PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 06

SEMENTARA itu pertempuran yang
paling dahsyat dan paling brutal adalah
pertempuran Lo-jin-ong melawan Empat
Iblis itu. Karena merasa penasaran atas
sanjungan pemimpin rombongan mereka
terhadap tokoh Im-yang-kau itu, serta
keinginan untuk membuktikan bahwa mereka bisa
mengalahkannya, maka begitu bergebrak Empat
Hantu tersebut ingin segera bisa menyelesaikan
pertempuran mereka.
Seperti halnya Kongcu mereka, Enam Hantu itu
juga murid dari Pendeta Agung suku bangsa Hun,
Ulan Kili. Meskipun kepandaian mereka tidak
setinggi Kongcu mereka itu, tapi mereka justru
menjadi murid-murid utama, karena mereka telah
mengikuti guru mereka sejak di Perguruan Ui-soa-pai.
Terutama Hek-kui, Ui-kui, dan Pek-kui. Sebelum
menjadi pengawal ketiga hantu itu lebih dikenal 223 
dengan sebutan Sam Eng (Tiga Garuda) di kalangan 
persilatan. 
Demikianlah, begitu menyerang mereka berempat 
telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka. Jago-
jago ginkang itu bergerak cepat, berkelebatan 
bagaikan kawanan lebah madu yang beterbangan 
mengelilingi bunga. Sebentar-sebentar mereka 
menyerang Lo-jin-ong dengan pukulan, tendangan, 
sabetan, maupun sapuan kaki yang mematikan. 
Gerakan mereka benar-benar seperti kawanan lebah 
yang mematuk, menggigit dan menyengat korbannya! 
Namun yang amat mengherankan adalah lawan 
mereka. Lo-jin-ong yang sudah tua renta, bahkan bisa 
dikatakan sudah jompo dan pikun itu, ternyata mampu 
melayani serbuan mereka dengan gesit dan lincah. 
Walaupun kadang-kadang harus mundur untuk 
mengambil napas, tapi gerakannya masih amat cepat. 
Tenaga sakti yang terlontar dari telapak tangannya 
juga sangat menggiriskan hati lawan-lawannya. 
Alhasil pertempuran mereka berjalan dengan sangat 
cepat dan mendebarkan. Beberapa kali lengan dan 
tangan mereka berlaga di udara, dan menimbulkan 
suara nyaring yang memekakkan telinga. 
"Gila! Orang tua ini memang masih alot sekali 
kulitnya!" Hek-kui mengumpat tiada hentinya. 
"Yah, tapi bagaimanapun juga dia sudah tua. 
Tenaga dan pernapasannya tentu terbatas. Lama-lama 
dia akan ambruk sendiri karena kelelahan, hehehe...!" 
Pek-eng mengejek pula. http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
http://darahpendekar.blogspot.com/224 
"Kalian benar, orang-orang muda! Sebentar lagi 
aku tentu akan kehabisan napas! Tapi... lihat saja, 
sebelum napasku benar-benar habis... beberapa orang 
di antara kalian tentu akan lebih dulu putus 
napasnya!" 
"Kurang ajar! Orang tua tak tahu diri! Marilah kita 
lihat, siapa yang lebih dulu terkapar di atas pasir ini!" 
Hek-kui menjerit marah. 
Wusssss...! 
Hek-kui menghantam punggung Lo-jin-ong dengan 
tenaga sepenuhnya. Tapi dengan tangkas orang tua itu 
meliuk ke kanan, kemudian membalikkan badan 
sambil balas memukul dengan tebasan tangan kiri. 
Terdengar suara mencicit, suatu tanda bahwa serangan 
tersebut didukung oleh tenaga sakti yang luar biasa 
kuat. 
Sementara itu Ui-kui, Cing-kui dan Pek-kui, tidak 
tinggal diam. Bersama-sama mereka menerjang dari 
sisi yang lain. Mereka juga menggunakan seluruh 
tenaga kekuatan mereka, sehingga dalam gebrakan 
tersebut mereka ingin menghancur-lumatkan Lo-jin-
ong. 
Apa boleh buat, Lo-jin-ong tak ingin menjadi 
bulan-bulanan pukulan lawannya. Ia mengurungkan 
tebasan tangannya yang mengarah kepada Hek-kui. 
Sebagai gantinya ia menjejakkan kakinya dalam jurus 
Burung Walet Meninggalkan Sarang. Tetapi Ui-kui 
dan Cing-kui, yang berada di sebelah kanan dan kiri, 
tidak mau memberi kesempatan keduanya juga 225 
melenting ke atas, berjumpalitan di udara, dan 
memotong gerakan Lo-jin-ong dengan jurus 
Membajak Sawah Menabur Benih. Serangan mereka 
menimbulkan suara gemuruh bagaikan benturan 
ombak di atas batu karang! 
Lo-jin-ong tak ingin membentur serangan mereka. 
Selain tulang-tulangnya sudah terlalu rapuh, dia tak 
ingin terjebak dalam kesulitan pada saat 
menyongsong pukulan tersebut. Hek-kui dan Pek-kui 
tentu telah menunggu pula di atas tanah. Jalan satu-
satunya hanya menghindar lagi. Tapi hal itu benar-
benar sulit dilakukan dalam keadaan seperti itu! 
"Tingkat kepandaian dari masing-masing orang ini 
hanya setingkat atau dua tingkat di bawahku. Dua 
orang atau tiga orang saja rasanya sudah sulit bagiku 
untuk menghadapinya, apalagi empat orang sekaligus. 
Tampaknya Giam Pit Seng juga akan mendapat 
kesulitan pula kali ini. Aku harus segera menolongnya 
keluar dari tempat ini." dalam keadaan terdesak Lo-
jin-ong masih memikirkan anak buahnya. 
Apa yang dikhawatirkan orang tua itu memang 
benar. Giam Pit Seng tak dapat berbuat banyak 
melawan Ang-kui. Iblis Merah itu memang berada 
jauh di atas kemampuan Giam Pit Seng. Walaupun 
sudah berusaha sekuat tenaga mengerahkan Ilmu 
Hok-hong Siang-pitnya, tapi Giam Pit Seng masih 
juga di bawah angin. Bahkan satu demi satu pit-nya 
terlepas dari tangan akibat gempuran Ang-kui. 
Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html 226 
Lo-jin-ong dan Giam Pit Seng berada dalam keadaan 
terancam jiwanya! 
Sementara itu di dalam lubang perlindungannya 
Siau In tak bisa berbuat apa-apa. Dia tahu, apabila ia 
keluar dari tempat itu, dia justru akan menambahi 
beban dan mempersulit keadaan gurunya. Dia hanya 
bisa menonton pertempuran berat sebelah itu dengan 
perasaan tegang dan khawatir. Apalagi ketika ia 
melihat Ci-kui (Si Iblis Ungu) bebar-benar membantai 
Lim Kok Liang, Tong Tai-su dan pengawal Gui 
Ciangkun. Bahkan Iblis kejam itu juga membunuh 
Gui Ciangkun yang terluka, serta pemuda-pemuda 
pemenang sayembara yang pingsan tadi. Sekarang 
rombongan pemenang sayembara dan para perwira 
kerajaan itu benar-benar tertumpas tanpa sisa. 
"Hong-jin... tinggalkan tempat ini!" tiba-tiba 
terdengar Lo-jin-ong berteriak ke arah Put-pai-siu 
Hong-jin. 
Sekejap kemudian terdengar suara berdentang keras 
sekali, diikuti oleh berkelebatnya tubuh Lo-jin-ong ke 
arah Giam Pit Seng! Dhieeeees! Tubuh orang tua itu 
seolah-olah membentur Ang-kui, yang sudah siap 
melepaskan pukulan terakhirnya kepada Giam Pit 
Seng! 
Ang-kui terpental, sementara Lo-jin-ong juga 
terjatuh di samping Giam Pit Seng. "Pit Seng! Ayoh, 
kita pergi dulu mencari bantuan! Kita tak bisa 
menyelamatkan mereka!" Lo-jin-ong berteriak. 227 
Giam Pit Seng menyambar lengan Lo-jin-ong, lalu 
bergegas bersama-sama melesat pergi dari tempat itu. 
"Bagaimana dengan Put-pai-siu Hong-jin...?" 
"Jangan takut! Orang gila itu banyak akalnya!" Lo-
jin-ong menjawab sambil berkelebat menerobos 
semak belukar yang gelap. 
Hek-kui, Pek-kui, Cing-kui dan Ui-kui, yang tadi 
mengeroyok Lo-jin-ong, datang menolong Ang-kui. 
Ci-kui yang juga sudah menyelesaikan tugasnya, ber-
gegas menghampiri pula. Mereka melihat keadaan 
Ang-kui. 
"Aku tidak apa-apa. Aku terpental karena kalah 
tenaga. Orang tua itu benar-benar kuat sekali!" 
"Dia memang kuat dan cerdik luar biasa! Dalam 
keadaan terjepit dia bisa mengecoh kami berempat http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
dan meloloskan diri! Lihat potongan tongkatnya ini! 
Dia mengorbankan tongkatnya untuk menahan 
serangan kami...!" Hek-kui menggeram marah. 
"Ayoh kita kejar mereka!" Ui-kui berseru. 
"Tidak perlu!" tiba-tiba pemimpin mereka yang 
sedang bertempur dengan Put-pai-siu Hong-jin itu 
berteriak. "Siapkan saja perahu kita! Kita segera 
berangkat setelah monyet tua ini mati!" 
"Mati...? Oh, enaknya! Sudah sepuluh tahun ini aku 
ingin mati, tapi tak seorang pun bisa membunuh aku, 
he-he-he! Apalagi hanya bocah ingusan seperti kau! 
Oh-ho-ho-ho!" 
Enam Hantu itu memandang ke arah pertempuran, 
dan mereka segera terbeliak kaget. Dua orang yang 228 
sedang berlaga itu mengadu kesaktian sambil 
berbicara, seakan-akan mereka tidak bersungguh-
sungguh. Padahal Enam Hantu itu melihat bagaimana 
seru dan hebatnya pertempuran mereka. Kongcu 
mereka yang berilmu sangat tinggi itu sudah 
menggunakan ilmu silat Ui-soa-pai tingkat tertinggi, 
campuran ilmu silat dan ilmu sihir! Ginkang yang 
digunakan juga ginkang tingkat terakhir dari Ui-soa-
pai, yang disebut Hui-eng-cu-in (Bayangan Terbang 
di Atas Awan)! Mereka berenam tidak bisa mengikuti 
gerakan Kongcu mereka lagi, padahal mereka 
berenam juga mempelajari ilmu tersebut! 
Meskipun demikian ketika Enam Hantu itu 
memperhatikan Put-pai-siu Hong-jin, wajah mereka 
semua menjadi pucat pasi! Si Gila dari aliran Bengkau 
itu bersilat dengan gerakan-gerakan yang aneh dan 
mengerikan. Selain sikap dan bentuk gerakannya 
kelihatan kacau dan tidak beraturan, tenaga sakti yang 
mendukung gerakan tersebut juga tampak aneh dan 
tidak terkendali. Sepintas lalu seperti ada kekuatan 
lain yang menggerakkan kaki dan tangan itu selain 
Put-pai-siu Hong-jin. Kadang-kadang kuat luar biasa, 
sehingga Kongcu mereka seperti tak tahan 
menghadapinya. Tapi juga sering tampak lemah atau 
biasa-biasa saja, sehingga dengan mudah Kongcu 
mereka mengatasinya. 
Jika tokoh seperti Enam Hantu itu saja merasa 
takjub, apalagi Tio Siau In! Pertempuran itu http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
berlangsung tidak jauh dari tempat
229 
persembunyiannya. Meskipun demikian gadis itu tak 
mampu membedakan, yang mana Put-pai-siu Hong-
jin dan yang mana pula pemimpin rombongan suku 
Hun itu. Mereka bertempur dengan cepat sekali, 
seperti bayangan yang saling membelit, melesat, dan 
berkelebatan ke sana ke mari. Bahkan menurut 
penglihatan Siau In, bayangan itu semakin lama 
menjadi semakin banyak. Rasa-rasanya tidak hanya 
dua orang yang bertempur, tapi lebih dari lima orang! 
Memang benar apa yang disaksikan oleh Tio Siau 
In. Saat itu pemimpin rombongan dari suku Hun 
tersebut telah mengeluarkan Pat-sian-ih-hoat (Delapan 
Baju Dewa), sebuah ilmu silat andalan Ui-soa-pai 
yang telah dicampur dengan ilmu sihir! Pemimpin 
rombongan suku Hun itu seolah-olah telah memecah 
diri menjadi enam orang, yang masing-masing dapat 
bergerak sendiri untuk menyerang Put-pai-siu Hong-
jin! Akibatnya Si Gila dari Aliran Beng-kau itu seperti 
dikeroyok enam orang sekaligus! 
Tapi hanya beberapa saat Put-pai-siu Hong-jin 
terpengaruh dan terkecoh oleh ilmu sihir yang 
mengerikan itu. Justru menghadapi manusia sinting, 
yang jarang berpikir dengan otaknya seperti Put-pai-
siu Hong-jin itu, segala ilmu sihir menjadi mentah dan 
mati kutu! Melihat lawannya berubah menjadi banyak 
dan sangat membingungkan matanya, Put-pai-siu 
lantas berkelahi dengan mata terpejam. Karena Si Gila 
ini memang tak pernah peduli akan kematian, maka 
enak saja ia berbuat seperti itu. Ia hanya
230 
mengandalkan perasaan, pendengaran, dan 
penciumannya saja untuk bertempur. Maka akibatnya 
bisa diduga, segala macam bentuk yang aneh-aneh 
dari lawannya, sama sekali tak mempengaruhi pikiran 
Put-pai-siu Hong-jin! Apalagi Si Gila dari Aliran 
Beng-kau itu kini mengeluarkan ilmu baru, hasil 
ciptaannya sendiri, yang ia beri nama Tiga Langkah 
Bulu Angsa! Ilmu silat inilah yang dilihat oleh Enam 
Hantu itu. Sebuah ilmu silat yang seolah-olah tidak 
dilakukan atau digerakkan sendiri oleh pelakunya. 
"Monyet Tua! Ayoh, kita berkelahi! Jangan hanya 
menghindar ke sana ke mari!" pemimpin rombongan 
suku Hun itu menjerit marah. Tangannya menghantam 
ke depan, ke arah pinggang Put-pai-siu Hong-jin yang 
sedang melayang turun ke tanah. 
Tapi sebelum pukulan itu menyentuh sasaran, tubuh 
Put-pai-siu Hong-jin telah lebih dulu melayang pergi, 
bagaikan selembar bulu angsa yang tertiup angin! 
"Hohoho-haha... ada hitam ada putih Ada 
perempuan... ada lelaki! Ada lobang..... ada semut! 
Hohahohaaaa! Anak muda, kau tahu arti 
perkataanku?" mulut Put-pai-siu Hong-jin mengoceh. 
"Artinya... segala sesuatu yang tercipta di dunia ini 
tentu ada imbangannya. Contohnya...? Ilmu silatmu 
tadi sangat aneh dan menakutkan. Aku percaya, kau 
tentu bisa menciptakan. bentuk yang aneh-aneh 
dengan ilmumu itu. Hehehe... tapi kalau lawanmu itu 
buta atau... memejamkan matanya, oh-ho-ho... apakah 231 
dia masih juga bisa melihat? Huuuaaah-hahahaha! 
Konyol! Konyol! Sungguh sebuah ilmu yang konyol!" 
"Kurang 
ajar! 
Kubunuh 
kau, Monyet 
tua!" 
pemimpin 
rombongan 
dari suku 
Hun itu 
berteriak. 
"Hei! 
Hei! Nanti 
dulu...!" 
Mendadak 
Put-pai-siu 
Hong-jin 
mengangkat 
tangannya. 
"Tampaknya kau benar-benar ingin mengadu nyawa! 
Ho-ho-ho, kalau begitu... sebutkan dulu namamu! 
Jadi, hehehe... aku bisa menyebutkan namamu kalau 
su-teku nanti bertanya kepadaku." 
"Maksudmu...?" 
"Sebutkan dulu namamu! Apakah kau takut 
namamu diketahui orang?" 
"Bangsat! Putera Raja Mo Tan tidak mengenal 
takut! Namaku Mo Hou! Sudah kaudengar, hei?" 232 
"Kongcu...????" Enam Hantu itu berdesah kaget. 
"Hohoho... jadi kau ini putera Raja suku bangsa 
Hun itu? Hahaha, ketahuilah...! Ayahmu itu sudah 
beberapa kali bertemu denganku, dan dia... takut 
sekali kepadaku! Hohohahaaaaaa! Pada pertemuan 
yang terakhir... ho-hoha-ha... Ayah mu telah 
kukencingi punggungnya! Hoha-haaaha !!!". Put-pai-
siu Hong-jin menutup ucapannya dengan tertawa 
terbahak-bahak. 
Saking marahnya Mo Hou justru tak bisa mengucap 
apa-apa. Kabut kebiruan kembali menyelimuti 
tubuhnya. Hanya ini lebih pekat, sehingga tubuh itu 
cuma kelihatan samar-samar dalam kegelapan malam. 
Wuuuuuus! Mo Hou menerjang Put-pai-siu Hong-
jin, Gerakannya cepat bukan main! Dari dalam lobang 
persembunyiannya Tio Siau In hanya melihat 
segumpal asap pekat, berwarna kebiruan, melesat ke 
arah Put-pai-siu Hong-jin! Dan dari gumpalan asap itu 
berkelebat pula cahaya berwarna kekuningan! 
Tampaknya kali ini Put-pai-siu Hong-jin ingin 
menjajal kekuatan lawannya. Dia juga mengerahkan 
segala kekuatannya dan menyongsong gempuran Mo 
Hou. 
Plak! Plaaak! Siiiiiing...! Dhieeeeeees! 
Dua bayangan tampak berlaga di udara, lalu 
masing-masing terpental ke belakang! Bluuk! Mou 
Hou jatuh terlentang di atas pasir! Tangannya yang 
memegang kipas berwarna kuning keemasan itu 
menggeletar menahan sakit! Dah dari mulutnya 233 
mengalir darah segar! Sebaliknya, Put-pai-siu Hong-
jin yang membelakangi laut, terlempar ke udara, dan 
jatuh ke dalam gelombang air yang kebetulan 
menerjang pantai! Sebentar saja tubuhnya hilang 
dibawa ombak! 
"Kongcu...!" Enam Hantu itu bergegas 
menghampiri Mo Hou. 
"Cepat bawa aku pergi dari tempat ini! Aku terluka 
dalam!" 
Keenam Hantu itu tak banyak bicara pula. Cepat-
cepat mereka menggotong tubuh Mo Hou ke dalam 
perahu dan bergegas meninggalkan pantai itu. 
Sementara itu Tio Siau In masih tetap berada di 
lobang persembunyiannya. Meskipun perahu orang 
Hun itu sudah pergi, ia tetap belum keluar. Ia masih 
merasa khawatir kalau-kalau orang Hun itu kembali 
lagi. Baru setelah beberapa waktu kemudian suasana 
tetap lengang dan sepi, Siau In merangkak keluar dari 
lubang batu karang itu. 
Kemudian gadis itu menarik keluar pemuda yang 
ditolongnya tadi dan membawanya ke tempat kering. 
Sekilas tampak tatto gambar di dada pemuda itu. 
"Oh, ya... akan kulihat! Apakah para pemenang 
sayembara yang lain itu juga memiliki tatto naga?" 
Siau In berkata di dalam hatinya. 
Siau In lalu menghampiri mayat-mayat yang 
bergelimpangan di pasir. Setiap menjumpai mayat 
para pemenang sayembara, gadis itu memeriksanya 
dengan teliti. 234 
"Hah... benar! Pemuda ini juga memiliki gambar 
naga di punggungnya!" gadis itu berdesah lirih ketika 
membalikkan sebuah mayat yang mati terlentang. 
"Ini juga...! Ah, itu juga!" desisnya kemudian 
berkali-kali ketika meneliti mayat-mayat yang 
lainnya. 
Ternyata persis dengan yang telah diduga Tio Siau 
In, semua pemuda yang memenangkan perlombaan 
Mengangkat Arca itu mempunyai gambar tatto naga 
di tubuh mereka. Hanya bentuk gambar dan 
tempatnya saja yang berbeda-beda. Ada yang di 
lengan, dada, perut, pinggang atau punggung. 
Sementara bentuk gambarnya ada yang lengkap, ada 
yang tidak. Ada yang hanya kepala naga saja, tapi ada 
juga yang dilukis penuh dari kepala sampai ekor. 
Bahkan ada yang tidak cuma satu ekor saja, tapi dua 
ekor naga sekaligus. 
"Tidak mungkin kalau hal ini hanya satu kebetulan 
saja. Tampaknya pihak istana secara rahasia memang 
bermaksud mengumpulkan para pemuda bertatto naga 
di seluruh negeri dengan dalih Perlombaan 
Mengangkat arca. Sebaliknya Raja suku bangsa Hun 
tampaknya juga ikut ambil bagian pula di dalam 
urusan ini. Namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu 
membasmi pemuda-pemuda bertatto naga itu. 
Sementara itu di pihak yang lain lagi, Aliran Im-yang-
kau juga memerintahkan seluruh cabang-cabangnya 
untuk mencari pemuda bertatto naga itu pula. Aaah, 
kalau memang demikian halnya, pemuda itu tentu 234 
"Hah... benar! Pemuda ini juga memiliki gambar 
naga di punggungnya!" gadis itu berdesah lirih ketika 
membalikkan sebuah mayat yang mati terlentang. 
"Ini juga...! Ah, itu juga!" desisnya kemudian 
berkali-kali ketika meneliti mayat-mayat yang 
lainnya. 
Ternyata persis dengan yang telah diduga Tio Siau 
In, semua pemuda yang memenangkan perlombaan 
Mengangkat Arca itu mempunyai gambar tatto naga 
di tubuh mereka. Hanya bentuk gambar dan 
tempatnya saja yang berbeda-beda. Ada yang di 
lengan, dada, perut, pinggang atau punggung. 
Sementara bentuk gambarnya ada yang lengkap, ada 
yang tidak. Ada yang hanya kepala naga saja, tapi ada 
juga yang dilukis penuh dari kepala sampai ekor. 
Bahkan ada yang tidak cuma satu ekor saja, tapi dua 
ekor naga sekaligus. 
"Tidak mungkin kalau hal ini hanya satu kebetulan 
saja. Tampaknya pihak istana secara rahasia memang 
bermaksud mengumpulkan para pemuda bertatto naga 
di seluruh negeri dengan dalih Perlombaan 
Mengangkat arca. Sebaliknya Raja suku bangsa Hun 
tampaknya juga ikut ambil bagian pula di dalam 
urusan ini. Namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu 
membasmi pemuda-pemuda bertatto naga itu. 
Sementara itu di pihak yang lain lagi, Aliran Im-yang-
kau juga memerintahkan seluruh cabang-cabangnya 
untuk mencari pemuda bertatto naga itu pula. Aaah, 
kalau memang demikian halnya, pemuda itu tentu 235 
merupakan seorang yang hebat sekali. Siapakah dia 
sebenarnya...?" sambil mengawasi mayat-mayat yang 
berserakan itu Siau In mencoba menduga-duga dan 
merangkai semua yang telah diketahuinya. 
"Ooouugh...." 
Tiba-tiba gadis itu dikejutkan oleh suara erang 
kesakitan. Sesosok mayat yang ada di dekatnya 
sekonyong-konyong menggerakkan kaki dan 
tangannya. Malahan beberapa saat kemudian mayat 
itu bangkit dengan perlahan-lahan. 
Dengan agak takut-takut Tio Siau In mendekati. 
Dengan seksama ditatapnya mayat yang kini telah 
duduk bersimpuh itu lekat-lekat. Dan akhirnya Siau In 
mengenali orang .itu sebagai pembantu dari Lim Kok 
Liang, pemimpin pengawal rombongan pemenang 
perlombaan tersebut. 
Lelaki itu tidak lain adalah Su Hiat Hong, tahu 
bahwa dia terluka dalam. Maka pertama-tama yang 
dia lakukan adalah duduk bersila dan mengerahkan 
tenaga sakti untuk mengobati luka-lukanya itu. Dan 
usaha itu dilakukannya berulang-ulang. 
Setelah rasa sakit itu hilang dan aliran darahnya 
menjadi normal kembali, Su Hiat Hong membuka 
matanya. Dan ia benar-benar kaget sekali melihat Siau 
In di depannya. 
"Nona... Nona siapa?" ujarnya dengan suara cemas. 
Siau In mencoba tersenyum. "Tuan tidak usah 
khawatir. Saya kebetulan lewat di tempat ini dan 
melihat keributan yang baru saja berlalu. Tapi maaf, 236 
saya sama sekali tak berani keluar untuk membantu. 
Saya sadar bahwa saya tak mungkin bisa melawan 
mereka. Ah, apakah Tuan sudah merasa baik 
kembali?" 
"Oooh...! Su Hiat Hong bernapas lega. "Terima 
kasih. Kulitku memang tidak terluka, tapi bagian 
dalam dari tubuhku rasanya hancur semua. Aku harus 
lekas-lekas mencari tabib yang pandai untuk 
menyembuhkannya. Nona, maukah kau menolong 
aku?" 
"Salah seorang dari rombongan Tuan juga masih 
hidup walaupun terluka parah pula. Tapi... mana ada 
tabib pandai di sekitar tempat ini?" 
"Ohh, benarkah ada temanku yang lain yang masih 
selamat?" Su Hiat Hong berdesah gembira. 
"Ya! Pemuda itu saya tinggalkan di dekat batu 
karang itu." 
"Ooo...!" Su Hiat Hong berdesah kembali, tapi 
sekarang dengan suara sedikit kecewa. Sebenarnya ia 
berharap yang selamat itu adalah Lim Kok Liang, 
sahabatnya, tapi ternyata bukan. 
Namun demikian petugas dari istana kerajaan itu 
cepat berkata lagi. "Bagaimana, Nona? Apakah kau 
mau menolong kami? Dua lie dari tempat ini tinggal 
seorang tabib yang sedang mengasingkan diri." 
Siau In tidak segera menjawab. Sebenarnya ia ingin 
cepat-cepat kembali ke kota untuk menemui kakak 
dan suhengnya. Tapi orang-orang ini amat butuh 
bantuannya pula. 237 
"Baiklah...!" akhirnya ia menyanggupi. "Tapi 
bagaimana cara kita pergi ke tabib itu? Bukankah 
Tuan belum dapat berjalan? Lalu... bagaimana pula 
dengan mayat-mayat ini?" 
Wajah yang pucat itu tampak lega. "Nona tidak 
usah khawatir. Aku mempunyai sampan kecil, yang 
kusembunyikan di celah-celah batu karang besar itu!" 
katanya sambil menunjuk ke arah yang ia maksudkan. 
"Dan... tentang mayat-mayat ini, Nona juga tidak 
perlu khawatir. Pagi nanti sepasukan prajurit kerajaan 
akan meronda ke mari." 
"Ooh...!" Siau In mengangguk lega pula. Tapi tiba-
tiba keningnya berkerut. "Tapi kalau kita bersampan... 
bisa bertemu dengan orang-orang Hun itu!" 
"Jangan khawatir, Nona. Lapat-lapat kudengar 
mereka tadi menuju ke utara, sedang tujuan kita 
adalah ke selatan." dengan cepat Su Hiat Hong 
memberi keterangan. 
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengambil 
sampannya...." 
"Terima kasih, Nona. Terima kasih..." akan tetapi 
sebelum berangkat mengambil sampan Tio Siau In 
menengok pemuda yang ditolongnya tadi lebih 
dahulu. Dilihatnya pemuda itu telah sadar pula, 
meskipun keadaannya tampak lebih parah dari pada 
Su Hiat Hong. Namun kelihatannya pemuda itu 
memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa. Pemuda itu 
tidak terkejut melihat dirinya. Pemuda itu justru238 
tersenyum, walaupun senyumnya lebih menyerupai 
seringai kesakitan daripada senyum kegembiraan. 
"Siapa namamu...?" Tio Siau-In perlahan. 
"A Liong...." pemuda itu menjawab singkat. 
"Kau mau kubawa ke tabib?" 
Lagi-lagi pemuda itu tersenyum, kemudian 
menganggukkan kepalanya. Wajahnya yang pucat 
pasi itu tampak pasrah. 
"Kalau begitu tunggulah di sini sebentar. Aku akan 
mengambil sampan untuk membawamu pergi. Nah... 
kuatkanlah hatimu!" Tio Siau In menepuk lengan A 
Liong, kemudian berlalu. 
Dengan mengikuti arah yang telah ditunjukkan oleh 
Su Hiat Hong,, Siau In mencoba mencari sampan 
tersebut. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkannya. 
Sampan itu hanya tersuruk di antara celah-celah batu 
karang yang banyak bertonjolan di tepi pantai. 
Lengkap dengan dua batang kayu pendayungnya. 
Su Hiat Hong semakin kelihatan bersemangat 
melihat kedatangan Tio Siau ln bersama sampannya. 
Dengan agak tertatih-tatih ia melangkah ke dalam 
sampan, sementara Tio Siau ln membantu A Liong 
yang tidak bisa berjalan sendiri. Pemuda tanggung itu 
terpaksa berpegangan pada lengan Siau In. Dan gadis 
cantik itu sama sekali tidak merasa risih. 
Malam semakin larut, bahkan embun pagi sudah 
mulai turun pula ke bumi. Semakin lama embun itu 
semakin tebal sehingga dari jauh seperti awan tipis 
yang turun perlahan-lahan menyelimuti bumi. Dengan 239 
susah payah Tio Siau In mendayung sampan itu 
menyusuri pantai. Dan dua lie kemudian ia sampai ke 
sebuah ceruk atau teluk kecil yang dikelilingi tebing 
pantai yang menjulang tinggi ke atas, sehingga ceruk 
yang mempunyai dataran sempit itu seolah-olah 
merupakan dasar jurang yang terbuka ke arah laut. 
Tio Siau ln melihat sinar lampu minyak berkedip-
kedip di tengah-tengah dataran sempit tersebut. Dan 
ketika sampan itu datang semakin dekat, Tio Siau In 
melihat sebuah rumah kecil di antara rimbunnya 
pepohonan. Ternyata cahaya lampu yang dilihatnya 
itu keluar dari salah sebuah jendelanya yang terbuka. 
"Kita telah sampai ke rumahnya, Nona. Marilah 
kita ke pinggir." Su Hiat Hong berkata lega. 
Tio Siau In mendayung sampan itu ke pinggir. 
Diam-diam perasaannya merinding juga. Rumah di 
tempat yang sangat terasing itu kelihatan 
menyeramkan di malam hari. 
"Siapakah tabib itu sebenarnya...? Mengapa ia 
memilih tempat yang sepi seperti ini?" tanyanya lirih 
kepada Su Hiat Hong. 
Petugas kerajaan itu menghela napas panjang. Raut 
mukanya yang pucat itu tampak suram, sementara 
matanya berkaca-kaca mengawasi rumah kecil di 
tempat terasing itu. 
"Dia sebenarnya seorang bekas prajurit kerajaan 
pula. Bahkan antara dia dan aku bersahabat erat 
sekali, meskipun tugas kami berbeda. Pertama kali 
kami bertemu, dia bertugas di bagian kesehatan dan 240 
perawatan prajurit yang terluka, sedangkan aku 
bertugas di bawah bendera pasukan berkuda. Karena 
luka-lukaku yang parah aku pernah dirawat oleh dia. 
Tapi aku juga pernah menyelamatkan dia ketika 
markas kami diserang musuh." 
Mata Su Hiat Hong menerawang jauh, teringat akan 
pengalamannya di masa lalu. Tapi mata itu segera 
berkaca-kaca ketika bayangan seorang sahabatnya 
yang lain, yaitu Lim Kok Liang, ikut berkelebat di 
depan matanya. 
"Alangkah malangnya dia. Seorang perwira yang 
telah banyak berjasa kepada negara, tapi pada saat 
kematiannya tak seorang pun yang merawat 
jenazahnya." keluhnya dalam hati, menyesali 
kematian Lim Kok Liang. 
"Lalu... kenapa dia sekarang tinggal di tempat 
seperti ini, Paman?" Siau In yang merasa kasihan 
kepada Su Hiat Hong itu kini menyebutnya Paman. 
Su Hiat Hong seperti disentakkan dari lamunannya 
yang hanya sesaat itu. 
"Aaaah... ya, dia... dia akhirnya dipindahkan ke 
istana. Sementara aku juga dipindahkan ke Pasukan 
Rahasia. Karena kepandaiannya mengobati orang, 
sahabatku itu lalu diambil oleh mendiang Pangeran 
Liu Yang Kun ke istana pribadinya. Dia diangkat 
sebagai perwira dan ditunjuk sebagai tabib pribadi 
dalam keluarga Pangeran Mahkota itu. Tapi...." 
"Tapi... bagaimana, Paman?" kejar Tio Siau In. 241 
"Yah... ternyata keberuntungannya itu tak 
berlangsung lama. Seperti yang mungkin telah 
kaudengar pula, Pangeran Liu Yang Kun itu 
mendadak hilang setelah upacara pemakaman Kaisar 
Liu selesai. 
Bahkan tidak cuma itu. Ternyata keluarga Pangeran 
Liu Yang Kun dan istana pribadi beliau, beberapa hari 
kemudian juga ikut musnah pula dimakan api. 
Sahabatku yang sudah terlanjur mengasihi keluarga 
itu menjadi sedih dan kehilangan gairah hidup. Dia 
yang memang tidak mempunyai keluarga lagi lalu 
pergi menyepikan diri ke tempat sunyi ini. Hanya aku 
yang diberi tahu Kepergiannya. Dan secara diam-diam 
aku pernah mengunjunginya di tempat ini. tapi itu 
telah bertahun-tahun yang lalu. Entahlah, sekarang 
aku tak tahu bagaimana keadaannya...." Su Hiat Hong 
dengan nada sedih mengakhiri ceritanya. 
Tio Siau ln tidak bertanya lagi. Sambil mengayuh 
dayungnya gadis itu juga sedang terbuai oleh 
lamunannya. Entah mengapa cerita Su Hiat Hong itu 
tiba-tiba juga mengingatkan keadaannya sendiri. 
Gadis itu teringat kepada kakaknya, Tio Ciu In. 
Kakaknya itu tentu sedang kebingungan mencari 
dirinya. 
"Aku tidak memiliki sanak saudara lagi selain Cici 
Cui In. Saat ini dia tentu sangat sedih dan menangisi 
kepergianku. Aaaah... aku harus cepat-cepat kembali 
selesai mengantar orang-orang ini." katanya di dalam 
hati. 242 
Seperti ada seutas benang yang menghubungkan 
dua pikiran mereka, ternyata pada saat yang sama di 
kota Hang-ciu Tio Ciu In juga sedang memikirkan 
Siau In pula. Semalam Ciu In bersama-sama dengan 
Liu Wan telah berhasil memporak-porandakan 
upacara yang diadakan oleh para pendeta Pek-hok-
bio. Namun Ciu In menjadi kecewa dan cemas karena 
gadis yang mereka bebaskan dari upacara korban itu 
ternyata bukan Siau In. Untunglah Liu Wan pandai 
menghiburnya. Pemuda itu mengajaknya ke kota 
untuk beristirahat dulu. 
Mereka menyewa kamar sendiri-sendiri di sebuah 
penginapan. Dan Liu Wan yang kelelahan sehabis 
bertempur dengan musuh-musuhnya itu segera 
tertidur di kamarnya, sementara Ciu In sendiri tidak 
bisa memicingkan matanya. Gadis itu melamun di 
atas pembaringannya. 
Tengah malam tadi, ketika di tepi pantai Siau In 
menyaksikan pertempuran antara rombongan petugas 
kerajaan dan orang-orang Hun, maka di Kuil Pek-hok-
bio Ciu In justru sedang bertempur melawan para 
pendeta Pek-hok-bio pula dengan sengitnya. 
Seperti yang telah direncanakan, Liu Wan 
mengajak Tio Ciu In ke Pek-hok-bio menjelang 
tengah malam. Karena sore harinya mereka telah 
didatangi anak buah Pek-hok-bio, maka Liu Wan 
tidak berani sembarangan memasuki sarang macan 
itu. Pemuda itu yakin bahwa kuil Pek hok-bio tentu 
telah dijaga dengan ketatnya. Pagar, halaman, atap 243 
atap bangunan, pepohonan, tentu tidak luput dari 
pengawasan mereka. 
"Kita harus mencari jalan yang baik supaya mereka 
tidak tahu kalau kita telah menyusup ke dalam sarang 
mereka. 
Tapi... 
bagaimana 
caranya?" 
sebelum 
sampai di 
tempat 
tujuan Liu 
Wan 
menjadi 
bingung. 
"Kita 
lewat 
melalui 
pagar 
belakang?" 
Ciu In 
mengusulka
n. 
"Wah... tidak mungkin. Segala tempat tentu telah 
dijaga. Kita tidak mungkin menerobosnya tanpa 
ketahuan." 
"Mengapa tidak kita dobrak saja sekalian pintu 
halamannya?" Ciu In yang sangat mengkhawatirkan 
keselamatan adiknya itu menjadi tidak sabar. 244 
"Wah, itu lebih konyol lagi. Upacara korban yang 
akan mereka laksanakan tentu menjadi batal, dan 
mereka tentu akan menyembunyikan gadis korbannya. 
Kita akan sulit mencarinya nanti." 
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" Tio Ciu In 
menjadi gelisah dan hampir menangis. 
Liu Wan tersenyum. Dengan sabar dan penuh 
perhatian pemuda itu membesarkan hati Ciu In. 
"Jangan cemas. Aku telah' mendapatkan akal yang 
bagus." katanya halus. 
Tio Ciu In mengerling dengan bibir cemberut. 
"Twako memang suka menggoda aku. Kalau memang 
sudah tahu jalannya, mengapa tidak dikatakan sejak 
tadi?" sergahnya dengan kesal. 
"Eeee, jangan keburu marah dulu Nona Cantik! 
Aku tidak bermaksud menggoda. Aku hanya ingin 
mengetahui pendapatmu. Yah, siapa tahu...!" Tiba-
tiba pandangan mata Liu Wan meredup sambil 
menggeleng-gelengkan kepalanya. 
Sebagai gadis yang telah menginjak dewasa, Ciu In 
tahu arti pandangan pemuda itu. Pandangan kagum 
seorang lelaki terhadap wanita. 
"Jangan memandangku seperti itu, Twako. Ngeri 
aku melihatnya." Gadis itu berdesah lirih sambil 
menundukkan mukanya. 
"Amboi...! Sungguh beruntung sekali Suhengmu 
itu, bisa mendapatkan bidadari sedemikian cantiknya. 
Aku benar-benar iri kepadanya. Bertahun-tahun aku 
berkeliling ke seluruh pelosok negeri, naik gunung 245 
turun gunung, keluar masuk dusun dan kota, namun 
belum pernah juga bertemu bidadari. Tak tahunya 
bidadari itu sudah ada yang punya. Maaf, Ciu-moi... 
maafkan aku." 
"Ngaco! Siapa bilang aku sudah ada yang punya? 
Aku dengan Suheng..." tiba-tiba Ciu In menutup 
mulutnya. Kulit mukanya yang putih mulus itu 
mendadak berubah menjadi merah padam. "Kau... kau 
memang suka menggoda aku!" akhirnya ia bersungut-
sungut kesal sambil membuang mukanya. 
"Ciu-moi...." 
"Sudah! Aku tak mau bicara lagi denganmu! 
Twako jahat!" 
Selesai bicara Tio Ciu In berlari meninggalkan Liu 
Wan. 
"Eeee... Ciu-moi! Ciu-moi! Tunggu ...!" Liu Wan 
berseru memanggil. 
Tapi Ciu In tak ambil peduli lagi. Gadis cantik itu 
tetap berlari terus, sehingga Liu Wan menjadi 
khawatir juga akhirnya. Pemuda itu cepat mengejar. 
"Tunggu Ciu-moi! Apakah kau tidak jadi menolong 
Adikmu?" pemuda itu berseru. 
"Biar. Aku akan menolongnya sendiri." Ciu In 
menjawab ketus, tanpa mengendorkan langkahnya. 
"Bagaimana engkau akan menolong Adikmu? Akan 
menerobos penjagaan mereka? Atau kau akan nekad 
mendobraknya dari pintu depan? Ingat, Ciu-moi! 
Jangan gegabah! Sekali kau gagal, kau takkan dapat 246 
menemukan Adikmu lagi!" Liu Wan 
memperingatkan. 
Sejenak Ciu In masih tetap berlari. Namun sesaat 
kemudian gadis itu sekonyong-konyong berhenti. 
Sambil menutupi mukanya gadis itu tersedu-sedu. 
Tampaknya ucapan Liu Wan tadi amat mengena di 
hatinya. 
Dengan hati-hati Liu Wan mendekati. Disentuhnya 
pundak Ciu In dengan halus, tapi gadis itu cepat 
menghindarinya. Tapi Liu Wan tidak berputus asa. 
Sekali lagi diraihnya pundak Ciu In sambil tak lupa 
mulutnya menghibur. Dan kali ini gadis itu tidak 
mengelak lagi. 
"Maafkanlah aku kalau aku kesalahan omong, Ciu-
moi. Aku tak bermaksud menggoda atau 
mengganggumu. Aku hanya mengatakan apa yang 
ada, yang tadi kebetulan terlintas di dalam hatiku. 
Aku bukan seorang munafik. Bukankah aku sudah 
pernah mengatakan bahwa aku seorang yang sangat 
menyenangi keindahan? Dan aku memang tidak 
bohong atau berpura-pura ketika mengatakan kau 
sangat cantik bagai bidadari. Engkau memang benar-
benar seperti bunga pek-lian (teratai putih) yang 
mekar segar di pagi hari. Indah, anggun, dan 
mengandung perbawa yang memukau. Nah, Ciu-
moi... tidak sadarkah kau akan karunia Thian yang 
diberikan kepadamu itu? Bukankah setiap hari kau 
juga melihatnya sendiri di dalam kaca?" dengan 247 
panjang lebar pemuda yang mahir menyusun sajak itu 
menghibur Ciu In. 
Gadis mana yang tak suka disanjung dan dipuja di 
dunia ini? Akhirnya luluh juga hati Tio Ciu In. 
Bahkan diam-diam gadis itu merasa bangga juga 
hatinya. 
"Aku tahu, Twako. Tapi kau tak perlu mengatakan 
semuanya itu kepadaku. Aku malu. Apalagi kau lalu 
menghubung-hubungkannya dengan Suhengku. Aku 
sama sekali tak mempunyai hubungan apa-apa dengan 
Sin Lun Suheng selain hubungan sebagai saudara 
seperguruan." 
"Baiklah... baiklah, aku mohon maaf yang sebesar-
besarnya kepadamu. Aku berjanji takkan 
mengulanginya lagi. Nah, kau puas Nona Cantik?" 
"Itu... kau sudah mulai lagi!" Geram Ciu In dengan 
suara tinggi. 
Liu Wan terbelalak kaget seperti orang yang 
terlanjur makan sayur kepanasan. 
"Ah, benar... benar. Mulutku ini memang 
keterlaluan!" serunya kemudian sambil menampari 
sendiri mulutnya yang usil itu. Suaranya plak-plok 
menggelikan. 
"Sudah... sudah kauhentikan tanganmu itu! Kau 
memang lelaki konyol dan menggemaskan! " akhirnya 
tak tahan juga Ciu In melihatnya. "Sekarang lebih 
baik kaujelaskan saja rencanamu untuk memasuki 
Kuil Pek-hok-bio itu!" 248 
Liu Wan mematuhi perintah Tio Ciu In. Telapak 
tangannya yang semula menampari pipi dan mulutnya 
sendiri itu kini ganti mengelus-elusnya. Ternyata pipi 
itu telah berubah menjadi merah juga. Sambil 
tersenyum malu pemuda itu memandang Ciu In. 
Mereka berada di jalan setapak di mana keduanya 
mulai berjumpa kemarin. Bahkan tempat di mana 
mereka sekarang berdiri adalah di bawah pohon di 
mana Ciu In kemarin menangis. 
"Hei, jangan bengong saja! Lekas katakan, 
bagaimana rencanamu?" Ciu In menghardik, sehingga 
Liu Wan tersentak kaget untuk yang kedua kalinya. 
Pemuda itu benar-benar sedang kesengsem melihat 
kecantikan Ciu In. 
"Gila...!" pemuda itu mengumpat di dalam hati. 
"Mengapa aku begini pusing melihat kecantikannya? 
Bukankah aku baru kenal kemarin siang? Bukan 
main! Gadis ini sungguh memiliki daya tarik yang 
luar biasa. Aku toh sebenarnya bukan anak dusun 
yang masih ingusan, yang terkagum-kagum melihat 
kecantikan gadis kota. Aku sudah terbiasa dikelilingi 
gadis-gadis cantik. Bahkan kalau mau aku bisa 
mengambil sebanyak aku suka. Tapi sekali ini benar-
benar lain. sungguh luar biasa. 
"Hei...? Kau ini bagaimana, sih?" Sekali lagi Ciu In 
membentak dengan suara yang sangat mendongkol. 
"Eh, anu... ya-ya, aku akan menyamar seperti... 
seperti bidadari! Lhoh!" Liu Wan yang masih 
kehilangan semangat itu menjadi gugup sehingga 249 
ucapannya jungkir-balik tidak keruan. Dan pemuda itu 
menjadi kaget sendiri setelah menyadarinya. 
Tio Ciu In tak bisa menahan senyumnya. Bahkan 
gadis molek itu akhirnya tak kuasa menahan 
ketawanya. Liu Wan memang benar-benar seperti 
pemuda dusun yang baru pertama kalinya melihat 
kecantikan gadis kota. 
Akhirnya sadar juga pemuda itu dari belenggu 
keindahan yang memukaunya. 
"Maaf, Ciu-moi. Aku mempunyai rencana untuk 
menyusup ke dalam upacara keagamaan mereka 
dengan menyamar. Kita berdua berdandan sebagai 
salah seorang dari penganut aliran mereka.". 
"Apakah mereka tidak akan mengenal kita? Dalam 
upacara penting seperti ini tentu hanya anggota-
anggota yang telah dikenal saja yang boleh hadir." 
Ciu In menanggapi. 
Liu Wan tersenyum, dan pemuda itu memang 
ganteng sekali kalau tersenyum. 
"Tentu saja, Ciu-moi. Kita pun harus memilih pula 
dalam menyamar." katanya dengan nada yakin. 
"Bagaimana caranya?" 
Sekali lagi Liu Wan tersenyum. "Maaf, Ciu-moi. 
Sebenarnya aku sudah mempersiapkan rencana itu 
jauh sebelumnya. Aku sudah menyelidiki siapa-siapa 
saja penduduk kota ini yang menjadi pengikut aliran 
Pek-hok-bio. Nah, untuk melaksanakan rencana kita 
ini aku telah menyuruh Lo Kang dan Lo Hai ke kota 
sore tadi. Sekarang kita tinggal menantikan khabar 250 
dari mereka. Marilah kita ke jalan raya menunggu 
kedatangan mereka!" 
Tio Ciu In merengut karena merasa dibohongi 
"Huh, kau tadi mengatakan bahwa belum 
mempunyai rencana apa-apa. Ternyata, kau sudah 
mempersiapkannya jauh-jauh sebelumnya. Huh, 
mengapa tak kau katakan sejak tadi?" sungut gadis itu 
jengkel. 
"Eeee... jangan marah dulu! Aku tidak bermaksud 
mempermainkanmu." Liu Wan buru-buru memberi 
keterangan. "Aku hanya ingin mengetahui 
pendapatmu. Siapa tahu kau memiliki rencana yang 
lebih bagus daripada rencanaku? Kalau aku buru-buru 
mengatakan rencanaku, kau tentu tak mau 
mengatakan pendapatmu. Kau tentu akan mengikut 
saja apa perkataanku. Benar tidak?" 
Tio Ciu In mengerlingkan matanya dengan gemas. 
Pemuda di hadapannya itu memang pintar berbicara 
dan mengambil hati wanita. 
"Baiklah... baiklah, Tuan Muda. Kau memang baik. 
Baik sekali. Nah, kalau begitu mau tunggu apalagi? 
Ayoh, kita pergi...!" katanya gemas. 
Mereka lalu berjalan berendeng di jalan setapak 
yang cukup gelap itu. Sinar rembulan terhalang oleh 
rimbunnya dedaunan yang memayungi jalan tersebut, 
membuat bayangan-bayangan hitam di permukaan 
tanah. Namun demikian kedua jago silat itu tidak 
menjadi takut atau merasa kesulitan karenanya. 251 
Dari jauh terdengar lonceng dua belas kali. Mereka 
telah sampai di jalan raya yang menuju ke kuil Pek-
hok-bio. Di tempat yang cukup terlindung mereka 
berhenti. 
"Kita tunggu saja di tempat ini. Mudah-mudahan 
Lo Kang dan Lo Hai berhasil." Liu Wan berbisik di 
telinga Ciu In, tapi buru-buru menjauhkan diri lagi 
ketika hidungnya tiba-tiba membaui bau harum 
rambut gadis itu. 
"Kau suruh apa sebenarnya kedua pembantumu itu, 
Twako?" Ciu In yang tidak menyadari kalau dirinya 
baru saja membuat Liu Wan kembali kesengsem 
kepadanya itu berbisik perlahan pula di dekat telinga 
Liu Wan. 
"Aku... aku suruh mereka mencegat kereta Cia 
Wan-gwe yang tentu diundang pula dalam upacara 
korban ini. Cia Wan-gwe adalah salah seorang 
penganut Pek-hok-bio yang dihormati. Kalau Lo Kang 
dan Lo Hai nanti berhasil, kita berdua akan menyamar 
sebagai Cia Wan-gwe suami isteri. Wajahmu akan 
kuperjelek sedikit agar seperti wajah bini muda Cia 
Wangwe." Liu Wan menerangkan dengan suara 
sedikit gemetar. 
"Eh, mengapa justru diperjelek? Masakan seorang 
hartawan kaya-raya seperti Cia Wan-gwe mencari 
isteri muda yang wajahnya jelek?" Ciu In bertanya 
bingung. 
Liu Wan tersenyum kecut. "Yaaah, kata orang istri 
muda Cia Wan-gwe itu memang cantik, karena dia 252 
adalah penari termashur di kota Hang-ciu ini. Tapi... 
kalau dibandingkan dengan wajahmu, yaaa... 
ketinggalan jauh!" katanya kemudian dengan suara 
agak takut-takut. 
Hampir saja Tio Ciu- In merasa hendak 
dipermainkan lagi. Tapi kemudian terpandang 
olehnya wajah Liu Wan yang bersungguh-sungguh, 
pipinya justru menjadi merah. 
"Hei... itu suara kereta!" tiba-tiba Liu Wan berseru 
perlahan. 
Dari jauh tampak sebuah kereta kuda merayap 
pelan-pelan menuju ke arah mereka. Sebuah kereta 
yang cukup bagus dan terawat baik, ditarik oleh dua 
ekor kuda besar-besar. Dua orang pengendara atau 
sais tampak duduk di bagian depan mengendalikan 
kuda-kuda itu. Dan meskipun dalam penyamaran, Liu 
Wan segera mengenal dua sais kereta itu sebagai Lo 
Kang dan Lo Hai. 
"Ah... mereka berhasil menculik Cia Wan-gwe. 
Nah, Ciu-moi... marilah kita songsong mereka. Kita 
berdandan di dalam kereta saja nanti." 
Selesai bicara Liu Wan Gwe segera bersiul untuk 
memberi tanda kepada kedua pembantunya bahwa dia 
berada di tempat itu. Dan ternyata kedua orang bisu 
itu benar-benar amat setia dan terlatih sekali. Tanpa 
menimbulkan kecurigaan kereta itu mereka hentikan 
di bawah pohon siong yang rindang. Sambil turun dari 
kereta dan seolah-olah memeriksa kendali kudanya, 
kedua orang bisu itu memberi kesempatan kepada Liu  253 
Wan dan Tio Ciu In untuk naik ke dalam kereta secara 
diam-diam. 
Setelah yakin majikan mereka telah berada di 
dalam kereta, Lo Kang dan Lo Hai lalu berpura-pura 
pula memeriksa roda-roda keretanya. 
"Lo Kang... Lo Hai, berilah aku waktu barang 
sekejap! Aku dan Nona Tio akan berdandan dulu... 
sebagai Cia Wan-gwe." Liu Wan berpesan kepada 
pembantunya. 
"Ah... bagaimana... bagaimana aku harus 
berdandan? Aku belum pernah melihat wajah bini 
muda Cia Wan-gwe." Ciu In bertanya dengan air 
muka kemerah-merahan. 
Ternyata Liu Wan menjadi kikuk juga. Pemuda 
yang sebenarnya sudah amat terbiasa berhubungan 
dengan wanita itu kini ternyata bisa menjadi salah 
tingkah pula menghadapi gadis ayu seperti Ciu In. 
"Ciu-moi, aku... eh... kalau boleh... anu... biarlah 
aku merias dan memoles sedikit wajahmu, agar mirip 
dengan bini muda Cia Wan-gwe. Tentang bentuk 
badan dan pakaiannya, kau nanti tinggal memberi 
ganjal sedikit pada dada dan perut, kemudian 
menutupnya dengan pakaian mewah yang telah 
kusediakan. Kau akan kelihatan agak gemuk dan 
pendek." dengan nada gemetar pemuda itu 
memberikan keterangan. ' 
Seketika kulit yang putih halus itu menjadi merah 
seperti udang direbus. Kalau mukanya dirias, hal itu 254 
berarti membiarkan jari-jari tangan pemuda itu 
memegang dan mengusap-usap wajahnya. 
Untuk sesaat lamanya Tio Ciu In tak bisa 
menjawab atau bersuara. Hatinya menjadi bimbang 
dan bingung luar biasa. Namun ketika kemudian 
terbayang wajah adiknya yang ia kasihi, hatinya pun 
lalu menjadi bulat. Biarlah dirinya berkorban sedikit 
demi keselamatan adiknya. 
"Ba-baiklah...." katanya kemudian dengan suara 
seret hampir-hampir tak terdengar. 
Tampaknya Liu Wan tahu juga bahwa sebenarnya 
Tio Ciu In agak merasa keberatan dirias wajahnya. 
Oleh karena itu dengan cepat, bahkan dengan kesan 
tergesa-gesa tangannya yang trampil itu merias wajah 
Cui In. Meskipun demikian ketika jari-jarinya 
menyentuh dagu Cui In yang mungil itu, keringat 
dingin tiba-tiba seperti membanjiri tubuhnya. Apalagi 
ketika mata yang bulat berpendar-pendar indah itu 
untuk sesaat menatap dirinya, kontan jari-jarinya 
menjadi gemetar sehingga alat riasnya nyaris jatuh 
dari tangannya. 
Ternyata kegugupan Liu Wan itu sedikit banyak 
menular juga kepada Ciu In. Ketika ujung-ujung jari 
Liu Wan yang penuh bedak itu menyentuh dan 
mengusap pipinya, tiba-tiba Ciu In merasa jantungnya 
berhenti berdetak. Kaki dan tangannya terasa dingin 
sekali. Apalagi ketika hembusan napas pemuda itu 
menerpa wajahnya, mendadak tubuhnya seperti 
gemetaran dan seakan mau melayang ke udara. 255 
"Se-selesai... Ciu-moi. Kau... kau sekarang boleh 
mengenakan baju luar yang mewah ini. Kau... kau tak 
perlu berganti pakaian." Akhirnya Liu Wan dapat juga 
menyelesaikan tugasnya. 
Kemudian sementara Tio Ciu In menyelesaikan 
sendiri dandanannya, Liu Wan juga memolesi 
wajahnya agar sesuai dengan wajah Cia Wan-gwe. 
Begitu mahirnya pemuda itu menyamar sehingga 
sebentar saja wajahnya telah berubah menjadi gemuk 
dan tua seperti halnya Cia Wan-gwe. 
"Nah, kita sekarang telah menjadi Cia Wan-gwe 
suami isteri." pemuda itu berkelakar. Lalu serunya 
kepada Lo Kang dan Lo Hai di luar, "Lo Kang... Lo 
Hai, sekarang kita pergi ke Kuil Pek-hok-bio." 
Tio Ciu In berdebar-debar juga hatinya. Baru 
sekarang ini dia memperoleh pengalaman yang 
mendebarkan, namun juga mengasyikkan pula. 
Otomatis perasaannya menjadi tegang, takut kalau 
penyamarannya tidak berhasil dan diketahui oleh 
lawannya. 
"Jangan takut! Tenang-tenang saja. Paling-paling 
kita berkelahi, bukan? Apakah kau takut berkelahi?" 
Liu Wan yang merasakan ketegangan Ciu In mencoba 
mengendorkannya. 
Dan ucapan Liu Wan itu memang mengenai 
sasarannya. Semangat dan keberanian Ciu In seperti 
terungkat kembali. 256 
"Huh, mengapa mesti takut? Tadi pun aku sudah 
mengajak Twako untuk menggebrak sarang mereka 
dari pintu depan!" kata gadis ayu itu panas. 
Liu Wan tertawa perlahan. Tapi suaranya segera 
terhenti ketika pintu jendela kereta itu diketuk dari 
luar. 
"Ada apa Lo Kang... Lo Hai?" pemuda itu 
membuka jendela kereta seraya bertanya kepada 
pembantu-pembantunya. 
Kedua orang bisu itu tak memberi jawaban, hanya 
tangan Lo Kang yang menyodorkan sesobek kain 
putih bertuliskan huhuf-huruf yang panjang. Liu Wan 
cepat menyambar sobekan kain tersebut dan membaca 
huruf-hurufnya. 
Kalau Penjaga menanyakan undangan, 
sebutkan saja sebuah angka ganjil. 
Lo Kang - Lo Hai. 
"Ada apa, Twako? Apa yang ditulis di situ?" Tio 
Ciu In mendesak. Liu Wan menghela napas panjang 
sambil tersenyum gembira. Sobekan kain itu dia 
perlihatkan kepada Tio Ciu ln. 
"Kode rahasia mereka. Nanti kalau penjaga pintu 
menanyakan undangan, kita harus menjawab dengan 
angka ganjil." pemuda itu menerangkan. 
"Ah, sungguh teliti juga mereka...." Tio Ciu ln 
berdesah. 257 
Akhirnya kereta itu membelok ke kiri dan 
memasuki halaman depan Kuil Pek hok-bio. Sepuluh 
orang anggota Pek-hok-bio segera berjajar 
menghalangi kereta. Mereka tidak kalah garang 
dengan orang-orang yang datang di rumah Liu Wan 
sore tadi. Semua memegang golok. 
"Berhenti! Apakah Tuan membawa undangan?" 
salah seorang di antara mereka berseru. 
Liu Wan yang sudah menyamar sebagai Cia Wan-
gwe itu melongokkan kepalanya keluar jendela. 
"Kami mendapat... lima buah undangan!" jawabnya 
mantap. 
"Oooh, Cia Wangwe rupanya! Silakan! Silakan...!" 
orang itu berseru lagi, namun dengan suara yang lebih 
ramah. 
Dengan tenang Lo Kang dan Lo Hai membawa 
kereta tersebut ke depan pendapa. Diam-diam mata 
mereka melirik ke sana ke mari ketika Liu Wan dan 
Tio Ciu In turun dari kereta dan melangkah menaiki 
tangga pendapa itu. Belasan orang penjaga tampak 
berdiri berderet-deret di kanan kiri pintu masuk. Dan 
seorang pendeta berjubah kuning berdiri di depan 
pintu untuk menyambut kedatangan para undangan. 
"Nah... ini dia Cia Wan-gwe! Silakan masuk! Kami 
kira Cia Wan-gwe berhalangan datang ...." pendeta itu 
menyambut kedatangan Liu Wan. 
Liu Wan tidak menjawab. Pemuda itu hanya 
tersenyum sambil membungkukkan badannya untuk 
membalas penghormatan Tuan rumah, sementara Tio 258 
Ciu In dengan hati berdebar-debar mengikuti saja 
langkah Liu Wan. Mereka segara diantar ke tempat 
pertemuan, di mana para undangan yang lain telah 
duduk berkumpul mengelilingi sebuah panggung kecil 
yang dihiasi dengan kertas dan bunga-bungaan yang 
indah dan meriah. 
Sekejap wajah Tio Ciu In menjadi tegang. Matanya 
yang lebar indah itu menatap tajam ke arah panggung. 
Ia ingin mencari di mana adiknya itu ditempatkan. 
Demikian tegangnya sehingga ia tak sempat 
membalas anggukan kepala atau sapaan ramah dari 
tamu-tamu yang lain. 
Gadis itu baru sadar ketika Liu Wan meremas 
pergelangan tangannya. 
"Sabar sedikit, Ciu-moi. Ia baru dikeluarkan pada 
upacara puncak nanti." pemuda itu berbisik halus 
seperti tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Ciu In. 
Untunglah Liu Wan dan Tio Ciu In datang 
terlambat, sehingga perhatian semua orang tertuju ke 
arah panggung, di mana upacara keagamaan memang 
telah dimulai sejak tadi. Delapan orang pendeta 
dengan jubah beraneka-warna tampak memimpin 
upacara di atas panggung, sementara dua orang di 
antara mereka tampak berdiri diam di tengah-tengah 
panggung. Yang seorang bertubuh tinggi kurus, 
berusia sekitar lima puluhan tahun, sedangkan yang 
seorang lagi berbadan besar tinggi seperti raksasa. 
"Pendeta bertubuh tinggi besar itulah yang bernama 
So Gu Tai atau Sogudai." Liu Wan membisiki Tio Ciu 259 
In. "Dan... pendeta tinggi kurus itu pemimpin Pek-
hok-bio ini. Kepandaiannya sangat tinggi dan 
ginkangnya sangat bagus. Ilmu andalannya adalah 
Tiat-poh-san (Baju Besi), yang membuat ia kebal 
terhadap segala macam senjata;' tajam. Tanpa sinkang 
yang tinggi jangan harap bisa melukai tubuhnya yang 
kurus kering itu." 
Tio Ciu in melirik ke arah Liu Wan. Diam-diam 
hatinya merasa kagum terhadap pemuda itu. Selain 
memiliki kepandaian yang bermacam-macam, 
pemuda itu juga mempunyai pengetahuan yang luas 
pula di dalam dunia persilatan. 
"Gurunya yang tak mau dikenal orang itu tentu 
seorang tokoh persilatan yang amat tersohor di masa 
lalu." Gadis itu berkata di dalam hatinya. 
Tiba-tiba terdengar suara pujaan yang menggelegar 
memenuhi ruang pertemuan itu, sehingga suara doa 
yang diucapkan secara berbareng oleh pendeta-
pendeta tersebut seperti hilang atau tertindih oleh 
getaran suara itu. Para undangan yang berada di 
tempat itu segera berdiri sambil mengangkat kedua 
tangannya ke atas kepala. Semuanya lalu mengikuti 
kata-kata yang diucapkan oleh suara yang 
menggelegar itu. Liu Wan dan Tio In terpaksa 
mengikuti pula apa yang mereka lakukan. 
Suara yang menggelegar itu seperti meletup dari 
mana-mana, sehingga Ciu In tidak bisa mencari siapa 
yang telah mengeluarkan suara tersebut. Gadis itu 
baru mengerti ketika Liu Wan memberitahukannya. 260 
"Suara itu dikeluarkan oleh So Gu Tai dengan ilmu 
Sai-cu Ho-kangnya (Auman Singa). Lwe-kangnya 
memang sangat tinggi. Hmmh, mari kita tunggu! 
Sebentar lagi upacara puncak, yaitu Upacara Korban 
untuk Dewa Matahari dan Bulan, akan dimulai." 
Diam-diam Tio Ciu In bergetar juga hatinya. Orang 
yang bernama So Gu Tai itu ternyata memiliki tenaga 
dalam yang begitu hebat. Terus terang kalau 
diperbandingkan dengan orang itu, dirinya masih 
kalah jauh. Oleh karena itu hatinya semakin kagum 
kepada Liu Wan yang bisa mengalahkan orang itu. 
Ketika Tio Ciu In memandang ke arah panggung 
kembali, tiba-tiba secara tak sengaja matanya melihat 
sesuatu yang mencurigakan pada seorang tamu 
undangan. Orang itu berdiri tak jauh di depannya, 
seorang laki-laki bongkok dengan rambut dan jenggot 
yang penuh uban. Tadi secara tak sengaja Tio Ciu In 
melihat orang tua itu membetulkan letak 
punggungnya yang menonjol itu. 
Sekejap Tio Ciu In tak habis mengerti, mengapa 
punggung yang bongkok itu bisa melenceng ke kanan 
dan ke kiri sehingga perlu dibetulkan kembali. Namun 
di lain saat gadis itu menjadi berdebar-debar hatinya. 
Jangan-jangan orang itu juga sedang menyamar 
seperti dirinya. Tapi sebelum ia mengatakan 
kecurigaannya itu kepada Liu Wan, sekonyong-
konyong lampu di ruangan tersebut padam. Dan 
gantinya lilin-lilin besar yang telah disiapkan di atas 261 
panggung itu kemudian dinyalakan oleh para pendeta 
tadi. 
Sementara itu penjagaan di sekitar ruangan dan 
gedung tempat pertemuan itu semakin diperkuat lagi. 
Puluhan orang penjaga tampak berpagar betis 
mengelilingi setiap tempat yang dirasa berbahaya. 
Bahkan pintu halaman juga telah ditutup, sedangkan 
para anggota Pek-hok-bio yang garang-garang itu 
kelihatan meronda di seluruh halaman. 
Malam semakin terasa dingin. Bulan penuh yang 
sejak sore tadi selalu terbungkus awan, mendadak 
muncul pula di atas langit. Dan seperti mendapat aba-
aba, tiba-tiba angin pun lalu bertiup pula dengan 
derasnya. 
"Ah, tampaknya Dewi Bulan benar-benar menerima 
persembahan kita kali ini...!" salah seorang anggota 
Pek-hok-bio yang bertugas di halaman depan itu 
berkata kepada kawannya. 
"Yah, sungguh mengherankan. Bersamaan dengan 
akan dimulainya Upacara Korban ini, tiba-tiba 
rembulan muncul dari peraduannya. Dewa angin 
seakan-akan menjadi ikut bergembira pula." temannya 
menyahut dengan suara bersungguh-sungguh. 
"Hemmm, tetapi omong kosong... malam ini 
rasanya hatiku seperti tidak tenteram. Sedari tadi 
perasaanku selalu berdebar-debar saja. Jangan-jangan 
...." yang seorang lagi tiba-tiba menyela. 
"Ah, kau ini...!" Tampaknya kekalahanmu dalam 
memainkan Barongsai di pendapa kabupaten tadi 262 
masih membekas di hatimu, sehingga kau masih 
dilanda kekhawatiran saja sampai sekarang!" orang 
yang pertama tadi berkata kesal karena 
kegembiraannya seperti diganggu oleh temannya 
tersebut. 
"Benar! Kau tampaknya memang masih 
terpengaruh oleh kekalahanmu tadi. Sudahlah, jelek-
jelek, kau dan Pang Un masih mendapatkan nomer 
dua. Kau masih lebih unggul daripada pemain Hek-to-
pai itu." orang yang ke dua tadi juga ikut menghibur 
pula. 
"Ah, bukan hal itu yang membuat hatiku tidak 
tenteram. Kekalahanku tadi memang wajar. Pemain 
barongsai dari Ui-thian-cung itu memang cerdik dan 
lihai, sehingga aku dan Pang Un selalu dibuat mati 
langkah." anggota Pek-hok-bio yang selalu 
berdebaran hatinya itu membela diri. 
"Lalu... apa yang kaukhawatirkan? Apakah kau 
mempunyai pikiran bahwa malam ini akan ada orang 
yang berani datang ke mari untuk mengacaukan 
jalannya upacara kita? Hehehehe, kau jangan terlalu 
bodoh. Siapa yang akan berani memasuki sarang 
macan seperti ini?" 
"Bukan! Bukan itu! Upacara ini...?" sambil 
menggeleng-gelengkan kepalanya pemain barongsai 
Pek-hok-bio itu menolak tuduhan teman-temannya, 
tapi untuk menerangkan kekhawatirannya itu ternyata 
mulutnya mengalami kesulitan. 
263 
"Sudahlah...! Tampaknya kau hanya merasa tegang 
karena upacara korban seperti ini memang baru sekali 
ini kita selenggarakan. Mungkin kau juga terpengaruh 
atau terlalu memikirkan gadis manis yang hendak kita 
korbankan itu, hehehe...!" orang ke dua tadi segera 
menengahi perselisihan kecil itu. 
"Ayoh, kita meronda lagi...!" para anggota Pek-
hok-bio yang lain segera berseru pula. 
Demikianlah para anggota Pek-hok-bio yang 
bertugas mengawasi halaman itu lalu menyebar 
kembali. Dengan kewaspadaan tinggi mereka 
mengawasi seluruh halaman kuil mereka. Upacara 
yang sedang mereka selenggarakan sekarang ini 
adalah upacara khusus yang tidak boleh diketahui oleh 
orang luar, karena itu tak seorang pun diperbolehkan 
masuk selain anggota-anggota kehormatan. 
Ternyata tidak cuma para penjaga kuil saja yang 
menjadi tegang, tapi tamu-tamu undangan yang 
berada di dalam ruang pertemuan pun menjadi tegang 
pula hatinya ketika gadis yang akan dikorbankan itu 
telah dikeluarkan dari tempat penyimpanannya. Tak 
terkecuali Tio Ciu In dan Liu Wan! Bahkan pemuda 
itu sampai harus memegang lengan Ciu In agar tidak 
bertindak sembrono. 
Hampir-hampir semua mata tak berkedip 
memandang ke arah altar yang ada di tengah-tengah 
panggung di mana gadis itu dibaringkan. Seperti 
terkena pengaruh sihir, gadis itu sama sekali tak 
bergerak atau bersuara. Meskipun pelupuk matanya 265 
kurus itu mulai mencopoti pakaian yang dikenakan 
oleh gadis korban mereka. Dan bersamaan itu pula 
sebagian dari atap genteng yang menaungi ruangan 
tersebut dibuka oleh petugas Pek-hok-bio, sehingga 
sinar bulan yang putih pucat itu segera menerobos ke 
dalam, persis di atas altar di mana gadis korban itu 
tergeletak. 
Suasana semakin mencekam. Di dalam keremangan 
sinar lilin yang bergoyang-goyang, cahaya bulan yang 
menerobos genting itu bagaikan tebaran jala yang 
mengurung altar tempat gadis korban itu berbaring. 
Semuanya diam terpaku di tempat masing-masing. 
Hanya para pendeta itu saja yang masih tetap 
melantunkan doa-doa pujaannya. 
Ketua Kuil Pek-hok-bio telah selesai mencopoti 
pakaian gadis korbannya. Tubuh mulus itu tampak 
gilang gemilang ditimpa sinar bulan. Dan gadis itu 
sendiri tetap seperti semula. Diam, pasrah, dengan 
tatapan mata yang dingin kaku seolah tak bernyawa. 
Ketika ketua Kuil Pek-hok-bio itu kemudian 
mencabut pisau belati dari pinggangnya, dan siap 
untuk dihunjamkan ke jantung gadis itu, sekonyong-
konyong berkelebat sebuah bayangan dari bawah 
panggung, yang kemudian ternyata diikuti pula oleh 
sebuah bayangan lainnya. 
&_&__&&&&


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT