PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 11



Akan tetapi setiap orang yang berpapasan dengan mereka tetap saja memandang dengan kagum, terutama kepada Tio Ciu In yang ayu itu. Untunglah mereka segera sampai di perkampungan Hek-to-pai.

"Hei, ramai benar suasananya! Sedang ada apa di kampung itu?" Liu Wan ber-melihat kesibukan di pintu gerbang perkampungan Hek-to-pai itu.

Kampung besar yang dipakai sebagai markas perguruan Hek-to-pai itu memang lain daripada biasanya. Sehari-harinya hanya ada dua atau tiga orang penjaga yang berdiri di pintu gerbangnya, namun kali ini ternyata ada delapan atau sepuluh orang di sana. Dan apabila di hari-hari biasa para anggotanya itu cuma berpakaian seadanya, tapi kali ini mereka juga mengenakan pakaian kebesaran mereka, yaitu hitam-hitam dan ikat kepala hitam pula. Bahkan Liu Wan dan Kwe Tek Hun seperti mendengar suara tambur dan gen¬dang ditabuh di tengah-tengah kampung itu.
"Apakah mereka masih merayakan Tahun Baru?" Tio Ciu ln menduga-duga dengan perasaan masih cemas memikirkan adiknya.
"Mungkin benar. Tapi... hei, lihat” Liu Wan berseru tertahan sambil menun¬juk ke arah bendera atau panji perguruan yang terpancang Kwe Tek Hun dan Tio Ciu In memandang pula dengan kening berkerut. Di samping tiang bendera perguruan Hek-to-pai, ternyata terpancang pula bendera lain yang lebih megah serta lebih besar ukurannya. Bendera berwarna hitam legam itu bergambar burung rajawali berbulu emas sedang mencengkeram sebuah golok pusaka yang berwarna kuning emas pula.
"Ah... itu bendera keluarga Tiau dari Hai-ong-hu di Lautan Timur sana. Ada urusan apa mereka ke sini?" Kwe Tek Hun yang sudah terbiasa bertualang di laut itu berseru heran.
"Wah, sungguh gawat! Kalau sampai bajak laut itu berada di sini, semuanya bisa berbahaya." Liu Wan menambahkan.
Tentu saja yang menjadi semakin cemas dan gelisah adalah Tio Ciu In. Dengan wajah pucat gadis ayu itu mengawasi Liu Wan dan Kwe Tek Hun berganti-ganti.
"Siapa keluarga Tiau itu? Mengapa kalian tampaknya sangat mengkhawatirkan keadaan itu”
Liu Wan menghela napas panjang, lalu dengan sangat hati-hati agar tidak semakin membuat cemas perasaan Tio Ciu In ia menerangkan. "Keluarga Tiau adalah penguasa bajak laut terbesar di daerah Lautan Timur. Nama mereka amat tersohor dari dulu, karena selain memiliki kekuatan yang sangat besar mereka juga berkepandaian luar biasa tinggi. Keluarga itu berdiam di sebuah pulau kecil yang mereka sulap menjadi sebuah ista¬na yang dikelilingi benteng kuat seperti istana raja. Mereka menyebut tempat itu Hai ong hu, mereka menggunakan panji atau bendera seperti yang berkibar di samping pintu gerbang itu”.
“Jadi mereka itu bajak laut? Tak terduga Tio Ciu In berseru geram, gadis ayu itu teringat akan nasib keluarganya yang musnah karena serangan para bajak laut.
”Ciu moi…?”
“Marilah! Kalau begitu kita hadapi mereka sekalian! Aku akan mengadu jiwa dengan mereka bila mereka benar-benar telah mencelakai adikku!”
Lalu tanpa menanti reaksi teman-temannya lagi Tio Ciu In berlari menuju ke perkampungan hek to pai. Liu Wan hanya bisa saling pandang saja dengan Kwe Tek Hun, keduanya terpaksa berlari mengikuti gadis ayu itu.
“Berhenti…! Para pengawal pintu gerbang itu menghentikan Tio Ciu In, namun semuanya segera cengar cengir melihat kecantikan gadis ayu itu.
Tetapi mereke cepat pula bersiaga kembali begitu menyaksikan Liu Wan dan Kwe Tek Hun.
”Kau mau kemana, nona?” salah seorang dari penjaga itu bertanya.
Tio Ciu In mencoba untuk meredakan perasaannya dahulu sebelum menjawab.
“Aku Cuma mau bertanya, apakah kemarin ada seorang gadis muda berpakaian merah ke sini?”
“Nona maksudkan gadis galak yang membawa sepasang pedang pendek di balik lengan bajunya?”
“Benar! Jadi dia berada di sini?” Tio Ciu In berteriak tinggi penuh harap.
 “Lalu…. Di mana dia sekarang?”
Tak terduga para penjaga itu justru menebar dalam posisi mengurung rombongan Tio Ciu In, wajah mereka yang semula cengar cengir, mendadak berubah kaku penuh kewaspadaaan, bahkan pimpinan mereka segera memberi perintah ke pada salah seorang diantara mereka untuk melapor ke dalam.
“Nona siapa…? Apakah hubunga nona dengan gadis itu? Apakah saudara seperguruan atau keluarganya?" pimpinan penjaga itu menggeram dengan suara tak bersahabat.
Otomatis Tio Ciu In, dan juga Liu Wan serta Kwe Tek Hun menjadi curiga pula. Tentu ada apa-apa di antara Tio Siau In dengan perguruan itu sehingga mereka bersikap seperti itu. Oleh karena itu baik Tio Ciu In maupun Liu Wan dan Kwe Tek Hun segera bersiap siaga pula menghadapi segala kemungkinan.
”Aku adalah Kakak kandung gadis itu” Tanpa diperintah untuk yang kedua kalinya para penjaga itu segera berloncat an sambil mengayunkan golok mereka ke tubuh Tio Ciu In.
Mereka tidak merasa sayang atau tertarik lagi melihat kecantikan Tio Ciu In. Pengalaman menghadapi Tio Siau In kemarin, yang mengakibatkan beberapa orang teman mereka terluka, bahkan ketua mereka juga, membuat mereka lebih berhati-hati meng hadapi lawan.
Perubahan keadaan yang sangat cepat itu tak lepas dari pengamatan Liu Wan melindungi Tio Ciu In. Bukannya ia tak percaya akan kemampuan Tio Ciu In, ta¬pi ia hanya ingin menghindarkan gadis itu dari bentrokan langsung dengan laki-laki kasar tersebut.
Traaang! Traaaang! Trangg...!
Golok-golok hitam yang datang menyam bar ke arah tubuh Tio Ciu In itu tiba-tiba terpental balik dan hampir mengenai pemiliknya sendiri ketika saling berbentur an dengan pedang Kwe Tek Hun. Untung-lah para penjaga itu sejak semula sudah berhati-hati, sehingga masing-masing cepat bisa menguasai senjatanya sendiri.
"Nona Tio, kau beristirahatlah! Biarlah aku saja yang mewakilimu menghadapi manusia-manusia kasar ini!" Kwe TeK Hun berkata tegas.
"Terima kasih, Kwe Siau-hiap! Aku akan masuk ke dalam untuk mencari Adikku."
Tanpa menanti jawaban lagi Tio Ciu ln lalu melesat ke dalam. Para penjaga itu mencoba merintangi, namun dengan tangkas Kwe Tek Hun menyerang mere¬ka. Terpaksa mereka melepaskan Tio Ciu In untuk menghadapi pendekar muda dari Pulau Meng-to itu.
"Ciu-moi, hati-hati...!" Liu Wan ber¬seru seraya melompat ke depan menge¬jar gadis itu.
Tapi baru saja Tio Ciu In dan Liu Wan melompat ke atas lantai pendapa utama yang ada di tengah-tengah halam¬an depan itu, mereka telah disongsong oleh It Kwan dan murid-muridnya. Luka di leher ketua Hek-to-pai itu telah diba¬lut dengan rapi. Begitu pula dengan lu¬ka di punggung tangannya. Bekas-bekas luka yang diakibatkan oleh pedang pendek Tio Siau In kemarin tampaknya te¬lah diobati dengan baik.
"Tangkap mereka...!" begitu berhadap¬an muka orang tua itu berteriak membe¬ri perintah kepada anak buahnya.
"Tahaaaaan! Orang tua, kau siapa?" namun dengan seruan lantang, tidak ka¬lah kerasnya dengan suara It Kwan, Tio Ciu In menghentikan langkah mereka.
"Aku It Kwan, ketua partai persilatan di sini! Nah, mau apa kau mencari Adik¬mu ke sini? Mau menggantikan Adikmu untuk menerima hukumanku, heh?"
"Bagus...! Kebetulan sekali kalau be¬gitu, karena aku memang ingin bertemu dengan engkau! Nah, lekas kau katakan, di mana Adikku? Jawab!"
Ternyata Tio Ciu In yang biasanya lembut dan halus budi bahasanya itu kini tidak mau berbasa-basi lagi. Kekhawa¬tiran terhadap Siau In membuatnya te¬gang dan kaku.
"Kurang ajar...! Ternyata sifatmu juga tidak jauh berbeda dengan Adikmu, Kuntilanak Kecil itu! Huh, cepat... tangkap perempuan ini!" It Kwan menjerit marah.
Rasa malu dan terhina karena dilukai Siau In kemarin membuat ketua Hek-to-pai ini dendam sekali.
Belasan anggota Hek-to-pai yang me¬nyertai ketuanya itu segera berloncatan menyerang Tio Ciu In dan Liu Wan. Go¬lok mereka yang hitam mengkilat itu berkelebatan seperti tangan-tangan han¬tu yang berebut mangsa. Sebagian me¬nerjang ke tubuh Tio Ciu In, sementara yang sebagian lagi menyambar ke arah Liu Wan. Sedangkan It Kwan cepat-cepat menghunus goloknya pula untuk setiap saat membantu anak buahnya.
"Hmm... siapakah mereka, It Kwan?" tiba-tiba dari ruang dalam muncul seo¬rang lelaki tua berpakaian mewah berta¬nya kepada It Kwan. Dia keluar dikawal oleh empat orang laki-laki kekar berpa¬kaian hitam-hitam.It Kwan menoleh. Bibirnya berusaha tersenyum.
"Perempuan ini mengaku sebagai ka¬kak kandung dari gadis yang melukai aku kemarin, Cong Su. Aku akan menangkap dia sebagaj ganti adiknya yang terle¬pas akibat kebodohan Tong Tai-su."
Lelaki berpakaian mewah itu mencibir¬kan bibirnya yang ditumbuhi kumis seolah olah amat meremehkan kemampuan Tio Ciu In dan Liu Wan. Sambil melangkah mendekati It Kwan ia menggerutu. "Kau ini masih saja suka bermain-main dengan anak-anak."
Wajah It Kwan menjadi merah. Mata¬nya memancarkan sinar tak senang. Na¬mun demikian ia tak berbuat apa-apa. Tampaknya ia segan terhadap tamunya itu. Ia cuma menarik napas panjang se¬raya menatap kembali ke arena perkela¬hian.
Begitu mendengar adiknya sudah per¬gi dan tidak ada di tempat itu lagi, sebenarnya Tio Ciu In sudah tidak ingin berkelahi lagi. Tapi untuk lebih meya¬kinkan hatinya bahwa Siau In memang benar-benar sudah tidak ada lagi di tem¬pat itu, Tio Ciu In ingin menangkap salah seorang anggauta Hek-to-pai itu un-tuk dikorek keterangannya. Dan tampak¬nya Liu Wan juga mempunyai maksud yang sama.
"Ciu-moi...! Hadapi mereka! Aku akan meringkus ketuanya itu! Berhati-hatilah ...!" pemuda itu berbisik ke telinga Tio Ciu In.
Tio Ciu In tersenyum. "Kaulah yang harus berhati-hati. Sebagai seorang ketua partai persilatan tentunya kepandaian si¬latnya sangat tinggi."
Demikianlah, dengan ginkangnya yang tinggi Liu Wan berkelit ke sana ke mari untuk meloloskan diri dari kurungan pa¬ra pengeroyoknya. Sabetan-sabetan golok yang datang bagaikan air hujan itu sama sekali tak mampu menyentuh tu¬buhnya. Bahkan beberapa kali ia mampu membalas dan menjatuhkan lawannya.
"Wah, pemuda itu tampaknya memi¬liki ilmu juga. Kau harus berhati-hati menghadapinya." laki-laki berpakaian me¬wah itu berkata kepada It Kwan.
"Tentu saja, Cong Su. Kau tak perlu ikuit campur dalam masalah ini." Ketua Hek-to-pai itu mendengus kesal.
"Ah, jangan begitu.... Kita sudah la¬ma saling mengenal, meskipun kita tidak bersahabat. Tiada jeleknya kalau sekali waktu aku ikut membantu kesulitanmu."
"Siapa yang berada di dalam kesulitan?" akhirnya It Kwan menjerit gusar. Matanya mendelik, siap berkelahi mela¬wan tamunya.
Akan tetapi dengan tertawa perlahan Cong Su mengerak-gerakkan tangannya.
"Sabar...! Sabar, It Kwan... sabaaaar! Aku bermaksud baik. Kenapa kau cepat sekali tersinggung hari ini?"
It Kwan menggeram. Dengan sekuat tenaga Ketua Hek-to-pai itu mengekang kemarahannya.
"Habis kata-katamu juga sangat me¬mandang rendah kepadaku! Jangan diki¬ra aku takut kepadamu! Kalau selama ini aku selalu menghormati kamu, hal itu karena kau adalah orang kepercayaan Hai-ong-hu! Aku tidak ingin berselisih dengan mereka...."
Cong Su tertawa keras-keras. "Haaha-ha, baiklah...! Sekarang kau hadapi saja lawanmu itu! Lihat! Pemuda itu lolos da¬ri kepungan anak buahmu!"
It Kwan terperanjat. Ia melihat Liu Wan berlari menghampirinya.
"Cong Su, pergilah! Pulanglah sekali an ke Hai-ong-hu! Bawa tukang masak kami seperti yang diminta oleh rajamu! Tapi cepat kau kembalikan mereka apa¬bila tugas mereka telah selesai!"
"Terima kasih. Tapi aku ingin me¬nyaksikan keramaian ini dahulu. Hei, pengawal! Jemput lebih dahulu tukang masak itu ke sini! Kita segera kembali ke Hai-ong-hu!" Cong Su berseru kepada pengawalnya.
"Kau memang selalu ingin mencampuri urusanku!" It Kwan menggeram de¬ngan mata mendelik.
Tapi ketua Hek-to-pai itu tak sem¬pat untuk berdebat lagi. Liu Wan yang sudah lepas dari kepungan itu keburu menyerangnya. Pemuda itu mengayunkan sisi telapak tangannya sambil melompat ke arahnya. Terdengar desis angin tajam bagaikan suara anak panah yang lepas dari busurnya. Siiiiiing!
It Kwan terperangah. Ia segera sadar sedang menghadapi seorang lawan yang memiliki lwe-kang serta ilmu pukulan yang tinggi. Dan ia tidak ingin mendapat malu lagi. Goloknya segera bergetar di depan dadanya, siap untuk menyongsong serangan Liu Wan.
Whuuuus! Golok hitam itu terayun ke ras ke depan, seolah-olah hendak men¬jemput kedatangan telapak tangan Liu Wan, sementara kedua kaki It Kwan siap untuk bergeser ke kiri apabila la¬wannya menarik kembali serangannya.
Liu Wan kagum juga melihat kesigap¬an ketua Hek-to-pai. Tapi ia tak mau menarik kembali tangannya yang sudah terlanjur terulur ke depan. Apalagi dengan ketajaman penglihatannya yang sudah ter¬latih baik, ia merasa ada sesuatu yang dipersiapkan oleh lawannya apabila ia menarik tangannya kembali.
Oleh karena itu Liu Wan hanya me¬mutar lengannya setengah lingkaran ke kanan untuk menghindari tabasan golok,, kemudian mengubah jari-jari tangannya yang merapat itu menjadi sebuah ceng-keraman ke arah pergelangan It Kwan yang memegang golok. Gerakan tangan¬nya yang cepat itu diikuti dengan gerak¬an tubuhnya ke samping.
Sekali lagi It Kwan terkejut menyak¬sikan ilmu silat lawannya. Tentu saja ia tak ingin pergelangan tangannya tertang¬kap. Mati-matian ia membuang badan¬nya ke kanan untuk menghindari tang¬kapan itu, sambil kaki kirinya menjejak ke depan untuk memaksa lawan mundur kembali.
Duuuk! Tumit sepatu It Kwan mem¬bentur ujung jari Liu Wan!
Langkah Liu Wan bagaikan tertahan oleh tembok yang sangat kuat, namun sebaliknya kuda-kuda It Kwan yang goyah itu tak mampu lagi menopang berat tu¬buhnya! Sambil menyeringai kesakitan Ketua Hek-to-pai itu terdorong jatuh ke atas lantai. Tapi dengan cepat pula orang tua itu bangkit kembali.
Cong Su bertepuk tangan menyaksi¬kan gebrakan pertama yang amat mene gangkan itu. Dari gebrakan tersebut su¬dah dapat dinilai bahwa tenaga dalam Liu Wan masih jauh lebih baik diban¬dingkan tenaga dalam It Kwan. Sekarang tinggal ilmu golok It Kwan, apakah bisa mengatasi lawannya.
"Menyerah sajalah kau agar aku tidak perlu menyakitimu!" Liu Wan mengejek agar lawannya menjadi semakin panas dan penasaran.
"Persetan! Akan kukuliti kepalamu dan kucincang tubuhmu, keparat!" It Kwan berteriak berang. Goloknya berpu¬tar-putar di tangan kanannya.
Ketua Hek-to-pai itu cepat mener¬jang kembali. Ilmu goloknya yang ganas dan keji itu segera mengurung Liu Wan.
Sinarnya yang hitam mengkilat itu ber¬kelebatan bagaikan hendak mencacah-cacah tubuh lawannya. Suaranya mengaung keras seperti suara ribuan lebah yang terbang mengelilingi Liu Wan.
Liu Wan menjadi repot juga melaya¬ni kurungan golok yang sangat beracun itu. Salah langkah sedikit saja mata go¬lok yang tajam itu akan menyayat kulit¬nya atau membelah tubuhnya, dan hal itu berarti kematian baginya.
"Kalau hanya mengandalkan ilmu pukul¬an dan ilmu meringankan tubuh saja kukira harus membutuhkan waktu yang lama un¬tuk menundukkan goloknya. Tapi kalau harus mempergunakan Thian-lui-khong-ciang, rasanya juga masih terlalu pagi. Ah, lebih baik aku mempergunakan pisau saja...." pemuda itu berpikir sambil tetap melayani serangan It Kwan.
Sementara itu melihat kawannya da¬pat mengurung Liu Wan, Cong Su berte¬puk tangan dengan gembira. Berkali-kali orang tua itu memuji ilmu golok It Kwan yang cepat dan ganas luar biasa.
"Bagus! Bagus! Wah, ternyata Ilmu Golokmu benar-benar hebat sekali! Aku sungguh tidak menyangkanya! Sayang tenagamu terlalu lemah...!" Cong Su ber¬teriak-teriak gembira.
"Diam kau, Cacing Tua!" It Kwan berteriak pula dengan kerasnya.
Liu Wan tertawa perlahan. "Kau be¬nar, ...Orang Tua! Ilmu Golok orang ini memang hebat sekali. Sayang kurang ter¬dukung oleh tenaga dalamnya, sehingga kehebatannya menjadi hambar dan kurang berbobot! Hei, bagaimana kalau kau mem¬bantunya agar pertarungan ini menjadi lebih mengasyikkan lagi?",
Tiba-tiba senyum di bibir Cong Su menghilang. Wajah tua yang masih kelimis itu berubah menjadi keruh.
"Bangsat kecil! Kau menantang Hai-go Cong Su (Si Buaya Laut)...?" orang tua itu menjerit marah.
"Eh, memangnya kenapa? Bukankah orang ini kawanmu? Apa salahnya kalau kalian saling menolong? Orang ini terang tidak akan memang melawanku. Begitu pula kalau kau nanti maju sendirian. Bu¬kankah akan lebih baik kalau kau maju bersama mengeroyok aku, sehingga kalian saling tolong menolong bila dalam kesu¬litan?"
"Apa katamu...? Kau masih waras atau sudah gila, heh?" Cong Su berteriak tinggi.
Liu Wan tertawa panjang. Dia tak menja¬wab umpatan itu. Dia sedang sibuk melayani golok It Kwan. Pisau yang kini tergenggam di tangannya benar-benar dahsyat. Pisau yang tak seberapa panjang itu ternyata mampu menahan golok lawannya yang besar dan berat.
"Ayolah...! Kau tak perlu malu-malu untuk mengeroyokku! Majulah!" tantang¬nya kembali kepada Hai-go Cong Su.

"Kau...?" Hai-go Cong Su hendak mengumpat lagi, tapi terhenti karena empat orang pengawalnya telah kembali membawa lima orang tukang masak yang tadi dikehendakinya.

"Inilah mereka, Cong Tou-bak...." sa¬lah seorang dari pengawal itu melapor.

"Suruh mereka menanti di luar! Seka¬rang kalian bantu aku dulu membungkam Si Mulut Sombong itu!" Cong Su berseru sambil menunjuk ke arah Liu Wan.

"Baik, Tou-bak!"

Tanpa basa-basi lagi keempat penga¬wal Cong Su itu segera menyerang Liu Wan. Kebetulan keempat-empatnya juga bersenjatakan golok, sehingga berlima dengan It Kwan mereka mengeroyok de¬ngan golok. Sesuai dengan perawakan mereka yang gempal, cara mereka ber-silatpun ternyata juga kasar dan keras. Apalagi mereka memang anggota bajak laut yang sudah terbiasa berlaku kasar dan keras.

Namun untuk melawan Liu Wan ke¬pandaian mereka masih terlalu jauh. Ke¬pandaian mereka berempat tidak lebih baik daripada anak murid It Kwan sendiri. Maka tidaklah mengherankan bila se¬bentar saja mereka telah menjadi bulan-bulanan pisau Liu Wan. Pemuda itu ti¬dak bermaksud membunuh mereka. Pe¬muda itu hanya, menggores saja beberapa kali di tubuh empat orang pengawal i£u. Namun semuanya itu telah membu¬at mereka mundur ketakutan.

"Wah, kalian memang cuma gentong nasi yang tak berguna! Minggir...!" Cong Su marah-marah, kemudian meloncat ke dalam arena menggantikan mereka. Tangannya memegang sebuah ruyung besi yang diberi gerigi tajam di bagian ujungnya.

"Nah, begitu! Akhirnya kau terjun juga ke arena membantu kawanmu ini...!" Liu Wan mengejek.

"Bangsat keparat, diam kau! Lihat ruyungku...!"

Tapi kedatangan Cong Su sungguh tidak menyenangkan hati It Kwan. Meskipun dia sendiri merasa kewalahan menghadapi Liu Wan, tapi ia benar-benar tidak menghendaki bantuan orang seperti Cong Su itu.

"Kaulah orangnya yang mestinya di¬am dan tak ikut campur dengan urusan orang, Cong Su! Cepat kau pergi dari sini! Bukankah tugasmu hanya mengambil tukang masak di sini?" Ketua Hek-to-pai itu membentak.

"Maaf It Kwan. Anak ini telah meng¬hina dan menantangku, aku tidak boleh mendiamkannya saja. Pantang bagi warga Hai-ong-hu untuk menolak tantangan lawan."
"Tapi... dia baru bertempur dengan aku. Apakah kau tidak bisa menunggu sampai pertempuran ini selesai dahulu?"
"Wah, mana sempat aku menunggu lagi? Biarlah aku saja yang lebih dulu berkelahi dengan dia! Kau minggirlah!"
Liu Wan benar-benar tak bisa mena¬han tawanya mendengar perdebatan ke¬dua orang itu. Sambil meloncat mundur pemuda itu menggeleng-gelengkan kepa¬lanya.
"Hei... sebenarnya kalian berdua ini bersahabat atau bermusuhan? Kalau ka lian memang saling bermusuhan dan ingin berkelahi dahulu, yah... baiklah, aku akan menunggu! Berkelahilah kalian!" akhirnya Liu Wan berkata sambil menyeret sebuah kursi dan duduk bertopang kaki.
It Kwan dan Cong Su menjadi salah tingkah sekarang. Mereka saling berha¬dapan dengan senjata masing-masing, ta¬pi tentu saja tak seorang pun dari mere¬ka yang ingin menyerang yang lain. Me¬reka hanya saling memandang dengan wajah kikuk.
"Nah, nah, nah... akhirnya kalian men¬jadi bingung sendiri sekarang, hahahaha! Makanya kalian tak perlu bertengkar la¬gi! Bersatu sajalah kalian berdua untuk melawanku! Tidak usah malu-malu...! He-hehe-hehe-hehe!" sekali lagi Liu Wan tertawa mengejek.
"Bedebah...!" It Kwan meraung, kemu¬dian meloncat menyerang Liu Wan.
"Bangsat...!" Cong Su juga mengum¬pat dan menerkam pemuda itu.
Brraaaaak!!! Terdengar suara keras ketika kursi yang diduduki Liu Wan tadi hancur berkeping-keping dihantam golok dan ruyung lawannya. Pemuda itu sendiri telah lebih dahulu melesat pergi. Bah¬kan sebelum kedua lawannya itu menya¬dari apa yang terjadi, Liu Wan ganti menyerang dengan pisaunya.
Singggg! Siiing! Pisau itu sekaligus menyambar pergelangan tangan Cong Su dan It Kwan yang memegang senjata.
"Aaaaah....!"
Baik It Kwan maupun Cong Su beru¬saha mati-matian untuk menyelamatkan tangannya, namun tetap saja pisau itu menggores sedikit di lengan mereka ma¬sing-masing. Untunglah mereka masih mampu mempertahankan senjata mereka.
Namun dengan demikian kedua orang itu menjadi semakin sadar bahwa pemu¬da yang mereka hadapi itu benar-benar memiliki kepandaian di atas mereka. Oleh karena itu tidak boleh tidak mere¬ka berdua harus bersatu padu untuk menghadapinya.
Demikianlah mereka berdua lalu me¬ngeroyok Liu Wan bersama-sama. Mere¬ka menyerang dan bertahan bergantian, saling mengisi dan melindungi, sehingga membentuk sebuah kerja sama yang cu-kup kuat untuk melayani ilmu silat Liu Wan yang tinggi.
"Nah, begitu...!" dalam kesibukannya Liu Wan masih bisa memuji kerja sama lawannya.
Namun bagi It Kwan dan Cong Su, pujian itu dirasakan sebagai sebuah ejek¬an yang sangat menyakitkan hati. Teru¬tama bagi It Kwan, yang selama dua ha¬ri ini selalu dirundung kesialan. Sudah barongsainya dikalahkan orang, dia sendiri dikalahkan dan dilukai seorang gadis kecil, dan kini malah dipermainkan ser¬ta dipecundangi pula oleh seorang pemu¬da yang umurnya belum seberapa.
Maka sungguh tidak mengherankan bila ketua Hek-to-pai itu menjadi mata gelap, mengamuk tanpa mempedulikan keselamatannya lagi. Golok beracunnya yang berwarna hitam legam itu tampak berkilat-kilat memantulkan sinar, berke¬lebatan mengejar tubuh Liu Wan, bagai¬kan seekor naga hitam yang berkelok-kelok di udara, memburu mustika.
Dan kegarangan golok It Kwan itu menjadi semakin berbahaya karena diban¬tu oleh permainan ruyung Hai-go Cong Su. Meskipun permainan ruyung tou-bak (kepala pasukan bajak) itu masih terasa lugas dan kasar, tapi dasar dari ilmu ru¬yung itu sendiri ternyata sangat baik dan berbahaya. Tak heran kalau orang tua itu mendapat kepercayaan untuk memim¬pin satu pasukan bajak laut.
Untunglah Liu Wan memiliki ilmu si¬lat yang amat tinggi. Walaupun hanya melawan dengan pisau, dan tidak menge luarkan ilmu andalannya, namun pemuda yang telah memperoleh julukan Bun-bu Siu-cai itu dapat melayani keganasan go¬lok dan ruyung lawannya. Malahan bebe¬rapa waktu kemudian, yaitu setelah bisa membaca permainan ilmu silat lawan-lawannya, pemuda itu mulai bisa mendikte dan mendesak mereka. Dengan ke¬lebihan ginkang dan lwekangnya semua itu dapat dia lakukan dengan mudah.
Tetapi sebaliknya di arena pertem¬puran yang lain Tio Ciu In benar-benar harus memeras keringat untuk melayani kerubutan anak murid Hek-to-pai. Bebe¬rapa orang dari mereka memang telah dilumpuhkannya, akan tetapi kawan-ka¬wan mereka yang lain segera berdatang¬an pula ke tempat itu. Belasan anak mu¬rid Hek-to-pai sekarang mengepung ga¬dis itu.
"Gila! Jumlah mereka banyak sekali! Jatuh satu datang tiga! Wah, kalau te¬rus-terusan begini aku bisa kehabisan na¬pas nanti! Hmmm... ke mana Kwe Siau-hiap tadi? Mengapa tidak lekas-lekas ke mari?" gadis itu berkata di dalam hati.
Tio Ciu In sama sekali tidak tahu bahwa Kwe Tek Hun sendiri ternyata ju¬ga sedang mendapat kesulitan di pintu gerbang. Sebenarnya mudah saja bagi pendekar sakti itu untuk melumpuhkan para penjaga yang merintanginya, kalau saja tidak ada pihak ke tiga yang ikut campur. Namun karena mendadak ada pihak lain yang kemudian ikut turun tangan mengganggu usahanya, maka niat untuk melumpuhkan para penjaga pintu gerbang tersebut menjadi gagal. Bahkan pendekar muda dari Pulau Meng-to itu justru berbalik menjadi repot dan mende¬rita kesulitan malah.
Ketika Kwe Tek Hun ingin cepat-ce¬pat menyelesaikan perlawanan para pen¬jaga itu, tiba-tiba di jalan besar lewat dua orang penunggang kuda, lelaki dan perempuan. Kedua penunggang kuda itu segera menghentikan kuda mereka begitu menyaksikan perkelahian tersebut. Bahkan mereka lalu bergegas membelokkan kuda mereka untuk menonton.
Akan tetapi begitu melihat ilmu silat Kwe Tek Hun, kedua penunggang kuda itu kelihatan amat tertarik, mereka saling berbisik satu sama lain, kemudian yang lelaki segera memajukan kudanya.
“Berhenti…!” orang itu berseru pendek.
Kwe Tek Hun terperanjat, otomatis kakinya meloncat mundur, namun kesempatan yang terakhir kedua tangannya masih sempat membagi pukulan ke arah lawan-lawannya. Bluuk Bluuk empat orang penjaga yang masih tersisa segera bergelimpangan kesakitan.
Kwe Tek Hun berdiri siap menghadapi dua orang pendatang baru yang belum dia ketahui lawan atau kawan itu, tapi diam-diam hatinya sedikit bergetar juga, suara orang itu tidak begitu keras, namun terdengar sangat nyaring dan menyakitkan gendang telinga, suatu tanda bawah pemilik suara itu memiliki tenaga dalam yang hampir sempurna.
Kedua orang yang baru datang itu segera turun dari kudanya. Mereka seperti sepasang suami istri, yang lelaki berusia kira-kira empat puluhan tahun, sedangkan yang wanita sekitar dua tahun lebih muda, keduanya mengenakan pakaian seragam putih-putih, dengan pedang panjang tergantung di masing-masin gpinggang mereka. Selain ciri-ciri tersebut tiada yang aneh atau menonjol pada diri mereka, kecuali satu, yaitu batang pedang mereka melengkung seperti samurai pada bangsa Jepang.
“Anak muda, perkenalkanlah… aku bernama Swat Kim Po dan wanita ini adalah istriku. Kami datang dari pulau-pulau di sebelah utara laut kuning, ketika lewat tadi kami amat terkesan oleh ilmu silatmu, langkah-langkah kakimu rasanya hampir sama atau mirip dengan langkah-langkah ilmu silat perguruan kami. Emmmmm bolehkan kami berdua mengetahui nama perguruanmu? Dan apakah nama ilmu yang kaupergunakan tadi?”
Kwe Tek Hun terdiam dan tak segera bisa menjawab. Orang asind itu berbicara dengan nada halus dan sopan, tetapi pertanyaaannya yang menyinggung ilmu silat itu terasa sulit untuk dijawab.
“Tuan … Namaku Kwe Tek Hun, aku juga datang dari sebuah pulau di sebe¬lah timur daratan ini, dari Pulau Mengto. Tentang ilmu langkahku tadi....... ehm...."
"Apakah ilmu langkahmu tadi berna¬ma Ban-seng-po Lian-hoan pula?" tiba-tiba Swat Kim Po menyela begitu meli¬hat keragu-raguan Kwe Tek Hun.
Bukan main terkejutnya Kwe Tek Hun! Orang itu menyebut nama ilmu silatnya dengan tepat! Dan orang itu mengata¬kan bahwa ilmu langkah milik keluarga¬nya itu mirip dengan ilmu mereka!
"Benar...? Jadi ilmu langkahmu tadi i juga bernama Ban-seng-po Lian-hoan...?" Orang itu menjadi kaget pula. Ia berpa¬ling kepada isterinya.
"Jadi... jadi Tuan berdua juga bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan...?" Kwe Tek Hun juga balik berse¬ru pula dengan ragu dan curiga.
Tentu saja Kwe Tek Hun menjadi cu¬riga, karena selama ini ayahnya tak per¬nah mengatakan bahwa ada orang lain selain ayahnya, dia sendiri, dan kakek gurunya yang sudah meninggal, yang mempelajari Ban-seng-po Lian-hoan. Se¬dangkan Ku Jing San dan Song Li Cu pun belum diperbolehkan mempelajarinya.
"Kau bertanya, apakah kami berdua bisa mempergunakan Ban-seng-po Lian-hoan? Ah-ah-ah, Anak muda... kau ini suka sekali bergurau tampaknya. Ilmu itu justru merupakan salah satu ciri dari perguruan kami, bagaimana kami tidak mahir mempergunakannya? Justru kami¬lah yang seharusnya bertanya kepadamu. Darimana engkau atau Gurumu mempe¬lajarinya? Ketahuilah, Ilmu tersebut tidak pernah diturunkan kepada orang lain se¬lain warga Pondok Pelangi. Itu pun tidak semua warga Pondok Pelangi bisa mem¬pelajarinya sampai ke tingkat yang ter¬tinggi."
"Pondok Pelangi...?" Kwe Tek Hun mencoba mengingat-ingat kalau-kalau ayahnya pernah menyebut tempat itu. "Hmmm, tidak... Ayah memang belum pernah bercerita tentang pondok itu."
"Anak muda, tampaknya kau belajar ilmu silat dari Ayahmu sendiri. Siapakah nama ayahmu?"
Kwe Tek Hun menghela napas pan¬jang. Rasa curiganya tadi kini berubah menjadi rasa penasaran. Apalagi Swat Kim Po seakan-akan telah memojokkan dirinya sebagai orang yang tak berhak memiliki Ban-seng-po Lian-hoan.
"Maaf, Tuan.... Ayahku adalah Keh-sim Tai-hiap Kwe Tiong Li dari Pulau Meng-to. Beliau adalah satu-satunya pe¬waris Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan. Tuan jangan bicara seenaknya sendiri, menga¬ku sebagai pemilik ilmu itu...." akhirnya pemuda itu berkata dingin.
Swat Kim Po memandang isterinya yang sejak tadi belum pernah membuka suara. Keningnya berkerut. Sementara bibirnya tampak tersenyum kecut. Dan wanita itu seolah tahu apa yang diingin-kan suaminya. Ia segera bergeser maju menghadapi Kwe Tek Hun.
"Anak muda, kelihatannya kau me¬nyangsikan ucapan-ucapan suamiku. Seka¬rang begini saja, kita saling mencoba il¬mu kita masing-masing. Dan siapa yang kalah harus tunduk dan menurut perin¬tah yang menang. Bagaimana...?" tiba-tiba wanita itu menantang.
"Nyonya, aku...?" Kwe Tek Hun men,-jadi salah tingkah.
"Hmmh, kau takut kepadaku?"
Wajah Kwe Tek Hun menjadi merah sampai ke telinganya. "Siapa takut kepa¬da kalian? Aku tidak pernah takut kepada siapa-siapa! Aku hanya tidak ingin berta¬ruh apa-apa di dalam pertarungan ini! Kalah, ya kalah! Menang, ya... menang! Tidak perlu harus tunduk atau menurut perintah yang menang! Bagaimana kalau yang menang nanti memberi perintah yang bukan-bukan kepada yang kalah?" katanya berapi-api.
"Tapi... kami takkan memberi perintah yang bukan-bukan kepadamu paling-paling kami hanya akan meminta agar kau mem¬bawa kami ke hadapan Ayahmu!" wanita itu menukas cepat seakan-akan sudah ya¬kin akan menjadi pemenangnya.
Tentu saja Kwe Tek Hun semakin menjadi berang. "Marilah kita coba, Nyo¬nya." geramnya tertahan.
Sementara itu para penjaga yang tadi dikalahkan oleh Kwe Tek Hun segera menyingkir agak jauh untuk mengobati luka-luka mereka. Selain mengobati luka, mereka juga ingin menonton pertarungan Kwe Tek Hun dengan wanita asing itu.
"Nah, Anak muda... lihat serangan!" wanita itu berseru serta menyerang le¬bih dahulu ketika dilihatnya Kwe Tek Hun tidak mau mendahuluinya.
Sederhana saja serangan wanita itu, seakan-akan memang hanya ingin me¬mancing reaksi Kwe Tek Hun, sehingga pemuda itu pun hanya mengelak sedikit pula, asalkan serangan tersebut tidak mengenai tubuhnya. Bahkan pemuda itu segera membalas dengan pukulan sisi te¬lapak tangannya, dalam jurus Kim-hong-san-bwe atau Burung Hong Menebarkan Ekor. Sambil menggeliat dari samping pemuda itu mengayunkan sisi telapak ta¬ngannya dari atas miring ke bawah, dan yang diserang adalah leher atau pung¬gung wanita itu.
"Bagus...!" Wanita itu berseru nyaring. Lalu dengan cepat kakinya melangkah pendek-pendek tiga kali, ke kanan dan ke kiri sambil meliukkan badan setengah lingkaran ke muka dan ke belakang.
Tampaknya gerakan wanita itu amat sederhana sekali. Langkahnya pun ha¬nya pendek-pendek pula. Akan tetapi ha¬silnya sungguh mencengangkan. Hanya dengan tiga kali melangkah itu ternyata dia bisa berputar mengelilingi Kwe Tek Hun, dan hanya dengan meliukkan badan ke muka dan ke belakang itu ternyata juga dapat mengelakkan pukulan tangan Kwe Tek Hun pula.
Tak heran kalau para penjaga yang menonton pertempuran itu merasa tak¬jub melihatnya. Namun rasa heran dan takjub mereka belumlah sehebat rasa he¬ran dan takjub yang ada di dalam dada Kwe Tek Hun sendiri. Pemuda itu ham¬pir-hampir tak percaya apa yang dilihat¬nya, bahwa wanita itu benar-benar me¬nguasai Ban-seng-po Lian-hoan dengan baik. Apa yang baru saja dilakukan oleh wanita itu adalah gerakan yang ke sepu¬luh dari Ban-seng-po Lian-hoan, yaitu Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari.
Kwe Tek Hun semakin penasaran. Tapi ia tak bisa terlalu lama memikir kan keajaiban itu, karena di lain saat wanita itu ganti menyerangnya kembali. Terdengar suara mencicit tajam ketika jari tangan kanan wanita itu menusuk ke arah tulang rusuknya.
Pemuda itu seperti tersentak dari mimpinya. Otomatis kakinya melangkah dengan gerakan Memindah Bintang Kejo-ra ke Kutub Utara, gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang ke lima belas. Dan seperti main sulap saja tubuhnya yang tegap itu telah berpindah tempat di be¬lakang lawannya.
"Bagus...!" sekali lagi wanita itu me¬muji.
Dan sebelum Kwe Tek Hun memanfaat kan kedudukannya yang menguntungkan wanita itu cepat meluncurkan tubuhnya setombak ke depan, lalu berputar setengah lingkaran dan melangkah mundur tiga tin dak. Gerakannya sangat cepat, manis dan lincah, sehingga Kwe Tek Hun yang amat mengenal gerakan Menerobos Awan Me¬ngejar bintang Jatuh tertegun dibuatnya.
Lagi-lagi keraguan Kwe Tek Hun ter¬sebut dimanfaatkan oleh lawannya. Sambil berseru lirih wanita itu kembali me¬nyerang dengan jari-jari tangannya. Kini yang dituju adalah jalan darah ping-tai-hiat di bawah pinggang kiri Kwe Tek Hun. Hawa panas seolah-olah menerpa tubuh pemuda itu.
Dengan tangkas Kwe Tek Hun menghin dar. Tak terasa kakinya melangkah dalam Ban-seng-po Lian-hoan yang ke empat, ya itu Bintang Kejora Meniti Pelangi. Kaki¬nya melangkah enam kali ke belakang ce pat sekali. Kaki kanan melangkah lebar, sementara kakj kiri hanya pendek-pendek saja, sehingga jalannya tidak lurus, tapi melengkung ke bawah otomatis Kwe Tek Hun berada di samping kanan wanita itu sekarang. Dan kesempatan tersebut segera digunakan oleh pemuda itu untuk balas menyerang. Kedua belah tangannya mencengkeram ke atas dan ke bawah, ke. arah pundak dan pinggang lawannya.
Akan tetapi wanita itu seperti sudah bisa menebak apa yang hendak dilaku¬kan oleh Kwe Tek Hun. Baru saja se¬rangan pemuda itu mencapai separuh ja lan, wanita itu sudah keburu melompat satu tombak ke samping, lalu membalik¬kan badan menghadapi Kwe Tek Hun. Kedua telapak tangannya juga terulur ke depan, menyongsong serangan Kwe Tek Hun.
Plaaaak! Plaaaak!
Dua pasang tangan bertemu di udara dan menimbulkan suara yang amat nya¬ring. Karena masing-masing telah menge¬rahkan tenaga dalamnya, maka benturan itu menimbulkan getaran kekuatan yang sangat kuat. Kwe Tek Hun yang merasa berhadapan dengan lawan yang berkepan¬daian sangat tinggi, telah mengerahkan hampir seluruh tenaga saktinya. Sebalik¬nya wanita itu merasa belum perlu untuk bertarung mati-matian dengan Kwe Tek Hun, sehingga ia hanya melepaskan sepa¬ruh dari tenaga saktinya.
Namun akibatnya sungguh tidak ter¬duga. Benturan yang keras itu menyebab¬kan Kwe Tek Hun terpental seperti la¬yang-layang putus. Untunglah pemuda itu memiliki ginkang yang cukup tinggi, se-hingga tubuhnya tidak sampai terbanting ke atas tanah. Namun demikian ketika dengan sempoyongan kakinya me¬nginjak tanah, pemuda itu merasa aliran darahnya bergolak dengan hebat.
Ketika dengan nanar matanya memandang ke depan, Kwe Tek Hun melihat la¬wannya tetap berdiri kukuh di tempatnya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa wanita itu terpengaruh oleh benturan tadi.
Wanita itu tersenyum, dan Kwe Tek Hun harus mengakui bahwa wanita setengah ba¬ya itu tentu cukup cantik di masa mudanya.
"Anak muda...! Apakah kau sudah prrcaya sekarang?"
Dengan perasaan berat Kwe Tek Hun terpaksa mengangguk. "Tetapi... aku be¬lum puas." desahnya kemudian setelah aliran darahnya telah kembali normal.
Sekali lagi wanita itu tersenyum. Se¬kilas ia menatap suaminya yang berdiri diam di tempatnya.
"Ah, Anak muda... kalau bicara soal puas dan tidak puas, sebenarnya aku pun juga belum merasa puas pula. Sedari tadi kau cuma mengeluarkan gerakan tingkat pertama dan tingkat ke dua saja. Kau belum pernah mengeluarkan gerak¬an pada tingkat-tingkat selanjutnya. Hmm, apakah kau baru memperoleh pe¬lajaran sampai pada tingkat ke dua sa¬ja?"
Perasaan Kwe Tek Hun tergetar de¬ngan hebat.
"Tingkat pertama dan ke dua? Apa... apa maksud Nyonya?"
Wanita itu tetap tidak melepaskan senyumnya. "Nah, sekarang semakin ter¬bukti betapa kurangnya pengetahuanmu tentang Ban-seng-po Lian-hoan. Ketahui¬lah, Anak muda... Ban-seng-po Lian-hoan itu terbagi dalam delapan tingkatan. Se¬tiap tingkat memiliki sembilan gerakan, sehingga seluruhnya ada tujuh puluh dua gerakan. Jadi, apabila engkau baru bela¬jar sampai pada tingkat yang ke dua, berarti yang kaupelajari baru delapan be¬las gerakan saja...."
"Delapan belas gerakan? Tapi... tapi Ban-seng-po Lian-hoan keluargaku cuma ada lima belas gerakan saja!" tak tera¬sa Kwe Tek Hun menyela.
"Lima belas gerakan?" kini ganti wanita itu yang terkejut. "Hei, kalau begitu tingkat ke dua saja kau belum selesai!"
Kwe Tek Hun tertunduk diam tak bi¬sa berkata-kata lagi. Berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Bingung, kikuk, malu, tak percaya, sedih, kesal, dan berbagai macam perasaan yang lain lagi.
Tapi di lain saat pemuda itu masih tetap merasa penasaran dan kurang per¬caya pula. Benarkah semua yang dikata¬kan oleh wanita itu?
"Nyonya, aku... aku tetap belum pu¬as! Engkau pun sendiri tadi juga belum mengeluarkan gerakan yang belum kuke¬nal pula. Aku... aku ingin kau memper¬lihatkan gerakan-gerakan yang kausebut-kan itu."
"Baik!" tiba-tiba Swat Kim Po berse¬ru seraya melangkah mendekati isteri-nya. "lsteriku ini juga baru mempelajari¬nya sampai ke tingkat yang ke empat. Akulah yang akan memperlihatkan kepa¬damu beberapa gerakan Ban-seng-po Li¬an-hoan yang lain. Marilah...!"
"Tuan...?" Kwe Tek Hun berdesah ra¬gu.
"Seranglah aku!" laki-laki setengah baya itu berkata tegas.
Kwe Tek Hun tersentak. Hatinya ter¬gugah. Otomatis tangannya terangkat, kemudian menerjang dada lelaki itu. Wuuuus! Kini pemuda itu tidak mau se¬tengah-setengah lagi. Sekaligus ia me¬ngerahkan seluruh kekuatannya!
"Bagus!" Swat Kim Po memuji.
Serangan Kwe Tek Hun memang ku¬at dan berbahaya. Kedua belah telapak tangannya yang terbuka lebar itu me¬nyambar dalam jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk Bulan). Dari te¬lapak tangan itu. meluncur udara hangat yang sangat kuat.
Swat Kim Po cepat memiringkan tu¬buhnya untuk menghindari benturan tela¬pak tangan itu. Kemudian sesuai dengan janjinya untuk - mengeluarkan gerakan Ban-seng-po Lian-hoan,- Swat Kim-po mengangkat lengan kanannya ke atas, dan mengebutkah ujung lengan bajunya yang lebar itu ke wajah Kwe Tek Hun.
Udara yang luar biasa dingin berhembus dari ujung lengan baju tersebut, sehing¬ga Kwe Tek Hun terpaksa berpaling un¬tuk mengelakkannya. Akan tetapi ketika udara dingin itu telah lewat, dan Kwe Tek Hun ingin balas menyerang lagi, Swat Kim Po telah menghilang dari ha¬dapannya!
Sekejap Kwe Tek Hun menjadi bi¬ngung. Namun dengan cerdik ia berbalik sambil mengayunkan kakinya menendang ke belakang dalam jurus Burung Merak Mengibaskan Ekor.
Benar juga dugaan pemuda itu. Swat Kim Po yang lihai itu memang telah bergeser ke belakang tubuhnya dengan gerakan Melihat Bintang di Balik Cakra¬wala, gerakan yang ke dua puluh satu dari Ban-seng-po Lian-hoan.
"Hahaha, meskipun ngawur, tapi kau cukup cerdik juga...!" Swat Kim Po ter¬tawa melihat kecerdikan Kwe Tek Hun.
Sambil memuji Swat Kim Po berkelit menghindari tendangan Kwe Tek Hun. Sekali lagi lengan bajunya yang longgar itu menyambar ke depan. Namun kali ini bukan udara dingin yang tertiup dari lubang lengan baju tersebut, tetapi uda¬ra panas!
Kwe Tek Hun tak mau berpaling da¬ri lawannya. Ia tak ingin terkecoh untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu ia hanya meloncat mundur menghindari se¬rangan ujung lengan baju tersebut.
Tapi Swat Kim Po tidak mau mele¬paskannya. Lelaki itu kembali mengebut-kan lengan bajunya yang lain. Kali ini udara yang meniup semakin terasa me¬nyengat. Bahkan ujung lengan baju itu seperti mengepulkan asap tipis. Asap ti¬pis yang cukup membuat pedas mata Kwe Tek Hun!
Sekali lagi Kwe Tek Hun melompat mundur. Dan sebelum kakinya menginjak tanah, pemuda itu balas menyerang de¬ngan sisi tangannya. Kwe Tek Hun tidak ingin terus-terusan diserang lawan.
Wuuuuuush! Pukulan Kwe Tek Hun menerjang ke depan dengan sia-sia! Swat Kim Po telah tiada di depan lagi! Laki-laki itu telah menghilang begitu saja!
Kwe Tek Hu cepat berbalik sambil memukul. Namun kali ini ia terkecoh. Swat Kim Po tidak bersembunyi di bela¬kang punggungnya.
"Hahahaha...! Anak Muda, aku di si¬ni!" tiba-tiba terdengar suara lelaki itu dari kejauhan. Ternyata Swat Kim Po telah berdiri di samping isterinya.
"Aaaah...!" Kwe Tek Hun berdesah. Badannya menjadi lemas dan lesu. Ter¬nyata lawannya benar-benar memiliki ge¬rakan-gerakan Ban-seng-po Lian-hoan yang lebih lengkap.
"Apakah kau sekarang sudah perca¬ya, Anak muda?" isteri Swat Kim Po berseru seraya menghampiri Kwe Tek Hun kembali.
Kwe Tek Hun menghembuskan napas¬nya kuat-kuat seperti ingin memuntah¬kan semua perasaan kesal yang menin¬dih hatinya, lalu menganggukkan kepala¬nya. Tak sepatah pun kata-kata yang bi¬sa terucap dari bibirnya.
"Nah! Sekarang antarkan kami mene¬mui Ayahmu!"
"Apa...?" Kwe Tek Hun tersentak. Wa jahnya yang kuyu itu kembali memerah.
"Antarkan kami menemui Ayahmu atau Gurumu itu!" wanita itu mengulangi pe¬rintahnya. Kini suara itu sangat tegas dan kaku.
Kwe Tek Hun mendengus. Dadanya seperti disengat bara.
"Nyonya, aku memang percaya bah¬wa kau dan suamimu memiliki Ban-seng-po Lian-hoan yang lebih lengkap daripa¬da aku. Tapi semua itu bukan berarti aku harus tunduk pada perintah kalian. Dari semula aku juga tidak berjanji apa-apa kepada kalian. Apalagi aku juga be¬lum kalah."
Wanita itu mengerutkan dahinya yang halus.
"Maksudmu...?" serunya kaku.
"Ban-seng-po Lian-hoan tidak menja¬min seseorang untuk menang di segala pertempuran, karena ilmu itu hanya il¬mu langkah kaki, dan tidak untuk me¬nyerang. Ilmu itu harus dilengkapi dengan ilmu silat lain yang sepadan, sehingga bisa terlihat kedahsyatannya." Kwe Tek Hun berdesah dengan suara kaku pula.
"Oooooo, jadi kau ini masih menyang sikan kemampuan kami? Begitu...? Ba¬ik! Mari kita uji sekali lagi dengan ilmu silat yang lain!" wanita itu mengge¬ram sambil memasang kuda-kuda.
Kwe Tek Hun segera bersiap diri pu¬la. "Hmmh! Mengapa kau tidak menca¬but pedang anehmu itu, Nyonya?"
"Tidak usah! Kami warga Pondok Pe¬langi hanya mencabut pedang bila benar-benar memerlukannya! Untuk mengalahkanmu cukup dengan ilmu silat kami yang lain."
"Sombong!" Kwe Tek Hun berseru be¬rang, kemudian menerjang perempuan itu dengan tendangan kaki kanannya.
"Kau sendiri yang sombong, tidak mau mengakui kenyataan!" wanita it*u menjawab seraya mengelak ke samping, lalu dari samping ia balas menyerang de¬ngan tusukan jari telunjuknya.
Cusss! Cusss! Dari ujung jari itu me¬luncur seleret sinar kebiruan menyam¬bar tubuh Kwe Tek Hun.
Pemuda itu terkejut! Ia mengenal il¬mu itu! Namun belum juga ia sempat membuka suara, serangan itu telah menyentuh pakaiannya!
Mati-matian Kwe Tek Hun mengelak. Tubuhnya bergeser ke kanan dengan ce¬pat, lalu meliukkan badan sambil me¬langkah ke kanan dan ke kiri sebanyak tiga kali dalam gerak Mengejar Bulan Mengelilingi Matahari. Tapi belum juga pemuda itu berdiri tegak, wanita itu kembali telah mengejarnya dengan se¬rangannya yang lain!
Cuuus! Cuuus! Cuuus!
Kwe Tek Hun menjadi sibuk sekali! Ternyata dia tak bisa mengandalkan Ban-seng-po Lian-hoan lagi! Gerakan-gerakannya yang dikenal baik oleh la¬wannya! Terpaksa dia berkelit dan meng¬hindar dengan bantuan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, yaitu Pek-in Gin-kang! Namun demikian tetap saja salah sebuah serangan wanita itu menyerem¬pet pakaiannya!
Sreeet! Pakaian itu bolong seperti di¬tebas oleh pedang yang amat tajam!
"Aaaah! Tahan!" begitu memperoleh kesempatan Kwe Tek Hun berteriak.
"Kau menyerah, Anak Muda?" wanita itu bertanya seraya menghentikan se¬rangannya.
"Nanti dulu, Nyonya. Bukankah ilmu yang baru saja kaupergunakan ini tadi... Tai-lek Pek-kong-ciang?"
Sekarang ganti wanita itu yang ka¬get. Demikian pula suaminya, Swat Kim Po.
"Hei, apakah kau juga mempelajari ilmu silat itu?" Swat Kim Po dan isterinya bertanya hampir berbareng.
"Ah, tidak... tidak!" Kwe Tek Hun cepat-cepat menggoyangkan tangannya. "Ilmu itu milik Keluarga Souw...."
"Keluarga Souw...?" Tak terduga ke¬dua suami isteri dari Pondok Pelangi itu berteriak gembira.
Lalu dengan gerakan yang sangat ce¬pat sehingga tidak bisa diikuti oleh pan¬dangan mata, tangan Swat Kim Po me¬nyambar pergelangan tangan Kwe Tek Hun. Dan pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Tahu-tahu tangannya telah tertangkap oleh cengkeraman Swat Kim Po tersebut.
"Kau kenal keluarga Souw? Di mana mereka tinggal?" laki-laki itu memberon¬dong Kwe Tek Hun dengan pertanyaan.
Kwe Tek Hun mengerahkan Iweekangnya untuk melepaskan diri dari cengke¬raman Swat Kim Po, tapi tak bisa. Te¬naga dalam orang itu hebat bukan main. Terpaksa Kwe Tek Hun mempergunakan kakinya untuk menyerang. Dan tangan¬nya yang lain ikut membantu pula.
Swat Kim Po mencoba untuk mengelak¬kan tendangan Kwe Tek Hun, tapi ketika siku pemuda itu mengancam ulu hatinya, terpaksa ia melepaskan cengkeramannya.
Swat Kim Po mundur selangkah ke belakang. "Bagus, Anak muda. Kepandaianmu memang hebat. Tapi tolong kata¬kan kepadaku! Benarkah Keluarga Souw yang kau kenal itu memiliki ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang?" tanyanya bersema¬ngat.
Kwe Tek Hun menjadi ragu dan agak bingung. Ia tak bisa menduga apa yang dikehendaki suami isteri itu terhadap Keluarga Souw. Adakah mereka mempu¬nyai hubungan perguruan?
"Semua kaum persilatan tahu bahwa Keluarga Souw memiliki ilmu Tai-lek Pek-kong-ciang dan Tai-kek-sin-ciang..." akhirnya Kwe Tek Hun menjawab apa adanya.
"Tai-kek-sin-ciang? Seperti ini?" Swat Kim Po tiba-tiba berdesah keras dan tampak semakin bersemangat.
Lelaki itu memasang kuda-kuda. Dua buah telapak tangannya ia rangkapkan di depan dada seperti layaknya orang menyembah. Dan sekejap kemudian dari seluruh lobang kulitnya keluar asap tipis berwarna kemerah-merahan. Anehnya, asap itu tidak membuyar ditiup angin. Asap itu seperti melekat dan menyeli¬muti tubuh lelaki itu setebal beberapa inchi, sehingga sepintas lalu ia bagaikan mengenakan baju kabut tembus pandang.
Tentu saja ilmu silat tingkat tinggi itu membuat takjub para anggota Hek-to-pai yang dikalahkan Kwe Tek Hun ta¬di. Mereka seperti melihat jago sihir yang sedang memperlihatkan mujijat atau kesaktiannya. Apalagi ketika Swat Kim Po tiba-tiba melayangkan pukulannya ke sebuah pohon pelindung di samping pintu gerbang. Batang pohon sebesar pelukan orang dewasa itu mendadak mengeluar¬kan asap kehitaman seperti kena bakar.
Belum juga hilang ketakjuban mereka, tiba-tiba Swat Kim Po mengubah kuda-kudanya. Badannya berdiri tegak lurus. Kedua tangannya merapat, sementara ke¬dua tangannya juga terangkap lurus ke atas seperti hendak meraih langit. Asap atau kabut tipis masih tetap menyelimu¬ti tubuhnya.
"Waaaah...?!?" mendadak para penja¬ga itu berseru takjub lagi.
Kwe Tek Hun yang pernah menyaksi¬kan ilmu itu memang tidak seheran pa¬ra penjaga tersebut. Namun bagaimana¬pun juga ilmu yang dipertunjukkan oleh Swat Kim Po itu tetap mendebarkan ha¬tinya. Apalagi ketika melihat kabut yang menyelimuti badan Swat Kim Po terse¬but mendadak berubah warnanya menjadi putih, kemudian kuning, hijau, biru ' dan sebagainya.
Setiap kali berubah warna, Swat Kim Po tentu menyerang batang pohon itu. Dan akibatnya memang sangat mendebarkan hati. Berganti-ganti pohon itu se¬perti disulut api, diguyur air panas, disi¬ram salju, dihembus badai, dan lain-lain¬nya. Akibatnya sungguh menyedihkan. Begitu Swat Kim Po menghentikan sera¬ngannya, pohon besar itu perlahan-lahan tumbang bagaikan pohon tua yang telah lapuk dimakan rayap. Batang kayunya yang semula sangat kuat dan keras luar biasa itu kini telah berubah menjadi em¬puk dan rapuh seperti gumpalan tanah.
Swat Kim Po kembali berdiri di de¬pan Kwe Tek Hun.
"Seperti itukah Tai-kek-sin-ciang Ke¬luarga Souw?”1
Kwe Tek Hun terdiam, kemudian menggeleng lemah. "Memang hampir sa¬ma. Tetapi yang pernah kulihat, asap yang menyelimuti tubuh Pendekar Souw cuma ada dua warna."
"Dua warna...?"
"Yah! Putih dan merah!"
"Aneh. Mengapa hanya putih dan merah saja?" Swat Kim Po mengerutkan keningnya. "Ah, sudahlah...! Anak, muda, ketahuilah. Kami berdua datang ke Tiong-goan ini memang sedang mencari sesesorang atau keturunan seseorang yang telah menyimpan barang-barang pusaka Pondok Pelangi selama lima ratus tahun. Kami tidak tahu siapa orang itu, namun yang jelas orang itu tentu memiliki il-mu yang sama dengan kami. Nah, itulah sebabnya kami mencurigai keluargamu atau keluarga Souw itu. Sekarang mari¬lah kita berangkat menemui Ayahmu du¬lu!"
Kwe Tek Hun menunduk. Sekejap terjadi perang batin di dalam hatinya. Melawan atau menuruti perintah orang itu. Melawan mereka berarti sia-sia. Jangankan melawan Swat Kim Po, mela¬wan isterinya saja ia tak mungkin me¬nang. Tapi kalau menuruti perintah me¬reka, lalu bagaimana dengan Tio Ciu In dan Liu Wan?
"Bagaimana, Anak muda? Kita ber¬angkat sekarang?" Swat Kim Po mende¬sak.
"Baiklah. Tapi biarlah aku memberi¬tahukan kepergianku ini kepada teman-temanku yang ada di dalam perumahan itu." akhirnya Kwe Tek Hun memberi¬kan persetujuannya. Ia juga ingin tahu, bagaimana reaksi Ayahnya tentang Ban-seng-po Lian-hoan itu.
Tapi dengan cepat Swat Kim Po menggoyangkan tangannya.
"Tak usah! Biarlah orang-orang itu yang mengatakan kepada teman-teman¬mu nanti. Kita langsung berangkat saja sekarang." orang itu berkata sambil me¬nunjuk ke para penjaga yang tadi menge¬royok Kwe Tek Hun.
"Mengapa...?" Kwe Tek Hun berdesis. Wajahnya memerah, sementara urat-urat¬nya menegang kembali.-
"Maaf, anak muda... kami tak ingin membunuh teman-temanmu! Kalau kau. mengatakan kejadian ini kepada mereka, mereka pasti akan menahanmu, membe¬lamu! Nah, kalau kejadian nanti akan demikian halnya... hemmm, terpaksa ka¬mi harus membunuh mereka! Paham?" Swat Kim Po menerangkan dengan sua¬ra dingin.
Hampir saja hati Kwe Tek Hun be¬rontak. Dia tak takut mati dan tentu demikian pula halnya dengan Liu Wan. Tapi bagaimana dengan Tio Ciu In? Ia merasa kasihan kepada gadis ayu itu. Gadis itu sedang mencari adiknya.
Perlahan-lahan darah yang telah naik ke kepala itu turun kembali. Kwe Tek Hun tak ingin mencelakakan teman-temannya, terutama gadis ayu itu. Biar¬lah ia sendiri yang menghadapi Swat Kim Po dan isterinya.
"Baiklah marilah kita berangkat!"
"Bagus! Nah, Sui Nio, kau berkuda bersama aku! Biarlah anak muda ini menggunakan kudamu!" Swat Kim Po berseru lega sambil menghampiri isteri¬nya.
Demikianlah, tanpa berpamitan kepa¬da teman-temannya, Kwe Tek Hun me¬nempuh perjalanan ke utara bersama Swat Kim Po dan isterinya. Sebenarnya ada dua jalan untuk pergi ke Pulau Meng-to. Pertama, menempuh jalan laut ! melalui Kampung Ui-thian-cung, dengan perahu besar ke arah utara. Ke dua, me¬nempuh jalan darat lebih dahulu hingga kota Lia-siu di Propinsi Kiang-su, lalu dari kota itu nanti berlayar lurus ke ti¬mur ke arah matahari terbit. Dan ter¬nyata Kwe Tek Hun memilih melalui ko¬ta Lia-siu tersebut.
Sementara itu di pendapa perguruan Hek-to-pai, Liu Wan telah hampir bisa menguasai lawan-lawannya. Ketika pemu¬da itu melihat kerepotan Tio Ciu In, ha¬tinya menjadi tidak sabar lagi. Otomatis ilmu Thian-lui-kong-ciangnya terungkap keluar tanpa disengajanya. Dan yang men jadi korban pertama adalah It Kwan sen¬diri!
Whuuuuuus! Dhuuaaar!
"AduuuuuuhJ."" Ketua Hek-to-pai menjerit keras. Tubuhnya terlontar ting¬gi dan jatuh berdebam di halaman.

Cong Su terbeliak ketakutan, dan tanpa malu-malu lagi ia membuang ruyungnya tanda menyerah.
Liu Wan tak mengacuhkan Cong Su. Dia cepat menghampiri It Kwan yang tak mampu bangkit lagi itu. Dengan kaki di atas punggung It Kwan, pemuda itu mengancam orang-orang Hek-to-pai yang mengepung Tio Ciu In.

"Berhenti semua...! Kalau tak mau berhenti, tubuh ketua kalian akan kuin¬jak sampai hancur!"
Puluhan anggota Hek-to-pai yang ada di pendapa itu segera mundur ketakutan. Mereka sama sekali tak mengerti bagai¬mana ketuanya yang lihai itu sampai da¬pat dikuasai oleh anak-anak muda itu.
Tio Ciu In lalu menghampiri Liu Wan dan berdiri di samping pendekar muda itu.
"Nah, orang tua... sekarang katakan yang sebenarnya kepada kami! Di mana¬kah gadis berbaju merah yang datang ke sini kemarin itu? Ayoh, jawab! Kuhitung sampai lima, kalau kau tetap tak menja¬wab jangan salahkan aku menginjak punggungmu ini sampai patah! Satu... dua ... tiga...."
"Baik... baik, aku akan menjawabnya!" dengan suara kesakitan. It Kwan berkata. "Gadis itu... gadis itu telah pergi ke arah pantai! Kawanku, Tong Taisu, ka¬lah bertaruh dengan dia, sehingga dia dilepaskan oleh temanku itu! Nah, lepas¬kan kakimu... aku telah mengatakan se muanya."
Liu Wan memandang ke sekelilingnya, ke arah anak murid perguruan Hek-to-pai yang menunggu dengan cemas nasib ketuanya itu.

"Hei benarkah apa yang dikatakan oleh ketua kalian?" pemuda itu berseru keras.

"Ya... benar!" orang-orang itu menja¬wab hampir berbareng.

Liu Wan mengangkat kakinya dan membiarkan ketua Hek-to-pai itu dito¬long oleh anak buahnya.
"Ciu-moi marilah kita pergi! Kita su¬sul Adikmu ke pantai!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT