JILID IV
KHIRNYA It Kwan tak sabar lagi. la
mulai menggunakan siasat-siasat yang
cukup berbahaya, la tak lagi A
mempedulikan harga dirinya sebagai 135
ketua sebuah perguruan silat ternama. Serangannya
mulai menjamah ke arah bagian-bagian tubuh yang
terlarang bagi wanita. Tentu saja kelakuannya itu
membuat Siau In menjadi malu dan marah sekali.
Ketika suatu saat tangan It Kwan mencengkeram ke
arah dadanya, Siau In yang nakal dan bengal itu
segera membalasnya dengan tak kalah kotornya.
Dengan tangkas gadis itu mengelak sambil
meludahkan air liurnya ke muka lt Kwan!
"Cuuh!"
It Kwan menjadi merah padam mukanya, meskipun
air ludah itu dapat dielakkannya. Dengan beringas ia
menubruk ke depan dengan goloknya. Kali ini yang
diserang adalah bagian kepala Siau In. Namun ketika
Siau In mengangkat pedang kanannya untuk
mengincar pergelangan tangannya, It Kwan tiba-tiba
mengulurkan tangan kirinya untuk mencengkeram
kemaluan Siau In.
"Iiih...!" Siau In menjerit jijik dan malu.
Karena merasa jijik dan tak ingin bertempur lebih
lama lagi melawan orang yang tak mengindahkan
tata-susila kesopanan itu, maka Siau In pun lalu
menempuh siasat yang nekad dan berbahaya pula.
Gadis itu mula-mula seperti membiarkan jari-jari
lawan menyentuh kain celana yang dikenakannya.
Bahkan untuk lebih meyakinkan lawan bahwa ia
sudah tidak bisa mengelakkan serangan tersebut, Siau
In melepaskan pedangnya yang sebelah kiri. Namun
pada saat yang bersamaan pula gadis itu melepaskan 136 http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
tiga buah pisau kecilnya yang selalu terselip di
pergelangan tangannya! Ssiuut! Siiuutt! Ssiiuut!
"Adooouuuh...!" It Kwan berteriak nyaring.
Meskipun ia berusaha menghindar, tapi tetap saja
sebuah dari pisau terbang tersebut menancap di
lehernya!
"Iiiih!" Siau In menjerit keras pula karena
celananya di bagian depan terkoyak lebar direnggut
jari tangan It Kwan. Tentu saja pahanya yang putih
mulus itu tampak dengan nyata.
Tapi tak seorangpun anak murid Perguruan Hek-to-
pai itu yang memperhatikan paha Siau In, karena
perhatian mereka tercurah semua pada keadaan guru
mereka. Darah mengalir dengan derasnya dari luka di
leher It Kwan. Pisau kecil itu kebetulan mengenai urat
nadinya, sehingga tokoh tingkat tinggi seperti It Kwan
pun tak bisa bertahan lagi. Ketua Hek-to-pai itu segera
terjerembab kesakitan.
Anggota Hek-to-pai yang mengepung tempat itu
menjadi gempar. Sebagian mengurusi guru mereka,
dan yang sebagian segera mengepung Siau In
kembali. Tanpa banyak cingcong lagi orang-orang
yang mengepung Siau In itu segera mengeroyok
dengan senjata andalan mereka.
Traaaang! Triiing!
"Aaaaaah!"
"Adduuuuuuh!"
"Ough!" 137
Siau In juga tidak sungkan-sungkan lagi gadis itu
cepat mengambil pedangnya kembali dan mengamuk
bagai singa betina. Pedangnya menyambar-nyambar
ke sana ke mari sambil meninggalkan korban yang
tidak sedikit. Lawan-lawannya bergelimpangan
dengan luka yang menganga di sekujur tubuh mereka.
"Berhenti...!!!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang
menggelegar bagaikan guntur yang meledak di telinga
setiap orang, termasuk pada telinga Siau In pula!
Gadis itu terhuyung-huyung sambil mengerahkan
tenaga sakti untuk melawan gempuran suara yang
mengandung tenaga khikang tinggi itu.
Kalau Siau In saja sampai terhuyung-huyung akibat
gempuran Sai-cu Ho-kang (Tenaga Sakti Auman
Singa) itu, apalagi para anggota perguruan Hek-to-pai
yang masih rendah ilmunya. Mereka segera
bergelimpangan sambil menutup telinga mereka.
Untunglah orang yang baru datang dan menghentikan
ilmu tersebut tidak meneruskan serangannya,
sehingga semuanya segera bisa menguasai diri mereka
kembali.
Kesempatan itu cepat digunakan oleh Siau In untuk
membenahi celananya yang bolong. Agar lebih rapat
serta lebih tertutup lagi, Siau In lalu melepaskan pula
ikat pinggangnya, sehingga kain bajunya yang longgar
itu melorot turun sampai ke pahanya. Begitu selesai,
gadis itu segera bersiap menghadapi orang yang baru
saja muncul itu. 138
Orang itu berdiri tegak di tengah jalan. Dengan
cekatan ia memberi perintah serta mengatur orang-
orang Hek-to-pai yang ada di tempat itu. Anggota
Hek-to-pai yang masih sehat dan tidak terluka ia
perintahkan untuk membawa saudara-saudara mereka
ke dalam perkampung an. Sebagian juga ia
perintahkan untuk mengumpulkan golok-golok yang
bertebaran di arena pertempuran tersebut.
Siau In berdebar-debar hatinya. Orang itu sangat
tenang sekali dan memiliki rasa percaya diri yang
amat besar. Meskipun telah melihat hasil pertempuran
yang banyak merugikan pihak Hek-to-pai seperti itu,
namun orang itu sama sekali tidak kelihatan kaget
atau gentar menghadapi Siau In. Bahkan orang itu
tampak acuh tak acuh terhadap Siau In.
Orang itu bertubuh tinggi besar dan gemuk.
Rambutnya yang panjang dan sudah berwarna dua
macam itu dibiarkannya terurai lepas menutupi telinga
dan bahunya. Hanya saja untuk mengikat rambut itu
agar tidak menutup wajahnya, orang itu
mempergunakan untaian mutiara sebagai pengikatnya.
Kumis dan jenggotnya yang juga sudah terdiri dari
dua warna itu hampir menyelimuti seluruh mukanya,
sehingga kepalanya yang besar itu hampir seluruhnya
tertutup rambut, kecuali mata dan hidungnya.
Orang itu mengenakan jubah yang sangat longgar
dan panjang berwarna kelabu. Tangannya memegang
tasbeh panjang, terbuat dari bulatan-bulatan besi
sebesar kelereng. Karena sering dipegang dan diusap 139
maka warnanya sudah berubah menjadi hitam
mengkilap agak kemerah-merahan.
Ketika kemudian orang itu menatap ke arahnya,
tiba-tiba Siau In merasa bulu romanya berdiri. Ia
seperti melihat mata hantu yang hendak menerkam ke
arah dirinya.
"Gadis kecil, siapa namamu? Mengapa kau berani
mengacau perkampungan sahabatku ini?" orang itu
bertanya dengan suaranya yang dalam dan besar.
Siau In tidak segera menjawab. Lebih dulu ia
mengatur pernapasan dan perasaannya yang http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
terguncang, agar semangatnya juga tidak larut dalam
kengerian menghadapi keseraman lawan. Setelah
dapat menguasai dirinya kembali, baru Siau In
membuka suara.
"Kau tidak perlu tahu namaku. Kulihat kau
mengenakan jubah pendeta. Kalau kau memang
benar-benar seorang pendeta, kau tentu dapat
membedakan baik dan buruk. Kau tentu akan melihat
dan meneliti dulu siapa yang salah sebelum ikut turun
tangan." Siau In berkata berani.
Orang itu tertegun sebentar, lalu tertawa, walaupun
tawanya terdengar ganjil dan menyeramkan.
Mulutnya sama sekali tidak kelihatan terbuka karena
tertutup oleh kumis dan jenggotnya yang lebat.
"Kau benar-benar cerdik dan berani, Gadis kecil!
Aku memang seorang pendeta pengembara. Orang
menyebutku Tong Tai-su. Kebetulan aku berada di
sini karena It Kwai itu adalah sahabatku. Dan karena 140
ia sahabatku, maka tentu saja aku takkan
mempersoalkan apakah ia salah atau tidak. Yang jelas
ia sekarang terluka, dan anak muridnya juga kacau
balau oleh amukanmu. Maka sudah selayaknyalah bila
sekarang aku membantu dia menangkap kau untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatanmu."
"Baik! Aku memang sudah menduganya. Orang
berwatak buruk dan jahat seperti lt Kwan tidak
mungkin mempunyai sahabat dari kalangan baik-baik
pula. Sahabatnya tentu tidak jauh pula bedanya
dengan dia. Meskipun engkau memakai jubah
pendeta, tapi aku yakin jiwamu tentu tak lebih baik
daripada dia."
"Bangsat...! Mulutmu memang tajam! Tapi jangan
harap kau bisa membakar kemarahanku.
Bagaimanapun juga kau akan kutangkap dan
kuserahkan kepada lt Kwan!" Tong Tai-su
menggeram.
Namun Siau In sudah tidak peduli lagi. Dalam
keadaan terdesak timbul lagi keberaniannya. Ia tahu
lawannya berkepandaian sangat tinggi, dan mungkin
ia tak mampu melawannya. Namun bagaima napun
juga ia tak ingin mati dalam ketakutan. Dia harus
melawan sebisa-bisanya.
Siau In mengerahkan lwe-kang sepenuhnya.
Sinkang yang kemudian mengalir ia salurkan ke
seluruh tubuhnya. Kemudian dengan perlahan-lahan
sepasang pedangnya ia angkat ke depan dada. 141
"Hahaha... tampaknya kau mau melawan juga!
Baik! Tapi supaya aku tidak ditertawakan orang
karena melawan anak kecil seperti kau, maka aku
akan menyimpan senjataku dan mengikat tangan
kiriku, sehingga aku hanya menggunakan tangan
kanan saja untuk melayanimu."
"Jangan menghina!" Siau In tersinggung.
Sambil mengalungkan tasbehnya ke lehernya, dan
menyelipkan lengan kirinya ke belakang, pada ikat
pinggangnya, Tong Tai-su melangkah ke depan.
"Marilah! Aku tidak menghinamu! Aku melihat kau
bisa mengalahkan It Kwan, tapi kau sendiri juga
hampir celaka oleh cengkeramannya. Hal itu berarti
kepandaianmu tidak terpaut banyak dengan dia.
Padahal aku sangat mengenal kepandaiannya. Oleh
karena itu asal kau bisa lolos dari tangan kananku, kau
boleh pergi." pendeta itu berkata.
"Baik!" Siau In sedikit lega.
Demikianlah Siau In lalu menyerang dengan
sepasang pedang pendeknya. Pedang itu berkelebatan
ke bagian-bagian tubuh yang berbahaya dari
lawannya. Suaranya mencicit-cicit saking
kencangnya, karena Siau In memang mengerahkan
seluruh kemampuannya.
Tapi Tong Tai-su memang hebat. Ia memang tidak
membual atau menyombongkan diri ketika berjanji
untuk melawan hanya dengan tangan kanannya.
Ternyata meskipun hanya satu tangan yang maju, tapi
ketika tangan itu mulai digerakkan oleh pemiliknya, 142
tiba-tiba Siau In menjadi silau dan bingung http://darahpendekar.blogspot.com/2020/03/pendekar-pedang-pelangi.html
menghadapinya. Tangan itu seperti berubah menjadi
puluhan banyaknya, sehingga ke manapun Siau In
menyerang ia seperti dikeroyok oleh empat atau lima
orang lawan.
Akibatnya beberapa kali pedangnya hampir terlepas
disambar tangan-tangan itu. Untunglah dengan
kematangannya bermain pedang ia masih bisa
menyelamatkannya.
"Hei...!? Apa hubunganmu dengan Giam Pit Seng?
Kulihat ilmu pedangmu mirip sekali dengan
permainan pit-nya!" sambil terus mencecar Tong Tai-
su berseru keras.
"Beliau adalah guruku! Huh, kalau beliau berada di
sini, jangan harap kau bisa menghina aku!" Siau In
berteriak pula dengan tak kalah kerasnya.
Tak terduga Tong Tai-su tertawa bergelak.
"Hahaha...! Kau ini anak kemarin sore tahu apa?
Gurumu itu telah dua kali bertanding dengan aku, tapi
ia tak pernah bisa mengalahkan aku. Malahan pada
pertandingan yang ke dua ia justru hampir mati oleh
tasbehku. Untung ada orang yang menolong dia...."
Siau In terkejut bukan main, sehingga permainan
pedangnya agak sedikit kacau. Akibatnya pedangnya
hampir saja terpental dari genggamannya. Untunglah
dia segera sadar kembali. Mati-matian ia
mempertahankannya.
Samar-samar Siau In memang mengingatnya. Saat
itu ia baru berusia dua belas tabun. Suatu malam 143
suhunya pulang dari bepergian jauh dalam keadaan
lesu. Gurunya mengatakan bahwa dia baru saja
bertempur dengan musuhnya, tapi ia kalah. Untunglah
nyawanya diselamatkan oleh seorang pendekar aneh,
yang hanya dengan tiga jurus bisa membuat
musuhnya itu lari tunggang langgang. Dan sebelum
pergi pendekar aneh itu menyuruh gurunya untuk
mengabdi pada aliran Im-yang-kau. Karena sudah
berhutang nyawa, serta beranggapan bahwa pendekar
penolongnya itu adalah tokoh Im-yang-kau, maka
gurunya lalu masuk menjadi anggota Im-yang-kau.
Namun setelah bertahun-tahun mengabdi pada Aliran
Im-yang-kau, dan telah berulang kali menemui tokoh-
tokohnya, gurunya tak pernah menjumpai
penolongnya itu. Ternyata pendekar tersebut bukanlah
tokoh Im-yang-kau. Tiada seorang pun tokoh Im-
yang-kau yang wajahnya mirip pendekar itu.
Tapi gurunya sudah terlanjur mencintai Im-yang-
kau, sehingga ia tak mau meninggalkannya lagi.
Bahkan oleh karena pengabdiannya yang besar,
gurunya diangkat menjadi Pimpinan cabang Im-yang
kau wilayah timur setahun yang lalu.
"Oh, jadi kaukah orang yang pernah mengalahkan
Guruku itu? Ah, kalau begitu Guruku sekarang bisa
tertawa dengan gembira." gadis itu balas mengejek.
"Memangnya kenapa...?" Tong Tai-su ternyata
terpancing juga oleh ejekan Siau In.
"Habis... ilmumu tetap seperti ini saja! Tidak ada
kemajuan! Padahal setelah masuk aliran Im-yang-kau, 144
kesaktian Guruku sudah tiga kali lipat dibandingkan
dengan dahulu! Buktinya sekarang beliau dijadikan
Pimpinan Cabang di daerah timur." Siau In membual
agar lawannya menjadi panas perutnya.
Benar juga. Tong Tai-su menjadi merah padam
mukanya. Ejekan gadis centil itu betul-betul mengenai
sasarannya. Begitu marah, penasaran, dan jengkelnya,
sehingga Tong Tai-su lupa pada janjinya.
Tangan kirinya yang terselip pada ikat pinggangnya
itu tiba-tiba ditarik dan terayun ke depan untuk
merampas pedang Siau In.
Meskipun kaget tapi Siau In tersenyum penuh
kemenangan. Mula-mula gadis itu menarik kedua
bilah pedangnya ke depan dada seperti hendak
melindungi pedang itu ke dalam pelukannya. Namun
ketika tangan kiri Tong Tai-su hendak menyambar
pedang kanannya, pedang kirinya cepat menabas ke
depan dengan dahsyatnya.
Tentu saja Tong Tai-su tidak ingin mengadu jari-
jarinya dengan pedang. Otomatis tangan kanannya
segera membantu dengan menyambar pedang kiri
Siau In yang berbahaya itu. Gerakannya demikian
cepat dan kuat luar biasa sehingga tingkat
kepandaiannya itu tidak mungkin Siau In
mengelakkannya.
Tapi anehnya gadis itu seperti membiarkan saja
pedang kirinya itu ditangkap lawannya. Bahkan
berusaha untuk menghindari saja tidak. Sekejap Tong
Tai-su curiga. Tapi sebelum kecurigaannya itu 145
terpecahkan, tiba-tiba Siau In menusukkan pedang
kanannya yang bebas itu ke arah pergelangan tangan
kanan Tong Tai-su yang sudah mencengkeram pedang
kirinya itu.
Tong Tai-su terperanjat. Otomatis tangan kirinya
yang kagok tadi cepat menyambar terus ke depan, ke
pergelangan tangan kanan Siau In! Dan sekejap
kemudian kedua bilah pedang pendek Siau In telah
terampas semuanya!
Namun di luar
dugaan gadis itu
justru bersorak
gembira sambil
bertepuk tangan!
"Apa kau
sudah gila...?"
Tong Tai-su
menghardik
dengan mata
melotot.
"Lhoh... aku
menang, bukan?
Mana pedangku!"
seenaknya Siau
In menyahut.
"Menang apa?
Apa kau tidak
melihat pedangmu ini?" Tong Tai-su memperlihatkan
pedang Siau In yang dirampas.
146
"Hei! Bukankah Tai-su tadi sudah berjanji untuk
tidak menggunakan tangan kiri? Ternyata Tai-su telah
melanggar janjimu sendiri. Bukankah hal itu berarti
kalah?" Siau In menuntut dengan gaya-nya yang
kocak.
"Tapi... ini...!" Tong Tai-su " menjadi pucat. Tak
terasa pedang itu dilepaskannya begitu saja, sehingga
jatuh berdentang di tanah.
Siau In cepat memungut pedangnya.
"Tahan...!" tiba-tiba Tong Tai-su membentak.
"Tapi... bukankah kau belum bisa mengalahkan
tangan kananku? Nah, kau belum boleh pergi!"
Tapi dengan berani Siau In bertolak pinggang.
"Siapa bilang tangan kananmu belum kalah?
Bukankah tangan kanan Tai-su tadi sudah tidak
berkutik karena sedang mencengkeram pedangku?
Kalau tangan kiri Tai-su tidak turut campur, bukankah
pedangku yang satunya sudah bisa menembus
pergelangan tangan kanan Tai-su itu? Hayo..., benar
tidak?" sergahnya berani.
"Lha... ini..., wah! Kau gadis cilik memang cerdik
sekali! Tapi...?" Tong Tai-su akhirnya mengakui pula
kekalahannya. Namun ia masih tampak bingung.
"Tai-su, Kau seorang lo-cianpwe (tokoh persilatan
angkatan tua)! Kau tidak boleh menjilat ludahmu
sendiri. Apalagi lawanmu hanya seorang gadis muda
seperti saya. Hanya seekor binatang yang biasa
menjilat ludahnya sendiri." dengan cerdik Siau In 147
mengolok-olok Tong Tai-su agar lawannya itu
menjadi malu untuk mengubah keputusannya.
"Kurang ajar! Kau memang luar biasa licinnya!
Sudahlah... pergi sana!" Tong Tai-su berteriak
kecewa.
Bagai burung yang terlepas dari sangkarnya, Siau
In tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan
gesit tubuhnya melesat ke depan untuk secepatnya
meninggalkan tempat berbahaya itu. Sebaliknya Tong
Tai-su dengan lesu melangkah ke perkampungan Hek-
to-pai, diiringkan oleh sebagian anak muridnya It
Kwan yang masih sehat.
Kalau baru saja tadi Siau In mengalahkan lawannya
dengan kecerdikan, sebaliknya Ciu In harus benar-
benar menguras tenaga untuk menundukkan lawan-
lawannya.
Empat orang Pek-hok-bio itu ternyata memiliki
ilmu tongkat yang cukup tinggi. Terutama cara
mereka bekerja sama satu sama lain. Setiap kali Ciu
In menyerang dengan pedangnya, secara serempak
dua orang lawannya segera menempatkan diri untuk
menghadapinya, sementara dua orang yang lain segera
mengambil kesempatan itu dengan balas menerjang.
Demikian selalu terjadi sehingga Ciu In merasa
kewalahan. Apalagi setiap pedangnya bertemu dengan
tongkat lawan, ia seperti membentur dua kekuatan
sekaligus. Bahkan pada saat yang sama ia harus
menerima tekanan dua kekuatan yang lain lagi. 148
Untunglah ia bersenjatakan dua bilah pedang,
sehingga setiap saat senjatanya dapat berada di dua
jurusan.
Ciu In memang belum mempunyai banyak
pengalaman bertempur sehingga ia belum bisa
memanfaatkan kelihaian ilmu pedangnya. Walaupun
demikian karena ilmu pedang gubahan Giam Pit Seng
itu memang cukup hebat serta aneh diduga, maka
empat orang Pek-hok-bio itu pun juga merasa sulit
pula menghadapinya. Hal itu membuat mereka
menjadi penasaran sekali. Di Kuil Pek-hok-bio
mereka berempat merupakan tokoh-tokoh tingkat dua,
karena mereka berempat adalah adik-adik seperguruan
dan kepala kuil itu. Maka sungguh memalukan sekali
bagi mereka karena tidak bisa meringkus seorang
gadis muda belia seperti Ciu ln.
"Baiklah...!" Ciu ln berkata di dalam hatinya. "Aku
terpaksa mempergunakan pisau terbangku! Tanpa
senjata kecil itu tampaknya aku akan kehabisan napas
melayani mereka."
Ciu ln lalu mencari kesempatan. Mula-mula ia
berkelebatan ke sana ke mari melayani lawan-
lawannya. Namun pada suatu saat tiba-tiba ia
berhenti. Sebelum lawan-lawannya bisa menduga apa
yang hendak ia kerjakan, secara mendadak Ciu In
melepaskan pisau-pisaunya. Sekali melepas gadis itu
menaburkan delapan buah sekaligus.
Karena setiap lawan memperoleh jatah dua buah
pisau dan dalam posisi terpencar pula, maka otomatis 149
kedudukan mereka menjadi tercerai-berai.
Kesempatan inilah yang dikehendaki Ciu In.
Mumpung lawan-lawannya sedang sibuk menangkis
atau mengelakkan pisau-pisaunya, ia segera mencecar
salah seorang di antaranya dengan sergapan dua bilah
pedangnya.
Orang itu tentu saja menjadi sibuk bukan main.
Selagi tongkat besinya sedang ia pakai untuk
menghanfam pisau kecil itu, tiba-tiba Ciu In
menyerangnya dengan tabasan dua pedangnya. Ia
mencoba untuk meloncat mundur. Tapi papan
jembatan itu ternyata terlalu sempit, sehingga
badannya melayang ke dalam empang. Mati-matian ia
berusaha mengaitkan tongkat besinya ke ujung papan
di dekatnya, namun sekali lagi Ciu ln memberondong
dengan tendangan dan tusukan pedang. Akibatnya
tongkat itu justru terguncang lepas dari tangannya.
Ketika temannya yang terdekat berusaha menolong
orang itu, Ciu In kembali melepaskan pisau
terbangnya. Kali ini hanya dua buah, tapi semuanya
mengarah ke bagian jantung dan pusar orang yang
akan menolong temannya tersebut.
Orang itu menjadi gelagapan. Karena dalam posisi
melayang ke depan, maka gerakannya menjadi kagok.
Menangkis salah, mengelakkan juga salah. Dua-
duanya akan membuat ia terpelanting ke samping
sehingga dirinya akan mudah diserang kembali.
Benar juga. Ketika orang yang hendak
menolongnya mencoba untuk mengelak, tubuhnya 150
menjadi terbuka, dan kesempatan tersebut memang
dipergunakan oleh Ciu In dengan sebaik-baiknya.
Pedang gadis itu meluncur ke depan ke arah lutut dan
pinggang orang itu. Dan sekali ini jalan satu-satunya
bagi orang itu cuma menangkis. Tapi karena
menangkis dalam posisi yang jelek mengakibatkan
tubuhnya terbanting ke arah empang pula.
Byuuuuuur!
Byuuuuuurr!
Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua orang
Pek-hok-bio tercebur ke dalam empang yang dalam
itu. Ciu In cepat membalikkan badannya karena pada
saat yang bersamaan pula kedua lawannya yang lain
telah menerjang ke arah dirinya. Dua orang yang
masih tersisa itu tampak berang sekali karena kawan-
kawannya dapat diperdaya oleh gadis itu.
Setelah kini tinggal dua orang saja yang harus
dihadapinya, Ciu In benar-benar bisa
mengembangkan ilmu pedangnya dengan leluasa.
Pedang pendeknya menjadi semakin lincah menari-
nari mengelilingi tubuh lawan-lawannya. Meskipun
lawannya memegang tongkat besi, namun senjata
yang berat itu terlalu lamban untuk mengejar ayunan
pedang pendeknya yang gesit bagai lebah madu.
Berulang kali kedua orang lawannya itu terpaksa jatuh
bangun untuk menghindarkan diri dari sengatan
pedang Ciu In.
Lima jurus pun segera berlalu, dan dua orang Pek-
hok-bio yang masih tersisa itu pun sudah tidak bisa 151
bertahan lebih lama lagi. Ketika salah seorang di
antara mereka terpaksa melepaskan tongkat besinya
dan terjungkal ke dalam kolam terkena ujung sepatu
Ciu In, yang lain pun segera ikut terjun ke dalam
empang pula.
Celakanya tak seorang pun dari empat orang Pek-
hok-bio itu yang mampu berenang di dalam air,
sehingga dengan mudah mereka menjadi bulan-
bulanan Liu Wan yang sejak tadi masih mengapung di
empang menonton pertempuran mereka. Pemuda itu
dengan cerdik menyelam ke dalam air, lalu bergantian
menarik kaki-kaki mereka ke bawah. Tentu saja
orang-orang Pek-hok-bio itu menjadi gelagapan
seperti anak ayam yang menggelepar-gelepar di dalam
lumpur. Entah berapa mangkuk air saja yang mengalir
ke dalam perut mereka.
Setelah orang-orang Pek-hok-bio itu kelihatan
lemas dan kecapaian, barulah tubuh mereka diseret ke
pinggir oleh Liu Wan. Ciu ln cepat berlari mendekati
dan bersiap siaga kalau-kalau orang Pek-hok-bio itu
masih hendak meneruskan pula pertempuran mereka.
Tapi empat orang itu sudah tidak berdaya lagi.
Selain senjata mereka tertinggal di dalam air, keadaan
tubuh mereka pun sudah tidak keruan lagi. Tenaga
hilang, perut dan paru-paru mereka pun penuh dengan
air. Berkali-kali mereka terpaksa muntah-muntah
untuk mengeluarkan air yang mereka minum.
Celakanya yang keluar tidak cuma air empang, tapi 152
juga seluruh isi perut mereka, termasuk puluhan ekor
ikan hidup yang ikut tertelan ketika sekarat tadi.
Begitu dapat berdiri mereka berempat segera
ngeloyor pergi tanpa pamit lagi. Mereka berjalan
terhuyung-huyung, sambil sesekali masih harus
memuntahkan kotoran-kotoran dan ikan-ikan kecil
yang tersisa di dalam perut mereka.
"Nona Tio, ilmu pedangmu sungguh hebat sekali!
Terutama pisau-pisau terbangmu itu. Dan kau benar-
benar cerdik. Semula aku sudah merasa khawatir,
karena pada permulaannya kau tampak sangat
kerepotan menghadapi kerja sama mereka."
Ciu In tersenyum kemalu-maluan. Pujian pemuda
tampan yang baru setengah hari dikenalnya itu terasa
menyesakkan dadanya. Pemuda itu sungguh pintar
bergaul dan pandai mengambil hati orang, sehingga
sebentar saja Ciu In merasa dekat dan akrab
dengannya.
"Ah, diam-diam Tuan tentu mentertawakan ilmu
pedangku itu...." Ciu In pura-pura kurang senang.
"Hei, benar... Nona! Aku berkata sebenarnya. Ilmu
pedangmu sungguh-sungguh hebat. Hanya saja dalam
penggunaannya kau seperti belum menyatu dan
mengenal betul akan sifat-sifatnya. Tapi ...eh, omong-
omong, sudah setengah harian kita saling mengenal,
mengapa masih mempergunakan sebutan "Tuan" dan
"Nona"? Mengapa kita tidak saling menyebut kakak
dan adik saja?" dengan gaya yang menyenangkan Liu
Wan membelokkan arah percakapan mereka. 153
"Ah... aku...?" Wajah Ciu In yang cantik itu
menjadi merah.
"Baiklah, kalau kau setuju... aku akan
memanggilmu adik, karena usiamu tentu belum ada
dua puluh tahun. Sedangkan aku sudah seperempat
abad. Nah, mulai saat ini aku akan memanggilmu Ciu-
moi, dan kau boleh menyebutku Engko Wan atau...
Wan Siok-siok (Paman Wan)!" pemuda itu
berkelakar.
"Wah, tidak mau kalau Wan Siok-siok! Terlalu
tua!" Ciu In terpancing untuk melayani kelakar Liu
Wan.
"Terserah Ciu-moi.... Nah, sekarang kita masuk ke
pondok lagi untuk mengatur siasat. Aku juga akan
berganti pakaian pula. Pakaian ini basah dan berbau
amis. Setelah itu kita juga akan merayakan
keberhasilan sandiwara kita tadi. Anak buah So Gu
Thai yang dikirim ke mari tadi dapat kita kelabuhi dan
pulang dengan tangan hampa...."
"So Gu Thai? Siapakah So Gu Thai itu?"
Liu Wan melangkah ke atas jembatan, diikuti oleh
Ciu In. "So Go Thai adalah penjahat yang kuceritakan
itu. Sebenarnya ia bukan orang Han, tapi orang Tar-
tar dari suku Hun. Nama sebenarnya adalah Sogudai.
Seperti nenek moyangnya ia juga pemuja matahari
dan bulan. Dan setiap pergantian tahun ia tentu
mengadakan upacara korban untuk dewa matahari dan
bulan. Dia sangat lihai dan berbahaya karena dia
adalah bekas pengawal pribadi Mo Tan, raja orang 154
orang Tartar itu." sambil berjalan melewati jembatan
itu Liu Wan memberi keterangan tentang musuhnya.
"Jadi dia orang... Tartar?" Ciu In bertanya ngeri.
Ciu In sering mendengar penuturan suhunya, bahwa
bangsa Tartar yang terdiri dari bermacam-macam
suku itu sangat kasar, kejam, dan tak mengenal
perikemanusiaan. Di jaman pemerintahan mendiang
Kaisar Liu Pang, suku bangsa biadab itu telah
beberapa kali menyerang ke pedalaman Tionggoan.
Di bawah rajanya yang lihai, buas, kejam namun amat
cerdik luar biasa itu, hampir saja bisa mengalahkan
bala tentara Kerajaan Han. Untunglah Kaisar Liu
Pang memiliki pembantu-pembantu dan panglima-
panglima perang tangguh dan gagah berani, sehingga
beberapa kati pula Mo Tan dan pasukan perangnya
dapat dihalau keluar dari Tembok Besar.
"Ya! So Gu Thai orang Tartar dari suku Hun. Satu
suku dengan Mo Tan, rajanya." Liu Wan mengiyakan.
"Ciu-moi...! Sebenarnya aku tidak heran melihat So
Gu Thai berkeliaran di daerah Tionggoan. Mungkin
dia hanya salah seorang pengikut Mo Tan yang
tercecer di sini ketika mereka mengundurkan diri ke
utara. Tetapi yang aku herankan, selama sebulan ini
aku sering melihat dan bertemu dengan orang-orang
Tartar di sepanjang daerah pantai timur ini. Walaupun
mereka menyamar seperti orang Han, tapi logat bicara
dan tingkah laku mereka dapat kukenali dengan baik.
Aku jadi curiga dan berpikir keras. Jangan-jangan ada
sesuatu yang mereka kerjakan di daerah ini. Aku... 155
jangan-jangan Mo Tan telah bersiap-siap untuk
melintasi Tembok Besar lagi."
"Oh, kalau benar-benar demikian... sungguh
mengerikan!" Ciu In menatap Liu Wan dengan muka
pucat.
"Yah... rakyatlah yang akan mengalami nasib yang
buruk. Sampai sekarang bekas-bekas kebiadaban
pasukan Mo Tan itu masih melekat di dada orang-
orang Han. Ah, silakan duduk dulu, Ciu-moi! Aku
akan berganti pakaian...,"
Sampai di dalam pondok Liu Wan mempersilakan
Ciu In untuk duduk di kur si yang telah disediakan,
sementara ia sendiri masuk ke dalam kamar untuk
mengganti pakaiannya yang basah. Lo Kang dan Lo
Hai segera menyiapkan minuman.
Ciu In lalu melihat-lihat lagi keadaan pondok yang
menyenangkan itu. Di ruang samping Ciu In melihat
tiga buah lukisan orang dalam ukuran yang cukup
besar. Lukisan itu terdiri dari sebuah lukisan wanita
cantik setengah baya dan dua buah lukisan lelaki usia
empat puluhan dan enam puluhan. Gambar lelaki
berusia empat puluhan itu hampir mirip dengan Liu
Wan. Hanya bedanya wajah Liu Wan tidak setajam
dan sekeras wajah di dalam gambar itu. Dan juga, di
dalam gambarnya, lelaki itu kelihatan lebih tinggi dan
lebih jangkung daripada Liu Wan.
"Ciu-moi, kau di sini rupanya...
" 156
Seperti tadi, kali ini pun Ciu In hampir menjerit
saking kagetnya. Tanpa menimbulkan suara tiba-tiba
saja Liu Wan telah berada di belakangnya.
"Wan-ko, kau kembali mengagetkanku!" sungutnya
kesal.
Tapi tampaknya Liu Wan tak mempedulikan
kekesalan Ciu In itu. Dengan wajah bersungguh-
sungguh pemuda itu menatap mata Ciu In.
"Kau... mengenal wajah yang terlukis di dalam
gambar-gambar ini, Ciu-moi?" desaknya dengan suara
yang agak bergetar.
Ciu In balas memandang dengan aneh dan tak
mengerti. Kadang-kadang dirasakannya pemuda itu
bersikap aneh dan membingungkan. Seperti ada
sesuatu yang disembunyikan atau dirahasiakannya.
"Tidak. Aku sama sekali tidak mengenal mereka.
Siapakah mereka...?" sambil menggeleng Ciu In
menyahut dengan suara curiga.
Tiba-tiba Liu Wan menghela napas lega. Wajahnya
kembali cerah seperti biasanya. Dengan cepat
tangannya meraih gambar wanita cantik setengah
baya itu.
"Ini... Ibuku. Cantik sekali, bukan? Gambar ini
kubuat lima tahun yang lalu! Tentu saja Ibuku
sekarang lebih tua dari pada gambar ini." Liu Wan
menerangkan
"Apakah Wan-ko dari keluarga bangsawan atau
pejabat kerajaan? Kulihat Ibumu mengenakan 157
perhiasan yang bagus-bagus." Ciu In mencoba
bertanya tentang asal-usul Liu Wan.
Pemuda itu tertawa. "Siapa pun bisa mengenakan
perhiasan yang bagus-bagus, Ciu-moi. Tak perlu ia
harus keluarga bangsawan atau pejabat kerajaan.
Seorang pedagang yang berhasil pun bisa membeli
perhiasan-perhiasan seperti itu kalau dia suka. Apalagi
di dalam gambar itu aku memang sengaja menambahi
perhiasan-perhiasan bagus pada wajah Ibuku, agar
beliau kelihatan lebih cantik lagi dipandang mata."
dengan cerdik dan luwes pemuda itu menjawab.
"Ah, Wan-ko ini ada-ada saja. Pandai benar
mengambil hati Ibumu. Ehm, lalu lukisan orang tua
berambut agak putih ini siapa?"
Liu Wan mengambil gambar lelaki berusia enam
puluhan itu pula.
"Ini gambar... guruku!" jawab pemuda itu singkat.
"Gurumu? Bolehkah aku mengenal nama dan gelar
Gurumu?" Sekali lagi Ciu In mencoba mengetahui
latar belakang Liu Wan.
Tapi pemuda itu dengan cepat menggelengkan
kepalanya. "Maaf, Ciu-moi... Guruku sangat suka
menyendiri dan tak suka namanya dikenal orang."
"Baiklah... Lalu siapakah gambar yang lain itu?
Apakah ia juga suka menyendiri dan tak ingin
namanya diketahui orang?" dengan suara menggoda
Ciu In menunjuk lukisan lelaki berusia empat puluhan
itu. 158
Liu Wan tersenyum kemalu-maluan. Suaranya pun
terasa sungkan ketika menjawab. "Benar, Ciu-moi. Itu
gambar Kakakku. Dia... dia memang tak suka
diketahui namanya."
"Yah...." Ciu In berdesah kecewa seraya
mengangkat pundaknya. "Tampaknya seluruh
keluargamu suka menyendiri dan tak ingin bergaul
dengan orang lain, kecuali... kau!"
Kali ini Liu Wan benar-benar meringis kecut.
"Bukan begitu maksudku, Ciu-moi. Soalnya... ah,
sudahlah... kelak engkau tentu akan mengerti juga,
Ciu-moi. Sekarang memang belum waktunya .... "
ujarnya kemudian dengan suara sedih dan menyesal.
Ciu In tertawa. "Ya, kalau kita masih diberi
kesempatan untuk bertemu lagi. Kalau tidak...?
Soalnya kalau Adikku yang hilang itu sudah aku
ketemukan, aku akan kembali pulang dan tidak akan
pergi ke mana-mana lagi."
"Terus mau pulang? Di manakah rumahmu?
Apakah...?"
Tiba-tiba Liu Wan tidak meneruskan
pertanyaannya. Ia menjadi sungkan dan malu sendiri.
Apalagi ketika kemudian Ciu In tertawa kecil sambil
menutupi mulutnya.
"Maaf, Wan-ko. Rumah dan keluargaku juga tidak
suka dikenal orang pula."
Liu Wan mengambil gambar-gambar itu dan
memasangnya kembali di tempat semula. Lalu dengan
wajah agak lesu ia mengajak Ciu In ke ruang depan. 159
"Sudahlah, Ciu-moi. Kita tidak perlu saling
mengolok-olok. Biarlah untuk sementara kita tak usah
saling bertanya tentang asal-usul kita masing-masing.
Sekarang yang penting adalah menyelamatkan
Adikmu. Lihat... matahari sudah hampir terbenam.
Sebentar lagi kita akan berangkat."
Malam memang cepat sekali datangnya. Belum
juga mereka menghabiskan teh dan makanan kecil
yang disuguhkan oleh Lo Kang dan Lo Hai, untuk
merayakan keberhasilan sandiwara mereka, ribuan
kunang-kunang telah mulai menyerbu empang itu.
Begitu banyaknya binatang malam itu beterbangan di
sekitar pondok tersebut, sehingga tanpa lampu minyak
pun rasa-rasanya sudah terang benderang.
Demikian pula keadaannya di tepian pantai di dekat
perkampungan nelayan Ui-thian-cung pada malam itu.
Karena angin laut tidak begitu kencang berhembus,
maka ribuan kunang-kunang segera berkumpul dan
bercengkerama di tempat sepi itu. Mereka
beterbangan di antara riak-riak gelombang yang
berdebur lemah di hamparan pasir yang luas.
Kalau Ciu In menonton keindahan kunang-kunang
itu sambil makan minum dan mengobrol bersama Liu
Wan, sebaliknya Siau In mengagumi binatang malam
itu sendirian, tanpa kawan, tanpa minuman dan
makanan, bahkan di atas hamparan pasir yang sunyi
sepi pula. 160
Seperti tujuannya semula, sehabis mengalahkan
Tong Tai-su dengan kecerdikannya, Siau In berlari
menyusuri jalan yang menuju ke laut itu. Sambil
mengerahkan gin-kangnya, kadang-kadang Siau In
masih menoleh ke belakang. Gadis itu masih merasa
khawatir kalau-kalau Tong Tai-su yang lihai itu
berubah pikiran lagi. Tapi setelah beberapa saat
lamanya tak ada tanda-tanda kalau pendeta
pengembara itu mengejar dirinya, Siau In menjadi
lega. Gadis itu lalu mengendorkan langkahnya.
Dengan bernyanyi-nyanyi kecil ia melenggang
seenaknya.
Angin sore berhembus agak sedikit kencang
sehingga bajunya yang longgar menyibak. Siau In
menjerit lirih sambil membungkukkan badannya.
Angin nakal itu menyelonong masuk lewat celananya
yang robek di bagian depan.
"Oh....!"
Tiba-tiba gadis itu terperanjat. Sekejap Siau In
menyangka Tong Tai-su mengejarnya, karena ketika
dia membungkuk tadi, ia seperti melihat sebuah
bayangan menyelinap cepat ke semak-semak di
belakangnya. Namun ketika ia membalikkan badan
dan melihat jalan lengang di belakangnya, Siau In tak
melihat siapa-pun di sana. Untuk lebih meyakinkan
dugaannya Siau In berbalik dan meneliti semak-
semak itu. Tapi semak itu kosong.
161
"Ah, tampaknya aku hanya terbayang-bayang saja
wajah Tong Tai-su yang menyeramkan itu...."
akhirnya Siau In membesarkan hatinya sendiri.
Gadis yang memang memiliki watak lincah dan
gembira itu sebentar saja telah melupakan rasa kaget
dan kecurigaannya. Siau In telah bernyanyi-nyanyi
kecil kembali. Bahkan di tempat yang dirasa sangat
sepi dan lengang, ia menyelinap ke semak-semak di
tepi jalan. Di tempat itu mengalir sebuah selokan kecil
yang sangat jernih airnya. Sambil buang air kecil Siau
In mengganti celananya yang sobek. Celana itu tidak
dibuang tetapi dimasukkannya ke dalam
bungkusannya.
Tiba-tiba...!
"Iiiiiiiiih...! " Siau In menjerit sekeras-kerasnya.
Seketika wajah Siau In menjadi pucat, matanya
berkedip-kedip mau menangis, sementara bungkusan
pakaiannya ia lepaskan begitu saja! Gadis itu
memandang kaget ke tengah-tengah semak itu! Di
tempat yang agak longgar itu tampak seorang pemuda
sedang tiduran di atas rumput, dan hanya dua tombak
jauhnya dari tempat Siau In berdiri!
"Kkkkau? Si-si-siapakah kau? Mengapa kau di
sini? Kau... mengintip-intip aku, ya? K-k-kau tadi...
melihat... melihat... ya? Ooooh!" dengan suara sember
dan serak, seperti mau menangis, Siau In menuding
pemuda nakal itu.
Lalu seperti induk ayam yang diganggu anaknya,
Siau In mengamuk sejadi-jadinya. Gadis itu 162
menerjang, memukul, menendang dengan membabi-
buta ke arah pemuda nakal itu untuk melampiaskan
rasa dongkolnya. Siau In lupa bahwa pukulannya itu
bisa membunuh orang.
Untunglah pemuda itu bukan pemuda petani
tambak atau nelayan yang tak mampu apa-apa.
Pemuda itu ternyata seorang jago silat tinggi yang
bisa mengelak serta menghindarkan diri dari amukan
"induk ayam" yang baru kesal dan marah itu.
"Hei! Hei! Berhenti! Apa-apaan ini? Mengapa kau
menyerang aku? Apa salahku?" sambil melesat ke
sana ke mari pemuda itu berteriak-teriak.
Setelah beberapa saat tak dapat mengenai tubuh
lawannya, Siau In tiba-tiba malah menjadi sadar akan
perbuatannya. Ia segera menghentikan amukannya.
Terlongong-longong ia memandang lawannya. Air
mukanya tampak menyesal karena dia hampir saja
membunuh orang. Tapi ketika dilihatnya orang itu
masih segar bugar seperti tidak pernah terjadi apa-apa,
kemarahan Siau In pun cepat meluap kembali.
"Kurang ajar! Ternyata kau pandai bersilat, ya? Jadi
kau memang sengaja mau mengganggu dan mencoba
aku, ya? Kau sengaja mengintip dan... eh, katakan
terus terang! Kau... hei, bukankah kau yang mengacau
di atas panggung perlombaan tadi?" Siau In berkicau
seperti burung sedang birahi.
Pemuda yang tak lain memang Chin Tong Sia itu
hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Ia sama
sekali tak mempunyai kesempatan untuk menjawab 163
atau membela diri. Demikian mulutnya terbuka
hendak bersuara, Siau In sudah menggencetnya
dengan berondongan suaranya. Demikian berulang
kali sehingga akhirnya Chin Tong Sia menjadi kesal
pula dibuatnya. Dan merasa kesal, gendengnya pun
segera kumat.
Dengan sikap acuh tak acuh pemuda itu
membalikkan tubuhnya. Sambil melangkah pergi,
mulutnya masih
sempat
membalas
semprotan Siau
In. Suaranya
tenang,
seenaknya,
malahan agak
sedikit
menggoda.
"Tentu saja
aku melihatnya!
Habis, begitu
dekatnya, sih!
Masa aku buta?"
Dapat
dibayangkan rasa
marah, malu,
penasaran, dongkol, di hati Siau In, sehingga gadis itu
rasanya ingin menangis menggerung-gerung di tanah. 164
"Bagus! Kalau begitu kau harus mati!" Siau In
berteriak marah, lalu menerjang Chin Tong Sia.
Dengan tangkas Chin Tong Sia mengelak, lalu
melangkah ke samping dan berusaha meneruskan
jalannya. Tapi mana mau Siau In melepaskannya?
Dengan mengerahkan seluruh kepandaiannya gadis itu
mencoba meringkus pemuda yang telah membuat
dirinya menderita malu bukan main itu.
Belasan jurus telah terlewati. Ternyata dengan
tangan kosong Siau In tak mampu menjatuhkan
lawannya, padahal pemuda itu sama sekali tak pernah
membalas. Saking marah dan jengkelnya Siau In
menghunus sepasang pedang pendeknya. Dengan dua
buah senjata andalannya itu Siau In mencoba
mencabik-cabik tubuh Chin Tong Sia!
Namun kali ini Siau In benar-benar ketemu
batunya. Pedang pendeknya yang baru saja
menaklukkan seorang ketua partai persilatan yang
cukup tenar seperti It Kwan itu, kini ternyata menjadi
melempem, dan sama sekali tak bisa berbuat banyak
terhadap pemuda tak ternama seperti lawannya itu.
Jangankan dapat menyentuh tubuhnya, sedang
bayangannya pun Siau In tak mampu menggapainya.
Bahkan bila mau, tampaknya dengan mudah pemuda
itu bisa meloloskan diri dari libatan pedang Siau In
dan pergi dari tempat itu.
Namun kelihatannya Chin Tong Sia memang tak
hendak meninggalkan tempat tersebut. Sebaliknya
dari berlari, Chin Tong Sia malah melenggang bolak 165
balik dan berputar-putar di tempat itu sambil
mengelakkan serangan pedang Siau In. Sambil
melenggang dan menghindar, pemuda yang sudah
angot gendengnya itu berpantun!
Di sana gunung, di sini gunung!
Di lembah ada sungainya...!
Di sana melembung, di sini... ya melembung!
Oooiiiiii...?
Di tengah-tengah ada... jurangnya!
Ketika menyebut kata-kata gunung, Chin Tong Sia
menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah,
seperti hendak memperagakan dua buah benda yang
menonjol atau melembung. Dan ketika menyebut
kata-kata melembung serta kalimat pada bait yang
paling akhir, pemuda itu melakukannya dengan
tertawa cekikikan.
Kulit muka Siau In menjadi merah padam bagai
udang direbus. Malunya bukan main. Gadis yang
cerdik dan sudah biasa mengolok-olok orang itu
dengan cepat bisa menangkap atau menduga arah
pantun yang dinyanyikan pemuda itu. Yang
dimaksudkan dengan gunung yang melembung itu tak
lain tentulah pantatnya yang menonjol besar.
Sementara kata-kata lembah atau jurang itu tentu juga
dimaksudkan untuk menghina atau mengejek dirinya.
Rasanya Siau In tak ingin hidup lagi kalau tak
membunuh pemuda kurang ajar tersebut. Tapi 166
sebelum ia benar-benar menumpahkan seluruh
kelihaiannya, mendadak dari arah depan terdengar
suara ketawa yang lain lagi.
"Ah, salaaaaaah! Salah...! Sute, pantunmu itu
kurang benar! Harusnya begini...!"
Di sana bokong, di sini bokong...!
"Wah... terpeleset! Keliru... keliru...! Oh, ya
begini...!"
Di sana gunung, di sini gunung! Di lembah ada
sungainya...!
Di sana melembung, di sini melembung hi-hi-hi-
hi..!
Di tengah-tengah ada... ada... ada sungainya!
"Hahaha! Nah, itu baru benar! Di tengah-tengah
ada sungainya! Bukankah di sana ada mata air yang
mengalir? Haha-hoho-ha-ho...!"
"Suheng...!" tiba-tiba Chin Tong Sia membentak
keras sekali. "Di mana kau sekarang? Apakah kau tadi
juga melihat ...? Awas, sekali ini kau tidak boleh ikut
campur!"
"Aku berada di depan. Wah... aku tidak melihat
apa-apa tadi. Habis, aku sendiri sedang berak, sih!
Kau juga nakal, tak mau membagi-bagi kebahagiaan
bila dapat mangsa. Seharusnya tadi kau memberi tahu, 167
dong! Meski masih berak, aku juga akan berlari ke
situ, hehehe...!"
Siau In cepat mengeluarkan pisau-pisaunya. Karena
kemarahannya sudah tidak bisa dibendung lagi, maka
pisau-pisau itu pun segera beterbangan mencari
mangsa. Kali ini Chin Tong Sia benar-benar harus
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya yang
kurus itu berkelebatan melebihi kecepatan pisau.
Meliuk, meluncur, menukik, melenting, dan melayang
ke segala penjuru, laksana lebah yang mengitari
bunga. Gerakannya indah dan cepat bukan main.
Belasan pisau yang dipunyai Siau In telah habis
terpakai, namun tak sebuah pun yang dapat mengenai
sasarannya. Pemuda lawannya itu terlalu gesit dan
lincah. Siau In menjadi kesal dan putus asa. Saking
kesalnya gadis itu segera membuang pedangnya.
Sambil menjatuhkan diri di atas rumput Siau In
menangis sejadi-jadinya!
Tentu saja Chin Tong Sia menjadi kaget sekali
"Lho... bagaimana ini? Kenapa tiba-tiba jadi
menangis...?"
Chin Tong Sia menggaruk-garuk rambutnya yang
tidak gatal. Pemuda itu tidak tahu apa yang harus
dikerjakannya. Membujuk salah, tidak membujuk
hatinya tidak tega.
Siau In memang ingin menumpahkan seluruh
kekesalannya, seluruh kemarahannya, dan juga
seluruh kekecewaannya, sehingga beberapa waktu
lamanya ia masih menangis sesenggukan. Sebaliknya
168
Chin Tong Sia yang menunggu di dekatnya, melihat
Siau In tak kunjung menghentikan tangisnya, menjadi
salah tingkah. Mendadak timbul rasa sesalnya, karena
telah membuat kesal hati gadis cantik itu. Dengan
agak takut-takut, takut mendapat semprotan lagi, Chin
Tong Sia berlutut di samping Siau In. Dengan kata-
kata halus dan ucapan sesal, pemuda itu mencoba
menghentikan tangis Siau In. Tak terasa tangan
pemuda itu terulur ke depan untuk memegang pundak
Siau In. Pada saat itulah tiba-tiba Siau In membalik!
Plaaak! Plaaaak!
Dua kali tamparan yang keras mendarat di pipi
Chin Tong Sia! Begitu cepat dan keras sehingga
pemuda itu tidak kuasa lagi untuk menghindarinya.
Jaraknya demikian dekat, dan Chin Tong Sia sendiri
memang lengah. Akibatnya pipi pemuda itu menjadi
bengkak dan merah, bahkan dari sela-sela bibirnya
mengalir darah segar.
Tapi sungguh mengherankan! Sama sekali pemuda
itu tidak marah atau sakit hati. Pemuda itu hanya
mengusap-usap saja pipinya yang bengkak. Hanya
matanya saja yang berkedip-kedip seperti lampu
kehabisan minyak, memandang dengan wajah
menyesal kepada Siau In.
"Heh? Kenapa kau diam saja ditampar gadis ini?"
Entah dari mana datangnya, mendadak di dekat
Chin Tong Sia telah berdiri Put-pai-siu Hong-jin! Si
Gila itu seperti hantu yang muncul begitu saja di
tempat itu, sehingga Siau In yang baru saja menampar 169
Chin Tong Sia itu sampai terlonjak saking kagetnya!
Apalagi ketika gadis itu melihat wajahnya yang
menyeramkan!
"Suheng! Sekali lagi kau jangan turut campur!
Aku... tiba-tiba aku merasa menyesal telah
mempermainkan gadis ini. Aku memang anak bengal.
Aku tak pernah mempunyai Ayah dan Ibu. Yang ada
hanya Suhu dan para Suheng yang terlalu amat
memanjakan aku. Aku tak pernah diajari untuk
menghormati wanita. Aku tak pernah ditampar kalau
berbuat nakal. Oooh, kalau aku punya Ibu, aku tentu
sering dipukul dan ditampar seperti ini kalau nakal...."
seperti orang melamun Chin Tong Sia bergumam
dengan suara lemah.
"Nah, kau sudah mulai cengeng lagi! Huh, bosan
aku...! Sudahlah, aku akan pergi dulu! Silakan kau
menangis bersama gadis ini sepuasnya, asal jangan
lupa datang di rumah nelayan itu tengah malam
nanti!"
Selesai menggerundel Put-pai-siu Hong jin melesat
pergi dari tempat itu. Datangnya sangat tiba-tiba,
begitu perginya. Tubuhnya yang kurus dan agak
bungkuk itu seperti berubah menjadi asap yang tertiup
angin semakin jauh. Cepat bukan main! Siau In
sampai terbelalak saking herannya.
"Nona, maafkanlah aku. Aku benar-benar menyesal
mempermainkan engkau. Kuharap kau tidak menjadi
sakit hati terhadapku...." sambil tetap mengelus-elus 170
pipinya yang bengkak Chin Tong Sia meminta maaf
kepada Siau In.
Siau In sudah tidak sesenggukan lagi. Masih
dengan kaki bersimpuh di atas rumput gadis itu
menatap dengan rasa benci kepada Chin Tong Sia.
Rona merah masih menjalar di pipi gadis itu kalau
mengingat keadaannya ketika diintip oleh pemuda itu.
Tapi pemuda itu kini juga ikut bersimpuh di
depannya. Bahkan pemuda itu tampak sangat
menyesali perbuatannya. Terbukti ditampar sampai
bengkak dan berdarah pun ia tak membalas. Akhirnya
susut juga kemarahan Siau In.
"Baiklah, aku memaafkan kau. Tapi... coba kau
berkata terus terang! Apakah kau tadi benar-benar
melihat... eh... melihat seluruhnya?" dengan wajah
kembali memerah Siau In mencoba meyakinkan
sekali lagi akan kekhawatirannya.
Chin Tong Sia menatap dengan agak takut-takut.
Sikapnya itu benar-benar aneh dan bertolak belakang
dengan kehebatannya dalam ilmu silat! Perlahan-
lahan kepala Chin Tong Sia mengangguk.
Plaaaak!
Kemarahan Siau In tiba-tiba meledak kembali dan
tangannya melayang ke pipi Chin Tong Sia tanpa bisa
dicegah lagi. Akibatnya untuk kedua kalinya darah
mengalir keluar dari mulut pemuda itu.
"Wah, payah...! Sute, apa sebenarnya yang telah
terjadi padamu? Kenapa kau tetap diam saja seperti
patung? Lama-lama kau bisa ompong... ditampar 171
terus-menerus oleh perempuan galak itu!" terdengar
suara Put-pai-siu Hong-jin dari kejauhan.
Siau In tercengang. Orangnya sudah tidak tampak,
tapi kenapa seperti masih bisa menyaksikan keadaan
di tempat itu? Berdiri juga bulu roma Siau In melihat
kesaktian orang itu. Apa jadinya kalau manusia
menyeramkan itu tadi menjadi marah dan membela
sutenya? Baru Si pemuda ini saja sudah bukan main
lihainya, apalagi orang itu.
Perlahan-lahan Siau In menurunkan tangannya
yang telah siap sedia hendak menampar lagi. Matanya
yang galak itu tiba-tiba meredup tatkala menyaksikan
aliran darah yang masih menetes-netes di sudut bibir
Chin Tong Sia. Sejenak heran juga hati Siau In
melihat pemuda itu diam saja tak membalas ketika ia
tampar tadi. Apakah pemuda itu takut padanya? Jelas
tidak. Pemuda itu memiliki kesaktian yang jauh lebih
tinggi dan pada silatnya. Apakah pemuda itu benar-
benar menyesali perbuatannya?
Siau In menghela napas panjang. Matanya
tertunduk pula.
"Menurut aturan aku harus membunuhmu untuk
menghilangkan rasa maluku. Tapi... sudahlah. Aku tak
tega melihat kau telah menyesali perbuatanmu. Hanya
kuminta untuk selanjutnya kau jangan sampai bertemu
dengan aku. Kalau sampai berjumpa sekali lagi, aku
akan membunuhmu. Kalau tak bisa membunuhmu,
aku sendiri yang akan bunuh diri. Aku tak ingin
melihat orang yang telah melihat tubuhku, kecuali...." 172
Siau In tak meneruskan ucapannya, kemudian berdiri
dan meninggalkan tempat itu.
"Kecuali... apa, Nona?" Chin Tong Sia cepat berdiri
dan bertanya.
Tapi Siau In tak mau berbicara lagi. Kakinya
melangkah cepat menuju ke pantai. Chin Tong Sia
sendiri sebenarnya juga akan ke perkampungan
nelayan pula. Tapi ia tak berani membarengi gadis itu.
Ia takut gadis itu akan membuktikan ancamannya.
Barulah ketika gadis itu tidak kelihatan lagi, Chin
Tong Sia melangkah pula menuju ke pantai. Inilah
pengalamannya yang pertama dengan seorang gadis
selama hidupnya yang telah menginjak dua puluh
enam tahun itu.
"Oh... tololnya aku! Sampai lupa aku menanyakan
namanya! Hmmm...!" pemuda itu menyesali dirinya.
Tiba-tiba Chin Tong Sia ingat pada bungkusan Siau
In yang masih ketinggalan di dekat selokan itu.
Bergegas pemuda itu kembali dan mengambilnya.
Namun ketika ia hendak berlari untuk memberikan
benda tersebut ke pemiliknya, hatinya kembali ragu-
ragu.
"Ah, peristiwa ini masih mengeruhkan pikirannya.
Dia bisa benar-benar berbuat nekad kalau aku tetap
mendesaknya. Hmh, biarlah lain kali saja kalau takdir
masih mempertemukan aku dengan dia, barang ini
akan kuserahkan kepadanya." Sambil menarik napas
panjang Chin Tong Sia mengikatkan bungkusan itu ke
pundaknya. Entah apa isinya ia tak tahu.
173
Demikianlah, peristiwa yang tidak mengenakkan
hati itu masih saja mengganggu dan berkecamuk
hebat di dalam pikiran Siau In. Oleh sebab itu pula
walaupun malam telah merangkak semakin larut,
gadis cantik itu masih saja bermenung sendirian di
tepi pantai. Dibiarkannya angin malam yang nakal itu
membelai dan mengacaukan rambutnya. Bahkan
dibiarkannya pula air laut yang mulai pasang itu
membasahi kain celananya.
Berjam-jam lamanya gadis itu duduk diam bagai
patung batu. Diam tak bergerak. Matanya
menerawang jauh ke tengah laut seolah-olah ingin
menjenguk cakrawala, di mana langit dan permukaan
laut saling bertaut menjadi satu. Hanya tarikan
napasnya yang panjang dan berat saja yang
menandakan gadis itu masih hidup.
Terdengar suara lonceng dari kampung Ui-thian-
cung, pertanda hari sudah lewat tengah malam. Air
laut benar-benar telah mulai pasang, sehingga pasir di
mana Siau In duduk juga mulai dibanjiri air.
Siau In terpaksa beranjak pergi meninggalkan
tempat itu. Dengan lesu gadis itu melangkah satu-satu
ke tempat yang lebih tinggi. Kadang-kadang ia harus
melompati batu-batu karang yang berserakan di
depannya. Dan akhirnya gadis itu memutuskan untuk
duduk kembali di sebuah batu karang yang menjulang
paling tinggi.
Namun ketika Siau In mulai meletakkan pantatnya
di puncak batu karang itu, tiba-tiba matanya terbelalak 174
memandang ke tengah laut. Di antara gulungan
ombak yang bergulung-gulung datang, gadis itu
melihat sebuah perahu datang mendekati pantai di
mana ia berada. Yang membuatnya heran adalah
perahu itu sama sekali tidak memasang lampu seperti
halnya perahu-perahu nelayan yang lain.
Siau In meloncat turun dan bersembunyi di balik
batu karang. Nalurinya mengatakan bahwa perahu
yang datang itu bukanlah perahu nelayan biasa. Ada
sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Selain tidak
memasang lampu, perahu itu juga tidak berlabuh di
perkampungan nelayan, tapi tempat terasing seperti
ini.
Perahu itu ternyata cukup besar pula, mungkin - ada
empat atau lima tombak panjangnya. Di tengah-
tengahnya dibangun sebuah ruangan lengkap dengan
atapnya. Dan begitu menyentuh pasir, enam orang
penumpangnya segera berloncatan turun untuk
menyeret perahu itu ke tepian.
Siau In menjadi berdebar-debar hatinya. Melihat
gerakan orang-orang itu dapat dipastikan bahwa
mereka memiliki kepandaian silat yang tinggi. Tubuh
mereka yang hanya mengenakan baju tanpa lengan
itu, tampak kokoh kekar dan perkasa.
"Tutup perahu ini dengan daun ilalang yang
tumbuh di tepian itu!" tiba-tiba terdengar suara
berwibawa dari dalam perahu.
175
Siau In terkejut bukan main. Ternyata masih ada
lagi orang di dalam perahu itu. Untunglah gadis itu
tidak gegabah dalam pengintaiannya.
Sekejap saja keenam orang itu telah membabati
daun ilalang dan menutupkan nya pada perahu besar
itu. Mereka bekerja dengan cepat tanpa suara, seperti
kawanan hantu yang bekerja di malam hari. Mereka
seperti tidak memperdulikan orang yang masih berada
di dalam perahu.
Selesai menimbun perahu dengan daun ilalang,
orang-orang itu lalu berdiri tegak menunggu perintah.
Tak seorang pun membuka mulutnya. Mereka tegak
kaku bagaikan patung batu.
Siau In mencoba melihat wajah-wajah mereka.
Namun karena jaraknya terlalu jauh, maka hanya
warna pakaian dan bentuk perawakan mereka saja
yang bisa dilihatnya. Kegelapan membuat wajah
mereka tampak hitam dan samar-samar.
Keenam orang itu mengenakan pakaian yang
berbeda-beda warnanya. Kuning, hijau, biru, merah,
putih dan hitam. Masing-masing membawa pedang di
atas punggungnya.
"Carilah tempat berlindung! Kita tunggu
kedatangan mereka!" tiba-tiba terdengar suara di atas
batu karang di mana Siau In bersembunyi.
Hampir saja Siau In menjerit. Tanpa dia ketahui
bagaimana atau kapan keluarnya, orang yang berada
di dalam perahu tadi telah berdiri tegak di atasnya, di
atas batu karang besar itu. Demikian dekatnya, 176
sehingga rasa-rasanya dia bisa menjangkau ujung
sepatu orang itu. Untunglah cuaca cukup gelap dan
suara debur ombak juga cukup berisik pula sehingga
benar-benar membantunya dari perhatian orang itu.
Coba kalau tidak, arang itu tentu akan segera
mengetahui persembunyiannya.
Angin laut berhembus dengan tajamnya, tapi peluh
dingin justru mengucur dengan derasnya di leher dan
punggung Siau In. Hampir-hampir gadis itu tidak
berani bernapas, takut suaranya akan terdengar.
"Ada orang datang...!" orang itu bersuara lagi.
"Bersembunyilah...!"
Dan untuk yang kedua kalinya Siau In tersentak
kaget. Suara itu telah berada di dalam timbunan daun
ilalang kembali, tanpa sedikit pun ia ketahui kapan
berpindahnya. Padahal perahu yang ditimbun ilalang
itu ada tiga atau empat tombak jauhnya dari batu
karang tempat ia bersembunyi.
Sekarang bukan hanya ketegangan atau ketakutan
yang melanda hati Siau In, tapi juga rasa ngeri
menyaksikan kehebatan orang itu. Sekejap timbul
juga perasaan bimbang di hatinya. Benarkah orang itu
atau mereka itu manusia-manusia biasa seperti
dirinya? Ataukah mereka itu hantu-hantu penjaga
pantaj yang sedang menakut-nakuti dirinya?
"Aku sama sekali tak melihat gerakannya. Orang
yang berdiri di atas batu karang ini tadi seperti
menghilang begitu saja. Rasa-rasanya memang cuma 177
hantu atau roh yang bisa berbuat demikian." gumam
Siau In di dalam hatinya.
Kemudian gadis itu menyurukkan tubuhnya
semakin dalam ke celah-celah batu karang. Kalau
memang benar makhluk-makhluk itu bukan manusia
seperti dirinya, Siau In ingin tahu apa yang hendak
mereka perbuat di tempat itu.
"Hemmm, kenapa hanya seorang yang datang...?"
tiba-tiba orang yang bersembunyi di dalam perahu
tadi berdesah agak keras.
Siau In menjulurkan kepalanya di antara celah
sempit di dekatnya. Dengan amat hati-hati gadis itu
mengintip ke luar.
Benar juga. Tidak lama kemudian dari arah
kampung Ui-thian-cung terlihat sesosok bayangan
hitam berloncatan di antara batu karang yang
berserakan di tepian pantai tersebut. Dengan cepat
bayangan hitam itu terbang mendekati. Gerakan
kakinya sangat ringan dan lincah, menandakan orang
itu memiliki ginkang yang tinggi pula.
Sekejap saja bayangan itu telah berada di dekat
perahu. Dan sungguh kebetulan juga, bayangan itu
berdiri tak jauh dari tempat Siau In bersembunyi,
sehingga gadis itu bisa melihat wajah orang itu
dengan jelas.
Orang itu mengenakan jubah hitam yang amat
longgar, hingga tubuhnya yang tegap dan tinggi itu
semakin tampak seperti raksasa. Rambutnya yang
panjang dan telah berwarna dua itu dibiarkan tergerai di pundaknya. Demikian juga dengan kumis dan
jenggotnya yang lebat itu dibiarkannya tumbuh bebas
menutupi sebagian besar wajahnya pula. Sesaat
hampir saja Siau In menyangkanya sebagai Tong Tai-
su.
_0&__
Komentar
Posting Komentar