Iblis itu. Karena merasa penasaran atas
pertempuran mereka.
Ulan Kili. Meskipun kepandaian mereka tidak
mengikuti guru mereka sejak di Perguruan Ui-soa-pai.
Terutama Hek-kui, Ui-kui, dan Pek-kui. Sebelum
telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka. Jago-
mengelilingi bunga. Sebentar-sebentar mereka
mereka. Lo-jin-ong yang sudah tua renta, bahkan bisa
cepat dan mendebarkan. Beberapa kali lengan dan
Tenaga dan pernapasannya tentu terbatas. Lama-lama
Pek-eng mengejek pula. http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
Membajak Sawah Menabur Benih. Serangan mereka
menyongsong pukulan tersebut. Hek-kui dan Pek-kui
tentu telah menunggu pula di atas tanah. Jalan satu-
satunya hanya menghindar lagi. Tapi hal itu benar-
hanya setingkat atau dua tingkat di bawahku. Dua
kesulitan pula kali ini. Aku harus segera menolongnya
benar. Giam Pit Seng tak dapat berbuat banyak
melawan Ang-kui. Iblis Merah itu memang berada
jauh di atas kemampuan Giam Pit Seng. Walaupun
juga di bawah angin. Bahkan satu demi satu pit-nya
Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html 226
Siau In tak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu, apabila ia
beban dan mempersulit keadaan gurunya. Dia hanya
perasaan tegang dan khawatir. Apalagi ketika ia
Ciangkun. Bahkan Iblis kejam itu juga membunuh
pemenang sayembara yang pingsan tadi. Sekarang
"Hong-jin... tinggalkan tempat ini!" tiba-tiba
terjatuh di samping Giam Pit Seng. "Pit Seng! Ayoh,
gegas menghampiri pula. Mereka melihat keadaan
"Aku tidak apa-apa. Aku terpental karena kalah
tenaga. Orang tua itu benar-benar kuat sekali!"
keadaan terjepit dia bisa mengecoh kami berempat http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
berteriak. "Siapkan saja perahu kita! Kita segera
dan mereka segera terbeliak kaget. Dua orang yang 228
sungguh. Padahal Enam Hantu itu melihat bagaimana
seru dan hebatnya pertempuran mereka. Kongcu
mengerikan. Selain sikap dan bentuk gerakannya
tidak terkendali. Sepintas lalu seperti ada kekuatan
Put-pai-siu Hong-jin. Kadang-kadang kuat luar biasa,
menghadapinya. Tapi juga sering tampak lemah atau
takjub, apalagi Tio Siau In! Pertempuran itu http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
230
mengandalkan perasaan, pendengaran, dan
penciumannya saja untuk bertempur. Maka akibatnya
bisa diduga, segala macam bentuk yang aneh-aneh
dari lawannya, sama sekali tak mempengaruhi pikiran
Put-pai-siu Hong-jin! Apalagi Si Gila dari Aliran
Beng-kau itu kini mengeluarkan ilmu baru, hasil
ciptaannya sendiri, yang ia beri nama Tiga Langkah
Bulu Angsa! Ilmu silat inilah yang dilihat oleh Enam
Hantu itu. Sebuah ilmu silat yang seolah-olah tidak
dilakukan atau digerakkan sendiri oleh pelakunya.
"Monyet Tua! Ayoh, kita berkelahi! Jangan hanya
menghindar ke sana ke mari!" pemimpin rombongan
suku Hun itu menjerit marah. Tangannya menghantam
ke depan, ke arah pinggang Put-pai-siu Hong-jin yang
sedang melayang turun ke tanah.
Tapi sebelum pukulan itu menyentuh sasaran, tubuh
Put-pai-siu Hong-jin telah lebih dulu melayang pergi,
bagaikan selembar bulu angsa yang tertiup angin!
"Hohoho-haha... ada hitam ada putih Ada
perempuan... ada lelaki! Ada lobang..... ada semut!
Hohahohaaaa! Anak muda, kau tahu arti
perkataanku?" mulut Put-pai-siu Hong-jin mengoceh.
"Artinya... segala sesuatu yang tercipta di dunia ini
tentu ada imbangannya. Contohnya...? Ilmu silatmu
tadi sangat aneh dan menakutkan. Aku percaya, kau
tentu bisa menciptakan. bentuk yang aneh-aneh
dengan ilmumu itu. Hehehe... tapi kalau lawanmu itu
buta atau... memejamkan matanya, oh-ho-ho... apakah 231
dia masih juga bisa melihat? Huuuaaah-hahahaha!
Konyol! Konyol! Sungguh sebuah ilmu yang konyol!"
"Kurang
ajar!
Kubunuh
kau, Monyet
tua!"
pemimpin
rombongan
dari suku
Hun itu
berteriak.
"Hei!
Hei! Nanti
dulu...!"
Mendadak
Put-pai-siu
Hong-jin
mengangkat
tangannya.
"Tampaknya kau benar-benar ingin mengadu nyawa!
Ho-ho-ho, kalau begitu... sebutkan dulu namamu!
Jadi, hehehe... aku bisa menyebutkan namamu kalau
su-teku nanti bertanya kepadaku."
"Maksudmu...?"
"Sebutkan dulu namamu! Apakah kau takut
namamu diketahui orang?"
"Bangsat! Putera Raja Mo Tan tidak mengenal
takut! Namaku Mo Hou! Sudah kaudengar, hei?" 232
"Kongcu...????" Enam Hantu itu berdesah kaget.
"Hohoho... jadi kau ini putera Raja suku bangsa
Hun itu? Hahaha, ketahuilah...! Ayahmu itu sudah
beberapa kali bertemu denganku, dan dia... takut
sekali kepadaku! Hohohahaaaaaa! Pada pertemuan
yang terakhir... ho-hoha-ha... Ayah mu telah
kukencingi punggungnya! Hoha-haaaha !!!". Put-pai-
siu Hong-jin menutup ucapannya dengan tertawa
terbahak-bahak.
Saking marahnya Mo Hou justru tak bisa mengucap
apa-apa. Kabut kebiruan kembali menyelimuti
tubuhnya. Hanya ini lebih pekat, sehingga tubuh itu
cuma kelihatan samar-samar dalam kegelapan malam.
Wuuuuuus! Mo Hou menerjang Put-pai-siu Hong-
jin, Gerakannya cepat bukan main! Dari dalam lobang
persembunyiannya Tio Siau In hanya melihat
segumpal asap pekat, berwarna kebiruan, melesat ke
arah Put-pai-siu Hong-jin! Dan dari gumpalan asap itu
berkelebat pula cahaya berwarna kekuningan!
Tampaknya kali ini Put-pai-siu Hong-jin ingin
menjajal kekuatan lawannya. Dia juga mengerahkan
segala kekuatannya dan menyongsong gempuran Mo
Hou.
Plak! Plaaak! Siiiiiing...! Dhieeeeeees!
Dua bayangan tampak berlaga di udara, lalu
masing-masing terpental ke belakang! Bluuk! Mou
Hou jatuh terlentang di atas pasir! Tangannya yang
memegang kipas berwarna kuning keemasan itu
menggeletar menahan sakit! Dah dari mulutnya 233
mengalir darah segar! Sebaliknya, Put-pai-siu Hong-
jin yang membelakangi laut, terlempar ke udara, dan
jatuh ke dalam gelombang air yang kebetulan
menerjang pantai! Sebentar saja tubuhnya hilang
dibawa ombak!
"Kongcu...!" Enam Hantu itu bergegas
menghampiri Mo Hou.
"Cepat bawa aku pergi dari tempat ini! Aku terluka
dalam!"
Keenam Hantu itu tak banyak bicara pula. Cepat-
cepat mereka menggotong tubuh Mo Hou ke dalam
perahu dan bergegas meninggalkan pantai itu.
Sementara itu Tio Siau In masih tetap berada di
lobang persembunyiannya. Meskipun perahu orang
Hun itu sudah pergi, ia tetap belum keluar. Ia masih
merasa khawatir kalau-kalau orang Hun itu kembali
lagi. Baru setelah beberapa waktu kemudian suasana
tetap lengang dan sepi, Siau In merangkak keluar dari
lubang batu karang itu.
Kemudian gadis itu menarik keluar pemuda yang
ditolongnya tadi dan membawanya ke tempat kering.
Sekilas tampak tatto gambar di dada pemuda itu.
"Oh, ya... akan kulihat! Apakah para pemenang
sayembara yang lain itu juga memiliki tatto naga?"
Siau In berkata di dalam hatinya.
Siau In lalu menghampiri mayat-mayat yang
bergelimpangan di pasir. Setiap menjumpai mayat
para pemenang sayembara, gadis itu memeriksanya
dengan teliti. 234
"Hah... benar! Pemuda ini juga memiliki gambar
naga di punggungnya!" gadis itu berdesah lirih ketika
membalikkan sebuah mayat yang mati terlentang.
"Ini juga...! Ah, itu juga!" desisnya kemudian
berkali-kali ketika meneliti mayat-mayat yang
lainnya.
Ternyata persis dengan yang telah diduga Tio Siau
In, semua pemuda yang memenangkan perlombaan
Mengangkat Arca itu mempunyai gambar tatto naga
di tubuh mereka. Hanya bentuk gambar dan
tempatnya saja yang berbeda-beda. Ada yang di
lengan, dada, perut, pinggang atau punggung.
Sementara bentuk gambarnya ada yang lengkap, ada
yang tidak. Ada yang hanya kepala naga saja, tapi ada
juga yang dilukis penuh dari kepala sampai ekor.
Bahkan ada yang tidak cuma satu ekor saja, tapi dua
ekor naga sekaligus.
"Tidak mungkin kalau hal ini hanya satu kebetulan
saja. Tampaknya pihak istana secara rahasia memang
bermaksud mengumpulkan para pemuda bertatto naga
di seluruh negeri dengan dalih Perlombaan
Mengangkat arca. Sebaliknya Raja suku bangsa Hun
tampaknya juga ikut ambil bagian pula di dalam
urusan ini. Namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu
membasmi pemuda-pemuda bertatto naga itu.
Sementara itu di pihak yang lain lagi, Aliran Im-yang-
kau juga memerintahkan seluruh cabang-cabangnya
untuk mencari pemuda bertatto naga itu pula. Aaah,
kalau memang demikian halnya, pemuda itu tentu 234
"Hah... benar! Pemuda ini juga memiliki gambar
naga di punggungnya!" gadis itu berdesah lirih ketika
membalikkan sebuah mayat yang mati terlentang.
"Ini juga...! Ah, itu juga!" desisnya kemudian
berkali-kali ketika meneliti mayat-mayat yang
lainnya.
Ternyata persis dengan yang telah diduga Tio Siau
In, semua pemuda yang memenangkan perlombaan
Mengangkat Arca itu mempunyai gambar tatto naga
di tubuh mereka. Hanya bentuk gambar dan
tempatnya saja yang berbeda-beda. Ada yang di
lengan, dada, perut, pinggang atau punggung.
Sementara bentuk gambarnya ada yang lengkap, ada
yang tidak. Ada yang hanya kepala naga saja, tapi ada
juga yang dilukis penuh dari kepala sampai ekor.
Bahkan ada yang tidak cuma satu ekor saja, tapi dua
ekor naga sekaligus.
"Tidak mungkin kalau hal ini hanya satu kebetulan
saja. Tampaknya pihak istana secara rahasia memang
bermaksud mengumpulkan para pemuda bertatto naga
di seluruh negeri dengan dalih Perlombaan
Mengangkat arca. Sebaliknya Raja suku bangsa Hun
tampaknya juga ikut ambil bagian pula di dalam
urusan ini. Namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu
membasmi pemuda-pemuda bertatto naga itu.
Sementara itu di pihak yang lain lagi, Aliran Im-yang-
kau juga memerintahkan seluruh cabang-cabangnya
untuk mencari pemuda bertatto naga itu pula. Aaah,
kalau memang demikian halnya, pemuda itu tentu 235
merupakan seorang yang hebat sekali. Siapakah dia
sebenarnya...?" sambil mengawasi mayat-mayat yang
berserakan itu Siau In mencoba menduga-duga dan
merangkai semua yang telah diketahuinya.
"Ooouugh...."
Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh suara erang
kesakitan. Sesosok mayat yang ada di dekatnya
sekonyong-konyong menggerakkan kaki dan
tangannya. Malahan beberapa saat kemudian mayat
itu bangkit dengan perlahan-lahan.
Dengan agak takut-takut Tio Siau In mendekati.
Dengan seksama ditatapnya mayat yang kini telah
duduk bersimpuh itu lekat-lekat. Dan akhirnya Siau In
mengenali orang .itu sebagai pembantu dari Lim Kok
Liang, pemimpin pengawal rombongan pemenang
perlombaan tersebut.
Lelaki itu tidak lain adalah Su Hiat Hong, tahu
bahwa dia terluka dalam. Maka pertama-tama yang
dia lakukan adalah duduk bersila dan mengerahkan
tenaga sakti untuk mengobati luka-lukanya itu. Dan
usaha itu dilakukannya berulang-ulang.
Setelah rasa sakit itu hilang dan aliran darahnya
menjadi normal kembali, Su Hiat Hong membuka
matanya. Dan ia benar-benar kaget sekali melihat Siau
In di depannya.
"Nona... Nona siapa?" ujarnya dengan suara cemas.
Siau In mencoba tersenyum. "Tuan tidak usah
khawatir. Saya kebetulan lewat di tempat ini dan
melihat keributan yang baru saja berlalu. Tapi maaf, 236
saya sama sekali tak berani keluar untuk membantu.
Saya sadar bahwa saya tak mungkin bisa melawan
mereka. Ah, apakah Tuan sudah merasa baik
kembali?"
"Oooh...! Su Hiat Hong bernapas lega. "Terima
kasih. Kulitku memang tidak terluka, tapi bagian
dalam dari tubuhku rasanya hancur semua. Aku harus
lekas-lekas mencari tabib yang pandai untuk
menyembuhkannya. Nona, maukah kau menolong
aku?"
"Salah seorang dari rombongan Tuan juga masih
hidup walaupun terluka parah pula. Tapi... mana ada
tabib pandai di sekitar tempat ini?"
"Ohh, benarkah ada temanku yang lain yang masih
selamat?" Su Hiat Hong berdesah gembira.
"Ya! Pemuda itu saya tinggalkan di dekat batu
karang itu."
"Ooo...!" Su Hiat Hong berdesah kembali, tapi
sekarang dengan suara sedikit kecewa. Sebenarnya ia
berharap yang selamat itu adalah Lim Kok Liang,
sahabatnya, tapi ternyata bukan.
Namun demikian petugas dari istana kerajaan itu
cepat berkata lagi. "Bagaimana, Nona? Apakah kau
mau menolong kami? Dua lie dari tempat ini tinggal
seorang tabib yang sedang mengasingkan diri."
Siau In tidak segera menjawab. Sebenarnya ia ingin
cepat-cepat kembali ke kota untuk menemui kakak
dan suhengnya. Tapi orang-orang ini amat butuh
bantuannya pula. 237
"Baiklah...!" akhirnya ia menyanggupi. "Tapi
bagaimana cara kita pergi ke tabib itu? Bukankah
Tuan belum dapat berjalan? Lalu... bagaimana pula
dengan mayat-mayat ini?"
Wajah yang pucat itu tampak lega. "Nona tidak
usah khawatir. Aku mempunyai sampan kecil, yang
kusembunyikan di celah-celah batu karang besar itu!"
katanya sambil menunjuk ke arah yang ia maksudkan.
"Dan... tentang mayat-mayat ini, Nona juga tidak
perlu khawatir. Pagi nanti sepasukan prajurit kerajaan
akan meronda ke mari."
"Ooh...!" Siau In mengangguk lega pula. Tapi tiba-
tiba keningnya berkerut. "Tapi kalau kita bersampan...
bisa bertemu dengan orang-orang Hun itu!"
"Jangan khawatir, Nona. Lapat-lapat kudengar
mereka tadi menuju ke utara, sedang tujuan kita
adalah ke selatan." dengan cepat Su Hiat Hong
memberi keterangan.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengambil
sampannya...."
"Terima kasih, Nona. Terima kasih..." akan tetapi
sebelum berangkat mengambil sampan Tio Siau In
menengok pemuda yang ditolongnya tadi lebih
dahulu. Dilihatnya pemuda itu telah sadar pula,
meskipun keadaannya tampak lebih parah dari pada
Su Hiat Hong. Namun kelihatannya pemuda itu
memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Pemuda itu
tidak terkejut melihat dirinya. Pemuda itu justru238
tersenyum, walaupun senyumnya lebih menyerupai
seringai kesakitan daripada senyum kegembiraan.
"Siapa namamu...?" Tio Siau-In perlahan.
"A Liong...." pemuda itu menjawab singkat.
"Kau mau kubawa ke tabib?"
Lagi-lagi pemuda itu tersenyum, kemudian
menganggukkan kepalanya. Wajahnya yang pucat
pasi itu tampak pasrah.
"Kalau begitu tunggulah di sini sebentar. Aku akan
mengambil sampan untuk membawamu pergi. Nah...
kuatkanlah hatimu!" Tio Siau In menepuk lengan A
Liong, kemudian berlalu.
Dengan mengikuti arah yang telah ditunjukkan oleh
Su Hiat Hong,, Siau In mencoba mencari sampan
tersebut. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkannya.
Sampan itu hanya tersuruk di antara celah-celah batu
karang yang banyak bertonjolan di tepi pantai.
Lengkap dengan dua batang kayu pendayungnya.
Su Hiat Hong semakin kelihatan bersemangat
melihat kedatangan Tio Siau ln bersama sampannya.
Dengan agak tertatih-tatih ia melangkah ke dalam
sampan, sementara Tio Siau ln membantu A Liong
yang tidak bisa berjalan sendiri. Pemuda tanggung itu
terpaksa berpegangan pada lengan Siau In. Dan gadis
cantik itu sama sekali tidak merasa risih.
Malam semakin larut, bahkan embun pagi sudah
mulai turun pula ke bumi. Semakin lama embun itu
semakin tebal sehingga dari jauh seperti awan tipis
yang turun perlahan-lahan menyelimuti bumi. Dengan 239
susah payah Tio Siau In mendayung sampan itu
menyusuri pantai. Dan dua lie kemudian ia sampai ke
sebuah ceruk atau teluk kecil yang dikelilingi tebing
pantai yang menjulang tinggi ke atas, sehingga ceruk
yang mempunyai dataran sempit itu seolah-olah
merupakan dasar jurang yang terbuka ke arah laut.
Tio Siau ln melihat sinar lampu minyak berkedip-
kedip di tengah-tengah dataran sempit tersebut. Dan
ketika sampan itu datang semakin dekat, Tio Siau In
melihat sebuah rumah kecil di antara rimbunnya
pepohonan. Ternyata cahaya lampu yang dilihatnya
itu keluar dari salah sebuah jendelanya yang terbuka.
"Kita telah sampai ke rumahnya, Nona. Marilah
kita ke pinggir." Su Hiat Hong berkata lega.
Tio Siau In mendayung sampan itu ke pinggir.
Diam-diam perasaannya merinding juga. Rumah di
tempat yang sangat terasing itu kelihatan
menyeramkan di malam hari.
"Siapakah tabib itu sebenarnya...? Mengapa ia
memilih tempat yang sepi seperti ini?" tanyanya lirih
kepada Su Hiat Hong.
Petugas kerajaan itu menghela napas panjang. Raut
mukanya yang pucat itu tampak suram, sementara
matanya berkaca-kaca mengawasi rumah kecil di
tempat terasing itu.
"Dia sebenarnya seorang bekas prajurit kerajaan
pula. Bahkan antara dia dan aku bersahabat erat
sekali, meskipun tugas kami berbeda. Pertama kali
kami bertemu, dia bertugas di bagian kesehatan dan 240
perawatan prajurit yang terluka, sedangkan aku
bertugas di bawah bendera pasukan berkuda. Karena
luka-lukaku yang parah aku pernah dirawat oleh dia.
Tapi aku juga pernah menyelamatkan dia ketika
markas kami diserang musuh."
Mata Su Hiat Hong menerawang jauh, teringat akan
pengalamannya di masa lalu. Tapi mata itu segera
berkaca-kaca ketika bayangan seorang sahabatnya
yang lain, yaitu Lim Kok Liang, ikut berkelebat di
depan matanya.
"Alangkah malangnya dia. Seorang perwira yang
telah banyak berjasa kepada negara, tapi pada saat
kematiannya tak seorang pun yang merawat
jenazahnya." keluhnya dalam hati, menyesali
kematian Lim Kok Liang.
"Lalu... kenapa dia sekarang tinggal di tempat
seperti ini, Paman?" Siau In yang merasa kasihan
kepada Su Hiat Hong itu kini menyebutnya Paman.
Su Hiat Hong seperti disentakkan dari lamunannya
yang hanya sesaat itu.
"Aaaah... ya, dia... dia akhirnya dipindahkan ke
istana. Sementara aku juga dipindahkan ke Pasukan
Rahasia. Karena kepandaiannya mengobati orang,
sahabatku itu lalu diambil oleh mendiang Pangeran
Liu Yang Kun ke istana pribadinya. Dia diangkat
sebagai perwira dan ditunjuk sebagai tabib pribadi
dalam keluarga Pangeran Mahkota itu. Tapi...."
"Tapi... bagaimana, Paman?" kejar Tio Siau In. 241
"Yah... ternyata keberuntungannya itu tak
berlangsung lama. Seperti yang mungkin telah
kaudengar pula, Pangeran Liu Yang Kun itu
mendadak hilang setelah upacara pemakaman Kaisar
Liu selesai.
Bahkan tidak cuma itu. Ternyata keluarga Pangeran
Liu Yang Kun dan istana pribadi beliau, beberapa hari
kemudian juga ikut musnah pula dimakan api.
Sahabatku yang sudah terlanjur mengasihi keluarga
itu menjadi sedih dan kehilangan gairah hidup. Dia
yang memang tidak mempunyai keluarga lagi lalu
pergi menyepikan diri ke tempat sunyi ini. Hanya aku
yang diberi tahu Kepergiannya. Dan secara diam-diam
aku pernah mengunjunginya di tempat ini. tapi itu
telah bertahun-tahun yang lalu. Entahlah, sekarang
aku tak tahu bagaimana keadaannya...." Su Hiat Hong
dengan nada sedih mengakhiri ceritanya.
Tio Siau ln tidak bertanya lagi. Sambil mengayuh
dayungnya gadis itu juga sedang terbuai oleh
lamunannya. Entah mengapa cerita Su Hiat Hong itu
tiba-tiba juga mengingatkan keadaannya sendiri.
Gadis itu teringat kepada kakaknya, Tio Ciu In.
Kakaknya itu tentu sedang kebingungan mencari
dirinya.
"Aku tidak memiliki sanak saudara lagi selain Cici
Cui In. Saat ini dia tentu sangat sedih dan menangisi
kepergianku. Aaaah... aku harus cepat-cepat kembali
selesai mengantar orang-orang ini." katanya di dalam
hati. 242
Seperti ada seutas benang yang menghubungkan
dua pikiran mereka, ternyata pada saat yang sama di
kota Hang-ciu Tio Ciu In juga sedang memikirkan
Siau In pula. Semalam Ciu In bersama-sama dengan
Liu Wan telah berhasil memporak-porandakan
upacara yang diadakan oleh para pendeta Pek-hok-
bio. Namun Ciu In menjadi kecewa dan cemas karena
gadis yang mereka bebaskan dari upacara korban itu
ternyata bukan Siau In. Untunglah Liu Wan pandai
menghiburnya. Pemuda itu mengajaknya ke kota
untuk beristirahat dulu.
Mereka menyewa kamar sendiri-sendiri di sebuah
penginapan. Dan Liu Wan yang kelelahan sehabis
bertempur dengan musuh-musuhnya itu segera
tertidur di kamarnya, sementara Ciu In sendiri tidak
bisa memicingkan matanya. Gadis itu melamun di
atas pembaringannya.
Tengah malam tadi, ketika di tepi pantai Siau In
menyaksikan pertempuran antara rombongan petugas
kerajaan dan orang-orang Hun, maka di Kuil Pek-hok-
bio Ciu In justru sedang bertempur melawan para
pendeta Pek-hok-bio pula dengan sengitnya.
Seperti yang telah direncanakan, Liu Wan
mengajak Tio Ciu In ke Pek-hok-bio menjelang
tengah malam. Karena sore harinya mereka telah
didatangi anak buah Pek-hok-bio, maka Liu Wan
tidak berani sembarangan memasuki sarang macan
itu. Pemuda itu yakin bahwa kuil Pek hok-bio tentu
telah dijaga dengan ketatnya. Pagar, halaman, atap 243
atap bangunan, pepohonan, tentu tidak luput dari
pengawasan mereka.
"Kita harus mencari jalan yang baik supaya mereka
tidak tahu kalau kita telah menyusup ke dalam sarang
mereka.
Tapi...
bagaimana
caranya?"
sebelum
sampai di
tempat
tujuan Liu
Wan
menjadi
bingung.
"Kita
lewat
melalui
pagar
belakang?"
Ciu In
mengusulka
n.
"Wah... tidak mungkin. Segala tempat tentu telah
dijaga. Kita tidak mungkin menerobosnya tanpa
ketahuan."
"Mengapa tidak kita dobrak saja sekalian pintu
halamannya?" Ciu In yang sangat mengkhawatirkan
keselamatan adiknya itu menjadi tidak sabar. 244
"Wah, itu lebih konyol lagi. Upacara korban yang
akan mereka laksanakan tentu menjadi batal, dan
mereka tentu akan menyembunyikan gadis korbannya.
Kita akan sulit mencarinya nanti."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tio Ciu In
menjadi gelisah dan hampir menangis.
Liu Wan tersenyum. Dengan sabar dan penuh
perhatian pemuda itu membesarkan hati Ciu In.
"Jangan cemas. Aku telah' mendapatkan akal yang
bagus." katanya halus.
Tio Ciu In mengerling dengan bibir cemberut.
"Twako memang suka menggoda aku. Kalau memang
sudah tahu jalannya, mengapa tidak dikatakan sejak
tadi?" sergahnya dengan kesal.
"Eeee, jangan keburu marah dulu Nona Cantik!
Aku tidak bermaksud menggoda. Aku hanya ingin
mengetahui pendapatmu. Yah, siapa tahu...!" Tiba-
tiba pandangan mata Liu Wan meredup sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sebagai gadis yang telah menginjak dewasa, Ciu In
tahu arti pandangan pemuda itu. Pandangan kagum
seorang lelaki terhadap wanita.
"Jangan memandangku seperti itu, Twako. Ngeri
aku melihatnya." Gadis itu berdesah lirih sambil
menundukkan mukanya.
"Amboi...! Sungguh beruntung sekali Suhengmu
itu, bisa mendapatkan bidadari sedemikian cantiknya.
Aku benar-benar iri kepadanya. Bertahun-tahun aku
berkeliling ke seluruh pelosok negeri, naik gunung 245
turun gunung, keluar masuk dusun dan kota, namun
belum pernah juga bertemu bidadari. Tak tahunya
bidadari itu sudah ada yang punya. Maaf, Ciu-moi...
maafkan aku."
"Ngaco! Siapa bilang aku sudah ada yang punya?
Aku dengan Suheng..." tiba-tiba Ciu In menutup
mulutnya. Kulit mukanya yang putih mulus itu
mendadak berubah menjadi merah padam. "Kau... kau
memang suka menggoda aku!" akhirnya ia bersungut-
sungut kesal sambil membuang mukanya.
"Ciu-moi...."
"Sudah! Aku tak mau bicara lagi denganmu!
Twako jahat!"
Selesai bicara Tio Ciu In berlari meninggalkan Liu
Wan.
"Eeee... Ciu-moi! Ciu-moi! Tunggu ...!" Liu Wan
berseru memanggil.
Tapi Ciu In tak ambil peduli lagi. Gadis cantik itu
tetap berlari terus, sehingga Liu Wan menjadi
khawatir juga akhirnya. Pemuda itu cepat mengejar.
"Tunggu Ciu-moi! Apakah kau tidak jadi menolong
Adikmu?" pemuda itu berseru.
"Biar. Aku akan menolongnya sendiri." Ciu In
menjawab ketus, tanpa mengendorkan langkahnya.
"Bagaimana engkau akan menolong Adikmu? Akan
menerobos penjagaan mereka? Atau kau akan nekad
mendobraknya dari pintu depan? Ingat, Ciu-moi!
Jangan gegabah! Sekali kau gagal, kau takkan dapat 246
menemukan Adikmu lagi!" Liu Wan
memperingatkan.
Sejenak Ciu In masih tetap berlari. Namun sesaat
kemudian gadis itu sekonyong-konyong berhenti.
Sambil menutupi mukanya gadis itu tersedu-sedu.
Tampaknya ucapan Liu Wan tadi amat mengena di
hatinya.
Dengan hati-hati Liu Wan mendekati. Disentuhnya
pundak Ciu In dengan halus, tapi gadis itu cepat
menghindarinya. Tapi Liu Wan tidak berputus asa.
Sekali lagi diraihnya pundak Ciu In sambil tak lupa
mulutnya menghibur. Dan kali ini gadis itu tidak
mengelak lagi.
"Maafkanlah aku kalau aku kesalahan omong, Ciu-
moi. Aku tak bermaksud menggoda atau
mengganggumu. Aku hanya mengatakan apa yang
ada, yang tadi kebetulan terlintas di dalam hatiku.
Aku bukan seorang munafik. Bukankah aku sudah
pernah mengatakan bahwa aku seorang yang sangat
menyenangi keindahan? Dan aku memang tidak
bohong atau berpura-pura ketika mengatakan kau
sangat cantik bagai bidadari. Engkau memang benar-
benar seperti bunga pek-lian (teratai putih) yang
mekar segar di pagi hari. Indah, anggun, dan
mengandung perbawa yang memukau. Nah, Ciu-
moi... tidak sadarkah kau akan karunia Thian yang
diberikan kepadamu itu? Bukankah setiap hari kau
juga melihatnya sendiri di dalam kaca?" dengan 247
panjang lebar pemuda yang mahir menyusun sajak itu
menghibur Ciu In.
Gadis mana yang tak suka disanjung dan dipuja di
dunia ini? Akhirnya luluh juga hati Tio Ciu In.
Bahkan diam-diam gadis itu merasa bangga juga
hatinya.
"Aku tahu, Twako. Tapi kau tak perlu mengatakan
semuanya itu kepadaku. Aku malu. Apalagi kau lalu
menghubung-hubungkannya dengan Suhengku. Aku
sama sekali tak mempunyai hubungan apa-apa dengan
Sin Lun Suheng selain hubungan sebagai saudara
seperguruan."
"Baiklah... baiklah, aku mohon maaf yang sebesar-
besarnya kepadamu. Aku berjanji takkan
mengulanginya lagi. Nah, kau puas Nona Cantik?"
"Itu... kau sudah mulai lagi!" Geram Ciu In dengan
suara tinggi.
Liu Wan terbelalak kaget seperti orang yang
terlanjur makan sayur kepanasan.
"Ah, benar... benar. Mulutku ini memang
keterlaluan!" serunya kemudian sambil menampari
sendiri mulutnya yang usil itu. Suaranya plak-plok
menggelikan.
"Sudah... sudah kauhentikan tanganmu itu! Kau
memang lelaki konyol dan menggemaskan! " akhirnya
tak tahan juga Ciu In melihatnya. "Sekarang lebih
baik kaujelaskan saja rencanamu untuk memasuki
Kuil Pek-hok-bio itu!" 248
Liu Wan mematuhi perintah Tio Ciu In. Telapak
tangannya yang semula menampari pipi dan mulutnya
sendiri itu kini ganti mengelus-elusnya. Ternyata pipi
itu telah berubah menjadi merah juga. Sambil
tersenyum malu pemuda itu memandang Ciu In.
Mereka berada di jalan setapak di mana keduanya
mulai berjumpa kemarin. Bahkan tempat di mana
mereka sekarang berdiri adalah di bawah pohon di
mana Ciu In kemarin menangis.
"Hei, jangan bengong saja! Lekas katakan,
bagaimana rencanamu?" Ciu In menghardik, sehingga
Liu Wan tersentak kaget untuk yang kedua kalinya.
Pemuda itu benar-benar sedang kesengsem melihat
kecantikan Ciu In.
"Gila...!" pemuda itu mengumpat di dalam hati.
"Mengapa aku begini pusing melihat kecantikannya?
Bukankah aku baru kenal kemarin siang? Bukan
main! Gadis ini sungguh memiliki daya tarik yang
luar biasa. Aku toh sebenarnya bukan anak dusun
yang masih ingusan, yang terkagum-kagum melihat
kecantikan gadis kota. Aku sudah terbiasa dikelilingi
gadis-gadis cantik. Bahkan kalau mau aku bisa
mengambil sebanyak aku suka. Tapi sekali ini benar-
benar lain. sungguh luar biasa.
"Hei...? Kau ini bagaimana, sih?" Sekali lagi Ciu In
membentak dengan suara yang sangat mendongkol.
"Eh, anu... ya-ya, aku akan menyamar seperti...
seperti bidadari! Lhoh!" Liu Wan yang masih
kehilangan semangat itu menjadi gugup sehingga 249
ucapannya jungkir-balik tidak keruan. Dan pemuda itu
menjadi kaget sendiri setelah menyadarinya.
Tio Ciu In tak bisa menahan senyumnya. Bahkan
gadis molek itu akhirnya tak kuasa menahan
ketawanya. Liu Wan memang benar-benar seperti
pemuda dusun yang baru pertama kalinya melihat
kecantikan gadis kota.
Akhirnya sadar juga pemuda itu dari belenggu
keindahan yang memukaunya.
"Maaf, Ciu-moi. Aku mempunyai rencana untuk
menyusup ke dalam upacara keagamaan mereka
dengan menyamar. Kita berdua berdandan sebagai
salah seorang dari penganut aliran mereka.".
"Apakah mereka tidak akan mengenal kita? Dalam
upacara penting seperti ini tentu hanya anggota-
anggota yang telah dikenal saja yang boleh hadir."
Ciu In menanggapi.
Liu Wan tersenyum, dan pemuda itu memang
ganteng sekali kalau tersenyum.
"Tentu saja, Ciu-moi. Kita pun harus memilih pula
dalam menyamar." katanya dengan nada yakin.
"Bagaimana caranya?"
Sekali lagi Liu Wan tersenyum. "Maaf, Ciu-moi.
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan rencana itu
jauh sebelumnya. Aku sudah menyelidiki siapa-siapa
saja penduduk kota ini yang menjadi pengikut aliran
Pek-hok-bio. Nah, untuk melaksanakan rencana kita
ini aku telah menyuruh Lo Kang dan Lo Hai ke kota
sore tadi. Sekarang kita tinggal menantikan khabar 250
dari mereka. Marilah kita ke jalan raya menunggu
kedatangan mereka!"
Tio Ciu In merengut karena merasa dibohongi
"Huh, kau tadi mengatakan bahwa belum
mempunyai rencana apa-apa. Ternyata, kau sudah
mempersiapkannya jauh-jauh sebelumnya. Huh,
mengapa tak kau katakan sejak tadi?" sungut gadis itu
jengkel.
"Eeee... jangan marah dulu! Aku tidak bermaksud
mempermainkanmu." Liu Wan buru-buru memberi
keterangan. "Aku hanya ingin mengetahui
pendapatmu. Siapa tahu kau memiliki rencana yang
lebih bagus daripada rencanaku? Kalau aku buru-buru
mengatakan rencanaku, kau tentu tak mau
mengatakan pendapatmu. Kau tentu akan mengikut
saja apa perkataanku. Benar tidak?"
Tio Ciu In mengerlingkan matanya dengan gemas.
Pemuda di hadapannya itu memang pintar berbicara
dan mengambil hati wanita.
"Baiklah... baiklah, Tuan Muda. Kau memang baik.
Baik sekali. Nah, kalau begitu mau tunggu apalagi?
Ayoh, kita pergi...!" katanya gemas.
Mereka lalu berjalan berendeng di jalan setapak
yang cukup gelap itu. Sinar rembulan terhalang oleh
rimbunnya dedaunan yang memayungi jalan tersebut,
membuat bayangan-bayangan hitam di permukaan
tanah. Namun demikian kedua jago silat itu tidak
menjadi takut atau merasa kesulitan karenanya. 251
Dari jauh terdengar lonceng dua belas kali. Mereka
telah sampai di jalan raya yang menuju ke kuil Pek-
hok-bio. Di tempat yang cukup terlindung mereka
berhenti.
"Kita tunggu saja di tempat ini. Mudah-mudahan
Lo Kang dan Lo Hai berhasil." Liu Wan berbisik di
telinga Ciu In, tapi buru-buru menjauhkan diri lagi
ketika hidungnya tiba-tiba membaui bau harum
rambut gadis itu.
"Kau suruh apa sebenarnya kedua pembantumu itu,
Twako?" Ciu In yang tidak menyadari kalau dirinya
baru saja membuat Liu Wan kembali kesengsem
kepadanya itu berbisik perlahan pula di dekat telinga
Liu Wan.
"Aku... aku suruh mereka mencegat kereta Cia
Wan-gwe yang tentu diundang pula dalam upacara
korban ini. Cia Wan-gwe adalah salah seorang
penganut Pek-hok-bio yang dihormati. Kalau Lo Kang
dan Lo Hai nanti berhasil, kita berdua akan menyamar
sebagai Cia Wan-gwe suami isteri. Wajahmu akan
kuperjelek sedikit agar seperti wajah bini muda Cia
Wangwe." Liu Wan menerangkan dengan suara
sedikit gemetar.
"Eh, mengapa justru diperjelek? Masakan seorang
hartawan kaya-raya seperti Cia Wan-gwe mencari
isteri muda yang wajahnya jelek?" Ciu In bertanya
bingung.
Liu Wan tersenyum kecut. "Yaaah, kata orang istri
muda Cia Wan-gwe itu memang cantik, karena dia 252
adalah penari termashur di kota Hang-ciu ini. Tapi...
kalau dibandingkan dengan wajahmu, yaaa...
ketinggalan jauh!" katanya kemudian dengan suara
agak takut-takut.
Hampir saja Tio Ciu- In merasa hendak
dipermainkan lagi. Tapi kemudian terpandang
olehnya wajah Liu Wan yang bersungguh-sungguh,
pipinya justru menjadi merah.
"Hei... itu suara kereta!" tiba-tiba Liu Wan berseru
perlahan.
Dari jauh tampak sebuah kereta kuda merayap
pelan-pelan menuju ke arah mereka. Sebuah kereta
yang cukup bagus dan terawat baik, ditarik oleh dua
ekor kuda besar-besar. Dua orang pengendara atau
sais tampak duduk di bagian depan mengendalikan
kuda-kuda itu. Dan meskipun dalam penyamaran, Liu
Wan segera mengenal dua sais kereta itu sebagai Lo
Kang dan Lo Hai.
"Ah... mereka berhasil menculik Cia Wan-gwe.
Nah, Ciu-moi... marilah kita songsong mereka. Kita
berdandan di dalam kereta saja nanti."
Selesai bicara Liu Wan Gwe segera bersiul untuk
memberi tanda kepada kedua pembantunya bahwa dia
berada di tempat itu. Dan ternyata kedua orang bisu
itu benar-benar amat setia dan terlatih sekali. Tanpa
menimbulkan kecurigaan kereta itu mereka hentikan
di bawah pohon siong yang rindang. Sambil turun dari
kereta dan seolah-olah memeriksa kendali kudanya,
kedua orang bisu itu memberi kesempatan kepada Liu 253
Wan dan Tio Ciu In untuk naik ke dalam kereta secara
diam-diam.
Setelah yakin majikan mereka telah berada di
dalam kereta, Lo Kang dan Lo Hai lalu berpura-pura
pula memeriksa roda-roda keretanya.
"Lo Kang... Lo Hai, berilah aku waktu barang
sekejap! Aku dan Nona Tio akan berdandan dulu...
sebagai Cia Wan-gwe." Liu Wan berpesan kepada
pembantunya.
"Ah... bagaimana... bagaimana aku harus
berdandan? Aku belum pernah melihat wajah bini
muda Cia Wan-gwe." Ciu In bertanya dengan air
muka kemerah-merahan.
Ternyata Liu Wan menjadi kikuk juga. Pemuda
yang sebenarnya sudah amat terbiasa berhubungan
dengan wanita itu kini ternyata bisa menjadi salah
tingkah pula menghadapi gadis ayu seperti Ciu In.
"Ciu-moi, aku... eh... kalau boleh... anu... biarlah
aku merias dan memoles sedikit wajahmu, agar mirip
dengan bini muda Cia Wan-gwe. Tentang bentuk
badan dan pakaiannya, kau nanti tinggal memberi
ganjal sedikit pada dada dan perut, kemudian
menutupnya dengan pakaian mewah yang telah
kusediakan. Kau akan kelihatan agak gemuk dan
pendek." dengan nada gemetar pemuda itu
memberikan keterangan. '
Seketika kulit yang putih halus itu menjadi merah
seperti udang direbus. Kalau mukanya dirias, hal itu 254
berarti membiarkan jari-jari tangan pemuda itu
memegang dan mengusap-usap wajahnya.
Untuk sesaat lamanya Tio Ciu In tak bisa
menjawab atau bersuara. Hatinya menjadi bimbang
dan bingung luar biasa. Namun ketika kemudian
terbayang wajah adiknya yang ia kasihi, hatinya pun
lalu menjadi bulat. Biarlah dirinya berkorban sedikit
demi keselamatan adiknya.
"Ba-baiklah...." katanya kemudian dengan suara
seret hampir-hampir tak terdengar.
Tampaknya Liu Wan tahu juga bahwa sebenarnya
Tio Ciu In agak merasa keberatan dirias wajahnya.
Oleh karena itu dengan cepat, bahkan dengan kesan
tergesa-gesa tangannya yang trampil itu merias wajah
Cui In. Meskipun demikian ketika jari-jarinya
menyentuh dagu Cui In yang mungil itu, keringat
dingin tiba-tiba seperti membanjiri tubuhnya. Apalagi
ketika mata yang bulat berpendar-pendar indah itu
untuk sesaat menatap dirinya, kontan jari-jarinya
menjadi gemetar sehingga alat riasnya nyaris jatuh
dari tangannya.
Ternyata kegugupan Liu Wan itu sedikit banyak
menular juga kepada Ciu In. Ketika ujung-ujung jari
Liu Wan yang penuh bedak itu menyentuh dan
mengusap pipinya, tiba-tiba Ciu In merasa jantungnya
berhenti berdetak. Kaki dan tangannya terasa dingin
sekali. Apalagi ketika hembusan napas pemuda itu
menerpa wajahnya, mendadak tubuhnya seperti
gemetaran dan seakan mau melayang ke udara. 255
"Se-selesai... Ciu-moi. Kau... kau sekarang boleh
mengenakan baju luar yang mewah ini. Kau... kau tak
perlu berganti pakaian." Akhirnya Liu Wan dapat juga
menyelesaikan tugasnya.
Kemudian sementara Tio Ciu In menyelesaikan
sendiri dandanannya, Liu Wan juga memolesi
wajahnya agar sesuai dengan wajah Cia Wan-gwe.
Begitu mahirnya pemuda itu menyamar sehingga
sebentar saja wajahnya telah berubah menjadi gemuk
dan tua seperti halnya Cia Wan-gwe.
"Nah, kita sekarang telah menjadi Cia Wan-gwe
suami isteri." pemuda itu berkelakar. Lalu serunya
kepada Lo Kang dan Lo Hai di luar, "Lo Kang... Lo
Hai, sekarang kita pergi ke Kuil Pek-hok-bio."
Tio Ciu In berdebar-debar juga hatinya. Baru
sekarang ini dia memperoleh pengalaman yang
mendebarkan, namun juga mengasyikkan pula.
Otomatis perasaannya menjadi tegang, takut kalau
penyamarannya tidak berhasil dan diketahui oleh
lawannya.
"Jangan takut! Tenang-tenang saja. Paling-paling
kita berkelahi, bukan? Apakah kau takut berkelahi?"
Liu Wan yang merasakan ketegangan Ciu In mencoba
mengendorkannya.
Dan ucapan Liu Wan itu memang mengenai
sasarannya. Semangat dan keberanian Ciu In seperti
terungkat kembali. 256
"Huh, mengapa mesti takut? Tadi pun aku sudah
mengajak Twako untuk menggebrak sarang mereka
dari pintu depan!" kata gadis ayu itu panas.
Liu Wan tertawa perlahan. Tapi suaranya segera
terhenti ketika pintu jendela kereta itu diketuk dari
luar.
"Ada apa Lo Kang... Lo Hai?" pemuda itu
membuka jendela kereta seraya bertanya kepada
pembantu-pembantunya.
Kedua orang bisu itu tak memberi jawaban, hanya
tangan Lo Kang yang menyodorkan sesobek kain
putih bertuliskan huhuf-huruf yang panjang. Liu Wan
cepat menyambar sobekan kain tersebut dan membaca
huruf-hurufnya.
Kalau Penjaga menanyakan undangan,
sebutkan saja sebuah angka ganjil.
Lo Kang - Lo Hai.
"Ada apa, Twako? Apa yang ditulis di situ?" Tio
Ciu In mendesak. Liu Wan menghela napas panjang
sambil tersenyum gembira. Sobekan kain itu dia
perlihatkan kepada Tio Ciu ln.
"Kode rahasia mereka. Nanti kalau penjaga pintu
menanyakan undangan, kita harus menjawab dengan
angka ganjil." pemuda itu menerangkan.
"Ah, sungguh teliti juga mereka...." Tio Ciu ln
berdesah. 257
Akhirnya kereta itu membelok ke kiri dan
memasuki halaman depan Kuil Pek hok-bio. Sepuluh
orang anggota Pek-hok-bio segera berjajar
menghalangi kereta. Mereka tidak kalah garang
dengan orang-orang yang datang di rumah Liu Wan
sore tadi. Semua memegang golok.
"Berhenti! Apakah Tuan membawa undangan?"
salah seorang di antara mereka berseru.
Liu Wan yang sudah menyamar sebagai Cia Wan-
gwe itu melongokkan kepalanya keluar jendela.
"Kami mendapat... lima buah undangan!" jawabnya
mantap.
"Oooh, Cia Wangwe rupanya! Silakan! Silakan...!"
orang itu berseru lagi, namun dengan suara yang lebih
ramah.
Dengan tenang Lo Kang dan Lo Hai membawa
kereta tersebut ke depan pendapa. Diam-diam mata
mereka melirik ke sana ke mari ketika Liu Wan dan
Tio Ciu In turun dari kereta dan melangkah menaiki
tangga pendapa itu. Belasan orang penjaga tampak
berdiri berderet-deret di kanan kiri pintu masuk. Dan
seorang pendeta berjubah kuning berdiri di depan
pintu untuk menyambut kedatangan para undangan.
"Nah... ini dia Cia Wan-gwe! Silakan masuk! Kami
kira Cia Wan-gwe berhalangan datang ...." pendeta itu
menyambut kedatangan Liu Wan.
Liu Wan tidak menjawab. Pemuda itu hanya
tersenyum sambil membungkukkan badannya untuk
membalas penghormatan Tuan rumah, sementara Tio 258
Ciu In dengan hati berdebar-debar mengikuti saja
langkah Liu Wan. Mereka segara diantar ke tempat
pertemuan, di mana para undangan yang lain telah
duduk berkumpul mengelilingi sebuah panggung kecil
yang dihiasi dengan kertas dan bunga-bungaan yang
indah dan meriah.
Sekejap wajah Tio Ciu In menjadi tegang. Matanya
yang lebar indah itu menatap tajam ke arah panggung.
Ia ingin mencari di mana adiknya itu ditempatkan.
Demikian tegangnya sehingga ia tak sempat
membalas anggukan kepala atau sapaan ramah dari
tamu-tamu yang lain.
Gadis itu baru sadar ketika Liu Wan meremas
pergelangan tangannya.
"Sabar sedikit, Ciu-moi. Ia baru dikeluarkan pada
upacara puncak nanti." pemuda itu berbisik halus
seperti tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Ciu In.
Untunglah Liu Wan dan Tio Ciu In datang
terlambat, sehingga perhatian semua orang tertuju ke
arah panggung, di mana upacara keagamaan memang
telah dimulai sejak tadi. Delapan orang pendeta
dengan jubah beraneka-warna tampak memimpin
upacara di atas panggung, sementara dua orang di
antara mereka tampak berdiri diam di tengah-tengah
panggung. Yang seorang bertubuh tinggi kurus,
berusia sekitar lima puluhan tahun, sedangkan yang
seorang lagi berbadan besar tinggi seperti raksasa.
"Pendeta bertubuh tinggi besar itulah yang bernama
So Gu Tai atau Sogudai." Liu Wan membisiki Tio Ciu 259
In. "Dan... pendeta tinggi kurus itu pemimpin Pek-
hok-bio ini. Kepandaiannya sangat tinggi dan
ginkangnya sangat bagus. Ilmu andalannya adalah
Tiat-poh-san (Baju Besi), yang membuat ia kebal
terhadap segala macam senjata;' tajam. Tanpa sinkang
yang tinggi jangan harap bisa melukai tubuhnya yang
kurus kering itu."
Tio Ciu in melirik ke arah Liu Wan. Diam-diam
hatinya merasa kagum terhadap pemuda itu. Selain
memiliki kepandaian yang bermacam-macam,
pemuda itu juga mempunyai pengetahuan yang luas
pula di dalam dunia persilatan.
"Gurunya yang tak mau dikenal orang itu tentu
seorang tokoh persilatan yang amat tersohor di masa
lalu." Gadis itu berkata di dalam hatinya.
Tiba-tiba terdengar suara pujaan yang menggelegar
memenuhi ruang pertemuan itu, sehingga suara doa
yang diucapkan secara berbareng oleh pendeta-
pendeta tersebut seperti hilang atau tertindih oleh
getaran suara itu. Para undangan yang berada di
tempat itu segera berdiri sambil mengangkat kedua
tangannya ke atas kepala. Semuanya lalu mengikuti
kata-kata yang diucapkan oleh suara yang
menggelegar itu. Liu Wan dan Tio In terpaksa
mengikuti pula apa yang mereka lakukan.
Suara yang menggelegar itu seperti meletup dari
mana-mana, sehingga Ciu In tidak bisa mencari siapa
yang telah mengeluarkan suara tersebut. Gadis itu
baru mengerti ketika Liu Wan memberitahukannya. 260
"Suara itu dikeluarkan oleh So Gu Tai dengan ilmu
Sai-cu Ho-kangnya (Auman Singa). Lwe-kangnya
memang sangat tinggi. Hmmh, mari kita tunggu!
Sebentar lagi upacara puncak, yaitu Upacara Korban
untuk Dewa Matahari dan Bulan, akan dimulai."
Diam-diam Tio Ciu In bergetar juga hatinya. Orang
yang bernama So Gu Tai itu ternyata memiliki tenaga
dalam yang begitu hebat. Terus terang kalau
diperbandingkan dengan orang itu, dirinya masih
kalah jauh. Oleh karena itu hatinya semakin kagum
kepada Liu Wan yang bisa mengalahkan orang itu.
Ketika Tio Ciu In memandang ke arah panggung
kembali, tiba-tiba secara tak sengaja matanya melihat
sesuatu yang mencurigakan pada seorang tamu
undangan. Orang itu berdiri tak jauh di depannya,
seorang laki-laki bongkok dengan rambut dan jenggot
yang penuh uban. Tadi secara tak sengaja Tio Ciu In
melihat orang tua itu membetulkan letak
punggungnya yang menonjol itu.
Sekejap Tio Ciu In tak habis mengerti, mengapa
punggung yang bongkok itu bisa melenceng ke kanan
dan ke kiri sehingga perlu dibetulkan kembali. Namun
di lain saat gadis itu menjadi berdebar-debar hatinya.
Jangan-jangan orang itu juga sedang menyamar
seperti dirinya. Tapi sebelum ia mengatakan
kecurigaannya itu kepada Liu Wan, sekonyong-
konyong lampu di ruangan tersebut padam. Dan
gantinya lilin-lilin besar yang telah disiapkan di atas 261
panggung itu kemudian dinyalakan oleh para pendeta
tadi.
Sementara itu penjagaan di sekitar ruangan dan
gedung tempat pertemuan itu semakin diperkuat lagi.
Puluhan orang penjaga tampak berpagar betis
mengelilingi setiap tempat yang dirasa berbahaya.
Bahkan pintu halaman juga telah ditutup, sedangkan
para anggota Pek-hok-bio yang garang-garang itu
kelihatan meronda di seluruh halaman.
Malam semakin terasa dingin. Bulan penuh yang
sejak sore tadi selalu terbungkus awan, mendadak
muncul pula di atas langit. Dan seperti mendapat aba-
aba, tiba-tiba angin pun lalu bertiup pula dengan
derasnya.
"Ah, tampaknya Dewi Bulan benar-benar menerima
persembahan kita kali ini...!" salah seorang anggota
Pek-hok-bio yang bertugas di halaman depan itu
berkata kepada kawannya.
"Yah, sungguh mengherankan. Bersamaan dengan
akan dimulainya Upacara Korban ini, tiba-tiba
rembulan muncul dari peraduannya. Dewa angin
seakan-akan menjadi ikut bergembira pula." temannya
menyahut dengan suara bersungguh-sungguh.
"Hemmm, tetapi omong kosong... malam ini
rasanya hatiku seperti tidak tenteram. Sedari tadi
perasaanku selalu berdebar-debar saja. Jangan-jangan
...." yang seorang lagi tiba-tiba menyela.
"Ah, kau ini...!" Tampaknya kekalahanmu dalam
memainkan Barongsai di pendapa kabupaten tadi 262
masih membekas di hatimu, sehingga kau masih
dilanda kekhawatiran saja sampai sekarang!" orang
yang pertama tadi berkata kesal karena
kegembiraannya seperti diganggu oleh temannya
tersebut.
"Benar! Kau tampaknya memang masih
terpengaruh oleh kekalahanmu tadi. Sudahlah, jelek-
jelek, kau dan Pang Un masih mendapatkan nomer
dua. Kau masih lebih unggul daripada pemain Hek-to-
pai itu." orang yang ke dua tadi juga ikut menghibur
pula.
"Ah, bukan hal itu yang membuat hatiku tidak
tenteram. Kekalahanku tadi memang wajar. Pemain
barongsai dari Ui-thian-cung itu memang cerdik dan
lihai, sehingga aku dan Pang Un selalu dibuat mati
langkah." anggota Pek-hok-bio yang selalu
berdebaran hatinya itu membela diri.
"Lalu... apa yang kaukhawatirkan? Apakah kau
mempunyai pikiran bahwa malam ini akan ada orang
yang berani datang ke mari untuk mengacaukan
jalannya upacara kita? Hehehehe, kau jangan terlalu
bodoh. Siapa yang akan berani memasuki sarang
macan seperti ini?"
"Bukan! Bukan itu! Upacara ini...?" sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya pemain barongsai
Pek-hok-bio itu menolak tuduhan teman-temannya,
tapi untuk menerangkan kekhawatirannya itu ternyata
mulutnya mengalami kesulitan.
Komentar
Posting Komentar