PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI jilid 08



WHUH!" gadis cantik bermata dingin itu merasa tak senang pula melihat kedatangan Tio Ciu In yang mampu menyaingi kecantikannya.

Di depan meja Kwe Tek Hun, Tio Ciu In menegur Liu Wan yang ternyata juga ikut terbengong-bengong pula menyaksikan kecantikan gadis itu.

"Twako, mari kita berangkat seka¬rang...!"

"Ini... ini... eh, ke mana kita. akan pergi?" Liu Wan menjawab gugup, sehingga Ciu In menjadi geli melihatnya.

"Hei bukankah kita akan mencari Siau In? Mengapa kau sudah lupa lagi?" dengan gemas Tio Ciu In menggerutu.

"El oh... ya benar. Mari... mari...!"

Bagaikan orang bingung Liu Wan lalu berdiri dan hendak beranjak pergi da¬ri tempat itu. Untunglah dengan sigap Kwe Tek Hun menahan lengannya.

"Sebentar, Saudara Liu...! Kau hendak pergi ke mana? Bagaimana dengan ren¬cana kita untuk menemui Jeng-bin Lo¬kai,?" pemuda itu mengingatkan.

"Hah?" Liu Wan tersentak kaget dan tersadar dari linglungnya.

Kemudian dengan tergesa-gesa pemuda itu mempersilakan Tio Ciu In duduk di kursi dan memperkenalkannya kepada Kwe Tek Hun bersaudara. Tak lupa de¬ngan wajah kemerah-merahan Liu Wan meminta maaf atas kekilafannya. Lalu pemuda itu juga bercerita kepada Tio Ciu In tentang rencana mereka untuk minta pertolongan orang-orang Tiat-tung Kai-pang, agar jejak Tio Siau In cepat ditemukan.

"Terserah kepada Twako. Pokoknya Adikku segera diketemukan." Tio Ciu In menyahut perlahan.

"Nah, kalau begitu kita berangkat sa¬ja sekarang!" Kwe Tek Hun menggeram dengan suara bersemangat.

"Aih... nanti dulu! Bagaimana dengan makan pagi kita? Bukankah perut kita belum terisi?" Namun dengan cepat Song Li Cu menahan keinginan kakak seperguruannya itu.

"Ah, kau benar Nona Song. Kita tak perlu tergesa-gesa. Kita memang harus mengisi perut kita dulu." 
Sambil tertawa Liu Wan menyambut usul gadis manis itu.

Demikianlah seraya menyantap bubur ayam hangat mereka lalu melanjutkan obrolan mereka kembali. Dan Kwe Tek Hun yang merasa dirinya sebagai pihak tuan rumah lalu bercerita tentang peng-alaman pengalamannya yang mengesankan selama ia berkelana di dunia persilatan. Pengalaman Kwe Tek Hun memang sangat banyak, pengetahuannya juga luas karena sejak kecil sampai menginjak remaja sering diajak oleh gurunya yang juga orang tuanya sendiri, mengembara ke seluruh pelosok negeri.

Semuanya asyik mendengarkan. Sambil makan perhatian mereka hampir tak pernah lepas dari bibir Kwe Tek Hun. Bahkan Liu Wan yang sudah bertahun-tahun bertualang di dunia kang-ouw pun masih tetap merasa kagum pula mendengar kisah-kisah yang diutarakan oleh Kwe Tek Hun. Apalagi Tio Ciu In yang masih hijau itu, kisah cerita yang baru pertama kali didengarnya itu benar-benar amat menarik hatinya. Namun yang sungguh amat menyolok adalah perhatian yang dibenarkan oleh Song Li Cu. De¬ngan pandang mata mesra, kagum serta bangga, gadis itu selalu mengawasi wa¬jah kakak seperguruannya yang gagah tampan itu. Gadis cantik itu hanya mau melepaskan pandangannya apabila sedang melayani tambahan makanan atau minuman Kwe Tek Hun.

Walaupun sedang asyik makan dan mendengarkan cerita Kwe Tek Hun, te¬tapi Liu Wan sempat juga melihat keme¬sraan yang diberikan oleh gadis itu. Se¬saat Liu Wan merasa terharu juga. Na¬mun apabila kemudian dilihatnya wajah Ku Jing San yang sayu, hatinya ikut me¬rasa sedih pula.
"Secara diam-diam tampaknya Ku Jing San telah mencintai Song Li Cu, akan tetapi gadis itu sendiri kelihatan¬nya lebih mengagumi Twa-suhengnya. Sementara Kwe Tek Hun sendiri tak bisa diduga hatinya, apakah ia membalas cin¬ta Song Li Cu atau tidak...."
Tak terasa Liu Wan berdesah panjang. Pikirannya lantas terhunjam pada keada¬annya sendiri. Dalam usianya yang sudah dua puluh lima tahun ini ia telah banyak mengenal dan berhubungan dengan wanita, namun tak seorang pun di antaranya yang mampu menarik dan menggugah perasaan cintanya. Bahkan sudah ber¬ulang kali ia mencoba menyelusuri ke-J"^aft diri pribadmya_sei]diri, untuk me-ngetahui mengapa ia merasa sulit men¬cintai wanita. Tapi sampai sekarang ia belum pernah mendapatkan jawabannya. Padahal ia tak memiliki impian yang muluk-muluk. Sama sekali ia tak berci-ta-cita untuk kawin dengan seorang pu¬tri raja yang cantik bagai bidadari.
Diam-diam Liu Wan melirik Tio Ciu In yang duduk di sampingnya. Gadis yang lembut dan ayu itu benar-benar lain da¬ripada yang lain. Gadis itu mampu meng goncangkan batinnya, meruntuhkan- din¬ ding hatinya, sehingga beberapa kali membuatnya gugup, linglung dan salah tingkah. Namun demikian dia juga belum tahu, apakah dirinya telah jatuh cinta atau tidak, karena menurut pengalaman, perasaannya yang panas membara dan menggebu-gebu itu akan segera padam apabila wanita itu mulai bertingkah ingin menguasai dirinya.
"Liu Twako...?" tiba-tiba terdengar suara Tio Ciu In memanggilnya.
"Ha? Yaa... apa?"
Bagaikan disengat lebah Liu Wan ter¬sentak kaget, bahkan hampir terjengkang dari kursinya. Sesaat kemudian pemuda itu menjadi gugup. Tapi hanya sesaat sa¬ja, karena dengan cepat pemuda itu bisa menguasai dirinya kembali.
"He, Twako... kau melamun, ya?" Tio Ciu In menegur sambil tertawa.
"Tidak. Aku sedang asyik mendengar¬kan cerita Saudara Kwe...." Liu Wan mencoba membela diri.
Tak terduga Tio Ciu In dan yang lain justru tertawa semakin keras. "Nah ... nah... kebohonganmu justru ketahuan malah. Apa yang hendak kau dengarkan lagi kalau cerita itu sudah selesai sejak tadi?" Dengan suara riang Tio Ciu In se¬makin menggoda.
"Benarkah...? Wah, ini... ini...." Liu Wan tersenyum malu.
"Sudahlah, tampaknya Saudara Liu Wan menyukai ceritaku sehingga tertidur." Kwe Tek Hun bergurau. "Oleh karena itu sebaiknya kita segera berangkat sa¬ja."
Semuanya tertawa. Liu Wan terpaksa ikut tertawa pula, meskipun tertawa ke¬cut. Namun suara tertawa mereka terpak sa terhenti ketika mendadak gadis ayu yang baru saja datang tadi menggebrak mejanya.
"Brengsek! Pelayan...!" gadis ayu itu berteriak memanggil pelayan.
"Ya. Sio-cia...? Apakah Sio-cia meng¬hendaki sesuatu? Apakah... apakah...? Anu ... eh, hidangan yang Sio-cia pesan be-be-belum selesai!" Tergopoh-gopoh pela¬yan yang melayani gadis itu tadi datang dan bertanya gugup.
"Persetan! Aku tidak menanyakan ma sakanmu! Aku hanya tidak menyukai sua- ^ ra berisik di ruangan ini! Hmmmh! Apa¬kah kau tidak mempunyai tempat yang lain, yang terpisah dari tempat ini, agar aku bisa tenang menikmati hidanganmu?" Gadis itu membentak sambil bertolak pinggang. Suaranya nyaring dan beberapa kali matanya yang bulat indah itu meli¬rik ke arah meja Kwe Tek Hun.
Pipi Song Li Cu menjadi merah kare¬na jelas yang dimaksudkan oleh gadis itu adalah rombongannya. Namun sebelum Song Li Cu bertindak lebih jauh, Kwe Tek Hun telah lebih dahulu menahannya. Dengan sabar dan tenang pemuda gagah itu menjura ke arah tetangganya yang sedang marah tersebut.
"Maafkanlah kami. Nona. Kami sampai lupa bahwa kami bukan berada di tempat kami sendiri. Biarlah kami pergi. Nona tak perlu mencari tempat yang lain lagi."
Kwe Tek Hun lalu mengajak Liu Wan, 10 Ciu In, dan adik-adik seperguruannya meninggalkan tempat itu. Liu Wan, seba¬gai pemuda matang yang telah kenyang
pengalaman, dapat menerima dan mema¬hami sikap Kwe Tek Hun yang sabar dan mau mengalah itu. Tapi bagi Tio Ciu 1 Ku Jin San dan Song Li Cu, sikap Kwe Tek Hun yang terlalu mengalah itu be¬nar-benar tidak bisa mereka terima. Bu¬kankah tempat itu tempat umum? Bukan rumah pribadi? Se arusn alah setiap orang yang berada di tempat itu menya¬dari bahwa ia tidak berada di rumahn a sendiri.
Tetapi karena Kwe Tek Hun sebagai wakil dari rombongan itu telah menguta¬rakan sikapnya, maka meskipun menahan berang Ku Jing San, Song Li Cu dan Tio Ciu In terpaksa menahan dirinya. Dengan perasaan kesal dan penasaran mereka mengikuti saja langkah Kwe. Tek Hun dan Liu Wan, keluar dari ruangan tersebut. Namun demikian tetap saja Ku Jing San dan Song Li Cu yang agak berangasan itu tak bisa menyembunyikan kedongkol¬an hatinya ketika lewat di dekat meja gadis itu. Kedua saudara seperguruan itu menatap dengan mata melotot seakan-akan hendak menelan tubuh gadis itu.
Tak terduga gadis yang rewel dan ce¬rewet itu ternyata pemarah puia. Sikap yang ditunjukkan Ku Jing San dan SongLl Cu itu ternyata telah menyulut api ke¬marahannya juga. Persis pada saat Ku Jing San dan Song Li Cu berjalan di dekat mejanya, gadis ayu itu dengan se¬ngaja menumpahkan minumannya. Tentu saja air teh itu muncrat mengenai pa¬kaian Ku Jing San dan Song Li Cu.
Song Li Cu tak bisa mengekang ke¬marahannya lag, dengan cepat tangan¬nya meraup tumpahan air teh yang ada di atas meja untuk disiramkan kembali ke wajah gadis ayu itu. Namun sebelum tangannya mampu meraih ke atas meja, ujung sepatu gadis ayu itu ternyata te¬lah lebih dulu menghantam lututnya. Duukk! Seketika itu juga Song Li Cu kehilangan keseimbangan tubuhnya. Ba¬dannya terjungkal ke depan menghantam meja!
Ku Jing San yang sedikit terlambat menyadari keadaan sumoinya, cepat ber¬tindak Tangannya menyambar tubuh gadis yang terpental itu!
Braaaaaak! Tubuh Song Li Cu meng¬hajar meja sehingga tumpahan air teh tadi justru membasahi pakaiannya lagi. Untunglah sebelum tubuh Song Li Cu itu terjerembab ke lantai dan mencium kaki gadis ayu tersebut, lengan Ku Jing San yang kokoh itu telah berhasil menyam¬barnya, sehingga Song Li Cu terhindar dari penghinaan yang lebih besar lagi.
Ku Jing San benar-benar tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Apalagi keti¬ka tubuh Song Li Cu yang ada di dalam pelukannya itu ternyata telah tettotok lemas tak bisa bergerak. Kemarahannya benar-benar meledak.
Dengan cepat pemuda itu meletak¬kan tubuh Song Li Cu di atas kursi yang terdekat, lalu tanpa bicara apa-apa lagi kaki kanannya terayun deras ke depan, mengarah ke kaki meja, dengan maksud untuk melontarkannya ke tubuh lawan. De¬ngan kekuatan dan ketangkasan kakinya Ku Jing San yakin ia dapat membalas peng¬hinaan yang menimpa sumoinya. Gadis ayu itu tentu akan jatuh tunggang lang-gang tertimpa meja. Tapi sedetik kemu¬dian mata Ku Jing San terbelalak! Hampir tak dipercayainya gadis ayu yang ke¬lihatan amat lemah itu ternyata mampu bergerak lebih cepat! Jauh lebih cepat J dari gerakannya malah!
Seperti main sulap saja gadis ayu itu membawa kursinya meluncur ke depan meja, lalu kakinya yang terbungkus sepa-tu mungil itu diangkat ke atas, menyong song kaki Ku Jing San. Maka tak dapat dihindarkan lagi kedua kaki yang berla¬wanan arah itu bertemu satu sama lain. '
Sekejap Ku Jing San agak menyesal. Pemuda itu khawatir tenaganya akan terlalu besar sehingga kaki lawannya yang cantik itu dapat menjadi patah ka- f renanya. Mati-matian Ki Jing San men¬coba mengurangi tenaganya!
Tapi untuk yang kedua kalinya Ku Jing San telah terkecoh oleh lawannya. Kebaikan hatinya itu ternyata justru telah mencelakakan dirinya sendiri. Ke- -tika kedua kaki yang berlawanan arah itu saling berbenturan satu sama lain.
bukannya kaki mungil itu yang patah, tetapi justru sebaliknya kaki Ku Jing San yang kokoh kuat itulah yang berderak mau patah. Dhiieees!
"Uuugh!" Ku Jing San mengeluh pen¬dek. Tubuhnya yang besar itu terlempar ke belakang menabrak meja yang lain.
Namun demikian dengan tangkas pemu¬da itu bangkit kembali. Hanya saja keti¬ka akan melangkah, tiba-tiba saja kaki-n a terasa sakit bukan main. Terpaksa dengan hanya bertumpu pada kaki kirinya pemuda itu meloncat ke depan lawannya kembali. Tangan kirinya meluncur dengan kekuatan penuh ke arah muka gadis ayu itu. Dan kali ini pemuda itu benar-benar tidak mau sembrono lagi. Pukulannya itu benar-benar dilandasi dengan seluruh te¬naga dalamnya yang dahsyat.
Akan tetapi untuk yang ke sekian ka¬linya Ku Jing San telah salah perhitung¬an pula. Lawannya kali ini ternyata me¬miliki watak, sifat dan kesaktian yang tidak lumrah manusia. Gadis ayu yang kelihatan lemah gemulai itu ternyata sa¬ma sekali tidak mempunyai rasa belas kasihan dan kebajikan. Bagaikan iblis wa¬nita yang haus darah gadis ayu itu juga mengayunkan tangan kanannya, dan be¬lasan am-gi (senjata rahasia) berbentuk bintang segera menebar menyongsong ke¬datangan Ku Jing San. Begitu banyaknya senjata rahasia itu tersebar dari telapak tangannya, seolah-olah gadis ayu itu hen¬dak membunuh seekor gajah hanya de¬ngan sekali timpuk.
Wajah Ku Jing San menjadi pucat pa¬si. Pemuda itu merasa ajalnya telah sam pai. Tak mungkin ia dapat menghindari semua senjata rahasia yang tertuju ke arah bagian-bagian tubuhnya yang mema¬tikan itu.
Seluruh kejadian, sejak Song Li Cu mendapat musibah sampai dengan Ku Jing San terancam jiwanya, berlangsung dalam waktu yang singkat, sehingga orang-orang yang berada di dalam ruang makan itu hampir sama sekali belum menyadari apa yang telah terjadi. Baru sesaat kemudian semuanya sadar bahwa telah terjadi keributan yang bisa meng¬ancam jiwa mereka. Otomatis semuanya bubar dan lari menghindar.
Ternyata Liu Wan dan Kwe Tek Hun yang berjalan mendahului rombongan itu juga terlambat mengetahui kejadian yang menimpa Song Li Cu dan Ku Jing San tersebut. Mereka berdua baru sadar ke¬tika keadaan Ku Jing San sudah diam-bang maut!
Demikianlah, di dalam situasi yang amat mendesak dan berbahaya bagi ke¬selamatan Ku Jing San itu, tiada lain yang bisa dilakukan oleh Kwe Tek Hun dan Liu Wan selain berusaha menolong dengan |ifi\unya yang paling tinggi. Ham¬pir berbareng keduanya bergerak!
Liu Wan berbalik sambil merendahkan badannya. Dari bawah pinggangnya pemu¬da itu menggerakkan kedua tangannya ke depan, ke arah taburan am-gi yang meluncur dari tangan gadis ayu itu. Ter¬dengar suara mendesing tajam dari tela¬pak tangannya itu ketika hembusan angin yang kuat menyambar ke arah taburan amgi.
Siiiiiiing!!!
Dan pada saat yang bersamaan Kwe Tek Hun menjejakkan kakinya ke lantai. Tubuh pemuda itu melesat seperti kilat ke depan dengan gaya dan gerakan yang sangat aneh serta mentakjubkan. Badan pemuda itu selalu berputar setengah lingkaran setiap menjejakkan kakinya ke lantai. Dan hanya dalam dua kali gerak¬an saja pemuda itu telah mampu me¬nyambar tubuh Ku Jing San. Jauh lebih cepat daripada luncuran am-gi lawannya. Pada detik itu pula • tiba-tiba terdengar suara ledakan yang keras bagaikan petir.
Duuuuuuuaaar!
Belasan senjata rahasia yang melun¬cur dari tangan gadis itu tadi tampak berhamburan ke lantai terkena pukulan udara kosong yang melesat dari tangan Liu Wan! Akan tetapi secara tak terdu¬ga salah sebuah di antaranya mendadak meledak ketika jatuh menimpa lantai! Dan ledakan itu ternyata disertai sem¬buran api kecil berwarna kehijauan! Ce¬lakanya semburan api itu persis menge¬nai tumit Ku Jing San yang terseret ke¬tika diselamatkan Kwe Tek Hun!
"Auuuugh...!" sekali lagi Ku Jing San mengeluh kesakitan karena semburan api panas itu kebetulan mengenai bagian tu¬langnya yang nyeri tadi.
Ku Jing San lolos dari maut berkat pertolongan Kwe Tek Hun dan Liu Wan. Tetapi gadis ayu itu justru tertawa me¬nyakitkan.
"Hihihi... hebat sekali! Sungguh hebat sekali! Selama keluar dari rumah baru sekarang aku melihat ilmu silat yang bermutu! Dan kalian berdua ternyata memiliki ilmu silat yang berbeda. Yang satu mempunyai Thian lui-khong (Pukulan Petir Membelah Langit) dari keluarga Yap, sedangkan yang lain me¬miliki Ban seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai) dari Keluarga Kwe yang tersohor! Nah, coba kalian se¬butkan... apa hubungan kalian dengan ke¬luarga-keluarga tokoh persilatan yang kusebutkan tadi?"
Kalau pada saat itu ada halilintar yang menyambar di dalam ruangan terse¬but, mungkin Liu Wan maupun Kwe Tek Hun tidak akan sekaget seperti sekarang.
Rasanya benar-benar tak masuk akal, ha¬nya dengan melihat sebuah gerakan saja dari ilmu silat mereka, gadis ayu yang masih berusia sangat muda itu mampu menebak dengan tepat asal-usul ilmu si¬lat Liu Wan maupun Kwe Tek Hun!
"Nona...? Sebutkan dulu, kau siapa ...?" dengan suara serak Liu Wan berta¬nya.
"Benar, Nona... sebutkanlah namamu dan nama perguruanmu!" Kwe Tek Hun turut menandaskan pertanyaan Liu Wan.
Gadis ayu itu tertawa geli, namun kali ini nadanya terasa dingin dan kaku. Suaranya pun terdengar congkak dan ke¬tus ketika memberi jawaban.
"Kalian mau tahu namaku? Huh, bo¬leh saja! Setiap saat kalian boleh saja mencari aku untuk membuat perhitungan! Dengar, namaku... Mo Goat! Aku datang jauh dari utara Tembok Besar, dari Gu¬run Gobi! Cukup jelas?"
"Gurun Gobi...?" Liu Wan dan Kwe Tek Hun berdesah sambil berusaha meng¬ingat-ingat tokoh-tokoh persilatan yang bertempat tinggal di Gurun Gobi, yang mungkin mempunyai hubungan dengan ga¬dis di depan mereka itu.
Tetapi sampai beberapa saat mereka berdua tetap tak mampu menemukan to¬koh yang mereka kenal. Sebaliknya de¬ngan tatapan matanya yang semakin me¬ngancam, gadis ayu yang bernama Mo Goat itu mendesak mereka.
"Ayoh, sekarang lekaslah kalian kata¬kan! Apa hubungan kalian dengan tokoh-tokoh tua yang telah kusebutkan tadi?"
Liu Wan dan Kwe Tek Hun saling pandang satu sama lain. Sebenarnya me¬reka tak ingin membawa-bawa nama gu¬ru atau perguruan mereka. Akan tetapi gadis itu telah menyebutkan nama dan asal-usul perguruannya, sehingga tak enak rasanya kalau mereka tetap menyembu¬nyikan diri mereka. Salah-salah mereka dikira takut terhadap gadis itu.
Sementara itu Tio Ciu ln telah mem¬bawa Song Li Cu dan Ku Jing San ke tempat yang aman. Song Li. Cu - masih tetap lemas kena totokan tadi, sedang¬kan Ku Jing San juga masih merasa¬kan kesakitan pada kaki kanannya. Karena tidak bisa mengobati mereka, maka Tio Ciu In memutuskan untuk menantikan saja petunjuk dari Kwe Tek Hun dan Liu Wan.
Dan Tio Ciu In segera memasang te¬linga ketika gadis yang bernama Mo Goat itu bertanya tentang asal-usul Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Di dalam hati¬nya gadis ayu itu juga ingin tahu siapa sebenarnya Liu Wan yang baru saja dike¬nalnya itu.
"Baiklah. Dugaan Nona memang be¬nar. Aku memang mempunyai hubungan perguruan dengan keluarga Yap, karena salah seorang dari anggota keluarga itu adalah Guruku. Dan namaku sendiri ada-lah Liu Wan...." akhirnya Liu Wan me¬ngaku juga.
"Nah, dugaanku benar bukan? Thian-lui-khong-ciang hanya ada satu di dunia ini, dan ilmu sakti itu hanya dimiliki oleh keluarga Yap di kota raja. Melihat kesempurnaan ilmu yang kau keluarkan tadi, aku berani memastikan bahwa kau adalah murid Hong-lui-kun Yap Kiong Lee yang terkenal itu. Benar tidak?" de¬ngan suara tetap kaku Mo Goat berkata lantang.
Liu Wan yang biasanya tangkas ber¬bicara itu terdiam. Wajahnya kelihatan kaku menahan geram.
"Dan dugaanku tentang engkau juga benar, bukan?" Mo Goat mengalihkan ucapannya kepada Kwe Tek Hun. "Kau tentu anak murid Keluarga Kwe yang bertempat tinggal di Pulau Meng-to itu."
Kwe Tek Hun berdesah pendek. Hati¬nya juga merasa geram terhadap gadis itu, tapi seperti halnya Liu Wan dia juga merasa sulit untuk mengungkapkannya. Gadis itu memang pintar mempermain¬kan orang.
"Ya! Aku memang putera tunggal pendekar Kwe Tiong Li, pemilik Pulau Meng-to."
Sekejap mata yang bulat indah itu terbelalak. "Oh, jadi kau putera pendekar yang disebut orang Keh-sim Tai-hiap itu? Sungguh tak kusangka sama sekali. Pan¬taslah kalau Ban-seng-po Lian-hoan yang kau keluarkan tadi mampu mengungguli kecepatan senjata rahasiaku. Ban-seng-po Lian-hoan memang hebat sekali.
Mungkin sejajar dengan Bu-eng Hwe-teng milik Bit-bo-ong jaman dahulu."
Diam-diam Liu Wan dan Kwe Tek Hun merasa tergetar juga hatinya. Gadis remaja itu ternyata luas sekali pengeta¬huannya. Sungguh tak sebanding dengan usianya.
"Wah, jangan-jangan ilmu silat gadis ini juga hebat pula...." Liu Wan mulai menduga-duga di dalam hati.
Semantara itu melihat kedua adik se¬perguruannya masih menderita akibat perbuatan lawannya, Kwe Tek Hun men¬jadi penasaran.
"Nona...! Kami hanya tertawa secara tidak sengaja. Itu pun aku sudah berusaha mengalah dengan meminta maaf kepada¬mu. Tetapi mengapa kau tetap saja me¬nganiaya dan mempermainkan Adik-adik¬ku? Apakah engkau benar-benar tidak memiliki perasaan?"
Mata itu tiba-tiba berkilat marah. "Apa katamu? Kau anggap aku tak ber¬perasaan? Huh! justru kalianlah yang tak memiliki perasaan! Semua orang Han berhati culas dan kejam! Mengapa aku
harus berbelas kasihan kepada kalian?" I sekonyong-konyong Mo Goat menjerit.
Semua orang terperanjat. Ucapan I yang baru saja keluar dari mulut gadis I itu seperti melantur, namun juga seperti I mengandung arti yang dalam, seolah-olah I gadis itu sangat kecewa dan amat mem¬benci bangsa Han.
"Eh, ucapan Nona sungguh sangat mengherankan sekali. Mengapa Nona me¬nyeret-nyeret bangsa Han dalam pertengkaran kita ini? Mengapa pula Nona mengatakan orang Han itu culas dan kejam?
Apa hubungannya?" Liu - Wan bertanya penasaran.
Tak terduga kemarahan Mo Goat se¬makin berkobar. Gadis itu mengembang¬kan kipasnya di depan dada. Matanya yang indah itu menjadi beringas.
"Jangan banyak tanya! Pokoknya se¬tiap orang Han yang mengganggu aku takkan kuberi ampun! Harus dibunuh! Termasuk... temanmu yang telah berani menyerangku itu!" serunya nyaring seraya menuding ke arah Ku Jing San.
Kwe Tek Hun mendengus melalui hidungnya. "Kau takkan bisa membunuh nya. Dia adalah adik seperguruanku. Selama aku masih ada di sini, dia takkan bisa kauapa-apakan!" pemuda gagah itu menggeram.
"Hihihihi...! Kau katakan aku tak bisa membunuhnya? Oooo, kau benar-benar buta dan bodoh! Apa kau tak menyadari bahwa Sutemu itu sebentar lagi akan mati? Coba kaulihat kakinya yang sakit itu...!" mendadak gadis itu tertawa mengejek.
Kwe Tek Hun menoleh. Dipandangnya Ku Jing San lekat-lekat. Hatinya merasa was-was juga
"Jing San...! Bagaimana kakimu?" tanyanya khawatir.
Ku Jing San yang kesakitan itu cepat membuka sepatunya. Tiba-tiba matanya terbeliak. Kaki yang terbungkus sepatu itu ternyata sudah busuk dan berwarna hijau.
"Suheng...!" Ku Jing San berteriak naikkan pipa celananya, warna kehijauan itu ternyata telah merembes ke atas sampai di bawah lututnya kehijauan! Dan ketika pemuda itu melihat dengan gemetar ke arah Kwe Tek Hun.
Bagai berlomba Kwe Tek Hun dan Liu Wan melesat mendekati Ku Jing San.
Keduanya bergegas memeriksa kaki anak muda itu. Kwe Tek Hun mencoba menekan bekas luka bakar akibat ledakan senjata rahasia tadi. Tapi betapa kagetnya dia ketika daging itu mendadak terlepas dan jatuh tergumpal di atas lantai. Daging di atas tumit itu sekarang menganga, namun anehnya tak setetes pun darah keluar.
Kwe Tek Hun meloncat mundur dengan muka pucat. Liu Wan menatap pendekar muda itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai seorang tabib yang mengerti ilmu pengobatan ia tahu bahwa kaki itu tak bisa dipertahankan lagi.
"Saudara Kwe! Potong saja kaki itu sebelum racunnya naik ke atas! Cepat!" Liu Wan berseru tegang, "Apaaaa...? Kakiku dipotong?" Ku Jing San menjerit hampir pingsan,
"Saudara Liu? Apa maksudmu...?" Kwe Tek Hun menegaskan pula dengan suara menggeletar.
"Daging itu sudah mati dan busuk! Tak mungkin bisa dihidupkan lagi walau de¬ngan obat dewa sekalipun! Satu-satunya jalan hanya dibuang, sebelum menjalar ke bagian lain!" Liu Wan menerangkan.
"Ooouuh...!" Ku Jing San berdesah ke¬takutan. Wajahnya menjadi putih pucat seperti tak berdarah.
"Saudara Kwe, cepat...! Lakukan apa yang dikatakan Liu Twako! Dia seorang tabib yang tak mungkin berdusta!" dalam ketegangannya Tio Ciu ln ikut berteriak.
"Hihihih..! Mengapa kalian semua menjadi cemas? Biarkan saja dia mati! Racun api itu memang tidak ada obat pe munahnya! Sekali kena tak mungkin bisa hidup lagi!" Mo Goat tertawa puas.
Melihat pertunjukkan kekejaman yang sangat mengerikan itu para tamu yang masih tersisa di tempat tersebut segera bubar menyelamatkan diri. Ruang makan itu lantas menjadi sepi.
"Iblis keji! Kau memang bukan manu¬sia...!" akhirnya Kwe Tek Hun memekik, lalu mencabut pedang yang terselip di pinggangnya dan menabas kaki Ku Jing San, persis pada lututnya.
Darah segar mengucur deras dari ka¬ki yang terpotong itu. Dan pukulan batin tersebut benar-benar tak dapat dipikul oleh Ku Jing San. Pemuda itu terkapar di lantai tak sadarkan diri. I Liu Wan yang kemudian bergerak me-' nolongn a. Pemuda yang mahir ilmu pe¬ngobatan itu segera memungut bungkus¬an obatnya. Paha Ku Jing San cepat di¬ikatnya erat-erat, kemudian lukanya yang menganga lebar itu ditaburinya dengan obaUi samjui Jrata*» Sc&elah itu semuanya dibalut dengan kain bersih, sehingga se-"nentar kemudian kaki yang buntung terse¬but telah terbungkus dengan rapi.
Melihat sutenya telah dirawat Liu Wan, Kwe Tek Hun segera kembali meng hadapi Mo Goat. Wajah pemuda gagah itu tampak suram. Bagaimanapun sabar¬nya pemuda itu, namun usia Kwe Tek Hun tetap masih muda. Darahnya masih mudah bergejolak pula seperti halnya pe¬muda lain. Apalagi tindakan sewenang-wenang itu menimpa adik seperguruannya sendiri. Maka tidaklah mengherankan bila akhirnya pemuda itu tak bisa menahan dirinya lagi.
Terdengar suara berkerotokan ketika Kwe Tek Hun mengerahkan tenaga sakti¬nya. Matanya tampak mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan.
"Nona! Sebetulnya aku tidak suka berkelahi dengan wanita. Tetapi perlaku¬anmu yang amat kejam itu dan tak ber¬perikemanusiaan itu membuat aku ter¬paksa menghadapimu."
Lagi-lagi Mo Goat tertawa dingin. Nada suaranya semakin terasa mengeri¬kan, seperti suara nalrli cantik di"maraTnB sunyi.
"Kau mau melawanku? BaiHah! Tapi jangan menyesal bila nasibmu sama se¬perti kawanmu itu. Hihihi, majulah...!"
Kwe Tek Hun mencabut ke-bali pe¬dangnya. Pemuda itu tidak ingin berna¬sib malang seperti halnya K j J mg San -dan Song Li Cu, terjungkal paco gebrak¬an pertama. Apalagi gadis cantik itu se-karang membawa kipas bajanya yang aneh.
"Lihat pedang!" Kwe Tek Hun tiba-tiba berseru dan menyerang.
Mula-mula pedang Kwe Tek Hun menghunjam ke bawah, menuju ke perut Mo Goat. Tapi sebelum ujung pedang itu menyentuh sasaran, Kwe Tek Hun meng¬angkatnya ke atas seperti layaknya orang mencongkel sebuah benda dengan ujung pedang. Terdengar suara mengaung tak-kala ujung pedang yang tipis itu berge¬tar dengan hebat.
Mo Goat terkesiap Walaupun serang¬an yang sesungguhnya belum datang, na¬mun getaran ujung pedang yang menggi-riskan itu seperti memberi bisikan pada¬nya agar berhati-hati. Oleh karena itu sama sekali ia tak berusaha menangkis atau menyentuh ujung pedang pedang tersebut. Gadis itu memilih jalan yang lebih aman, .yaitu menghindar sambil ba¬las menyerang.
Dengan gesit Mo Goat menggeliatkan tubuhnya ke kanan, sehingga pinggang¬nya yang kecil pipih itu seolah-olah ter¬lipat mau patah. Dan gerakannya yang indah itu segera diikuti dengan meluncurnya ujung kaki kirinya ke atas, ke dagu Kwe Tek Hun.
Untuk sesaat Kwe Tek Hun menga¬gumi kecerdikan lawan yang tak mau membentur ujung pedangnya, sehingga je¬bakan yang telah dia persiapkan menjadi batal untuk dilakukan. Bahkan sekarang dagunya balik diserang dengan ujung se¬patu lawan.
Kwe Tek Hun menarik tubuhnya ke belakang sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Sambil mengelak pemuda itu bermaksud menabas kaki Mo Goat. Kali ini Kwe Tek Hun benar-benar mengerah¬kan kelincahan dan kecepatan geraknya agar mampu memotong kaki gadis itu, sehingga dendam Ku Jing San dapat ter¬balas.
Tapi keinginan itu memang sulit ter¬laksana. Jangankan memotong kaki la¬wan, menyentuh kainnya pun ternyata tflK bisa. Gerakan Kwe Tek Hun yang dilan¬dasi tenaga dalam sepenuhnya itu memang cepat bukan main, namun ternyata ge¬rakan Mo Goat jauh lebih cepat lagi. Hanya dengan jalan melemparkan badan nya ke belakang, gadis ayu itu sudah bi¬sa . meloloskan diri dari tabasan pedang Kwe Tek Hun.
Meskipun demikian beberapa gebrakan tadi sudah cukup bagi mereka untuk men jajaki ilmu masing-masing. Ternyata me¬reka sama-sama memiliki kegesitan dan ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Ban-seng-po Lian-hoan dari keluarga Kwe 4 yang sangat dikagumi orang itu ternya ta sekarang bisa dilayani dengan baik oleh Mo Goat. Ginkang gadis itu benar-benar hebat tiada terkira.
Dan pertarungan selanjutnya lebih te¬pat disebut pertandingan ilmu meringan¬kan tubuh daripada bertempur mengadu ilmu silat. Mereka berdua bagaikan sepa¬sang burung walet yang berlaga di uda¬ra. Tubuh mereka berkelebatan ke sana ke mari, di antara meja dan kursi. Ka¬dang-kadang terdengar suara nyaring apa bila kedua senjata mereka beradu satu sama lain.
TraaaaaangJ Trannnnnng! Tning!
Tak terasa peluh dingin membasahi punggung tangan Liu Wan. Pertarungan itu sungguh dahsyat dan menegangkan. Masing-masing ternyata memiliki modal ilmu silat yang sulit dicari tandingannya. Mo Goat yang cantik itu mempunyai il¬mu silat yang aneh dan mengerikan. Se¬pintas lalu gaya dan gerakannya seperti campur aduk antara beberapa ilmu silat yang dimainkan bersama-sama. Namun apabila diperhatikan benar-benar, maka akan tampak betapa dalamnya arti dari setiap gerakan yang kelihatan seperti campur aduk itu. Begitu dalam dan ru¬mit sehingga menyimpan kekuatan yang dahsyat tiada terkira. Apalagi semuanya itu didukung oleh lwe-kang dan ginkang gadis itu yang sukar diukur pula tinggi nya.
Akan tetapi Kwe Tek Hun sendiri ju¬ga memiliki ilmu yang hebat pula. Seba¬gai ahli waris Keh-sim Tai-hiap (Pende¬kar Patah Hati), yang tersohor memiliki beberapa macam ilmu kesaktian tinggi, seperti Pek-in Ginkang (Ilmu Meringan¬kan Tubuh Awan Putih), Kim-hong-kun-hoat (Pukulan Burung Merak), Pai-hud-smkang (Tenaga Sakti Menyembah Budha) dan Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Se¬laksa Bintang Berantai), maka tak meng¬herankan bila pemuda gagah itu juga tumbuh seperti ayahnya. Di dalam usia¬nya yang masih amat muda, kesaktian Kwe Tek Hun benar-benar sulit dicari tandingannya.
Namun di kota Hang-ciu ini ternyata Kwe Tek Hun mendapatkan lawan yang setimpal. Mo Goat, seorang gadis remaja, yang usianya jauh lebih muda daripada Kwe Tek Hun, ternyata mampu menan-dinginya. Malahan kalau dikaji benar-be¬nar, gadis cantik itu justru memiliki be¬berapa kelebihan yang bisa membahaya¬kan jiwa Kwe Tek Hun. Apalagi gadis itu tampaknya belum mengeluarkan selu¬ruh ilmu'simpanannya.
Sebagai seorang yang juga memiliki ilmu silat tinggi Liu Wan segera bisa membaca irama pertempuran mereka. Setelah pertempuran berlangsung lebih dari lima puluhan jurus, terlihat perma¬inan pedang Kwe Tek Hun mulai tampak kesulitan menghadapi kelincahan kipas Mo Goat. Meskipun permainan pedang Kwe Tek Hun tersebut bukan merupakan ilmu andalan Keluarga Kwe, tapi untuk memainkannya pemuda itu sudah meno¬pangnya dengan Pai-hud-sinkang dan Pek-in-ginkang, sehingga kekuatan dan kece¬patannya benar-benar telah menjadi ber¬lipat ganda. Akan tetapi kehebatan ilmu pedang itu masih tetap saja di bawah bayang-bayang ilmu kipas Mo Goat yang cepat dan kuat. Tampaknya lwekang dan ginkang gadis cantik itu memang lebih tinggi daripada Kwe Tek Hun.
Kenyataan itu benar-benar mengecut¬kan hati Liu Wan. Pemuda sakti yang mahir bermacam-macam ilmu itu mera¬sa bahwa kepandaiannya tak lebih baik daripada Kwe Tek Hun. Walaupun dia memiliki Thian-Iui-khong-ciang yang am¬puh, rasanya juga sulit mengalahkan Mo Goat. Gadis cantik itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat, sehingga Pek-in. Ginkang keluarga Kwe yang sa¬ngat disegani orang itu tak berdaya di¬buatnya.
Thian-lui-khong-ciang memang dahsyat. Tapi ilmu itu membutuhkan pengerahan Iwekang yang berat pula. Kalau lawan dengan ginkangnya yang tinggi bisa sela¬lu menghindari pukulannya, akhirnya ia sendiri yang akan kehabisan tenaga.
"Bukan main...!" Liu Wan berdesah kagum.
Sebaliknya pertempuran tingkat tinggi itu semakin membuka mata Tio Ciu lIn. Ternyata apa yang didapat dari gurunya selama ini belumlah apa-apa bila diban¬dingkan dengan mereka, jangankan harus mengikuti jurus-jurus yang mereka kelu¬arkan, melihat gerakan-gerakan mereka yang cepat bagai kilat itu saja sudah membuat pening kepalanya. Namun ke¬nyataan itu justru menggugah semangat¬nya. Ia harus bisa seperti mereka. Ia ha¬rus lebih tekun mempelajari ilmu silat Im-yang-kau, karena gurunya pernah ber¬cerita bahwa Aliran Im-yang-kau juga memiliki sebuah ilmu yang amat dahsyat, yang disebut Ilmu Silat Kulit Doma. Sia¬pa tahu dirinya bisa mempelajarinya kelak?
Traaaaaaang...!
Tiba-tiba Tio Ciu In dikejutkan oleh suara benturan senjata yang amat nya¬ring. Ketika gadis ayu itu memandang ke arena pertempuran, dilihatnya Kwe Tek Hun dan Mo Goat telah berhenti bertem¬pur. Mereka tampak berdiri berhadapan dalam jarak lima langkah. Sementara Liu Wan yang berdiri menonton tadi te¬lah berada di dekat Tek Hun.
Mo Goat berdiri tegak sambil mengi¬bas-ngibaskan kipasnya di depan dada. Bibirnya yang merah tipis itu tersenyum mengejek. Sedangkan Kwe Tek Hun tam¬pak berdiri lesu memandangi pedang yang terlepas jatuh dari tangannya.
"Kau memang hebat, Nona. Rasanya aku harus belajar sepuluh tahun lagi un¬tuk bisa menandingimu. Baiklah, kami mengalah kali ini. Tapi suatu saat aku akan mencarimu untuk membuat perhi¬tungan lagi." akhirnya pemuda itu meng¬geram perlahan.
Tak terduga gadis cantik itu menci¬birkan bibirnya. "Wah, enak benar...! Be¬gitu kalah langsung pergi sambil mengan¬cam akan membalas dendam. Mana ada. peraturan begitu?" ujarnya lantang.
Kwe Tek Hun tersentak kaget. "Mak¬sud Nona...?"
Crek! Gadis cantik itu menutup ki¬pasnya dengan tiba-tiba. Matanya yang mencorong dingin itu menatap ganas. "Tinggalkan dulu kepalamu! Baru kau bo¬leh pergi meninggalkan tempat ini!" ben-taknya keras.
"Kurang ajar...!" Kwe Tek Hun meng¬geram dengan wajah pucat pasi.
"Kau sungguh keterlaluan sekali, No¬na! Apakah kau benar-benar ingin mem¬bunuh kami semua?" Liu Wan berseru penasaran.
"Tentu saja." Kalian telah berani me¬ngusik ketenanganku. Dan tadi sudah ku¬katakan, orang-orang Han yar.g berani mengganggu aku akan kubunuh!"
"Baik! Kalau begitu silakan kaubukti-kan niatmu itu!" Liu Wan menjadi ma¬rah juga akhirnya.
"Saudara Liu! Biarkan aku yang mem¬buktikan ucapannya itu!" tiba-tiba Kwe Tek Hun berteriak, lalu menerjang lebih dulu ke arah Mo Goat.
Gadis cantik itu tertawa mengejek.
Majulah kalian semuanya, agar aku bisa menghemat waktu!" serunya seraya mengelak ke samping.
"Iblis...!" Liu Wan mengumpat keras.
Pemuda itu lalu merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Berbareng de¬ngan kedua kakinya yang ditarik mereng¬gang, kedua belah telapak tangan yang terbuka itu mendorong ke depan dengan kekuatan penuh. Wuuus! Terdengar suara desir angin meluncur dari kedua telapak tangan tersebut.
Mo Goat ingin mencoba kekuatan Thian-lui-khong-ciang Liu Wan. Sambil merendahkan badannya, gadis itu mengi¬baskan kipasnya ke depan.
Duaaaaar! Terdengar sebuah letupan yang amat keras!
Gadis cantik itu terdorong mundur satu langkah, sementara dua lembar da¬un kipasnya di bagian tengah tampak melengkung. Sebaliknya tubuh Liu Wan sendiri kelihatan bergoyang-goyang, mes¬kipun kedua kakinya tetap kokoh meng¬hunjam lantai. Pemuda itu merasakan betapa kuatnya sambaran kipas lawan¬nya tadi.
"Bagus, kalian berdua telah maju ber¬bareng! Kali ini aku pun tidak akan se¬gan-segan lagi mengeluarkan ilmuku! Nah, lihatlah...!" sekonyong-konyong Mo Goat berseru nyaring.
Liu Wan bersiap kembali dengan pu¬kulan Thian-lui-khong-ciangnya. Bahkan pemuda itu telah siap untuk mengurung lawannya dengan ilmu silat andalan per¬guruannya, Tai-khong Sin-kun (Pukulan Angin Puyuh)! Sedangkan Kwe Tek Hun tampak merapatkan ujung-ujung jari ta¬ngannya di depan wajahma. seolah-olah ingin membentuk dua buah paruh burung merak dengan jari-jarinya itu.
Tapi mata mereka tiba-tiba terbeliak. Tubuh lawannya yang rampirg indah itu .mendadak pecah menjadi dua bagian, dan masing-masing bagian lalu tumbuh men¬jadi tubuh Mo Goat yang utuh, sehingga di dalam arena tersebut ada dua Mo Goat yang siap bertarung dengan mereka.
"Gila! Tidak mungkin...'" Kwe Tek Hun berdesis ragu.
"Awas, Saudara Kwe, ia pan¬dai ilmu sihir!" Liu Wan yang juga menjadi bingung itu memperingatkan teman¬nya.
"Hihihihi...! Ayolah, keluarkan seluruh kepandaianmu!" sepasang Mo Goat kem¬bar itu menantang.
"Saudara Kwe, mari kita hadapi dia bersama-sama!"
"Mari!"
Karena tak tahu mana Mo Goat yang aseli dan mana Mo Goat yang palsu, ma¬ka Liu Wan dan Kwe Tek Hun menye¬rang saja semuanya. Liu Wan segera mengeluarkan Pukulan Angin Puyuhnya. Bergantian kedua telapak tangannya menghantam tubuh Mo Goat yang berdiri di depannya. Angin kencang terasa ber-siutan dari telapak tangannya, melanda tubuh gadis itu.
Dan dalam waktu yang bersamaan Kwe Tek Hun juga menerjang pula tubuh Mo Goat yang lain. Pemuda gagah itu menyerang dengan jurus Kim-hong-pao-goat (Burung Merak Memeluk Bulan), salah satu jurus Kim-hong-kun-hoat an¬dalan Keluarga Kwe. Gerakannya sangat indah, namun amat berbahaya dan me¬matikan. Memang sebenarnyalah bahwa ilmu silat Keluarga Kwe sangat hebat. Kalau tadi Kwe Tek Hun dikalahkan, hal itu bukan karena kepandaiannya yang rendah, tapi disebabkan karena pemuda tersebut telah terlanjur mempergunakan pedangnya. Padahal bukan itulah yang menjadi inti kepandaiannya. Namun kare¬na pedangnya terlanjur dikalahkan, seba¬gai seorang ksatria pemuda itu mengakui kekalahannya.
Kini tanpa pedang di tangannya Kwe Tek Hun justru menjadi lebih berbahaya malah. Dengan ilmu andalan keluarganya itu Kwe Tek Hun benar-benar seperti seekor harimau ganas yang tumbuh sa-yapnya.
Demikianlah dalam waktu yang bersa¬maan Mo Goat diserang dengan dua ma¬cam ilmu silat tinggi yang jarang tam¬pak di dunia persilatan. Meskipun demi¬kian gadis yang kini berubah menjadi dua orang itu sama sekali tak menunjukkan perasaan takut. Kedua tubuh kembarnya itu masing-masing cepat mengelak de¬ngan ginkangnya yang amat tinggi. Bah¬kan beberapa saat kemudian tubuh kem¬bar itu ganti menyerang dengan gesit¬nya. Masing-masing dari tubuh kembar itu berkelebatan mengurung Liu Wan dan Kwe Tek Hun. Memang mentakjubkan, masing-masing seperti memiliki nyawa sendiri-sendiri.
Maka terjadilah sebuah pertempuran seru, aneh, dan membingungkan! Seru, karena ilmu-ilmu yang mereka keluarkan adalah ilmu yang jarang ada duanya di dunia persilatan. Tapi aneh dan membi-ngungkan karena salah seorang di anta¬ranya cuma bentuk semu atau bentuk tipuan yang sebenarnya tidak ada. Hanya karena kehebatan ilmu sihir Mo Goat sa¬ja hal itu bisa terjadi.
Yang benar-benar repot adalah Liu Wan. Tanpa disadarinya pemuda itu ber¬kelahi melawan bentuk Mo Goat yang palsu. Maka ilmu silatnya yang dahsyat dan menggiriskan itu menjadi percuma saja. Dia seperti bertempur dengan sebu¬ah bayangan yang bisa dilihat, tapi tak dapat disentuhnya. Thian-lui-khong-ciang-nya yang meledak-ledak seperti halilin¬ tar itu tidak bisa menghancurkan tubuh lawannya. Paling-paling tubuh lawannya itu seperti bergoyang-goyang mau hilang bila terkena pukulannya.
Sementara itu Kwe Tek Hun yang kebetulan berhadapan dengan Mo Goat asli, benar-benar harus mengerahkan se¬gala kemampuannya. Lawannya yang masih amat muda itu ternyata menyimpan ilmu yang luar biasa tingginya. Ilmu silat ke¬luarganya yang selama ini tak pernah memperoleh lawan, sekarang benar-benar i ketemu batunya. Tenaga sakti Pai-hud-sinkang dan ilmu meringankan tubuh Pek- i in-ginkang, yang selama ini ditakuti orang sama sekali tak berdaya mengung-gul tenaga dalam dan kelincahan lawan¬nya. Dalam segala hal gadis cantik itu ternyata berada di atasnya. Hanya lang¬kah ajaib Ban-seng-po Lian-hoan saja yang akhi ya masih bisa menolong Kwe Tek i Hun dari kehancuran. Dalam keadaan terpojok, langkah ajaib itu ternyata ma¬sih mampu menyelamatkan nyawanya.
Akan tetapi dengan demikian akhir dari pertempuran itu sudah bisa diduga.
Cepat atau lambat Kwe Tek Hun maupun Liu Wan mesti mengakui keunggulan la¬wannya. Dan hal itu berarti saat kema tian mereka telah tiba Mo Goat yang kejam dan amat benci kepada orang Han itu tentu akan membunuh mereka.
Walaupun tidak dapat mengikuti- ira¬ma pertempuran tersebut, namun Tio Ciu In dapat juga merasakan kesulitan kawan-kawannya. Tapi karena kepandaian sendi¬ri masih terlampau rendah, maka tak mungkin bisa menolong mereka.
Matahari belum terlampau tinggi. Si¬narnya yang hangat masih menerobos lobang jendela, menebarkan kehangatan di udara pagi yang dingin itu. Tio Ciu In memang tidak merasa kedinginan karena pertempuran itu justru membuatnya ge¬rah dan cemas. Lain halnya dengan Tio Siau In, yang pada saat itu sedang .duduk merenung sendirian di rumah tabib di tepi laut itu. Walau di depan perapian, gadis itu masih kedinginan.
Matahari memang bersinar terang di tepi laut itu. Tapi karena angin laut . berhembus sangat kencang, maka panas- nya seolah-olah selalu terguncang pergi terbawa angin. Bahkan hembusan angin yang amat kuat itu justru melemparkan butiran-butiran air ke daratan. Dingin¬nya bukan alang kepalang.
Tio Siau In melipat kakinya yang di¬ngin di depan perapian. Gadis centil yang biasanya selalu bersikap lincah itu kini hanya merenung diam tak bergerak. Ma¬tanya yang berbulu lentik itu menatap kosong ke dalam api, seakan-akan lidah api yang menjilat-jilat ke atas itu amat mengasyikkannya.
Tio Siau In memang sedang melamun. Berbagai peristiwa menegangkan yang dialaminya sejak dia meninggalkan rumah berkelebat satu persatu di depan mata¬nya. Semenjak gurunya memerintahkan dia dan kakaknya ke kota Hang-ciu un¬tuk mencari pemuda bertatto "naga" di badannya, hingga peristiwa menegangkan yang terjadi di dalam rumah makan itu tadi malam.
Semula Tio Siau In memang tidak me¬nyukai tugas itu. Tugas >ang dianggap¬nya terlalu mengada-ada dan kurang ma¬suk akal. Tugas yang diberikan atas da¬sar ramalan-ramalan yang belum tentu benar. Tapi kejadian demi kejadian yang secara tak sengaja dilihatnya, membuat Tio Siau In berbalik pikiran. Sekarang gadis itu berubah menjadi ingin tahu, apa sebenarnya yang ada di balik cerita ten¬tang pemuda bertatto naga itu? Menga¬pa kelihatannya setiap orang mempunyai kepentingan dengan pemuda bertatto na¬ga tersebut?
Bahkan sekarang di dekat Tio Siau In sendiri ada seorang pemuda yang juga memiliki tatto naga di dadanya. Mung¬kinkah pemuda ini yang dimaksudkan oleh gurunya itu?
Tak terasa Tio Siau In melirik ke pintu kamar yang ada di belakangnya. Di dalam kamar itu A Liong beristira¬hat. Sejak meminum obat penyembah lu¬ka dalam, pemuda itu langsung tertidur dengan nyenyaknya.
Tio Siau rn menarik napas panjang. Matanya kembali terhunjam ke dalam perapian. Kejadian yang mendebarkan ha¬tinya semalam kembali di pelupuk mata¬ nya. Kejadian yang sangat membekas di dalam hatinya, yang membuka mata ba¬tinnya akan sifat-sifat manusia. Keculas¬an, keserakahan, kekejaman, flan tipu da¬ya demi kepentingan pribadi.
Tadi malam, ketika mereka memasuki perairan teluk kecil itu, Su Hiat Hong meminta kepada Tio Siau In untuk me¬minggirkan sampannya. Berbeda dengan pantai di sekitarnya, pantai di trluk kecil tersebut memiliki hamparan pasir yang landai, sehingga Tio Siau I n mudah mem bawanya ke daratan.
Rumah bekas tabib kerajaan itu didi¬rikan di atas tiang-tiang vang cukup tinggi dari tanah. Mungkin dimaksudkan untuk menghindari air pasang atau bina¬tang-binatang melata yang banyak bera¬da di tempat itu. Setiap pintu keluar di¬pasangi tangga ke bawah. Sementara di kanan kiri bangunan tersebut ditanami pohon-pohon besar untuk melindungi ru¬mah itu dari angin laut dan terik mata¬hari.
Rumah itu tidak begitu besar. Mung¬kin hanya terdiri dari tiga atau empat Kamar saja. Dan dinding bagian belakang rumah itu menempel pada tebing curam yang memagari ceruk sempit tersebut, sungguh sebuah rumah yang aneh dan an¬tik.
"Rupanya Tong Kiat Teng belum tidur Mungkiri dia masih bekerja di kamar obat nya, atau mungkiri dia sedang membaca di kamar tidurnya. Kita jangan sampai mengagetkannya." Su Hiat Hong ber¬kata pelan ketika melihat jendela rumah itu terbuka lebar. Sinar lampu dari da¬lam ruang panggung itu menyorot keluar.
“Lalu... apa yang harus kulakukan, Paman? Apakah aku harus naik dan me¬ngetuk pintunya?" Tio Siau In bertanya.
"Ya! Tapi lebih baik kita pergi ke sana bersama-sama. Coba, kautolong pe¬muda ini agar bisa berjalan ke rumah itu!" Su Hiat Hong yang masih lemah itu meminta kepada Tio Siau In.
Tio Siau In lalu memapah A Liong turun dan sampan, kemudian membantu¬nya berjalan melewati hamparan pasir di tepian pantai tersebut. Su Hiat Hong sambil mendekap dadanya yang sakit melangkah di belakang mereka.
"He, Paman... lihatlah! Di sana ada perahu!" tiba-tiba Tio Siau Iri yang seca¬ra tak sengaja memandang ke laut ber¬desah perlahan. Tangannya menuding ke sebuah perahu yang ditambat di antara bongkalan batu karang besar di luar pantai.
"Haaah...? Nanti dulu, Nona! Jangan-jangan itu perahu orang-orang Hun tadi! Awas...! Mari kita mencari tempat per¬sembunyian yang aman!"
"Bagaimana dengan sampan kita?"
"Biarkan saja. Takkan kelihatan dari rumah itu. Kalau pun diketem kan oleh orang-orang itu, paling-paling juga dikira kepunyaan Tong Kiat Teng. Ayoh, cepat!"
A Liong sama sekali tak berkata apa-apa ketika dibawa bersembunyi di semak-semak yang tumbuh di pinggiran tebing ceruk itu. Pemuda yang masih tampak kesakitan itu menurut saja ketika ditun¬tun Tio Siau In ke balik perdu.
Beberapa saat lamanya mereka me¬nunggu di tempat itu. Tapi tak seorang pun tampak keluar atau terdengar suara¬nya. Rumah itu kelihatan sepi-sepi saja, Su Hiat Hong menjadi curiga. Benarkah yang datang itu rombongan orang-orang Hun? Kalau benar mereka, apa maksud mereka datang ke rumah Tong Kiat Teng ini? Mengapa rumah itu tampak tenang-tenang saja? Apakah mereka sudah sa¬ling mengenal?
"Nona...?" Akhirnya Su Hiat Hong tak tahan lagi menunggu lebih lama. "Mari kita mendekat ke rumah itu! Kita berge¬ser perlahan-lahan melalui semak-semak ini, lalu kita mendekam di bawah kolong rumah. Beranikah kau?"
Tio Siau In tersenyum. "Seharusnya aku yang bertanya kepada Paman. De¬ngan keadaan Paman dan A Liong ini, apakah bisa merangkak sampai ke sana?"
"A Liong...? Bagaimana? Kau tinggal di sini atau ikut kami ke rumah itu...?" Su Hiat Hong bertanya kepada A Liong.
Pemuda itu menengadah kepalanya. Meskipun pucat namun pandangannya ke¬lihatan tegar dan bersemangat.
"Aku ikut!" jawab pemuda itu tegas.
"Baiklah! Tapi kita harus berhati-hati benar! Langkah kita tidak boleh menge¬luarkan suara sama sekali. Sekali kita ketahuan oleh orang-orang Hun itu, ma¬tilah kita! Bagaimana, Nona?"
Tio Siau In mengangguk. Bagaimana¬pun juga gadis cantik itu sudah membu¬latkan tekadnya untuk menyelidiki masa¬lah pemuda bertatto naga ini. Apalagi dia juga sudah bersedia untuk memberi pertolongan kepada Su Hiat Hong dan A Liong. Tidak enak rasanya membiarkan mereka menempuh bahaya sendirian.
Mereka lalu merangkak perlahan-lahan mendekati rumah panggung itu. Su Hiat Hong paling depan, A Ltong di tengah, dan Tio Siau In di belakang sendiri. Se¬makin dekat dengan rumah itu perasaan mereka menjadi semakin tegang. Apalagi lapat-lapat mereka mulai mendengar su¬ara percakapan orang di dalam rumah itu.
Dua puluh langkah dari bangunan ru¬mah itu Su Hiat Hong berhenti. Perwira I kerajaan itu teringat akan kebiasaan pimpinan orang Hun yang bersembunyi dalam gelap. Ditelitinya lebih dulu tempat di sekeliling rumah tersebut, ka-lau-kalau ada orang di sana. Setelah yakin tak ada bahaya yang mengancam mereka, Su Hiat Hong baru merangkak lagi.
Suara percakapan itu semakin jelas terdengar. Apalagi ketika mereka telah sampai di bawah kolong rumah tersebut. Mereka mencari tempat yang terlindung di antara bebatuan yang berserakan di bawah bangunan itu.
"Nah, sudah habis waktu yang kita berikan kepada Tabib Tua itu! Bawa dia ke sini!" tiba-tiba terdengar suara meng¬geledek di dalam rumah itu.
"Baik, . Goanswe! Prajurit, bawa orang tua itu ke mari!"
Hampir saja Su Hiat Hong berseru kaget. Untunglah telapak tangannya ce¬pat membungkam mulutnya sendiri. Ten¬tu saja Tio Siau In menjadi terheran-heran melihat ulahnya. Gadis itu mendekat¬kan mulutnya ke telinga Su Hiat Hong.
"Ada apa. Paman? Mengapa kau tam¬pak kaget sekali? Apakah Paman Telah melihat "Bohong...! Kau memang keras kepa¬la! Kau tak mau berterus terang kepada¬ku! Kau tentu telah menyembunyikan mereka di suatu tempat...! Hmmh!"
"Aku tidak membohong, Goanswe. Se¬lama lima belas tahun ini aku juga sia-sia mencari jejak anak-anak itu. Bagai¬kan orang gila aku mencari mereka ke mana-mana. Seluruh negeri ini hampir telah kujelajahi semuanya, tapi aku tetap tidak menemukan mereka. Aku sudah berputus asa. Aku merasa berdosa kepa¬da Pangeran Liu Yang Kun. Itulah sebab¬nya aku mengasingkan diri di tempat ini."
Su Hiat Hong mengangguk. Namun ia menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya.
Terdengar suara langkah kaki dari bagian depan ke bagian belakang di atas lantai papan, rumah itu. Terdengar suara ribut sebentar. Kemudian terdengar suara langkah lagi, namun kali ini terdiri dari dua orang, di mana yang seorang langkahnya terdengar lemah dan agak diseret.
"Inilah dia, Goanswe!"
"Bagus! Nah, Tong Kiat Teng... waktu berpikir yang kami berikan telah habis. Bagaimanakah pendapatmu? Apakah kau sudah mau berterus terang kepadaku?"
"Maaf, Goanswe... aku sudah menga¬takan yang sebenarnya. Aku tidak tahu di mana anak-anak itu sekarang."
"Bangsat! Kau menang keras kepala! Apakah kau sudah tak ingin hidup lagi?"
"Goanswe...? Apa lagi yang harus ku¬katakan kepadamu? Aku sudah mengata¬kan semuanya. Memang akulah yang me¬nyelamatkan anak-anak itu dari kobaran api yang mengamuk di istana Pangeran Liu Yang Kun. Dan aku pulalah yang membawa mereka keluar dari kota raja. Tapi luka-lukaku ketika aku menerobos Kobaran api itu selalu mengganggu per¬jalananku. Aku tak tahan lagi, sehingga di tengah jalan aku terpaksa menitipkan mereka pada seseorang. Celakanya, ka¬rena saat itu aku dalam keadaan sakit dan kalut pikiran, maka aku telah lupa kepada siapa aku telah menitipkan anak-anak itu."
"Huh, kau memang benar-benar keras kepala, Kiat Teng! Rupanya kau memang sudah tidak menyayangi jiwamu lagi. Baiklah, tanpa bantuanmu pun aku tentu dapat menemukan anak-anak itu. Masih banyak jalan untuk menemukan mereka, walaupun untuk itu akan jatuh korban jiwa. Aku tidak peduli. Jangankan cuma ribuan jiwa, kalau aku harus membantai setiap anak yang seusia mereka pun akan aku laksanakan juga!"
Ucapan Au-yang Goanswe itu benar-benar mengejutkan Tong Kiat Teng. Bah¬kan juga mengagetkan Su Hiat £|ong yang bersembunyi di kolong rumah itu. sungguh keji sekali hati Jenderal Au-yang yang telah diselimuti dendam itu. Tak terasa Su Hiat Hong menoleh ke bela¬kang, mencari Tio Siau In dan A Liong. Tapi yang tampak cuma Siau In saja. A Liong tidak berada di tempatnya. Ten¬tu saja keduanya semakin kaget.
Tio Siau In menjadi cemas sekali. Hampir saja mulutnya berteriak memang¬gil. Untung tidak jadi, karena tiba-tiba saja pemuda itu muncul dari celah-celah besar di sampingnya.
"Batu besar ini dapat bergeser. Ada lubang di bawahnya. Aku tadi menemu¬kannya secara tak sengaja. Nona, marilah kita bersembunyi di sini. Di dalam ada ruangan yang lebar." pemuda itu memberi keterangan dengan kalimat pendek-pendek seperti orang yang terengah-engah. Lupa bahwa mereka sedang bersembunyi.
"Hei, siapa di luar...? Beng Ciang-kun tangkap orang yang bersembunyi di luar itu!" sekonyong-konyong Goanswe yang ada di dalam rumah itu berseru keras .
Muka Su Hiat Hong menjadi pucat seperti kapur. Kehadiran mereka bertiga telah diketahui orang itu. Satu-satunya jalan hanya menyelamatkan anak-anak muda itu.
"Nona, cepatlah kau ikut A Liong masuk ke dalam lubang itu! Biarlah ku¬temui mereka sendirian. Cepat...Su Hiat Hong cepat berbisik di telinga Tio Siau In.
"Paman sendiri bagaimana?" Tio Siau In ragu-ragu.
"Jangan khawatir aku kenal mereka! I Cepat!"
Bersamaan dengan melompatnya Tio Siau In ke dalam lobang batu, yang ke¬mudian menutup perlahan-lahan, bebera pa orang perajurit kerajaan tampak ber¬loncatan keluar dari dalam rumah panggung tersebut. Seorang perwira setengah baya cepat mendekati persembunyian Su Hiat Hong. Empat orang perajurit me¬ngikuti di belakangnya.
"Selamat bertemu, Beng Ciang-kun ...!" Su Hiat.Hong menyapa perwira itu dengan ramah.
"Kau...? Ah, Su Ciang-kun rupanya! Bagaimana kau bisa sampai berada di tempat ini? Di mana Lim Ciang-kun?" orang yang disebut Beng Ciang-kun ter¬sebut berseru kaget. Suaranya bernada curiga dan berkesan menyelidik. Sama sekali tidak terasa ramah.atau gembira.
"Beng Ciangkun, siapa dia? Mengapa tidak segera kaubawa ke dalam?'
"Su Ciangkun, mari kita masuk...! Au-yang Goanswe memanggilmu!" Beng Ciangkun berkata pelan.
Su Hiat Hong tak berani menolak. Beng Ciangkun yang bernama Beng Cun itu memiliki kepandaian yang tinggi, ka¬rena dia adalah tangan kanan Au-yang Goanswe. Perlahan-lahan, dengan mena¬han rasa sakit Su Hiat Hong menaiki tangga rumah.
"Apakah kau sakit, Su Ciangkun?" Beng Cun bertanya keheranan.
"Ya...! Nanti kuceritakan semuanya..."
Begitu memasuki ruangan Su Hiat Hong terperanjat. Tong Kiat Teng, saha¬batnya itu, benar-benar mengenaskan se¬kali keadaannya. Tubuh yang kurus itu tidak mengenakan baju sama sekali. Wa¬jahnya, kulit punggungnya, lengannya, se¬muanya terdapat bekas luka siksaan.
"Tong Kiat Teng, kau kenapa? Siapa¬kah yang telah menyiksamu?"
"Ah, Su Hiat Hong... kau?" Tong Kiat Teng menyapa lemah.
Su Hiat Hong cepat melangkah ma¬ju, namun dengan cepat Au-yang Goan¬swe yang bertubuh tinggi besar dan ber¬usia lima puluhan tahun itu menghadang¬nya. Sama sekali tidak ada kesan ramah atau bersahabat dari jenderal yang men¬jadi atasannya itu. Bahkan jenderal itu seperti memusuhinya, suatu hal yang benar-benar tidak dipahami oleh Su Hiat Hong.
Bahkan Su Hiat Hong menjadi kaget ketika pimpinannya itu membentak ma¬rah!
"Su Hiat Hong! Di mana Lim Kok Liang dan yang lain-lainnya? Mengapa eng¬kau tiba-tiba berada di tempat yang terasing ini? Apakah kau memata-matai aku?"
Su Hiat Hong menjadi kaget meski¬pun dia telah mencium sesuatu yang ti dak beres pada pimpinannya itu, tapi ia juga belum bisa mengetahuinya dengan pasti. Dan terus terang dia juga ti¬dak berani menduga-duga, berpra¬sangka yang bukan-bukan terhadap atas¬annya itu. Dia memang menjadi kaget ketika mendengar niat jenderal itu untuk membasmi semua anak keturunan Pange¬ran Liu Yang Kun, tetapi tidak memahami apa sebenarnja terselip di balik maksud dan tujuan Auyang Goanswe itu, ia tidak berani menanyakannya.
"Goanswe...! Tugas yang Goanswe be¬rikan kepada kami itu ternyata penuh aral dan rintangan. Tak seorang pun di antara kami yang mampu melaksanakan tugas itu dengan baik. Bahkan mereka telah menjadi korban. Semuanya telah tewas di tangan para pengacau yang tidak menyetujui diadakannya Perlombaan Mengangkat Arca itu. Tinggal aku se¬orang yang masih hidup. Lim Kok Liang, Ong Ci Kin. Kwa Sing, Gui ciangkun, semuanya telah gugur di tangan gerom¬bolan suku bangsa Hun..." Su Hiat Hong melapor seolahL-lah tidak memiliki pra¬sangka apa-apa terhadap pimpinannya.
Namun Au-yang Goanswe seperti tidak mengacuhkan laporan Su Hiat Hong. Bah¬kan jenderal itu juga seperti tidak mempedulikan kematian-kematian anak buah¬nya.
"Persetan dengan kematian teman-temanmu! Aku tidak peduli! Sekarang ka¬takan terus terang kepadaku! Mengapa kau sampai di tempat ini? Bukankah kau kutugaskan di kota Hang-ciu? Lekas jawab!" jenderal itu menggeram keras.
"Goanswe, aku sungguh tidak menger¬ti apa yang Goanswe maksudkan...."
"Bohong! Kau tidak perlu bersandiwa¬ra lagi di depanku. Kau tentu sudah ta¬hu, atau setidak-tidaknya telah bercuri ga kepadaku, sehingga kau tidak pergi melaksanakan perintahku, tapi selalu menguntit dan memata-matai semua ke¬giatanku. Benar tidak....?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT