PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 20

 


NAMUN kepergian Pengeran LiuWan Ti tidak mempengaruhi kelangsung¬an rencana Au-yang Goanswe selanjutnya. Jendral tua yang sudah teracuni dendam kesumat itu segera meneruskan rencana¬nya. Dan langkah berikutnya, langkah yang paling berat dan sulit dilakukan, yaitu menyingkirkan Panglima Besar Ba¬la Tentara Kerajaan, Panglima Yap Kim beserta para perwira kepercayaannya." Namun sekali lagi dengan tipu daya dan kelicikannya, Au-yang Goanswe juga ber¬hasil menjatuhkan dan menyingkirkan mereka pula. Bahkan salah seorang di antara perwira tinggi yang ikut tersingkir bersama Panglima Yap Kim itu adalah Kong-sun Goanswe, Komandan Pasukan Rahasia Kerajaan, yang menjadi saingan beratnya selama ini.

Panglima Yap Kim dituduh berkhianat dan dianggap bersalah terhadap kerajaan, sehingga ibu suri Li lalu mencopot jabatannya dan membuangnya ke benteng langit yaitu sebuah bangunan kuno yang didirikan di atas pulau karang kecil ditengah-tengah aliran sungai Huangho, ketika Liu Pang naik tahta, bangunan kokoh kuat seperti benteng tersebut diubah fungsinya menjadi sebuah penjara. Sedangkan jendral Kong Sun yang sebelumnya menjadi komandan pasukan rahasia kerajaan yang dianggap bersalah karena tidak mengetahui penghianatan panglima Yap Kim, dipindah tugaskan ke daerah perbatasan bagian utara. Jendral Kong Sun yang mahir ilmu perang itu hanya ditugaskan sebagai komandan pasukan kecil yang mengawasi suku bangsa liar di luar tembok besar.

Selama lima tahun itu pula, Au yang goanswe masih selalu menyelenggarakan perlombaan mengangkat arca disetiap peringatan tahun baru, dengan cara yang sangat rahasia ia masih tetap mencari pemuda bertatto naga yang dicurigainya sebagai keturunann Kaisar Liu Pang harus dilenyapkan.

Namun dengan dalih perlombaan tersebut dia juga berhasil mengumpulkan jago-jago silat silat kelas tinggi untuk diangkat menjadi pengawalnya.

Persahabatan rahasia dengan Raja Mo Tan juga masih tetap dilakukan oleh Au yang goanswe, meskipun persahabatan tersebut terasa mulai mengendor setelah au yang gonaswe merasa dirinya kuat dan tidak memerlukan bantuannya lagi. Demikianlah setelah semua lawannya tersingkir, maka perjalanan cita-cita Au yang goanswe tinggal beberapa langkah lagi.

Rencananya sekarang adalah menunggu kematian Ibu Suri Li, setelah pemangku kekuasaan negeri yang sedang sakit berat itu meninggal dunia, maka Au yang goanswe merencanakan untuk menganggkat dirinya menjadi Wali Kerajaan, dengan kekuasaan dan dukungan para pengikutnya, Jendral Au yang yakin bahwa rencananya itu akan mudah dilaksanakan. Kemudian pada suatu saat yang tepat nanti, ia akan mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar. Dan pada saat itu dia akan menggunakan nama marga Beng kembali.

Begitulah, dalam suasana penuh ke¬prihatinan itu, Au-yang Goanswe beser¬ta para pendukungnya justru tidak sabar lagi dalam menunggu berita kematian dari istana. Di dalam istananya yang besar dan megah, yang dibangun di atas puing-puing reruntuhan istana Pangeran Liu Yang Kun, Au-yang Goanswe terus mengikuti semua perkembangan di ista¬na Kaisar.

Tiba-tiba seorang Ipra'jurit kelihaxaTf berlari melintasi halaman istananya. Prajurit itu berlari ke gardu jaga dan melaporkan maksudnya kepada perwira yang berada di sana. Perwira tua itu mengerutkan keningnya, lalu bergegas masuk ke ruang dalam.

"Goanswe...! Ada berita dari istana bahwa Menteri Si Sun Ong dan Kui Hua Sin memasuki Ruang Pertemuan. Bahkan di ruang itu juga sudah siap pula beberapa orang dari Dewan Penasehat Keraja¬an. Beng Goanswe menduga, mereka akan membicarakan sesuatu yang sangat penting...." Perwira tua itu melapor.

Au-yang Goanswe yang sedang mi¬num teh bersama para pembantu dekat¬nya, cepat meletakkan cangkirnya. Wa¬jahnya berseri-seri.

"Bagaimana dengan... Ibu Suri? Apa¬kah... sudah ada kabar tentang dia?" Au-yang Goanswe berdiri dan bertanya penuh semangat.

Perwira tua itu meluberi hormat de¬ngan cepat. "Sama sekali belum ada be¬rita, Goanswe."

Jenderal Au-yang menggeram dengan suara kesal. "Lalu... apa maksud perte¬muan mereka? Apakah mereka ingin me¬nyusun rencana untuk melawan aku, heh? Lao Cing, pergilah ke istana menemui Beng Cun! Selidiki, apa maksud perte¬muan itu!"

Seorang perwira Kim-i-wi yang sedang tidak berdinas dan sedari tadi berada di dekat Au-yang Goanswe, segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu.


Di luar pendapa perwira Kim-i-wi itu memanggil para pengawalnya, kemudian bersama-sama meninggalkan istana itu dengan naik kuda.


Di tengah jalan mereka bertemu de¬ngan seorang perwira berseragam lusuh, naik kuda diiringkan sekelompok prajurit penjaga pintu gerbang kota. Perwira itu tampak sangat kusut dan kelelahan. Ba¬ju seragamnya tampak kotor penuh debu, sementara topi kebesarannya hanya di¬gantungkan pula di belakang punggung¬nya. Rambutnya yang tebal dibiarkan le¬pas tertiup angin.


Dilihat dari penampilannya bisa didu¬ga bahwa usia perwira itu tentu belum ada empat puluh tahun. Namun kalau di¬lihat dari sikap dan penampilannya, ma¬ka dapat ditebak bahwa perwira itu ten¬tu telah banyak mengarungi ganasnya me¬dan pertempuran. Apalagi kalau dilihat dari beberapa luka yang tergores di wa¬jah dan tangannya.


"Siapa perwira yang datang berpapas¬an dengan kita itu, Prajurit?" Perwira berpakaian lusuh itu bertanya kepada prajurit yang mengawalnya.


"Beliau... Jendral Lao Cing, Wakil Komandan Pasukan Kim-i-wi, Yo Ciang-kun!"


"Jendral Lao Cing? Ah, sudah belas¬an tahun aku di perbatasan sehingga tak mengenal lagi rekan-rekanku di kota ra¬ja. Hmm! Semua sudah berubah. Dia telah menjadi jendral sekarang."


"Ciangkun pernah bertemu dengan Lao Goanswe?" Prajurit itu bertanya pula.


Yo Ciangkun yang berseragam lusuh itu tersenyum"kecil kemudian menggebrak kudanya agar berjalan lebih cepat. Ketika berpapasan dengan rombongan Lao Goanswe, Yo Ciangkun cepat mengang¬kat tangannya. "Karena terlalu lama di perbatasan, maka sopan-santun kepraju¬ritannya juga tidak sekuat dulu lagi. Apalagi yang dia jumpai adalah bekas teman dekatnya. Tangannya tetap tera¬cung untuk memberi hormat, namun mu¬lutnya berkata seenaknya.


"Wah, Saudara Lao! Apa khabar? Tidak kusangka kita bisa bertemu lagi."


Jendral Lao kelihatan tersentak di atas kudanya. Pandangan matanya berki¬lat tegang, sementara dahinya berkerut melihat ke arah Yo Ciangkun. Melihat sikapnya mudah diduga bahwa hatinya merasa kurang senang menyaksikan ke¬lancangan Yo Ciangkun.


Mereka berhadapan dalam jarak yang amat dekat. Dan baru beberapa saat ke¬mudian Jendral Lao dapat mengingat wajah Yo Ciangkun. Namun wajah jendral itu tidak berubah ketika membalas sa-paan Yo Ciangkun. Bahkan suaranya ber¬kesan acuh dan dingin.


“Ah ...kau Yo Keng, mengapa kamu berada disini?”


Yo Ciangkun terkesiap. Namun demi¬kian dia segara menyadari kekeliruannya. ini semuanya telah berubah dan keada¬annya tidak seperti dulu lagi. Sekarang .ao Cing telah menjadi jendral, bahkan selah menjadi Wakil Komandan Pasukan Cim-i-wi yang termashur itu. Tentu sa-a dia bukan apa-apa dibandingkan Lao Goanswe. Apakah arti seorang perwira rendah dari daerah perbatasan seperti dia.
"Aaah, celaka! Bodoh benar aku!" Geramnya menyesali diri.


Yo Keng cepat turun dari kudanya. Sambil membungkuk dia memberi hormat. "Maafkan aku, Lao Goanswe. Teri¬malah hormatku." Ucapnya tergesa .. un¬tuk memperbaiki kekeliruannya.


Wajah Lao Goanswe justru semakin keruh. Apa yang dilakukan Yo Keng ter¬sebut malah berkesan meledek atau me¬ngolok-olok dirinya.


"Yo Keng, jangan bergurau! Katakan saja apa keperluanmu di tempat yang daerah tugasmu ini?" ganti Yo Keng yang kaget.


Tidak terduga langkah pertamanya di ko¬ta raja justru jatuh di bara api yang ber¬bahaya. Padahal kedatangannya ke kota raja membawa persoalan penting bagi pasukannya di perbatasan.


"Aku... ah, maafkanlah aku. Aku menjadi gugup sekali, karena aku harus segera menemui Menteri Kui Hua Sin." Yo Keng menjadi bingung dan salah ting¬kah.


Lao Cing tetap berada di atas punggung kudanya. Sama sekali ia tak mau turun menyambut kedatangan teman de¬katnya itu.


"Mengapa harus menemui Menteri Kui Hua Sin? Apakah tidak dapat disampai¬kan kepada orang lain?"
"Ah, bukan begitu maksudku." Yq Keng buru-buru menjelaskan. "Persoalan yang kubawa ini bukan persoalan biasa. Tapi menyangkut persoalan negara. Aku akan dianggap bersalah, bahkan bisa dianggap membocorkan rahasia kerajaan, kalau persoalan yang kubawa ini kukatai kan kepada orang lain. Jadi, hanya kepa¬da Pemangku Kekuasaan Negeri saja hal ini harus kukatakan. Maafkanlah aku...."
Mata Jendral Lao Cing yang sipit itu tampak berkilat-kilat lagi. Namun kali ini mengandung sinar keji dan licik. Hal itu dapat dilihat dari sikapnya yang mendadak berubah ramah dan bersaha¬bat.
"Baiklah. Aku takkan mencampuri urusanmu. Tapi ketahuilah, hari ini Men¬teri Kui Hua Sin dan Menteri-menteri lainnya sedang mengadakan pertemuan di istana. Bahkan mereka sedang menga¬dakan pertemuan dengan Dewan Penase-hat Kerajaan. Lebih baik kau datang nanti sore saja. Percuma kau datang ke sana. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke istana...."
Yo Keng semakin bingung. "Tapi... apa yang harus kuperbuat? Laporan itu tidak boleh ditunda-tunda lagi. Kong-sun Goanswe akan marah sekali kalau lapor-anitu sampai terlambat."
"Yaa, kalau begitu... kau bisa menco¬banya. Mudah-mudahan Beng Goanswe mengijinkan niatmu. Nah, selamat jalan. Kuharap kita bisa bertemu lagi."
Selesai berbicara, Lao Goanswe meng¬hentakkan tali kudanya, sehingga kuda¬nya melompat ke depan dengan garang¬nya. Para pengawal cepat memacu kuda mereka pula, takut ketinggalan.
"Lao Goanswe...!!!" Yo Keng berseru gugup, tapi Lao Cing dan anak buahnya tak ada yang peduli lagi. Mereka tetap memacu kuda dengan kencang.
Yo Keng menundukkan mukanya. Se¬karang dia benar-benar memaklumi ucap-
an Kong-sun Goanswe tentang keadaan di kota raja. Kota raja sekarang memang sudah berubah dan amat berbeda dengan keadaan lima atau enam tahun lalu. Orang tidak dapat lagi membedakan ma¬na kawan dan mana lawan. Istana Kaisar penuh dengan serigala-serigala berbulu angsa, yang setiap saat bisa berubah wujud untuk menikam kawan sendiri dari belakang.
"Benar juga kata-kata Kong-sun Goan swe. Semuanya sudah berubah. Ternyata aku pun tak bisa mengenali kawanku pula. Sungguh tak kusangka. Padahal aku benar-benar mengenalnya di masa-masa yang lalu. Hemmmm....!"
"Yo Ciangkun, kau tidak apa-apa bu¬kan? Mengapa Yo Ciangkun tidak seka¬lian minta tolong kepada Jendral Lao? Dia dapat membawa Yo Ciangkun ma¬suk ke istana...." Tiba-tiba Yo Keng ter¬kejut mendengar suara prajurit pengawal¬nya.
Yo Keng menghela napas panjang. "Kau benar, Prajurit. Bagaimana aku bi¬sa lupa bahwa dia adalah Wakil Koman- na."
"Lalu... apa yang akan Yo Ciangkun lakukan sekarang?"
"Apa boleh buat. Aku terpaksa ke is¬tana untuk menemui Lao Goanswe lagi. Biarlah aku akan sedikit mengalah kepa¬danya. Dalam keadaan begini, kepenting¬an negara di atas segala-galanya."
"Kalau begitu kami akan mengantar Yo Ciangkun ke istana." Prajurit itu ber¬kata pula.
Yo Keng mengeluarkan selembar pe¬rak sebesar tapak tangan bertuliskan hu¬ruf "SENG" dari emas, yang merupakan tanda kebesaran pasukan Kong-sun Goan¬swe di perbatasan.
"Baiklah, Ciangkun. Kami akan mela¬porkan masalah ini ke atasan kami. Ke¬betulan Beng Goanswe sedang berbin¬cang-bincang dengan Lao Goanswe di Gedung Bendera."
Demikianlah, Yo Keng lalu menerus-kan perjalanannya ke istana. Prajurit- "Tunggu! Mengapa aku tidak kalian
prajurit penjaga Pintu ©errJang Kota itu mengantarnya sampai di depan pintu halaman istana. Di sana mereka diteri¬ma oleh para pengawal istana berbaju emas, yang biasa disebut pasukan Kin-i-wi (Pasukan Baju Emas).
"Aku Yo Keng, perwira dari pasukan ke tiga di perbatasan utara. Aku dipe¬rintahkan Kong-sun Goanswe untuk meng¬hadap Menteri Kui Hua Sin, yang saat ini sedang mengadakan pertemuan dengan
bawa langsung ke Ruang Pertemuan itu? Laporan yang hendak kusampaikan kepa¬da Menteri Kui Hua Sin ini tidak boleh terlambat. Tolonglah...!"
"Maaf, kami tidak bisa, Ciangkun. Pada saat-saat seperti ini tak seorang pun boleh masuk ke tempat itu. Hanya Beng Goanswe dan Lao Goanswe yang berhak mengijinkan orang ke sana."
Yo Keng berdesah. Hatinya mulai ke^ cewa dan ragu. Ragu akan keberhasilan tugasnya. Sebelum dia berangkat, Kong Sun Goanswe sudah mengatakan bahwa tugasnya ini akan banyak menghadapi rintangan. Terutama dari orang-orang yang kini berkuasa, yang pada lima ta¬hun lalu telah memfitnah Panglima Yap Kim dan Kong-sun Goanswe. Dan ramal¬an itu ternyata benar. Kini hidungnya su¬dah mulai mencium bahaya yang akan tiba.
"Baiklah. Sekali lagi aku akan menco¬ba untuk membujuk dan memberi pe¬ngertian kepada Beng Goanswe dan Lao Goanswe. Kalau mereka masih tetap ti¬dak memberikan ijin, yaaaa.../aloi ter-paksa nekad masuk ke dalam, walaupun taruhannya adalah nyawa." Sambil me¬nunggu Yo Keng bergumam di dalam hati.
Tapi apa yang terjadi kemudian sung¬guh di luar dugaan Yo Keng. Utusan Jen-dral Kong-sun itu melihat Jendral Beng sendiri yang keluar menemuinya. Sedang Lao Goanswe, yang dikatakan sedang berbicara dengan jendral itu, tidak tam¬pak batang hidungnya. Mungkin menunggu di ruangan dalam.
"Yo Ciangkun...? Ayoh, masuklah!" Dengan ramah Beng Goanswe mempersi¬lakan Yo Keng masuk.
Yo Keng dibawa Beng Goanswe ke Ruang Bendera. Beberapa orang praju¬rit Kim-i-wi tampak berjaga-jaga di da¬lam ruangan itu. Namun demikian Yo Keng tidak melihat Lao Goanswe di sa¬na.
"Yo Ciangkun, duduklah! Jangan kha¬watir! Sebentar lagi kau akan diantar ke Ruang Pertemuan. Aku sudah meme¬rintahkan anak buahku untuk memberita-hukankan kedatanganmu kepada Men teri Kui. Sekarang bersihkan dulu badan¬mu, agar penampilanmu tidak memalu¬kan di hadapan Beliau...!"
Yo Keng tidak dapat menolak sam¬butan yang ramah tersebut. Dia menu¬rut saja ketika dibawa ke Ruangan Belakang dan diberi sepasang pakaian bersih. Bahkan dia juga tidak bisa meng¬hindar pula ketika diajak minum teh lebih dahulu.
Sama sekali Yo Keng tidak menyada ri akan tipu muslihat dan kelicikan la¬wan-lawannya. Begitu teh di dalam cang¬kirnya habis, tiba-tiba kepalanya terasa berputar. Semakin cepat, sehingga tubuh¬nya seperti mengambang di udara. Dan sebentar kemudian semua yang dilihat¬nya menjadi gelap.
"Bagus! Nah, prajurit... geledah tu¬buhnya!" Tiba-tiba Lao Goanswe muncul dari ruangan dalam dan memberi perin¬tah kepada para prajurit pengawalnya.
"Kau yakin dia membawa surat raha¬sia Kong-sun Goanswe?" Beng Goanswe bertanya kepada Lao Goanswe, wakilnya.
Lao Goanswe mengangguk. "Ya! Li¬hatlah sarung pedangnya itu! Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu di sana. Se¬jak bertemu di jalan tadi, kulihat dia tak pernah melepaskan benda itu."
"Benar, Goanswe. Ada surat di sini." Prajurit yang menggeledah Yo Keng ti¬ba-tiba berseru sambil memperlihatkan gulungan kain berwarna putih.
"Apa isinya?" Beng Goanswe yang ti¬dak sabar menunggu cepat mendesak.
Lao Cing memberikan gulungan ker-
tas itu setelah membaca isinya. Dia tampak puas walaupun masih kelihatan tegarjg.
"Nah, Beng Goanswe... dugaanku be¬nar, bukan? Aku mengenal Yo Keng su¬dah puluhan tahun lamanya. Aku tahu betul siapa dia. Turun-temurun keluar¬ganya adalah prajurit. Jangan harap bi¬sa mempengaruhi atau memaksa dia. Orang seperti dia bersedia mati atau berkorban apa saja demi keyakinannya. Dan prajurit tangguh seperti dia, selalu mempersiapkan tindakannya dengan cer¬mat dan telituTampaknya saja dia sendi¬rian, tapi sebenarnya tidak. Aku yakin beberapa orang pengawalnya berkeliaran mengawasinya dari jauh. Kalau tadi kita bersikap keras dan main paksa kepada¬nya, yaah... jangan harap surat ini bisa jatuh ke tangan kita. Sebelum kita da¬pat meringkusnya, dia akan memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Dan se¬belum kita menggeledahnya, dia akan le¬bih dulu menghancurkan surat ini dengan pedangnya...."
Beng Goanswe mengangguk-angguk- kan kepalanya. "Kau benar. Yo Keng membawa berita buruk bagi kita. Kong-sun Goanswe melaporkan bahwa Pange¬ran Liu Wan Ti sudah ditemukan, dan sekarang berada dalam lingkungan pasu¬kannya. Wah, gawat! Seharusnya orang itu kita buang saja sejak dulu, se¬hingga tidak menimbulkan kesulitan se¬perti sekarang. Hmmm, kita harus cepat-cepat memberitahukan hal ini kepada Au-yang Goanswe. Berita ini sangat ber¬bahaya bila sampai di tangan Dewan Penasehat Kerajaan. Lao Goanswe... apa rencana kita selanjutnya^'
"Tenang, Beng Goanswe. Jangan panik. Jangan berbuat sesuatu yang menimbul¬kan kecurigaan orang di sekitar kita. Ingat...! Siapa tahu ada kawan Yo Keng berada di tengah-tengah kita?"
"Tidak mungkin!" Beng Goanswe me¬lotot.
Tapi Lao Goanswe cepat menyentuh lengan rekannya. "Goanswe, jangan me¬mandang enteng lawan. Apalagi orang seperti Kong-sun Goanswe dan Yo Ciang-kun ini."
Beng Goanswe terdiam. "Baiklah. Lalu ... apa tindakan kita selanjutnya?"
Lao Goanswe berbisik di telinga atas¬annya. "Kita berbuat seperti tidak per¬nah terjadi apa-apa. Anggap saja Yo Keng tertidur sekejap karena terlalu le¬lah. Sementara itu isi surat itu kita ubah isinya. Bagaimana?"
Beng Goanswe menatap wakilnya de¬ngan gembira. "Jadi Yo Keng tetap kita biarkan menghadap Menteri Kui Hua Sin, tapi... dengan membawa surat yang telah diubah isinya? Wah, kau benar-benar hebat dan cerdik luar biasa! Ba¬gus! Mari kita laksanakan! Tapi... apa yang harus kita tulis di dalam surat itu?"
Lao Cing tersenyum licik. "Mudah sa¬ja. Kita tulis saja, seakan-akan Kong Sun Goanswe minta prajurit untuk memperku¬at pasukannya, karena mendapat gempur¬an pasukan Mo Tan. Kini pasukannya da¬lam keadaan porak poranda."
Beng Goanswe menepuk pundak re¬kannya. "Yah, benar. Dengan demikian akan terjadi salah pengertian di antara mereka. Menteri Kui setelah membaca surat itu tentu minta kepada Au-yang Goanswe untuk mengirimkan pasukan, se¬mentara Yo Keng menerimanya sebagai bantuan untuk Pangeran Liu Wan Ti nan¬ti. Padahal pasukan itu justru akan mem¬bereskan Pangeran Liu Wan Ti di sana. Bagus! Tapi kita harus berusaha agar Yo Keng tidak berbicara langsung dengan Menteri Kui Hua Sin." Katanya gembira.
"Tentu saja. Suasana tegang dalam pertemuan ini justru membuat Menteri Kui tidak punya waktu untuk menemui Yo Keng. Paling-paling dia hanya memang¬gil Beng Goanswe untuk menyampaikan pesannya kepada Au-yang Goanswe."
Demikianlah ketika Yo Keng sadar kembali, Beng Goanswe seakan-akan menggoyang-goyang lengannya.
"Yo Ciangkun! Yo Ciangkun! Wah, tampaknya kau lelah sekali! Masa berbi¬cara sambil memejamkan mata! Marilah, Menteri Kui telah memanggilmu!"
Yo Keng terkejut. Matanya menatap tajam ke sekitarnya. Dan diam-diam ta¬ngannya meraba sarung pedangnya. Perasaannya menjadi lega melihat benda itu masih tetap di tempatnya.
"Beng Goanswe...? Apakah aku terti¬dur tadi?"
"Tertidur sih... tidak! Hanya tampak¬nya kau sangat lelah, sehingga berbica¬ra sambil terantuk-antuk." Beng Cun berbohong.
"Aaaah......!"
"Ayolah, Yo Ciangkun! Menteri Kui Hua Sin telah menunggumu. Mari, kuan¬tar kau ke sana...!"
"Sekarang...? Beng Goanswe sendiri yang akan mengantarku? Ah, jangan! Bi¬arlah prajuritmu saja, atau... di mana¬kah Lao Goanswe sebenarnya? Tadi aku bertemu dia di jalan. Dia mengatakan bahwa hendak ke mari pula...."
Beng Goanswe berdiri dan menarik lengan Yo Ciangkun. "Marilah, kebetulan aku juga akan ke Ruang Pertemuan. Kau tentu bertemu dengan Lao Goanswe di sana. Dia memeriksa semua pos penjaga¬an istana setiap hari. Ayoh...!"
Tanpa menyadari kelicikan orang, Yo Ciangkun menurut saja ketika dibawa masuk halaman dalam istana. Mereka 1 menuju ke Ruang Pertemuan, di mana sepanjang jalan Yo Keng tak habis-habis¬nya mengagumi keindahan bangunan ista¬na. Walaupun dia seorang perwira, tapi selama hidupnya Yo Keng belum pernah menginjakkan kakinya di halaman istana.
Sementara itu Lao Goanswe buru-buru mengirimkan surat pemberitahuan kepada Auyang Goanswe. Lalu memberi pesan kepada para perajurit jaga, dia segera berangkat menuju ke Ruang Pertemuan pula. Dia harus mendampingi Beng Goan¬swe agar rencananya berjalan dengan baik.
Dan memang benar pula, bahwa pada saat itu Menteri Kui Hua Sin sedang mengadakan pertemuan dengan menteri menteri lainnya. Bahkan Menteri Kui Hua Sin juga mengundang seluruh ang¬gota Dewan Penasehat Kerajaan pula, karena kali ini Menteri Kui Hua Sin be¬nar-benar ingin membicarakan keadaan negeri mereka.
Hal itu dilakukan Menteri Kui karena keadaan di luar tembok kora raja benar-benar semakin memburuk. Menteri Kui menerima banyak laporan tentang situasi di daerah. Baik laporan tentang masuknya pasukan Mo Tan ke selatan, maupun la¬poran tentang kerusuhan dan ketidak amanan di seluruh pelosok negeri. Bah¬kan^ Menteri Kui juga menerima laporan tentang semakin jauhnya wibawa dan pe¬ngaruh kerajaan atas propinsi dan dae¬rahnya. Terutama propinsi-propinsi yang jauh dari kota raja. Dan semua itu sa¬ngat menyedihkan hati Menteri Kui. Dia bersama enam menteri lainnya hampir tak bisa berbuat apa-apa semenjak men¬dapatkan mandat itu. Sekarang Menteri Kui sudah nekad. Dia harus menyelamat¬kan kerajaan, sebelum terlambat.
"Apabila keadaan ini kita biarkan berlarut-larut, niscaya negeri ini akan runtuh. Lebih celaka lagi kalau Mo Tan menguasai negeri kita. Kita semua akan dijadikan budak-budaknya. Harta dan ke-kayaan kita akan dijarah rayah dan di¬rampok. Lalu... apa jadinya dengan anak keturunan kita nanti?" Menteri Kui membuka pertemuan itu dengan suara lantang.
"Benar. Tahun ini sudah ada empat kota yang jatuh ke tangan Mo Tan. Dan sekarang pasukannya sudah mulai menga¬lir ke arah selatan. Menurut laporan, mereka mulai menuju ke perbatasan Se-cuan, Kang-su, dan Cing-hai. Kalau kita tidak segera mengambil tindakan, maka pasukan Mo Tan akan segera menguasai Propinsi Si-kang. Apabila hal itu benar-benar terjadi, maka jalan perdagangan kita ke barat akan putus, suatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup negeri kita." Menteri Si Sun Ong yang duduk di sebelah Kui Hua Sin tak terduga juga berkata pula dengan berani.
Sekejap para menteri dan para Pena-sehat Kerajaan lainnya, terpaku diam di tempat masing-masing. Diam-diam se¬muanya melirik ke arah pintu dan jende¬la Ruang Pertemuan yang tertutup ra¬pat. Mereka tahu bahwa di luar ruangan banyak prajurit Kim-i-wi, anak buah Au-yang Goanswe, sementara masalah yang mereka bicarakan itu adalah tanggung jawab Au-yang Goanswe sebagai Pangli¬ma Bala Tentara Kerajaan.
"Baiklah, semua ini memang menjadi tugas Bala Bantuan Kerajaan. Namun ki¬ta sebagai penerima mandat dari Ibu Su¬ri, berhak pula meminta pertanggung¬jawaban Panglima Bala Tentara Keraja¬an. Panglima Kerajaan harus bisa menga- • tasi masalah ini. Apa jadinya kalau ser¬buan Mo Tan itu tidak secepatnya di¬tanggulangi?" Akhirnya Menteri Kui me¬mecah kesunyian mereka.
"Memang benar apa yang diucapkan oleh Menteri Kui. Kita tidak boleh diam saja melihat hal ini. Kita wajib mena¬nyakan kepada Panglima Kerajaan. Sam¬pai di mana tindakan yang telah dilaku-kannya untuk menangani masalah itu?" Lagi-lagi Menteri Si Sun Ong memberi dukungan kepada rekannya.
"Tapi...?" Menteri Go Hak tiba-tiba menyela, namun segera terdiam kemba¬li. Wajahnya tampak pucat.
Go Hak adalah Menteri Bendahara Kerajaan. Sebagai menteri yang bertang¬gung jawab atas kekayaan dan harta benda kerajaan, dia paling sering beru¬rusan dengan petugas-petugas kerajaan.
Dan dalam masalah yang mereka bicara¬kan itu, dia pula yang paling banyak mendapat tekanan dari Au-yang Goan-swe.
"Apakah yang ingin kaukatakan, Men¬teri Go? Maksudmu terlalu berbahaya bagi kita untuk menanyakan hal terse¬but kepada Au-yang Goanswe. Begitu¬kah?" Menteri Kui mendesak dengan su¬ara gemas.
"Bukan! Bukan itu! Kukira... kalau ki¬ta hanya menghubungi panglima saja, tidak segera menyelesaikan masalah ini. Kita perlu mengusahakan jalan lain sela¬in hal itu. .Misalnya... kita perlu segera menemukan kembali Pangeran Liu Wan Ti atau... Pangeran Liu Yang Kun! Saat ini kita membutuhkan sosok penguasa yang berwibawa serta disegani orang un¬tuk membangkitkan kekuatan rakyat!"
"Benar. Aku sependapat dengan Men¬teri Go. Pada saat-saat seperti ini baru kita ingat akan kebutuhan seorang kaisar yang kuat dan bijaksana." Menteri Liang Wei memberikan suaranya. Sebagai Men¬teri Urusan Hukum dan Keadilan Liang
Wei memang selalu mendambakan san¬daran yang kuat.
Kui Hua Sin dan Si Sun.Ong terpe¬rangah. "Bagus. Pendapat kalian me¬mang benar sekali. Rasanya kami ber¬dua juga sependapat pula dengan kalian." Menteri Kui makin bersemangat.
"Ada saran yang lain?" Menteri Si Sun Ong memandang Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To yang belum me¬ngeluarkan pendapatnya sejak tadi.
"Aku pribadi juga setuju dengan pen¬dapat Menteri Go. Tapi bagaimana kita harus melaksanakan hal itu? Kita semua lan lain. Eemm... aku punya usul. Bagai¬mana kalau kita menawarkan hadiah be-. sar bagi orang yang bisa memberi petun¬juk tempat tinggal Pangeran Liu Wan Ti...?" Menteri Kiat Peng To mengaju¬kan sarannya.
"Usulmu memang bagus. Tapi... apa¬kah hal itu tidak membikin malu kita sendiri? Bagaimana bisa terjadi seorang putera mahkota sampai hilang dari ista¬na?" . Menteri Gan Jit Kong memotong ucapan Menteri Kiat Peng To.
Menteri Kiat Peng To tersenyum. "Menteri Gan, kukira kita tidak perlu
merasa malu lagi. Penduduk di selurur pelosok negeri ini rasanya sudah tahu semua akan hilangnya Pangeran Mahko¬ta. Kita tidak dapat menutup-nutupi lagi. Kita justru harus bisa segera menemu-kannya, karena hal seperti ini akan me¬resahkan rakyat banyak. Bagaimana, Menteri Kui?"
Menteri Kui Hua Sin mengerutkan da¬hinya. Pendapat Menteri Kiat Peng To memang masuk akal juga. Bahkan usul itu tampaknya memang paling mengena.
Tapi karena usul tersebut berkaitan de¬ngan kehormatan negara, Menteri Kui tidak bisa memutuskan begitu saja.
"Bagaimana menurut pendapat para menteri yang lain?"
Demikianlah, karena semua juga se¬pendapat dengan usul Menteri Kiat Peng To, maka Menteri Kui Hua Sin lalu me¬minta nasehat serta pendapat sepuluh anggota Dewan Penasehat Kerajaan. Dan akhirnya para anggota dewan itu menye¬tujui niat mereka.
Kemudian Menteri Kui membagi tu¬gas yang harus mereka kerjakan. Mente¬ri Go Hak diminta untuk menyiapkan ha¬diahnya, sedangkan Menteri Liang Wei diminta untuk menyiapkan orang yang bertugas menyiarkan pengumuman itu ke-seluruh negeri. Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To bertugas menyiapkan orang yang akan melihat dan meneliti propinsi-propinsi mana yang perlu dicuri¬gai. Sementara Menteri Kui dan Si Sun Ong akan menghubungi Au-yang Goan-swe.
Di tengah kesibukan pertemuan itu
Shu, bahwa selama ini sudah diusaha-n untuk mencari Pangeran Liu Wan Ti. Namun selama itu pula kita tidak dapat menemukannya. Lalu... tindakan apalagi yang harus kita usahakan?" Menteri Gan Jit Kong berkata pelan.
"Benar. Selama ini kita sudah menye¬bar petugas rahasia ke seluruh negeri, bahkan juga sudah menghubungi para Ke¬pala Daerah pula. Tapi ternyata Pange¬ran Liu Wan Ti tetap belum ditemukan. Oleh karena itu kita harus mencari ja- tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari lu¬ar. Beng Goanswe masuk disertai Yo Ciangkun. Mereka berdiri di dekat pintu.
Untuk sesaat semua menteri terke¬jut. Mereka baru saja membicarakan Au-yang Goanswe, kini tahu-tahu tangan ka¬nan jendral yang sangat berpengaruh itu telah berada di depan mereka.
"Beng Goanswe, ada perlu apa?" Men¬teri Kui cepat menyapa.
"Maaf, Kui Taijin. Yo Ciangkun dari perbatasan utara ingin menghadapmu. Dia membawa berita dari Kong-sun Gon-swe."
Menteri Kui Hua Sin terkesiap. "Sila¬kan masuk! Apa yang hendak kaulapor-kan kepadaku?"
Yo Keng cepat mengambil surat ra¬hasia yang dia sembunyikan di dalam sa¬rung pedangnya. Surat itu buru-buru di¬berikan kepada Beng Goanswe untuk di¬hantarkan ke tangan Menteri Kui. Sete¬lah itu dia kembali berdiri tunduk di tempatnya.
Menteri Kui menerima surat terse¬but dan membukanya. Wajahnya sedikit
berubah. Yo Keng berdebar-debar ketika tidak melihat sinar kegembiraan di wa¬jah menteri tua itu. Apakah penemuan Pangeran Liu Wan Ti itu tidak disukai mereka?
Surat itu dibaca secara bergilir oleh para menteri. Dan rata-rata wajah me¬reka menjadi masam dan kurang gembi¬ra malah. Yo Keng semakin bingung dan penasaran. Jangan-jangan semua pejabat di kota raja memang telah berubah pi¬kiran.
"Bagaimana, Taijin?" Yo Keng tak kuasa menahan hatinya.
"Baiklah, Yo Ciangkun. Kami telah mengerti kesulitan Kongsun Goanswe. Kami akan memikirkannya. Jangan kha¬watir. Biarlah kami berbicara dulu de¬ngan Panglima Kerajaan. Nah, Beng Goanswe...! Tolong kirimkan prajurit un¬tuk mengundang Au-yang Goanswe ke mari! Kami ingin merundingkan situasi negara dengan dia...." Menteri Kui meng¬hela napas panjang.
"Tapi Taijin, Kong-sun Goanswe...." Yo Keng mencoba melaporkan maksud kedatangannya.
Tapi entah sejak kapan Lao Goanswe datang, tahu-tahu ia telah berada di samping Yo Keng.
"Sudahlah, Yo Keng. Menteri Kui akan berbicara dulu dengan Au-yang Go¬answe. Kita tunggu keputusannya di lu¬ar. Ayolah...!" Wakil Komandan Kim-i-wi . itu cepat-cepat menarik lengan Yo Keng keluar dari ruangan itu.
Yo Keng tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terpaksa menurut saja apa yang diperintahkan Lao Goanswe. Bahkan dia juga tak dapat menolak pula ketika diba¬wa ke istana Au-yang Goanswe. Sebagai seorang prajurit dia tidak bisa memban¬tah perintah atasannya.
Demikianlah Yo Keng terpaksa me¬nunggu di istana Au-yang Goanswe. Ke¬tika sampai malam hari jendral itu juga belum kembali dari istana, Yo Keng ter¬paksa menginap pula. Dia baru merasa curiga ketika esok harinya dipanggil Au-yang Goanswe ke pendapa.
* Ketika menerima tugas dari Kong-sun Goanswe, Yo Keng telah dipesan dengan sungguh-sungguh agar menghadap lang¬sung kepada Menteri Kui Hua Sin. Dia tidak boleh percaya kepada siapapun ju¬ga selain kepada menteri itu. Dan dia harus berhati-hati bila berhadapan dengan Au-yang Goanswe beserta anak buahnya. Termasuk di antaranya adalah para ang¬gota Pasukan Kim-i-wi dan Gin-i-wi, ka¬rena merekalah sebenarnya yang berkhi¬anat terhadap kerajaan, dan kemudian memfitnah Panglima Yap Kim ke dalam penjara. ,
Tapi apa dayanya sekarang. Dia jus¬tru beradadalani ceugkeraman Au-yang Goanswe begitu datang di kota raja. Sebagai perajurit dia tak bisa me¬nolaknya.
"Selamat pagi, Goanswe...!" Yo Keng menyapa dengan cara dan sikap seorang prajurit.
"Aha, kaukah... perwira yang datang dari perbatasan itu? Bagus. Mari kita minum teh dulu. Setelah itu aku akan menyampaikan kehendak dan perintah Menteri Kui Hua Sin kepadamu."
"Terima kasih, Goanswe." "Yo Keng! Aku mendapat perintah dari Menteri Kui Hua Sin untuk mengi-rim empat ribu orang prajurit ke ben¬teng Kong-sun Goanswe. Tapi aku tidak diberitahu maksudnya. Nah, sekarang ka¬takan padaku... apa sebenarnya yang ter¬jadi di sana? Apakah Raja Mo Tan me¬nyerang bentengmu?" Au-yang Goanswe bertanya dengan suara menyelidik.
Yo Keng terkejut. Sekejap matanya berkilat ke arah jendral itu. Dan dalam sekejap itu pula pikirannya menjadi te¬gang. Pertanyaan itu memojokkan dirinya dan mengandung bisa yang sangat berba¬haya. Begitu jawabannya salah, jiwanya tak mungkin tertolong lagi.
"Bagaimana Yo Keng? Mengapa kau diam saja?" Au-yang Goanswe mendesak. Matanya mulai kemerahan.
Sebagai prajurit yang biasa bertem¬pur di medan perang, maka naluri kepra¬juritan Yo Keng segera timbul. Dalam situasi demikian, otaknya segera bekerja, menghitung untung-ruginya.
"Tampaknya dia belum tahu isi surat itu dan sekarang ingin mengorek kete- rangan dari aku. Kalau aku mengatakan apa adanya, bahwa Pangeran Liu berada di dalam benteng, maka dia bisa kalap dan mengirimkan pasukan sandinya un¬tuk membunuh Pangeran Liu. Tapi kalau aku berbohong dan tepat pada sasaran¬nya, dia akan menjadi penasaran, sehing¬ga... kematianku dapat tertunda."
Sama sekali Yo Keng tidak menyang¬ka bahwa jendral itu telah tahu semua¬nya. Kalaupun sekarang dia pura-pura dia tidak tahu dan bertanya kepada Yo Keng, hal itu hanya untuk mengetahui hasil dari pada tipu daya Jendral Lao Cing. Sekalian juga untuk mengetahui, kepada siapa saja berita tentang Pange¬ran Liu itu disampaikan.
"Yo Keng! Kau dengar pertanyaan¬ku?" Au-yang Goanswe membentak, se¬hingga prajurit yang bertugas di halaman istana itu terkejut mengawasi mereka.
"Ah! Maaf, Goanswe! Aku... aku me¬mang sulit untuk menjawab pertanyaan Goanswe itu!" Tiba-tiba Yo Keng menda¬patkan jalan.
Benar juga. Au-yang Goanswe menja- di penasaran. "Kenapa mesti sulit, heh? Kau mau merahasiakan sesuatu dari aku?"
"Bukan! Bukan begitu, Goanswe! Bu¬kan...! Goanswe tentu tahu bahwa pasu¬kan di daerah perbatasan tidak selalu terkumpul menjadi satu. Mereka terdiri dari beberapa kelompok besar yang sela¬lu berkeliling dan berpindah tempat di sepanjang perbatasan itu. Hanya Kong-sun Goanswe saja yang secara resmi se¬lalu berkedudukan di dalam benteng, meskipun pada kenyataannya beliau juga selalu berkeliling pula...."
"Ayoh, jawab saja pertanyaanku! Ja¬ngan melingkar-lingkar!"
"Baik! Baik, Goanswe! Terus terang saja aku... aku sebenarnya tidak begitu tahu apa yang terjadi di dalam benteng. Kebetulan... kebetulan kami sudah lebih dari tujuh bulan meninggalkan benteng - itu. Dan selama itu pula kami tidak per¬nah bertemu dengan Kong-sun Goanswe. Oleh karena itu kami kaget sekali keti¬ka seorang kurir Kong-sun Goanswe tiba-tiba datang ke tempat kami. Ternyata dia membawa surat yang harus kuantar sendiri kepada Menteri Kui. Tugasku adalah tugas rahasia, yang tak seorang pun boleh tahu. Dan lagi... surat itu ha¬nya boleh kuserahkan kepada Menteri Kui." Akhirnya Yo Keng dapat juga ber¬bohong.
Au-yang Goanswe memandang Yo Keng dengan tajamnya. Roman mukanya kelihatan lega. Tampaknya dia percaya apa yang dituturkan Yo Keng. Tapi seba¬liknya Yo Keng sendiri justru tidak me¬nyadari bahwa ceritanya semakin mengu-ajjcan niat jendral ^U^ttl^L menyingkir¬kan dia.
"Mumpung berita tentang keberadaan Pangeran Liu Wan Ti di benteng Kong-sun Goanswe belum tersebar ke mana-mana, aku harus cepat-cepat melenyap¬kan dia! Besok akan kukirim pula sepu¬luh ribu orang prajurit, secara terpisah dari beberapa tempat, untuk menghancur¬kan Pangeran Liu Wan Ti dan Kong-sun Goanswe! Akan kubuat seolah-olah ben¬teng itu telah diduduki musuh. Biarlah Lao Goanswe yang menghubungi Raja Mo Tan." Au-yang Goanswe membuat ren¬cana di dalam hatinya.
Kemudian seolah-olah memahami pe¬nuturan Yo Keng, Au-yang Goanswe mengangguk-angguk. "Kalau begitu, ber¬siaplah! Pasukan akan berangkat besok pagi. Kau bisa berjalan bersama mere-
Yo Keng cepat-cepat membungkuk¬kan badannya. "Terima kasih, Goanswe! Tapi... bersama sebuah pasukan besar akan menghambat perjalananku. Semen¬tara itu kedatanganku akan sangat dinan-tikan oleh Kong Sun Goanswe: Oleh ka¬rena itu, Goanswe... biarlah aku berang¬kat lebih duliT"*
Diam-diam wajah Au-yang Goanswe menjadi gembira. Dengan berjalan seorang diri justru lebih mudah untuk membunuh Yo Keng.
Demikianlah, pada hari itu juga Yo Keng berangkat meninggalkan kota raja. Au-yang Goanswe memberinya bekal dan pakaian karena ia harus berjalan selama, tiga hari penuh untuk mencapai benteng Kong-sun Goanswe. Sama sekali tidak di-
sadari oleh Yo Keng bahwa Au-yang Goanswe telah mempersiapkan lubang ku¬buran bagi dirinya. Jendral tua itu telah memerintahkan Beng Goanswe untuk me¬ngirim pasukan rahasia untuk membunuh¬nya. Yo Keng harus mati sebelum tiba di perbatasan.*
Ketika matahari mulai condong ke barat, perlahan Yo Keng sudah mende¬kati kota An-yang. Sejak dari -kota raja sampai di An-yang, Yo Keng selalu mem beri tanda di tempat-tempat yang mudah terlihat. Seperti dugaan Lao Goanswe, kepergiannya ke.kota raja memang sela¬lu diawasi oleh beberapa orang penga¬walnya.
Tapi Yo Keng tidak ingin singgah di kota An-yang. Selain kota itu penuh de¬ngan prajurit kerajaan, Yo Keng juga tak mau berjumpa dengan banyak orang. Dia justru ingin lewat di jalan sepi, karena dia harus tetap waspada terhadap siapa saja, termasuk kepada Au-yang Goanswe dan anak buahnya. Menurut penuturan Kong-sun Goanswe, - jendral tua itu sa¬ngat licik dan berbahaya. Yo Keng mengambil jalan kecil ke arah barat. Ia ingin lewat di bagian se¬latan Propinsi Sian-su, menyusuri daerah perbukitan di sebelah kota Lia-feng, dan selanjutnya meneruskan perjalanan menu¬ju kota kecil Leng-fu di tepian Sungai Huang-ho. Dan jika tidak ada hambatan atau rintangan, dia akan sampai di kota itu menjelang matahari terbenam. Dan menurut rencana ia akan berjumpa de¬ngan para pengawalnya di sana.
Kuda Yo Keng memang kuda pilihan. Kuda itu tahan berlari disegala medan. Selama tiga hari berjalan menuju ke kota raja kemarin, Yo Keng hanya sempat memberi istirahat kudanya itu pada ma¬lam hari. Sementara pagi sampai sore terus mereka berjalan tanpa mengenal lelah.
Tiba-tiba kuda tunggangan itu berhen¬ti dan mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Yo Keng mencabut pedangnya. Kuda itu memberi firasat bahwa ada orang di sekitar tempat itu.
Benar saja. Dari balik semak pepo¬honan sekonyong-konyong muncul belas- an orang bertopeng menghadang di te¬ngah jalan. Ketika Yo Keng menoleh, ternyata di belakangnya pun telah ber-loncatan pula orang-orang yang sama. Dia telah dikepung dari segala jurusan.
Tanpa bertanya lagi Yo Keng meng¬hentakkan tali kekang kudanya, sehingga kuda itu menerjang ke depan dengan ga¬rangnya. Pedangnya berkelebat melin¬dungi badannya.
"Berhentiiiii...!"
Traaang...! Traaaang! Traaaaaang!
Orang-orang bertopeng itu beramai-ramai menyerang Yo Keng yang berta¬han di atas pungung kudanya. Dan per¬tempuran brutal pun segera berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang berto-peng itu mengeroyok dengan senjata me¬reka.
Beberapa orang di antara mereka mu¬lai terluka akibat sabetan pedang Yo Keng. Perwira dari perbatasan itu me¬mang tidak bisa dianggap enteng. Penga¬lamannya dalam pertempuran sangat ba¬nyak.
Dan tampaknya orang-orang itu han yalan perampok-perampok jalanan. Me¬reka berkeliaran akibat situasi keamanan yang buruk. Kini menghadapi Yo Keng, seorang perwira yang biasa berlaga di medan pertempuran, mereka tidak dapat berbuat banyak. Walaupun mereka ber¬jumlah banyak, tetapi Yo Keng sendiri hampir tak bisa disentuh. Di atas pung¬gung kuda yang biasa membawanya da¬lam setiap pertempuran, Yo Keng benar-benar seperti garuda yang terbang di atas awan. Sesekali dia menyambar ke kanan dan ke kiri untuk merobohkan mangsanya.
Beberapa saat kemudian para peram¬pok mulai tampak kebingungan. Kuda pe¬rang yang dinaiki Yo Keng itu semakin garang mengobrak-abrik mereka. Korban mulai berjatuhan, Bukan karena pedang Yo Keng, tapi karena tendangan kaki ku¬da gila itu. Akhirnya mereka tak tahan lagi. Mereka lalu lari berserabutan me¬nyelamatkan diri. Mereka lari sambil membawa teman-temannya yang terluka.
"Gila! Siang hari bolong begini ada juga perampok berkeliaran! Kurang ajar!" Begitu musuh-musuhnya hilang, Yo Keng menggeram kesal.
Ketika sampai di sebuah sungai ke¬cil Yo Keng turun dari kuda, dan dibiar¬kannya kudanya itu beristirahat. Dia sendiri lalu duduk di bawah pohon rin¬dang.
Hembusan angin segar hampir mem¬buatnya terlena, kalau; tiba-tiba tidak terdengar suara. jeritan meminta tolong. Yo Keng bangkit dengan cepat. Kudanya juga kaget dan melompat keluar dari da-lam air.
Kemudian Yo Keng bergegas meman¬jat pohon. Matanya nyalang mencari asal suara tadi. Tiba-tibaJ dia melihat serombongan wanita berlarian dikejar oleh belasan lelaki kasar. Mereka berke¬jaran di pinggir hutan.
"Gila! Tampaknya ada perampok lagi! Benar-benar rusak negeri ini!" Yo Keng menggeram marah.
Tanpa memikirkan rasa lelahnya lagi Yo Keng memacu kudanya untuk meno¬long wanita-wanita itu. Tapi ketika sam¬pai di pinggir hutan itu, semuanya su¬dah hilang. Orang-orang itu tidak keli- hatan lagi. Bahkan di atas tanah juga tidak ada bekas-bekasnya pula.
"Eh, ke mana mereka? Masa mereka bisa menghilang?"
Tapi Yo Keng tidak segera menye¬rah. Dia malah menjadi penasaran, se¬hingga tempat itu justru diaduknya de¬ngan teliti. Tidak sejengkal tanah pun luput dari pengamatannya. Dan akhirnya ia dapatkan juga apa yang dia inginkan.
Tepat di tengah-tengah semak belukar, tak jauh dari tempat itu, Yo Keng mene¬mukan sebuah lubang gua. Tidak begitu besar, tapi manusia dapat masuk dengan mudah. Dan dari bekas-bekas yang ada, Yo Keng yakin bahwa orang-orang itu benar-benar lewat melalui lubang terse¬but.
Setelah mengikat kudanya di tempat yang tersembunyi, Yo Keng nekad ma¬suk ke dalam lubang itu. Sungguh me¬nakjubkan. Beberapa saat kemudian ujung terowongan itu menembus ke lereng te-bing curam, di mana di bawahnya me¬ngalir sungai deras.
"Ah, sungai di bawah itu tentu meru- pakan kepanjangan dari sungai tempat aku beristirahat tadi. Tapi... ke mana orang-orang itu tadi? Apa ada jalan se¬tapak ke bawah?"
Ketika Yo Keng melongok ke bawah, di bawah tebing tampak belasan buah tenda didirikan berjajar di tepian sungai. Puluhan lelaki bertubuh tegap tampak berjalan hilir-mudik di antara tenda-ten¬da itu. Sepintas lalu mereka kelihatan seperti kawanan perampok yang memba¬ngun sarang di lembah sempit itu.
Tempat itu memang strategis sekali. Selain tersembunyi, juga sulit dijangkau orang. Jalan keluarnya pun hampir tidak ada pula. Bagian samping dibatasi oleh tebing yang tinggi, sementara di bagian depan dan belakang merupakan aliran sungai yang terjal bertingkat-tingkat. Se¬hingga satu-satunya jalan hanya dari lubang gua itu.
"Tempat ini memang sangat baik un- 1 tuk bersembunyi, tapi berbahaya untuk sebuah pasukan. Memang sulit untuk di¬temukan, namun mudah diserang dan di¬hancurkan lawan. Heran, siapakah mere¬ka?"
Yo Keng lalu mencari akal untuk me¬nuruni tebing itu. Tapi belum juga cara itu dia temukan, telinganya mendengar langkah orang memasuki terowongan itu. Cepat dia bersembunyi di tempat gelap.
Tujuh orang lelaki lewat di depan¬nya. Masing-masing membawa perempu¬an dipundaknya. Mereka kelihatan terge¬sa-gesa sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Mereka melangkah dengan terburu-buru. Begitu pula ketika menuruni tebing itu.
Kebetulan lelaki yang paling bela¬kang agak sedikit ketinggalan dari ka¬wan-kawannya. Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh Yo Keng. Sekali sodok dengan sarung pedangnya, lelaki itu ro-boh tak berkutik. Dan perempuan yang ada dalam pelukan orang itu cepat di¬sambarnya serta ditaruh pula di atas pundaknya.
Lalu dengan cekatan orang itu dise¬retnya ke tempat yang tersembunyi. Se¬lanjutnya, seperti tak pernah terjadi apa-apa, ia berjalan di belakang rombongan tersebut. Dia sengaja memperlambat
langkahnya. Kemudian buru-buru menye¬linap pergi, begitu rombongan tersebut menginjakkan kaki di bawah tebing. Yo Keng menyuruk ke dalam semak-semak.
"Hei, mau apa sebenarnya kau? Kena¬pa kaugantikan orang itu dengan keke¬rasan? Kau... siapa?" Tiba-tiba terdengar bisikan di belakang Yo Keng. Suaranya kecil.
Bukan main kagetnya Yo Keng! Oto¬matis tubuhnya berbalik, sehingga perem¬puan di atas pundaknya itu hampir saja terjatuh.
"Sia-siapakah... kau?" Mata Yo Keng jelalatan mencari lawannya. Tapi tak se¬orang pun di sekitarnya.
"Celaka...! Bagaimana kau ini? Kau sekarang sedang menggendong aku! Wah, gobloknya!" Suara itu terdengar kembali, bahkan lebih keras dan berkesan jenaka. Suaranya berubah besar seperti suara le¬laki.
Yo Keng terkejut. Dan lebih kaget ketika jalan darah tong-tie-hiat di leher¬nya telah dicengkeram oleh perempuan itu.
"Hei, awas! Jangan dibanting! Nanti suaranya akan terdengar oleh mereka!" Suara itu lagi-lagi memperingatkan.
Yo Keng menggeram. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang yang menyamar menjadi wanita itu telah mencengkeram jalan darah kematian di lehernya.
"Si-siapa kau...? Mengapa kau menya¬mar menjadi perempuan dan membiarkan diri dibawa oleh lelaki kasar itu?" Yo Keng menggeram dengan suara tertahan.
"Wah, jangan bertanya sekarang! Nan¬ti saja setelah kita benar-benar aman. Kini turunkanlah aku dulu dan jangan ba¬nyak bicara!"
Untunglah kedatangan rombongan itu tidak begitu diperhatikan oleh yang lain, sehingga penyusupan Yo Keng berjalan dengan mulus. Hanya seorang saja di an¬tara ketujuh lelaki tadi yang berteriak mencarinya.
"Hei...? Ke mana Ogilai tadi? Apa¬kah ia masih di atas?"
"Aaa, sudahlah! Biarkan saja ia ber¬buat sekehendak hatinya. Paling-paling berada di antara semak-semak itu! Hehehehe!"
Sementara itu di kota raja, Au-yang Goan-swe sudah mengirimkan pasukan rahasianya untuk mengejar Yo Keng. Pa¬sukan yang amat terlatih itu menyamar seperti rombongan penduduk biasa. Mere¬ka bergerak di dalam beberapa kelom¬pok.
Semula mereka bermaksud mengha¬dang Yo Keng di kota Lia-feng. Namun rencana mereka berubah lagi karena Yo
Keng tidak menuju ke kota itu. Mereka lalu menuju ke kota berikutnya, yaitu kota Leng-fu di tepian Sungai Huang-ho. Untuk itu mereka membagi rombongan menjadi dua bagian. Sebagian melewati perbukitan di selatan Lia-feng, dan seba¬gian lagi menerobos terus ke barat me¬lalui Tai-bong-sui, daerah rawa-rawa ber¬bahaya.
Demikianlah, pada saat matahari mu¬lai bergeser turun ke barat, beberapa kelompok di antara pasukan itu telah ti ba di kota Leng-fu. Mereka segera ber¬kumpul di luar pintu gerbang kota bagi¬an selatan. Mereka dipimpin oleh Tong¬kat Bocor Ho Bing, yang kini telah ber¬hasil menjadi orang kepercayaan Au-yang Goan-swe.
""Heran! Mengapa Ciang Ciangkun be¬lum juga datang? Dia seharusnya tiba di sini. Jarak yang mereka tempuh lebih pendek daripada kita." Lelaki bermuka kelimis itu menggerutu, karena Ciang Kwan Sit, pemimpin rombongan mereka, belum juga tiba di tempat itu. Padahal rombongan Ciang Kwan Sit lewat Tai-bong-sui.
"Biarlah kita bersabar sedikit." Salah seorang di antara temannya yang berke¬pala gundul mendinginkan hatinya.
"Tapi... kita tidak mempunyai banyak waktu, Tiat-tou (Kepala Besi)! Seben¬tar lagi Yo Ciangkun akan tiba. Kita belum mengatur rencana untuk mengha¬dapinya...."
"Kalau begitu, mengapa tidak kau sa¬ja yang menyusun rencana? Bukankah Ciang Ciangkun telah memberi wewenang kepadamu?" Si Gundul itu menjawab enteng.
"Hei, mengapa aku...?" Ho Bing berte¬riak.
"Mengapa...? Hehehee, sudah kukata¬kan, selain lebih cerdik dan lebih banyak akal, kau sudah diberi wewenang oleh Ciang Ciangkun. Mau apa lagi? Ayo¬lah...!"
"Tapi ilmu silat kalian banyak yang lebih tinggi daripada ilmu silatku."
"Waah... itu tidak menjadi soal. Seka¬rang yang penting adalah rencananya, bukan pertemr^ignaya. Ayolah!"
Ho Bing tidak dapat menolak lagi. Terpaksa dia mengambil alih pimpinan rombongan itu. Dia lalu membagi rom¬bongan tersebut menjadi tiga kelompok kecil. Kelompok pertama dipimpin oleh Tiat-tou, dan tetap berada di tempat itu. Kelompok ke dua, dipimpin Siang-kim-eng (Sepasang Elang Emas), menung¬gu di pintu gerbang kota sebelah timur. Sedang Ho Bing bersama lima orang si-sanya, masuk ke dalam kota. Mereka bersiap-siap untuk membantu kelompok yang nanti berhadapan dengan Yo Keng.
"Dengan pembagian kelompok seperti ini kita berharap tidak akan kehilangan buruan kita. Kelompok yang menerima kedatangan Yo Keng harus segera mem¬beri tanda kepada yang lain. Bagaima¬na?"
"Baiklah... kita semua sependapat. Mari kita berangkat!" Tiat-tou mewakili teman-temannya.
Demikianlah mereka lalu berpencar bersama kelompok mereka masing-masing Mereka tidak sempat lagi menunggu ke¬datangan rombongan Ciang Kwan Sit.
Sama sekali mereka tidak menyangka kalau rombongan Ciang Kwan Sit menda¬pat rintangan di tengah jalan. Begitu melewati rawa-rawa Tai-bong-sui, rom¬bongan itu bertemu dengan sebagian ke¬cil dari iring-iringan pasukan Raja Mo Tan yang menyusup ke Propinsi Siangsi. Dan tanpa berbasa-basi lagi pasukan itu mengepung dan menyerang rombongan Ciang Kwan Sit.
Kelompok kecil pasukan Raja Mo Tan yang tidak mengenakan seragam peraju- rit itu dipimpin oleh Sogudai, seorang keturunan Mongol yang mengabdi kepada Raja Mo Tan. Rombongan itu merupa-kan sebagian dari pasukan besar Raja Mo Tan yang mulai menyusup ke wila¬yah Tiong-goan.
Ternyata berita tentang Pangeran Liu Wan Ti itu telah diketahui pula oleh Raja Mo Tan. Bahkan raja dari berba¬gai suku bangsa liar di luar- Tembok Be¬sar itu sudah menyusun rencana untuk menyerbu Kerajaan Han.
Demikianlah, selagi Jenderal Au-yang sendiri sibuk dengan rencana pengkhia¬natannya, Raja Mo Tan justru mulai me¬nabuh genderang perangnya. Panglima Solinga dengan pasukan besarnya telah berangkat menuju ke benteng Kong-sun Goanswe. Sedangkan panglima-panglima Raja Mo Tan yang lain, seperti Pangli¬ma Yeh Sui dan Huang Yin, berangkat ke timur dan ke selatan. Mereka berdua diperintahkan untuk memotong bala ban¬tuan yang datang dari Tiong-goan. Dan di dalam rombongan pasukan yang menu¬ju ke timur itulah kelompok pasukan Sogudai berada.
Seperti halnya Panglima Solinga, Panglima Yeh Sui dan Panglima Huang Yin merupakan jago-jago yang handal. Bahkan seperti halnya Panglima Solinga, mereka berdua juga memiliki kesaktian yang hebat pula. Perbedaan mereka ha¬nyalah dalam usia. Panglima Yeh Sui dan Huang Yin adalah jago-jago tua yang berusia lebih dari lima puluh tahun, se¬mentara Panglima Solinga yang anak ke¬turunan suku Mongol itu masih sangat muda.
! Di dalam penyamarannya ini Panglima Yeh Sui membawa lima ribu orang pera-jurit. Dan untuk mengurangi kesan seba¬gai sebuah barisan besar ataupun arak-arakan prajurit, Panglima Yeh Sui mem¬bagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok terdi¬ri dari empat puluh atau lima puluh orang, dan dipimpin oleh seorang pemim¬pin kelompok. Mereka sengaja menyamar seperti rakyat biasa, agar perjalanan itu tidak terlalu menarik perhatian orang. Mereka berjalan berombongan, kelompok demi kelompok, seakan-akan rombongan pengungsi yang melarikan diri dari daerah perbatasan.
Namun di sepanjang jalan pasukan itu banyak membuat kesengsaraan penduduk, apalagi tingkah laku mereka sering tidak terkendali. Mereka merampas dan menjarah rayah persediaan pangan penduduk, bahkan mereka berlaku kasar terhadap wanita, sehingga acapkali timbul kerusuahan diantara mereka dengan penduduk setempat, dan kadangkala kerusuhan yang mereka timbulkan itu berkembang menjadi pertempuran-pertempuran kecil di sepanjangan perjalanan mereka, akibatnya bisa diduga, banyak penduduk yang tidak tahu memegang senjata menjadi korban kebrutalan mereka.
Penduduk desa menganggap pasukan itu sebagai gerombolan pengungsi yang bertindak brutal karena kelaparan, sehingga mereka terpaksa menjadi perampok. Sama sekali mereka tidak menduga kalau gerombolan itu adalah pasukan asing yang hendak menduduki negeri mereka.
Akhirnya situasi seperti itu mengundang simpati para pendekar di seluruh negeri, tanpa diundang mereka datang dari propinsi kiangsu, siang si, ho pak, san tung dan sekitarnya, mnereka mencoba membantu penduduk mengatasi gerombolan tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian muncul beberapa kelompok kekuatan yang lebih tersusun rapi dan memiliki pandangan lain terhadap kemelut di daerah itu, mereka terdiri dari kelompok para pendekar yang dianggap mampu memimpin mereka.
Demikianlah belasan orang dari rombongan Ciang Kwaan Sit itu harus menghadapi pasukan Sogudai yang berlipat ganda banyaknya, meskipun demikian karena mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, maka untuk sementara mereka dapat bertahan dengan baik. Mereka tetap melawan dengan semangat tinggi.
Tapi bagaimanapun juga jumlah mereka terlalu sedikit, satu banding empat dalam sebuah pertempuran tetap merupakan masalah yang serius. Walaupun mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang baik, namun di pihak Sogudai ter¬dapat pula jago-jago gulat yang tangguh. Bahkan beberapa saat kemudian Sogudai dan dua orang pengawalnya telah menun¬jukkan keunggulannya. Beberapa orang anak buah Ciang Kwan Sit terlempar dari arena pertempuran.
Peristiwa itu semakin membesarkan hati anak buah Sogudai. Mereka lalu me¬ngamuk dan berkelahi seperti serigala haus darah. Apalagi sebagai suku-suku liar dari padang rumput, mereka memang sangat mahir berkelahi dalam kelompok. Di daerah mereka, mereka sudah terbiasa bertarung dalam kelompok melawan hari¬mau ataupun kuda-kuda liar. Dan kini mereka mulai bersikap seperti itu pula. Mereka berkelahi seperti kawanan seriga¬la yang sedang mengepung binatang mangsanya.
Ciang Kwan Sit menjadi marah. Di kalangan keprajuritan dia merupakan seorang perwira menengah yang disegani. Ilmu cambuknya tidak ada duanya di jajaran pasukan rahasia. Kini melihat anak buahnya terdesak, kemarahannya tak bisa ditahan lagi. Tangannya segera mengurai cambuk baja yang terbelit d pinggangnya. Lalu dengan garang ie menghentakkan ujungnya!
Thaaaaaar! Taaaaar....!
Dua orang anak buah Sogudai ter¬jungkal roboh!
"Gila! Kubunuh kau...!" Sogudai men¬jerit marah.
Tubuh Sogudai yang tinggi besar itu meloncat ke atas melampaui kepala anak buahnya. Dari ujung lengan bajunya me lesat sebuah belati ke arah Ciang Kwai Sit! Siiiiiingjj
Sekali lagi Ciang Kwan Sit menghen takkan cambuknya. Kini ditujukan ke arah datangnya belati. Taaaas! Ujung cambuknya menghantam badan belati tersebut sehingga arahnya melenceng ke kanan.
     

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT