganku tidak diterima?"
Komentar
Posting Komentar