MAAFKAN hamba, Kongcu. Hamba
datang terlambat, sehingga hamba tidak
bisa menjemput kedatangan Paduka di
tengah laut tadi." orang yang baru saja
datang itu membungkuk hormat ke arah
perahu sambil melaporkan keadaannya.
"Ada urusan apa di Pek-hok-bio sehingga kau mesti
terlambat menjemput aku?" orang lihai di dalam
perahu itu berkata dingin.
Raksasa berjubah hitam itu menarik napas panjang.
"Musuh lama hamba kembali datang mengganggu
tugas hamba, Kongcu." jawabnya kemudian dengan
suara geram.
"Hmmh! Sogudai...! Siapa musuh lamamu itu?
Apakah kau dan teman-temanmu tidak dapat
menyelesaikan dia?" suara di dalam perahu itu
terdengar marah.
Raksasa yang dipanggil Sogudai itu kelihatan
gemetar tubuhnya. "Dia bernama... Liu Wan, Kongcu.
Dia dikenal orang sebagai Bun-bu Siu-cai (Pelajar
Serba Bisa). Kepandaiannya sangat tinggi, sehingga
hamba dan kawan-kawan hamba tidak bisa
menghadapinya. Pek-hok-bio terpaksa kami
tinggalkan...."
Siau In yang sejak tadi selalu melotot mengawasi
timbunan ilalang di atas perahu itu, tiba-tiba melihat
sebuah gerakan. Tumpukan daun ilalang yang
menutupi bagian atap perahu itu mendadak tersingkap
sedikit, lalu sesosok bayangan tampak melesat keluar
dengan kecepatan yang sulit dilukiskan. Dan
selanjutnya terdengar suara tamparan pada pipi
Sogudai, sehingga raksasa itu sempoyongan hampir
jatuh.
"Tolol kau...!" orang yang bersuara angker itu
mengumpat dan di lain saat bayangannya telah
menyusup kembali ke dalam perahu.
Meskipun bisa menangkap gerakan orang di dalam
perahu itu, tapi tetap saja Siau In tak dapat melihat
dengan jelas macam apa orang itu. Demikian cepatnya
orang tersebut bergerak sehingga rasa-rasanya cuma
bayangannya saja yang tampak.
Sogudai berlutut di atas pasir. Kepalanya tertunduk
dalam-dalam.
"Maafkan hamba, Kongcu...." desahnya lirih
hampir tak terdengar. 180
Hening sesaat. Lalu terdengar suara tarikan napas
panjang dari dalam perahu.
"Baiklah, semua ini memang bukan salahmu
sendiri. Kau boleh terus melanjutkan tugasmu. Lalu...
kemanakah kawan-kawanmu?" suara dari dalam
perahu, itu berubah lunak.
Sogudai tampak gembira sekali. Berulang kali dia
membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima
kasih.
"Mereka hamba perintahkan untuk pergi
meninggalkan Pek-hok-bio dan berkumpul di kota
Cia-sing. Kalau Kong-cu memperbolehkan, kami
bermaksud untuk menggabungkan diri dengan
rombongan Bayan Tanu di kota Siang-hai."
"Bodoh!" Tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu
itu membentak. "Mengapa otakmu sekarang menjadi
amat tolol begitu, Sogudai? Bukankah kau dan anak
buahmu ditugaskan di Propinsi She-kiang ini? Kenapa
sekarang tiba-tiba kau ingin bergabung dengan Bayan
Tanu yang bertugas di Propinsi Kiang-su? Lalu siapa
yang bertanggung jawab di daerah ini?"
Sogudai dengan ketakutan berlutut di atas pasir
basah. Berulang-ulang ia meminta maaf dan mengakui
kebodohannya.
"Hamba... hamba memang terlalu bodoh, Kongcu.
Kegagalan-kegagalan dalam tugas hamba selama ini
membuat hamba berputus asa dan kehilangan
kepercayaan diri. Hamba takut akan semakin 181
mengecewakan Seng-yu (Sebutan untuk raja suku
bangsa Hun atau Tartar)."
"Jadi... kau hendak mengundurkan diri dari
tugasmu ini?" suara dari dalam perahu itu mendadak
menjadi kejam dan dingin kembali.
"Bukan... bukan begitu, Kongcu!" Sogudai merintih
ketakutan. "Hamba tidak bermaksud demikian.
Hamba... hamba justru ingin bertanggung jawab atas
kegagalan-kegagalan hamba itu. Tapi hamba ingin
mempertanggung- jawabkannya sendirian. Hamba
tidak ingin melibatkan dan menyeret kawan-kawan
hamba itu dalam hal ini. Mereka adalah orang-orang http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
yang sangat patuh dan setia kepada Seng-yu. Maka
biarlah mereka bergabung dengan Bayan Tanu,
sementara hamba akan menanti hukuman dari
Kongcu."
Hening kembali. Orang yang ada di dalam perahu
itu tidak segera menjawab perkataan Sogudai. Dan
keheningan tersebut benar-benar mencekam hati Siau
In yang menggigil kedinginan di dalam
persembunyiannya.
Meskipun tidak mengetahui ujung pangkal dari
pembicaraan orang-orang itu, namun sebagai orang
Han yang setia terhadap negerinya, sedikit banyak
Siau In menjadi curiga terhadap sepak-terjang mereka.
Gurunya pernah bercerita tentang kekejaman suku
bangsa Hun dari luar Tembok Besar, yang pernah
beberapa kali menyerang Negeri Tiongkok.
179182
"Jangan-jangan mereka ini orang-orang Hun yang
pernah diceritakan Suhu itu. Tetapi... rasa-rasanya
juga mustahil. Tempat ini ada ribuan lie jauhnya dari
Tembok Besar itu. Apa yang mereka cari di daerah
ini?" gadis itu bertanya-tanya di dalam hatinya.
"Sogudai...! Kita tunda dulu persoalanmu ini. Kita
bicarakan lagi nanti setelah tugas di tempat ini selesai.
Untuk sementara kau boleh bergabung dengan
rombongan Hulungka yang sebentar lagi akan tiba di
sini." akhirnya suara dari dalam perahu itu memecah
keheningan.
"Terima kasih, Kongcu."
"Nah... itu dia! Hulungka telah datang! Kau g7
tetaplah di tempatmu!"
Siau In semakin berdebar-debar hatinya. Secara tak
sengaja ia berada di tempat yang sangat berbahaya, di
mana sebuah kekuatan rahasia yang amat
mencurigakan mengadakan pertemuan.
Tak lama kemudian dari tengah laut muncul tiga
buah sampan kecil merapat ke pantai. Setiap sampan
memuat tiga orang lelaki berseragam nelayan, lengkap
dengan jaring dan topi lebarnya. Salah seorang dari
mereka, yang bertubuh besar seperti halnya Sogudai,
segera meloncat turun dan berlari mendapatkan
Sogudai.
Namun sebelum orang itu menyapa Sogudai, orang
yang ada di dalam perahu itu sudah menegur lebih
dahulu. "Hulungka! Bagaimana dengan hasil
penyelidikkanmu? Apakah para pemenang sayembara 183
"Mengangkat Arca" dari lima kabupaten di sekitar
muara Sungai Yang-tse itu jadi dikumpulkan di
daerah ini?"
Nelayan bertubuh besar itu terkejut sekali, ia tak
bisa segera menjawab teguran tersebut.
"Kongcu berada di dalam perahu yang tertimbun
ilalang itu." Sogudai memberitahukan.
"Akh...! Maaf, Kongcu. Perhatian hamba cuma ke
Sogudai saja sehingga tidak tahu kalau Kongcu sudah
berada di tempat ini." Hulangka cepat-cepat
menjawab dan memberi hormat ke arah perahu itu.
"Lekas kau laporkan hasil penyelidikanmu itu!"
suara dari dalam perahu itu kembali menghardik. http:/6/darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
Hampir saja Siau In terpeleset di tempat
persembunyiannya. Suara itu tidak begitu keras,
namun terasa menggelegar di dalam rongga dadanya.
Untunglah ia segera mengerahkan sinkang-nya,
sehingga getaran suara tersebut dapat diredamnya.
"Orang yang dipanggil Kongcu ini sungguh hebat
sekali kepandaiannya. Rasanya tidak kalah dengan
Pemuda Nakal yang memberi malu kepadaku sore
tadi. Hmmmm, dunia persilatan memang benar-benar
menggetarkan. Kepandaian silat yang kupelajari dan
kubangga-banggakan selama ini ternyata belum apa-
apanya bila dibandingkan dengan mereka." gadis itu
berdecak kagum di dalam hati.
"Kongcu, seperti yang diperintahkan oleh Pendeta
Agung Ulan Kili, hamba beserta anak buah hamba
sudah menjelajah hampir seluruh kota aliran muara 184
Sungai Yang-tse. Hamba melihat dan mengikuti terus
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh anak buah
Au-yang Goanswe di daerah tersebut. Menurut
penglihatan hamba, rencana mereka tetap tak berubah.
Pemuda-pemuda itu tetap akan dikumpulkan lebih
dulu di tempat di sepanjang pantai ini. Sayang hamba
tak bisa memperoleh kepastian tempatnya...."
"Huh!" orang yang ada di dalam perahu itu
mendengus kesal. "Lalu, apa yang hendak kalian
lakukan selanjutnya?"
Hampir berbareng Hulungka dan Sogudai
mengangkat wajahnya. Keduanya tampak kaget dan
bingung.
"Aa-apa... maksud Kongcu?" akhirnya Hulungka
memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah kukatakan, apa rencana kalian selanjutnya?
Lekas kalian jawab!"
"Eh, anu... bukankah kita telah diperintahkan oleh
Panglima Solinga untuk menumpas mereka setelah
mereka berkumpul semuanya?" Hulungka menjawab
dengan gugup.
"Aku tidak sependapat!" tiba-tiba orang yang ada di
dalam perahu itu menggeram keras.
Tubuh Sogudai dan Hulungka yang besar itu
tersentak kaget. Mereka saling berpandangan.
"Maksud... maksud Kongcu?" Sogudai memohon
penjelasan.
"Aku tidak setuju dengan rencana Panglima
Solinga!" 185
"Jadi...?"
"Kita akan membantai para pemenang perlombaan
itu secepatnya, di manapun juga mereka pun kita
temukan! Tak perlu harus menunggu mereka
berkumpul!"
Hulungka dan Sogudai menjadi ketakutan. Wajah
mereka menjadi pucat. http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
"Tapi... tapi... Panglima Solinga telah dipercaya
oleh 'Seng-yu' untuk mvemimpin tugas rahasia ini."
dengan suara gemetar Hulungka mencoba untuk
memberi peringatan.
"Persetan dengan kepercayaan itu! Yang penting
kita harus berhasil dengan tugas kita ini! Seharusnya
Panglima Solinga berpikir dua kali untuk
mempercayai rencana Au-yang Goan-swe itu!" orang
di dalam perahu itu menggeram lagi dengan keras.
"Maksud Kong-cu...?" Hulungka bertanya.
"Orang Han terkenal akan kelicikan dan
kecerdikannya. Aku khawatir Au-yang Goan-swe
sengaja meniupkan berita palsu untuk menjebak
orang-orang yang hendak merintangi tugasnya.
Ingatlah! Au-yang Goanswe adalah seorang panglima
perang yang terkenal cerdik dan ahli bersiasat!"
"Oooh!" Hulungka tertegun seperti orang yang baru
saja terbangun dari tidurnya. Perkataan orang yang
ada di dalam perahu itu mulai mengusik hatinya.
"Seharusnya kita merasa heran atas rencana itu.
Cobalah kalian pikirkan. Kota An-king dan Wuhu di
Propinsi An-hwei, lalu kota-kota Nanking, Cin-kiang
186
dan Wu-shi di Propinsi Kiang-su. Kota-kota tersebut
lebih dekat jaraknya: dari kota raja daripada Hang-ciu
ini. Nah, mengapa anak buah Au-yang Goanswe itu
harus berpayah-payah membawa rombongan
pemenang sayembara itu ke sini kalau akhirnya
mereka harus dibawa kembali ke utara? Masuk
akalkah itu?"
"Ini... ini, eh... pendapat Kongcu rasanya betul
juga." akhirnya dengan suara lirih Hulungka
mengakui.
"Benar. Rasanya memang aneh. Mengapa mereka
tidak dikumpulkan di kota Nanking saja, sehingga
tidak bolak-balik membawanya?" Sogudai berdesah
pula dengan heran.
"Nah! Sekarang kalian berdua boleh memilih.
Menurut perintahku atau... tetap mengikuti rencana
Panglima Solinga! Lekas jawab!"
"Tapi... bagaimana dengan Panglima Solinga?"
Hulungka menjawab ragu.
"Jangan khawatir! Aku sendiri yang akan berbicara
dengan dia nanti." orang yang ada di dalam perahu itu
berkata tegas.
"Bagaimana dengan Seng-yu...?" Sogudai bertanya
pula.
"Jangan cerewet! Aku juga yang akan bertanggung
jawab jika Seng-yu marah! Nah... bagaimana?"
Sogudai dan Hulungka saling memandang sejenak,
kemudian mengangguk ke arah perahu. "Baiklah, 187
Kongcu. Kami berdua akan patuh pada perintah
Kongcu." keduanya menjawab berbareng.
"Bagus! Pilihan kalian memang tepat! Aku tidak
perlu tersusah payah memerintahkan Lok-kui-tin
(Barisan Enam Hantu) untuk mengambil nyawa http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
kalian..." orang di dalam perahu itu berkata dingin.
"Terima kasih, Kongcu." Hulungka dan Sogudai
cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di atas pasir.
Keringat dingin keluar membasahi punggung mereka.
Keringat dingin juga mengalir membasahi tubuh
Siau In di tempat persembunyiannya. Semakin banyak
gadis itu mendengarkan percakapan mereka, hatinya
semakin merasa ngeri. Dan di dalam hatinya gadis itu
juga menjadi semakin yakin, bahwa ia sedang
berhadapan dengan orang-orang asing. Orang-orang
dari suku bangsa Nomad yang berdiam jauh di utara.
Bahkan kalau ditilik dari nama maupun sebutan-
sebutan yang mereka pergunakan, mereka memang
benar-benar dari suku bangsa Hun.
"Apa yang hendak mereka lakukan di tempat yang
jauh ini? Mengapa mereka akan membunuh semua
pemenang perlombaan "Mengangkat Arca"? Mengapa
mereka sampai mengirimkan panglima pula? Ah...!
Aku tidak mengerti. Tentu... tentu ada sesuatu rencana
yang besar di balik semua ini. Aku... aku harus
melaporkannya kepada Suhu." berbagai macam
pertanyaan berkecamuk di dalam benak Siau In.
"Kongcu! Perahu besar itu sudah kelihatan!" 188
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, salah satu
dari keenam pengawal itu telah berada di samping
Hulungka. Ia mengenakan seragam merah-merah.
Kedatangan orang itu. tidak hanya mengagetkan
Siau In, tapi juga mengejutkan Sogudai dan
Hulungka. Menurut Siau In, gerakan orang
berseragam merah-merah itu sungguh sesuai sekali
dengan julukannya. Hantu! Tanpa diketahui
gerakannya dan dari mana ia datang, tahu-tahu ia telah
berdiri di .dekat Hulungka! Kecepatan geraknya rasa-
rasanya tidak jauh di bawah orang yang bersembunyi
di dalam perahu itu.
Sedangkan bagi Sogudai dan Hulungka sendiri, rasa
kaget itu lebih disebabkan karena tidak menyangka
bahwa mereka bisa bertemu muka secara langsung
dengan salah seorang Hantu Pengawal Raja yang amat
tersohor di negerinya. Soal kesaktian, Barisan Enam
Hantu itu memang sudah lama mereka ketahui,
apalagi sepak - terjangnya yang ganas, kejam, serta
penuh rahasia itu. Dan seperti halnya Siau In, diam-
diam hati merekapun merasa bergetar menyaksikan
kehebatan gin-kang hantu berseragam merah tersebut.
"Kata orang Hantu Merah ini adalah orang termuda
dari Barisan Hantu itu. Paling muda tapi kabarnya
paling ganas dan paling sulit diajak bersahabat. Hmm,
kalau yang termuda saja ginkangnya sudah demikian
tinggi, apalagi dengan yang lain-lainnya." diam-diam
Sogudai dan Hulungka berkata di dalam hatinya. 189
"Baik, Ang-kui (Hantu Merah)! Kau bersiaplah
bersama saudara-saudaramu! Kita tumpas rombongan
pemenang sayembara itu setelah mereka berkumpul di
atas perahu!" orang yang bersembunyi di dalam
perahu itu tiba-tiba memberi perintah.
"Baik, Kongcu!" Ang-kui menyahut lantang,
kemudian tubuhnya melesat pergi dengan cepatnya.
"Sogudai... Hulungka! Perahu besar yang dikirim
untuk mengangkut para pemenang sayembara itu telah
datang. Ternyata semuanya memang sesuai dengan
rencana. Kita basmi mereka setelah pemenang dari
kota Hang-ciu nanti datang. Hm, apakah kalian sudah
siap?" orang yang disebut Kongcu itu lalu
mengalihkan kata-katanya kepada Sogudai dan
Hulungka yang masih berdiri di tempat itu.
"Hamba juga sudah siap, Kongcu." Sogudai dan
Hulungka menjawab hampir berbareng.
"Bagus! Nah, Hulungka.... kauajak Sogudai
bersama anak buahmu untuk mengawasi perahu itu di
tengah laut! Awas, kalian harus benar-benar dapat
mempergunakan penyamaran kalian sebagai nelayan
dengan baik! Jangan sampai anak buah Au-yang
Goanswe curiga. Cepat kalian melapor kalau perahu
itu merubah haluan!"
Hulungka cepat membungkukkan tubuhnya,
kemudian menggandeng lengan Sogudai, menuju ke
sampan bersama anak buahnya. Sebentar saja sampan-
sampan itu telah dikayuh ke tengah laut kembali. 190
Siau In benar-benar memperoleh tempat
persembunyian yang bagus, yaitu di sebuah tumpukan
karang-karang besar yang berrongga di dalamnya,
sehingga dengan aman dan leluasa ia bisa mengawasi
keadaan di tepian itu tanpa diketahui oleh lawan-
lawannya.
Dan Siau In memang tidak menunggu terlalu lama.
Begitu sampan-
sampan tadi
hilang ditelan
kegelapan, dari
tengah laut
tampak sinar
lampu yang
semakin lama
semakin
membesar.
Keringat dingin
mulai membanjir
kembali di tubuh
gadis itu. Ia tak
segera bisa
memutuskan, apa
yang harus ia
perbuat untuk
menolong mereka.
"Kepandaian mereka rata-rata berada di atas
kepandaianku. Melawan mereka sendirian berarti
bunuh diri. Tapi kalau hanya melihat dan berdiam diri 191
saja di sini, rasanya juga salah. Aah... apa yang harus
kulakukan?"
Belum juga Siau In menemukan jalan keluar yang
baik untuk ia lakukan, telinganya telah mendengar
suara derak perahu dan lengkingan suara aba-aba di
kejauhan. Ketika Siau In melongok dari lobang
persembunyiannya, dilihatnya sebuah perahu besar
telah membuang sauh agak jauh dari garis pantai. Dua
buah lampu besar menerangi bagian haluan dan
buritannya. Dan Siau In segera melihat kesibukan
para penumpangnya.
Belasan orang .perajurit berseragam lengkap
bergegas menurunkan beberapa buah sampan kecil ke
dalam air. Kemudian satu persatu mereka turun
menaikinya. Sebuah sampan untuk tiga orang prajurit.
Mereka lalu menyebar di sekeliling perahu besar
tersebut untuk berjaga-jaga.
Seorang perwira tinggi berseragam indah
gemerlapan tampak keluar dari bilik perahu. Seperti
sedang kesal ia melangkah cepat ke atas anjungan.
Seorang lelaki berpakaian biasa tampak menempel
ketat di belakangnya.
"Heran! Kemana Lim Kok Liang dan Su Kiat Hong
ini? Mengapa mereka tidak menyambut kedatangan
kita?" Perwira itu menggerutu kesal.
"Mungkin ada sesuatu yang menghambat tugas
pekerjaan mereka, Ciangkun." lelaki berpakaian biasa
yang tidak lain adalah pengawal pribadi perwira itu 192
menjawab perlahan. "Jangan-jangan mereka juga kena
musibah pula seperti yang lain.,.,"
Perwira itu tidak berkata lagi. Dia hanya berdesah
panjang seraya naik ke tempat yang lebih tinggi lagi.
Matanya tajam mengawasi kegelapan malam. Tiba-
tiba wajahnya menjadi cerah. Ia melihat iring-iringan
manusia menuju ke tempat itu.
"Itu mereka datang...!" serunya lega. "Tampaknya
banyak juga anak yang di bawanya."
Siau In mengintip lagi dari celah-celah lobang
persembunyiannya. Di kejauhan, dari arah
perkampungan Ui-thian-cung, memang terlihat sebuah
iring-iringan panjang mendatangi. Setelah dekat gadis
itu segera mengernyitkan dahinya. Rombongan itu
terdiri dari sepuluh orang pemuda tanggung dan enam
orang pengiringnya.
Siau In memang tidak mengenal tiga orang
pengiring bersenjatakan golok di belakang barisan,
tapi ia mengenal tiga orang pengiring yang berjalan di
depan barisan. Dua orang di antaranya pernah
dilihatnya di dalam warung arak pagi tadi, sementara
yang seorang lagi adalah Tong Tai-su, yang baru saja
berkelahi dengannya.
Perwira tinggi yang berdiri di atas anjungan itu
segera memerintahkan anak buahnya untuk
menurunkan sampan lagi yang agak besar. Bersama
pengawal pribadinya ia lalu mendarat ke tepian.
"Selamat malam, Gui Ciang-kun...!" Lim Kok
Liang yang segera tiba pula bersama rombongannya, 193
menyapa sambil membungkukkan badannya. "Maaf,
kami datang terlambat. Ada keributan sedikit yang
mengganggu perjalanan kami."
"Keributan,..?" Gui Ciangkun berdesah kaget.
"Apakah rombonganmu juga diganggu orang-orang
dari Rimba Persilatan?"
Lim Kok Liang, Su Hiat Hong dan Tong Tai-su
saling berpandangan dengan mata terbelalak.
"Mengapa Ciang-kun berkata demikian? Apakah
"Ciang-kun sudah lebih dulu mengetahuinya?" Lim
Kok Liang bertanya.
"Hmm... benar, bukan? Nah, tadi aku hanya
menduga-duga saja, karena rombongan yang lain-lain
juga mengalami hal yang sama. Sampai sekarang
perahuku masih kosong, karena rombongan dari Sao-
hing yang dipimpin oleh Kwa Ciang-kun diserbu
penjahat di tengah jalan. Semuanya mati terbunuh^
kecuali Kwa Ciangkun, dia terluka parah dan kini ada
di dalam perahu. Kwa Ciangkun mengatakan, bahwa
selain rombongannya, rombongan Ong Ci Kin dari
kota Cia-sing juga telah disergap pengacau. Bahkan
Ong Ci Kin dan seluruh anak buahnya ikut terbunuh
pula."
"Gila...! Ternyata benar juga hasil penyelidikan
Tong Tai-su." Lim Kok Liang menggeram marah
sambil menoleh ke arah temannya yang berambut
panjang itu.
"Aku sudah memberi peringatan kepada Lim
Ciang-kun pagi tadi. Kita harus berhati-hati karena 194
ada sebuah kekuatan rahasia yang besar jumlahnya
sedang mengintai kita. Bahkan sekarang pun hatiku
merasa kurang enak, jangan-jangan tempat ini juga
telah mereka ketahui pula...." Tong Tai-su menyahut
dengan suara berat.
Diam-diam Siau In menjadi tegang sendiri.
Rombongan pemenang sayembara dari kota Hang-ciu
itu berkumpul tidak jauh dari tempat
persembunyiannya. Bahkan Tong Tai-su dan Lim Kok
Liang berdiri di dekat perahu yang ditimbuni ilalang
tadi. Dan di dalam ketegangannya itu Siau In hampir
saja berteriak memperingatkan mereka akan bahaya
yang sedang mengintai.
"Tai-su tak perlu khawatir. Hanya kalangan kita
sendiri saja yang mengetahui tempat ini." tiba-tiba
Gui Ciang-kun membesarkan hati Tong Tai-su.
"Tapi... kalau rahasia tempat ini memang sudah bocor
ke telinga mereka, kita pun tidak perlu takut. Aku
membawa tiga puluh enam prajurit pilihan untuk
melaksanakan tugasku ini."
Tong Tai-su menjura dengan hormatnya. Namun
sebelum pendeta berambut panjang itu mengutarakan
pendapatnya, sekonyong-konyong terdengar suara
orang tertawa dingin. Suara tersebut demikian
dekatnya sehingga semuanya merasa seolah-olah
orang yang sedang tertawa itu berada di antara
mereka.
"Hahahaha...! Hahaha...! Ciang-kun, kau jangan
terlalu menyombongkan prajurit-prajuritmu yang 195
tiada gunanya itu. Berpalinglah...! Coba kaulihat lagi
prajurit-prajurit kebanggaanmu itu! Adakah mereka
itu bisa diandalkan? Hahaha...!"
Otomatis semuanya berpaling ke perahu besar milik
Gui Ciang-kun. Dan semuanya segera terbelalak
kaget! Belasan prajurit yang tadi kelihatan di atas
geladak, kini tampak bergelimpangan di mana-mana.
Ada yang tergolek di atas anjungan, ada yang
terjungkal dt bawah tangga, dan ada pula yang
tersampir di pagar perahu. Semuanya telah meninggal.
Sedangkan sampan-sampan kecil tadi kini juga tidak
berpenumpang lagi. Penumpangnya telah pada
mengapung di dalam air. Mati.
"Haaah...???"
Semuanya menjerit kaget seolah tak percaya.
Mereka sama sekali tak mendengar suara apa-apa,
apalagi suara keributan ketika para perajurit itu
mendapatkan serangan. Para perajurit itu seperti
dengan mendadak mati sendiri secara berbareng.
"Gui Ciang-kun...?" Lim Kok Liang berseru dengan
suara serak.
"Kok Liang...? Ini...?" Gui Ciang-kun berdesah
pula dengan suara lirih.
"Hahaha, bagaimana Gui Ciang-kun? Benar,
bukan? Prajuritmu itu sama sekali tak berguna.
Mereka mati tanpa sedikit pun berkesempatan
menggerakkan senjatanya. Dan sebentar lagi engkau
dan kawan-kawanmu ini akan bernasib sama pula 196
seperti mereka. Hahihihaa... bersiap-siaplah!" suara
itu kembali menggema di telinga mereka.
Otomatis semuanya saling mendekatkan diri
membentuk lingkaran. Gui Ciang kun dan
pengawalnya, Lim Kok Liang, Su Hiat liong, Tong
Tai-su, serta tiga orang bersenjata golok yang dibawa
oleh Lim Kok Liang. Masing-masing telah
menggenggam senjata andalan mereka sendiri. Lim
Kok Liang dan Su Hiat Hong memegang pedang,
sedangkan Tong Tai-su juga telah mengeluarkan,
tasbehnya.
"Kok Liang! Apakah, orang ini yang mengganggu
perjalananmu?" dalam ketegangannya Gui Ciang-kun
masih sempat berbisik kepada Lim Kok Liang.
"Entahlah. Dia belum memperlihatkan batang
hidungnya...."
Sementara itu pemuda-pemuda pemenang
sayembara itu. menjadi ketakutan setengah mati,
termasuk pula A Liong di dalamnya. Hati yang
semula diliputi kebanggaan dan kegembiraan itu tiba-
tiba kini berubah menjadi ngeri dan ketakutan yang
amat sangat. Bahkan beberapa orang di antara mereka
telah menjadi lemas dan pingsan, sementara yang lain
seperti memperoleh kekuatan untuk lari dari tempat
tersebut.
Namun langkah mereka segera terhenti ketika enam
orang berseragam warna-warni sekonyong-konyong
muncul dari dalam kegelapan menghalangi mereka. 197
"Tolong! Tolong...!" mereka menjerit-jerit
ketakutan.
"Lok-kui-tin, bunuh mereka!" suara tanpa wujud itu
tiba-tiba memberi perintah.
"Jangan! Jangan bunuh aku...!" A Liong yang
berdiri di antara pemuda-pemuda itu merintih
ketakutan.
Tapi rintihan itu segera terbenam dalam teriakan
dan jeritan ngeri teman-temannya. Tubuhnya dan juga
tubuh kawan-kawannya sekonyong-konyong seperti
dihantam oleh badai yang maha dahsyat sehingga
terlempar ke sana ke mari. Dan tubuh A Liong
bersama dua orang temannya secara kebetulan
membentur batu karang di mana Siau In bersembunyi.
Semuanya berlangsung dengan cepat sehingga Gui
Ciangkun dan Lim Kok Liang terlambat memberi
pertolongan. Pemuda-pemuda itu telah terlanjur mati
dengan mengenaskan.
"Bunuh juga yang pingsan itu! Jangan biarkan
seorang pun lolos!" suara tanpa ujud itu kembali
memberi perintah lagi.
Keenam Hantu itu cepat menghampiri pemuda-
pemuda yang pingsan tadi. Tapi sebelum mereka
melepaskan serangan, Lim Kok Liang lebih dulu
berteriak.
"Tunggu...! Jangan bunuh mereka!"
Lim Kok Liang cepat melesat ke depan Lok-kui-tin,
kemudian diikuti pula oleh teman-temannya yang lain. 198
"Kalian ini sebenarnya siapa? Mengapa
membunuhi orang-orang yang tak berdosa?" Lim Kok
Liang menggeram penasaran.
"Bagaimana, Kok Liang? Benarkah mereka yang
telah mengganggu perjalananmu tadi?" Gui Ciangkun
yang telah berada di samping Lim Kok Liang berbisik
pelan.
Lim Kok Liang menghembuskan napasnya kuat-
kuat. "Bukan, Ciangkun. Orang yang mengganggu
kami tadi adalah anak murid aliran Beng-kau. Orang-
orang ini kelihatannya bukan dari aliran itu."
jawabnya kemudian dengan nada geram.
"Kalau begitu mereka ini tentulah kawanan
penjahat yang telah mencegat dan membasmi
rombongan Ong Ci Kin dan Kwa Sing." Gui Ciang-
kun menggeram pula.
"Hahaha... dugaan Ciangkun memang tidak salah.
Memang kamilah yang telah menumpas seluruh http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
rombongan Ong Ciangkun dan Kwa Ciangkun. Dan
kami memang sengaja tidak membunuh mati Kwa
Ciangkun, agar kami bisa bertemu dengan rombongan
Gui Ciangkun, hehehee ..." suara tanpa ujud itu
kembali menertawakan kebodohan Gui Ciangkun.
"Kurang ajar...! Keluarlah kau! Dan... katakanlah
siapakah kalian ini sebenarnya? Mengapa kalian
membunuhi petugas-petugas kerajaan? Apakah
engkau ingin memberontak terhadap kerajaan?" Gui
Ciangkun berteriak lantang. 199
Tak terduga teriakan Gui Ciangkun itu disambut
dengan ketawa dingin oleh lawannya. Bahkan orang
itu kemudian menjawab dengan suara yang amat
menghina.
"Persetan dengan kerajaanmu! Kami orang-orang
Hun sama sekali tidak takut terhadap rajamu!"
"Ooooh?!?"
Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Tai-su
saling pandang dengan wajah kaget. Mereka sama
sekali tak menyangka bila lawan mereka itu ternyata
adalah orang-orang dari suku bangsa Hun di luar
Tembok Besar.
"Jadi kalian ini orang-orangnya Mo Tan? Tapi...
mengapa kalian sampai ke tempat yang jauh ini dan
membunuhi pemuda-pemuda yang hendak kami bawa
ke kota raja?" Tong Taisu yang sejak tadi belum
mengeluarkan suara tiba-tiba berseru keras.
"Karena kami benci terhadap Liu Pang dan
keluarganya!" orang yang belum mau menampakkan
diri itu menggeram dengan nada berang.
Sekali lagi Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan
Tong Taisu saling pandang dengan dahi berkerut.
"Benci dengan keluarga Kaisar? Mengapa? Dan ...
kalau kalian memang membenci keluarga Kaisar
kami, mengapa kalian justru membunuhi orang-orang
tak berdosa seperti pemuda-pemuda itu?" Lim Kok
Liang cepat menyela.
Tapi orang itu tampaknya menjadi kesal karena
diajak omong terus-menerus. 200
"Kurang ajar! Kenapa kalian masih berpura-pura
juga? Apa bedanya kami dengan kalian, heh?
Perempuan junjungan kalian itu (Permaisuri Li Liong
Hui) mengumpulkan anak-anak muda ini juga untuk
dibunuh pula! Apa bedanya...? Bukankah perbuatanku
ini justru membantu niatnya itu?" katanya berapi-api.
"Fitnah! Kau omong sembarangan Kau...?" Lim
Kok Liang berteriak pula dengan marah;
"Bagus! Kini kalian menjadi marah setelah
ketahuan belangnya! Tapi aku malah menjadi senang
melihatnya! Kalian akan mampus dengan hati
penasaran Hahahahahihihi...!" suara orang itu berubah
menjadi gembira sekali sekarang.
"Bangsat ! pengecut, keluarlah kau! Marilah kita
bertempur sampai mati!" Lim Kok Liang berteriak
garang. http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
"Tidak perlu! Para pengawalku itu sudah lebih dari
cukup untuk mengantarkan nyawamu ke akherat!
Lok-kui-tin, bunuh mereka pula! Cepaaaat!"
Enam Hantu itu tiba-tiba menggeram. Bersama-
sama mereka menerjang rombongan Gui Ciang-kun.
Dari telapak tangan mereka segera menghembus
angin dingin yang mendahului langkah mereka.
Wuuuuushh! Dan tiba-tiba saja Gui Ciangkun
bersama teman-temannya merasa seperti diterjang
oleh air yang maha dahsyat!
"Aaah...!"
Semuanya menjadi gelagapan seperti anak ayam
tercebur di kolam. Dan otomatis masing-masing 201
berusaha menyelamatkan diri mereka dengan cara
mereka sendiri-sendiri. Gui Ciangkun bersama
pengawalnya segera menjatuhkan diri ke pasir dan
berguling-guling menjauhi arena. Sedangkan Lim
Kok Liang dan Su Hiat Hong cepat-cepat
menjejakkan kaki mereka ke tanah dan berjumpalitan
ke belakang. Hanya tiga orang kawan Lim Kok Liang
yang bersenjatakan golok itu saja yang berusaha
melawan hembusan angin dahsyat itu dengan
kekuatan mereka. Masing-masing memutar golok
mereka di depan dada, kemudian dengan nekad
menerjang ke depan menyerang lawan.
Namun apa yang dilakukan oleh jago-jago silat
kerajaan itu tetap sia-sia juga. Kepandaian Enam
Hantu dari luar Tembok Besar itu benar-benar jauh
dari jangkauan kepandaian mereka. Tanpa
mengendorkan langkah masing-masing, barisan Hantu
itu tiba-tiba memecah barisannya. Dua orang bergeser
ke kiri dan ke kanan menghindari terjangan tiga orang
bergolok itu, untuk kemudian meneruskan langkah
mereka memburu Gui Ciangkun dan pengawalnya.
Dua orang lagi segera melesat tinggi ke .udara,
melewati kepala tiga orang bergolok tadi, untuk
menangkap Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong.
Sedangkan sisanya, yang dua orang, tetap
menyongsong kedatangan tiga orang bergolok itu
dengan tangan kosong.
"Sisakan salah seorang, dari mereka untuk memberi
laporan kepada Auyang Goanswe!" pimpinan orang 202
orang Hun itu tiba-tiba berseru lagi memperingatkan
pengawal-pengawalnya.
Sementara itu di'tempat persembunyiannya Tio
Siau In belum juga bisa menemukan jalan terbaik
yang seharusnya ia lakukan. Sebenarnya dengan
kedatangan Tong Tai-su di antara para pengawal-
pemenang perlombaan tersebut telah membuat gadis
itu menjadi lega. Tapi, ketika pada gebrakan pertama
tadi pendeta lihai itu sama sekali tak mampu
mencegah atau menghalangi Lok-kui-tin membunuhi
korban-korbannya, hati Siau In. menjadi goyah lagi.
Bahkan akhirnya gadis itu merasa yakin bahwa Tong
Tai-su takkan bisa menyelamatkan orang-orang yang
dilindunginya.
Dengan perasaan sedih dan kasihan Tio Siau In
menatap tiga sosok mayat pemuda-pemuda tak
berdosa yang berserakan di depan lobang
persembunyiannya. Pakaian yang menempel di badan
mayat-mayat itu nyaris hancur terkena pukulan tenaga
sakti gabungan dari Lok-kui-tin.
Kulit tubuh mereka tampak kehitam-hitaman
seperti bekas tersiram air panas.
Mendadak mata Tio Siau In terbelalak! Secara tak
sengaja dan tak terduga mata gadis itu melihat gambar
tatto naga di pangkal lengan salah satu dari tiga mayat
itu. Dan pikiran gadis itu segera melayang pada pesan
gurunya, bahwa ia dan kakak-kakak seperguruannya
ditugaskan untuk mencari seorang pemuda yang
memiliki gambar tatto di tubuhnya.
203
Sejenak Tio Siau In terpaku diam di tempatnya.
Betulkah pemuda ini yang dikehendaki oleh gurunya
itu? Kalau memang benar, lalu apa yang harus ia
kerjakan? Masakan ia harus membawa mayat itu ke
hadapan gurunya?
Tak terasa tangan Siau In terulur ke luar untuk
meraih mayat bertatto naga itu, seolah-olah ia ingin
meyakinkan sekali lagi bahwa orang itu telah mati.
Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain,
terpaksa Siau In menggeser mayat yang lain itu
terlebih dahulu.
Tapi sekail lagi mata Siau In terbeliak lebar! Untuk
yang kedua kalinya gadis itu melihat gambar tatto
naga pada tubuh mayat yang lain tersebut. Hanya
bedanya pada mayat yang pertama tadi gambar itu
berada di pangkal lengan, dan cuma berwujud sebuah
kepala naga yang sedang menganga, sementara pada
mayat yang kedua gambar naga itu berada di tengah-
tengah dada dan lebih lengkap bentuknya. Bahkan
gambar pada mayat yang ke dua itu terdiri dari dua
ekor naga yang saling membelit satu sama lain.
Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In
mencoba memperhatikan mayat yang ke tiga, yang
tergolek miring membelakangi lobang
persembunyiannya. Seperti mayat-mayat yang lain
mayat itu juga hampir telanjang sama sekali. Hanya
ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih
tersisa di badannya. 203
Sejenak Tio Siau In terpaku diam di tempatnya.
Betulkah pemuda ini yang dikehendaki oleh gurunya
itu? Kalau memang benar, lalu apa yang harus ia
kerjakan? Masakan ia harus membawa mayat itu ke
hadapan gurunya?
Tak terasa tangan Siau In terulur ke luar untuk
meraih mayat bertatto naga itu, seolah-olah ia ingin
meyakinkan sekali lagi bahwa orang itu telah mati.
Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain,
terpaksa Siau In menggeser mayat yang lain itu
terlebih dahulu.
Tapi sekail lagi mata Siau In terbeliak lebar! Untuk
yang kedua kalinya gadis itu melihat gambar tatto
naga pada tubuh mayat yang lain tersebut. Hanya
bedanya pada mayat yang pertama tadi gambar itu
berada di pangkal lengan, dan cuma berwujud sebuah
kepala naga yang sedang menganga, sementara pada
mayat yang kedua gambar naga itu berada di tengah-
tengah dada dan lebih lengkap bentuknya. Bahkan
gambar pada mayat yang ke dua itu terdiri dari dua
ekor naga yang saling membelit satu sama lain.
Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In
mencoba memperhatikan mayat yang ke tiga, yang
tergolek miring membelakangi lobang
persembunyiannya. Seperti mayat-mayat yang lain
mayat itu juga hampir telanjang sama sekali. Hanya
ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih
tersisa di badannya. 204
"Hmmmmm... jangan-jangan mayat itu juga
memiliki gambar tatto naga di tubuhnya." gadis itu
menduga-duga.
Tangan Siau In sedikit gemetar meraih tubuh mayat
yang ke tiga itu, lalu disentakkannya sehingga
terlentang. Dan ... benar juga dugaannya! Mayat yang
berdada bidang itu mempunyai gambar tatto naga pula
di atas dada yang sebelah kanan. Tidak begitu besar,
cuma sebesar jari tangan orang dewasa, tapi digores
dengan coretan yang kuat dan bagus sekali, sehingga
gambar naga itu tampak garang dan hidup.
"Nah, apa kataku? Banyak sekali orang yang
menggambari tubuhnya dengan lukisan naga di dunia
ini. Lalu bagaimana aku bisa menentukan orangnya
yang dikehendaki oleh Suhu?" gadis itu berkata di
dalam hatinya.
Beberapa saat lamanya Tio Siau In tercenung diam
memikirkan masalah yang dihadapinya. Kemarin
gadis itu masih merasa sulit untuk bisa melaksanakan
perintah gurunya. Namun sekarang sekali bertemu ia
malah bisa mendapatkan sekaligus tiga orang yang
memiliki gambar tatto naga di badannya, sehingga ia
justru menjadi bingung karenanya.
Dan sebuah bayangan yang mengerikan tiba-tiba
melintas di benak Tio Siau In. Mengapa tiga di antara
sepuluh orang pemenang perlombaan Mengangkat
Arca itu secara kebetulan memiliki gambar tatto naga
di badannya? Masakan semuanya itu cuma kebetulan
saja? Jangan-jangan para pemenang perlombaan yang 205
lain itu juga memiliki gambar tatto naga pula? Kalau
memang demikian halnya, persoalan pemuda bertatto
naga ini tampaknya memang bukan persoalan kecil.
Tentu ada sebuah misteri besar di balik semuanya ini.
Otomatis Tio Siau In teringat kembali akan kata-
kata Lo-jin-ong yang disampaikan melalui gurunya,
bahwa suatu saat seorang laki-laki bertatto naga akan
mengharumkan nama Aliran Im-yang-kau di
kemudian hari.
"Hemm, apakah para pejabat kerajaan juga sedang
mencari laki-laki bertato naga itu karena dia juga
dianggap bisa mengharumkan nama negeri ini? Lalu...
bagaimana dengan orang-orang Hun yang membunuhi
para rombongan pemenang perlombaan Mengangkat
Arca ini?
Apakah mereka juga mencari laki-laki bertatto naga
itu untuk dimusnahkan agar tidak membahayakan
negeri mereka di kelak kemudian hari?" bermacam-
macam pikiran dan dugaan memenuhi kepala lio Siau
In.
Untuk membuktikan dugaannya gadis itu mencoba
mencari mayat pemuda pemenang perlombaan yang
lain. Akan tetapi ketika tangannya terjulur keluar
hendak meraih mayat yang berada agak jauh dari
lobang persembunyiannya, mendadak telinganya
mendengar suara keluhan.
Tio Siau In terkejut. Salah seorang dari tiga sosok
mayat tadi ternyata belum mati. Mayat berdada 206
bidang dengan gambar naga yang indah dan hidup itu
tampak berusaha menggerak-gerakkan tangannya.
"Hei, pemuda itu belum mati. Sungguh
mengherankan sekali. Tampaknya pukulan dahsyat
Enam Hantu tadi tidak benar-benar telak mengenai
tubuhnya. Aku harus menolongnya. Biarlah ia kuseret
ke dalam lobang ini agar tidak terlihat oleh
pembunuh-pembunuh itu."
Dengan hati-hati Tio Siang In menarik tubuh
pemuda yang masih hidup itu ke dalam lobang
persembunyiannya. Dan bertepatan dengan masuknya
tubuh tersebut ke dalam lobang, di arena pertempuran
terdengar jeritan ngeri saling susul menyusul. Enam
orang Hantu itu tampaknya telah merampungkan
tugasnya, membunuh mati semua lawannya.
Tempat itu menjadi lengang kembali. Tio Siau In
tidak berani bergerak. Angin malam yang berhembus
dari laut membawa butiran-butiran air bercampur
embun. Demikian dingin udaranya sehingga bulan
tipis yang tergantung di langit seperti terburu-buru
menyurukkan diri ke dalam pelukan awan. Malam
semakin menjadi gelap gulita.
Tio Siau In semakin menjadi ketakutan pula di
dalam lobang persembunyiannya. Sama sekali tidak
berani bergerak atau beringsut, apalagi berusaha
mengintip keadaan di luar. Gadis itu hanya bisa
membayangkan bahwa para petugas kerajaan itu tentu
telah bergelimpangan menjadi mayat, bercampur 207
dengan mayat-mayat para pemenang perlombaan
Mengangkat Arca.
Akan tetapi betapa kagetnya Tio Siau In ketika
terdengar suara geraman orang yang bersembunyi di
dalam perahu itu,
"Siapakah kalian..., he? Berani benar menghalangi
orang-orangku! Apakah kalian sudah bosan hidup?"
"Ada orang yang menghalang-halangi? Siapa...?"
Tio Siau In berdesah tak percaya. Hampir saja
kepalanya melongok ke luar, tapi segera ditariknya
kembali. Takut.
"Biarlah kami yang membereskannya, Kongcu. Tak
perlu Kongcu mengotori tangan untuk membunuh dua
orang tua ini." Ang-kui yang pernah didengar
suaranya oleh Tio Siau In tadi menggeram.
"Benar, Kongcu. Mereka telah menghalangi niat
kami untuk mencabut nyawa para anjing Kaisar Han
itu. Mereka harus dilumatkan untuk
mempertanggung-jawabkan kelancangannya ...!" Pek-
kui Si Hantu Putih, yang tertua di antara Hantu-hantu
itu, berseru keras.
Hening sejenak. Kemudian terdengar suara napas
ditarik, panjang sekali.
"Maafkan kami.... Kami tak bermaksud
mencampuri urusan Tuan. Bukankah kami belum
mengenal Tuan-tuan semua? Kami hanya ingin
mencegah pertumpahan darah yang tak berguna ini."
terdengar suara serak. 208
"Kurang. ajar...! Enak saja berbicara! Siapa bilang
pertumpahan darah ini tak berguna? Mereka adalah
begundal-begundal Kaisar Han, dan keluarga kami
adalah musuh bebuyutan Kaisar itu! Nah, sudah
selayaknyalah kalau kami membasmi mereka!" orang
yang bersembunyi di dalam perahu itu membentak.
"Oooh, jadi Tuan-tuan ini bermusuhan dengan
mendiang Kaisar Liu Pang? Tetapi... mengapa Tuan
tidak berhadapan langsung saja dengan keluarganya?
Mengapa Tuan membunuhi orang-orangnya yang tak
tahu permusuhan itu?" tiba-tiba terdengar suara lain
yang membuat kaget Tio Siau In di tempat
persembunyiannya.
"Suhu...?!?" gadis itu hampir saja bersorak di dalam
hati.
Tio Siau In cepat-cepat melongokkan kepalanya ke
luar. Memang benar." Dilihatnya gurunya, Giam Pit
Seng, dengan tenang dan gagah berdiri tak jauh dari
perahu orang Hun itu. Di dekatnya berdiri Lo-jin-ong,
seorang kakek yang benar-benar sudah sangat tua,
sehingga tubuhnya, yang renta itu telah condong ke
depan seolah-olah tulang punggungnya sudah tak
kuasa lagi menyangganya. Sebatang tongkat
terpegang di tangan kirinya untuk menopang agar
tubuh reyot itu tidak tersungkur ke depan. Rambutnya
yang tipis berwarna putih meletak itu digelung ke atas
seperti layaknya seorang pendeta, sementara
jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu
dibiarkan melambai-lambai ditiup angin pantai. 209
Dua orang tua itu telah dikepung oleh Lok-kui-tin,
sementara di belakang mereka berdiri menggerombol
rombongan Lim Kok Liang dan Gui Ciangkun. Para
abdi kerajaan itu tampak pucat kesakitan menahan
luka dalam yang parah akibat gempuran Lok-kui-tin
tadi. Bahkan Gui Ciangkun dan Su Hiat Hong yang
memiliki ilmu silat paling rendah di antara mereka
tampak menggeletak diam di atas pasir. Gui Ciangkun
masih tampak bergerak-gerak dalam rangkulan
pengawalnya, sementara Su Hiat Hong diam tak
bergerak seolah sudah mati.
Tiba-tiba terdengar suara mendengus dari dalam
perahu, dan mendadak pula Tio Siau ln melihat
sesosok bayangan berdiri di atas atap perahu tersebut.
Bayangan itu mengenakan baju berlengan pendek
yang ditutup oleh kulit rusa berbulu tebal. Rambutnya
yang gemuk hitam itu sebagian digelung ke atas dan
yang sebagian lagi dibiarkan terurai di atas bahunya.
Tiga butir mutiara berwarna merah, kuning, hijau,
tampak gemerlapan di atas tali pengikat rambutnya.
Cara berpakaian orang itu tampak sedikit aneh dan
tak seperti layaknya orang Han. Namun dari bahan-
bahan yang dikenakan segera bisa diduga bahwa
orang itu bukanlah orang kebanyakan. Apalagi bila
dilihat sarung pedang yang tergantung di
pinggangnya. Sarung pedang itu tersalut emas serta
ditaburi perhiasan dari batu mulia yang mahal
harganya. Di dalam kegelapan sarung pedang itu 210
tampak gemerlapan seperti halnya tiga buah mutiara
yang terikat di atas rambutnya.
"Hei, Orang tua...! Enak saja kau bicara! Kalau
keluarga kaisarmu itu tidak selalu bersembunyi di
balik tembok istana yang dijaga oleh ribuan
pengawalnya, tentu telah kuhabisi dulu-dulu."
bayangan itu menggeram ke arah Giam Pit Seng.
"Ah, kukira mereka tidak bersembunyi. Sejak
dahulu keluarga raja atau kaisar memang tinggal di
dalam tembok istana yang kuat dan dijaga para
pengawal. Kalau Tuan memang berniat membuat
perhitungan dengan mereka, hmmm... mengapa Tuan
tidak menggempur saja tembok itu?" guru Tio Siau In
itu menjawab seolah tak tahu akan bahaya yang bisa
menimpanya.
"Kurang ajar....!" bayangan itu berseru marah.
Kemudian seperti kilat menyambar tubuh orang itu
melesat ke arah Giam Pit Seng. Demikian cepatnya
sehingga bayangannya saja hampir tak dapat diikuti
oleh mata Tio Siau ln. Hanya gemerlapannya mutiara
dan permata di sarung pedang orang itu yang
membantu mata Tio Siau In untuk melihatnya.
"Suhu...." gadis itu berdesah khawatir di dalam
hatinya.
"Pit Seng, awaaaas...!" Orang tua bongkok di
samping Giam Pit Seng itu berdesah dengan suara
khawatir pula. Tongkat yang ada di tangan kirinya
tiba-tiba beralih ke tangan kanan.
211
"Baik, Lo-jin-ong!" Ketua cabang Aliran Im-yang-
kau yang kenyang asam garam pertempuran itu
menyahut keras sambil bergegas merogoh sepasang
pit atau pena yang menjadi senjata andalannya.
Akan tetapi gerakan orang itu benar-benar cepat
dan dahsyat tiada terkira, sehingga Giam Pit Seng
terbelalak seolah tak percaya. Belum juga senjatanya
siap di tangan, badai serangan itu keburu tiba.
Cepatnya bukan
main.
Traaaaaang!
Traaaaaang...!
Untunglah
orang tua
bongkok yang
disebut Lo-jin-
ong itu cepat
membantunya.
Ujung tongkat
yang telah
berpindah ke
tangan kanan
orang tua itu
tiba-tiba
melambung ke
atas, memotong
badai serangan
yang lewat di depannya. Benturan keras seperti
layaknya dua bilah pedang baja berdentang 212
memekakkan telinga ketika ujung tongkat itu beradu
dengan lengan Si Penyerang. Namun; demikian
bantuan tersebut ternyata tidak sepenuhnya bisa
menyelamatkan Giam Pit Seng. Lengan Si Penyerang
yang lain ternyata masih terjulur menyambar ke dada
Giam Pit Seng.
Namun hambatan yang cuma sedetik dari tongkat
Lo-jin-ong itu telah banyak artinya buat Giam Pit
Seng. Meski tergesa-gesa dan belum bisa bersiap
sepenuhnya, tapi setidak-tidaknya salah sebuah pitnya
telah terpegang di depan dadanya. Sehingga pada saat
serangan lawan tiba, pit itu sempat menangkis,
meskipun akhirnya harus terlepas dari pegangannya.
Ketika kemudian Lo-jin-ong dan Giam Pit Seng
meloncat mundur untuk bersiap sedia, bayangan yang
menyerang mereka itu telah kembali bertengger di
atas perahu.
"B-bu-bukan main!" Giam Pit Seng berdesah
dengan suara bergetar. Telapak tangannya yang
memegang pit tadi tampak terkelupas mengeluarkan
darah.
"Memang hebat sekali! Sungguh tak kusangka!
Usianya masih begitu muda, tapi ginkangnya dan lwe-
kangnya hampir^ hampir telah mencapai
kesempurnaan! Sungguh berbahaya...!" Lo-jin-ong
mengangguk-angguk sambil mengawasi ujung
tongkatnya yang somplak.
Sementara itu Lok-kui-tin telah mengepung
mereka, siap untuk menerjang. 213
"Lok-kui-tin, hati-hati dengan orang tua bongkok
itu! Kulit dan tulang-tulangnya ternyata masih alot
sekali." orang yang ada di atas perahu itu
memperingatkan pengawal-pengawalnya. "Kalian
bertiga atau berempat baru akan bisa
menghadapinya...."
"Kongcu...? Keenam orang yang tergabung dalam
barisan Hantu itu berdesah seperti orang penasaran.
Mereka yang selama ini ditakuti orang dan hampir tak
pernah menemukan lawan yang bisa menandingi ilmu
mereka tentu saja takkan percaya kalau orang tua
jompo itu harus dikeroyok tiga atau empat. Masa
orang tua itu memiliki kesaktian melebihi guru
mereka?
Tampaknya orang yang berada di atas perahu itu
merasakan keragu-raguan pengawalnya.
"Jangan bertindak bodoh! Lakukan seperti yang
kuperintahkan, nanti kalian akan mengerti! Nah, Pek-
kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui... kalian berempat
menghadapi orang tua bongkok itu! Gi-kui kau
melanjutkan pekerjaan kalian yang tertunda tadi!
Dan... Ang-kui, kau membereskan orang tua
bersenjata pit itu! Dia sebenarnya tidak ada apa-
apanya. Paling paling dia cuma mampu bertahan lima
jurus menghadapimu! Kakek bongkok itulah yang
berbahaya...!"
Meskipun masih merasa penasaran, tapi Keenam
Hantu itu tak berani membantah lagi. Mereka segera
membagi diri untuk melaksanakan perintah itu. 214
Namun ketika mereka telah siap untuk bergerak, tiba-
tiba orang di atas perahu itu berseru lagi. Tapi tidak
kepada mereka. Orang itu mengacungkan jari
telunjuknya ke arah batu karang besar di mana Tio
Siau ln bersembunyi. "Kau siapa...?"
Lemas seluruh sendi-sendi tulang Tio Siau In.
Walaupun ia merasa tak menimbulkan suara gerakan
yang membuat dirinya diketahui lawan, tapi
tampaknya orang lihai itu telah mengetahui
persembunyiannya. Dengan wajah pucat dan tubuh
gemetaran Tio Siau In mengusap keringat dingin yang
membanjiri dahi dan lehernya.
"Cepat katakan! Siapakah kau...?" orang di atas
perahu itu membentak lagi.
Hampir saja Tio Siau In menjawab serta keluar dari
lobang persembunyiannya ketika tiba-tiba di atas batu,
karang itu terdengar suara jawaban yang amat
dikenalnya. Suara kakek gila, saudara seperguruan Si
Pemuda nakal yang dibencinya itu!
"Ho-ho-ho-ha-ha-ha...! Sungguh penasaran!
Penasaran...! Hei, Bocah Tampan kenapa kau
melupakan aku di sini? Semuanya kauberi lawan
bertanding, tapi... kenapa aku belum, hah? Lalu...
dengan siapa aku harus berkelahi? Apakah ...
apakah... ohh, ya... tahu aku sekarang, he-he-he-he!
Tampaknya kau sendiri yang hendak bertarung
denganku! Bagus! Bagus...! Ho-ho-ho-ha-ha-ha-ha!"
Tio Siau In tidak jadi keluar dari lobang
persembunyiannya. Entah mengapa, ada perasaan lega 215
di hatinya. Ternyata bukan dirinya yang dimaksud
oleh orang di atas perahu itu. Walaupun di dalam hati
ia juga merasa kaget karena ia tak tahu, sejak kapan
kakek gila itu bertengger di atas batu karang
persembunyiannya.
Di lain pihak kemunculan Put-pai-siu Hong-jin itu
juga amat melegakan hati Lo-jin-ong dan Giam Pit
Seng. Bagaimanapun juga kedua tokoh Aliran Im-
yang-kau itu tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa mereka menghadapi lawan yang amat berat,
sehingga kedatangan Put-pai-siu Hong-jin itu benar-
benar menambah semangat mereka.
"Iblis gila! Siapakah kau...? Lekas katakan!" orang
yang berdiri di atas perahu itu menghardik lagi.
"Percuma saja kau bicara apabila dia sedang sinting
seperti itu. Dia adalah Put-pai-siu Hong-jin dari aliran
Beng-kau, heh-heh...." Lo-jin-ong cepat-cepat
menyela perkataan lawannya.
"Put-pai-siu Hong-jin? Huh, aku belum pernah
mendengarnya." orang yang berdiri di atas perahu itu
mendengus dingin.
"Bagus! Bagus! Kau memang tidak perlu mengenal
nama itu! Aku pun benci kepadanya! Hahaha-
heheh...! Buat apa mengingat-ingat nama? Hanya
membuang waktu saja! Lebih baik berkelahi! He-he...
itu baru asyik! Ayoh!" Si Gila dari Beng-kau itu tiba-
tiba berteriak kegirangan, kemudian meloncat turun
mendekati perahu. Gerakannya ketika melayang turun
dari atas batu karang berkesan santai dan ogah 216
ogahan, bahkan seperti anak kecil yang sedang main
lompat tali saja. Tapi semuanya menjadi kaget dan
tercengang keheranan ketika tubuh Si Gila itu tidak
segera jatuh ke pasir, namun melayang-layang lebih
dulu ke kanan kiri, bagaikan daun kering yang terbang
tertiup angin. Jatuhnya pun tidak di atas kaki, tapi
menggelepar di atas punggungnya.
"Gila! Bocah itu memang semakin gila...!" Lo-jin-
ong berdecak kagum menyaksikan peragaan ilmu
mengentengkan tubuh yang tiada tara itu.
"Ginkangnya benar-benar telah mencapai
kesempurnaan, sehingga tubuhnya menjadi seringan
kapas." Giam Pit Seng berdesah pula dengan
kagumnya.
Ternyata demonstrasi gin-kang Put-pai-siu Hong-
jin itu membuat keder juga di hati lawannya. Selama
ini, orang yang bertengger di atas perahu itu merasa,
bahwa ginkangnya tak ada yang bisa mengalahkan
selain gurunya, Pendeta Ulah Kili. Namun di tepi
pantai yang sepi ini ternyata ada seorang kakek gila,
yang ginkangnya bisa dikatakan setingkat dengan
gurunya.
"Hei! Kenapa masih diam saja di situ? Ayoh, cepat
kita berkelahi! Tangan dan kakiku sudah tak bisa
dikendalikan lagi! Mereka segera ingin berantem!"
Put-pai-siu Hong-jin yang sudah berdiri di dekat
perahu itu berseru keras.
"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu melayang
di tempat ini! Lihat pukulan...!" Orang yang 217
bertengger di atas perahu itu menyambar turun ke
arah Put-pai-siu Hong-jin.
"Ho-ho-ha-ha...! Sekali-sekali aku memang ingin
merasakan... bagaimana rasanya nyawaku ini keluar
sedikit demi sedikit dari dalam tubuhku, hehehe!
Kubiarkan dulu dia merangkak sampai ke ubun-ubun,
setelah itu cepat-cepat kutarik lagi ke dalam!
Hohoho... tentu asyik sekali!"
Sambil berceloteh Put-pai-siu Hong-jin melompat
ke kiri untuk menghindari serangan lawannya.
Kemudian dengan tangkas badannya berputar ke
kanan seperempat lingkaran, seraya melepaskan
pukulan tangan kiri ke pinggang lawan.
Wuuusssss! Gelombang udara dingin menerjang
pemimpin rombongan suku Hun itu! Tak ada
suaranya, namun terasa mengandung kekuatan yang
amat dahsyat!
"Bagus!" pemimpin rombongan Suku Hun itu
berseru. Tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk
mematahkan serangan itu, kemudian berdiri tegak
menghadapi Put-pai-siu Hong-jin kembali.
Masing-masing telah menyerang satu kali, sebagai
pembukaan dan sebagai penjajagan pertama atas
kekuatan lawan. Dan gebrakan tersebut seolah-olah
menjadi tengara atau tanda bagi Si Enam Hantu,
bahwa pertempuran telah dimulai! Seperti yang telah
diperintahkan pemimpin mereka tadi, maka mereka
memecah diri menjadi tiga rombongan. Rombongan
pertama terdiri dari Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan 218
Ui-kui, menghadapi Lo-jin-ong. Rombongan kedua
hanya seorang, yaitu Ang-kui, mendapat jatah untuk
membunuh Giam Pit Seng. Sedangkan rombongan ke
tiga juga hanya seorang saja, Ci-kui, bertugas mencari
dan membasmi seluruh sisa-sisa lawan yang masih
hidup.
Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan,
pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi! Masing-
masing telah mendapatkan lawan!
Giam Pit Seng yang berhadapan Ang-kui sama
sekali tidak kelihatan gentar walaupun lawannya
sangat memandang rendah dirinya. Dua batang pit
(pena) terbuat dari baja tulen, berukuran panjang dan
pendek, tergenggam erat di tangannya. Dua batang pit
itu berkelebatan di sekeliling tubuhnya, baik untuk
menyerang maupun untuk mempertahankan diri,
sementara Ang-kui yang bertangan kosong itu masih
belum bersungguh-sungguh melayaninya. Sebentar-
sebentar Iblis Merah itu menghentikan gerakannya
melihat-lihat pertempuran lainnya.
Seperti halnya Ang-kui, maka Ci-kui yang
mendapat tugas ringan, menghadapi sisa-sisa
kekuatan Lim Kok Liang, masih kelihatan santai pula.
Hanya dengan sebelah tangan Iblis Ungu itu
mempermainkan Lim Kok Liang, Tong Tai-su dan
pengawal Gui Ciang-kun. Pada saat segar bugar saja
mereka tak mampu melawan, apalagi dalam keadaan
luka dalam yang parah seperti sekarang. Mereka 219
bertiga hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan
Iblis Ungu itu ingin menghabisi mereka.
Pertempuran yang seru, namun cukup konyol,
berlangsung antara Put-pai-siu Hong-jin melawan
pemimpin rombongan suku Hun itu. Kali ini
pemimpin rombongan suku Hun itu benar-benar
membentur musuh yang berat. Dia yang selama
perjalanannya ke selatan ini tak pernah mendapatkan
lawan tangguh, sehingga sikapnya menjadi congkak
dan takabur, kini benar-benar dibuat jengkel dan
berang oleh Put-pai-siu Hong-jin yang sinting dan
konyol! Si Gila dari aliran Beng-kau itu berkelahi
tanpa aturan. Selain gerakannya kadang-kadang kacau
tak keruan, mulutnya yang lebar tanpa gigi itu juga
nyerocos terus tanpa berhenti. Anehnya, dengan
gerakannya yang kacau itu bisa saja ia meloloskan diri
dari gempuran lawan! Bahkan dengan gayanya yang
tak beraturan itu sering membikin lawannya kalang
kabut!
"Lalat busuk! Ternyata kepandaianmu benar-benar
hebat! Tangan dan kakiku sampai... hwaduh!
Bangsat... keparat curang! Kau sepak bisulku!
Haduuuh! Aduuuh... Bocah tak tahu sopan-santun!
Lihat... nih, sampai keluar madunya!" Pu-pai-siu
Hong-jin berjingkrak-jingkrak kesakitan.
Tapi pemimpin rombongan suku Hun itu tidak
mempedulikan ulah Put-pai-siu Hong-jin. Dia
terlanjur kesal dan marah menghadapi tingkah-laku
Put-pai-siu Hong-jin yang menjengkelkan. Sedari tadi 220
ia telah mengerahkan beberapa macam ilmu silat
kebanggaannya, namun kakek gila yang wajahnya
lebih mirip monyet daripada manusia itu, ternyata
mampu melayaninya dengan baik. Meskipun
gerakannya kacau, kakek gila itu selalu bisa
menyelamatkan diri. Ginkangnya memang hebat
sekali!
Menurut ucapan gurunya, Ulan Kili, Ilmu
Meringankan Tubuh yang paling baik di dunia ini
adalah ilmu meringankan tubuh milik perguruan
mereka sendiri, perguruan Ui-soa-pai (Perguruan
Pasir Kuning) dari Gurun Gobi! Demikian
tersohornya ilmu itu sehingga dalam perkembangan
sejarahnya banyak tokoh-tokoh persilatan yang
berusaha memilikinya. Tapi perguruan Ui-soa-pai
sangat tertutup dan keras menjaga tradisi sehingga
sulit ditembus orang luar. Meskipun demikian ada
juga tokoh persilatan yang berhasil mencuri rahasia
ilmu meringankan tubuh tersebut dan menirunya.
Dianiaranya adalah Bu-eng Hwe-teng (Ilmu Terbang
di Atas Rumput) milik seorang tokoh iblis yang hidup
beberapa puluh tahun yang lalu. Ilmu tersebut
merupakan hasil tiruan dari ginkang perguruan Ui-
soa-pai!
"Hmmh, apakah ginkang kakek gila ini yang
disebut Bu-eng Hwe-teng itu? Tapi... kulihat
gerakannya sama sekali tidak ada yang mirip dengan
ginkang Ui-soa-pai." sambil bertempur orang dari
suku Hun itu menduga-duga. 221
Buk!
Tak terduga sebuah tendangan Putpai-siu Hong-jin
nyelonong mengenai pantat pemimpin rombongan
suku Hun itu! Tidak terlalu keras, karena posisi Put-
pai ski Hong-jin sendiri sebenarnya juga tidak
memungkinkan untuk melepas tendangan! Meskipun
demikian tendangan tersebut telah membuat
pemimpin rombongan suku Hun itu menjadi marah
dan mereka merasa terhina!
"Hehe-hoho... sekarang impas sudah! Kau tadi
menyepak bisulku, kini aku ganti menghajar
pantatmu! Hoho-hooo...! Sayang tidak punya bisul!"
mulut Put-pai-siu Hong-jin yang lebar itu tertawa
terbahak-bahak.
"Monyet Tua! Mulutmu memang harus gera
dibungkam agar tidak menggonggong terus menerus!
Nah, terimalah kematianmu sekarang ...!"
Tampaknya pemimpin rombongan suku Hun itu
telah merasa cukup menjajagi ilmu kepandaian Put-
pai-siu Hong-in. Kini dia ingin mengakhiri
pertempuran itu. Ia berdiri tegak dengan tangan
tersilang di depan dada. Matanya yang mencorong http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
dingin itu menatap Put-pai-siu Hong-jin tanpa
berkedip. Dan sebentar kemudian tubuhnya diselimuti
. kabut tipis berwarna kebiruan.
Walaupun konyol dan sinting, tapi perasaan dan
otak Put-pai-siu Hong-jin sebenarnya tajam dan
cerdas luar biasa. Melihat lawannya mulai
mengeluarkan ilmu pamungkas, dia juga tak berani main-main lagi. Diai pun segera bersiap sepenuhnya.
Seluruh urat-urat tubuhnya menggeletar, suatu tanda
ilmu silat andalan Aliran Beng-kau yang disebut Chou
mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), telah siap
dilontarkan pula!
Komentar
Posting Komentar