PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 05

MAAFKAN hamba, Kongcu. Hamba 
datang terlambat, sehingga hamba tidak 
bisa menjemput kedatangan Paduka di 
tengah laut tadi." orang yang baru saja 
datang itu membungkuk hormat ke arah 
perahu sambil melaporkan keadaannya. 
"Ada urusan apa di Pek-hok-bio sehingga kau mesti 
terlambat menjemput aku?" orang lihai di dalam 
perahu itu berkata dingin. 
Raksasa berjubah hitam itu menarik napas panjang. 
"Musuh lama hamba kembali datang mengganggu 
tugas hamba, Kongcu." jawabnya kemudian dengan 
suara geram. 
"Hmmh! Sogudai...! Siapa musuh lamamu itu? 
Apakah kau dan teman-temanmu tidak dapat 
menyelesaikan dia?" suara di dalam perahu itu  
terdengar marah. 
Raksasa yang dipanggil Sogudai itu kelihatan 
gemetar tubuhnya. "Dia bernama... Liu Wan, Kongcu. 
Dia dikenal orang sebagai Bun-bu Siu-cai (Pelajar 
Serba Bisa). Kepandaiannya sangat tinggi, sehingga 
hamba dan kawan-kawan hamba tidak bisa 
menghadapinya. Pek-hok-bio terpaksa kami 
tinggalkan...." 
Siau In yang sejak tadi selalu melotot mengawasi 
timbunan ilalang di atas perahu itu, tiba-tiba melihat 
sebuah gerakan. Tumpukan daun ilalang yang 
menutupi bagian atap perahu itu mendadak tersingkap 
sedikit, lalu sesosok bayangan tampak melesat keluar 
dengan kecepatan yang sulit dilukiskan. Dan 
selanjutnya terdengar suara tamparan pada pipi 
Sogudai, sehingga raksasa itu sempoyongan hampir 
jatuh. 
"Tolol kau...!" orang yang bersuara angker itu 
mengumpat dan di lain saat bayangannya telah 
menyusup kembali ke dalam perahu. 
Meskipun bisa menangkap gerakan orang di dalam 
perahu itu, tapi tetap saja Siau In tak dapat melihat 
dengan jelas macam apa orang itu. Demikian cepatnya 
orang tersebut bergerak sehingga rasa-rasanya cuma 
bayangannya saja yang tampak. 
Sogudai berlutut di atas pasir. Kepalanya tertunduk 
dalam-dalam. 
"Maafkan hamba, Kongcu...." desahnya lirih 
hampir tak terdengar. 180 
Hening sesaat. Lalu terdengar suara tarikan napas 
panjang dari dalam perahu. 
"Baiklah, semua ini memang bukan salahmu 
sendiri. Kau boleh terus melanjutkan tugasmu. Lalu... 
kemanakah kawan-kawanmu?" suara dari dalam 
perahu, itu berubah lunak. 
Sogudai tampak gembira sekali. Berulang kali dia 
membungkukkan tubuhnya dan mengucapkan terima 
kasih. 
"Mereka hamba perintahkan untuk pergi 
meninggalkan Pek-hok-bio dan berkumpul di kota 
Cia-sing. Kalau Kong-cu memperbolehkan, kami 
bermaksud untuk menggabungkan diri dengan 
rombongan Bayan Tanu di kota Siang-hai." 
"Bodoh!" Tiba-tiba orang yang ada di dalam perahu 
itu membentak. "Mengapa otakmu sekarang menjadi 
amat tolol begitu, Sogudai? Bukankah kau dan anak 
buahmu ditugaskan di Propinsi She-kiang ini? Kenapa 
sekarang tiba-tiba kau ingin bergabung dengan Bayan 
Tanu yang bertugas di Propinsi Kiang-su? Lalu siapa 
yang bertanggung jawab di daerah ini?" 
Sogudai dengan ketakutan berlutut di atas pasir 
basah. Berulang-ulang ia meminta maaf dan mengakui 
kebodohannya. 
"Hamba... hamba memang terlalu bodoh, Kongcu. 
Kegagalan-kegagalan dalam tugas hamba selama ini 
membuat hamba berputus asa dan kehilangan 
kepercayaan diri. Hamba takut akan semakin 181 
mengecewakan Seng-yu (Sebutan untuk raja suku 
bangsa Hun atau Tartar)." 
"Jadi... kau hendak mengundurkan diri dari 
tugasmu ini?" suara dari dalam perahu itu mendadak 
menjadi kejam dan dingin kembali. 
"Bukan... bukan begitu, Kongcu!" Sogudai merintih 
ketakutan. "Hamba tidak bermaksud demikian. 
Hamba... hamba justru ingin bertanggung jawab atas 
kegagalan-kegagalan hamba itu. Tapi hamba ingin 
mempertanggung- jawabkannya sendirian. Hamba 
tidak ingin melibatkan dan menyeret kawan-kawan 
hamba itu dalam hal ini. Mereka adalah orang-orang http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
yang sangat patuh dan setia kepada Seng-yu. Maka 
biarlah mereka bergabung dengan Bayan Tanu, 
sementara hamba akan menanti hukuman dari 
Kongcu." 
Hening kembali. Orang yang ada di dalam perahu 
itu tidak segera menjawab perkataan Sogudai. Dan 
keheningan tersebut benar-benar mencekam hati Siau 
In yang menggigil kedinginan di dalam 
persembunyiannya. 
Meskipun tidak mengetahui ujung pangkal dari 
pembicaraan orang-orang itu, namun sebagai orang 
Han yang setia terhadap negerinya, sedikit banyak 
Siau In menjadi curiga terhadap sepak-terjang mereka. 
Gurunya pernah bercerita tentang kekejaman suku 
bangsa Hun dari luar Tembok Besar, yang pernah 
beberapa kali menyerang Negeri Tiongkok. 
179182 
"Jangan-jangan mereka ini orang-orang Hun yang 
pernah diceritakan Suhu itu. Tetapi... rasa-rasanya 
juga mustahil. Tempat ini ada ribuan lie jauhnya dari 
Tembok Besar itu. Apa yang mereka cari di daerah 
ini?" gadis itu bertanya-tanya di dalam hatinya. 
"Sogudai...! Kita tunda dulu persoalanmu ini. Kita 
bicarakan lagi nanti setelah tugas di tempat ini selesai. 
Untuk sementara kau boleh bergabung dengan 
rombongan Hulungka yang sebentar lagi akan tiba di 
sini." akhirnya suara dari dalam perahu itu memecah 
keheningan. 
"Terima kasih, Kongcu." 
"Nah... itu dia! Hulungka telah datang! Kau g7
tetaplah di tempatmu!" 
Siau In semakin berdebar-debar hatinya. Secara tak 
sengaja ia berada di tempat yang sangat berbahaya, di 
mana sebuah kekuatan rahasia yang amat 
mencurigakan mengadakan pertemuan. 
Tak lama kemudian dari tengah laut muncul tiga 
buah sampan kecil merapat ke pantai. Setiap sampan 
memuat tiga orang lelaki berseragam nelayan, lengkap 
dengan jaring dan topi lebarnya. Salah seorang dari 
mereka, yang bertubuh besar seperti halnya Sogudai, 
segera meloncat turun dan berlari mendapatkan 
Sogudai. 
Namun sebelum orang itu menyapa Sogudai, orang 
yang ada di dalam perahu itu sudah menegur lebih 
dahulu. "Hulungka! Bagaimana dengan hasil 
penyelidikkanmu? Apakah para pemenang sayembara 183 
"Mengangkat Arca" dari lima kabupaten di sekitar 
muara Sungai Yang-tse itu jadi dikumpulkan di 
daerah ini?" 
Nelayan bertubuh besar itu terkejut sekali, ia tak 
bisa segera menjawab teguran tersebut. 
"Kongcu berada di dalam perahu yang tertimbun 
ilalang itu." Sogudai memberitahukan. 
"Akh...! Maaf, Kongcu. Perhatian hamba cuma ke 
Sogudai saja sehingga tidak tahu kalau Kongcu sudah 
berada di tempat ini." Hulangka cepat-cepat 
menjawab dan memberi hormat ke arah perahu itu. 
"Lekas kau laporkan hasil penyelidikanmu itu!" 
suara dari dalam perahu itu kembali menghardik. http:/6/darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
Hampir saja Siau In terpeleset di tempat 
persembunyiannya. Suara itu tidak begitu keras, 
namun terasa menggelegar di dalam rongga dadanya. 
Untunglah ia segera mengerahkan sinkang-nya, 
sehingga getaran suara tersebut dapat diredamnya. 
"Orang yang dipanggil Kongcu ini sungguh hebat 
sekali kepandaiannya. Rasanya tidak kalah dengan 
Pemuda Nakal yang memberi malu kepadaku sore 
tadi. Hmmmm, dunia persilatan memang benar-benar 
menggetarkan. Kepandaian silat yang kupelajari dan 
kubangga-banggakan selama ini ternyata belum apa-
apanya bila dibandingkan dengan mereka." gadis itu 
berdecak kagum di dalam hati. 
"Kongcu, seperti yang diperintahkan oleh Pendeta 
Agung Ulan Kili, hamba beserta anak buah hamba 
sudah menjelajah hampir seluruh kota aliran muara 184 
Sungai Yang-tse. Hamba melihat dan mengikuti terus 
persiapan-persiapan yang dilakukan oleh anak buah 
Au-yang Goanswe di daerah tersebut. Menurut 
penglihatan hamba, rencana mereka tetap tak berubah. 
Pemuda-pemuda itu tetap akan dikumpulkan lebih 
dulu di tempat di sepanjang pantai ini. Sayang hamba 
tak bisa memperoleh kepastian tempatnya...." 
"Huh!" orang yang ada di dalam perahu itu 
mendengus kesal. "Lalu, apa yang hendak kalian 
lakukan selanjutnya?" 
Hampir berbareng Hulungka dan Sogudai 
mengangkat wajahnya. Keduanya tampak kaget dan 
bingung. 
"Aa-apa... maksud Kongcu?" akhirnya Hulungka 
memberanikan diri untuk bertanya. 
"Sudah kukatakan, apa rencana kalian selanjutnya? 
Lekas kalian jawab!" 
"Eh, anu... bukankah kita telah diperintahkan oleh 
Panglima Solinga untuk menumpas mereka setelah 
mereka berkumpul semuanya?" Hulungka menjawab 
dengan gugup. 
"Aku tidak sependapat!" tiba-tiba orang yang ada di 
dalam perahu itu menggeram keras. 
Tubuh Sogudai dan Hulungka yang besar itu 
tersentak kaget. Mereka saling berpandangan. 
"Maksud... maksud Kongcu?" Sogudai memohon 
penjelasan. 
"Aku tidak setuju dengan rencana Panglima 
Solinga!" 185 
"Jadi...?" 
"Kita akan membantai para pemenang perlombaan 
itu secepatnya, di manapun juga mereka pun kita 
temukan! Tak perlu harus menunggu mereka 
berkumpul!" 
Hulungka dan Sogudai menjadi ketakutan. Wajah 
mereka menjadi pucat. http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
"Tapi... tapi... Panglima Solinga telah dipercaya 
oleh 'Seng-yu' untuk mvemimpin tugas rahasia ini." 
dengan suara gemetar Hulungka mencoba untuk 
memberi peringatan. 
"Persetan dengan kepercayaan itu! Yang penting 
kita harus berhasil dengan tugas kita ini! Seharusnya 
Panglima Solinga berpikir dua kali untuk 
mempercayai rencana Au-yang Goan-swe itu!" orang 
di dalam perahu itu menggeram lagi dengan keras. 
"Maksud Kong-cu...?" Hulungka bertanya. 
"Orang Han terkenal akan kelicikan dan 
kecerdikannya. Aku khawatir Au-yang Goan-swe 
sengaja meniupkan berita palsu untuk menjebak 
orang-orang yang hendak merintangi tugasnya. 
Ingatlah! Au-yang Goanswe adalah seorang panglima 
perang yang terkenal cerdik dan ahli bersiasat!" 
"Oooh!" Hulungka tertegun seperti orang yang baru 
saja terbangun dari tidurnya. Perkataan orang yang 
ada di dalam perahu itu mulai mengusik hatinya. 
"Seharusnya kita merasa heran atas rencana itu. 
Cobalah kalian pikirkan. Kota An-king dan Wuhu di 
Propinsi An-hwei, lalu kota-kota Nanking, Cin-kiang 
186 
dan Wu-shi di Propinsi Kiang-su. Kota-kota tersebut 
lebih dekat jaraknya: dari kota raja daripada Hang-ciu 
ini. Nah, mengapa anak buah Au-yang Goanswe itu 
harus berpayah-payah membawa rombongan 
pemenang sayembara itu ke sini kalau akhirnya 
mereka harus dibawa kembali ke utara? Masuk 
akalkah itu?" 
"Ini... ini, eh... pendapat Kongcu rasanya betul 
juga." akhirnya dengan suara lirih Hulungka 
mengakui. 
"Benar. Rasanya memang aneh. Mengapa mereka 
tidak dikumpulkan di kota Nanking saja, sehingga 
tidak bolak-balik membawanya?" Sogudai berdesah 
pula dengan heran. 
"Nah! Sekarang kalian berdua boleh memilih. 
Menurut perintahku atau... tetap mengikuti rencana 
Panglima Solinga! Lekas jawab!" 
"Tapi... bagaimana dengan Panglima Solinga?" 
Hulungka menjawab ragu. 
"Jangan khawatir! Aku sendiri yang akan berbicara 
dengan dia nanti." orang yang ada di dalam perahu itu 
berkata tegas. 
"Bagaimana dengan Seng-yu...?" Sogudai bertanya 
pula. 
"Jangan cerewet! Aku juga yang akan bertanggung 
jawab jika Seng-yu marah! Nah... bagaimana?" 
Sogudai dan Hulungka saling memandang sejenak, 
kemudian mengangguk ke arah perahu. "Baiklah, 187 
Kongcu. Kami berdua akan patuh pada perintah 
Kongcu." keduanya menjawab berbareng. 
"Bagus! Pilihan kalian memang tepat! Aku tidak 
perlu tersusah payah memerintahkan Lok-kui-tin 
(Barisan Enam Hantu) untuk mengambil nyawa http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
kalian..." orang di dalam perahu itu berkata dingin. 
"Terima kasih, Kongcu." Hulungka dan Sogudai 
cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di atas pasir. 
Keringat dingin keluar membasahi punggung mereka. 
Keringat dingin juga mengalir membasahi tubuh 
Siau In di tempat persembunyiannya. Semakin banyak 
gadis itu mendengarkan percakapan mereka, hatinya 
semakin merasa ngeri. Dan di dalam hatinya gadis itu 
juga menjadi semakin yakin, bahwa ia sedang 
berhadapan dengan orang-orang asing. Orang-orang 
dari suku bangsa Nomad yang berdiam jauh di utara. 
Bahkan kalau ditilik dari nama maupun sebutan-
sebutan yang mereka pergunakan, mereka memang 
benar-benar dari suku bangsa Hun. 
"Apa yang hendak mereka lakukan di tempat yang 
jauh ini? Mengapa mereka akan membunuh semua 
pemenang perlombaan "Mengangkat Arca"? Mengapa 
mereka sampai mengirimkan panglima pula? Ah...! 
Aku tidak mengerti. Tentu... tentu ada sesuatu rencana 
yang besar di balik semua ini. Aku... aku harus 
melaporkannya kepada Suhu." berbagai macam 
pertanyaan berkecamuk di dalam benak Siau In. 
"Kongcu! Perahu besar itu sudah kelihatan!" 188 
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, salah satu 
dari keenam pengawal itu telah berada di samping 
Hulungka. Ia mengenakan seragam merah-merah. 
Kedatangan orang itu. tidak hanya mengagetkan 
Siau In, tapi juga mengejutkan Sogudai dan 
Hulungka. Menurut Siau In, gerakan orang 
berseragam merah-merah itu sungguh sesuai sekali 
dengan julukannya. Hantu! Tanpa diketahui 
gerakannya dan dari mana ia datang, tahu-tahu ia telah 
berdiri di .dekat Hulungka! Kecepatan geraknya rasa-
rasanya tidak jauh di bawah orang yang bersembunyi 
di dalam perahu itu. 
Sedangkan bagi Sogudai dan Hulungka sendiri, rasa 
kaget itu lebih disebabkan karena tidak menyangka 
bahwa mereka bisa bertemu muka secara langsung 
dengan salah seorang Hantu Pengawal Raja yang amat 
tersohor di negerinya. Soal kesaktian, Barisan Enam 
Hantu itu memang sudah lama mereka ketahui, 
apalagi sepak - terjangnya yang ganas, kejam, serta 
penuh rahasia itu. Dan seperti halnya Siau In, diam-
diam hati merekapun merasa bergetar menyaksikan 
kehebatan gin-kang hantu berseragam merah tersebut. 
"Kata orang Hantu Merah ini adalah orang termuda 
dari Barisan Hantu itu. Paling muda tapi kabarnya 
paling ganas dan paling sulit diajak bersahabat. Hmm, 
kalau yang termuda saja ginkangnya sudah demikian 
tinggi, apalagi dengan yang lain-lainnya." diam-diam 
Sogudai dan Hulungka berkata di dalam hatinya. 189 
"Baik, Ang-kui (Hantu Merah)! Kau bersiaplah 
bersama saudara-saudaramu! Kita tumpas rombongan 
pemenang sayembara itu setelah mereka berkumpul di 
atas perahu!" orang yang bersembunyi di dalam 
perahu itu tiba-tiba memberi perintah. 
"Baik, Kongcu!" Ang-kui menyahut lantang, 
kemudian tubuhnya melesat pergi dengan cepatnya. 
"Sogudai... Hulungka! Perahu besar yang dikirim 
untuk mengangkut para pemenang sayembara itu telah 
datang. Ternyata semuanya memang sesuai dengan 
rencana. Kita basmi mereka setelah pemenang dari 
kota Hang-ciu nanti datang. Hm, apakah kalian sudah 
siap?" orang yang disebut Kongcu itu lalu 
mengalihkan kata-katanya kepada Sogudai dan 
Hulungka yang masih berdiri di tempat itu. 
"Hamba juga sudah siap, Kongcu." Sogudai dan 
Hulungka menjawab hampir berbareng. 
"Bagus! Nah, Hulungka.... kauajak Sogudai 
bersama anak buahmu untuk mengawasi perahu itu di 
tengah laut! Awas, kalian harus benar-benar dapat 
mempergunakan penyamaran kalian sebagai nelayan 
dengan baik! Jangan sampai anak buah Au-yang 
Goanswe curiga. Cepat kalian melapor kalau perahu 
itu merubah haluan!" 
Hulungka cepat membungkukkan tubuhnya, 
kemudian menggandeng lengan Sogudai, menuju ke 
sampan bersama anak buahnya. Sebentar saja sampan-
sampan itu telah dikayuh ke tengah laut kembali. 190 
Siau In benar-benar memperoleh tempat 
persembunyian yang bagus, yaitu di sebuah tumpukan 
karang-karang besar yang berrongga di dalamnya, 
sehingga dengan aman dan leluasa ia bisa mengawasi 
keadaan di tepian itu tanpa diketahui oleh lawan-
lawannya. 
Dan Siau In memang tidak menunggu terlalu lama. 
Begitu sampan-
sampan tadi 
hilang ditelan 
kegelapan, dari 
tengah laut 
tampak sinar 
lampu yang 
semakin lama 
semakin 
membesar. 
Keringat dingin 
mulai membanjir 
kembali di tubuh 
gadis itu. Ia tak 
segera bisa 
memutuskan, apa 
yang harus ia 
perbuat untuk 
menolong mereka. 
"Kepandaian mereka rata-rata berada di atas 
kepandaianku. Melawan mereka sendirian berarti 
bunuh diri. Tapi kalau hanya melihat dan berdiam diri 191 
saja di sini, rasanya juga salah. Aah... apa yang harus 
kulakukan?" 
Belum juga Siau In menemukan jalan keluar yang 
baik untuk ia lakukan, telinganya telah mendengar 
suara derak perahu dan lengkingan suara aba-aba di 
kejauhan. Ketika Siau In melongok dari lobang 
persembunyiannya, dilihatnya sebuah perahu besar 
telah membuang sauh agak jauh dari garis pantai. Dua 
buah lampu besar menerangi bagian haluan dan 
buritannya. Dan Siau In segera melihat kesibukan 
para penumpangnya. 
Belasan orang .perajurit berseragam lengkap 
bergegas menurunkan beberapa buah sampan kecil ke 
dalam air. Kemudian satu persatu mereka turun 
menaikinya. Sebuah sampan untuk tiga orang prajurit. 
Mereka lalu menyebar di sekeliling perahu besar 
tersebut untuk berjaga-jaga. 
Seorang perwira tinggi berseragam indah 
gemerlapan tampak keluar dari bilik perahu. Seperti 
sedang kesal ia melangkah cepat ke atas anjungan. 
Seorang lelaki berpakaian biasa tampak menempel 
ketat di belakangnya. 
"Heran! Kemana Lim Kok Liang dan Su Kiat Hong 
ini? Mengapa mereka tidak menyambut kedatangan 
kita?" Perwira itu menggerutu kesal. 
"Mungkin ada sesuatu yang menghambat tugas 
pekerjaan mereka, Ciangkun." lelaki berpakaian biasa 
yang tidak lain adalah pengawal pribadi perwira itu 192 
menjawab perlahan. "Jangan-jangan mereka juga kena 
musibah pula seperti yang lain.,.," 
Perwira itu tidak berkata lagi. Dia hanya berdesah 
panjang seraya naik ke tempat yang lebih tinggi lagi. 
Matanya tajam mengawasi kegelapan malam. Tiba-
tiba wajahnya menjadi cerah. Ia melihat iring-iringan 
manusia menuju ke tempat itu. 
"Itu mereka datang...!" serunya lega. "Tampaknya 
banyak juga anak yang di bawanya." 
Siau In mengintip lagi dari celah-celah lobang 
persembunyiannya. Di kejauhan, dari arah 
perkampungan Ui-thian-cung, memang terlihat sebuah 
iring-iringan panjang mendatangi. Setelah dekat gadis 
itu segera mengernyitkan dahinya. Rombongan itu 
terdiri dari sepuluh orang pemuda tanggung dan enam 
orang pengiringnya. 
Siau In memang tidak mengenal tiga orang 
pengiring bersenjatakan golok di belakang barisan, 
tapi ia mengenal tiga orang pengiring yang berjalan di 
depan barisan. Dua orang di antaranya pernah 
dilihatnya di dalam warung arak pagi tadi, sementara 
yang seorang lagi adalah Tong Tai-su, yang baru saja 
berkelahi dengannya. 
Perwira tinggi yang berdiri di atas anjungan itu 
segera memerintahkan anak buahnya untuk 
menurunkan sampan lagi yang agak besar. Bersama 
pengawal pribadinya ia lalu mendarat ke tepian. 
"Selamat malam, Gui Ciang-kun...!" Lim Kok 
Liang yang segera tiba pula bersama rombongannya, 193 
menyapa sambil membungkukkan badannya. "Maaf, 
kami datang terlambat. Ada keributan sedikit yang 
mengganggu perjalanan kami." 
"Keributan,..?" Gui Ciangkun berdesah kaget. 
"Apakah rombonganmu juga diganggu orang-orang 
dari Rimba Persilatan?" 
Lim Kok Liang, Su Hiat Hong dan Tong Tai-su 
saling berpandangan dengan mata terbelalak. 
"Mengapa Ciang-kun berkata demikian? Apakah 
"Ciang-kun sudah lebih dulu mengetahuinya?" Lim 
Kok Liang bertanya. 
"Hmm... benar, bukan? Nah, tadi aku hanya 
menduga-duga saja, karena rombongan yang lain-lain 
juga mengalami hal yang sama. Sampai sekarang 
perahuku masih kosong, karena rombongan dari Sao-
hing yang dipimpin oleh Kwa Ciang-kun diserbu 
penjahat di tengah jalan. Semuanya mati terbunuh^ 
kecuali Kwa Ciangkun, dia terluka parah dan kini ada 
di dalam perahu. Kwa Ciangkun mengatakan, bahwa 
selain rombongannya, rombongan Ong Ci Kin dari 
kota Cia-sing juga telah disergap pengacau. Bahkan 
Ong Ci Kin dan seluruh anak buahnya ikut terbunuh 
pula." 
"Gila...! Ternyata benar juga hasil penyelidikan 
Tong Tai-su." Lim Kok Liang menggeram marah 
sambil menoleh ke arah temannya yang berambut 
panjang itu. 
"Aku sudah memberi peringatan kepada Lim 
Ciang-kun pagi tadi. Kita harus berhati-hati karena 194 
ada sebuah kekuatan rahasia yang besar jumlahnya 
sedang mengintai kita. Bahkan sekarang pun hatiku 
merasa kurang enak, jangan-jangan tempat ini juga 
telah mereka ketahui pula...." Tong Tai-su menyahut 
dengan suara berat. 
Diam-diam Siau In menjadi tegang sendiri. 
Rombongan pemenang sayembara dari kota Hang-ciu 
itu berkumpul tidak jauh dari tempat 
persembunyiannya. Bahkan Tong Tai-su dan Lim Kok 
Liang berdiri di dekat perahu yang ditimbuni ilalang 
tadi. Dan di dalam ketegangannya itu Siau In hampir 
saja berteriak memperingatkan mereka akan bahaya 
yang sedang mengintai. 
"Tai-su tak perlu khawatir. Hanya kalangan kita 
sendiri saja yang mengetahui tempat ini." tiba-tiba 
Gui Ciang-kun membesarkan hati Tong Tai-su. 
"Tapi... kalau rahasia tempat ini memang sudah bocor 
ke telinga mereka, kita pun tidak perlu takut. Aku 
membawa tiga puluh enam prajurit pilihan untuk 
melaksanakan tugasku ini." 
Tong Tai-su menjura dengan hormatnya. Namun 
sebelum pendeta berambut panjang itu mengutarakan 
pendapatnya, sekonyong-konyong terdengar suara 
orang tertawa dingin. Suara tersebut demikian 
dekatnya sehingga semuanya merasa seolah-olah 
orang yang sedang tertawa itu berada di antara 
mereka. 
"Hahahaha...! Hahaha...! Ciang-kun, kau jangan 
terlalu menyombongkan prajurit-prajuritmu yang 195 
tiada gunanya itu. Berpalinglah...! Coba kaulihat lagi 
prajurit-prajurit kebanggaanmu itu! Adakah mereka 
itu bisa diandalkan? Hahaha...!" 
Otomatis semuanya berpaling ke perahu besar milik 
Gui Ciang-kun. Dan semuanya segera terbelalak 
kaget! Belasan prajurit yang tadi kelihatan di atas 
geladak, kini tampak bergelimpangan di mana-mana. 
Ada yang tergolek di atas anjungan, ada yang 
terjungkal dt bawah tangga, dan ada pula yang 
tersampir di pagar perahu. Semuanya telah meninggal. 
Sedangkan sampan-sampan kecil tadi kini juga tidak 
berpenumpang lagi. Penumpangnya telah pada 
mengapung di dalam air. Mati. 
"Haaah...???" 
Semuanya menjerit kaget seolah tak percaya. 
Mereka sama sekali tak mendengar suara apa-apa, 
apalagi suara keributan ketika para perajurit itu 
mendapatkan serangan. Para perajurit itu seperti 
dengan mendadak mati sendiri secara berbareng. 
"Gui Ciang-kun...?" Lim Kok Liang berseru dengan 
suara serak. 
"Kok Liang...? Ini...?" Gui Ciang-kun berdesah 
pula dengan suara lirih. 
"Hahaha, bagaimana Gui Ciang-kun? Benar, 
bukan? Prajuritmu itu sama sekali tak berguna. 
Mereka mati tanpa sedikit pun berkesempatan 
menggerakkan senjatanya. Dan sebentar lagi engkau 
dan kawan-kawanmu ini akan bernasib sama pula 196 
seperti mereka. Hahihihaa... bersiap-siaplah!" suara 
itu kembali menggema di telinga mereka. 
Otomatis semuanya saling mendekatkan diri 
membentuk lingkaran. Gui Ciang kun dan 
pengawalnya, Lim Kok Liang, Su Hiat liong, Tong 
Tai-su, serta tiga orang bersenjata golok yang dibawa 
oleh Lim Kok Liang. Masing-masing telah 
menggenggam senjata andalan mereka sendiri. Lim 
Kok Liang dan Su Hiat Hong memegang pedang, 
sedangkan Tong Tai-su juga telah mengeluarkan, 
tasbehnya. 
"Kok Liang! Apakah, orang ini yang mengganggu 
perjalananmu?" dalam ketegangannya Gui Ciang-kun 
masih sempat berbisik kepada Lim Kok Liang. 
"Entahlah. Dia belum memperlihatkan batang 
hidungnya...." 
Sementara itu pemuda-pemuda pemenang 
sayembara itu. menjadi ketakutan setengah mati, 
termasuk pula A Liong di dalamnya. Hati yang 
semula diliputi kebanggaan dan kegembiraan itu tiba-
tiba kini berubah menjadi ngeri dan ketakutan yang 
amat sangat. Bahkan beberapa orang di antara mereka 
telah menjadi lemas dan pingsan, sementara yang lain 
seperti memperoleh kekuatan untuk lari dari tempat 
tersebut. 
Namun langkah mereka segera terhenti ketika enam 
orang berseragam warna-warni sekonyong-konyong 
muncul dari dalam kegelapan menghalangi mereka. 197 
"Tolong! Tolong...!" mereka menjerit-jerit 
ketakutan. 
"Lok-kui-tin, bunuh mereka!" suara tanpa wujud itu 
tiba-tiba memberi perintah. 
"Jangan! Jangan bunuh aku...!" A Liong yang 
berdiri di antara pemuda-pemuda itu merintih 
ketakutan. 
Tapi rintihan itu segera terbenam dalam teriakan 
dan jeritan ngeri teman-temannya. Tubuhnya dan juga 
tubuh kawan-kawannya sekonyong-konyong seperti 
dihantam oleh badai yang maha dahsyat sehingga 
terlempar ke sana ke mari. Dan tubuh A Liong 
bersama dua orang temannya secara kebetulan 
membentur batu karang di mana Siau In bersembunyi. 
Semuanya berlangsung dengan cepat sehingga Gui 
Ciangkun dan Lim Kok Liang terlambat memberi 
pertolongan. Pemuda-pemuda itu telah terlanjur mati 
dengan mengenaskan. 
"Bunuh juga yang pingsan itu! Jangan biarkan 
seorang pun lolos!" suara tanpa ujud itu kembali 
memberi perintah lagi. 
Keenam Hantu itu cepat menghampiri pemuda-
pemuda yang pingsan tadi. Tapi sebelum mereka 
melepaskan serangan, Lim Kok Liang lebih dulu 
berteriak. 
"Tunggu...! Jangan bunuh mereka!" 
Lim Kok Liang cepat melesat ke depan Lok-kui-tin, 
kemudian diikuti pula oleh teman-temannya yang lain. 198 
"Kalian ini sebenarnya siapa? Mengapa 
membunuhi orang-orang yang tak berdosa?" Lim Kok 
Liang menggeram penasaran. 
"Bagaimana, Kok Liang? Benarkah mereka yang 
telah mengganggu perjalananmu tadi?" Gui Ciangkun 
yang telah berada di samping Lim Kok Liang berbisik 
pelan. 
Lim Kok Liang menghembuskan napasnya kuat-
kuat. "Bukan, Ciangkun. Orang yang mengganggu 
kami tadi adalah anak murid aliran Beng-kau. Orang-
orang ini kelihatannya bukan dari aliran itu." 
jawabnya kemudian dengan nada geram. 
"Kalau begitu mereka ini tentulah kawanan 
penjahat yang telah mencegat dan membasmi 
rombongan Ong Ci Kin dan Kwa Sing." Gui Ciang-
kun menggeram pula. 
"Hahaha... dugaan Ciangkun memang tidak salah. 
Memang kamilah yang telah menumpas seluruh http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
rombongan Ong Ciangkun dan Kwa Ciangkun. Dan 
kami memang sengaja tidak membunuh mati Kwa 
Ciangkun, agar kami bisa bertemu dengan rombongan 
Gui Ciangkun, hehehee ..." suara tanpa ujud itu 
kembali menertawakan kebodohan Gui Ciangkun. 
"Kurang ajar...! Keluarlah kau! Dan... katakanlah 
siapakah kalian ini sebenarnya? Mengapa kalian 
membunuhi petugas-petugas kerajaan? Apakah 
engkau ingin memberontak terhadap kerajaan?" Gui 
Ciangkun berteriak lantang. 199 
Tak terduga teriakan Gui Ciangkun itu disambut 
dengan ketawa dingin oleh lawannya. Bahkan orang 
itu kemudian menjawab dengan suara yang amat 
menghina. 
"Persetan dengan kerajaanmu! Kami orang-orang 
Hun sama sekali tidak takut terhadap rajamu!" 
"Ooooh?!?" 
Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan Tong Tai-su 
saling pandang dengan wajah kaget. Mereka sama 
sekali tak menyangka bila lawan mereka itu ternyata 
adalah orang-orang dari suku bangsa Hun di luar 
Tembok Besar. 
"Jadi kalian ini orang-orangnya Mo Tan? Tapi... 
mengapa kalian sampai ke tempat yang jauh ini dan 
membunuhi pemuda-pemuda yang hendak kami bawa 
ke kota raja?" Tong Taisu yang sejak tadi belum 
mengeluarkan suara tiba-tiba berseru keras. 
"Karena kami benci terhadap Liu Pang dan 
keluarganya!" orang yang belum mau menampakkan 
diri itu menggeram dengan nada berang. 
Sekali lagi Gui Ciangkun, Lim Kok Liang dan 
Tong Taisu saling pandang dengan dahi berkerut. 
"Benci dengan keluarga Kaisar? Mengapa? Dan ... 
kalau kalian memang membenci keluarga Kaisar 
kami, mengapa kalian justru membunuhi orang-orang 
tak berdosa seperti pemuda-pemuda itu?" Lim Kok 
Liang cepat menyela. 
Tapi orang itu tampaknya menjadi kesal karena 
diajak omong terus-menerus. 200 
"Kurang ajar! Kenapa kalian masih berpura-pura 
juga? Apa bedanya kami dengan kalian, heh? 
Perempuan junjungan kalian itu (Permaisuri Li Liong 
Hui) mengumpulkan anak-anak muda ini juga untuk 
dibunuh pula! Apa bedanya...? Bukankah perbuatanku 
ini justru membantu niatnya itu?" katanya berapi-api. 
"Fitnah! Kau omong sembarangan Kau...?" Lim 
Kok Liang berteriak pula dengan marah; 
"Bagus! Kini kalian menjadi marah setelah 
ketahuan belangnya! Tapi aku malah menjadi senang 
melihatnya! Kalian akan mampus dengan hati 
penasaran Hahahahahihihi...!" suara orang itu berubah 
menjadi gembira sekali sekarang. 
"Bangsat ! pengecut, keluarlah kau! Marilah kita 
bertempur sampai mati!" Lim Kok Liang berteriak 
garang. http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
"Tidak perlu! Para pengawalku itu sudah lebih dari 
cukup untuk mengantarkan nyawamu ke akherat! 
Lok-kui-tin, bunuh mereka pula! Cepaaaat!" 
Enam Hantu itu tiba-tiba menggeram. Bersama-
sama mereka menerjang rombongan Gui Ciang-kun. 
Dari telapak tangan mereka segera menghembus 
angin dingin yang mendahului langkah mereka. 
Wuuuuushh! Dan tiba-tiba saja Gui Ciangkun 
bersama teman-temannya merasa seperti diterjang 
oleh air yang maha dahsyat! 
"Aaah...!" 
Semuanya menjadi gelagapan seperti anak ayam 
tercebur di kolam. Dan otomatis masing-masing 201 
berusaha menyelamatkan diri mereka dengan cara 
mereka sendiri-sendiri. Gui Ciangkun bersama 
pengawalnya segera menjatuhkan diri ke pasir dan 
berguling-guling menjauhi arena. Sedangkan Lim 
Kok Liang dan Su Hiat Hong cepat-cepat 
menjejakkan kaki mereka ke tanah dan berjumpalitan 
ke belakang. Hanya tiga orang kawan Lim Kok Liang 
yang bersenjatakan golok itu saja yang berusaha 
melawan hembusan angin dahsyat itu dengan 
kekuatan mereka. Masing-masing memutar golok 
mereka di depan dada, kemudian dengan nekad 
menerjang ke depan menyerang lawan. 
Namun apa yang dilakukan oleh jago-jago silat 
kerajaan itu tetap sia-sia juga. Kepandaian Enam 
Hantu dari luar Tembok Besar itu benar-benar jauh 
dari jangkauan kepandaian mereka. Tanpa 
mengendorkan langkah masing-masing, barisan Hantu 
itu tiba-tiba memecah barisannya. Dua orang bergeser 
ke kiri dan ke kanan menghindari terjangan tiga orang 
bergolok itu, untuk kemudian meneruskan langkah 
mereka memburu Gui Ciangkun dan pengawalnya. 
Dua orang lagi segera melesat tinggi ke .udara, 
melewati kepala tiga orang bergolok tadi, untuk 
menangkap Lim Kok Liang dan Su Hiat Hong. 
Sedangkan sisanya, yang dua orang, tetap 
menyongsong kedatangan tiga orang bergolok itu 
dengan tangan kosong. 
"Sisakan salah seorang, dari mereka untuk memberi 
laporan kepada Auyang Goanswe!" pimpinan orang 202 
orang Hun itu tiba-tiba berseru lagi memperingatkan 
pengawal-pengawalnya. 
Sementara itu di'tempat persembunyiannya Tio 
Siau In belum juga bisa menemukan jalan terbaik 
yang seharusnya ia lakukan. Sebenarnya dengan 
kedatangan Tong Tai-su di antara para pengawal-
pemenang perlombaan tersebut telah membuat gadis 
itu menjadi lega. Tapi, ketika pada gebrakan pertama 
tadi pendeta lihai itu sama sekali tak mampu 
mencegah atau menghalangi Lok-kui-tin membunuhi 
korban-korbannya, hati Siau In. menjadi goyah lagi. 
Bahkan akhirnya gadis itu merasa yakin bahwa Tong 
Tai-su takkan bisa menyelamatkan orang-orang yang 
dilindunginya. 
Dengan perasaan sedih dan kasihan Tio Siau In 
menatap tiga sosok mayat pemuda-pemuda tak 
berdosa yang berserakan di depan lobang 
persembunyiannya. Pakaian yang menempel di badan 
mayat-mayat itu nyaris hancur terkena pukulan tenaga 
sakti gabungan dari Lok-kui-tin. 
Kulit tubuh mereka tampak kehitam-hitaman 
seperti bekas tersiram air panas. 
Mendadak mata Tio Siau In terbelalak! Secara tak 
sengaja dan tak terduga mata gadis itu melihat gambar 
tatto naga di pangkal lengan salah satu dari tiga mayat 
itu. Dan pikiran gadis itu segera melayang pada pesan 
gurunya, bahwa ia dan kakak-kakak seperguruannya 
ditugaskan untuk mencari seorang pemuda yang 
memiliki gambar tatto di tubuhnya.
203 
Sejenak Tio Siau In terpaku diam di tempatnya. 
Betulkah pemuda ini yang dikehendaki oleh gurunya 
itu? Kalau memang benar, lalu apa yang harus ia 
kerjakan? Masakan ia harus membawa mayat itu ke 
hadapan gurunya? 
Tak terasa tangan Siau In terulur ke luar untuk 
meraih mayat bertatto naga itu, seolah-olah ia ingin 
meyakinkan sekali lagi bahwa orang itu telah mati. 
Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain, 
terpaksa Siau In menggeser mayat yang lain itu 
terlebih dahulu. 
Tapi sekail lagi mata Siau In terbeliak lebar! Untuk 
yang kedua kalinya gadis itu melihat gambar tatto 
naga pada tubuh mayat yang lain tersebut. Hanya 
bedanya pada mayat yang pertama tadi gambar itu 
berada di pangkal lengan, dan cuma berwujud sebuah 
kepala naga yang sedang menganga, sementara pada 
mayat yang kedua gambar naga itu berada di tengah-
tengah dada dan lebih lengkap bentuknya. Bahkan 
gambar pada mayat yang ke dua itu terdiri dari dua 
ekor naga yang saling membelit satu sama lain. 
Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In 
mencoba memperhatikan mayat yang ke tiga, yang 
tergolek miring membelakangi lobang 
persembunyiannya. Seperti mayat-mayat yang lain 
mayat itu juga hampir telanjang sama sekali. Hanya 
ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih 
tersisa di badannya. 203 
Sejenak Tio Siau In terpaku diam di tempatnya. 
Betulkah pemuda ini yang dikehendaki oleh gurunya 
itu? Kalau memang benar, lalu apa yang harus ia 
kerjakan? Masakan ia harus membawa mayat itu ke 
hadapan gurunya? 
Tak terasa tangan Siau In terulur ke luar untuk 
meraih mayat bertatto naga itu, seolah-olah ia ingin 
meyakinkan sekali lagi bahwa orang itu telah mati. 
Tapi karena mayat itu tertindih oleh mayat yang lain, 
terpaksa Siau In menggeser mayat yang lain itu 
terlebih dahulu. 
Tapi sekail lagi mata Siau In terbeliak lebar! Untuk 
yang kedua kalinya gadis itu melihat gambar tatto 
naga pada tubuh mayat yang lain tersebut. Hanya 
bedanya pada mayat yang pertama tadi gambar itu 
berada di pangkal lengan, dan cuma berwujud sebuah 
kepala naga yang sedang menganga, sementara pada 
mayat yang kedua gambar naga itu berada di tengah-
tengah dada dan lebih lengkap bentuknya. Bahkan 
gambar pada mayat yang ke dua itu terdiri dari dua 
ekor naga yang saling membelit satu sama lain. 
Setelah hatinya menjadi tenang kembali Siau In 
mencoba memperhatikan mayat yang ke tiga, yang 
tergolek miring membelakangi lobang 
persembunyiannya. Seperti mayat-mayat yang lain 
mayat itu juga hampir telanjang sama sekali. Hanya 
ada sedikit saja serpihan-serpihan kain yang masih 
tersisa di badannya. 204 
"Hmmmmm... jangan-jangan mayat itu juga 
memiliki gambar tatto naga di tubuhnya." gadis itu 
menduga-duga. 
Tangan Siau In sedikit gemetar meraih tubuh mayat 
yang ke tiga itu, lalu disentakkannya sehingga 
terlentang. Dan ... benar juga dugaannya! Mayat yang 
berdada bidang itu mempunyai gambar tatto naga pula 
di atas dada yang sebelah kanan. Tidak begitu besar, 
cuma sebesar jari tangan orang dewasa, tapi digores 
dengan coretan yang kuat dan bagus sekali, sehingga 
gambar naga itu tampak garang dan hidup. 
"Nah, apa kataku? Banyak sekali orang yang 
menggambari tubuhnya dengan lukisan naga di dunia 
ini. Lalu bagaimana aku bisa menentukan orangnya 
yang dikehendaki oleh Suhu?" gadis itu berkata di 
dalam hatinya. 
Beberapa saat lamanya Tio Siau In tercenung diam 
memikirkan masalah yang dihadapinya. Kemarin 
gadis itu masih merasa sulit untuk bisa melaksanakan 
perintah gurunya. Namun sekarang sekali bertemu ia 
malah bisa mendapatkan sekaligus tiga orang yang 
memiliki gambar tatto naga di badannya, sehingga ia 
justru menjadi bingung karenanya. 
Dan sebuah bayangan yang mengerikan tiba-tiba 
melintas di benak Tio Siau In. Mengapa tiga di antara 
sepuluh orang pemenang perlombaan Mengangkat 
Arca itu secara kebetulan memiliki gambar tatto naga 
di badannya? Masakan semuanya itu cuma kebetulan 
saja? Jangan-jangan para pemenang perlombaan yang 205 
lain itu juga memiliki gambar tatto naga pula? Kalau 
memang demikian halnya, persoalan pemuda bertatto 
naga ini tampaknya memang bukan persoalan kecil. 
Tentu ada sebuah misteri besar di balik semuanya ini. 
Otomatis Tio Siau In teringat kembali akan kata-
kata Lo-jin-ong yang disampaikan melalui gurunya, 
bahwa suatu saat seorang laki-laki bertatto naga akan 
mengharumkan nama Aliran Im-yang-kau di 
kemudian hari. 
"Hemm, apakah para pejabat kerajaan juga sedang 
mencari laki-laki bertato naga itu karena dia juga 
dianggap bisa mengharumkan nama negeri ini? Lalu... 
bagaimana dengan orang-orang Hun yang membunuhi 
para rombongan pemenang perlombaan Mengangkat 
Arca ini? 
Apakah mereka juga mencari laki-laki bertatto naga 
itu untuk dimusnahkan agar tidak membahayakan 
negeri mereka di kelak kemudian hari?" bermacam-
macam pikiran dan dugaan memenuhi kepala lio Siau 
In. 
Untuk membuktikan dugaannya gadis itu mencoba 
mencari mayat pemuda pemenang perlombaan yang 
lain. Akan tetapi ketika tangannya terjulur keluar 
hendak meraih mayat yang berada agak jauh dari 
lobang persembunyiannya, mendadak telinganya 
mendengar suara keluhan. 
Tio Siau In terkejut. Salah seorang dari tiga sosok 
mayat tadi ternyata belum mati. Mayat berdada 206 
bidang dengan gambar naga yang indah dan hidup itu 
tampak berusaha menggerak-gerakkan tangannya. 
"Hei, pemuda itu belum mati. Sungguh 
mengherankan sekali. Tampaknya pukulan dahsyat 
Enam Hantu tadi tidak benar-benar telak mengenai 
tubuhnya. Aku harus menolongnya. Biarlah ia kuseret 
ke dalam lobang ini agar tidak terlihat oleh 
pembunuh-pembunuh itu." 
Dengan hati-hati Tio Siang In menarik tubuh 
pemuda yang masih hidup itu ke dalam lobang 
persembunyiannya. Dan bertepatan dengan masuknya 
tubuh tersebut ke dalam lobang, di arena pertempuran 
terdengar jeritan ngeri saling susul menyusul. Enam 
orang Hantu itu tampaknya telah merampungkan 
tugasnya, membunuh mati semua lawannya. 
Tempat itu menjadi lengang kembali. Tio Siau In 
tidak berani bergerak. Angin malam yang berhembus 
dari laut membawa butiran-butiran air bercampur 
embun. Demikian dingin udaranya sehingga bulan 
tipis yang tergantung di langit seperti terburu-buru 
menyurukkan diri ke dalam pelukan awan. Malam 
semakin menjadi gelap gulita. 
Tio Siau In semakin menjadi ketakutan pula di 
dalam lobang persembunyiannya. Sama sekali tidak 
berani bergerak atau beringsut, apalagi berusaha 
mengintip keadaan di luar. Gadis itu hanya bisa 
membayangkan bahwa para petugas kerajaan itu tentu 
telah bergelimpangan menjadi mayat, bercampur 207 
dengan mayat-mayat para pemenang perlombaan 
Mengangkat Arca. 
Akan tetapi betapa kagetnya Tio Siau In ketika 
terdengar suara geraman orang yang bersembunyi di 
dalam perahu itu, 
"Siapakah kalian..., he? Berani benar menghalangi 
orang-orangku! Apakah kalian sudah bosan hidup?" 
"Ada orang yang menghalang-halangi? Siapa...?" 
Tio Siau In berdesah tak percaya. Hampir saja 
kepalanya melongok ke luar, tapi segera ditariknya 
kembali. Takut. 
"Biarlah kami yang membereskannya, Kongcu. Tak 
perlu Kongcu mengotori tangan untuk membunuh dua 
orang tua ini." Ang-kui yang pernah didengar 
suaranya oleh Tio Siau In tadi menggeram. 
"Benar, Kongcu. Mereka telah menghalangi niat 
kami untuk mencabut nyawa para anjing Kaisar Han 
itu. Mereka harus dilumatkan untuk 
mempertanggung-jawabkan kelancangannya ...!" Pek-
kui Si Hantu Putih, yang tertua di antara Hantu-hantu 
itu, berseru keras. 
Hening sejenak. Kemudian terdengar suara napas 
ditarik, panjang sekali. 
"Maafkan kami.... Kami tak bermaksud 
mencampuri urusan Tuan. Bukankah kami belum 
mengenal Tuan-tuan semua? Kami hanya ingin 
mencegah pertumpahan darah yang tak berguna ini." 
terdengar suara serak. 208 
"Kurang. ajar...! Enak saja berbicara! Siapa bilang 
pertumpahan darah ini tak berguna? Mereka adalah 
begundal-begundal Kaisar Han, dan keluarga kami 
adalah musuh bebuyutan Kaisar itu! Nah, sudah 
selayaknyalah kalau kami membasmi mereka!" orang 
yang bersembunyi di dalam perahu itu membentak. 
"Oooh, jadi Tuan-tuan ini bermusuhan dengan 
mendiang Kaisar Liu Pang? Tetapi... mengapa Tuan 
tidak berhadapan langsung saja dengan keluarganya? 
Mengapa Tuan membunuhi orang-orangnya yang tak 
tahu permusuhan itu?" tiba-tiba terdengar suara lain 
yang membuat kaget Tio Siau In di tempat 
persembunyiannya. 
"Suhu...?!?" gadis itu hampir saja bersorak di dalam 
hati. 
Tio Siau In cepat-cepat melongokkan kepalanya ke 
luar. Memang benar." Dilihatnya gurunya, Giam Pit 
Seng, dengan tenang dan gagah berdiri tak jauh dari 
perahu orang Hun itu. Di dekatnya berdiri Lo-jin-ong, 
seorang kakek yang benar-benar sudah sangat tua, 
sehingga tubuhnya, yang renta itu telah condong ke 
depan seolah-olah tulang punggungnya sudah tak 
kuasa lagi menyangganya. Sebatang tongkat 
terpegang di tangan kirinya untuk menopang agar 
tubuh reyot itu tidak tersungkur ke depan. Rambutnya 
yang tipis berwarna putih meletak itu digelung ke atas 
seperti layaknya seorang pendeta, sementara 
jenggotnya yang panjang sampai ke perut itu 
dibiarkan melambai-lambai ditiup angin pantai. 209 
Dua orang tua itu telah dikepung oleh Lok-kui-tin, 
sementara di belakang mereka berdiri menggerombol 
rombongan Lim Kok Liang dan Gui Ciangkun. Para 
abdi kerajaan itu tampak pucat kesakitan menahan 
luka dalam yang parah akibat gempuran Lok-kui-tin 
tadi. Bahkan Gui Ciangkun dan Su Hiat Hong yang 
memiliki ilmu silat paling rendah di antara mereka 
tampak menggeletak diam di atas pasir. Gui Ciangkun 
masih tampak bergerak-gerak dalam rangkulan 
pengawalnya, sementara Su Hiat Hong diam tak 
bergerak seolah sudah mati. 
Tiba-tiba terdengar suara mendengus dari dalam 
perahu, dan mendadak pula Tio Siau ln melihat 
sesosok bayangan berdiri di atas atap perahu tersebut. 
Bayangan itu mengenakan baju berlengan pendek 
yang ditutup oleh kulit rusa berbulu tebal. Rambutnya 
yang gemuk hitam itu sebagian digelung ke atas dan 
yang sebagian lagi dibiarkan terurai di atas bahunya. 
Tiga butir mutiara berwarna merah, kuning, hijau, 
tampak gemerlapan di atas tali pengikat rambutnya. 
Cara berpakaian orang itu tampak sedikit aneh dan 
tak seperti layaknya orang Han. Namun dari bahan-
bahan yang dikenakan segera bisa diduga bahwa 
orang itu bukanlah orang kebanyakan. Apalagi bila 
dilihat sarung pedang yang tergantung di 
pinggangnya. Sarung pedang itu tersalut emas serta 
ditaburi perhiasan dari batu mulia yang mahal 
harganya. Di dalam kegelapan sarung pedang itu 210 
tampak gemerlapan seperti halnya tiga buah mutiara 
yang terikat di atas rambutnya. 
"Hei, Orang tua...! Enak saja kau bicara! Kalau 
keluarga kaisarmu itu tidak selalu bersembunyi di 
balik tembok istana yang dijaga oleh ribuan 
pengawalnya, tentu telah kuhabisi dulu-dulu." 
bayangan itu menggeram ke arah Giam Pit Seng. 
"Ah, kukira mereka tidak bersembunyi. Sejak 
dahulu keluarga raja atau kaisar memang tinggal di 
dalam tembok istana yang kuat dan dijaga para 
pengawal. Kalau Tuan memang berniat membuat 
perhitungan dengan mereka, hmmm... mengapa Tuan 
tidak menggempur saja tembok itu?" guru Tio Siau In 
itu menjawab seolah tak tahu akan bahaya yang bisa 
menimpanya. 
"Kurang ajar....!" bayangan itu berseru marah. 
Kemudian seperti kilat menyambar tubuh orang itu 
melesat ke arah Giam Pit Seng. Demikian cepatnya 
sehingga bayangannya saja hampir tak dapat diikuti 
oleh mata Tio Siau ln. Hanya gemerlapannya mutiara 
dan permata di sarung pedang orang itu yang 
membantu mata Tio Siau In untuk melihatnya. 
"Suhu...." gadis itu berdesah khawatir di dalam 
hatinya. 
"Pit Seng, awaaaas...!" Orang tua bongkok di 
samping Giam Pit Seng itu berdesah dengan suara 
khawatir pula. Tongkat yang ada di tangan kirinya 
tiba-tiba beralih ke tangan kanan.
211 
"Baik, Lo-jin-ong!" Ketua cabang Aliran Im-yang-
kau yang kenyang asam garam pertempuran itu 
menyahut keras sambil bergegas merogoh sepasang 
pit atau pena yang menjadi senjata andalannya. 
Akan tetapi gerakan orang itu benar-benar cepat 
dan dahsyat tiada terkira, sehingga Giam Pit Seng 
terbelalak seolah tak percaya. Belum juga senjatanya 
siap di tangan, badai serangan itu keburu tiba. 
Cepatnya bukan 
main. 
Traaaaaang! 
Traaaaaang...! 
Untunglah 
orang tua 
bongkok yang 
disebut Lo-jin-
ong itu cepat 
membantunya. 
Ujung tongkat 
yang telah 
berpindah ke 
tangan kanan 
orang tua itu 
tiba-tiba 
melambung ke 
atas, memotong 
badai serangan 
yang lewat di depannya. Benturan keras seperti 
layaknya dua bilah pedang baja berdentang 212 
memekakkan telinga ketika ujung tongkat itu beradu 
dengan lengan Si Penyerang. Namun; demikian 
bantuan tersebut ternyata tidak sepenuhnya bisa 
menyelamatkan Giam Pit Seng. Lengan Si Penyerang 
yang lain ternyata masih terjulur menyambar ke dada 
Giam Pit Seng. 
Namun hambatan yang cuma sedetik dari tongkat 
Lo-jin-ong itu telah banyak artinya buat Giam Pit 
Seng. Meski tergesa-gesa dan belum bisa bersiap 
sepenuhnya, tapi setidak-tidaknya salah sebuah pitnya 
telah terpegang di depan dadanya. Sehingga pada saat 
serangan lawan tiba, pit itu sempat menangkis, 
meskipun akhirnya harus terlepas dari pegangannya. 
Ketika kemudian Lo-jin-ong dan Giam Pit Seng 
meloncat mundur untuk bersiap sedia, bayangan yang 
menyerang mereka itu telah kembali bertengger di 
atas perahu. 
"B-bu-bukan main!" Giam Pit Seng berdesah 
dengan suara bergetar. Telapak tangannya yang 
memegang pit tadi tampak terkelupas mengeluarkan 
darah. 
"Memang hebat sekali! Sungguh tak kusangka! 
Usianya masih begitu muda, tapi ginkangnya dan lwe-
kangnya hampir^ hampir telah mencapai 
kesempurnaan! Sungguh berbahaya...!" Lo-jin-ong 
mengangguk-angguk sambil mengawasi ujung 
tongkatnya yang somplak. 
Sementara itu Lok-kui-tin telah mengepung 
mereka, siap untuk menerjang. 213 
"Lok-kui-tin, hati-hati dengan orang tua bongkok 
itu! Kulit dan tulang-tulangnya ternyata masih alot 
sekali." orang yang ada di atas perahu itu 
memperingatkan pengawal-pengawalnya. "Kalian 
bertiga atau berempat baru akan bisa 
menghadapinya...." 
"Kongcu...? Keenam orang yang tergabung dalam 
barisan Hantu itu berdesah seperti orang penasaran. 
Mereka yang selama ini ditakuti orang dan hampir tak 
pernah menemukan lawan yang bisa menandingi ilmu 
mereka tentu saja takkan percaya kalau orang tua 
jompo itu harus dikeroyok tiga atau empat. Masa 
orang tua itu memiliki kesaktian melebihi guru 
mereka? 
Tampaknya orang yang berada di atas perahu itu 
merasakan keragu-raguan pengawalnya. 
"Jangan bertindak bodoh! Lakukan seperti yang 
kuperintahkan, nanti kalian akan mengerti! Nah, Pek-
kui, Hek-kui, Cing-kui dan Ui-kui... kalian berempat 
menghadapi orang tua bongkok itu! Gi-kui kau 
melanjutkan pekerjaan kalian yang tertunda tadi! 
Dan... Ang-kui, kau membereskan orang tua 
bersenjata pit itu! Dia sebenarnya tidak ada apa-
apanya. Paling paling dia cuma mampu bertahan lima 
jurus menghadapimu! Kakek bongkok itulah yang 
berbahaya...!" 
Meskipun masih merasa penasaran, tapi Keenam 
Hantu itu tak berani membantah lagi. Mereka segera 
membagi diri untuk melaksanakan perintah itu. 214 
Namun ketika mereka telah siap untuk bergerak, tiba-
tiba orang di atas perahu itu berseru lagi. Tapi tidak 
kepada mereka. Orang itu mengacungkan jari 
telunjuknya ke arah batu karang besar di mana Tio 
Siau ln bersembunyi. "Kau siapa...?" 
Lemas seluruh sendi-sendi tulang Tio Siau In. 
Walaupun ia merasa tak menimbulkan suara gerakan 
yang membuat dirinya diketahui lawan, tapi 
tampaknya orang lihai itu telah mengetahui 
persembunyiannya. Dengan wajah pucat dan tubuh 
gemetaran Tio Siau In mengusap keringat dingin yang 
membanjiri dahi dan lehernya. 
"Cepat katakan! Siapakah kau...?" orang di atas 
perahu itu membentak lagi. 
Hampir saja Tio Siau In menjawab serta keluar dari 
lobang persembunyiannya ketika tiba-tiba di atas batu, 
karang itu terdengar suara jawaban yang amat 
dikenalnya. Suara kakek gila, saudara seperguruan Si 
Pemuda nakal yang dibencinya itu! 
"Ho-ho-ho-ha-ha-ha...! Sungguh penasaran! 
Penasaran...! Hei, Bocah Tampan kenapa kau 
melupakan aku di sini? Semuanya kauberi lawan 
bertanding, tapi... kenapa aku belum, hah? Lalu... 
dengan siapa aku harus berkelahi? Apakah ... 
apakah... ohh, ya... tahu aku sekarang, he-he-he-he! 
Tampaknya kau sendiri yang hendak bertarung 
denganku! Bagus! Bagus...! Ho-ho-ho-ha-ha-ha-ha!" 
Tio Siau In tidak jadi keluar dari lobang 
persembunyiannya. Entah mengapa, ada perasaan lega 215 
di hatinya. Ternyata bukan dirinya yang dimaksud 
oleh orang di atas perahu itu. Walaupun di dalam hati 
ia juga merasa kaget karena ia tak tahu, sejak kapan 
kakek gila itu bertengger di atas batu karang 
persembunyiannya. 
Di lain pihak kemunculan Put-pai-siu Hong-jin itu 
juga amat melegakan hati Lo-jin-ong dan Giam Pit 
Seng. Bagaimanapun juga kedua tokoh Aliran Im-
yang-kau itu tidak dapat mengingkari kenyataan, 
bahwa mereka menghadapi lawan yang amat berat, 
sehingga kedatangan Put-pai-siu Hong-jin itu benar-
benar menambah semangat mereka. 
"Iblis gila! Siapakah kau...? Lekas katakan!" orang 
yang berdiri di atas perahu itu menghardik lagi. 
"Percuma saja kau bicara apabila dia sedang sinting 
seperti itu. Dia adalah Put-pai-siu Hong-jin dari aliran 
Beng-kau, heh-heh...." Lo-jin-ong cepat-cepat 
menyela perkataan lawannya. 
"Put-pai-siu Hong-jin? Huh, aku belum pernah 
mendengarnya." orang yang berdiri di atas perahu itu 
mendengus dingin. 
"Bagus! Bagus! Kau memang tidak perlu mengenal 
nama itu! Aku pun benci kepadanya! Hahaha-
heheh...! Buat apa mengingat-ingat nama? Hanya 
membuang waktu saja! Lebih baik berkelahi! He-he... 
itu baru asyik! Ayoh!" Si Gila dari Beng-kau itu tiba-
tiba berteriak kegirangan, kemudian meloncat turun 
mendekati perahu. Gerakannya ketika melayang turun 
dari atas batu karang berkesan santai dan ogah 216 
ogahan, bahkan seperti anak kecil yang sedang main 
lompat tali saja. Tapi semuanya menjadi kaget dan 
tercengang keheranan ketika tubuh Si Gila itu tidak 
segera jatuh ke pasir, namun melayang-layang lebih 
dulu ke kanan kiri, bagaikan daun kering yang terbang 
tertiup angin. Jatuhnya pun tidak di atas kaki, tapi 
menggelepar di atas punggungnya. 
"Gila! Bocah itu memang semakin gila...!" Lo-jin-
ong berdecak kagum menyaksikan peragaan ilmu 
mengentengkan tubuh yang tiada tara itu. 
"Ginkangnya benar-benar telah mencapai 
kesempurnaan, sehingga tubuhnya menjadi seringan 
kapas." Giam Pit Seng berdesah pula dengan 
kagumnya. 
Ternyata demonstrasi gin-kang Put-pai-siu Hong-
jin itu membuat keder juga di hati lawannya. Selama 
ini, orang yang bertengger di atas perahu itu merasa, 
bahwa ginkangnya tak ada yang bisa mengalahkan 
selain gurunya, Pendeta Ulah Kili. Namun di tepi 
pantai yang sepi ini ternyata ada seorang kakek gila, 
yang ginkangnya bisa dikatakan setingkat dengan 
gurunya. 
"Hei! Kenapa masih diam saja di situ? Ayoh, cepat 
kita berkelahi! Tangan dan kakiku sudah tak bisa 
dikendalikan lagi! Mereka segera ingin berantem!" 
Put-pai-siu Hong-jin yang sudah berdiri di dekat 
perahu itu berseru keras. 
"Baik! Jangan menyesal kalau nyawamu melayang 
di tempat ini! Lihat pukulan...!" Orang yang 217 
bertengger di atas perahu itu menyambar turun ke 
arah Put-pai-siu Hong-jin. 
"Ho-ho-ha-ha...! Sekali-sekali aku memang ingin 
merasakan... bagaimana rasanya nyawaku ini keluar 
sedikit demi sedikit dari dalam tubuhku, hehehe! 
Kubiarkan dulu dia merangkak sampai ke ubun-ubun, 
setelah itu cepat-cepat kutarik lagi ke dalam! 
Hohoho... tentu asyik sekali!" 
Sambil berceloteh Put-pai-siu Hong-jin melompat 
ke kiri untuk menghindari serangan lawannya. 
Kemudian dengan tangkas badannya berputar ke 
kanan seperempat lingkaran, seraya melepaskan 
pukulan tangan kiri ke pinggang lawan. 
Wuuusssss! Gelombang udara dingin menerjang 
pemimpin rombongan suku Hun itu! Tak ada 
suaranya, namun terasa mengandung kekuatan yang 
amat dahsyat! 
"Bagus!" pemimpin rombongan Suku Hun itu 
berseru. Tubuhnya berjumpalitan ke belakang untuk 
mematahkan serangan itu, kemudian berdiri tegak 
menghadapi Put-pai-siu Hong-jin kembali. 
Masing-masing telah menyerang satu kali, sebagai 
pembukaan dan sebagai penjajagan pertama atas 
kekuatan lawan. Dan gebrakan tersebut seolah-olah 
menjadi tengara atau tanda bagi Si Enam Hantu, 
bahwa pertempuran telah dimulai! Seperti yang telah 
diperintahkan pemimpin mereka tadi, maka mereka 
memecah diri menjadi tiga rombongan. Rombongan 
pertama terdiri dari Pek-kui, Hek-kui, Cing-kui dan 218 
Ui-kui, menghadapi Lo-jin-ong. Rombongan kedua 
hanya seorang, yaitu Ang-kui, mendapat jatah untuk 
membunuh Giam Pit Seng. Sedangkan rombongan ke 
tiga juga hanya seorang saja, Ci-kui, bertugas mencari 
dan membasmi seluruh sisa-sisa lawan yang masih 
hidup. 
Demikianlah, dalam waktu yang hampir bersamaan, 
pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi! Masing-
masing telah mendapatkan lawan! 
Giam Pit Seng yang berhadapan Ang-kui sama 
sekali tidak kelihatan gentar walaupun lawannya 
sangat memandang rendah dirinya. Dua batang pit 
(pena) terbuat dari baja tulen, berukuran panjang dan 
pendek, tergenggam erat di tangannya. Dua batang pit 
itu berkelebatan di sekeliling tubuhnya, baik untuk 
menyerang maupun untuk mempertahankan diri, 
sementara Ang-kui yang bertangan kosong itu masih 
belum bersungguh-sungguh melayaninya. Sebentar-
sebentar Iblis Merah itu menghentikan gerakannya 
melihat-lihat pertempuran lainnya. 
Seperti halnya Ang-kui, maka Ci-kui yang 
mendapat tugas ringan, menghadapi sisa-sisa 
kekuatan Lim Kok Liang, masih kelihatan santai pula. 
Hanya dengan sebelah tangan Iblis Ungu itu 
mempermainkan Lim Kok Liang, Tong Tai-su dan 
pengawal Gui Ciang-kun. Pada saat segar bugar saja 
mereka tak mampu melawan, apalagi dalam keadaan 
luka dalam yang parah seperti sekarang. Mereka 219 
bertiga hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan 
Iblis Ungu itu ingin menghabisi mereka. 
Pertempuran yang seru, namun cukup konyol, 
berlangsung antara Put-pai-siu Hong-jin melawan 
pemimpin rombongan suku Hun itu. Kali ini 
pemimpin rombongan suku Hun itu benar-benar 
membentur musuh yang berat. Dia yang selama 
perjalanannya ke selatan ini tak pernah mendapatkan 
lawan tangguh, sehingga sikapnya menjadi congkak 
dan takabur, kini benar-benar dibuat jengkel dan 
berang oleh Put-pai-siu Hong-jin yang sinting dan 
konyol! Si Gila dari aliran Beng-kau itu berkelahi 
tanpa aturan. Selain gerakannya kadang-kadang kacau 
tak keruan, mulutnya yang lebar tanpa gigi itu juga 
nyerocos terus tanpa berhenti. Anehnya, dengan 
gerakannya yang kacau itu bisa saja ia meloloskan diri 
dari gempuran lawan! Bahkan dengan gayanya yang 
tak beraturan itu sering membikin lawannya kalang 
kabut! 
"Lalat busuk! Ternyata kepandaianmu benar-benar 
hebat! Tangan dan kakiku sampai... hwaduh! 
Bangsat... keparat curang! Kau sepak bisulku! 
Haduuuh! Aduuuh... Bocah tak tahu sopan-santun! 
Lihat... nih, sampai keluar madunya!" Pu-pai-siu 
Hong-jin berjingkrak-jingkrak kesakitan. 
Tapi pemimpin rombongan suku Hun itu tidak 
mempedulikan ulah Put-pai-siu Hong-jin. Dia 
terlanjur kesal dan marah menghadapi tingkah-laku 
Put-pai-siu Hong-jin yang menjengkelkan. Sedari tadi 220 
ia telah mengerahkan beberapa macam ilmu silat 
kebanggaannya, namun kakek gila yang wajahnya 
lebih mirip monyet daripada manusia itu, ternyata 
mampu melayaninya dengan baik. Meskipun 
gerakannya kacau, kakek gila itu selalu bisa 
menyelamatkan diri. Ginkangnya memang hebat 
sekali! 
Menurut ucapan gurunya, Ulan Kili, Ilmu 
Meringankan Tubuh yang paling baik di dunia ini 
adalah ilmu meringankan tubuh milik perguruan 
mereka sendiri, perguruan Ui-soa-pai (Perguruan 
Pasir Kuning) dari Gurun Gobi! Demikian 
tersohornya ilmu itu sehingga dalam perkembangan 
sejarahnya banyak tokoh-tokoh persilatan yang 
berusaha memilikinya. Tapi perguruan Ui-soa-pai 
sangat tertutup dan keras menjaga tradisi sehingga 
sulit ditembus orang luar. Meskipun demikian ada 
juga tokoh persilatan yang berhasil mencuri rahasia 
ilmu meringankan tubuh tersebut dan menirunya. 
Dianiaranya adalah Bu-eng Hwe-teng (Ilmu Terbang 
di Atas Rumput) milik seorang tokoh iblis yang hidup 
beberapa puluh tahun yang lalu. Ilmu tersebut 
merupakan hasil tiruan dari ginkang perguruan Ui-
soa-pai! 
"Hmmh, apakah ginkang kakek gila ini yang 
disebut Bu-eng Hwe-teng itu? Tapi... kulihat 
gerakannya sama sekali tidak ada yang mirip dengan 
ginkang Ui-soa-pai." sambil bertempur orang dari 
suku Hun itu menduga-duga. 221 
Buk! 
Tak terduga sebuah tendangan Putpai-siu Hong-jin 
nyelonong mengenai pantat pemimpin rombongan 
suku Hun itu! Tidak terlalu keras, karena posisi Put-
pai ski Hong-jin sendiri sebenarnya juga tidak 
memungkinkan untuk melepas tendangan! Meskipun 
demikian tendangan tersebut telah membuat 
pemimpin rombongan suku Hun itu menjadi marah 
dan mereka merasa terhina! 
"Hehe-hoho... sekarang impas sudah! Kau tadi 
menyepak bisulku, kini aku ganti menghajar 
pantatmu! Hoho-hooo...! Sayang tidak punya bisul!" 
mulut Put-pai-siu Hong-jin yang lebar itu tertawa 
terbahak-bahak. 
"Monyet Tua! Mulutmu memang harus gera 
dibungkam agar tidak menggonggong terus menerus! 
Nah, terimalah kematianmu sekarang ...!" 
Tampaknya pemimpin rombongan suku Hun itu 
telah merasa cukup menjajagi ilmu kepandaian Put-
pai-siu Hong-in. Kini dia ingin mengakhiri 
pertempuran itu. Ia berdiri tegak dengan tangan 
tersilang di depan dada. Matanya yang mencorong http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
dingin itu menatap Put-pai-siu Hong-jin tanpa 
berkedip. Dan sebentar kemudian tubuhnya diselimuti 
. kabut tipis berwarna kebiruan. 
Walaupun konyol dan sinting, tapi perasaan dan 
otak Put-pai-siu Hong-jin sebenarnya tajam dan 
cerdas luar biasa. Melihat lawannya mulai 
mengeluarkan ilmu pamungkas, dia juga tak berani main-main lagi. Diai pun segera bersiap sepenuhnya. 
Seluruh urat-urat tubuhnya menggeletar, suatu tanda 
ilmu silat andalan Aliran Beng-kau yang disebut Chou 
mo-ciang (Ilmu Menangkap Setan), telah siap 
dilontarkan pula! 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT