PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 18

 


TAPI keadaan itu justru membuat hati Ho Bing semakin mantap. Dia sudah siap untuk mati bersama kalau perlu.

"Yok Ciang-bun, kau tidak punya kesempatan untuk lari lagi sekarang. Di atas tentu sudah berkumpul ratusan pendekar yang hendak menangkapmu. Di sini pun kau juga tidak mempunyai pilihan lain. Kau memang gampang membu¬nuh aku. Tapi kalau botol yang kubawa ini jatuh dan pecah, hehehe... ruangan ini akan penuh asap beracun yang mematikan!"
Ho Bing mengancam.

Yok Si Ki mendengus. "Huh! Kaukira aku takut menghadapi mereka? Hehe, sekarang pun aku juga siap untuk kembali ke atas lagi. Aku mengejarmu karena aku tak ingin kehilangan kau. Kau harus mati dulu sebelum aku bertempur dengan mereka."

Keringat dingin mengalir membasahi punggung Ho Bing. Tampaknya Yok Si Ki benar-benar ingin membunuh semua lawannya.

"Baiklah, kalau memang itu yang Tuan inginkan...." Ho Bing berdesah sam¬bil mengangkat botol itu ke atas kepalanya.

"He! Tunggu!" Yok Si Ki tiba-tiba berteriak khawatir.

"Tidak peduli! Lebih baik kita mati bersama!"

"Jangan! Jangan! Aku... aku...? Baiklah, aku menyerah! Katakan apa maumu, nanti kita rundingkan lagi.”

Ternyata Yok Si Ki menjadi takut juga. Ruangan itu kedap udara, sementa¬ra pintu keluarnya juga terbuat dari besi yang hanya bisa digerakkan dengan kunci rahasia pula. Kalau asap beracun itu benar-benar ditebarkan oleh Ho Bing, maka dalam waktu singkat dia' tak mungkin bisa mendobrak pintu tersebut.

Ho Bing menahan tangannya. Matanya memandang Yok Si Ki.

"Baiklah, Yok Ciang-bun. Aku tak akan membanting botol ini asal kau memberikan gadis itu dan mengembali¬kan uang tadi kepadaku."

Wajah Yok Si Ki menjadi merah. "Kau memang patut mati!" Ia mengge¬ram dengan suara tertahan.
Tapi Ho Bing seperti tak mempeduli-kan lawannya. Botol racun itu segera di¬angkat kembali ke atas kepalanya.


"Silakan! Kita mati bersama-sama." Ucapnya sambil mengayunkan tangannya ke bawah.


"Baik! Baik! Bangsat! Terimalah ini! u kembalikan semuanya kepadamu!" Saking khawatirnya Yok Si Ki melem¬parkan tubuh Tio Ciu In begitu saja, sehingga gadis itu jatuh berdebam di atas lantai. 


Kemudian dengan tergesa-gesa pula tangannya mengeluarkan uang pemberian Ho Bing tadi dan melempar¬kannya kepada pengemis itu.

"Aduh...! Kalian semua manusia jahat dan keji! Lepaskan aku!" Tio Ciu In me¬lengking kesakitan.


Ho Bing tidak jadi membanting botol¬nya. "Bagus. Ternyata Yok Ciang-bun masih dapat berpikir jernih juga. Seka¬rang silakan Yok Ciang-bun keluar! Aku akan membuka pintunya dari sini."
Tapi Yok Si Ki tidak beranjak dari tempatnya. Ketua Tai-bong-pai itu justru melipat lengannya di depan dada. Sikap¬nya menjadi tak acuh.


"Huh!" Dia berdesah melalui hidung¬nya. "Jangan dikira hanya kau yang cer¬dik dan tidak takut mati. Kini keadaan¬ku sama dengan keadaanmu tadi. Tidak ada plihan lain selain tergantung pada keinginan lawan. Dan... aku juga siap pu¬la menghadapinya seperti engkau tadi. Terserah kepadamu, kau pilih yang ma¬na. Kalau pilih mati, yah... banting saja botolmu itu! Dan aku segera akan mem¬bunuhmu sebelum racun itu menghenti¬kan detak jantungku! Tapi kalau kau ingin tetap hidup, hehehe... terpaksa kita harus saling bahu-membahu keluar dari tempat ini! Nah, bagaimana? Pikir¬kanlah dengan baik, karena nyawa kita saling bergantung satu sama lain. Kalau salah satu ingin mati, yah... matilah se¬muanya! Keputusan kuserahkan kepada¬mu!"


"Maksud Yok Ciang-bun...?" Keringat dingin semakin deras mengalir dari pung¬gung Ho Bing.


Yok Si Ki tertawa dingin. "Aku tahu bahwa sebenarnya kau masih ingin tetap hidup kalau diberi kesempatan. Begitu pula dengan aku saat ini. Sebenarnya aku ingin sekali membunuhmu. Tapi kalau aku membunuhmu, maka kau tentu akan se¬gera meledakkan botol racunmu itu se¬hingga aku pun tidak akan dapat menye¬lamatkan diri. Maka aku memilih tidak membunuhmu agar aku juga tetap hidup pula. Bahkan aku rela menyerahkan kem¬bali gadis dan uangmu. Tapi..."


"Tapi... apa?"


Yok Si Ki tertawa dingin. "Tapi... jangan kauanggap aku ini bodoh dan mudah ditipu. Hehehe, kulihat kau sangat yakin bisa menyelamatkan diri di ruang¬an ini, padahal pintunya cuma terbuat dari besi yang mudah dirusakkan. Para pengemis itu akan mudah sekali menjebolnya. Aku curiga kau mempunyai jalan rahasia lain di ruangan ini, hehehe."


Ho Bing benar-benar kaget melihat kecerdikan lawannya. "Yok Ciang-bun, aku..." Serunya gugup.


"Nah, melihat roman mukamu dan su¬aramu yang gemetar, aku semakin ya¬kin bahwa kau memang menyembunyikan pintu rahasia itu!"


Ho Bing semakin pucat. "Yok Ciang-bun, ini... ini..."


Yok Si Ki menggeram. "Ayoh, cepat¬lah! Orang-orang itu sudah berada di ru¬ang tengah. Sebentar lagi mereka akan tiba di depan pintu. Kau tidak ingin mati, bukan?"


"Tapi... tapi... maukah Yok Ciang-bun berjanji? Berjanji tidak akan... membunuh aku dan mengambil gadis itu?" Dalam keadaan tegang dan terburu-buru Ho Bing masih mencoba untuk menekan lawannya.


Yok Si Ki memandang geram. VBo-doh! Tentu saja aku takkan membunuhmu! Kalau 'aku memang ingin membunuh¬mu, buat apa harus bertele-tele begini? Bunuh saja dan habis perkara! Masa aku tak bisa mencari sendiri pintu rahasia¬mu itu? Kalaupun tidak bisa, masa aku juga tidak dapat meloloskan diri dari kepungan mereka?"


Dok! Dok! Tiba-tiba pintu ruangan itu digedor dari luar!
Ho Bing terkejut. Pintu itu memang kuat, tapi tak mungkin bertahan kalau digedor terus menerus dengan benda yang kuat.


"Ayoh cepat! Sebentar lagi pintu itu akan jebol!" Yok Si Ki menghardik.


Akhirnya Ho Bing menurut juga. "Ba¬iklah, Yok Ciang-bun... aku percaya ucapanmu!" Katanya menyerah sambil menyambar tubuh Tio Ciu In, lalu me¬lompat ke pojok ruangan.


Yok Si Ki tak mau lepas dari Ho Bing. Melihat pengemis kelimis itu meloncat, ia segera menempel di belakangnya. Pengemis itu menyodokkan ujung tongkatnya ke susunan batu-bata paling bawah, dan dinding itu sekonyong-konyong bergeser dengan suara gemuruh. Lalu beberapa saat kemudian diantara dua dinding itu terbuka sebuah celah sempit selebar tubuh manusia.


tidak banyak! Celah ini akan segera tertutup kembali."


Benar juga. Begitu Yok Si Ki masuk ke dalam celah, dinding itu berderak keras menutup lagu
Lorong rahasia itu benar-benar gelap sekali. Jangankan melihat lawan, memandang tangan sendiri pun tak bisa. Tapi, bagi jago silat seperti mereka, hal itu bukanlah halangan. Apalagi bagi Yok Si Ki, dengan naluri dan perasaannya yang terlatih, ketua Partai Tai-bong-pai itu mampu membaca keadaan di sekitarnya dengan baik. Dan Ho Bing tahu benar akan hal itu. 1 1 *■1


Sementara itu untuk menghilangkan rasa takutnya Tio Ciu In mulai menya¬nyi lagi. Meskipun suaranya menjadi ka¬cau karena tubuhnya terguncang dalam pondongan Ho Bing, namun ia tidak pe¬duli. Dia terus menyanyi sebisanya.


"Diam kau!" Yok Si Ki membentak.


"Biar saja Yok Ciang-bun! Lorong ini berada di bawah tanah dan sudah jauh dari pondok itu, tak seorang pun dapat mendengar suaranya. Biarkan saja...! Hitung-hitung dapat hiburan."


"Huh!" Yok Si Ki mendengus, lalu diam kembali.


Sepeminuman teh kemudian, setelah berbelak-belok ke sana ke mari, akhirnya lorong itu mulai terasa lembab dan agak basah. Lapat-lapat mulai terdengar suara air.


"Nah, sekarang berhentilah bernya¬nyi! Kalau tidak... hmm, akan kucium bibirmu sampai tak bisa bernapas!" Tiba-tiba Ho Bing mengancam Tio Ciu In.


Ancaman itu lebih menakutkan daripada ancaman mati. Kontan saja Tio Ciu menghentikan nyanyiannya.


Ketika Yok Si Ki melihat cahaya sa¬mar-samar di ujung terowongan, wajahnya tampak lega dan gembira.


"Kita hampir sampai di atas tanah lagi?"


"Belum, Yok Ciang-bun. Itu hanya cahaya kunang-kunang...."


"Kunang-kunang?' Sama saja! Kunang-kunang juga hidup di udara terbuka."


"Bukan, maksudku bukan kunang-kunang, tapi... serangga lain yang tubuh- nya bersinar seperti kunang-kunang." Ho Bing buru-buru menerangkan.


Benar juga. Keluar dari lorong itu, mereka belum juga sampai di atas. Me¬reka justru masuk ke dalam lorong yang lebih luas dan lebih lebar lagi. Dan Yok Si Ki menjadi kaget ketika kakinya mengijak air yang mengalir.


"Hati-hati, Yok Ciang-bun! Jangan terlalu ke tengah! Kita berada di sungai bawah tanah! Berpeganglah terus pada dinding gua ini!" Ho Bing memperingatkan.


"Gila! Akan sampai di mana lubang gua ini?"


Ternyata timbul juga perasaan khawatir di hati Yok Si Ki. Walaupun ba¬ngunan partai Tai-bong-pai juga didiri¬kan di sebuah kuburan kuno, di mana di dalamnya juga memiliki lorong-lorong rahasia seperti liang tikus, tapi lorong gua yang diinjaknya sekarang tetap saja membuatnya ngeri dan kecut. Apalagi jika melihat cahaya-cahaya kebiruan yang bertebaran di sekelilingnya. Cahaya yang timbul dari tubuh serangga-serangga kecil di dalam gua itu bagaikan mèta kawan¬an iblis yang sedang mengintai mereka.


"Sungai ini akan bermuara di laut, di Pantai Sarang Lebah." Ho Bing men¬jawab tanpa menghentikan langkahnya.


"Kau maksudkan Gua Seribu Jalan itu...?"


Ho Bing berhenti sehingga Yok Si Ki hampir saja menabraknya. "Oh, Yok Ci¬ang-bun juga sudah pernah ke sana..? Memang benar, pantai itu banyak dikenal orang karena keanehannya. Selain memi¬liki tebing yang curam dan batu karang besar-besar, pantai itu juga memiliki ra¬tusan lubang gua, sehingga orang menye¬butnya... Pantai Sarang Lebah... Gua Se¬ribu Jalan, dan sebagainya. Dan lorong ini memang bermuara di sana. Yok Ci¬ang-bun dapat melihatnya nanti. Tapi se¬belum itu, lorong gua ini akan terpecah dan bercabang-cabang seperti liang semut....."


Apa yang dikatakan Ho Bing memang benar. Di dalam keremangan cahaya ra¬tusan atau ribuan serangga tadi, Yok Si Ki melihat bahwa sungai itu beberapa kali berbelok dan berpecah menjadi be¬berapa jurusan. Begitu seringnya aliran sungai itu bercabang menjadi beberapa jurusan, sehingga Yok Si Ki tak bisa mengingat lagi, berapa kali mereka telah berbelok dan berganti arah.


"Gila! Jangan-jangan kita terjebak di lorong ini, berputar-putar sampai tua! Ho Bing...! Bagaimana kau dapat memi¬lih arah yang benar? Apakah kau pernah melewatinya?" Yok Si Ki menggeram. Suaranya sedikit bergetar oleh rasa ngeri.


"Jangan khawatir, Yok Ciang-bun! Aku sudah dua kali melewati terowong¬an ini. Kelihatannya memang membi¬ngungkan, tapi sebenarnya sangat mudah. Asalkan kita selalu mengikuti arus air ini, kita tentu akan sampai juga di laut. Pokoknya jangan sekali-kali melawan arus."


"Benar juga...." Yok Si Ki membatin.


Namun demikian suara gemuruh di terowongan itu tetap saja mengejutkan hati Yok Si Ki. Apalagi ketika dasar sungai itu menjadi semakin dalam, sehingga air itu rasanya merambat naik dan hendak menelan mereka.


Ternyata rasa ngeri tersebut juga di¬rasakan pula oleh Tio Ciu In. Dalam ke¬adaan tertotok lemas seperti sekarang, gadis itu merasa seperti burung tak bersayap, yang tak mampu berbuat apa-apa bila bahaya datang." Beberapa kali ter¬lintas di benak gadis-itu,„ .kalau tiba-tiba mereka terperosok ke dalam air dan dia terlepas dari gendongan Ho Bing! Kalau hal itu sungguh-sungguh terjadi, maka tiada lain nasibnya selain tengge¬lam secara mengenaskan!


"Lepaskan aku...! Biarlah aku berjalan sendiri!"


"Benar, Ho Bing. Biarlah dia berjalan sendiri agar langkahmu menjadi lebih ce¬pat." Yok Si Ki berkata pula.


Ho Bing yang merasa lelah juga meng gendong Tio Ciu In, akhirnya mau juga menurunkan gadis itu dan memunahkan totokannya.


"Tapi ingat..., Nona! Kau jangan terlalu jauh dariku! Sekali kakimu salah menginjak lubang sumur, maka arus air akan menyeretmu ke dalam sumur-sumur gelap tak berujung! Ketahuilah, di tengah tengah sungai ini banyak lubang sumur yang dihuni ular berbisa."


Suasana di gua itu tetap gelap guli¬ta. Namun demikian Tio Ciu In tetap saja menutup dadanya yang terbuka itu dengan wajan merah padam.


"Oc-ouh...!" Gadis itu menjerit kecil ketika tiba-tiba kakinya menginjak bagi¬an yang agak dalam.
Bayangan lubang sumur berisi ular berbisa segera membuat Tio Ciu In men¬jadi ketakutan, sehingga air yang mengalir di sela-sela kakinya terasa seperti gesekan tubuh ular yang hendak membe¬lit tubuhnya.


"Bagaimana kalau seandainya... permukaan air sungai ini menutupi seluruh lubang gua...?" Yok Si Ki tak bisa me¬nyembunyikan kekhawatirannya.


Ho Bing tersenyum, meskipun senyum itu tak bisa terlihat oleh lawan-lawan¬nya. "Yah, apa boleh buat, kita terpak¬sa kembali lagi ke tempat semula untuk mencari lubang yang lain."


"Huh...!?" Yok Si Ki menggerutu.


Sebenarnya menyesal juga Yok Si Ki mengikuti Ho Bing ke dalam lubang neraka itu. Rasanya lebih mudah baginya menghadapi keroyokan para pengemis ta¬di daripada harus melewati bahaya se-perti itu. Paling tidak, di dalam pertempuran, kesempatannya untuk tetap hidup akan lebih banyak daripada mengadu nasib di tempat itu.


Waktu rasanya berjalan terlalu lambat dan mereka merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama. Begitu ba¬nyaknya lubang yang mereka hadapi, sehingga mereka tak tahu lagi berapa ba¬nyak mereka berganti arah. Tentu saja semuanya menjadi tegang dan takut. Ta¬kut salah jalan dan mati sia-sia di tem¬pat yang mengerikan itu.


"A-aku... ta-takut! Bo-bolehkah aku menyanyi lagi... agar rasa takutku ber¬kurang?" Tiba-tiba Tio Ciu In yang me¬langkah di samping Ho Bing berdesah pelan. Pelan sekali, namun sudah cukup un¬tuk mengejutkan Yok Si Ki yang sedang kalut pikirannya.


"Apa katamu?" Yok Si Ki membentak, sehingga Tio Ciu In tersentak ketakutan.


"Aaaah, mengapa berteriak-teriak begitu, Ciang-bun? Suaramu justru akan membangunkan Hantu Penunggu Gua ini ..." Ho Bing cepat menengahi. "Biarlah gadis ini menyanyi. Dalam saat begini, rasanya kita memang membutuhkan hi¬buran untuk mengurangi ketegangan."


Yok Si Ki tak menjawab dan untuk beberapa saat mereka tak berbicara. Mereka berjalan sambil berpegangan nada dinding gua.


"Baiklah! Menyanyilah sesukamu...!" Akhirnya Yok Si Ki berkata dengan suara rendah.


"B-benarkah...?" Tio Ciu In bertanya Wajahnya berseri penuh harapan.


•'Menyanyilah...!" Ho Bing tertawa. "Jangan khawatir, aku takkan mencium bibirmu! Hohohoho!"


Entah mengapa, Tio Ciu In masih te¬tap berharap akan datangnya pertolongan dari Pendekar Buta itu. Bahkan Tio Ciu In juga percaya bahwa pendekar sakti itu akan menepati janjinya, menolong dia dari tangan penjahat-penjahat tersebut. Oleh karena itu dengan sangat ber¬semangat dia bernyanyi lagi.


Apabila di malam gelap gulita
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama,
Malampun bagai tersentak dari tidurnya
Menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku......?
Aku selalu mengharap kedatanganmu!


Selesai menyanyikan bait pertama, Tio Ciu In lalu meneruskan lagi dengan bait selanjutnya.


Semalam penuh aku duduk sendiri, 

Mengenang wajahmu dalam bayangan, 
Kutanya Sang Bulan bila ada pesanmu,
Jatuhkan saja ke dalam pangkuanku!
Kekasihku.
Aku selalu mengharapkan kedatanganmu.


Suara Tio Ciu In memang lembut. Meskipun gemetaran, namun nada suara-ya benar-benar cocok untuk lagu itu ramanya terdengar sendu dan menyedihan, sehingga Yok Si Ki dan Ho Bing seperti terhanyut dalam kesepian pula.

"Wah, kau pandai benar menyanyi. Yok Si Ki memuji.


"Benar. Dan rasanya... suasana juga tidak menjadi tegang lagi." Ho Bing meambahkan sambil tertawa. io Ciu In'mengambil .napas dalam- dalam, siap untuk mengulang kembali lagunya. Tapi ketika lagu itu hampir terepas dari bibirnya, sekonyong-konyong dari arah depan terdengar suara suling melengking menyayat hati! Suaranya mengalun tinggi dalam lagu yang sama, lagu "Menanti Kekasih"!


Yok Si Ki dan Ho Bing tersentak kaget! Di dalam gua bawah tanah seperti itu ada orang meniup suling? Siapakah dia? Hantu? Tiba-tiba Yok Si Ki menyambar leher Ho Bing. Wuuuuut! Dan Ho Bing sama sekali tak bisa menghindar! Jalan darah Hong-to-hiat di leher pengemis itu telah dicengkeramnya.


“Kau punya teman di sini? Huh!"-Mata Ho Bing mendelik ketakutan, Jangan! Ja-jangan lakukan! Ciang-bun...kau keliru! Kau salah sangka! Aku tidak tahu siapa dia!" Pekiknya dengan suara. parau.


"Bohong...! Siapa orang yang mau berada di tempat ini selain orang sendiri?" menambahkan sambil tertawa. 


Ho Bing terbatuk-batuk hampir kehabisan napas. Keringat dingin segera membanjir membasahi dahinya, "Nanti dulu...! Tempat ini sudah dekat dengan pantai sarang lebah! Si-siapa t-t-tahu... suara itu terbawa angin darisana dan masuk ke dalam gua ini?" , Sambil berbicara Ho Bing mencoba melepaskan diri, tapi tak bisa. Cengke raman itu seperti menyumbat seluruh saIuran tenaga saktinya, membuat kekuatannya hilang entah ke mana.

Cengkeraman itu mengendor sedikit.


"Apa? Sudah dekat dengan pantai?" Yok Si Ki menggeram.


"Be-benar! Satu tikungan lagi kita akan tiba di Gua Besar! Dari tempat ini sudah kelihatan lubang keluarnya...!"


"Benarkah...?" Yok Si Ki melepaskan tangannya. "Awas kalau kau berbohong!"


"Oough...!" Ho Bing berdesah sambil mengusap lehernya yang kemerah-merahan bekas jari.


Di pihak lain suara suling itu bagaikan air kehidupan yang menetes ke dalam jiwa Tio Ciu In. Begitu lega rasa nya. Begitu gembira hatinya. Siapa lagi yang meniup suling itu selain Si Pendekar Buta?
Tapi untuk menghindari kecurigaan lawannya, Tio Ciu In sengaja berpura-pura tidak tahu. Dia tetap menyanyi, se¬olah-olah tidak mendengar suara suling tersebut.


"Diam...kau!" Yok Si Ki membentak. "Ho Bing, mari kita lihat siapa orang itu.


Mereka lalu bergegas menyusuri lo¬rong gua itu lagi. Dan beberapa saat kemudian lorong itu benar-benar menikung ke kiri.


"Yok Ciang-bun, lihat! Bau air laut sudah terasa, bukan? Tuh, di depan...! Kita sudah sampai di Gua Besar!" Ho Bing yang berada di depan berseru lega.


Yok Si Ki menyusul. Pandangannya segera terbentur pada sebuah gua besar bercahaya remang-remang, di mana pa¬da dinding-dindingnya terdapat banyak lubang besar yang mengalirkan air dari dalamnya. Dan jauh di ujung sana, bebe-I rapa buah lubang kosong tampak menyo¬rotkan sinar yang menyilaukan.


"Itu dia lubang keluarnya!" Ho Bing bersorak gembira. Jarinya menunjuk ke arah lubang yang menyilaukan itu.


Aliran sungai itu ternyata tidak me¬menuhi permukaan lantai di Gua Besar. Airnya hanya mengalir di tengah-tengah gua, di antara bongkahan batu-batu be¬sar yang berserakan di tempat itu. Suaranya gemericik menyejukkan hati. Se¬mentara di bagian atas gua itu banyak sekali kelelawar bergelantungan. Bina¬tang-binatang malam itu mengeluarkan suara mencicit tak henti-hentinya.


"Heran? Ke mana suara suling tadi? Mengapa tiba-tiba menghilang?" Ho Bing bergumam heran.


Tak ada jawaban. Semuanya mema¬sang mata dan telinga. Yok Si Ki juga mengerahkan seluruh kemampuannya un¬tuk memeriksa tempat itu. Tempat yang sangat sulit, karena selain gelap juga ba¬nyak batu besar berserakan. Sangat sulit mencari sosok manusia di tempat seperti itu.


"Tampaknya orang itu memang berada di luar gua...." Yok Si Ki membatin.


Ketika mereka bertiga bergeser ke depan, sebuah benda hitam yang sejak semula mereka sangka batu karang, mendadak bergerak dan berdiri di depan mereka! Begitu mengejutkan sehingga gadis seperti Tio Ciu In sampai terpekik saking kagetnya!


"Apakah Cu-wi ingin mendengarkan suara sulingku lagi...?" Benda hitam yang tiada lain adalah seorang manusia mengenakan mantel kehitaman itu tiba-tiba berkata pelan.


"K-kau... siapa?" Ho Bing buru-buru menyapa.


Tapi Tio Ciu In segera mengenali orang itu. Tubuh yang tinggi kurus, de¬ngan rambut panjang menutupi bahu, si¬apa lagi kalau bukan Si Pendekar Buta?


"Locianpwe...?" Tio Ciu In berbisik.


Orang itu tidak menjawab. Dia malah mengangkat sulingnya. Tapi sebelum suling itu ditiup, Yok Si Ki sudah lebih dulu melesat ke depan orang itu.


"Tahaaaaan...!" Teriak Ketua Tai-bong-pai itu keras.


Orang itu tak lain adalah Si Pendekar Buta itu, menurunkan sulingnya kembali. "Tuan siapa? Apakah Tuan ingin meniup sulingku juga?"


"Jangan bergurau! Aku Yok Si Ki, Ketua Partai Tai-bong-pai angkatan ke tujuh! Siapakah kau? Rasanya aku belum pernah melihatmu di dunia persilatan...."


Tak terduga Pendekar Buta itu berdesah panjang sekali. Wajahnya yang tertutup rambut itu mendongak ke atas, sehingga dari kejauhan penampilannya benar-benar seperti kembar dengan Yok
Si Ki. Sama-sama jangkung, kurus dan berambut panjang. Perbedaan mereka hanya pada warna rambut dan warna kain yang mereka pakai. Kalau Yok Si Ki berambut hitam dan berpakaian serba putih, sebaliknya Pendekar Buta menge¬nakan pakaian serba gelap dan rambut¬nya sudah bercampur putih.


"Aku memang jarang keluar dari pertapaanku! Tentu saja Tuan tidak mengenal aku! Orang biasa menyebutku... Si Buta!"


"Kau... buta?" Yok Si Ki terperanjat.


Pendekar Buta itu mengangguk. "Apakah Tuan merasa kaget? Kaget menyaksikan orang bermata buta seperti aku bisa sampai di tempat ini? Ah, maaf... Tuan tak usah kaget! Aku memang tinggal di sini. Gua ini... tempat tinggalku."


"Namamu Si Buta? Kau tinggal di sini? Hmmh, jangan main-main! Katakan saja terus terang... Siapa namamu sebenarnya?"


"Maaf Aku sudah lama tidak berhubungan dengan orang lain. Aku sudah melupakan namaku. Tapi sejak aku keluar lagi, orang memanggilku Si Buta, dan aku menerimanya. Jadilah namaku sekarang Si Buta!"


Sementara itu, Tio Ciu In yang sejak tadi merasa belum diperhatikan oleh Pendekar Buta, segera melangkah ke depan.


"Locianpwe...? Kau... kau mendengar suara nyanyianku tadi, bukan?" Tio Ciu In berbisik dan mencoba mendekat.


Tapi Ho Bing segera membentak. "Mau ke mana kau? Cepat... ke sini!"


Namun entah bagaimana cara bergeraknya, tiba-tiba Si Pendekar Buta itu telah berada di antara Tio Ciu In dan Ho Bing! Demikian cepatnya sehingga tokoh seperti Yok Si Ki pun sampai kecolongan! Pada saat menangkap gerakan lawan, Ketua Tai-bong-pai itu cepat mengangkat kakinya, namun terlambat. Orang buta itu telah berdiri di dekat Tio Ciu Ih. Bahkan Ho Bing yang hanya tiga langkah jaraknya dari gadis itu tak mampu berbuat banyak.


"Gila...! Karena terlalu meremehkan orang, maka aku jadi kehilangan selangkah di belakangnya!" Yok Si Ki menggeram.


Pendekar Buta membawa Tio Ciu In ke samping. "Ya, Nona Tio... burung elangku memang mendengar suaramu dan memberitahukannya kepadaku. Emm... aku tidak terlambat, bukan?"


"Tidak Locianpwe... aku tidak apa-apa."


"Syukurlah...!" Orang tua itu berdesah lega.


"Burung elang...? Oh-oh, jadi burung elang putih itu kepunyaanmu?" Ho Bing tersentak kaget. 


"Awas, Yok Ciang-bun! Tampaknya orang ini adalah Pendekar Buta yang dikatakan oleh pelayan rumah makan itu!"

Tiba-tiba Si Buta itu menoleh ke arah Ho Bing. Keningnya yang tertutup itu berkerut.


"Pelayan rumah makan? Apakah hubungannya pelayan itu dengan Ji-wi ber¬dua? Ah, ya-ya... aku tahu. Ji-wi tentu kawan si pengacau dari luar Tembok Besar itu, bukan?" Tak terduga Pendekar Buta itu memotong ucapan Ho Bing.


Tio Ciu In cepat meraih lengan penolongnya. "Locianpwe, kau benar. Pengemis jahat ini memang orang upahan Mo Goat, gadis dari luar Tembok Besar itu. Dia mau membunuhku!"


"Sudahlah, Nona Tio. Kau tak perlu khawatir. Yok Si Ki adalah tokoh terkemuka di dunia persilatan. Dia seorang ke tua partai persilatan yang dihormati orang. Tentu saja dia takkan mau menghina seorang gadis muda seperti engkau. Kau akan...."


"Cukup!" Yok Si Ki berteriak. "Kau tidak perlu mengejek aku! Aku memang tidak berniat mengganggunya! Aku lebih tertarik kepada kepalan tanganmu!"


"Sudahlah Yok Ciang-bun... aku tidak ingin bertentangan denganmu. Aku sudah bosan berkelahi. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan hanya akan menimbulkan rasa sakit. Sakit di badan atau pun sakit di hati. Tak ada kedamaian dan kebahagiaan yang diper¬oleh dari jalan kekerasan!"


Bukan main berangnya hati Yok Si Ki. "Aku tidak butuh ceramahmu! Aku butuh pukulan dan tendanganmu! Nah, apakah kau takut berhadapan dengan aku?"


Ternyata Pendekar Buta tidak goyah oleh tantangan lawan. Pendekar itu justru menarik lengan Tio Ciu In dan mengajaknya pergi.


Tio Ciu In' memandang penolongnya dengan perasaan kagum. "Kau memang hebat, Locianpwe! Dari sikapmu aku bisa melihat bahwa sebenarnya kau tidak takut kepadanya. Namun demikian ternyata kau tidak melayani tantangannya! Kata Guruku, sikap seperti itu baru bisa dicapai orang setelah dia bisa mengalahkan dirinya sendiri."


Pendekar itu tersenyum kecut, lalu mengeleng. "Kau keliru, Nona Tio. Aku bukan manusia seperti itu. Aku memang benar-benar sudah bosan berkelahi."


"Hei! Berhenti...! Enak saja kau membawa gadisku!" Tiba-tiba Ho Bing meloncat dan berteriak lantang.


Tio Ciu In d
an Pendekar Buta berhenti melangkah, lalu dengan berani gadis itu menghadapi Ho Bing.

"Pengemis jahat, kau mau apa? Minta digebuk...?" Sekarang di bawah perlindungan Pendekar Buta, Tio Ciu In I menjadi galak dan tidak takut lagi kepada lawan-lawannya.

Ho Bing terkejut. Sesaat ada juga rasa keder melihat orang buta di belakang gadis itu. Namun menyaksikan Yok Si Ki juga melesat datang dan berdiri di sebelahnya, hatinya menjadi besar kem-bali.


"Hohoho... kau menjadi galak sekarang! Tapi... tidak apa-apa. Aku justru senang menghadapi gadis bersemangat! Marilah, sayang...!" Ho Bing mengembangkan lengannya dan maju ke depan.


Tangan Pendekar Buta menyentuh bahu Tio Ciu In dari belakang. "Nona, kau siap menghadapi dia...?" Dia berbisik perlahan.


Tio Ciu In mengangguk. "Aku akan mencobanya...."


"Baiklah. Tapi... kau harus berhati-hati! Dari suara langkah kakinya, dia tentu memiliki ilmu silat tinggi. Tapi, terserah kau. Aku... akan menjaga orang yang bernama Yok Si Ki itu. Tampaknya dia lebih berbahaya daripada temannya. Nah, demi keamananmu... bawalah sulingku ini! Selipkan di pinggangmu! Suaranya bisa menjadi pedoman bagiku untuk mengikuti gerakanmu." Pendekar Buta itu berbisik lagi di telinga Tio Ciu In.


Tio Ciu In menerima suling itu dan menyelipkannya di balik tali pinggang. Setelah itu kakinya melangkah ke depan sambil mengayunkan tangan kiri, menyongsong kedatangan Ho Bing. Entah kapan ia mencabut senjatanya, tapi yang jelas tangan itu telah memegang sepasang pedang pendek.


"Bagus...!" Ho Bing memuji sambil mengayunkan tongkatnya untuk menangkis.


Traaaaang! Bunga api muncrat ber¬hamburan menerangi gua itu.


Keduanya bergetar mundur. Ho Bing tergetar selangkah ke belakang, sementara Tio Ciu In terdorong empat lang¬kah lebih banyak.


Seperti tahu saja, Pendekar Buta itu berbisik dengan ilmu Coan-im-jib-bit. "Jangan terlalu sering mengadu tenaga! Lebih baik kau mengambil keuntungan dengan pedang pendekmu. Dia memang lebih kuat, tetapi tidak segesit gerakan¬mu. Pedangmu dapat meluncur lebih ce¬pat daripada tongkat besinya. Lawanlah dari jarak dekat. Jangan terlalu jauh. Nah, apabila beruntung kau akan bisa mengalahkannya."


Tio Ciu In melirik heran. Rasanya orang tua itu seperti tidak buta saja, dan bisa melihat apa yang terjadi. Nah demikian apa yang dikatakan orang juga.D
emikianlah, sekejap kemudian terjadilah pertempuran seru di dalam gua itu. Tio Ciu In dengan dukungan Pendekar Buta, berusaha mendesak Ho Bing yang lebih berpengalaman. Dan sesuai petunjuk penolongnya itu, Tio Ciu In merangsak terus, tanpa memberi kesempatan pada lawannya untuk mengambil jarak.

Bertempur di tempat gelap, di antara bebatuan besar yang berserakan, memang membutuhkan kemampuan tersendiri. Untunglah dalam penggemblengan- nya selama ini, Tio Ciu In bersama su-heng dan adiknya, juga mendapatkan pe¬lajaran tentang cara bergerak berdasarkan perasaan nalurinya.

Traaaaang! Traaanng....!


Beberapa kali pedang Tio Ciu In membentur tongkat lawan, sehingga lengannya terasa linu. Namun dengan semangatnya yang tinggi gadis itu tetap menerjang dan bertempur terus dalam jarak dekat. Ho Bing memang menjadi kewalahan dengan gaya tempur seperti .itu. Tongkat panjangnya sama sekali tidak mendapatkan ruang gerak untuk berkembang. Dalam ruang gerak yang sempit, tongkatnya hanya bisa dipergunakan untuk menangkis dan membela diri.


Meskipun demikian gaya tempur seperti itu juga amat berat bagi Tio Ciu In. Tanpa didukung dengan tenaga dalam yang lebih kuat dan ilmu silat yang le¬bih tinggi daripada lawan, gaya tempur seperti itu akan segera berbalik menja¬di bumerang yang akan menyulitkan diri sendiri.


Sejak semula Pendekar Buta mengira bahwa Tio Ciu In telah mempelajari  Ilmu Silat Kulit Domba, yang merupakan ilmu andalan Im-yang-kau. Dengan ilmu silat pilihan itu Pendekar Buta berharap Tio Ciu In mampu menggebrak dan mengacaukan lawannya. Bahkan dengan kelebihan ilmu silatnya itu, Tio Ciu In mampu melukai lawannya lebih dulu.


Namun harapan itu tidak terwujud. Tampaknya Tio Ciu In memang belum mencapai tataran yang tertinggi dalam ilmu silat Im-yang-kau itu. Malah beberapa jurus kemudian gadis itu mulai kelihatan keteter dan terdesak mundur.


Ho Bing memang bukan tokoh sembarangan. Sebenarnya lelaki pesolek itu bukanlah pengemis sungguhan. Dia adalah orang kepercayaan Au-yang Goan-swe yang ditanam di daerah itu untuk mengawasi kepentingan mereka di sana. Dan pondok di tengah-tengah rawa itu adalah markas mereka di daerah pantai timur kota Hang-ciu.


Begitulah, karena sebelumnya memang sudah ada jalinan rahasia antara Au-yang Goan-swe dan Mo Tan, maka tidak mengherankan kalau Mo Goat bisa berhubungan denga Ho Bing. Ketika Mo Goat yang amat asing di daerah itu, membutuhkan orang yang bisa membantu dia mencari Tio Ciu In dan kawan-kawannya, dia segera menghubungi orang-orang Au-yang Goan-swe di daerah itu. Mo Goat lalu bertemu dengan Ho Bing, dan selanjut¬nya mengupah pengemis itu untuk me¬lampiaskan dendamnya.


Sementara itu Ho Bing sendiri sebe¬lum menjadi orang kepercayaan Au-yang Goan-swe, merupakan tokoh yang amat ditakuti di daerah Barat. Dengan tong¬katnya yang berlubang-lubang seperti su¬ling, tokoh itu malang melintang sebagai jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga). Berkali-kali para pendekar dari golongan putih mencarinya, namun tak seorang pun mampu mengatasinya. Ilmu tongkatnya memang sulit dicari tandingannya. Selain kuat dan ganas, jurus-jurusnya juga penuh dengan gerakan-gerakan licik dan berba¬haya. Apalagi di dalam tongkat itu juga dipasangi berbagai macam jebakan dan senjata rahasia mematikan.


"Hohoho, bidadariku...! Menyerah sajalah! Kau bukan lawan yang setimpal buatku! Jangan-jangan pukulanku malah bisa merusakkan kulitmu nanti...!" Begitu merasa kemenangan telah berada di ta-ngannya, Ho Bing mulai mengejek dan tertawa.


Sebenarnyalah Tio Ciu In mulai terdesak di bawah angin. Dengan makin seringnya mengadu senjata, maka tenaga simpanan gadis itu juga semakin berkurang pula. Dan akhirnya tenaga itu benar-benar terkuras habis.


Begitulah, setelah Tio Ciu In kehabisan tenaga, maka tongkat Ho Bing mulai melebarkan sayapnya. Dalam medan tem¬pur yang lebih luas, tongkat berbahaya itu segera menampakkan kehebatannya. Terdengar suara mengaung panjang, meliuk-liuk tinggi rendah, ketika lubang-lubang di dalam tongkat itu diterobos angin.


Meskipun demikian ternyata sulit juga untuk segera menjatuhkan Tio Ciu ln. Walaupun kalah segala-galanya, tapi ilmu silat gadis itu juga bukan ilmu silat pasaran. Dengan segala keuletan dan latih¬annya selama ini, Tio Ciu In cukup bisa menjaga dirinya.


Akhirnya habis juga kesabaran Ho Bing. Ketika Tio Ciu ln menangkis sabetan tongkatnya, Ho Bing cepat memencet salah satu lubang tongkatnya. Buuuuuushh ...! Dari ujung tongkat yang berada tidak jauh dari wajah Tio Ciu In itu tersebar bubuk kehijauan, yang kemudian menye¬limuti kepala gadis itu.


"Huk-huk-huk... ah, h-h-huk-hukk-huuuuk!" Tio Ciu In tersedak, kemudian terbatuk-batuk.


- "Nona Tio! Apa yang terjadi? Kau kenapa...?"


Tiba-tiba Pendekar Buta menghambur ke depan. Kesepuluh jari-jari tangannya yang terkembang itu mendorong ke tubuh Ho Bing. Wussh! Hembusan angin tajam berbau amis menerjang dengan dahsyat¬nya, sehingga Ho Bing maupun Yok Si Ki menjadi terperanjat bukan main!


"Ho Bing, menghindarlah...!" Yok Si Ki menjerit.


Sambil memberi peringatan Yok Si Ki melesat ke depan. Sisi tangannya menahas ke arah pukulan Pendekar Buta. Taaaas! Hembusan angin berbau amis itu menghantam sisi telapak tangannya dan membias ke segala penjuru.


"Aaaaah...!" Pendekar Buta mengeluh perlahan dan tubuhya bergoyang-goyang mau jatuh. Tebasan tangan Yok Si Ki yang mengandung tenaga bias itu ternyata bisa membalikkan kekuatannya.


"Locianpwe...?" Tio Ciu In yang terbebas dari semburan bubuk beracun itu segera menubruk penolongnya.


Pendekar Buta mengambil napas panjang untuk meluruskan kembali pernapasan dan jalan darahnya. Setelan semua¬nya kembali normal, dia baru mengerah kan perhatian ke sekelilingnya. Dicoba¬nya untuk mendengarkan keadaan lawannya.


"Jangan khawatir, Nona Tio. Aku tidak apa-apa. Cuma... penyakit lamaku kelihat annya kambuh kembali. Aku juga tidak menyangka penyakit itu akan kambuh pada saat-saat begini. Tapi... sudahlah, aku bisa mengatasinya. Eh, bagaimana denganKetua Tai-bong-pai itu? Apakah dia juga baik-baik"


Tio Ciu In melirik. Dilihatnya Yok Si Ki berdiri tegak di tempatnya. Orang itu tampak garang dan seperti tidak me¬ngalami gangguan *apa-apa.


"Dia... dia berdiri tegak di depan ki¬ta. Tampaknya dia segera akan menyerangmu lagi."


"Aaah, dia memang hebat sekali! Sa¬yang penyakitku tiba-tiba kambuh...."


"Locianpwe... sakit?" Tio Ciu In ber¬desah ketakutan.


"Benar. Sebenarnya aku butuh istirahat untuk memulihkannya kembali. Tapi dalam keadaan begini... yah, apa boleh buat! Oleh karena itu kalau aku tidak bisa menolongmu nanti, kau harus cepat-cepat menerobos ke dalam gua lagi! Ja¬ngan keluar dari gua sebelum mereka pergi! Di luar kau akan mudah ditangkap mereka."


"Locianpwe...?"


"Sudahlah, kau ikuti saja kata-kataku!"


Sementara itu Yok Si Ki melangkah mendekati Pendekar Buta. Matanya yang tajam dan dingin seperti mata burung hantu menatap lawannya. Ada rasa heran dan kurang percaya dalam sorot matanya.


"Sungguh dahsyat sekali pukulanmu! Tidak kusangka orang tak dikenal seperti engkau, memiliki tenaga dalam sehebat itu. Sekarang aku benar-benar menjadi curiga. Siapakah sebenarnya engkau ini ...?" Yok Si Ki memuji dengan suara menyelidik.


"Sudahlah, Yok Ciangbun. Aku benar-benar tidak ingin berkelahi denganmu. Lepaskan saja kami berdua dan biarkan kami pergi."


"Uh, enaknya...! Jangan biarkan mereka lolos, Ciangbun! Mereka telah berada di bawah kekuasaan kita. Orang buta ini tidak kuat menahan pukulan sisi tanganmu. Dan... gadis ini juga sudah terkena pengaruh bubuk laba-labaku. Sebentar lagi dia akan roboh dengan sendirinya, hehehe!" Ho Bing berseru sambil melangkah mendekati Tio Ciu In.


Tapi sebagai orang yang sangat berpengalaman, Yok Si Ki tidak percaya begitu saja apa yang dilihatnya. Ia melihat beberapa keanehan pada lawannya. Semula ia melihat kedahsyatan pukulan orang buta itu. Rasanya kekuatan orang itu mampu meruntuhkan sebuah bukit. Tapi anehnya, ketika arus pukulan itu membentur pukulannya, tiba-tiba saja kekuatan itu menyusut dan hilang.


Ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Mungkin jebakan, tapi kemungkinan juga bukan.


"Orang ini sangat mencurigakan. Satu-satunya Jalan untuk membongkar kedoknya cuma mengalahkannya...." Yok Si Ki bergumam dalam hati.


"Bagaimana, Yok Ciang-bun? Bolehkah kami berdua meninggalkan tempat ini?" Pendekar Buta bertanya perlahan.


Yok Si Ki memandang tajam. "Boleh, tapi... dengan satu syarat...."


"Syarat...? Apakah syaratnya?"


"Mudah saja, yaitu... kau kalahkan aku dulu!"


Sekonyong-konyong tubuh Pendekar Buta bergoyang-goyang lagi. Tio Ciu In menjerit dan buru-buru melompat mendekati. Namun seperti halnya Pendekar Buta, gadis itu mendadak juga terhuyung-huyung.


"Nona Tio...?" Pendekar Buta me¬nyambar pinggang Tio Ciu In dan meno-tok beberapa jalan darah di punggungnya untuk menahan pengaruh racun yang tampaknya mulai menyerang gadis itu.


Akan tetapi Yok Si Ki tidak memberi kesempatan lagi. Selagi Pendekar Buta itu sibuk menolong Tio Ciu In, tangan nya segera melayang, menghantari teng¬kuk pendekar itu.


"Lihat pukulan" Dia memberi peringatan.


Pendekar Buta terperanjat. Dengan keadaannya sekarang ia tidak mungkin berkelahi dengan siapapun juga. Jangankan melawan Yok, Si Ki ataupun Ho Bing, menghadapi Tio Ciu In saja ia takkan mampu.


Tapi ia tak bisa menghindar lagi. Sambil mendorong tubuh Tio Ciu In, ia membalik dan terpaksa menangkis pukul-' an Yok Si Ki. Meskipun dia tak yakin bisa mengerahkan kekuatannya kembali, tapi ia tetap mencobanya pula.


Dieees! Dua kekuatan yang maha dahsyat saling berlaga di udara! Dan kali ini mereka berdua sama-sama tergetar mundur! Hanya bedanya, Yok Si Ki tampak biasa-biasa saja, sementara Pendekar Buta tampak mengalirkan darah segar dari sudut bibirnya.


"Yok Ciang-bun...! Tampaknya kau telah berhasil mempelajari Tenaga Sakti Inti Roh atau Tenaga Sakti Inti Seribu Nyawa, ciptaan mendiang Kwa Eng Ki." Pendekar Buta berdesis dengan suara terengah-engah. Ternyata kekuatannya dapat keluar juga, walaupun baru sebagian saja.


Yok Si Ki terbelalak kaget. Kakinya melangkah mundur. "Dari mana kau tahu tentang ilmu rahasia itu? Kau...? Hmm, siapakah kau sebenarnya?"


"Sudah kukatakan, aku hanya seorang lelaki buta yang tak punya nama. Tak ada gunanya kau membunuh aku. Lebih baik kau biarkan aku pergi, dan aku akan sangat berterima kasih kepadamu."


Yok Si Ki mendengus. Hatinya makin penasaran karena orang buta itu ternya¬ta telah mengenal ilmunya, yang berarti orang itu sudah pernah mengenal atau berhadapan dengan ilmu tersebut. Padahal sepengetahuannya baru dia sendiri yang berhasil mempelajari ilmu tersebut.


"Lalu dengan siapa dia pernah berhadapan? Mendiang ketua Tai-bong-pai lama, Kwa Eng Ki? Atau... jangan-jangan dia bertemu dengan Tai-bong-pai Kui-bo, yang telah bisa memecahkan kunci rahasia ilmu itu di buku Tai-bong Pit-kip...!" Yok Si Ki membatin. '


Begitu ingat Tai-bong Kui-bo, ketua Tai-bong-pai itu seperti tersentak dari tidurnya. Hatinya menjadi curiga. Jangan-jangan orang buta di depannya itu memang pernah bertemu dengan Tai-bong Kui-bo dan merampas bukunya.


"Kau.... kau? Apakah kau kenal dengan Tai-bong Kui-bo?" Tak terasa mu¬lutnya terbuka.


* Pendekar Buta mengerutkan dahinya. "Apa? Tai-bong Kui-bo? Siapakah dia? Katanya tak mengerti.


Yok Si Ki tertegun. Ia melihat kejujuran pada wajah lawannya.


"Baiklah, kalau memang tidak tahu... ya, sudah! Sekarang kita selesaikan saja persoalan kita dengan kaki tangan."


Selesai berkata Yok Si Ki benar-benar menyerang Pendekar Buta. Kedua telapak tangannya mendorong ke depan dengan kekuatan penuh. Dari kedua tangannya itu tersebar bau wangi menusuk hidung.


Pendekar Buta buru-buru melangkah ke samping. Meskipun lawannya belum mempergunakan Tenaga Sakti Inti Roh, tetapi Hio-yen Sin-kang (Tenaga Sakti Asap Dupa) yang ia hadapi sekarang juga tidak kalah berbahaya pula. Tenaga Sakti yang menjadi tumpuan para ang-gauta Tai-bong-pai itu sangat terkenal di dunia persilatan.


Namun pada saat yang sama, rasa sakit itu tiba-tiba kambuh lagi! Begitu sakitnya sehingga Pendekar Buta kembali terhuyung-huyung mau jatuh. Akibatnya serangan Yok Si Ki tak bisa dihin-dari sepenuhnya!


Sreeet...! Angin pukulan Yok Si Ki | menyerempet bahu Pendekar Buta, se- I hingga tubuh orang tua itu terpelanting menabrak dinding!


Yok Si Ki tak mau memberi kesempatan lagi. Sesuai dengan wataknya yang ganas dan kejam, maka serangan berikutnya segera tertuju pada jantung lawannya.


Wuuuuuus...! Dan kali ini Yok Si Ki benar-benar mempergunakan Tenaga Sakti Inti Roh! Pasir dan kerikil tampak bertebaran di sekelilingnya, sehingga ketua Tai-bong-pai itu seperti dikurung pusaran pasir.


"Locianpwe...!" Tio Ciu In menjerit ' dan mencoba menolong Pendekar Buta yang jatuh terlentang di lantai gua.


"Nona Tio, jangan mendekat..." Pen¬dekar Buta berseru.


Terlambat. Tio Ciu In yang berada di garis pukulan Yok Si Ki tak mampu mengelak lagi. Disertai dengan suara je¬ritannya yang keras gadis itu terpental dan tubuhnya menimpa Pendekar Buta.


"Nona Tio...!?!" Pendekar Buta yang tidak bisa melihat bagaimana keadaan gadis itu berteriak ketakutan.


Orang tua itu cepat meraba seluruh tubuh Tio Ciu In. Ketika kemudian tersentuh oleh jarinya darah yang mengalir dari mulut gadis itu, kemarahannya tak bisa dibendung lagi. Bergegas gadis itu diletakkan di dekatnya, lalu tiba-tiba tubuhnya melenting berdiri dan mengaum keras sekali!


"Aaaaaaarrrrrgghh.....„!!!"


Begitu kuat dan keras getarannya sehingga gua itu bagaikan digoyang oleh gempa. Dan getaran itu semakin menja¬di-jadi ketika dalam kemarahannya Pendekar Buta itu menjebol sebuah batu besar, dan membantingnya kuat-kuat!


Dhuuuuuuaaaaaar......!


Pecahan batu kerikil dan pasir berhamburan disertai suara gemuruh memekakkan telinga. Akibatnya gua itu berge¬tar hebat seolah mau runtuh. Bahkan getaran itu juga menyebabkan batu dan debu di atas langit-langit gua berhamburan ke bawah.


Ribuan kelelawar penghuni gua itu mencicit ketakutan. Mereka mencoba menyelamatkan diri dengan terbang ke¬luar gua. Begitu kacau dan ributnya sua¬sana sehingga banyak yang saling berta-brakan di udara, atau jatuh menggele¬par tertimpa pecahan batu.


Suasana di dalam gua itu benar-benar seperti neraka. Debu dan pasir bertebar¬an, disertai jatuhnya bongkahan-bongkah¬an batu yang retak dan copot dari la¬ngit-langit gua.


"Yok Ciang-bun! Cepat kita keluar sebelum gua ini benar-benar runtuh!" Ho Bing berteriak dan lebih dulu meloncat ke arah pintu gua.


Yok Si Ki tidak menjawab, tapi de¬ngan tangkas tubuhnya berloncatan di antara hujan batu. Mereka sama sekali tak memikirkan nasib Pendekar Buta dan Tio Ciu In lagi. Bagi mereka yang pen¬ting adalah menyelamatkan diri mereka sendiri.


Dalam situasi demikian, maka ting¬kat kesaktian seseorang akan tampak de¬ngan jelas. Ho Bing yang tangkas dan memiliki tenaga dalam cukup tinggi, te¬tap bisa bergerak dengan cepat dan lincah. Tubuhnya dapat meliuk-liuk, ke ka¬nan dan ke kiri, menghindari batu-batu besar yang berjatuhan dari langit-langit gua. Tongkatnya berputar seperti gasing di atas kepalanya, bagaikan lembaran ka¬in payung melindungi badan dari guyur¬an debu dan kerikil tajam.


Gerakan Ho Bing benar-benar hebat. Ketika kemudian kakinya menginjak pin¬tu gua, tubuhnya sama sekali tidak ter-luka. Bahkan pakaian yang dia kenakan masih tetap bersih dan rapi. Hanya se-patu dan ujung celananya saja yang tam¬pak "kotor terkena debu.


Namun apa yang dilakukan Ho Bing tersebut ternyata belum sehebat apa yang dikerjakan oleh Yok Si Ki. Dalam keadaan hiruk-pikuk seperti itu, ternyata gerakan yang dilakukan oleh Yok Si Ki benar-benar sulit diterima akal sehat.


Seperti saat mengerahkan Tenaga Sakti Inti Roh tadi, maka sambil berloncatan tubuh Yok Si Ki seperti mengeluarkan angin berputar yang membiaskan segala macam benda yang datang kepa-danya. Tubuhnya seakan-akan terlindung oleh tabung kaca yang tak kelihatan oleh mata. Sebentar saja tubuh ketua Tai-bong-pai itu telah berada di luar gua, mendahului Ho Bing yang sebenar¬nya sudah lebih dulu menyelamatkan diri.


Ho Bing benar-benar semakin keder melihat kesaktian Yok Si Ki. Orang itu seperti setan saja, tahu-tahu telah ber¬diri di luar gua.


Sementara itu hiruk-pikuk di dalam gua itu masih saja berlangsung dengan hebatnya. Bahkan-debu tebal bercampur pasir juga menyembur sampai ke luar gua, sehingga lubang-lubang mulut gua itu bagaikan kepundan gunung berapi yang sedang menyemburkan asapnya.


Ho Bing dan Yok Si Ki terpaksa melompat ke belakang menjauhi lubang gua itu.


"Bagaimana... dengan gadis itu, Yok Ciang-bun? Apakah Si Buta mampu menyelamatkannya?" Di dalam ketegangannya Ho Bing masih juga memikirkan Tio Ciu In. Yok Si Ki menghela napas panjang.


"Entahlah...! Rasanya sulit untuk keluar dari gua rtu kalau kita harus menggen¬dong orang lain."


"Lalu... apa yang akan kita perbuat? Menunggu sampai reda dan mencari me¬reka?"


Yok Si Ki mengangguk. "Kita harus tahu, bagaimana keadaan mereka. Mati atau hidup. Kalau sudah mati, kita tinggalkan saja tempat, ini. Tetapi kalau ternyata mereka masih hidup, kita harus membunuhnya lebih dulu. Aku tidak ingin" menanam bibit kesulitan di kemudian hari."


Akan tetapi sampai matahari hampir terbenam, reruntuhan di dalam gua itu belum juga tuntas. Sekali-sekali masih terdengar suara gemuruh jatuhnya beba¬tuan dari langit-langit gua. Tentu saja Yok1 Si Ki dan Ho Bing tak ingin meng¬ambil resiko masuk ke dalam.


"Lihat, Yok Ciang-bun! Aliran sungai dari dalam gua itu tidak mengalir ke lu¬ar lagi. Tampaknya alur sungai itu telah tertimbun tanah dan bebatuan. Dan hal itu* berarti terowongan-terowongannya akan penuh terisi air. Oleh karena itu kalau mereka masih hidup, mereka akan tetap sulit pula untuk menyelamatkan diri."


Sekali lagi Yok Si Ki menganggukkan kepalanya. "Tampaknya memang demiki¬an. Kalau begitu kita tinggalkan saja tempat ini!"


Demikianlah, mereka berdua lalu me¬ninggalkan pantai itu, dan kembali ke kota Hang-ciu. Sama sekali mereka tak menduga kalau lawan-lawan mereka ma¬sih tetap hidup di antara reruntuhan gua itu.


Ternyata pada saat bencana itu terjadi, Pendekar Buta dengan sisa-sisa tena¬ganya, masih dapat menyeret tubuh Tio Ciu In ke dalam lubang terowongan yang dikenalnya. Kemudian sambil menunggu redanya bencana tersebut, Pendekar Bu¬ta mencoba mengobati luka-luka dalam yang diderita oleh gadis itu. Namun ka¬rena luka-lukanya memang terlalu parah, sementara Pendekar Buta sendiri juga dalam keadaan lemah, maka usaha terse¬but kurang membawa hasil. Gadis itu tetap tergolek pingsan di tempatnya, meskipun nyawanya masih bisa diselamatkan.


Ketika hari semakin gelap, dan hawa malam mulai terasa mengalir dalam gua, Pendekar Buta merasakan tubuhnya mu¬lai membaik. Sementara itu Tio Ciu In juga mulai siuman dari pingsannya. Gadis cantik itu mulai membuka matanya.


"Locianpwe...??" Jeritnya lirih tatkala melihat Pendekar Buta itu duduk di dekatnya.


"Syukurlah... kau telah siuman kem¬bali, Nona. Aku benar-benar khawatir melihat keadaanmu. Pukulan Ketua Tai-bong-pai tadi sungguh dahsyat sekali. Pukulannya menyebabkan jalan darahmu menjadi kacau. Bahkan beberapa dianta-ranya tertutup. Beruntung aku segera dapat memperbaiki dan membukanya kembali. Namun demikian kau tetap ha¬rus beristirahat penuh dalam beberapa hari ini. Engkau harus berlatih dan mem¬biasakannya lagi secara hati-hati."


"Terima kasih, Locianpwe. Kau telah menolong jiwaku. Aku tidak tahu bagai¬mana jadinya bila Locianpwe tidak ada.


Oooohh!!"


Tio Ciu In bangkit dan merangkap¬kan dua tangannya di depan dada. Tapi mulutnya segera menjerit kecil ketika sadar tubuhnya tidak mengenakan pakai¬an sama sekali. Otomatis kulit mukanya menjadi merah sekali.


Meskipun tidak bisa melihat, tetapi Pendekar Buta bisa menebak apa yang terjadi. Tergopoh-gopoh ia meminta maaf.


"Maaf, Nona Tio. Aku terpaksa membuka pakaianmu. Tidak ada jalan lain untuk menolongmu, selain harus cepat-cepat membenahi jalan darah yang kacau itu. Keadaanmu tadi benar-benar sangat mengkhawatirkan. Celakanya, setelah pengobatan selesai dan keadaanmu telah menjadi baik, aku justru tidak berani mengenakan pakaianmu kembali. Aku memang orang tua yang canggung. Sekali lagi, maafkanlah aku..." Orang tua itu berkata dengan rasa sesal yang dalam.


Sebenarnya Tio Ciu In sudah hampir menangis. Namun melihat kesungguhan orang tua itu, hatinya menjadi sadar kembali. Bagaimanapun juga orang tua itu telah menolong jiwanya. Apalagi o-rang tua itu menolong dengan sungguh-sungguh. Tidak ada tanda-tanda buruk yang menyatakan bahwa orang tua itu berniat jelek terhadapnya.


Tio Ciu In segera mengenakan pakai¬annya kembali. Rambutnya yang kusut ia rapikan kembali, walaupun tanpa tali pita, karena talinya telah hilang entah ke mana. Begitu pula dengan sepasang sepatunya. Barang itu juga hilang. Ke¬mudian sambil memasang ikat pinggangnya, dia melirik ke arah penolongnya.


^Tio Ciu In hanya terbelalak. Dilihatnya orang tua itu mengcengkeram perut dan dadanya. Mulutnya meringis menahan sakit, sementara tubuhnya tampak berge¬tar seperti orang kedinginan. Bahkan dahinya sudah penuh keringat.


"Locianpwe...??" Tio Ciu In menjerit kaget.


Namun orang tua itu tak menjawab. Dia sedang sibuk melawan rasa sakit yang menyerangnya. Ketika tubuhnya ke¬mudian bergetar dengan hebat dan bergoyang-goyang mau jatuh, Tio Ciu In me nubruk.


Ternyata pendekar tua itu telah pingsan. Matanya terpejam, sementara pakaiannya basah oleh keringat.


"Locianpwe....? Locianpwe...!" Tio Ciu In berteriak-teriak memanggil sambil mengguncang tubuh tua itu.


Beberapa saat kemudian mata itu ter buka kembali. Tetapi selain sangat pu¬cat, orang tua itu tampak lemah sekali.


"Maaf, Nona Tio... penyakit lamaku benar-benar kambuh lagi. Untuk beberapa hari aku tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kaki dan tanganku lumpuh. Aku hanya dapat menggerakkan kepalaku saja."


"Lumpuh...? Locianpwe lumpuh?" Tio Ciu In berdesah tak percaya.


"Benar. Aku akan menderita lumpuh untuk beberapa hari, sampai penyakit itu pergi...."


Tio Ciu In memandang wajah yang hampir tertutup oleh kumis dan jenggot panjang itu. Dia benar-benar tak mengerti, penyakit apa yang diderita orang tua itu, sehingga harus menderita sedemikian hebatnya.


Tampaknya Pendekar Buta tahu apa yang dipikirkan Tio Ciu In.


"Nona Tio, aku menderita penyakit 'Salah Jalan'. Belasan tahun yang lalu ketika sedang berlatih menghimpun tenaga sakti, seorang musuh telah membokong aku, sehingga latihanku menjadi 'salah jalan'. Lebih celaka lagi, dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, musuh-musuhku yang lain juga datang dan mengeroyok aku. Terpaksa dalam keadaan lemas dan hampir lumpuh aku menghadapi mereka. Ketika akhirnya aku bisa juga meloloskan diri, keadaanku benar-benar sudah hancur luar-dalam. Badanku penuh darah, sementara luka di bagian dalam tubuhku juga parah sekali. Boleh dikatakan keadaanku saat itu seperti mayat hidup. Hidup tidak, tapi matipun juga belum."


Orang tua itu berhenti sebentar untuk' mengambil napas. Kulit mukanya tampak semakin pucat.


"Akhirnya luka-luka itu memang bisa kusembuhkan. Tapi akibat dari 'salah jalan' itu masih kuderita sampai sekarang. Apabila penyakit itu datang, aku sama ekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Badanku akan lumpuh untuk beberapa hari."


Tio Ciu In menganguk-angguk. Gurunya memang pernah bercerita, bahwa dalam ilmu silat sering terjadi 'salah jalan'. Semakin tinggi dan rumit ilmu yang dipelajari, semakin banyak pula resiko untuk menderita 'salah jalan'. Bahkan kesalahan itu sering membawa kematian.


"Lalu... di mana keluarga Locianpwe? Tentunya mereka yang merawatmu jika penyakit itu datang."


Orang tua itu menarik napas dalam-dalam. Dan jawabannya sungguh menge¬jutkan Tio Ciu In.


"Aku tidak memiliki keluarga lagi, Nona. Semuanya telah tiada. Ayahku, Ibuku, isteriku, anak-anakku, semuanya telah mati mendahului aku. Kini aku hanya sebatang kara saja di dunia ini."


"Sendirian...? Lalu... siapa yang merawatmu selama ini kalau penyakit itu datang? Bukankah kau tidak bisa apa-apa?"


Orang tua itu tersenyum kecut. "Sudah lama aku ingin mati, agar arwahku bisa segera berkumpul dengan keluargaku. Maka di saat-saat kambuh seperti ini, aku justru berharap segera bisa mati. Tapi sampai sekarang penyakit itu belum juga bisa mencabut nyawaku. Meskipun berhari-hari perutku tak diisi, tergolek di tanah dikerumuni semut dan nyamuk, aku tetap masih hidup."


"Aaaah...!" Tio Ciu In menggeleng-gelengkan kepalanya.


"Bahkan penyakit ini pernah kambuh di saat aku sedang mandi di sungai bawah tanah itu. Begitu mendadak, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diri. Aku tergolek tak berdaya di dalam air dingin itu selama berhari-hari. Celakanya, kepalaku masih tersangkut diantara dua batu, sehingga aku masih tetap bisa bernapas."


"Aaah! Lalu, berapa hari biasanya penyakit itu menyerang?"


"Yah, tergantung keadaan. Kadang-kadang tiga hari... lima hari, atau... sepuluh hari. Tapi biasanya cuma lima hari."


"Lima hari? Lama juga..." Tio Ciu In bergumam.


"Ah, biarkan saja. Aku juga tidak pernah memikirkannya lagi. Aku malah senang kalau bisa mati. Semuanya berakhir, dan aku segera bisa bertemu dengan isteriku... anak-anakku. Mereka sudah terlalu lama menungguku."


"Locianpwe....?"


"Sudahlah, Nona. Kau tak perlu berpikir apa-apa. Yang penting kini adalah mengembalikan tenagamu. Berlatihlah dengan tekun agar kesehatanmu cepat pulih kembali. Setelah itu kau bisa ke¬luar dari gua ini."


Tio Ciu In terdiam. Matanya memandang orang tua itu dengan penuh perasaan haru dan sedih. Orang tua yang me¬miliki ilmu silat sangat tinggi itu ternyata sangat menderita dalam hidupnya. Entah mengapa, tiba-tiba timbul perasaan kasihan di dalam hatinya.


"Locianpwe, kau juga tidak perlu khawatir. Sementara aku di sini, aku akan merawatmu. Kita sama-sama memulihkan kesehatan."


Demikianlah, untuk membalas budi orang tua itu Tio Ciu In merawatnya dengan baik. Atas petunjuk orang tua itu Tio Ciu In membawa penolongnya itu ke gua tempat tinggalnya. Gua itu dapat dicapai melalui lorong-lorong kecil di da¬lam tanah. Karena Tio Ciu In sendiri juga masih lemah, maka perjalanan itu membutuhkan waktu yang lama.


Gua itu bersih dan nyaman. Hembus¬an udara yang mengalir lewat aliran su¬ngai di depan pintu gua, membuat tempat tersebut tidak panas dan pengap. Sementara di dalam ruang gua telah diatur dan ditata seperti sebuah kamar besar. Ada tempat memasak, mencuci, serta tempat untuk istirahat.


Malam itu angin laut bertiup dengan kencangnya, sehingga udara segar juga berhembus pula dengan kuatnya ke dalam gua. Tio Ciu In mengambil selimut yang ada di rak batu dan menutupkan-nya di atas tubuh Pendekar Buta.


Tiba-tiba gadis itu menarik napas panjang. Entah mengapa, pikirannya melayang kepada Liu Wan, pemuda yang lalu berbaik hati menolongnya. Pemuda itu tentu sedang mencarinya sekarang. Mungkin pemuda itu bersama Jeng-bin Lo-kai dan kawanan pengemisnya sedang mengobrak-abrik pondok kecil di tengah rawa itu.


                                                                 ***  

Sama sekali tidak terpikirkan oleh Tio Ciu In, bahwa pada saat itu Liu Wan justru sedang menghadapi maut. Dalam keadaan tertotok lemas pemuda itu harus menghadapi api yang berkobar hebat di sekelilingnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT