PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI Jilid 14


Akan tetapi sebaliknya, Tio Ciu In Hampir pingsan mendapat perlakuan seperti itu. Rasanya takut, malu dan ngeri, membuat gadis itu seperti kehilangan akal.Tiba-tiba Ho Bing terbelalak. Matanya yang melotot itu melihat sebuah tatto kecil di bagian kiri atas dari buah dada Tio Ciu In.' Gambar tatto itu ber-bentuk burung Hong! Burung Hong yang sedang mengepakkan sayapnya. Indah bukan main!


Sekali lagi Ho Bing menelan ludahnya. Pemandangan itu membuat otaknya semakin tidak bisa dikendalikan lagi. Namun sebelum ia menerkam tubuh Tio Ciu In, lonceng di dalam ruangan itu tiba-tiba berbunyi.



"Kurang ajar! Sudah berkali-kali kuka¬takan bahwa jangan sekali-kali datang ke tempat ini! Tapi tetap saja datang!" Huh!" mulutnya menggeram.

Dengan sikap malas dan geram pe¬ngemis itu melangkah ke tangga. Sambil berjalan matanya tetap tak lepas dari tubuh Tio Ciu In, sehingga tubuhnya hampir menabrak meja.

"Baiklah, kautunggu dulu sebentar! Aku akan melihat siapa yang datang! Setelah itu kita lanjutkan lagi acara kita...."

Sebentar kemudian pengemis itu meng hilang di balik pintu. Merasa ada kesempatan Tio Ciu In lalu berusaha untuk membebaskan totokannya. Berkali-kali ia mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi totokan itu benar-benar sulit dibuka. Keringat sampai mengalir membasahi da¬da bergambar burung Hong itu.

Akhirnya tidak hanya keringat yang mengalir, tapi air mata pun mulai menetes dari mata Tio Ciu In. Gadis ayu itu benar-benar mulai putus asa sekarang. Dan di dalam keputusasaannya, tak terasa bibirnya mulai bergumam dengan nyanyian. Nyanyian yang disukai Si Pendekar Buta itu. Semakin lama semakin keras.

Bahkan untuk melepaskan segala kepepat-an hatinya, Tio Ciu In menyanyikannya dengan seluruh perasaan. Bahkan dengan dorongan seluruh tenaga saktinya.

Suara yang keluar dari bibir Ciu ln memang tidak terlalu keras, namun do¬rongan tenaga dalamnya ternyata mam¬pu menggetarkan udara di sekelilingnya. Memantul dan bergema ke segala penju¬ru, bagaikan getaran suara guruh yang merambat melalui udara. Ternyata tanpa disadari Tio Ciu In bernyanyi dengan Iontaran ilmu Coan-im-jip-pit!

Apabila di malam yang gelap gilita.
Tiba-tiba muncul Bulan Purnama.
Maka malam pun bagai tersentak dari tidurnya.
Untuk menyambut hangatnya Sang Pelita Malam!
Kekasihku...!
Aku selalu mengharap kehadiranmu!

Sementara itu pada saat yang hampir bersamaan Liu Wan telah tiba di tempat kediamannya. Rumah di tengah-tengah empang itu kelihatan sepi. Dan Lo Kang yang sudah tidak sabar lagi un-tuk melihat keadaan saudaranya, segera mendahului menyeberang. Pelayan gagu itu bergegas membuka pintu.
Tapi tiba-tiba tubuh Lo Kang terpental balik.

“Lo Kang!" Liu Wan berseru.

Pemuda yang berpakaian sebagai Tabib Ciok itu melesat ke depan dengan tang¬kasnya. Tubuhnya yang tegap itu bagaikan burung rajawali yang terbang melin¬tasi empang. Di lain saat tubuh Lo Kang telah ditangkapnya.

Liu Wan menurunkan tubuh Lokang di sampingnya. Matanya hampir tak lepas dari lubang pintu, di mana Lo Hai yang baru saja menyerang saudaranya itu berdiri dengan garang. Pembantunya yang lain itu telah siap untuk melancarkan pukulannya lagi.

"Lo Hai...! Kau kenapa, hei?" Liu Wan berteriak bingung. "Mengapa kau menyerang saudaramu?"
Tapi Lo Hai yang biasanya sangat penurut itu, tiba-tiba melompat ke luar dan menghantam dada Liu Wan. Dari te lapak tangannya meluncur getaran tenaga berputar seperti layaknya tenaga untuk menutup botol minuman.

Liu Wan terkejut. Lo Hai langsung mempergunakan ilmu silat perguruannya, Hong-lui-kun-hoat (Pukulan Petir dan Badai)! Pukulan itu merupakan pembukaan dari jurus yang ke sembilan, yang di-sebut Badai Berputar Menerjang Ombak! Jurus itu biasa dilontarkan bila berhadapan dengan lawan bertenaga besar!

Lo Hai maupun Lo Kang memang bukan saudara seperguruan Liu Wan. Mereka berdua hanyalah pelayan dan pembantu kepercayaan gurunya. Namun oleh gurunya mereka berdua juga diberi pelajaran ilmu silat. Meskipun hanya kulitnya!

Tapi karena sebelum mengabdi pada guru Liu Wan, Lo Kang dan Lo Hai juga telah memiliki ilmu silat tinggi, maka tambahan ilmu itu sudah cukup membuat mereka semakin berbahaya.

Demikianlah, meskipun jurus Badai Berputar Menerjang Ombak tersebut tidak ditopang dengan tenaga sakti yang asli dari perguruan Liu Wan, namun perbawanya ternyata cukup mengerikan. Dada Liu Wan yang merupakan sasaran pokok dari pukulan itu tiba-tiba seperti diremas olah sebuah kekuatan yang tidak kelihatan!

"Lo Hai, jangan!" Liu Wan berteriak dan bergegas melejit ke samping untuk menghindarkan diri. Karena terburu-buru maka segumpal dari jenggot penyamarannya terlepas.

Namun seperti orang kesurupan Lo Hai tetap saja menyerang Liu Wan. Semakin lama semakin gencar. Bahkan serangan itu tetap tidak mau berhenti walaupun Lo Kang yang sudah bisa mengo-bati luka-lukanya itu mencoba melerai saudaranya.

"Sudahlah, Lo Kang. Engkau mundurlah! Biarlah kucoba untuk melumpuhkan kekuatannya dulu." Liu Wan memperingat kan pembantunya.

Lo Kang memberi isyarat kepada Liu Wan.

"Jangan khawatir. Aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin melumpuhkannya, agar kita lebih tahu apa yang menyebabkan dia berbuat seperti ini." Pemuda itu menjawab.

Tapi untuk melumpuhkan Lo Hai tidaklah mudah. Ilmu silat Lo Hai hanya satu tingkat di bawah Liu Wan. Maka dengan sangat terpaksa pemuda itu juga mengeluarkan ilmu andalannya. Hong-lui-kun-hoat!

Liu Wan menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuhnya segera melenting ke atas dalam jurus Awan Mengambang Menutupi Bumi. Kedua lututnya menempel perut, sementara kedua lengannya mengembang ke depan membentuk sapit udang. Ke¬mudian dengan sekuat tenaga pemuda itu mengayunkan kedua kakinya ke bawah, menuju ke arah ubun-ubun!

Lo Hai tersentak kaget. Tapi gerak¬annya sungguh cepat puja. Sambil mengangkat kedua sikunya ke atas, orang tua itu melangkah setindak ke kiri. Gerakannya sungguh indah. Tubuhnya meliuk ke kanan seperti pohon cemara yang akan roboh. Namun bersamaan dengan gerakan itu, ke sepuluh jari tangan Lo Hai telah terkepal dalam bentuk kepala ular. Selanjutnya kepala ular itu segera me-matuk kaki Liu Wan.

Kali ini Lo Hai tidak memperguna¬kan ilmu Hong-lui-kun-hoat lagi. Orang tua itu mengeluarkan ilmu silatnya sen¬diri. Sebuah ilmu silat dari daerah Selatan, yang lebih mementingkan kekuatan tenaga dalam daripada kemampuan ge¬raknya! Gerakannya sangat sederhana dan mudah diduga, namun dengan kekuatan¬nya ternyata gerakan itu sulit dielakkan! Tangan itu memang, belum menyentuh sasaran, tapi kekuatan yang mendorong¬nya ternyata telah lebih dulu tiba di ka¬ki Liu Wan.

Sengatan udara panas membuat Liu Wan cepat-cepat menarik kedua kakinya sambil membuat salto dua kali ke depan. Jleg! Tanpa mendapat kesulitan pemuda itu mendaratkan kakinya di depan pintu.
Dari tempatnya berdiri Liu Wan segera menyerang kembali. Kedua tangannya" mendorong ke depan dalam jurus Satu Petir Dua Gelombang. Jurus ke dua puluh satu dari Hong-lui-kun-hoat. Dari telapak tangannya meluncur angin pukulan yang menyambar punggung Lo Hai de¬ngan dahsyatnya.
Dhuaaaar! Pukulan itu menyambar tempat kosong, karena dengan tangkas Lo Hai telah keburu melejit ke kanan!

Melihat letupan yang dahsyat itu Lo Kang tak kuasa menahan dirinya lagi. apa pun yang telah dilakukan Lo Hai kepadanya, dia tetap tidak tega melihat saudaranya itu terluka. Dengan badan masih terasa sakit, ia segera melesat di antara Liu Wan dan Lo Hai. Kedua tangannya membuat isyarat untuk memohon belas kasihan Liu Wan.

Liu Wan menggigit bibirnya. "Jangan khawatir, aku tidak akan melukainya. Aku hanya ingin meringkus. Menyingkirlah...!"

Namun Lo Kang tetap menggoyang-goyangkan tangannya. Bahkan dia lalu membalikkan tubuhnya dan berusaha memeluk saudaranya. Tangannya mengembang ke arah Lo Hai.

Tapi tiba-tiba telapak tangan Lo Hai menyambar ke depan dengan cepatnya. Di tangannya telah terhunus sebilah pisau tajam.

Cuuuuuus! 

Pisau itu menancap tepat di ulu hati Lo Kang! Suatu hal yang benar-benar tak diduga oleh Liu Wan maupun Lo Kang sendiri!
"Uh-uh-uh...?" Sekejap mata Lo Kang terbelalak tak percaya. Tapi di lain saat tubuhnya segera terbanting di atas lantai. Mata itu tetap terbeliak, namun nyawanya sudah melayang.

"Lo Kang...!" Liu Wan menjerit dan menubruk tubuh pembantunya.

Tapi lagi-lagi Lo Hai yang sudah kalap itu menghunjamkan pisaunya ke arah Liu Wan. Untunglah Liu Wan tetap waspada. Otomatis kedua tangannya menampar ke depan. Karena ada kemarahan yang terpendam di dalam hati, maka seluruh kekuatannya seolah meluncur begitu saja dalam tangkisan itu.
Duaaaar! Tangan itu seperti mengelu¬arkan suara ledakan ketika bertemu dengan lengan Lo Hai! Pelayan itu mengeluh, sementara pisau di tangannya ter¬lempar ke bawah, persis mengenai pung-gung Lo Kang! Dan pisau itu menancap sampai di gagangnya!

Kemarahan Liu Wan benar-benar tak bisa dikendalikan lagi.

"Kurang ajar! Kau... kau! Oh, binatang apa sebenarnya kamu ini?" pemuda itu menjerit.

Liu Wan tak bisa berpikir lagi. Tak terasa kedua tangannya menyambar ke depan dalam jurus Mencabut Hutan Mengangkat Gunung, gerakan terakhir dari Hong-Iui-kun-hoat! Jurus itu diciptakan oleh kakek gurunya pada saat ditinggal pergi nenek gurunya! Perasaan marahi, sedih dan tertekan seperti tertuang dan terungkap dalam jurus itu! Maka tidak mengherankan bila pengaruhnya sungguh hebat tiada terkira!

Sekali lagi di hari yang cerah itu terdengar suara letupan petir menyam¬bar. Dan pada saat yang sama tubuh Lo-Hai tampak terlempar tinggi ke udara.

Lo Hai berusaha menyelamatkan diri dengan menggeliatkan tubuhnya bebera¬pa kali. Gerakan tersebut mampu mena¬han daya luncur tubuhnya ketika kembali jatuh ke bawah. Namun demikian tam¬paran Liu Wan yang dahsyat tadi telah mengacaukan seluruh susunan syaraf dan aliran darahnya. Bagaikan hutan dan gunung yang diaduk oleh topan puting beliung, maka seperti itu pulalah keadaan tubuh Lo Hai ketika kakinya mendarat di atas papan. Orang tua itu sudah tidak berda¬ya lagi ketika menjejakkan kakinya. Tu¬buhnya tersungkur di dekat mayat Lo Kang, saudaranya. Dan matanya yang terbuka itu tampak berkedip-kedip menahan tangis. Mata itu tampak redup dan tidak liar lagi.

Tiba-tiba Liu Wan seperti terbangun dari mimpinya. Matanya terbelalak kosong, seolah tak percaya apa yang telah terjadi. Dipandangnya tubuh Lo Hai yang bergetaran itu beringsut mendekati mayat Lo Kang. Darah mengalir dari sela-sela bibirnya. Dan sebentar kemudian orang itu telah memeluk mayat saudaranya dengan air mata bercucuran. Keduanya mati di depan kaki Liu Wan. 

"Lo Hai... Lo Kang!" Liu Wan tak kuasa membendung rasa sedihnya. Pada saat-saat terakhir baru terpikir olehnya ketidakberesan itu. Sikap Lo Hai sangat aneh dan tidak sewajarnya. Dan keadaan itu seperti sudah terlihat pula oleh Lo Kang. Tapi karena tidak bisa berbicara, maka Lo Kang tidak bisa mengatakannya. Lo Kang hanya berusaha untuk mencegah dan menghentikan kesalah-pahaman itu.

Liu Wan berlutut di depan mayat mereka. Terbayang kembali saat-saat Lo Hai memeluk mayat saudaranya. Wajah dan pandang matanya kelihatan wajar seperti biasanya. Bahkan matanya yang berkeriput itu tampak mengalirkan air mata. Sungguh sangat berlainan dengan saat berkelahi melawan dirinya tadi.

"Lo Hai! Apa yang telah terjadi denganmu? Bukan watakmu untuk berbuat seperti itu, apalagi sampai membunuh saudara kembarmu sendiri. Tentu ada sesuatu di luar kehendakmu, yang membuatmu berbuat seperti ini. Buktinya pada saat-saat terakhir kau kembali normal seperti biasanya...."

Satu persatu mayat itu dibawa Liu Wan ke dalam. Mereka diletakkan berja¬jar di atas meja. Ketika Liu Wan membuka jubahnya untuk menutupi jasad mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara mencurigakan dari ruang dalam.

"Siapa...?" Sambil menyapa Liu Wan melesat ke dalam. Seluruh kekuatannya siap untuk dipergunakan.

Tiada siapa pun di sana. Liu Wan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memeriksa ruangan itu. Namun tak seorang pun dilihatnya. Perlahan-lahan dia bergeser ke bagian belakang, dimana dia memasang gambar-gambar keluarganya.

"Ah...!" Tiba-tiba otot Liu Wan menegang.

Tampak di dalam ruangan itu seorang pemuda tampan sedang menggoyang-goyangkan kipasnya. Dan di sebelahnya berdiri seorang lelaki yang tak mungkin dilupakan oleh Liu Wan! Sogudai!

Pemuda tampan itu tampak pucat, namun sorot matanya sungguh tajam luar biasa. Di depan mereka, persis di te¬ngah-tengah ruangan, terlihat tiga orang lelaki diikat menjadi satu. Mereka ada-lah seorang pemuda dan dua orang tua, di mana salah seorang di antara orang tua itu benar-benar sudah lanjut usia.

"Inikah Bun-bu Siu-cai itu, Sogudai?" Pemuda tampan yang tidak lain adalah Mo Hou bertanya kepada Sogudai.

"Benar, Kongcu. Telah Kongcu lihat sendiri betapa pandainya dia menyamar sebagai seorang tabib tua. Apabila tidak menyaksikan sendiri jenggotnya yang copot tadi, mungkin kita sudah terkecoh pula' olehnya." Sogudai menjawab dengan suara geram.

"Jangan banyak bicara! Aku sudah tahu... dan aku tidak suka melihat dandan¬annya itu! Ternyata ia hanya seorang pe¬ngecut yang berlindung di balik topeng-topeng penyamarannya! Aku justru lebih menghargai pemuda lemah yang kauikat itu. Dia lebih berani daripada pengecut itu...."

Pantang bagi pemuda seperti Liu Wan disebut sebagai pengecut. Apalagi oleh gerombolan pengacau seperti Sogudai dan kawan-kawannya. Tak heran bila wajah di balik penyamaran itu tiba-tiba men¬jadi merah padam.

"Aku belum kenal denganmu. Tapi enak saja kau berkata jelek tentang aku. Apakah kau sadar apa yang kaukatakan? Apakah kau benar-benar masih waras?"

Ternyata kata-kata Liu Wan yang pe¬das itu menyulut kemarahan Mo Hou pula. Terdengar suara berkerotokan ketika pemuda itu mengerahkan tenaga dalam¬nya.

"Kurang ajar! Mulutmu sangat tajam! Kubunuh kau...!"
"Tahan!" Liu Wan mengangkat tangan¬nya ke atas. "Sebelum bertempur aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu. Si¬apakah engkau ini sebenarnya? Apa hu¬bunganmu dengan Sogudai? Dan siapa pu¬la orang-orang yang kauikat ini?"
Mo Hou menurunkan tangannya kem¬bali. Namun matanya masih berkilat pe¬nuh hawa pembunuhan ketika menjawab pertanyaan Liu Wan.
"Aku bukan pengecut yang suka me¬nyembunyikan diri seperti engkau. Aku orang Hun dari luar Tembok Besar. Aku putera Raja Mo Tan Yang Agung. Na¬maku Mo Hou, dan Sogudai adalah pem-bantuku. Kedatanganku ke sini adalah untuk menangkap dan membunuhmu, ka¬rena kau telah berani mengganggu anak buahku. Nah, apa lagi...?"
Jawaban itu memang sangat menge¬jutkan Liu Wan. Meskipun sejak semula ia sudah menduga kalau Sogudai itu ten¬tu memiliki hubungan dengan Raja Mo Tan, namun kenyataan tersebut tetap sa¬ja menggetarkan hatinya. Kini tinggal mencari, apa sebenarnya yang dilakukan oleh orang-orang Mo Tan itu di Tiong-goan.
"Dan kedatanganku di sini tidak ada hubungannya dengan orang-orang Im-yang kau ini. Kami bermusuhan dengan mere¬ka sejak mereka mencampuri urusan ka¬mi kemarin malam. Mereka melarikan diri dari pertempuran. Maka ketika kute¬mui mereka di sini, kami tak mau kehi¬langan lagi. Nah, sekarang giliranmu un¬tuk menyerahkan diri. Akan kuikat kau bersama mereka, kemudian kubakar ber¬sama rumahmu ini. Hmmmmmm, bagus sekali, bukan?" Mo Hou meneruskan ucapannya.
Liu Wan tidak memperdulikan ancam¬an tersebut. Pikirannya lebih terpusat pa¬da orang-orang yang terikat itu. Liu Wan memang belum pernah mengenal tokoh-tokoh Im-yang-kauw. Namun demikian di dalam hatinya timbul juga perasaan, jangan-jangan salah seorang dari mereka itu adalah Giam Pit Seng, guru Tio Ciu In.
"Aku tahu, kau ingin membalas den¬dam atas kekalahan Sogudai di Kuil Pek-hok-bio. Tapi sebelum bertempur, kata¬kan juga kepadaku, apakah kematian pembantuku tadi juga karena perbuatan-mu?"
Mo Hou tertawa panjang. Gema sua¬ranya menggetarkan permukaan air em¬pang di sekeliling pondok itu, sehingga ikan-ikan kecil di dalamnya tampak ber¬larian menyembunyikan diri di balik be-batuan.
"Huh, mengapa otakmu begitu bodoh? Kau telah memperlakukan Sogudai seperti binatang buruan. Maka tidak ada salah-nya pula kalau aku juga memperlakukan pembantumu seperti ayam aduan. Bukan¬kah hal itu sudah adil?"
"Manusia tak berperasaan...!" Liu Wan mengumpat.
"Sudahlah! Waktuku tidak banyak. Dan sebentar lagi matahari juga akan terbe¬nam. Tidak enak rasanya kalau malam-malam membakar rumah ini. Ayoh, me¬nyerahlah! Kau bukan lawan yang setim¬pal untukku...." Mo Hou menggeram.
"Tunggu...! Satu pertanyaan lagi! Be¬narkah kau yang membantai para praju¬rit dan perwira kerajaan itu?"
Sekonyong-konyong pemuda itu meng¬gertakkan giginya. "Tidak salah! Setiap prajurit Kerajaan Han memang layak un¬tuk dibunuh! Nah... kau mau apa?"
"Kemarin aku bertemu dengan seo¬rang gadis bernama Mo Goat. Kau ke¬nal" dia?" Dalam kekagetannya Liu Wan masih berusaha untuk mengorek kete¬rangan sebanyak-banyaknya.
Mo Hou tersentak kaget. Matanya yang dingin tajam itu berkilat-kilat me¬ngawasi Liu Wan. Ada sinar kecurigaan di mata bak burung hantu itu.
"Kau maksudkan seorang gadis yang selalu memegang kipas seperti kepunya¬anku ini?" tanyanya kemudian tak perca¬ya.
"Ya!" Liu Wan menganggukkan kepa¬lanya.
Mo Hou menatap Sogudai sebentar. "Gila! Kenapa bocah itu sudah ada di si¬ni?" Ia bergumam penasaran.
Pemuda itu melangkah setindak ke depan, sehingga Liu Wan bergegas me¬ngerahkan seluruh kekuatannya. Mo Hou adalah putera Mo Tan, Raja dari seluruh suku bangsa liar di utara Tembok Besar. Mo Tan sangat terkenal akan kehebatan ilmunya, karena itu Mo Hou tentu lihai pula seperti ayahnya.
"Dengan siapa adikku itu berada keti¬ka bertemu denganmu?"
"Oh... jadi gadis galak itu adikmu?"
Diam-diam perasaan Liu Wan menjadi kecut. Kalau Mo Goat saja demikian dahsyatnya, apalagi kakaknya. Tak tera¬sa keringat dingin mulai mengalir mem¬basahi punggungnya.
"Gila! Cepat katakan...! Dengan sia¬pa adikku itu berada?" Tiba-tiba Mo Hou berseru bengis.
"Aku tidak tahu nama-nama mereka. Hanya salah seorang di antaranya di¬panggil dengan sebutan Panglima...."
"Solinga!" Mo Hou berdesah. Matanya menatap Sogudai.
"kongcu...?" Sogudai menanti perin¬tah.
Pemuda itu mendekati Sogudai, lalu berbisik pelan. "Pergilah menemui Lok-kui-tin! Katakan kepada mereka bahwa adikku dan Panglima Solinga sudah ber¬ada di kota ini! Katakan pula agar me-reka mencari rombongan itu dan menung¬gu kedatanganku di tempat biasanya!"
"Bagaimana dengan dia?" Sogudai me¬nunjuk ke arah Liu Wan.
"Jangan pedulikan dia. Bocah yang menyamar jadi tabib ini juga akan ku¬ikat pula seperti yang lain. Mereka akan kubakar bersama-sama rumah ini. Nah, pergilah!"
Sogudai tidak berani membantah lagi. Sekali berkelebat tubuhnya yang besar itu melesat ke luar pondok. Sebentar sa¬ja dia telah menghilang di balik rimbun¬nya pepohonan.
"Nah, Bun-bu Siu-cai... nama julukan-mu sangat hebat. Aku percaya kepandai-anmu tentu hebat pula. Tapi demi keba¬ikanmu sendiri, engkau tak usah mela¬wan. Coba kau lihat, siapa yang terikat di depanmu itu? Mereka adalah tokoh-tokoh puncak aliran Im-yang-kau. Orang tua yang sudah uzur itu adalah Lo-jin-ong, sesepuh Im-yang-kau. Di waktu mu¬danya ia disebut orang Toat-beng-jin (Ma lu^sia Pencabut Nyawa). Sedangkan yang lain adalah Giam Pit Seng, Ketua Cabang Im-yang-kau daerah timur bersa¬ma muridnya. Nah, mereka bertiga tidak kuasa melawan aku. Apalagi... kau!"
Selesai bicara Mo Hou mengangkat tangan kanannya, siap untuk menyerang. Tangan kirinya yang memegang kipas te¬tap terlipat di depan dada. Hawa dingin berembus dari dalam tubuhnya, suatu tanda bahwa tenaga dalamnya telah ter¬salur ke seluruh darahnya.
Liu Wan terkejut. Benar juga dugaan nya, ternyata salah seorang di antara orang yang terikat itu adalah guru Tio Ciu In. Tapi tidak ada kesempatan untuk menolong mereka. Ia tidak bisa mengelak lagi dari pertempuran itu. Bagaimanapun juga dia tetap harus berkelahi melawan Mo Hou. Apabila ilmu silat pemuda itu memang lebih tinggi daripada adiknya, maka kesempatannya memang sangat tipis.
Dan apa yang ditakutkan oleh Liu Wan memang menjadi kenyataan. Begitu bergerak tubuh Mo Hou laksana burung walet menyambar mangsanya. Walaupun sudah bersiap-siaga, gerakan Liu Wan te¬tap terlambat setindak. Serangan tangan kanan Mo Hou yang berbentuk cengke¬raman itu hampir saja mengenai pelipis¬nya. Liu Wan sudah berusaha menghin¬dar secepatnya, namun serangan itu te¬tap menyerempet rambutnya. Bahkan do¬rongan hawa dingin yang menyertai se-rangan tersebut terasa membeset kulit¬nya dan mencabut beberapa lembar ram¬but di keningnya.
Buru-buru Liu Wan membanting tu¬buh ke samping, sekalian melepaskan se-
buah pukulan berputar dari bawah ketiak nya. Gerakan itu disebut Membuat Ben¬dungan Menadah Hujan, jurus ke tiga pu¬luh tiga dari Hong-Iui-kun-hoat. Jurus ini memang diciptakan untuk menangkal dan menghadapi lawan yang lebih kuat. Ba¬gaikan sebuah bendungan air tubuh Liu Wan menyedot sebagian dari arus keku¬atan lawan, kemudian memuntahkannya kembali lewat pukulan tangannya.
"Bagus...!" Mo Hou menghindar sera¬ya memuji.
Dhuuuuaaar! Pukulan udara kosong Liu Wan meledak hanya sejengkal dari tubuh Mo Hou! Ternyata Mo Hou berge¬rak lebih cepat. Tubuhnya yang jangkung itu menyelinap ke kanan. Begitu cepat¬nya sehingga mata Liu Wan hampir tidak bisa mengikutinya. Pemuda itu seperti menghilang begitu saja.
Dan pada saat yang hampir bersama¬an, Liu Wan merasa seperti diterpa oleh hembusan angin dingin dari arah belakang. Hembusan hawa dingin itu begitu kuat¬nya, sehingga kulit punggungnya bagai dicocok dengan ribuan batang jarum.
Liu Wan tahu bahwa Mo Hou berada di belakangnya. Tetapi untuk berbalik serta menangkis serangan tersebut, jelas tidak ada waktu lagi. Namun kalau ha¬rus menghindar lagi, dia akan semakin kalah langkah dan terdesak. Bahkan pada serangan selanjutnya dia tentu akan ma¬ti langkah dan tidak bisa berkutik lagi. Hal itu berarti bahwa dia ditundukkan lawan dalam tiga jurus saja!
Demikianlah, pada saat-saat yang berbahaya itu tiba-tiba Liu Wan meng¬ambil keputusan yang amat riskan dan berbahaya. Bahkan bisa dibilang untung-untungan. Dia biarkan pukulan nya itu mengarah ke punggungnya, se¬mentara secara naluriah tubuhnya meng¬geliat sedikit untuk memperkecil bi¬dan sasaran. Kemudian dengan berani Liu Wan menghantamkan sikunya ke belakang, untuk menyongsong pukulan Mo Hou. Liu Wan hanya berharap agar la¬wannya yang belum kenal Hong-lui-kun-hoat itu menjadi ragu-ragu dan mengu¬rungkan niatnya.
Ternyata perhitungan Liu Wan benar.
Melihat keberanian Liu Wan, pemuda itu justru menjadi curiga. Pemuda itu me¬nyangka ada jebakan dalam gerakan Liu Wan, sehingga dengan cepat pula dia menahan tangannya. Serangan yang su¬dah hampir mengenai sasaran itu buru-buru ditarik kembali dan diganti dengan tendangan kaki ke arah pinggang.
Tapi waktu yang hanya sesaat itu su¬dah lebih dari cukup bagi Liu Wan. Be¬gitu serangan Mo Hou yang berbahaya itu ditarik, Liu Wan dengan tangkas me¬loncat mundur. Gerakan yang dia laku- pada saat yang sangat berbahaya lawan benar-benar cepat bukan main.
Siiiing! Ujung sepatu Mo Hou menge¬jar perut Liu Wan, namun gagal. Ujung sepatu itu hanya mampu menyerempet baju Liu Wan hingga bolong.
Sebaliknya Liu Wan yang telah dapat membebaskan diri dari tekanan Mo Hou, segera balas menerjang dengan jurus Sambaran Petir Membelah Bumi! Tela¬pak tangan Liu Wan menyambar ke ba¬wah, tertuju ke arah perut Mo Hou!
"Kurang ajar! Ternyata engkau berisi juga seperti tokoh Im yang kau tua itu! Mampu melayani tiga jurus seranganku tanpa terluka! Tapi jangan bergembira dulu, karena semuanya ini baru dimulai, serangan sebenarnya baru akan keluar sebentar lagi…”
Sambil berbicara Mo Hou melangkah ke tengah ruangan, menjauhi tubuh Lo Jin Ong dan Giam Pit Seng, sekejap wajah yang tampan tapi berkesan licik itu meringis seperti menahan sakit.
“kau memang beruntung, Bun bu siucai apabila aku tidak terluka oleh pukulan Put pai siu hong jin, kau tak mungkin bisa menghindar pukulanku tadi”
“Put pai siu hong jin? Kau berkelahi dengan orang tua itu?”
“Hmmm… Lo Jin Ong dan put pai siu hong jin mencoba menyelamatkan para prajurit itu, sayang usaha mereka sia-sia, Lo Jin Ong melarikan dari pertempuran, sementara Put pai siu hong jin terbenam ke dalam laut.”
Li Wan merasa semakin kecut hatinya, meskipun dia juga merasa memiliki kepandaian, namun kalau dibandingkan dengan Put pai siu hong jin dan Lo jin ong terang ia belum ada apa-apanya, aabila benar mereka itu telah dikalahkan oleh Mo Hou berarti diapun tak mungkin bisa selamat pula.
Tapi Liu Wan tak ingin menyerah begitu saja, di dalam petarungan silat semua kemungkinan bisa terjadi, orang yang memiliki ilmu silat lebih tinggi belum tentu selalu mendapatkan kemenangan, kadang-kadang kecerdikan dan akal budi lebih diutamakan, bahkan nasib orangpun sering menentukan pula.
Liu Wan benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya. Hong lui sin kang yang telah dipelajarinya selama bertahun-tahun terungkap sampai ke puncaknya, kulitnya berubah kecoklatan seperti tembaga yang berkilat di timpah matahari.
Mo Hou juga maklum bahwa lawannya memiliki kepandaian tinggi, tanpa ilmu silat yang baik tak mungkin pemuda itu mendapatkan julukan Bun bu siucaidan mengalahkan Sogudai. Sogudai telah dikenalnya dengan baik, begitu pula dengan ilmu silatnya.
Oleh karena itu begitu bergerak Mo Hou mengerahkan hampir tiga perempat I kekuatannya. Tangannya menyambar ubun j ubun Liu Wan, diikuti oleh tebaran uda¬ra dingin yang berhembus memenuhi ru¬angan. Pemuda yang diikat bersama-sama dengan Lo-jin-ong itu tampak bergetar menahan dingin.
Liu Wan merendahkan tubuhnya. Da¬ri bawah ia mendorong ke atas dengan dua telapak tangan terbuka. Seluruh te¬naga saktinya bagai terhentak keluar, menerjang dada Wuuuuuus! Su¬aranya terdengar bergemuruh laksana gu¬ruh yang menggelegar di antara hujan.
Mo Hou berputar ke samping untuk mengelakkan pukulan berbahaya tersebut. Kecepatan geraknya sungguh mentakjub kan. Sepintas lalu tubuhnya seperti ba¬yang-bayang yang meluncur dan berkele¬bat pergi menjauhi Liu Wan. Namun di lain saat bayangan itu kembali datang dengan serangan yang lebih dahsyat lagi.
Liu Wan mencoba untuk mengimbangi kecepatan lawannya, tapi tak berhasil.
Semakin lama gerakan Mo Hou semakin cepat, sehingga Liu Wan terpaksa meng¬obral Pukulan Geledeknya untuk berta¬han. Tanpa benteng pukulan geledek itu ia tak mungkin bisa menahan kecepatan lawannya.
"Tampaknya ilmu silatmu sudah habis. Padahal aku belum mengeluarkan selu¬ruh kemampuanku, apalagi ilmu andalan perguruanku. Bagaimana...? Ingin diterus¬kan juga?" Sambil melesat berputaran mengelilingi lawannya. Mo Hou menge¬jek.
"Sombong! Kalau memang mampu, ce¬pat kau jatuhkan aku!"
"Tentu ^aja! Biasanya aku memang tidak pernah membuang-buang waktu. Kalau sekarang aku tidak lekas-lekas meringkusmu, hal itu disebabkan karena rasa kesal dan penasaranku. Kau telah banyak merusak rencanaku, membuat sengsara anak buahku, sehingga aku me¬rasa sayang kalau cepat-cepat membu¬nuhmu. Biarlah kau menyadari dulu kesa-ahanmu sebelum mati. Siapa sebenarnya yang kauhadapi, dan seberapa tinggi ilmu yang kau miliki, hingga kau berani me-ngacaukan rencanaku."
"Anak liar! Ayoh, jangan bicara sa¬ja!" Liu Wan menggeram sambil mener¬jang ke depan.
Tampaknya Mo Hou sudah merasa cu¬kup memberi pelajaran kepada Liu Wan. Sikapnya yang agak kendor itu kini telah berubah menjadi kaku lagi seperti biasa¬nya. Dengan sinar mata dingin ia me-nyongsong terjangan Liu Wan itu dengan keras pula. Kipasnya terayun ke depan, menyambut kepalan Liu Wan.
Tentu saja Liu Wan tidak berani adu tenaga. Selain tenaga dalamnya masih lebih rendah, kipas Mo Hou juga bisa melukai tangannya. Oleh karena itu pa¬da kesempatan terakhir Liu Wan memu¬tar pergelangan tangannya dalam jurus Memutar Kemudi Menggulung Layar. Ge¬lombang getaran yang kuat seolah-olah keluar dari telapak tangannya, menerjang ke depan, menepis kipas Mo Hou. Hanya menepiskan sedikit saja, karena selain kalah tenaga, kipas itu juga terbuat dari lembaran-lembaran baja tipis yang sulit dirusakkan.
Namun tepisan yang hanya sedikit itu sudah cukup bagi Liu Wan untuk melan¬jutkan gerakannya. Begitu arah kipas itu sedikit melenceng, maka kedua tangan¬nya cepat dihentakkan ke bawah, seperti menarik tali layar secara mendadak! Berbareng dengan itu, kaki kanan Liu Wan menggempur ke atas, ke arah kipas lawannya!
"Bagus!" Mo Hou berseru.
Sambil menyerang Liu Wan masih sempat menatap wajah lawannya. Sekilas ia melihat senyum kemenangan di bibir pemuda itu. Liu Wan terkesiap, tapi ter¬lambat.
Dhuuuaaar! Kipas itu terlempar ke udara. Tapi pada saat yang sama tangan kanan Mo Hou menyelinap ke bawah, menyongsong tendangan kaki Liu Wan. Cepat bukan main! Tahu-tahu kaki Liu Wan terasa kesemutan, dan selanjutnya tidak bisa digerakkan lagi. Lemas!
Liu Wan hampir jatuh tertelungkup karena kaki itu tak mau menyangga tu¬buhnya. Sambil terpincang-pincang Liu Wan berusaha membuang" tubuhnya ke samping. Mo Hou tidak mengejarnya.
"Hehe, masih mau melawan juga?" Mo Hou tertawa puas.
Lui Wan mencoba memunahkan totok-an Mo Hou, tapi tak berhasil.
"Kurang ajar!"
Tanpa mempedulikan kakinya Liu Wan nekad menerjang lawannya lagi. Seluruh tenaga dalamnya tersalur melalui lengan¬nya. Duaarr! Duaaar! Ledakan-ledakan kecil memburu bayangan Mo Hou. Sema¬kin lama semakin cepat, sehingga ba¬ngunan kecil di atas empang itu bagai¬kan hendak meledak karenanya.
Mo Hou berkelebat semakin cepat mengelilingi Liu Wan. Sambil tertawa mengejek pemuda itu sekali-sekali meng¬gebrak pertahanan Liu Wan. Dan bebera¬pa kali pula serangannya itu mampu me-ngecoh benteng angin yang diciptakan Liu Wan, bahkan melukainya.
Dhiegh!
Dhuuuuuar! Dhuaaaaarr!
Pertempuran mereka dapat diibarat¬kan seperti pertarungan seorang matador melawan seekor banteng liar. Liu Wan yang memiliki ilmu silat keras dan lugas bagaikan seekor banteng liar, mengum¬bar pukulan-pukulan petirnya. Sementara Mo Hou yang gesit dan lincah, laksana seorang matador, melenting ke sana ke mari menghindarinya.
Hong-lui-kun-hoat memang dahsyat ti¬ada terkira. Tapi sayang sekali ilmu si-: lat itu terlalu banyak menguras tenaga dalam. Menghadapi lawan yang lincah dan pandai mengelak, ilmu itu tak bisa berbuat banyak. Malah akhirnya bisa menjadi bumerang bagi tuannya.
Demikianlah, seperti halnya banteng liar yang hanya mengandalkan kekuatan¬nya, akhirnya Liu Wan kehabisan tenaga. Apalagi ketika Mo Hou beberapa kali da¬pat memasukkan pukulannya. Liu Wan semakin terdesak.
Tampaknya Mo Hou benar-benar ingin membuktikan ancamannya. Pemuda itu tidak ingin langsung membunuh Liu Wan, tapi ingin mengikat dan membakarnya bersama yang lain. Oleh karena itu se-perti sengaja bermain-main ia menotok satu-persatu anggota badan Liu Wan.
Liu Wan memang tak bisa berbuat banyak. Berturut-turut jalan darah pada anggota badannya tertotok lemas oleh ujung kipas Mo Hou. Setelah kaki kanan¬nya tak bisa digerakkan, lalu disusul oleh tangan kirinya. Dan beberapa saat kemudian diikuti pula oleh sambaran ki¬pas pada jalan darah pang-hu-hiat di tangan kanannya, sehingga otomatis Liu Wan hanya bisa menggerakkan kaki kiri¬nya saja.
Kini Liu Wan tinggal bisa berloncat¬an dengan satu kaki. Namun demikian pemuda itu tetap tidak mau menyerah. Bagaikan burung bangau yang berloncat¬an dengan satu kaki, pemuda itu tetap menerjang. Dia berloncatan menyerang dengan sabetan kakinya.
Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Sejurus kemudian ujung kipas Mo Hou kembali menyelinap dan menghajar de¬ngan tepat jalan darah teng-liu-hiat di atas lutut Liu Wan. Thuuuuk...!
Bruug! Tubuh Liu Wan yang tegap itu terbanting ke lantai seperti banteng liar yang jatuh berdebam terkena jerat!
"Hehehe... apa kataku tadi? Seperti yang lain-lain itu maka engkau pun bu¬kan lawan yang setimpal buatku! Kini kau juga tak bisa bergerak pula seperti mereka."
"Sudahlah, aku memang kalah! Kau bisa membunuhku sekarang!" Liu Wan yang masih dapat berbicara itu mengge¬ram marah.
"Tentu! Tapi aku berhak menentukan cara-cara yang kusukai untuk membunuh¬mu! Membunuh orang-orang sombong yang suka mencampuri urusan orang lain! Dan cera yang kuinginkan adalah... mem¬bakar tubuh kalian, seperti layaknya membakar babi panggang di atas perapi¬an, heheheh!" Mo Hou tertawa kejam.
"Manusia kejam! Manusia berhati bi¬natang!"
"Tapi sebelum aku membakar tubuh¬mu, aku ingin menyaksikan dulu tampang aselimu. Seperti apakah Bun-bu Siu-cai itu?" Mo Hou buru-buru menambahkan.
Selesai berkata, tangan Mo Hou be¬nar-benar mencopoti penyamaran Liu Wan, sehingga wajah aseli pemuda itu terlihat dengan jelas.
"Hei, ternyata kau masih muda dan tampan. Wah... sayang juga kalau mati. Tapi... apa boleh buat. Kau memang layak untuk mati!"
Demikianlah, setelah melemparkan tubuh Liu Wan ke pojok ruangan di ma¬na tokoh-tokoh Im-yang-kau tadi berada. Mo Hou lalu menaburkan jerami kering yang banyak terdapat di ruang belakang. Dan sesaat kemudian ia telah siap de¬ngan pemantik apinya.
"Nah, selamat jalan... kalian semua!"
Bersamaan dengan berkobarnya api yang mulai membakar pondok kayu itu. Mo Hou melesat pergi melalui jembatan penyeberangan. Untuk beberapa saat pe¬muda itu masih berdiri di tepi empang, menyaksikan lidah api yang mulai me¬rembet ke atas atap. Selanjutnya dengan wajah puas ia berlari meninggalkan tem¬pat itu.
*
Begitulah, kalau Liu Wan dan para tokoh Aliran Im-yang-kau itu merasa ke¬panasan akibat kobaran api di sekitar¬nya, maka nun jauh di tengah lautan A Liong justru kedinginan karena harus bertarung melawan gelombang laut yang hendak menelannya.
Seharian penuh pemuda itu diombang-ambingkan ombak. Untunglah sejak kecil pemuda itu sudah terbiasa bermain-main di sungai, sehingga dia bisa mengatur tubuhnya agar tidak tenggelam. Dan le¬bih beruntung lagi ketika di tengah laut dia mendapatkan sebuah gentong kayu be-, sar, yang biasa dipergunakan oleh para nelayan untuk menyimpan air tawar. Tampaknya benda itu berasal dari pera¬hu Au-yang Goanswe dan pasukannya. Air tawar yang masih tersisa di dalam genting kayu itulah yang akhirnya banyak membantu kehidupan A Liong.
Sejak kecil A Liong memang sudah terbiasa menghadapi nasib buruk. Bah¬kan pemuda itu juga sudah sangat akrab dengan segala macam kesulitan dan ke¬sengsaraan hidup. Namun justru kesulitan dan kesengsaraan hidup itulah yang" menggembleng dan menggodoknya menja¬di lebih cepat dewasa dan matang.
Dengan usianya yang baru enam be¬las tahun itu A Liong telah memiliki watak dan kepribadian yang kokoh serta tahan uji. Semangat hidupnya tak pernah ; padam. Bahkan dalam keadaan yang sangat I menyedihkan itu dia tetap bergembira dan bersemangat.
Demikianlah ketika cuaca kembali ce¬rah, dan bulan yang cantik itu muncul di atas langit, maka tubuh A Liong ma¬sih tetap terayun dan terbuai oleh ayun¬an gelombang laut. Bahkan«enjgar§ meng¬ikatkan sabuknya pada gentong kayu itu, A Liong sempat terkantuk-kantuk. Tiba-tiba pemuda itu tersentak ka¬get, matanya melotot, memandang gejo¬lak air di sekelilingnya. Belasan benda aneh tampak timbul tenggelam di dekat¬nya. Semakin dekat benda itu semakin sering berada di atas air. Bahkan sering meloncat tinggi ke udara. Rasa takut membuat pemuda itu tidak berani berge¬rak.
"Ah, kelihatan seperti ikan besar. Jangan-jangan ikan hiu!"
Beberapa saat kemudian benda-benda aneh yang belum pernah dilihat oleh A Liong itu telah tiba. Ternyata mere¬ka adalah sekawanan ikan lumba-lumba yang datang karena tertarik pada A Liong. Begitu datang mereka segera ber¬putaran di sekeliling A Liong. Bahkan beberapa ekor di antaranya malah meng¬gesek-gesekkan kulitnya kepada A Liong, seolah-olah binatang cerdik itu mau me-ngajaknya bermain.
Tapi karena belum pernah melihat binatang itu, A Liong tetap tidak bera¬ni berbuat apa-apa. Bergerak pun ia tak berani. Takut kalau binatang itu kaget
Karena perutnya kosong, maka di da¬lam kantuknya pemuda itu membayangkan makanan dan minuman yang enak-enak. Dibayangkannya sendiri seolah-olah dia sedang berbaring di kursi goyang, dan belasan orang bidadari cantik datang mengerumuni dirinya. Gadis-gadis cantik itu melayani makan, minum, serta memijiti kakinya. Oh, bukan main nikmatnya!
Sebaliknya ikan lumba-lumba itu ke¬lihatan senang dan amat tertarik kepada A Liong. Bagaikan binatang-binatang pi¬araan yang senang bercanda, ikan lumba-lumba itu mengerumuni A Liong. Mereka menggosok-gosokkan kulitnya, bahkan moncong hidungnya ke kepala A Liong.
Akhirnya A Liong tidak merasa ta¬kut lagi. Ikan-ikan bertubuh besar itu ternyata sangat bersahabat dan sama se¬kali tidak bermaksud jahat terhadap di¬rinya. Diam-diam pemuda-pemuda itu tersenyum geli. Di dalam pikirannya kembali terbayang bidadari-bidadari can¬tik yang datang mengerumuninya.
Malam semakin larut. Bulan yang ce¬rah itu sudah tidak kelihatan lagi. Gum¬palan awan yang tebal menutupi seluruh wajahnya, sehingga dunia seolah-olah beruban menjadi hitam kelam. Cahaya jutaan bintang di langit tetap tak kuasa menggantikan sinar rembulan.
Laut pun tampak hitam legam, se¬hingga A Liong merasa seperti berku¬bang dalam genangan darah yang menge¬rikan. Anehnya, kawanan ikan lumba-lumba itu tetap berseliweran di dekat A Liong. Mereka bagaikan binatang pia¬raan yang berusaha melindungi tuannya. Bahkan kawanan lumba-lumba itu seperti Imenggiring A Liong melalui tempat yang aman.
Dalam keadaan gelap seperti itu A Liong tidak tahu arah lagi. Pemuda itu hanya merasa seperti dihanyutkan oleh arus laut ke arah Utara. Semakin lama airnya semakin terasa dingin.
"Aduh... gelapnya! Andaikata ada lammm.... oh?!"
A Liong terdesak dan hampir saja terminum air yang menyiram wajahnya, ketika matanya tiba-tiba melihat cahaya lampu ' minyak melayang mendatangi. Tentu saja A Liong buru-buru menghin¬dar ke balik gentong kayunya. Tapi sesa¬at kemudian mulutnya kembali melongo.
"Gila!" Pemuda itu berdesah dan ter-longong-longong bingung ketika menyak¬sikan lampu minyak yang hendak melang¬gar dirinya tadi mendadak lenyap tak keruan arahnya.
Sekejap ada perasaan seram di dalam hati A Liong. Jangan-jangan ada hantu yang hendak menakut-nakuti dirinya. Ta¬pi dasar A Liong. Rasa takut itu hanya singgah sebentar saja dalam hatinya. Se¬saat kemudian matanya justru mencari-cari, ke mana perginya lampu aneh itu.
Namun sampai beberapa waktu kemu¬dian lampu itu tak dapat dilihatnya kem¬bali, sehingga A Liong menganggap dia tadi hanya melihat bayang-bayang saja. Mungkin karena dia terlalu lelah, lapar dan mengantuk, pandangannya menjadi kabur. Seolah-olah matanya melihat se¬buah lampu minyak yang sebenarnya tak pernah ada.*
"Ah, karena kedinginan dan kelapar¬an, pikiranku membayangkan hal yang bukan-bukan. Aku... hei?!? Ke manakah kawanan ikan besar tadi?"
Sekali lagi mata A Liong belingsatan ke sana ke mari. Tapi tak terlihat apa pun di sekelilingnya. Di mana-mana ha¬nya hitam. Hitam dan hitam. Hanya se¬kali-sekali terlihat kilatan sinar bintang yang memantul di ujung riak dan gelom¬bang.
"Wah, jangan-jangan ikan itu juga... hantu laut!"
Rasa seram kembali mencekam hati A Liong. Kubangan hitam di bawahnya itu entah sampai di mana dasarnya. Dan di dalamnya tentu dihuni oleh berma¬cam-macam makhluk mengerikan. Tiba-tiba ingin rasanya ia menarik kakinya dan naik ke atas gentong kayu itu. Tapi mana mungkin ia bisa melakukannya? Gentong kayu itu tak cukup kuat untuk menampung tubuhnya. Akibatnya ia se-perti berada di depan mulut ikan paus, yang sewaktu-waktu akan menelannya.
Kini rasa takut benar-benar telah me¬nguasai hati A Liong. Keberanian yang dimilikinya hampir tak kuasa lagi berta¬han menghadapi peristiwa yang belum pernah dialaminya itu. Bagaimanapun ju¬ga rasa lelah dan lapar membuat daya tahannya menurun.
"Oooh, tampaknya... tampaknya aku sudah... hei, apa itu?"
Untuk ketiga kalinya mata A Liong terbelalak! Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah sampan kecil muncul dan melintas dengan cepat di depan¬nya! Sekilas tampak bayangan seorang manusia duduk di dalamnya.
"Cici Siau In...?!? Otomatis lidah A Liong menyebut nama Siau In.
Seperti orang kesetanan A Liong be-renang mengejar sampan itu. Demikian bersemangatnya sehingga gentong kayu yang terikat dengan sabuknya itu hampir terlepas dari tubuhnya.
Tapi bersamaan dengan datangnya se-gulung ombak, sampan itu mendadak le¬nyap begitu saja. Sampan kecil itu ba¬gaikan ditelan masuk ke dalam perut 'ombak yang ganas.
Beberapa saat lamanya A Liong ma¬sih mencari ke sana ke mari, tapi suasa¬na yang gelap itu tidak menguntungkan¬nya. Seluruhnya kembali berwarna hitam. Hitam mengerikan.
A Liong tertunduk lemah. Rasa le¬lah dan lapar benar-benar membuat ke¬seimbangan batinnya menjadi kacau.
"Gila! Lama-lama aku bisa gila kalau begini...!"
Demikianlah, sampai saatnya matahari memancarkan sinarnya di ufuk timur. A Liong tetap tak bisa memejamkan matanya. Rasa lapar benar-benar sangat menyiksanya sehingga matanya terasa berkunang-kunang. Air laut yang berge¬jolak merah bak genangan darah itu tak mampu lagi menarik perhatiannya.
Burung-burung laut mulai beterbang-' an mencari mangsa. Suaranya terdengar nyaring di antara gemuruhnya deru ge¬lombang. Mereka melayang berputaran di atas kepala A Liong, seolah-olah me¬reka ingin memastikan makhluk aneh yang terapung di bawah mereka. Bahkan ada / satu dua ekor, yang berani mendekati^ dan menyambar rambut pemuda itu.
Tapi gangguan burung itu tak mampu lagi mengusik perhatian A Liong. Pemu¬da itu sudah memutuskan untuk tidak mempedulikan lagi bayang-bayang bu-I. ruk yang menggoda matanya. Pemuda itu tetap mengira bahwa semua yang di¬lihatnya hanyalah bayangan, yang seke¬jap kemudian tentu akan hilang tertiup angin.
Demikian pula ketika tiba-tiba pemuda itu melhat kawanan ikan lumba-lumba datang mendekati. A Liong sama sekali ak peduli. Bahkan pemuda itu tetap tak tertarik pula ketika binatang-binatang menyenangkan itu bermain-main di atas permukaan air. Mereka bergantian me¬loncat ke udara dan berenang berputar¬an mengelilingi sebuah sampan yang di¬tumpangi oleh seorang kakek tua.
"Ah, tipuan lagi...! Paling-paling cu¬ma bayangan yang hendak menggoda ma¬taku saja! Huh!" A Liong bergumam sambil memejamkan matanya.
Duuuuk! A Liong terperanjat. Seekor di antara ikanllAnba-lumba itu menyi tuh punggungnya, dan nyaris melempar kannya ke dalam air. Ketika A Liong berputar untuk melihat pengganggunya, sampan kecil itu telah berada di depan matanya. Bahkan ia dapat melihat de¬ngan jelas senyum kakek itu.
A Liong mengucak-ucak matanya. Dia tetap belum percaya apa yang dilihat¬nya. Tapi ketika kakek di atas sampan itu menyapanya, A Liong baru tergagap kaget. "Anak muda, kau siapa.....? Mengapa kau terapung-apung di sini? Apakah kau juga dari Pondok Pelangi?" A Liong yang masih dalam keadaan gugup tak bisa segera menjawab. Pemuda itu masih belum yakin kalau yang diha¬dapi adalah manusia biasa seperti diri¬nya. Dia masih tetap beranggapan bahwa apa yang dilihatnya itu cuma bayangan seperti tadi malam.
Byuuuuuur! Sebuah ombak yang amat besar menghantam sampan kecil itu hingga terlempar jauh. Begitu pula dengan gentong kayu A Liong. Barang itu terlempar pula bersama-sama dengan pe-numpangnya.
A Liong gelagapan seperti anak ayam yang tercebur ke dalam kolam. Namun demikian, begitu muncul dari dalam air, yang pertama dicarinya adalah kakek tua itu. Tapi sekali lagi hatinya menjadi ke¬cewa sekali. Tak ada sebuah benda pun tampak di sekitarnya.
"Gila! Aku sudah gila!" Umpatnya pe¬nuh geram. * Byuuuuur! Makian dan kekesalan pemuda itu dijawab dengan gempuran ge-"~ lombang lagi. Bahkan kali ini ombak yang datang lebih besar daripada tadi. Begitu besarnya sehingga gentong kayu itu terlempar jauh dan terlepas dari A Liong!
A Liong tidak menyadari bahwa tu¬buhnya terseret ke dalam pusaran air yang sangat ganas. Sebuah pusaran yang tercipta dari pergesekan dua buah arus laut. Air laut di tempat itu berputar dengan kuat sekali. Jangankan manusia kecil seperti A Liong, sebuah perahu besar pun dengan mudah akan dipilinnya seperti baling-baling.
Seperti sehelai daun kering yang tak ada artinya, tubuh A Liong timbul teng¬gelam tak berdaya. Memang, bagaimana¬pun hebat kekuatan dan kesaktian manu¬sia, dia tetap takkan mampu melawan keganasan. alam. Akhirnya yang bisa di¬lakukan oleh A Liong hanya bertahan dan mencoba untuk menyelamatkan diri.
Agaknya Tuhan memang belum meng¬hendaki nyawa A Liong. Terbukti dengan segala kekuatannya pemuda itu masih bisa melepaskan diri dari pusaran air"" yang menggulungnya. Bahkan dengan si¬sa-sisa tenaganya A Liong masih bisa berenang menjauhi tempat itu.
A Liong berenang bagaikan dikejar setan. Pemuda itu sama sekali tak sem¬pat memikirkan arah dan tujuannya. Yang penting bagi pemuda itu, bagai¬mana menjauhkan diri dari tempat ter¬sebut secepatnya.
Setelah terbebas dari cengkeraman maut, barulah terasa oleh A Liong be¬tapa lemas seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja semangat dan kekuatannya seperti tiada lagi. Bahkan untuk bertahan agar tidak tenggelam pun pemuda itu sudah tak mampu lagi. Bagaikan sebongkah ha- , tu yang tak memiliki kekuatan apa-apa, tubuh A Liong tenggelam.
Tiba-tiba seutas tali menjerat kaki A Liong dan di lain saat tubuh pemuda itu ditarik ke atas lagi. A Liong tidak tinggal diam. Merasa ada yang membantu¬nya, tangannya berusaha menggapai seke-nanya. Pemuda itu berpendapat, asal ta¬ngan dan kakinya bergerak tubuhnya tak-kan tenggelam.
Tapi pada gerakan yang kesekian ka¬linya, tangan A Liong merasa menyentuh sesuatu. Ketika pemuda itu mengangkat kepalanya, hampir saja dahinya melang¬gar dinding sampan yang mendadak saja sudah berada di depan hidungnya. Dalam kekagetannya tangan A Liong masih tak lupa untuk meraih pinggiran sampan itu. Bahkan pemuda itu tak menampik keti¬ka kakek tua yang mengemudikan sampan itu mengulurkan tangan untuk menolong¬nya.
"Wah, kita benar-benar mendapatkan ahli waris itu! Bukan main! Semula, aku sudah tidak yakin dia bisa keluar dari pusaran air itu! Sudah sekian puluh tahun kita menunggu, tak seorang manusia pun mampu keluar dari lubang itu! Hmm... ternyata benar juga kata Souw Ju Kang." Tiba-tiba terdengar suara di belakang A Liong.
A Liong tertegun dan hampir saja melepaskan tangannya yang dipegang oleh kakek itu. Ia bergegas membalikkan ba¬dannya untuk mencari asal . suara itu. Dan entah dari mana. datangnya, tiba-
tiba di belakangnya telah ada sebuah sampan yang lain. Sampan kecil dengan seorang kakek pula sebagai penumpang¬nya. Orang itulah yang berbicara tadi.
A Liong mengejap-ngejapkan mata¬nya. Walaupun sudah yakin kalau mereka adalah orang-orang biasa, namun dandan¬an dan wajah mereka tetap terasa aneh bagi mata A Liong.
Kakek pertama, yang berada di dekat A Liong bertubuh gemuk pendek. Ram¬butnya yang putih seperti perak itu dige¬lung ke atas dan diikat seperti layaknya para pendeta Agama To. Jubahnya sudah sangat lusuh dan penuh tambalan.
Namun wajah kakek itu kelihatan te¬rang dan bercahaya. Anehnya, walaupun rambut di kepalanya sudah putih semua, tetapi alis mata, kumis dan jenggotnya tetap berwarna hitam legam seperti rambut pemuda belasan tahun.
Sedangkan kakek yang ke dua, bertu¬buh kurus, rambutnya dibiarkan terurai panjang di belakang punggungnya. Namun seperti halnya kakek pertama, rambut yang tumbuh di kepala kakek itu juga
terbagi dua. Bahkan pembagian warna¬nya benar-benar sangat aneh dan tidak masuk akal. Kepala itu bagaikan terbe¬lah menjadi dua bagian! Bagian sebelah kiri, rambutnya berwarna putih, semen-tara di bagian kanan berwarna hitam le-^ gam. Pembagian warna itu benar-benar sangat aneh dan mentakjubkan.
"Hei, bocah! Apa yang kau lihat? Kau belum pernah melihat orang seperti ka¬mi?" kata yang bertubuh kurus itu ber¬tanya. Suaranya keras dan kaku. Raut mukanya tampak dingin penuh rasa cu¬riga.
"Lalala... tentu saja dia masih bi-\ ngung, Kek Ong! Ayoh, kita tolong dulu, baru nanti kita tanyakan siapa dia! Ja¬ngan kau takut-takuti dia dengan wa¬jahmu yang jelek itu, lalala!" Kakek per¬tama yang bertubuh gemuk itu menegur temannya sambil tertawa.
Kakek kurus itu terdiam. Matanya yang tajam bagai mata burung elang itu menatap kawannya. Kemudian sambil membuang muka ia menggeram, seolah-olah berbicara dengan burung-burung laut yang beterbangan di sekitar mereka.
"Huh, kaukira tampangmu yang bu¬lat berminyak itu juga tampan, heh? Se¬jak dulu setiap orang selalu mengatakan kalau Bok Kek Ong lebih ganteng dari ?pada Soat Ban Ong."
Kakek Soat Ban Ong yang gemuk itu tidak mempedulikan kedongkolan hati kawannya. Ia tetap tertawa terkekeh-kekeh. Sambil tertawa tangannya mena¬rik tubuh A Liong ke dalam sampannya.
"Jangan takut, anak muda. Kami ber¬dua memang sering berselisih dan suka berolok-olok, tetapi kami tak pernah bersungguh-sungguh. Kami adalah saha¬bat karib selama enam puluh tahun, la-lalaaaaaa. Bukankah begitu, Kek Ong?"
"Huh!" Bok Kek Ong hanya mendengus saja. Ia memutar sampannya dan menda¬hului berangkat meninggalkan tempat itu.
Kakek Soat Ban Ong segera memba¬likkan sampannya pula dan mengayuhnya di belakang Kakek Bok Kek Ong. Belas¬an ikan lumba-lumba tiba-tiba muncul kembali di sekitar mereka. Kawanan ikan besar itu berenang di kanan kiri mereka bagaikan sepasukan pengawal yang sedang melindungi junjungannya.
Sambil mendayung Kakek Soat Ban Ong bercerita. Mereka berdua tinggal di sebuah gugusan pulau yang terpencil di tengah-tengah samudra luas. Gugusan pulau itu terdiri dari delapan pulau ke¬cil-kecil, yang hanya ditumbuhi jamur dan lumut. Dan mereka sudah lebih dari setengah abad tinggal di sana.
Sayang keadaan dan situasi di tem¬pat itu membuat mereka berdua selalu terkurung dan tak bisa keluar ke tem¬pat lain. Apalagi kembali ke daratan Tiongkok.
"Mengapa tak bisa? Bukankah Locian-pwe berdua juga bisa bersampan sampai ke tempat ini?" Tak terasa A Liong ber¬seru. Meskipun demikian pemuda itu tak berani sembarangan menyebut nama me¬reka. Ia tahu bahwa mereka adalah orang-orang sakti.
Kakek Soat Ban Ong menoleh sambil tersenyum. Ia kelihatan amat gembira melihat A Liong sudah mau bicara. Ia tidak segera menjawab pertanyaan A Liong, tapi sebaliknya malah menepuk pundak pemuda itu.
"Lalala, tampaknya rasa kagetmu su¬dah hilang sekarang. Bagus, siapa nama¬mu, Nak? Dari mana kau datang? Apa¬kah kau terjatuh dari perahu yang kau-tumpangi?"
A Liong menarik napas panjang. Pe¬rasaannya memang telah menjadi tenang sekarang. Pertemuannya dengan kedua orang itu benar-benar telah menyingkir¬kan kegalauan hatinya. Tapi dengan de¬mikian tiba-tiba dia merasakan betapa dinginnya udara di tempat itu. Bahkan dalam guyuran sinar mentari yang keme¬rah-merahan itu kulitnya masih tetap terasa tebal dan kaku.
"Lalala... mengapa mulutmu terdiam lagi?"
"Eh-oh, maaf... Locianpwe. Aku ha¬nya merasa kaget saja, mengapa tiba-tiba udara menjadi dingin sekali?"
"Jadi kau tidak merasakan dinginnya udara di sini? Wah, hebat sekali kalau begitu! Coba kaulihat sekelilingmu! Laut di sini tidak begitu bergolak seperti di sana tadi, tapi airnya bisa kau rasakan perbedaannya. Sekali tercebur ke dalam air, tubuhmu akan segera berubah men¬jadi balok kayu yang tak bisa ditekuk-tekuk lagi. Lalala
A Liong terkejut. Tangannya segera meraup air di bawahnya. Dan tangan itu cepat-cepat ditariknya kembali. Jarinya serasa membeku.
"Locianpwe... di mana kita sekarang? Mengapa air laut di sini dingin sekali?"
"Lho, masa kau tidak tahu kalau kita berada di Laut Utara?"
"Laut Utara?”
A Liong benar-benar kaget. Bagaima¬na mungkin hanya dalam waktu sehari semalam dia bisa terseret ombak sede¬mikian jauhnya?
"Hei, mengapa kau kelihatan terpe¬ranjat? Memangnya kau dari mana?" Soat Ban Ong bertanya dengan kening berkerut.
Sekali lagi A Liong menghela napas panjang. Matanya memandang kakek Soat Ban Ong seolah tak percaya.. Dari Hang-ciu ke Laut Utara ada ribuan lie jauh¬nya. Bagaimana mungkin ia bisa percaya akan hal itu?
"Locianpwe, namaku A Liong. Siaute datang dari daratan Tiongkok, dari kota Hang-ciu di Propinsi Se-kiang..."
"Hang-ciu? Di mana itu? Ah, sejak kecil aku memang belum pernah mengin¬jak daratan Tiongkok, jadi... ya, mana aku tahu tempat itu?"
Kakek itu terdiam, begitu pula A Liong, sehingga suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat lamanya. Gelom¬bang laut pun hampir tidak ada lagi. Permukaan air kelihatan tenang. Namun A Liong menjadi heran ketika merasa¬kan sampan yang ditumpanginya itu me¬laju semakin cepat tanpa dikayuh.
"Lociapwe, sampan ini... sampan ini bisa berjalan sendiri?" serunya bingung.
"Berjalan sendiri? Lalala... masa eng¬kau tidak tahu? Kita berada di jalur arus laut yang menuju ke utara, maka tanpa dikayuh pun sampan ini akan ber¬jalan sendiri Kita hanya menjaga saja agar sampan tidak berputar-putar."
"Arus laut...? Masa di dalam genang¬an air juga ada air yang mengalir? Aneh!"
Soat Ban Ong tertawa. "A Liong, , tampaknya kau belum mengenal jenis-jenis laut di sini. Sungguh mengherankan. •I Belum kenal, tapi kau mampu membebas¬kan diri dari sedotan pusaran maut itu. Hmmm, tampaknya Thian memang benar-benar mengirimkan kau kepadaku."
A Liong tidak tahu maksud perkata¬an Soat Ban Hong, tapi ia tak berkata apa-apa. Sementara itu sampan Kakek Bok Kek Ong yang berada jauh di depan tampak diselimuti kabut tebal. Sampan itu kelihatan bergoyang-goyang, ke kanan dan ke kiri. Bahkan sejenak kemudian Bok Kek Ong tampak berusaha memper¬tahankan sampannya. Sampan itu mulai berputar-putar. Ketika A Liong mencoba memperhatikannya lebih lama, ternyata air laut yang tenang itu sudah mulai' f bergolak di depan sana.
"Locianpwe, lihat...! Bok Locianpwe seperti mendapat kesulitan." A Liong berseru.
"Jangan khawatir. Tenang saja. Kami sudah biasa melewati tempat itu. Daerah mi adalah daerah tempat kami bercanda dan bermain-main setiap hari." Soat Ban Ong menjawab tenang.
Tiba-tiba A Liong teringat sesuatu.
"Locianpwe, kau tadi mengatakan bah¬wa kalian berdua hidup terkurung di pu¬lau itu, tanpa bisa pergi ke mana-mana. Tapi... eh, bukankah Locianpwe bisa ber¬sampan ke mana saja? Apa maksud per¬kataan Locianpwe itu?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT