PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 04

JILID IV 
KHIRNYA It Kwan tak sabar lagi. la 
mulai menggunakan siasat-siasat yang 
cukup berbahaya, la tak lagi A
mempedulikan harga dirinya sebagai 135 
ketua sebuah perguruan silat ternama. Serangannya 
mulai menjamah ke arah bagian-bagian tubuh yang 
terlarang bagi wanita. Tentu saja kelakuannya itu 
membuat Siau In menjadi malu dan marah sekali. 
Ketika suatu saat tangan It Kwan mencengkeram ke 
arah dadanya, Siau In yang nakal dan bengal itu 
segera membalasnya dengan tak kalah kotornya. 
Dengan tangkas gadis itu mengelak sambil 
meludahkan air liurnya ke muka lt Kwan! 
"Cuuh!" 
It Kwan menjadi merah padam mukanya, meskipun 
air ludah itu dapat dielakkannya. Dengan beringas ia 
menubruk ke depan dengan goloknya. Kali ini yang 
diserang adalah bagian kepala Siau In. Namun ketika 
Siau In mengangkat pedang kanannya untuk 
mengincar pergelangan tangannya, It Kwan tiba-tiba 
mengulurkan tangan kirinya untuk mencengkeram 
kemaluan Siau In. 
"Iiih...!" Siau In menjerit jijik dan malu. 
Karena merasa jijik dan tak ingin bertempur lebih 
lama lagi melawan orang yang tak mengindahkan 
tata-susila kesopanan itu, maka Siau In pun lalu 
menempuh siasat yang nekad dan berbahaya pula. 
Gadis itu mula-mula seperti membiarkan jari-jari 
lawan menyentuh kain celana yang dikenakannya. 
Bahkan untuk lebih meyakinkan lawan bahwa ia 
sudah tidak bisa mengelakkan serangan tersebut, Siau 
In melepaskan pedangnya yang sebelah kiri. Namun 
pada saat yang bersamaan pula gadis itu melepaskan 136 http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
tiga buah pisau kecilnya yang selalu terselip di 
pergelangan tangannya! Ssiuut! Siiuutt! Ssiiuut! 
"Adooouuuh...!" It Kwan berteriak nyaring. 
Meskipun ia berusaha menghindar, tapi tetap saja 
sebuah dari pisau terbang tersebut menancap di 
lehernya! 
"Iiiih!" Siau In menjerit keras pula karena 
celananya di bagian depan terkoyak lebar direnggut 
jari tangan It Kwan. Tentu saja pahanya yang putih 
mulus itu tampak dengan nyata. 
Tapi tak seorangpun anak murid Perguruan Hek-to-
pai itu yang memperhatikan paha Siau In, karena 
perhatian mereka tercurah semua pada keadaan guru 
mereka. Darah mengalir dengan derasnya dari luka di 
leher It Kwan. Pisau kecil itu kebetulan mengenai urat 
nadinya, sehingga tokoh tingkat tinggi seperti It Kwan 
pun tak bisa bertahan lagi. Ketua Hek-to-pai itu segera 
terjerembab kesakitan. 
Anggota Hek-to-pai yang mengepung tempat itu 
menjadi gempar. Sebagian mengurusi guru mereka, 
dan yang sebagian segera mengepung Siau In 
kembali. Tanpa banyak cingcong lagi orang-orang 
yang mengepung Siau In itu segera mengeroyok 
dengan senjata andalan mereka. 
Traaaang! Triiing! 
"Aaaaaah!" 
"Adduuuuuuh!" 
"Ough!" 137 
Siau In juga tidak sungkan-sungkan lagi gadis itu 
cepat mengambil pedangnya kembali dan mengamuk 
bagai singa betina. Pedangnya menyambar-nyambar 
ke sana ke mari sambil meninggalkan korban yang 
tidak sedikit. Lawan-lawannya bergelimpangan 
dengan luka yang menganga di sekujur tubuh mereka. 
"Berhenti...!!!" 
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang 
menggelegar bagaikan guntur yang meledak di telinga 
setiap orang, termasuk pada telinga Siau In pula! 
Gadis itu terhuyung-huyung sambil mengerahkan 
tenaga sakti untuk melawan gempuran suara yang 
mengandung tenaga khikang tinggi itu. 
Kalau Siau In saja sampai terhuyung-huyung akibat 
gempuran Sai-cu Ho-kang (Tenaga Sakti Auman 
Singa) itu, apalagi para anggota perguruan Hek-to-pai 
yang masih rendah ilmunya. Mereka segera 
bergelimpangan sambil menutup telinga mereka. 
Untunglah orang yang baru datang dan menghentikan 
ilmu tersebut tidak meneruskan serangannya, 
sehingga semuanya segera bisa menguasai diri mereka 
kembali. 
Kesempatan itu cepat digunakan oleh Siau In untuk 
membenahi celananya yang bolong. Agar lebih rapat 
serta lebih tertutup lagi, Siau In lalu melepaskan pula 
ikat pinggangnya, sehingga kain bajunya yang longgar 
itu melorot turun sampai ke pahanya. Begitu selesai, 
gadis itu segera bersiap menghadapi orang yang baru 
saja muncul itu. 138 
Orang itu berdiri tegak di tengah jalan. Dengan 
cekatan ia memberi perintah serta mengatur orang-
orang Hek-to-pai yang ada di tempat itu. Anggota 
Hek-to-pai yang masih sehat dan tidak terluka ia 
perintahkan untuk membawa saudara-saudara mereka 
ke dalam perkampung an. Sebagian juga ia 
perintahkan untuk mengumpulkan golok-golok yang 
bertebaran di arena pertempuran tersebut. 
Siau In berdebar-debar hatinya. Orang itu sangat 
tenang sekali dan memiliki rasa percaya diri yang 
amat besar. Meskipun telah melihat hasil pertempuran 
yang banyak merugikan pihak Hek-to-pai seperti itu, 
namun orang itu sama sekali tidak kelihatan kaget 
atau gentar menghadapi Siau In. Bahkan orang itu 
tampak acuh tak acuh terhadap Siau In. 
Orang itu bertubuh tinggi besar dan gemuk. 
Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna dua 
macam itu dibiarkannya terurai lepas menutupi telinga 
dan bahunya. Hanya saja untuk mengikat rambut itu 
agar tidak menutup wajahnya, orang itu 
mempergunakan untaian mutiara sebagai pengikatnya. 
Kumis dan jenggotnya yang juga sudah terdiri dari 
dua warna itu hampir menyelimuti seluruh mukanya, 
sehingga kepalanya yang besar itu hampir seluruhnya 
tertutup rambut, kecuali mata dan hidungnya. 
Orang itu mengenakan jubah yang sangat longgar 
dan panjang berwarna kelabu. Tangannya memegang 
tasbeh panjang, terbuat dari bulatan-bulatan besi 
sebesar kelereng. Karena sering dipegang dan diusap 139 
maka warnanya sudah berubah menjadi hitam 
mengkilap agak kemerah-merahan. 
Ketika kemudian orang itu menatap ke arahnya, 
tiba-tiba Siau In merasa bulu romanya berdiri. Ia 
seperti melihat mata hantu yang hendak menerkam ke 
arah dirinya. 
"Gadis kecil, siapa namamu? Mengapa kau berani 
mengacau perkampungan sahabatku ini?" orang itu 
bertanya dengan suaranya yang dalam dan besar. 
Siau In tidak segera menjawab. Lebih dulu ia 
mengatur pernapasan dan perasaannya yang http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
terguncang, agar semangatnya juga tidak larut dalam 
kengerian menghadapi keseraman lawan. Setelah 
dapat menguasai dirinya kembali, baru Siau In 
membuka suara. 
"Kau tidak perlu tahu namaku. Kulihat kau 
mengenakan jubah pendeta. Kalau kau memang 
benar-benar seorang pendeta, kau tentu dapat 
membedakan baik dan buruk. Kau tentu akan melihat 
dan meneliti dulu siapa yang salah sebelum ikut turun 
tangan." Siau In berkata berani. 
Orang itu tertegun sebentar, lalu tertawa, walaupun 
tawanya terdengar ganjil dan menyeramkan. 
Mulutnya sama sekali tidak kelihatan terbuka karena 
tertutup oleh kumis dan jenggotnya yang lebat. 
"Kau benar-benar cerdik dan berani, Gadis kecil! 
Aku memang seorang pendeta pengembara. Orang 
menyebutku Tong Tai-su. Kebetulan aku berada di 
sini karena It Kwai itu adalah sahabatku. Dan karena 140 
ia sahabatku, maka tentu saja aku takkan 
mempersoalkan apakah ia salah atau tidak. Yang jelas 
ia sekarang terluka, dan anak muridnya juga kacau 
balau oleh amukanmu. Maka sudah selayaknyalah bila 
sekarang aku membantu dia menangkap kau untuk 
mempertanggung-jawabkan perbuatanmu." 
"Baik! Aku memang sudah menduganya. Orang 
berwatak buruk dan jahat seperti lt Kwan tidak 
mungkin mempunyai sahabat dari kalangan baik-baik 
pula. Sahabatnya tentu tidak jauh pula bedanya 
dengan dia. Meskipun engkau memakai jubah 
pendeta, tapi aku yakin jiwamu tentu tak lebih baik 
daripada dia." 
"Bangsat...! Mulutmu memang tajam! Tapi jangan 
harap kau bisa membakar kemarahanku. 
Bagaimanapun juga kau akan kutangkap dan 
kuserahkan kepada lt Kwan!" Tong Tai-su 
menggeram. 
Namun Siau In sudah tidak peduli lagi. Dalam 
keadaan terdesak timbul lagi keberaniannya. Ia tahu 
lawannya berkepandaian sangat tinggi, dan mungkin 
ia tak mampu melawannya. Namun bagaima napun 
juga ia tak ingin mati dalam ketakutan. Dia harus 
melawan sebisa-bisanya. 
Siau In mengerahkan lwe-kang sepenuhnya. 
Sinkang yang kemudian mengalir ia salurkan ke 
seluruh tubuhnya. Kemudian dengan perlahan-lahan 
sepasang pedangnya ia angkat ke depan dada. 141 
"Hahaha... tampaknya kau mau melawan juga! 
Baik! Tapi supaya aku tidak ditertawakan orang 
karena melawan anak kecil seperti kau, maka aku 
akan menyimpan senjataku dan mengikat tangan 
kiriku, sehingga aku hanya menggunakan tangan 
kanan saja untuk melayanimu." 
"Jangan menghina!" Siau In tersinggung. 
Sambil mengalungkan tasbehnya ke lehernya, dan 
menyelipkan lengan kirinya ke belakang, pada ikat 
pinggangnya, Tong Tai-su melangkah ke depan. 
"Marilah! Aku tidak menghinamu! Aku melihat kau 
bisa mengalahkan It Kwan, tapi kau sendiri juga 
hampir celaka oleh cengkeramannya. Hal itu berarti 
kepandaianmu tidak terpaut banyak dengan dia. 
Padahal aku sangat mengenal kepandaiannya. Oleh 
karena itu asal kau bisa lolos dari tangan kananku, kau 
boleh pergi." pendeta itu berkata. 
"Baik!" Siau In sedikit lega. 
Demikianlah Siau In lalu menyerang dengan 
sepasang pedang pendeknya. Pedang itu berkelebatan 
ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari 
lawannya. Suaranya mencicit-cicit saking 
kencangnya, karena Siau In memang mengerahkan 
seluruh kemampuannya. 
Tapi Tong Tai-su memang hebat. Ia memang tidak 
membual atau menyombongkan diri ketika berjanji 
untuk melawan hanya dengan tangan kanannya. 
Ternyata meskipun hanya satu tangan yang maju, tapi 
ketika tangan itu mulai digerakkan oleh pemiliknya, 142 
tiba-tiba Siau In menjadi silau dan bingung http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
menghadapinya. Tangan itu seperti berubah menjadi 
puluhan banyaknya, sehingga ke manapun Siau In 
menyerang ia seperti dikeroyok oleh empat atau lima 
orang lawan. 
Akibatnya beberapa kali pedangnya hampir terlepas 
disambar tangan-tangan itu. Untunglah dengan 
kematangannya bermain pedang ia masih bisa 
menyelamatkannya. 
"Hei...!? Apa hubunganmu dengan Giam Pit Seng? 
Kulihat ilmu pedangmu mirip sekali dengan 
permainan pit-nya!" sambil terus mencecar Tong Tai-
su berseru keras. 
"Beliau adalah guruku! Huh, kalau beliau berada di 
sini, jangan harap kau bisa menghina aku!" Siau In 
berteriak pula dengan tak kalah kerasnya. 
Tak terduga Tong Tai-su tertawa bergelak. 
"Hahaha...! Kau ini anak kemarin sore tahu apa? 
Gurumu itu telah dua kali bertanding dengan aku, tapi 
ia tak pernah bisa mengalahkan aku. Malahan pada 
pertandingan yang ke dua ia justru hampir mati oleh 
tasbehku. Untung ada orang yang menolong dia...." 
Siau In terkejut bukan main, sehingga permainan 
pedangnya agak sedikit kacau. Akibatnya pedangnya 
hampir saja terpental dari genggamannya. Untunglah 
dia segera sadar kembali. Mati-matian ia 
mempertahankannya. 
Samar-samar Siau In memang mengingatnya. Saat 
itu ia baru berusia dua belas tabun. Suatu malam 143 
suhunya pulang dari bepergian jauh dalam keadaan 
lesu. Gurunya mengatakan bahwa dia baru saja 
bertempur dengan musuhnya, tapi ia kalah. Untunglah 
nyawanya diselamatkan oleh seorang pendekar aneh, 
yang hanya dengan tiga jurus bisa membuat 
musuhnya itu lari tunggang langgang. Dan sebelum 
pergi pendekar aneh itu menyuruh gurunya untuk 
mengabdi pada aliran Im-yang-kau. Karena sudah 
berhutang nyawa, serta beranggapan bahwa pendekar 
penolongnya itu adalah tokoh Im-yang-kau, maka 
gurunya lalu masuk menjadi anggota Im-yang-kau. 
Namun setelah bertahun-tahun mengabdi pada Aliran 
Im-yang-kau, dan telah berulang kali menemui tokoh-
tokohnya, gurunya tak pernah menjumpai 
penolongnya itu. Ternyata pendekar tersebut bukanlah 
tokoh Im-yang-kau. Tiada seorang pun tokoh Im-
yang-kau yang wajahnya mirip pendekar itu. 
Tapi gurunya sudah terlanjur mencintai Im-yang-
kau, sehingga ia tak mau meninggalkannya lagi. 
Bahkan oleh karena pengabdiannya yang besar, 
gurunya diangkat menjadi Pimpinan cabang Im-yang 
kau wilayah timur setahun yang lalu. 
"Oh, jadi kaukah orang yang pernah mengalahkan 
Guruku itu? Ah, kalau begitu Guruku sekarang bisa 
tertawa dengan gembira." gadis itu balas mengejek. 
"Memangnya kenapa...?" Tong Tai-su ternyata 
terpancing juga oleh ejekan Siau In. 
"Habis... ilmumu tetap seperti ini saja! Tidak ada 
kemajuan! Padahal setelah masuk aliran Im-yang-kau, 144 
kesaktian Guruku sudah tiga kali lipat dibandingkan 
dengan dahulu! Buktinya sekarang beliau dijadikan 
Pimpinan Cabang di daerah timur." Siau In membual 
agar lawannya menjadi panas perutnya. 
Benar juga. Tong Tai-su menjadi merah padam 
mukanya. Ejekan gadis centil itu betul-betul mengenai 
sasarannya. Begitu marah, penasaran, dan jengkelnya, 
sehingga Tong Tai-su lupa pada janjinya. 
Tangan kirinya yang terselip pada ikat pinggangnya 
itu tiba-tiba ditarik dan terayun ke depan untuk 
merampas pedang Siau In. 
Meskipun kaget tapi Siau In tersenyum penuh 
kemenangan. Mula-mula gadis itu menarik kedua 
bilah pedangnya ke depan dada seperti hendak 
melindungi pedang itu ke dalam pelukannya. Namun 
ketika tangan kiri Tong Tai-su hendak menyambar 
pedang kanannya, pedang kirinya cepat menabas ke 
depan dengan dahsyatnya. 
Tentu saja Tong Tai-su tidak ingin mengadu jari-
jarinya dengan pedang. Otomatis tangan kanannya 
segera membantu dengan menyambar pedang kiri 
Siau In yang berbahaya itu. Gerakannya demikian 
cepat dan kuat luar biasa sehingga tingkat 
kepandaiannya itu tidak mungkin Siau In 
mengelakkannya. 
Tapi anehnya gadis itu seperti membiarkan saja 
pedang kirinya itu ditangkap lawannya. Bahkan 
berusaha untuk menghindari saja tidak. Sekejap Tong 
Tai-su curiga. Tapi sebelum kecurigaannya itu 145 
terpecahkan, tiba-tiba Siau In menusukkan pedang 
kanannya yang bebas itu ke arah pergelangan tangan 
kanan Tong Tai-su yang sudah mencengkeram pedang 
kirinya itu. 
Tong Tai-su terperanjat. Otomatis tangan kirinya 
yang kagok tadi cepat menyambar terus ke depan, ke 
pergelangan tangan kanan Siau In! Dan sekejap 
kemudian kedua bilah pedang pendek Siau In telah 
terampas semuanya! 
Namun di luar 
dugaan gadis itu 
justru bersorak 
gembira sambil 
bertepuk tangan! 
"Apa kau 
sudah gila...?" 
Tong Tai-su 
menghardik 
dengan mata 
melotot. 
"Lhoh... aku 
menang, bukan? 
Mana pedangku!" 
seenaknya Siau 
In menyahut. 
"Menang apa? 
Apa kau tidak 
melihat pedangmu ini?" Tong Tai-su memperlihatkan 
pedang Siau In yang dirampas. 
146 
"Hei! Bukankah Tai-su tadi sudah berjanji untuk 
tidak menggunakan tangan kiri? Ternyata Tai-su telah 
melanggar janjimu sendiri. Bukankah hal itu berarti 
kalah?" Siau In menuntut dengan gaya-nya yang 
kocak. 
"Tapi... ini...!" Tong Tai-su " menjadi pucat. Tak 
terasa pedang itu dilepaskannya begitu saja, sehingga 
jatuh berdentang di tanah. 
Siau In cepat memungut pedangnya. 
"Tahan...!" tiba-tiba Tong Tai-su membentak. 
"Tapi... bukankah kau belum bisa mengalahkan 
tangan kananku? Nah, kau belum boleh pergi!" 
Tapi dengan berani Siau In bertolak pinggang. 
"Siapa bilang tangan kananmu belum kalah? 
Bukankah tangan kanan Tai-su tadi sudah tidak 
berkutik karena sedang mencengkeram pedangku? 
Kalau tangan kiri Tai-su tidak turut campur, bukankah 
pedangku yang satunya sudah bisa menembus 
pergelangan tangan kanan Tai-su itu? Hayo..., benar 
tidak?" sergahnya berani. 
"Lha... ini..., wah! Kau gadis cilik memang cerdik 
sekali! Tapi...?" Tong Tai-su akhirnya mengakui pula 
kekalahannya. Namun ia masih tampak bingung. 
"Tai-su, Kau seorang lo-cianpwe (tokoh persilatan 
angkatan tua)! Kau tidak boleh menjilat ludahmu 
sendiri. Apalagi lawanmu hanya seorang gadis muda 
seperti saya. Hanya seekor binatang yang biasa 
menjilat ludahnya sendiri." dengan cerdik Siau In 147 
mengolok-olok Tong Tai-su agar lawannya itu 
menjadi malu untuk mengubah keputusannya. 
"Kurang ajar! Kau memang luar biasa licinnya! 
Sudahlah... pergi sana!" Tong Tai-su berteriak 
kecewa. 
Bagai burung yang terlepas dari sangkarnya, Siau 
In tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan 
gesit tubuhnya melesat ke depan untuk secepatnya 
meninggalkan tempat berbahaya itu. Sebaliknya Tong 
Tai-su dengan lesu melangkah ke perkampungan Hek-
to-pai, diiringkan oleh sebagian anak muridnya It 
Kwan yang masih sehat. 
Kalau baru saja tadi Siau In mengalahkan lawannya 
dengan kecerdikan, sebaliknya Ciu In harus benar-
benar menguras tenaga untuk menundukkan lawan-
lawannya. 
Empat orang Pek-hok-bio itu ternyata memiliki 
ilmu tongkat yang cukup tinggi. Terutama cara 
mereka bekerja sama satu sama lain. Setiap kali Ciu 
In menyerang dengan pedangnya, secara serempak 
dua orang lawannya segera menempatkan diri untuk 
menghadapinya, sementara dua orang yang lain segera 
mengambil kesempatan itu dengan balas menerjang. 
Demikian selalu terjadi sehingga Ciu In merasa 
kewalahan. Apalagi setiap pedangnya bertemu dengan 
tongkat lawan, ia seperti membentur dua kekuatan 
sekaligus. Bahkan pada saat yang sama ia harus 
menerima tekanan dua kekuatan yang lain lagi. 148 
Untunglah ia bersenjatakan dua bilah pedang, 
sehingga setiap saat senjatanya dapat berada di dua 
jurusan. 
Ciu In memang belum mempunyai banyak 
pengalaman bertempur sehingga ia belum bisa 
memanfaatkan kelihaian ilmu pedangnya. Walaupun 
demikian karena ilmu pedang gubahan Giam Pit Seng 
itu memang cukup hebat serta aneh diduga, maka 
empat orang Pek-hok-bio itu pun juga merasa sulit 
pula menghadapinya. Hal itu membuat mereka 
menjadi penasaran sekali. Di Kuil Pek-hok-bio 
mereka berempat merupakan tokoh-tokoh tingkat dua, 
karena mereka berempat adalah adik-adik seperguruan 
dan kepala kuil itu. Maka sungguh memalukan sekali 
bagi mereka karena tidak bisa meringkus seorang 
gadis muda belia seperti Ciu ln. 
"Baiklah...!" Ciu ln berkata di dalam hatinya. "Aku 
terpaksa mempergunakan pisau terbangku! Tanpa 
senjata kecil itu tampaknya aku akan kehabisan napas 
melayani mereka." 
Ciu ln lalu mencari kesempatan. Mula-mula ia 
berkelebatan ke sana ke mari melayani lawan-
lawannya. Namun pada suatu saat tiba-tiba ia 
berhenti. Sebelum lawan-lawannya bisa menduga apa 
yang hendak ia kerjakan, secara mendadak Ciu In 
melepaskan pisau-pisaunya. Sekali melepas gadis itu 
menaburkan delapan buah sekaligus. 
Karena setiap lawan memperoleh jatah dua buah 
pisau dan dalam posisi terpencar pula, maka otomatis 149 
kedudukan mereka menjadi tercerai-berai. 
Kesempatan inilah yang dikehendaki Ciu In. 
Mumpung lawan-lawannya sedang sibuk menangkis 
atau mengelakkan pisau-pisaunya, ia segera mencecar 
salah seorang di antaranya dengan sergapan dua bilah 
pedangnya. 
Orang itu tentu saja menjadi sibuk bukan main. 
Selagi tongkat besinya sedang ia pakai untuk 
menghanfam pisau kecil itu, tiba-tiba Ciu In 
menyerangnya dengan tabasan dua pedangnya. Ia 
mencoba untuk meloncat mundur. Tapi papan 
jembatan itu ternyata terlalu sempit, sehingga 
badannya melayang ke dalam empang. Mati-matian ia 
berusaha mengaitkan tongkat besinya ke ujung papan 
di dekatnya, namun sekali lagi Ciu ln memberondong 
dengan tendangan dan tusukan pedang. Akibatnya 
tongkat itu justru terguncang lepas dari tangannya. 
Ketika temannya yang terdekat berusaha menolong 
orang itu, Ciu In kembali melepaskan pisau 
terbangnya. Kali ini hanya dua buah, tapi semuanya 
mengarah ke bagian jantung dan pusar orang yang 
akan menolong temannya tersebut. 
Orang itu menjadi gelagapan. Karena dalam posisi 
melayang ke depan, maka gerakannya menjadi kagok. 
Menangkis salah, mengelakkan juga salah. Dua-
duanya akan membuat ia terpelanting ke samping 
sehingga dirinya akan mudah diserang kembali. 
Benar juga. Ketika orang yang hendak 
menolongnya mencoba untuk mengelak, tubuhnya 150 
menjadi terbuka, dan kesempatan tersebut memang 
dipergunakan oleh Ciu In dengan sebaik-baiknya. 
Pedang gadis itu meluncur ke depan ke arah lutut dan 
pinggang orang itu. Dan sekali ini jalan satu-satunya 
bagi orang itu cuma menangkis. Tapi karena 
menangkis dalam posisi yang jelek mengakibatkan 
tubuhnya terbanting ke arah empang pula. 
Byuuuuuur! 
Byuuuuuurr! 
Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua orang 
Pek-hok-bio tercebur ke dalam empang yang dalam 
itu. Ciu In cepat membalikkan badannya karena pada 
saat yang bersamaan pula kedua lawannya yang lain 
telah menerjang ke arah dirinya. Dua orang yang 
masih tersisa itu tampak berang sekali karena kawan-
kawannya dapat diperdaya oleh gadis itu. 
Setelah kini tinggal dua orang saja yang harus 
dihadapinya, Ciu In benar-benar bisa 
mengembangkan ilmu pedangnya dengan leluasa. 
Pedang pendeknya menjadi semakin lincah menari-
nari mengelilingi tubuh lawan-lawannya. Meskipun 
lawannya memegang tongkat besi, namun senjata 
yang berat itu terlalu lamban untuk mengejar ayunan 
pedang pendeknya yang gesit bagai lebah madu. 
Berulang kali kedua orang lawannya itu terpaksa jatuh 
bangun untuk menghindarkan diri dari sengatan 
pedang Ciu In. 
Lima jurus pun segera berlalu, dan dua orang Pek-
hok-bio yang masih tersisa itu pun sudah tidak bisa 151 
bertahan lebih lama lagi. Ketika salah seorang di 
antara mereka terpaksa melepaskan tongkat besinya 
dan terjungkal ke dalam kolam terkena ujung sepatu 
Ciu In, yang lain pun segera ikut terjun ke dalam 
empang pula. 
Celakanya tak seorang pun dari empat orang Pek-
hok-bio itu yang mampu berenang di dalam air, 
sehingga dengan mudah mereka menjadi bulan-
bulanan Liu Wan yang sejak tadi masih mengapung di 
empang menonton pertempuran mereka. Pemuda itu 
dengan cerdik menyelam ke dalam air, lalu bergantian 
menarik kaki-kaki mereka ke bawah. Tentu saja 
orang-orang Pek-hok-bio itu menjadi gelagapan 
seperti anak ayam yang menggelepar-gelepar di dalam 
lumpur. Entah berapa mangkuk air saja yang mengalir 
ke dalam perut mereka. 
Setelah orang-orang Pek-hok-bio itu kelihatan 
lemas dan kecapaian, barulah tubuh mereka diseret ke 
pinggir oleh Liu Wan. Ciu ln cepat berlari mendekati 
dan bersiap siaga kalau-kalau orang Pek-hok-bio itu 
masih hendak meneruskan pula pertempuran mereka. 
Tapi empat orang itu sudah tidak berdaya lagi. 
Selain senjata mereka tertinggal di dalam air, keadaan 
tubuh mereka pun sudah tidak keruan lagi. Tenaga 
hilang, perut dan paru-paru mereka pun penuh dengan 
air. Berkali-kali mereka terpaksa muntah-muntah 
untuk mengeluarkan air yang mereka minum. 
Celakanya yang keluar tidak cuma air empang, tapi 152 
juga seluruh isi perut mereka, termasuk puluhan ekor 
ikan hidup yang ikut tertelan ketika sekarat tadi. 
Begitu dapat berdiri mereka berempat segera 
ngeloyor pergi tanpa pamit lagi. Mereka berjalan 
terhuyung-huyung, sambil sesekali masih harus 
memuntahkan kotoran-kotoran dan ikan-ikan kecil 
yang tersisa di dalam perut mereka. 
"Nona Tio, ilmu pedangmu sungguh hebat sekali! 
Terutama pisau-pisau terbangmu itu. Dan kau benar-
benar cerdik. Semula aku sudah merasa khawatir, 
karena pada permulaannya kau tampak sangat 
kerepotan menghadapi kerja sama mereka." 
Ciu In tersenyum kemalu-maluan. Pujian pemuda 
tampan yang baru setengah hari dikenalnya itu terasa 
menyesakkan dadanya. Pemuda itu sungguh pintar 
bergaul dan pandai mengambil hati orang, sehingga 
sebentar saja Ciu In merasa dekat dan akrab 
dengannya. 
"Ah, diam-diam Tuan tentu mentertawakan ilmu 
pedangku itu...." Ciu In pura-pura kurang senang. 
"Hei, benar... Nona! Aku berkata sebenarnya. Ilmu 
pedangmu sungguh-sungguh hebat. Hanya saja dalam 
penggunaannya kau seperti belum menyatu dan 
mengenal betul akan sifat-sifatnya. Tapi ...eh, omong-
omong, sudah setengah harian kita saling mengenal, 
mengapa masih mempergunakan sebutan "Tuan" dan 
"Nona"? Mengapa kita tidak saling menyebut kakak 
dan adik saja?" dengan gaya yang menyenangkan Liu 
Wan membelokkan arah percakapan mereka. 153 
"Ah... aku...?" Wajah Ciu In yang cantik itu 
menjadi merah. 
"Baiklah, kalau kau setuju... aku akan 
memanggilmu adik, karena usiamu tentu belum ada 
dua puluh tahun. Sedangkan aku sudah seperempat 
abad. Nah, mulai saat ini aku akan memanggilmu Ciu-
moi, dan kau boleh menyebutku Engko Wan atau... 
Wan Siok-siok (Paman Wan)!" pemuda itu 
berkelakar. 
"Wah, tidak mau kalau Wan Siok-siok! Terlalu 
tua!" Ciu In terpancing untuk melayani kelakar Liu 
Wan. 
"Terserah Ciu-moi.... Nah, sekarang kita masuk ke 
pondok lagi untuk mengatur siasat. Aku juga akan 
berganti pakaian pula. Pakaian ini basah dan berbau 
amis. Setelah itu kita juga akan merayakan 
keberhasilan sandiwara kita tadi. Anak buah So Gu 
Thai yang dikirim ke mari tadi dapat kita kelabuhi dan 
pulang dengan tangan hampa...." 
"So Gu Thai? Siapakah So Gu Thai itu?" 
Liu Wan melangkah ke atas jembatan, diikuti oleh 
Ciu In. "So Go Thai adalah penjahat yang kuceritakan 
itu. Sebenarnya ia bukan orang Han, tapi orang Tar-
tar dari suku Hun. Nama sebenarnya adalah Sogudai. 
Seperti nenek moyangnya ia juga pemuja matahari 
dan bulan. Dan setiap pergantian tahun ia tentu 
mengadakan upacara korban untuk dewa matahari dan 
bulan. Dia sangat lihai dan berbahaya karena dia 
adalah bekas pengawal pribadi Mo Tan, raja orang 154 
orang Tartar itu." sambil berjalan melewati jembatan 
itu Liu Wan memberi keterangan tentang musuhnya. 
"Jadi dia orang... Tartar?" Ciu In bertanya ngeri. 
Ciu In sering mendengar penuturan suhunya, bahwa 
bangsa Tartar yang terdiri dari bermacam-macam 
suku itu sangat kasar, kejam, dan tak mengenal 
perikemanusiaan. Di jaman pemerintahan mendiang 
Kaisar Liu Pang, suku bangsa biadab itu telah 
beberapa kali menyerang ke pedalaman Tionggoan. 
Di bawah rajanya yang lihai, buas, kejam namun amat 
cerdik luar biasa itu, hampir saja bisa mengalahkan 
bala tentara Kerajaan Han. Untunglah Kaisar Liu 
Pang memiliki pembantu-pembantu dan panglima-
panglima perang tangguh dan gagah berani, sehingga 
beberapa kati pula Mo Tan dan pasukan perangnya 
dapat dihalau keluar dari Tembok Besar. 
"Ya! So Gu Thai orang Tartar dari suku Hun. Satu 
suku dengan Mo Tan, rajanya." Liu Wan mengiyakan. 
"Ciu-moi...! Sebenarnya aku tidak heran melihat So 
Gu Thai berkeliaran di daerah Tionggoan. Mungkin 
dia hanya salah seorang pengikut Mo Tan yang 
tercecer di sini ketika mereka mengundurkan diri ke 
utara. Tetapi yang aku herankan, selama sebulan ini 
aku sering melihat dan bertemu dengan orang-orang 
Tartar di sepanjang daerah pantai timur ini. Walaupun 
mereka menyamar seperti orang Han, tapi logat bicara 
dan tingkah laku mereka dapat kukenali dengan baik. 
Aku jadi curiga dan berpikir keras. Jangan-jangan ada 
sesuatu yang mereka kerjakan di daerah ini. Aku... 155 
jangan-jangan Mo Tan telah bersiap-siap untuk 
melintasi Tembok Besar lagi." 
"Oh, kalau benar-benar demikian... sungguh 
mengerikan!" Ciu In menatap Liu Wan dengan muka 
pucat. 
"Yah... rakyatlah yang akan mengalami nasib yang 
buruk. Sampai sekarang bekas-bekas kebiadaban 
pasukan Mo Tan itu masih melekat di dada orang-
orang Han. Ah, silakan duduk dulu, Ciu-moi! Aku 
akan berganti pakaian...," 
Sampai di dalam pondok Liu Wan mempersilakan 
Ciu In untuk duduk di kur si yang telah disediakan, 
sementara ia sendiri masuk ke dalam kamar untuk 
mengganti pakaiannya yang basah. Lo Kang dan Lo 
Hai segera menyiapkan minuman. 
Ciu In lalu melihat-lihat lagi keadaan pondok yang 
menyenangkan itu. Di ruang samping Ciu In melihat 
tiga buah lukisan orang dalam ukuran yang cukup 
besar. Lukisan itu terdiri dari sebuah lukisan wanita 
cantik setengah baya dan dua buah lukisan lelaki usia 
empat puluhan dan enam puluhan. Gambar lelaki 
berusia empat puluhan itu hampir mirip dengan Liu 
Wan. Hanya bedanya wajah Liu Wan tidak setajam 
dan sekeras wajah di dalam gambar itu. Dan juga, di 
dalam gambarnya, lelaki itu kelihatan lebih tinggi dan 
lebih jangkung daripada Liu Wan. 
"Ciu-moi, kau di sini rupanya...
" 156 
Seperti tadi, kali ini pun Ciu In hampir menjerit 
saking kagetnya. Tanpa menimbulkan suara tiba-tiba 
saja Liu Wan telah berada di belakangnya. 
"Wan-ko, kau kembali mengagetkanku!" sungutnya 
kesal. 
Tapi tampaknya Liu Wan tak mempedulikan 
kekesalan Ciu In itu. Dengan wajah bersungguh-
sungguh pemuda itu menatap mata Ciu In. 
"Kau... mengenal wajah yang terlukis di dalam 
gambar-gambar ini, Ciu-moi?" desaknya dengan suara 
yang agak bergetar. 
Ciu In balas memandang dengan aneh dan tak 
mengerti. Kadang-kadang dirasakannya pemuda itu 
bersikap aneh dan membingungkan. Seperti ada 
sesuatu yang disembunyikan atau dirahasiakannya. 
"Tidak. Aku sama sekali tidak mengenal mereka. 
Siapakah mereka...?" sambil menggeleng Ciu In 
menyahut dengan suara curiga. 
Tiba-tiba Liu Wan menghela napas lega. Wajahnya 
kembali cerah seperti biasanya. Dengan cepat 
tangannya meraih gambar wanita cantik setengah 
baya itu. 
"Ini... Ibuku. Cantik sekali, bukan? Gambar ini 
kubuat lima tahun yang lalu! Tentu saja Ibuku 
sekarang lebih tua dari pada gambar ini." Liu Wan 
menerangkan 
"Apakah Wan-ko dari keluarga bangsawan atau 
pejabat kerajaan? Kulihat Ibumu mengenakan 157 
perhiasan yang bagus-bagus." Ciu In mencoba 
bertanya tentang asal-usul Liu Wan. 
Pemuda itu tertawa. "Siapa pun bisa mengenakan 
perhiasan yang bagus-bagus, Ciu-moi. Tak perlu ia 
harus keluarga bangsawan atau pejabat kerajaan. 
Seorang pedagang yang berhasil pun bisa membeli 
perhiasan-perhiasan seperti itu kalau dia suka. Apalagi 
di dalam gambar itu aku memang sengaja menambahi 
perhiasan-perhiasan bagus pada wajah Ibuku, agar 
beliau kelihatan lebih cantik lagi dipandang mata." 
dengan cerdik dan luwes pemuda itu menjawab. 
"Ah, Wan-ko ini ada-ada saja. Pandai benar 
mengambil hati Ibumu. Ehm, lalu lukisan orang tua 
berambut agak putih ini siapa?" 
Liu Wan mengambil gambar lelaki berusia enam 
puluhan itu pula. 
"Ini gambar... guruku!" jawab pemuda itu singkat. 
"Gurumu? Bolehkah aku mengenal nama dan gelar 
Gurumu?" Sekali lagi Ciu In mencoba mengetahui 
latar belakang Liu Wan. 
Tapi pemuda itu dengan cepat menggelengkan 
kepalanya. "Maaf, Ciu-moi... Guruku sangat suka 
menyendiri dan tak suka namanya dikenal orang." 
"Baiklah... Lalu siapakah gambar yang lain itu? 
Apakah ia juga suka menyendiri dan tak ingin 
namanya diketahui orang?" dengan suara menggoda 
Ciu In menunjuk lukisan lelaki berusia empat puluhan 
itu. 158 
Liu Wan tersenyum kemalu-maluan. Suaranya pun 
terasa sungkan ketika menjawab. "Benar, Ciu-moi. Itu 
gambar Kakakku. Dia... dia memang tak suka 
diketahui namanya." 
"Yah...." Ciu In berdesah kecewa seraya 
mengangkat pundaknya. "Tampaknya seluruh 
keluargamu suka menyendiri dan tak ingin bergaul 
dengan orang lain, kecuali... kau!" 
Kali ini Liu Wan benar-benar meringis kecut. 
"Bukan begitu maksudku, Ciu-moi. Soalnya... ah, 
sudahlah... kelak engkau tentu akan mengerti juga, 
Ciu-moi. Sekarang memang belum waktunya .... " 
ujarnya kemudian dengan suara sedih dan menyesal. 
Ciu In tertawa. "Ya, kalau kita masih diberi 
kesempatan untuk bertemu lagi. Kalau tidak...? 
Soalnya kalau Adikku yang hilang itu sudah aku 
ketemukan, aku akan kembali pulang dan tidak akan 
pergi ke mana-mana lagi." 
"Terus mau pulang? Di manakah rumahmu? 
Apakah...?" 
Tiba-tiba Liu Wan tidak meneruskan 
pertanyaannya. Ia menjadi sungkan dan malu sendiri. 
Apalagi ketika kemudian Ciu In tertawa kecil sambil 
menutupi mulutnya. 
"Maaf, Wan-ko. Rumah dan keluargaku juga tidak 
suka dikenal orang pula." 
Liu Wan mengambil gambar-gambar itu dan 
memasangnya kembali di tempat semula. Lalu dengan 
wajah agak lesu ia mengajak Ciu In ke ruang depan. 159 
"Sudahlah, Ciu-moi. Kita tidak perlu saling 
mengolok-olok. Biarlah untuk sementara kita tak usah 
saling bertanya tentang asal-usul kita masing-masing. 
Sekarang yang penting adalah menyelamatkan 
Adikmu. Lihat... matahari sudah hampir terbenam. 
Sebentar lagi kita akan berangkat." 
Malam memang cepat sekali datangnya. Belum 
juga mereka menghabiskan teh dan makanan kecil 
yang disuguhkan oleh Lo Kang dan Lo Hai, untuk 
merayakan keberhasilan sandiwara mereka, ribuan 
kunang-kunang telah mulai menyerbu empang itu. 
Begitu banyaknya binatang malam itu beterbangan di 
sekitar pondok tersebut, sehingga tanpa lampu minyak 
pun rasa-rasanya sudah terang benderang. 
Demikian pula keadaannya di tepian pantai di dekat 
perkampungan nelayan Ui-thian-cung pada malam itu. 
Karena angin laut tidak begitu kencang berhembus, 
maka ribuan kunang-kunang segera berkumpul dan 
bercengkerama di tempat sepi itu. Mereka 
beterbangan di antara riak-riak gelombang yang 
berdebur lemah di hamparan pasir yang luas. 
Kalau Ciu In menonton keindahan kunang-kunang 
itu sambil makan minum dan mengobrol bersama Liu 
Wan, sebaliknya Siau In mengagumi binatang malam 
itu sendirian, tanpa kawan, tanpa minuman dan 
makanan, bahkan di atas hamparan pasir yang sunyi 
sepi pula. 160 
Seperti tujuannya semula, sehabis mengalahkan 
Tong Tai-su dengan kecerdikannya, Siau In berlari 
menyusuri jalan yang menuju ke laut itu. Sambil 
mengerahkan gin-kangnya, kadang-kadang Siau In 
masih menoleh ke belakang. Gadis itu masih merasa 
khawatir kalau-kalau Tong Tai-su yang lihai itu 
berubah pikiran lagi. Tapi setelah beberapa saat 
lamanya tak ada tanda-tanda kalau pendeta 
pengembara itu mengejar dirinya, Siau In menjadi 
lega. Gadis itu lalu mengendorkan langkahnya. 
Dengan bernyanyi-nyanyi kecil ia melenggang 
seenaknya. 
Angin sore berhembus agak sedikit kencang 
sehingga bajunya yang longgar menyibak. Siau In 
menjerit lirih sambil membungkukkan badannya. 
Angin nakal itu menyelonong masuk lewat celananya 
yang robek di bagian depan. 
"Oh....!" 
Tiba-tiba gadis itu terperanjat. Sekejap Siau In 
menyangka Tong Tai-su mengejarnya, karena ketika 
dia membungkuk tadi, ia seperti melihat sebuah 
bayangan menyelinap cepat ke semak-semak di 
belakangnya. Namun ketika ia membalikkan badan 
dan melihat jalan lengang di belakangnya, Siau In tak 
melihat siapa-pun di sana. Untuk lebih meyakinkan 
dugaannya Siau In berbalik dan meneliti semak-
semak itu. Tapi semak itu kosong.
161 
"Ah, tampaknya aku hanya terbayang-bayang saja 
wajah Tong Tai-su yang menyeramkan itu...." 
akhirnya Siau In membesarkan hatinya sendiri. 
Gadis yang memang memiliki watak lincah dan 
gembira itu sebentar saja telah melupakan rasa kaget 
dan kecurigaannya. Siau In telah bernyanyi-nyanyi 
kecil kembali. Bahkan di tempat yang dirasa sangat 
sepi dan lengang, ia menyelinap ke semak-semak di 
tepi jalan. Di tempat itu mengalir sebuah selokan kecil 
yang sangat jernih airnya. Sambil buang air kecil Siau 
In mengganti celananya yang sobek. Celana itu tidak 
dibuang tetapi dimasukkannya ke dalam 
bungkusannya. 
Tiba-tiba...! 
"Iiiiiiiiih...! " Siau In menjerit sekeras-kerasnya. 
Seketika wajah Siau In menjadi pucat, matanya 
berkedip-kedip mau menangis, sementara bungkusan 
pakaiannya ia lepaskan begitu saja! Gadis itu 
memandang kaget ke tengah-tengah semak itu! Di 
tempat yang agak longgar itu tampak seorang pemuda 
sedang tiduran di atas rumput, dan hanya dua tombak 
jauhnya dari tempat Siau In berdiri! 
"Kkkkau? Si-si-siapakah kau? Mengapa kau di 
sini? Kau... mengintip-intip aku, ya? K-k-kau tadi... 
melihat... melihat... ya? Ooooh!" dengan suara sember 
dan serak, seperti mau menangis, Siau In menuding 
pemuda nakal itu. 
Lalu seperti induk ayam yang diganggu anaknya, 
Siau In mengamuk sejadi-jadinya. Gadis itu 162 
menerjang, memukul, menendang dengan membabi-
buta ke arah pemuda nakal itu untuk melampiaskan 
rasa dongkolnya. Siau In lupa bahwa pukulannya itu 
bisa membunuh orang. 
Untunglah pemuda itu bukan pemuda petani 
tambak atau nelayan yang tak mampu apa-apa. 
Pemuda itu ternyata seorang jago silat tinggi yang 
bisa mengelak serta menghindarkan diri dari amukan 
"induk ayam" yang baru kesal dan marah itu. 
"Hei! Hei! Berhenti! Apa-apaan ini? Mengapa kau 
menyerang aku? Apa salahku?" sambil melesat ke 
sana ke mari pemuda itu berteriak-teriak. 
Setelah beberapa saat tak dapat mengenai tubuh 
lawannya, Siau In tiba-tiba malah menjadi sadar akan 
perbuatannya. Ia segera menghentikan amukannya. 
Terlongong-longong ia memandang lawannya. Air 
mukanya tampak menyesal karena dia hampir saja 
membunuh orang. Tapi ketika dilihatnya orang itu 
masih segar bugar seperti tidak pernah terjadi apa-apa, 
kemarahan Siau In pun cepat meluap kembali. 
"Kurang ajar! Ternyata kau pandai bersilat, ya? Jadi 
kau memang sengaja mau mengganggu dan mencoba 
aku, ya? Kau sengaja mengintip dan... eh, katakan 
terus terang! Kau... hei, bukankah kau yang mengacau 
di atas panggung perlombaan tadi?" Siau In berkicau 
seperti burung sedang birahi. 
Pemuda yang tak lain memang Chin Tong Sia itu 
hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Ia sama 
sekali tak mempunyai kesempatan untuk menjawab 163 
atau membela diri. Demikian mulutnya terbuka 
hendak bersuara, Siau In sudah menggencetnya 
dengan berondongan suaranya. Demikian berulang 
kali sehingga akhirnya Chin Tong Sia menjadi kesal 
pula dibuatnya. Dan merasa kesal, gendengnya pun 
segera kumat. 
Dengan sikap acuh tak acuh pemuda itu 
membalikkan tubuhnya. Sambil melangkah pergi, 
mulutnya masih 
sempat 
membalas 
semprotan Siau 
In. Suaranya 
tenang, 
seenaknya, 
malahan agak 
sedikit 
menggoda. 
"Tentu saja 
aku melihatnya! 
Habis, begitu 
dekatnya, sih! 
Masa aku buta?" 
Dapat 
dibayangkan rasa 
marah, malu, 
penasaran, dongkol, di hati Siau In, sehingga gadis itu 
rasanya ingin menangis menggerung-gerung di tanah. 164 
"Bagus! Kalau begitu kau harus mati!" Siau In 
berteriak marah, lalu menerjang Chin Tong Sia. 
Dengan tangkas Chin Tong Sia mengelak, lalu 
melangkah ke samping dan berusaha meneruskan 
jalannya. Tapi mana mau Siau In melepaskannya? 
Dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya gadis itu 
mencoba meringkus pemuda yang telah membuat 
dirinya menderita malu bukan main itu. 
Belasan jurus telah terlewati. Ternyata dengan 
tangan kosong Siau In tak mampu menjatuhkan 
lawannya, padahal pemuda itu sama sekali tak pernah 
membalas. Saking marah dan jengkelnya Siau In 
menghunus sepasang pedang pendeknya. Dengan dua 
buah senjata andalannya itu Siau In mencoba 
mencabik-cabik tubuh Chin Tong Sia! 
Namun kali ini Siau In benar-benar ketemu 
batunya. Pedang pendeknya yang baru saja 
menaklukkan seorang ketua partai persilatan yang 
cukup tenar seperti It Kwan itu, kini ternyata menjadi 
melempem, dan sama sekali tak bisa berbuat banyak 
terhadap pemuda tak ternama seperti lawannya itu. 
Jangankan dapat menyentuh tubuhnya, sedang 
bayangannya pun Siau In tak mampu menggapainya. 
Bahkan bila mau, tampaknya dengan mudah pemuda 
itu bisa meloloskan diri dari libatan pedang Siau In 
dan pergi dari tempat itu. 
Namun kelihatannya Chin Tong Sia memang tak 
hendak meninggalkan tempat tersebut. Sebaliknya 
dari berlari, Chin Tong Sia malah melenggang bolak 165 
balik dan berputar-putar di tempat itu sambil 
mengelakkan serangan pedang Siau In. Sambil 
melenggang dan menghindar, pemuda yang sudah 
angot gendengnya itu berpantun! 
Di sana gunung, di sini gunung! 
Di lembah ada sungainya...! 
Di sana melembung, di sini... ya melembung! 
Oooiiiiii...? 
Di tengah-tengah ada... jurangnya! 
Ketika menyebut kata-kata gunung, Chin Tong Sia 
menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah, 
seperti hendak memperagakan dua buah benda yang 
menonjol atau melembung. Dan ketika menyebut 
kata-kata melembung serta kalimat pada bait yang 
paling akhir, pemuda itu melakukannya dengan 
tertawa cekikikan. 
Kulit muka Siau In menjadi merah padam bagai 
udang direbus. Malunya bukan main. Gadis yang 
cerdik dan sudah biasa mengolok-olok orang itu 
dengan cepat bisa menangkap atau menduga arah 
pantun yang dinyanyikan pemuda itu. Yang 
dimaksudkan dengan gunung yang melembung itu tak 
lain tentulah pantatnya yang menonjol besar. 
Sementara kata-kata lembah atau jurang itu tentu juga 
dimaksudkan untuk menghina atau mengejek dirinya. 
Rasanya Siau In tak ingin hidup lagi kalau tak 
membunuh pemuda kurang ajar tersebut. Tapi 166 
sebelum ia benar-benar menumpahkan seluruh 
kelihaiannya, mendadak dari arah depan terdengar 
suara ketawa yang lain lagi. 
"Ah, salaaaaaah! Salah...! Sute, pantunmu itu 
kurang benar! Harusnya begini...!" 
Di sana bokong, di sini bokong...! 
"Wah... terpeleset! Keliru... keliru...! Oh, ya 
begini...!" 
Di sana gunung, di sini gunung! Di lembah ada 
sungainya...! 
Di sana melembung, di sini melembung hi-hi-hi-
hi..! 
Di tengah-tengah ada... ada... ada sungainya! 
"Hahaha! Nah, itu baru benar! Di tengah-tengah 
ada sungainya! Bukankah di sana ada mata air yang 
mengalir? Haha-hoho-ha-ho...!" 
"Suheng...!" tiba-tiba Chin Tong Sia membentak 
keras sekali. "Di mana kau sekarang? Apakah kau tadi 
juga melihat ...? Awas, sekali ini kau tidak boleh ikut 
campur!" 
"Aku berada di depan. Wah... aku tidak melihat 
apa-apa tadi. Habis, aku sendiri sedang berak, sih! 
Kau juga nakal, tak mau membagi-bagi kebahagiaan 
bila dapat mangsa. Seharusnya tadi kau memberi tahu, 167 
dong! Meski masih berak, aku juga akan berlari ke 
situ, hehehe...!" 
Siau In cepat mengeluarkan pisau-pisaunya. Karena 
kemarahannya sudah tidak bisa dibendung lagi, maka 
pisau-pisau itu pun segera beterbangan mencari 
mangsa. Kali ini Chin Tong Sia benar-benar harus 
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya yang 
kurus itu berkelebatan melebihi kecepatan pisau. 
Meliuk, meluncur, menukik, melenting, dan melayang 
ke segala penjuru, laksana lebah yang mengitari 
bunga. Gerakannya indah dan cepat bukan main. 
Belasan pisau yang dipunyai Siau In telah habis 
terpakai, namun tak sebuah pun yang dapat mengenai 
sasarannya. Pemuda lawannya itu terlalu gesit dan 
lincah. Siau In menjadi kesal dan putus asa. Saking 
kesalnya gadis itu segera membuang pedangnya. 
Sambil menjatuhkan diri di atas rumput Siau In 
menangis sejadi-jadinya! 
Tentu saja Chin Tong Sia menjadi kaget sekali 
"Lho... bagaimana ini? Kenapa tiba-tiba jadi 
menangis...?" 
Chin Tong Sia menggaruk-garuk rambutnya yang 
tidak gatal. Pemuda itu tidak tahu apa yang harus 
dikerjakannya. Membujuk salah, tidak membujuk 
hatinya tidak tega. 
Siau In memang ingin menumpahkan seluruh 
kekesalannya, seluruh kemarahannya, dan juga 
seluruh kekecewaannya, sehingga beberapa waktu 
lamanya ia masih menangis sesenggukan. Sebaliknya
168 
Chin Tong Sia yang menunggu di dekatnya, melihat 
Siau In tak kunjung menghentikan tangisnya, menjadi 
salah tingkah. Mendadak timbul rasa sesalnya, karena 
telah membuat kesal hati gadis cantik itu. Dengan 
agak takut-takut, takut mendapat semprotan lagi, Chin 
Tong Sia berlutut di samping Siau In. Dengan kata-
kata halus dan ucapan sesal, pemuda itu mencoba 
menghentikan tangis Siau In. Tak terasa tangan 
pemuda itu terulur ke depan untuk memegang pundak 
Siau In. Pada saat itulah tiba-tiba Siau In membalik! 
Plaaak! Plaaaak! 
Dua kali tamparan yang keras mendarat di pipi 
Chin Tong Sia! Begitu cepat dan keras sehingga 
pemuda itu tidak kuasa lagi untuk menghindarinya. 
Jaraknya demikian dekat, dan Chin Tong Sia sendiri 
memang lengah. Akibatnya pipi pemuda itu menjadi 
bengkak dan merah, bahkan dari sela-sela bibirnya 
mengalir darah segar. 
Tapi sungguh mengherankan! Sama sekali pemuda 
itu tidak marah atau sakit hati. Pemuda itu hanya 
mengusap-usap saja pipinya yang bengkak. Hanya 
matanya saja yang berkedip-kedip seperti lampu 
kehabisan minyak, memandang dengan wajah 
menyesal kepada Siau In. 
"Heh? Kenapa kau diam saja ditampar gadis ini?" 
Entah dari mana datangnya, mendadak di dekat 
Chin Tong Sia telah berdiri Put-pai-siu Hong-jin! Si 
Gila itu seperti hantu yang muncul begitu saja di 
tempat itu, sehingga Siau In yang baru saja menampar 169 
Chin Tong Sia itu sampai terlonjak saking kagetnya! 
Apalagi ketika gadis itu melihat wajahnya yang 
menyeramkan! 
"Suheng! Sekali lagi kau jangan turut campur! 
Aku... tiba-tiba aku merasa menyesal telah 
mempermainkan gadis ini. Aku memang anak bengal. 
Aku tak pernah mempunyai Ayah dan Ibu. Yang ada 
hanya Suhu dan para Suheng yang terlalu amat 
memanjakan aku. Aku tak pernah diajari untuk 
menghormati wanita. Aku tak pernah ditampar kalau 
berbuat nakal. Oooh, kalau aku punya Ibu, aku tentu 
sering dipukul dan ditampar seperti ini kalau nakal...." 
seperti orang melamun Chin Tong Sia bergumam 
dengan suara lemah. 
"Nah, kau sudah mulai cengeng lagi! Huh, bosan 
aku...! Sudahlah, aku akan pergi dulu! Silakan kau 
menangis bersama gadis ini sepuasnya, asal jangan 
lupa datang di rumah nelayan itu tengah malam 
nanti!" 
Selesai menggerundel Put-pai-siu Hong jin melesat 
pergi dari tempat itu. Datangnya sangat tiba-tiba, 
begitu perginya. Tubuhnya yang kurus dan agak 
bungkuk itu seperti berubah menjadi asap yang tertiup 
angin semakin jauh. Cepat bukan main! Siau In 
sampai terbelalak saking herannya. 
"Nona, maafkanlah aku. Aku benar-benar menyesal 
mempermainkan engkau. Kuharap kau tidak menjadi 
sakit hati terhadapku...." sambil tetap mengelus-elus 170 
pipinya yang bengkak Chin Tong Sia meminta maaf 
kepada Siau In. 
Siau In sudah tidak sesenggukan lagi. Masih 
dengan kaki bersimpuh di atas rumput gadis itu 
menatap dengan rasa benci kepada Chin Tong Sia. 
Rona merah masih menjalar di pipi gadis itu kalau 
mengingat keadaannya ketika diintip oleh pemuda itu. 
Tapi pemuda itu kini juga ikut bersimpuh di 
depannya. Bahkan pemuda itu tampak sangat 
menyesali perbuatannya. Terbukti ditampar sampai 
bengkak dan berdarah pun ia tak membalas. Akhirnya 
susut juga kemarahan Siau In. 
"Baiklah, aku memaafkan kau. Tapi... coba kau 
berkata terus terang! Apakah kau tadi benar-benar 
melihat... eh... melihat seluruhnya?" dengan wajah 
kembali memerah Siau In mencoba meyakinkan 
sekali lagi akan kekhawatirannya. 
Chin Tong Sia menatap dengan agak takut-takut. 
Sikapnya itu benar-benar aneh dan bertolak belakang 
dengan kehebatannya dalam ilmu silat! Perlahan-
lahan kepala Chin Tong Sia mengangguk. 
Plaaaak! 
Kemarahan Siau In tiba-tiba meledak kembali dan 
tangannya melayang ke pipi Chin Tong Sia tanpa bisa 
dicegah lagi. Akibatnya untuk kedua kalinya darah 
mengalir keluar dari mulut pemuda itu. 
"Wah, payah...! Sute, apa sebenarnya yang telah 
terjadi padamu? Kenapa kau tetap diam saja seperti 
patung? Lama-lama kau bisa ompong... ditampar 171 
terus-menerus oleh perempuan galak itu!" terdengar 
suara Put-pai-siu Hong-jin dari kejauhan. 
Siau In tercengang. Orangnya sudah tidak tampak, 
tapi kenapa seperti masih bisa menyaksikan keadaan 
di tempat itu? Berdiri juga bulu roma Siau In melihat 
kesaktian orang itu. Apa jadinya kalau manusia 
menyeramkan itu tadi menjadi marah dan membela 
sutenya? Baru Si pemuda ini saja sudah bukan main 
lihainya, apalagi orang itu. 
Perlahan-lahan Siau In menurunkan tangannya 
yang telah siap sedia hendak menampar lagi. Matanya 
yang galak itu tiba-tiba meredup tatkala menyaksikan 
aliran darah yang masih menetes-netes di sudut bibir 
Chin Tong Sia. Sejenak heran juga hati Siau In 
melihat pemuda itu diam saja tak membalas ketika ia 
tampar tadi. Apakah pemuda itu takut padanya? Jelas 
tidak. Pemuda itu memiliki kesaktian yang jauh lebih 
tinggi dan pada silatnya. Apakah pemuda itu benar-
benar menyesali perbuatannya? 
Siau In menghela napas panjang. Matanya 
tertunduk pula. 
"Menurut aturan aku harus membunuhmu untuk 
menghilangkan rasa maluku. Tapi... sudahlah. Aku tak 
tega melihat kau telah menyesali perbuatanmu. Hanya 
kuminta untuk selanjutnya kau jangan sampai bertemu 
dengan aku. Kalau sampai berjumpa sekali lagi, aku 
akan membunuhmu. Kalau tak bisa membunuhmu, 
aku sendiri yang akan bunuh diri. Aku tak ingin 
melihat orang yang telah melihat tubuhku, kecuali...." 172 
Siau In tak meneruskan ucapannya, kemudian berdiri 
dan meninggalkan tempat itu. 
"Kecuali... apa, Nona?" Chin Tong Sia cepat berdiri 
dan bertanya. 
Tapi Siau In tak mau berbicara lagi. Kakinya 
melangkah cepat menuju ke pantai. Chin Tong Sia 
sendiri sebenarnya juga akan ke perkampungan 
nelayan pula. Tapi ia tak berani membarengi gadis itu. 
Ia takut gadis itu akan membuktikan ancamannya. 
Barulah ketika gadis itu tidak kelihatan lagi, Chin 
Tong Sia melangkah pula menuju ke pantai. Inilah 
pengalamannya yang pertama dengan seorang gadis 
selama hidupnya yang telah menginjak dua puluh 
enam tahun itu. 
"Oh... tololnya aku! Sampai lupa aku menanyakan 
namanya! Hmmm...!" pemuda itu menyesali dirinya. 
Tiba-tiba Chin Tong Sia ingat pada bungkusan Siau 
In yang masih ketinggalan di dekat selokan itu. 
Bergegas pemuda itu kembali dan mengambilnya. 
Namun ketika ia hendak berlari untuk memberikan 
benda tersebut ke pemiliknya, hatinya kembali ragu-
ragu. 
"Ah, peristiwa ini masih mengeruhkan pikirannya. 
Dia bisa benar-benar berbuat nekad kalau aku tetap 
mendesaknya. Hmh, biarlah lain kali saja kalau takdir 
masih mempertemukan aku dengan dia, barang ini 
akan kuserahkan kepadanya." Sambil menarik napas 
panjang Chin Tong Sia mengikatkan bungkusan itu ke 
pundaknya. Entah apa isinya ia tak tahu.
173 
Demikianlah, peristiwa yang tidak mengenakkan 
hati itu masih saja mengganggu dan berkecamuk 
hebat di dalam pikiran Siau In. Oleh sebab itu pula 
walaupun malam telah merangkak semakin larut, 
gadis cantik itu masih saja bermenung sendirian di 
tepi pantai. Dibiarkannya angin malam yang nakal itu 
membelai dan mengacaukan rambutnya. Bahkan 
dibiarkannya pula air laut yang mulai pasang itu 
membasahi kain celananya. 
Berjam-jam lamanya gadis itu duduk diam bagai 
patung batu. Diam tak bergerak. Matanya 
menerawang jauh ke tengah laut seolah-olah ingin 
menjenguk cakrawala, di mana langit dan permukaan 
laut saling bertaut menjadi satu. Hanya tarikan 
napasnya yang panjang dan berat saja yang 
menandakan gadis itu masih hidup. 
Terdengar suara lonceng dari kampung Ui-thian-
cung, pertanda hari sudah lewat tengah malam. Air 
laut benar-benar telah mulai pasang, sehingga pasir di 
mana Siau In duduk juga mulai dibanjiri air. 
Siau In terpaksa beranjak pergi meninggalkan 
tempat itu. Dengan lesu gadis itu melangkah satu-satu 
ke tempat yang lebih tinggi. Kadang-kadang ia harus 
melompati batu-batu karang yang berserakan di 
depannya. Dan akhirnya gadis itu memutuskan untuk 
duduk kembali di sebuah batu karang yang menjulang 
paling tinggi. 
Namun ketika Siau In mulai meletakkan pantatnya 
di puncak batu karang itu, tiba-tiba matanya terbelalak 174 
memandang ke tengah laut. Di antara gulungan 
ombak yang bergulung-gulung datang, gadis itu 
melihat sebuah perahu datang mendekati pantai di 
mana ia berada. Yang membuatnya heran adalah 
perahu itu sama sekali tidak memasang lampu seperti 
halnya perahu-perahu nelayan yang lain. 
Siau In meloncat turun dan bersembunyi di balik 
batu karang. Nalurinya mengatakan bahwa perahu 
yang datang itu bukanlah perahu nelayan biasa. Ada 
sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Selain tidak 
memasang lampu, perahu itu juga tidak berlabuh di 
perkampungan nelayan, tapi tempat terasing seperti 
ini. 
Perahu itu ternyata cukup besar pula, mungkin - ada 
empat atau lima tombak panjangnya. Di tengah-
tengahnya dibangun sebuah ruangan lengkap dengan 
atapnya. Dan begitu menyentuh pasir, enam orang 
penumpangnya segera berloncatan turun untuk 
menyeret perahu itu ke tepian. 
Siau In menjadi berdebar-debar hatinya. Melihat 
gerakan orang-orang itu dapat dipastikan bahwa 
mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Tubuh 
mereka yang hanya mengenakan baju tanpa lengan 
itu, tampak kokoh kekar dan perkasa. 
"Tutup perahu ini dengan daun ilalang yang 
tumbuh di tepian itu!" tiba-tiba terdengar suara 
berwibawa dari dalam perahu.
175 
Siau In terkejut bukan main. Ternyata masih ada 
lagi orang di dalam perahu itu. Untunglah gadis itu 
tidak gegabah dalam pengintaiannya. 
Sekejap saja keenam orang itu telah membabati 
daun ilalang dan menutupkan nya pada perahu besar 
itu. Mereka bekerja dengan cepat tanpa suara, seperti 
kawanan hantu yang bekerja di malam hari. Mereka 
seperti tidak memperdulikan orang yang masih berada 
di dalam perahu. 
Selesai menimbun perahu dengan daun ilalang, 
orang-orang itu lalu berdiri tegak menunggu perintah. 
Tak seorang pun membuka mulutnya. Mereka tegak 
kaku bagaikan patung batu. 
Siau In mencoba melihat wajah-wajah mereka. 
Namun karena jaraknya terlalu jauh, maka hanya 
warna pakaian dan bentuk perawakan mereka saja 
yang bisa dilihatnya. Kegelapan membuat wajah 
mereka tampak hitam dan samar-samar. 
Keenam orang itu mengenakan pakaian yang 
berbeda-beda warnanya. Kuning, hijau, biru, merah, 
putih dan hitam. Masing-masing membawa pedang di 
atas punggungnya. 
"Carilah tempat berlindung! Kita tunggu 
kedatangan mereka!" tiba-tiba terdengar suara di atas 
batu karang di mana Siau In bersembunyi. 
Hampir saja Siau In menjerit. Tanpa dia ketahui 
bagaimana atau kapan keluarnya, orang yang berada 
di dalam perahu tadi telah berdiri tegak di atasnya, di 
atas batu karang besar itu. Demikian dekatnya, 176 
sehingga rasa-rasanya dia bisa menjangkau ujung 
sepatu orang itu. Untunglah cuaca cukup gelap dan 
suara debur ombak juga cukup berisik pula sehingga 
benar-benar membantunya dari perhatian orang itu. 
Coba kalau tidak, arang itu tentu akan segera 
mengetahui persembunyiannya. 
Angin laut berhembus dengan tajamnya, tapi peluh 
dingin justru mengucur dengan derasnya di leher dan 
punggung Siau In. Hampir-hampir gadis itu tidak 
berani bernapas, takut suaranya akan terdengar. 
"Ada orang datang...!" orang itu bersuara lagi. 
"Bersembunyilah...!" 
Dan untuk yang kedua kalinya Siau In tersentak 
kaget. Suara itu telah berada di dalam timbunan daun 
ilalang kembali, tanpa sedikit pun ia ketahui kapan 
berpindahnya. Padahal perahu yang ditimbun ilalang 
itu ada tiga atau empat tombak jauhnya dari batu 
karang tempat ia bersembunyi. 
Sekarang bukan hanya ketegangan atau ketakutan 
yang melanda hati Siau In, tapi juga rasa ngeri 
menyaksikan kehebatan orang itu. Sekejap timbul 
juga perasaan bimbang di hatinya. Benarkah orang itu 
atau mereka itu manusia-manusia biasa seperti 
dirinya? Ataukah mereka itu hantu-hantu penjaga 
pantaj yang sedang menakut-nakuti dirinya? 
"Aku sama sekali tak melihat gerakannya. Orang 
yang berdiri di atas batu karang ini tadi seperti 
menghilang begitu saja. Rasa-rasanya memang cuma 177 
hantu atau roh yang bisa berbuat demikian." gumam 
Siau In di dalam hatinya. 
Kemudian gadis itu menyurukkan tubuhnya 
semakin dalam ke celah-celah batu karang. Kalau 
memang benar makhluk-makhluk itu bukan manusia 
seperti dirinya, Siau In ingin tahu apa yang hendak 
mereka perbuat di tempat itu. 
"Hemmm, kenapa hanya seorang yang datang...?" 
tiba-tiba orang yang bersembunyi di dalam perahu 
tadi berdesah agak keras. 
Siau In menjulurkan kepalanya di antara celah 
sempit di dekatnya. Dengan amat hati-hati gadis itu 
mengintip ke luar. 
Benar juga. Tidak lama kemudian dari arah 
kampung Ui-thian-cung terlihat sesosok bayangan 
hitam berloncatan di antara batu karang yang 
berserakan di tepian pantai tersebut. Dengan cepat 
bayangan hitam itu terbang mendekati. Gerakan 
kakinya sangat ringan dan lincah, menandakan orang 
itu memiliki ginkang yang tinggi pula. 
Sekejap saja bayangan itu telah berada di dekat 
perahu. Dan sungguh kebetulan juga, bayangan itu 
berdiri tak jauh dari tempat Siau In bersembunyi, 
sehingga gadis itu bisa melihat wajah orang itu 
dengan jelas. 
Orang itu mengenakan jubah hitam yang amat 
longgar, hingga tubuhnya yang tegap dan tinggi itu 
semakin tampak seperti raksasa. Rambutnya yang 
panjang dan telah berwarna dua itu dibiarkan tergerai di pundaknya. Demikian juga dengan kumis dan 
jenggotnya yang lebat itu dibiarkannya tumbuh bebas 
menutupi sebagian besar wajahnya pula. Sesaat 
hampir saja Siau In menyangkanya sebagai Tong Tai-
su. 
_0&__







Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT