AMUN meski marah si pemimpin itu
sudah sadar siapa lawannya. Ia tidak mau
bernasib seperti kawan-kawannya itu,
sehingga pada saat menyerang tadi ia juga
tidak lupa akan pertahanannya. Maka
ketika serangan balik Siau In itu hampir
mengenai sasarannya, ia terlebih dulu menggeliat ke
kiri cepat sekali, hingga serangan itu lewat hanya
sejengkal saja dari tubuhnya. Kemudian sebelum Siau
In menarik kaki dan tangannya, ia lebih dulu
memanfaatkan kesempatan itu dengan menyabetkan
golok hitamnya yang berselubung racun ke arah
lawan.
Serangan si pemimpin itu benar-benar bagus dan
ganas luar biasa. Sepintas lalu serangan itu tidak
mungkin tidak pasti akan mengenai sasarannya. 92
Dalam keadaan serta kedudukan tubuh seperti itu tak
mungkin Siau In dapat menghindar lagi. Tubuh yang
molek itu tentu akan terbelah menjadi dua bagian.
Atau paling tidak, kaki dan tangan yang mungil itu
tentu akan terlepas dari tubuhnya.
Namun apa yang kemudian terjadi ternyata juga di
luar dugaan si pemimpin itu. Dalam keadaan terjepit
ternyata Siau In melakukan langkah yang boleh
dikatakan amat berbahaya sekali buat dirinya sendiri,
lapi tampaknya gadis itu memang telah yakin benar
akan kekuatannya, sehingga golok hitam yang
lebarnya setelapak tangan orang dewasa itu tiba-tiba
hanya ditangkis dengan pisau kecilnya yang tak lebih
besar daripada jari tangannya sendiri!
Traaaaaang!!! ,
Terdengar suara nyaring disertai percikan api yang
amat hebat. Siau In mengeluh pendek karena jari-jari
tangannya yang kecil halus itu tergetar dengan
dahsyatnya sehingga tak kuasa memegangi pisaunya.
Pisau itu terlepas jatuh. Namun sebelum menyentuh,
tanah, tiba-tiba ujung sepatu kiri gadis itu menyambar,
gagangnya. Thaaak! Dan pisau itu meluncur ke atas
dengan cepatnya!
Si pemimpin itu telah bersorak di dalam hati. Tapi
kegembiraannya itu mendadak hilang dan diganti
dengan jeritannya yang menyayat hati. Pisau kecil itu
ternyata menyambar urat nadinya, sehingga golok
hitamnya itu terlempar ke udara! 93
Darah mengucur dengan derasnya dari pergelangan
tangan si pemimpin itu. Pisau Siau In telah menembus
tulang dan memutuskan urat nadinya. Sakitnya tiada
terkira.
Sebaliknya Siau In sendiri ternyata juga tidak
terbebas begitu saja. Walaupun ayunan golok lawan
dapat ia tahan sepenuhnya, tapi guncangannya masih
mampu mengoyakkan kulit telapak tangannya.
Bahkan ujung golok itu juga masih dapat: merobek
lengan bajunya pula.
Kini Siau In benar benar tidak bisa menahan
marahnya lagi. Dengan cepat tangannya mencabut
pedang pendek yang terselip di balik bajunya, lapi
sebelum dia mempergunakan pedang itu, dan dalam
perkampungan petani tambak tersebut tiba-tiba
muncul berpuluh-puluh anggota Hek-to-pai yang lain.
Mereka berbondong bondong mengiringkan seorang
lelaki tegap berkumis dan berjenggot lebat. Begitu
melihat kawan-kawan mereka yang bergelimpangan,
mereka bergegas menghampiri.
"Siapa yang berani mengacau perkampungan ini?"
lelaki bercambang lebat itu membentak. Suaranya
keras dan berwibawa.
"Suhu, dialah gadis yang kukatakan tadi." anggota
Hek-to-pai yang melapor tadi memberi tahu.
Siau In berdiri tegak di hadapan lelaki itu. Pedang
pendeknya ia sembunyikan di balik lengan bajunya. Ia
sama sekali tidak takut menghadapi lawan yang 94
banyak sekali itu. Bahkan ia balas menentang
pandang mata lelaki bercambang lebat tersebut.
"It Hou...! Bukankah kau tadi kusuruh membawa
adik-adikmu pergi ke kota untuk mencari susiok-
susiokmu (paman paman gurumu) yang bermain
barongsai di halaman rumah Bupati? Mengapa kalian
telah berada di sini lagi dalam keadaan seperti ini?"
Lelaki bercambang lebat itu tiba-tiba membentak si
pemimpin tadi.
It Hou yang terluka pergelangan tangannya itu
terdiam tak bisa menjawab. Ia hanya bisa
menundukkan kepalanya sambil terus memijit-mijit
lukanya yang parah.
"Baiklah, kau boleh menjawabya nanti. Sekarang
uruslah Adik-adikmu yang terluka ini. Bawalah
mereka ke Balai Latihan Silat!"
"Ba-baik, Suhu...." It Hou menjawab, lalu
mengajak beberapa orang adik seperguruannya yang
lain untuk membantu membawa orang-orang yang
pingsan itu ke Balai Latihan Silat.
Laki-laki bercambang lebat itu lalu menghadapi
Siau In kembali. Beberapa saat lamanya ia hanya
mengawasi saja tubuh Siau In dari kaki sampai ke
kepala. Baru setelah itu ia menggeleng-gelengkan
kepala seraya berdecak kagum.
"Bukan main. Masih begini muda, tapi sudah
mampu mengalahkan murid kepalaku It Hou, Hmm,
Nona... perkenalkanlah, namaku It Kwan. Aku adalah
Ketua Hek-to pai yang bermarkas di perkampungan 95
petani tambak ini. Bolehkah aku tahu namamu, nama
gurumu, dan nama perguruanmu?"
Halus sekali nada suara ketua Hek-to-pai tersebut.
Tapi bagi Siau In suara itu tetap terasa sombong dan
menekan dirinya. Bahkan suara itu masih terasa
mengandung nada penasaran dan kemarahan. Maka
Siau In tetap tidak mau mengendurkan
kewaspadaannya. Pedang pendeknya sewaktu-waktu
masih siap untuk dipergunakan.
"Namaku Siau In, Tio Siau In. Aku adalah murid
Giam Pit Seng, pimpinan Cabang Im-yang-kau bagian
timur. Aku tidak bermaksud melukai...."
"Aaaaaa... jangan sungkan-sungkan." It Kwan cepat
memotong perkataan Siau In. "Jadi... Nona ini murid
Giam Taihiap yang terkenal itu? Wah, pantas...
pantas. Nama gurumu memang menjulang tinggi sejak
lima tahun yang lalu, sebelum ia dipilih sebagai
pimpinan Cabang Im-yang-kau daerah timur.
Namanya boleh disejajarkan dengan Keh-sim Siau-
hiap (Pendekar Patah Hati). Tung-hai-tiauw (Rajawali
Laut Timur), Tung-hai Nung-jin (Petani Laut Timur),
dan Lam-hai-kiam (Pedang Laut Selatan), vang hidup
pada dua puluh tahun lalu...."
Keempat tokoh yang disebutkan oleh It Kwan itu
adalah tokoh-tokoh persilatan ternama di daerah
pantai timur Tiongkok pada dua puluh atau dua puluh
lima tahun yang lalu. Keh-sim Siau-hiap adalah
pemilik Pulau Meng-to (Pulau Mimpi), sedangkan
tiga tokoh yang lain itu adalah bajak laut terkenal 96
yang menguasai Lautan Timur dan Selatan. Nama
mereka sangat ditakuti di pantai timur Tiongkok,
sampai pada suatu saat mereka dikalahkan oleh
seorang tokoh jahat bernama Hek eng-cu (Bayangan
Hitam). Sejak itu nama nama mereka hilang tak
terdengar lagi.
Siau In tidak suka nama gurunya diperbandingkan
dengan tokoh yang sudah tiada atau tidak pernah
muncul lagi itu.
"Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu memang benar-benar
tidak ingin memperpanjang urusan ini lagi, aku akan
mohon diri. Aku...?"
"Eit, nanti dulu. Aku memang tidak akan
memperpanjang masalah ini, karena aku menghormati
gurumu. Apalagi aku tidak ingin berselisih dengan
aliran Im-yang-kau. Tapi... kuminta kau singgah dulu
di Hek-to-pai!"
Mata yang sudah mulai meredup itu tampak
menyala lagi. Malahan bibirnya yang kecil tipis itu
kini digigit karena menahan geram.
"Hmm! Sedari tadi kau selalu berbicara manis,
padahal maksudmu sebenarnya juga tidak berbeda
dengan murid-muridmu itu! Huh, marilah! Kau tak
perlu sungkan menghadapi gadis muda seperti aku!
Tapi ketahuilah, kaki tanganku ini juga takkan
sungkan-sungkan pula untuk membunuh orang agar
aku bisa keluar dari perkampungan bobrok ini!" gadis
itu menggeram marah. 97
"Eeee... Nona salah sangka! Aku...." It Kwan masih
mencoba membujuk dengan kata-kata halus.
Tapi Siau In tak bisa diajak bicara lagi. Gadis itu
cepat melompat ke samping kanan It Kwan dan
berusaha menerobos ke depan. Pedangnya tetap dia
simpan di balik lengan bajunya.
Gadis itu telah bergerak cepat, tapi ternyata It
Kwan lebih cepat lagi. Lelaki bercambang lebat itu
memutar badannya ke kanan sambil melepaskan tinju
kirinya lurus ke depan. Hal ini berarti bila Siau In
meneruskan maksudnya, ia tentu akan dihajar oleh
kepalan itu.
Bagaimanapun juga It Kwan memang masih
merasa sungkan melayani Siau In. Sebagai ketua
perguruan yang cukup punya nama di daerah itu,
sebenarnya ia tak ingin berhadapan langsung dengan
gadis ingusan seperti Siau In. Namun apa daya, murid
pertama dan juga puteranya sendiri itu ternyata tak
mampu melawan Siau In. Sayang dua orang adik
seperguruannya kini berada di kota ikut berlomba
barongsai.
Oleh karena itu dalam melepaskan pukulannya It
Kwan sengaja tidak mengerahkan seluruh tenaganya,
la hanya melepaskan setengah bagian saja dari seluruh
kemampuannya. Apalagi ia memang tidak ingin
melukai gadis itu. Bagaimanapun juga ia tidak ingin
bermusuhan dengan aliran Im-yang-kau yang sangat
besar. Dia hanya ingin memberi sekedar pelajaran saja 98
kepada gadis itu, agar gadis itu juga mengetahui
bahwa Hek-to-pai tidak boleh dipandang enteng.
Tapi inilah kesalahan It Kwan. Kalau ia bertempur
dengan sungguh-sungguh, mungkin ia masih bisa
menghadapi Siau in tanpa menderita malu. Namun
karena dia hanya setengah-setengah, padahal Siau In
berkelahi dengan seluruh kemampuannya, maka
akibat yang kemudian terjadi benar-benar
memerahkan telinga ketua Hek-to-pai itu.
Begitu melihat lawannya tergeser ke kiri sambil
melontarkan pukulan untuk menghadang dirinya, Siau
In segera menyiapkan pedang pendeknya, Pada saat
yang tepat pergelangau tangannya berputar sehingga
pedang itu keluar dan menabas kepalan tangan It
Kwan.
Ketua Hek-to-pai itu terkejut setengah mati.
Padahal tadi ketika ia merasa lawannya tak bisa
mengelak lagi, ia lalu mengurangi pula tenaganya.
Tak disangka-sangka gadis itu ternyata telah
memasang jebakan yang berbahaya, sehingga ia
benar-benar sulit menyelamatkan diri sekarang.
Namun sebagai ketua partai persilatan yang cukup
berpengalaman, It Kwan tidak segera berputus asa.
Dengan sekuat tenaga ia menghentikan laju
kepalannya, kemudian secepat kilat menekuk
pergelangan tangannya sehingga kepalan itu paling
tidak tertarik dua inchi ke belakang. Dan bersamaan
dengan itu pula dia juga menyemburkan sesuatu dan
mulutnya, untuk menahan laju pedang Siau In. 99
Tinggg! Sssrrt!
"Ough!" U Kwan mengaduh pendek seraya melihat
ke punggung tangannya.
Ternyata meski telah berupaya dengan segala
macam cara, pedang pendek itu masih juga
menyerempet punggung tangan It Kwan, sehingga
kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah. Betapa
marah dan terhinanya ketua Hek-to-pai itu tak bisa
dilukiskan lagi. Giginya gemeratak. Matanya melotot.
Dan kumisnya yang lebat itu kelihatan bergetar
menahan geram.
"Kuntilanak busuk tak tahu diuntung ...!" umpatnya
kasar, sehingga kelihatan benar watak aselinya.
It Kwan memang bekas anak murid dari seorang
pendeta di puncak Gunung Kun Lun. Tapi karena
tabiatnya yang kurang baik, ia diusir dari
perguruannya. Ia lalu mengembara jauh sekali ke
bagian ti mur negeri Tiongkok dengan bekal ilmu
goloknya. Karena wataknya memang kurang baik,
maka di dalam perjalanannya itu ia juga selalu berbuat
yang merugikan orang lain, seperti memeras,
merampok, membegal, dan sebagainya. Namun
sejalan dengan berbagai pengalamannya itu, maka
ilmu goloknyapun juga semakin bertambah matang
pula. Bahkan ia telah menambah, mengubah, serta
menyesuaikan jurus-jurusnya, sehingga akhirnya ilmu
goloknya menjadi lain, tapi amat cocok dengan
wataknya sendiri. Malahan untuk lebih
memperdahsyat ilmu goloknya, It Kwan lalu memoles 100
goloknya dengan racun, sehingga golok itu menjadi
hitam dan mengerikan. Akhirnya ia sampai di kota
Hang-ciu. Di tempat ini ia mendapatkan jodohnya dan
mendirikan sebuah perguruan yang dinamakan Hek-
to-pai, sesuai dengan senjata yang menjadi
andalannya.
It Kwan mengerahkan seluruh tenaga saktinya.
Tulang-tulangnya sampai bergemeratak menahan
kekuatannya. Wajahnya yang hitam legam itu tampak
menjadi ganas dan mengerikan. Matanya liar
mengungkapkan hawa pembunuhan. Namun demikian
ketua Hek-to-pai itu belum merasa perlu
mengeluarkan golok hitamnya.
"Kubunuh kau
betina memuakkan!
Aku tidak peduli
lagi kalau Si Tua
Bangka Giam Pit
Seng itu akan
memusuhi aku! Dan
aku juga tidak
peduli lagi misalkan
seluruh tokoh Im-
yang-kau menuntut
balas ke mari! Lihat
pukulan...!"
Ngeri juga hati
Siau In
menyaksikan wajah 101
lawannya yang berubah menjadi sangat menyeramkan
itu. tapi perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh.
Sebagai seorang gadis yang telah digembleng ilmu
silat tinggi oleh gurunya, ia telah mampu menguasai
perasaan takutnya. Ia segera menundukkan tubuhnya
untuk mengelakkan pukulan lawannya, lalu balas
menusukkan pedang pendeknya ke arah perut.
Tapi dengan cepat It Kwan mengibaskan tangannya
yang lain, sehingga ujung pedang Siau In seperti
terdorong oleh sebuah tenaga raksasa dan melenceng
ke samping. Terpaksa untuk menjaga
keseimbangannya Siau In ikut bergulir ke samping
pula. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan
gadis itu lalu menambah lagi dengan melangkah ke
kiri dua tindak.
It Kwan membalikkan tubuhnya. Sekali lagi ia
mempersiapkan seluruh tenaga saktinya. Kakinya lalu
menjejak tanah dan kedua lengannya terulur ke depan,
membentuk cakar untuk merobek robek badan Siau
In. Jurus ini ia beri nama Harimau Tutul Menyergap
Anjing!
Walau belum banyak pengalaman, namun Siau In
sadar bahwa tenaga dalam orang tua itu lebih tinggi
daripada tenaga dalamnya. Berdasarkan hasil dari
beberapa gebrakan tadi, Siau In bisa menyimpulkan
bahwa berhadapan langsung dengan lawannya adalah
tidak menguntungkan. Ia harus lebih banyak meng-
andalkan kelincahan dan kehebatan ilmu pedangnya. 102
Ilmu pedang Siau In memang aneh dan lain
daripada yang lain, karena ilmu pedang ciptaan
suhunya itu sebenarnya hanya gubahan saja dari ilmu
Hok-hong Pit-hoat (Ilmu Menulis Menaklukkan
Angin) andalan gurunya. Suhunya sebelum menjadi
pemimpin cabang Im-yang-kau memang seorang
pendekar silat bersenjatakan sepasang pena (pit). Ilmu
Hok-hong Pit-hoat sangat dikagumi dan disegani
lawan di daerah pantai timur Tiongkok sejak beberapa
tahun yang lalu. Ketika kemudian gurunya itu
menerima murid, ia menjadi bingung karena dua di
antara tiga muridnya ternyata adalah wanita. Padahal
senjata pena tersebut hanya cocok untuk laki-laki.
Oleh karena itu terpaksa gurunya mengubah dan
menyesuaikan jurus-jurus Hek-hong Pit-hoat itu ke
dalam permainan pedang pendek, agar cocok dan
sesuai dengan kedua orang murid perempuannya.
Hanya Sin Lun saja sebagai lelaki yang mempelajari
Hok-hong Pit-hoat yang aseli.
Melihat lawannya menerkam seperti harimau, Siau
In menggeser kakinya ke samping, lalu meloncat ke
atas pula seperti lawannya. Pedang pendeknya
menyabet ke depan untuk menabas putus kedua
lengan It K wan. Jurus ini sebenarnya adalah gubahan
dari jurus ke sebelas dari Hok-hong Pit-hoat, yaitu
Melukis Dua Mata di Lamping Gunung. Gerakan
aslinya ialah menusukkan dua mata pena (pit) ke arah
pelipis dan siku lawan. Tapi oleh gurunya gerakan itu
diubah dengan menyabetkan dua buah pedang ke 103
leher dan lengan musuh. Namun karena yang
dipegang oleh Siau In sekarang hanya sebatang saja
maka tabasan tersebut hanya tertuju pada lengan
lawan saja.
It Kwan meraung marah. Meskipun masih amat
muda ternyata Siau In sangat lincah dan cerdik.
Dengan indah It Kwan menggeliatkan tubuhnya di
udara untuk menghindari tabasan pedang Siau In.
Begitu kakinya menginjak tanah lagi, ketua Hek to pai
itu segera menerjang kembali dengan sabetan sisi
telapak tangannya terarah ke pinggang Siau In.
Anak murid It Kwan yang mengepung arena itu
kelihatan tegang dan cemas. Meskipun mereka sangat
percaya pada kesaktian guru mereka, lapi mereka juga
melihat bahwa gadis muda itu memiliki ilmu pedang
yang luar biasa pula. Malahan pada gebrakan pertama
tadi gurunya sempat mendapat luka di punggung
tangannya. Mereka menjadi tidak sabar, kenapa
gurunya tidak lekas-lekas saja mempergunakan
goloknya.
Dua puluh jurus telah berlalu, lapi It Kwan yang
berjanji hendak membunuh Siau In itu tetap belum
bisa melaksanakan niatnya. Gadis muda itu ternyata
sangat alot dan licin bukan main. Bahkan beberapa
kali malah ia sendiri yang hampir termakan oleh
pedang pendek itu.
Tiga puluh jurus telah berlalu pula. Malahan
beberapa waktu kemudian empat puluh jurus pun
telah terlampaui juga. Meskipun demikian ketua Hek 104
to-pai itu tetap tak mampu melumpuhkan perlawanan
Siau In. Sebaliknya gadis itu malah lebih sering
mendesaknya ke dalam kesulitan.
Akhirnya It Kwan sadar bahwa lawannya memang
memiliki kepandaian tinggi. Kalau dia tetap bertahan
dengan kesombongannya, bukan mustahil ia sendiri
malah yang akan terkapar di atas tanah. Oleh karena
itu ia segera mengesampingkan perasaan malunya dan
memberi tanda kepada salah seorang muridnya untuk
memberinya sebilah golok.
Murid itu segera melemparkan golok hitamnya.
Kini It Kwan berdiri dengan golok di tangan. Matanya
tajam mengawasi lawannya yang masih amat muda
itu. Hawa pembunuhan benar-benar telah terpancar
dari sorot matanya. Dan golok hitam di tangannya itu
tiba-tiba seperti berkilau mengerikan.
Sekejap bergetar juga hati Siau In. Gadis itu
menyadari bahwa dengan golok di tangan, It Kwan
benar-benar akan seperti harimau tumbuh sayap.
Maka untuk melindungi keselamatannya, Siau In
cepat mengeluarkan pula pedang pendeknya yang
lain. Kini kedua belah tangannya benar-benar telah
memegang senjata andalannya, sepasang pedang
pendek!
Sementara itu matahari telah condong ke barat, dan
pertunjukan di halaman rumah Bupati itu pun sudah
hampir selesai pula. Semua penonton sudah
mengumpul dan tertumpah semua di sekeliling
panggung lui-tai. Pertandingan barongsai dan tari 105
tarian telah rampung, sehingga seluruh penontonnya
berpindah ke panggung lui-tai. Juara pertama di
panggung barongsai adalah pemain barongsai dari Ui-
thian-cung. Walaupun betisnya telah dilukai Siang-
hai-coa dari Ang-lian-pang, namun dua saudara Ui itu
tetap bisa memenangkan pertandingan melawan ba-
rongsi dari Pek-hok-bio dan Hek-to-pai.
Sekarang di atas pangung lui-tai sedang berlaga dua
orang lelaki bersenjatakan pedang dan tongkat besi.
Keduanya telah bertarung lebih dari tiga puluh jurus,
namun belum ada juga yang kalah atau menang.
Sedangkan di bawah panggung, di dekat tempat
duduk wasit atau panitia, telah berdiri dua orang
pemenang yang telah lolos dari ujian pertama, yaitu
memenangkan peserta lain tiga kali berturut-turut.
Siu Lun dan Ciu In masih sibuk mencari Siau In.
Sepasang merpati itu terduduk lesu di pintu gerbang
halaman. Wajah mereka tampak sedih dan khawatir.
"Suheng...? Ke manakah sebenarnya Siau In?
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada dirinya. Oh,
Suheng...." Ciu In mulai berkaca-kaca matanya.
Sin Lun berdiri dari duduknya. "Marilah kita cari di
jalan. Mungkin ia marah karena kita tinggalkan tadi,
lalu pergi meninggalkan kita ke jalan raya."
Mereka lalu berjalan perlahan-lahan sambil
memasang mata dan telinga, kalau-kalau mereka
melihat atau mendengar orang berbicara tentang Siau
In. Di depan pasar di mana Siau In tadi juga berdiri,
mereka berhenti sebentar. Di pondok perempatan 106
jalan di muka mereka, tampak beberapa orang berdiri
bergerombol sambil berbicara dengan riuhnya.
"Ayo kita mendekati mereka! Siapa tahu mereka
pernah melihat Siau In lewat." Sin Lun menarik
lengan Ciu In dan mengajak gadis itu berjalan lagi.
Orang orang itu segera menoleh dan melihat kepada
mereka, terutama kepa da Ciu In yang cantik dan
lembut.
"Cuwi, maaf... bolehkan kami bertanya?
Tampaknya baru ada sesuatu yang terjadi di tempat
ini?" dengan sopan Sin Lun menegur orang-orang itu.
"Benar. Di sini baru saja ada seorang gadis yang
pingsan dengan mendadak." salah seorang dari orang-
orang itu memberi jawaban.
Hati Sin Lun dan Cui In berdesir. Tiba-tiba mereka
menjadi khawatir, jangan jangan gadis itu adalah Siau
In.
"Seorang gadis...?" Sin Lun menegaskan. "Apakah
gadis itu masih sangat muda dan cantik?"
"Ya-ya, Sicu (Tuan) benar." orang-orang itu
menjawab serentak. "Apakah Sicu kenal gadis itu?"
Dengan gugup dan suara serak Cui In maju ke
depan. "Apakah... apakah gadis itu mengenakan baju
warna merah muda?" tanyanya harap-harap cemas.
"Ya, betul! Gadis itu memang mengenakan baju
warna merah." orang-orang itu menjawab tidak
bersamaan.
"Oh, Suheng... dia... dia memang Siau In." Ciu In
mulai menangis perlahan. 107
Tentu saja orang-orang itu menjadi kaget. Mereka
saling pandang dan tak tahu harus berbuat apa.
Untunglah Sin Lun dengan sigap lalu meminta agar
salah seorang menceritakan apa yang telah terjadi. Sin
Lun berkata kepada orang-orang itu bahwa ia adalah
kakak dari gadis yang pingsan tersebut.
Ternyata beberapa saat yang lalu ada seorang gadis
muda dan cantik berjalan sendirian di tempat itu.
Beberapa orang di antara orang-orang itu malah
sempat pula menggodanya. Namun gadis itu tidak
meladeni godaan mereka. Mungkin karena risi gadis
itu lalu menyeberang jalan. Dan pada saat itu ada
sebuah gerobag kuda yang kebetulan lewat pula.
Entah mengapa, tiba-tiba gadis itu lalu terkulai jatuh
ke jalan.
Mereka dan beberapa orang yang kebetulan lewat
segera memberi pertolongan, termasuk juga
penumpang gerobag kuda tadi. Tapi sampai beberapa
saat lamanya gadis itu tidak juga siuman. Kemudian
diambil keputusan untuk membawa gadis itu ke
rumah tabib yang tinggal di bagian barat kota. Pemilik
gerobag itu lalu menawarkan diri untuk membawa
gadis itu ke sana, dan semua orang menyetujuinya.
"Jadi gadis itu dibawa ke rumah tabib? Oh, di
manakah rumah tabib itu?" dengan gugup Sin Lun
bertanya kepada orang yang bercerita itu.
"Sicu ambil saja jalan yang menuju ke barat ini.
Jangan berbelok sebelum sampai di sebuah kuil besar
di pinggir jalan. Kalau Sicu sudah sampai di kuil Pek 108
hok-bio itu, silakan berbelok ke kanan. Kira-kira
seratus tombak dari kuil itulah rumah Tabib Ciok.
Setiap orang tahu rumahnya."
"Terima kasih...!" Sin Lun menjura, lalu menarik
lengan Ciu In untuk diajak berlari ke rumah tabib itu.
Keduanya tak mempedulikan orang-orang lain yang
keheranan melihat mereka berlari-lari.
"Kenapa Siau In bisa pingsan? Apakah ia sakit?
Bukankah tadi ia sehat-sehat saja? Jangan-jangan ada
sesuatu yang tidak beres...." sambil berlari Ciu In
menduga-duga.
"Aku juga bingung. Masakan gadis kuat seperti
Siau-sumoi bisa pingsan tanpa sebab? Jangan-jangan
dia bukan Siau-sumoi, tapi orang lain...." Sin Lun
mengemukakan kebimbangannya pula.
"Benar. Mudah-mudahan demikian.... Tapi kita
harus membuktikannya dahulu."
Dua lie kemudian mereka sampai di jalan yang
sepi. Di kanan kiri jalan hanya kebun kebun kosong
milik penduduk. Namun demikian jalan itu amat
teduh dan nyaman karena di pinggir jalan ditanam
orang pohon-pohon siong besar yang rimbun daunnya.
"Suheng, lihat! Itu kuilnya...! Ciu In berseru seraya
menunjuk ke sebuah halaman yang amat luas dengan
banyak sekali pohon-pohon besar sebagai pelindung.
"Benar. Aku hampir tak melihatnya karena pohon-
pohon besar itu hampir menutupi genting-gentingnya.
Padahal bangunan itu demikian besar dan tinggi ....
Kalau begitu kita harus berbelok ke kanan. Kata orang 109
tadi di depan kuil ada jalan yang menuju ke rumah
tabib itu. Marilah...."
Sin Lun menyambar telapak tangan Ciu In dan
mencengkeramnya, lalu ditariknya lengan itu ke
depan. Entah mengapa, tanpa kehadiran Siau In di
dekatnya, Sin Lun merasa bebas dan senang sekali
memegangi jari-jari tangan yang lentik serta berkulit
halus itu. Padahal sejak kecil mereka selalu bersama
sama dan Sin Lun acap kali juga memegangi tangan
itu.
"Nanti dulu, Suheng.... aku seperti mendengar suara
ringkik kuda di dalam kuil itu."
"Ah... apa anehnya suara ringkik kuda?" Sin Lun
berkata gemas. "Oh, maksudmu... kau menduga
pemilik gerobag kuda yang membawa Siau In itu
berada di dalam kuil itu? Wah, kau ini ada-ada saja.
Orang yang memiliki gerobag kuda bukan hanya
seorang saja. Ayoh, kita nanti terlambat sampai di
rumah tabib itu!"
"Baiklah... baiklah!" Ciu In merengut dan
bersungut-sungut.
Selama ini Sin Lun tak pernah melihat Ciu In
bersikap manja atau "ngam-bek" seperti itu. Di
hadapan siapa saja gadis itu selalu bersikap dingin,
serius, tegas, namun juga tampak lembut dan anggun.
Apalagi di depan guru dan saudara-saudara
seperguruannya.
Tapi sekarang, ketika mereka hanya berduaan,
entah mengapa tiba-tiba Ciu In dapat bersikap lain. 110
Gadis ini merengut dan bersungut-sungut dengan
sikap yang dibuat-buat. Bahkan beberapa kali mata
yang redup itu melirik ke arahnya.
Sin Lun tak tahan lagi. Hatinya tergetar dengan
hebat. Wajah lembut itu seperti menantangnya. Maka
tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya menyambar
pundak Ciu In, lalu diciumnya pipi gadis itu dengan
bersemangat. Tapi ketika bibirnya hendak bergeser ke
mulut, dengan cepat Ciu In mendorongnya.
"Ssssu-su-heng...? Kkkk-kau...?" Cui ln menjerit
lirih. Pipinya menjadi merah seperti buah tomat tua.
Matanya berkaca-kaca mau menangis.
Sin Lun sendiri menjadi salah tingkah dan gugup
sekali. Berulang kali pemuda itu menoleh ke sana ke
mari, seakan-akan ia takut perbuatannya tadi diketahui
orang.
"Sumoi, ma-ma-maafkan aku...." akhirnya pemuda
itu berkata dengan ketakutan. "A-aku tak tahan lagi.
Habis kau... kau cantik sekali!"
Terdengar suara sesenggukan ketika Cui In
kemudian berlari meninggalkan Sin Lun. Gadis itu
berlari-lari kecil menuju ke rumah Tabib Ciok. Sin
Lun yang merasa bersalah itu menjadi gelagapan.
Otomatis kakinya melangkah mengejar sumoinya.
Di sepanjang jalan menuju ke rumah tabib itu Sin
Lun meratap-ratap minta ampun, tapi Cui In tak
menggubrisnya. Gadis itu telah berjalan biasa lagi. Air
matanya yang mengalir juga sudah dihapusnya.
Namun gadis itu tetap saja berdiam diri. Wajahnya 111
yang cantik itu hanya memandang ke arah jalan yang
hendak diinjak atau dilangkahinya. Sama sekali ia tak
melayani rengekan Sin Lun yang mengemis-ngemis
minta dikasihani.
"Baiklah, kalau Sumoi memang tidak mau
memaafkan aku... aku nanti akan pergi. Biarlah aku
mencari Siau-sumoi sendirian. Setelah Siau-sumoi
ketemu, aku akan pergi jauh sekali. Biar Suhu tidak
marah kepadaku...." akhirnya Sin Lun berkata dengan
suara sedih.
"Mengapa Suhu harus marah kepadamu?" tiba-tiba
Ciu In menyahut dengan suara ketus.
Sin Lun terbelalak girang. Namun kegembiraannya
itu segera lenyap kembali. Ternyata sumoinya itu
masih tetap marah kepadanya.
"Habis, kau tentu mengadu kepada Beliau, sehingga
aku tentu akan diusirnya." jawabnya memelas.
Mendadak Cui In menghentikan langkahnya. Gadis
itu menatap wajah Su-hengnya dengan wajah keruh.
"Siapa yang akan mengadu kepada Suhu? Ngaco!"
serunya gemas, kemudian melangkah lagi dengan
cepat.
"Jadi... jadi Sumoi tidak akan mengadukan
peristiwa tadi kepada suhu? Oh, terima kasih Sumoi...
terima kasih!" Sin Lun bersorak gembira, lalu seperti
anak kecil ia berjungkir balik di belakang Ciu In.
Ciu In membuang muka seolah-olah tak melihat
tingkah laku suhengnya yang konyol itu. Tapi
kegembiraan suhengnya itu tampaknya tidak lama, 112
karena di lain saat dia telah berjalan lesu kembali di
belakangnya.
"Sumoi memang tidak akan mengadu kan hal itu
kepada Suhu, tapi... tapi Sumoi sendiri masih tetap
marah kepadaku. Sumoi belum mau memaafkan aku.
Sumoi, aku menyesal sekali.... Maukah kau
memaafkan aku?" Sin Lun kembali merengek-rengek.
Sebenarnya Siu In sudah tidak marah lagi kepada
suhengnya. Namun untuk berbicara panjang lebar atau
bertatap muka dengan suhengnya ia masih sungkan.
Sebagai seorang gadis yang belum pernah dicium oleh
seorang lelaki, meskipun yang dicium itu hanya
pipinya, ia belum dapat dengan segera membenahi
perasaannya kembali.
Sebaliknya Sin Lun yang juga belum
berpengalaman menghadapi wanita, menganggap
bahwa diamnya Ciu In itu disebabkan karena marah
dan bencinya gadis itu terhadapnya, sehingga gadis itu
sama sekali tak mau mengampuninya lagi.
"Baiklah, Sumoi. Aku memang biadab dan tak
pantas untuk dimaafkan lagi. Laki-laki seperti aku
memang hanya memuakkan saja. Baiklah, aku minta
diri saja. Biarlah kita berpisah untuk mencari Siau In
sendiri-sendiri. Selamat, tinggal, Sumoi. Jagalah
dirimu baik-baik!" akhirnya Sin Lun berkata dengan
suara putus asa.
Sekejap Ciu In tak tahu apa yang harus ia perbuat.
Ia ingin menahan suhengnya, tapi mulutnya sulit
untuk diajak berbicara. Bahkan perasaan sungkan dan 113
malunya pun belum bisa hilang dari dadanya,
sehingga untuk menoleh pun ia juga masih belum
berani pula.
Beberapa waktu kemudian baru gadis itu menoleh
karena langkah kaki suheng-nya tidak terdengar lagi.
Namun ia terlambat. Sin Lun telah pergi. Pemuda itu
sudah menghilang di balik lebatnya pepohonan yang
tumbuh di kanan kiri jalan sepi itu. Pemuda itu benar-
benar telah pergi membawa kekecewaannya yang
mendalam.
"Suheng...?" Cui In tiba-tiba menangis sedih.
Berbagai macam perasaan menggumpal di dadanya,
namun sulit untuk dikeluarkan.
Lama sekali Cui In menangis di tempat itu.
Untunglah jalan itu memang jalan kecil yang jarang
sekali dilalui orang. Mungkin memang hanya tabib itu
saja yang sering melewatinya. Ia baru berhenti
menangis ketika telinganya mendengar desir langkah
kaki orang mendekatinya.
Untuk sesaat Cui In menyangka yang datang itu
adalah suhengnya, sehingga ia cepat-cepat menghapus
air matanya, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi
apa-apa pada dirinya. Namun harapan itu menjadi
kendor kembali. Orang yang berada di depannya
ternyata bukan suhengnya.
Orang yang baru saja datang itu menatapnya
dengan rasa heran dan ingin tahu. Wajahnya sangat
tampan, lebih tampan daripada suhengnya. Tapi
usianya agak lebih tua, yaitu antara dua puluh lima 114
atau dua puluh enam tahun. Pakaiannya sangat
longgar seperti pakaian seorang pelajar atau
sasterawan.
"Nona kehilangan jalan...? Atau... Nona baru saja
diganggu orang?" pemuda tampan itu bertanya halus.
Ciu In menghela napas panjang sambil menata
kembali perasaannya. Ia dapat bersikap tenang dan
wajar di depan orang yang masih sangat asing baginya
itu,
"Maaf, aku baru saja bertengkar dengan Kakakku.
Aku tidak apa-apa. Sekarang biarlah aku pergi...."
kata Cui In kemudian dengan suara masih kaku.
"Eee, nanti dulu. Mengapa Nona sangat tergesa
gesa? Apakah Nona takut atau mencurigai aku sebagai
orang jahat?" pemuda itu cepat menahan dengan
ucapan yang masih tetap sopan.
"Tidak. Aku tidak mencurigai, Tuan. Aku ingin
cepat-cepat pulang." Cui In berdusta.
"Ooo... di manakah rumah Nona?" pemuda itu tetap
mengejar.
C iu In mulai jengkel. Pemuda di hadapannya itu
criwis sekali serta selalu ingin tahu urusan orang lain.
Karena kesal Ciu lu lalu menjawab sekenanya. Ia
menunjuk ke depan, ke tempat di mana rumah tabib
Ciok tinggal.
"Eh, di sana hanya ada sebuah rumah saja dan tidak
ada rumah yang lain. Rumah itu adalah rumah seorang
tabib."
Pemuda tampan itu keheranan. 115
"Aku memang tinggal di sana!" Ciu In menjawab
kesal.
"Nona..! Nona tinggal di sana? Eh... bagaimana
ini?" Pemuda itu kelihatan bingung.
"Memangnya aku tinggal di sana. Mengapa Tuan
menjadi kebingungan begitu? Tuan tidak percaya?"
Karena sudah terlanjur berdusta, maka Ciu In tidak
bisa mundur lagi. la harus bisa menyakinkan kepada
pemuda itu bahwa ia memang tinggal di sana,
sehingga ia bisa segera lepas dari gangguannya.
"Lalu... Nona ini apanya Tabib Ciok?" Pemuda itu
bertanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal.
"Tentu saja aku ini... anaknya!" karena , benar-
benar sudah jengkel Ciu In membentak.
"Hah...?" tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan
melangkah mundur. Air mukanya semakin tampak
kebingungan.
Ciu In puas sekali. Ia mengira pemuda itu menjadi
ketakutan mendengar kenyataan bahwa ia adalah
puteri Tabib Ciok. "Tahu rasa kau. Makanya jadi
orang jangan usil dan suka mencampuri urusan orang.
Hi-hi-hi... tampaknya Tabib Ciok itu orang yang
disegani juga...." ucapnya di dalam hati.
"Nona...? Apakah Nona tidak salah?" pemuda itu
masih berani bertanya pula.
"Eh, Tuan ini mau bertanya atau mau menyelidiki
asal-usul orang? Enak saja bertanya terus menerus.
Huh, Tuan sendiri siapa?" 116
"Akulah... Tabib Ciok itu!" pemuda itu menjawab
pendek.
"Ooooh...!!!"
Saking kagetnya Ciu In menjadi lemas. Untunglah
pemuda itu cepat-cepat menahan tubuhnya.
"Sudahlah, Nona. Nona tak perlu berpikir macam-
macam. Aku tahu Nona sedang sedih dan bingung.
Marilah kita
berteduh di bawah
pohon itu...."
pemuda itu berkata
dengan lembut.
Suaranya seperti
mengandung
wibawa yang sangat
kuat.
Tidaklah
mengherankan bila
Ciu In menjadi
lemah seperti itu.
Dalam waktu yang
hampir berurutan
gadis itu menerima
hantaman perasaan
yang bertubi-tubi. Pertama kali ia kehilangan adik
yang disayanginya. Kedua kali, suheng yang
dihormati dan juga dicintainya itu tiba-tiba pergi
meninggalkannya. 117
Ciu In menurut saja ketika pemuda yang baru
dikenalnya itu menuntunnya ke bawah pohon yang
rindang. Bahkan ia juga menerima saja ketika pemuda
itu memberinya selembar saputangan, padahal ia
sendiri juga membawa.
"Usaplah keringat yang menempel di dahi Nona,
agar Nona menjadi tenang!" pemuda itu memberi
perintah.
Makin lama Ciu In memang menjadi semakin
tenang. Air mukanya yang berubah-ubah tadi, kini
telah menjadi semakin dingin dan anggun seperti
biasanya. Tatapan matanya yang tajam dan liar telah
berubah menjadi redup pula kembali. Kini mata itu
memandang ke arah Tabib Ciok yang masih muda itu,
"Benarkah Tuan adalah Tabib Ciok?" akhirnya
gadis itu bertanya dengan nada sedikit sungkan,
"Benar, aku memang orang yang disebut Tabib
Ciok di sini. Aku baru sebulan tinggal di rumah itu,
tapi orang di sekitar tempat ini tahu saja kalau aku
seorang tabib, sehingga setiap hari ada saja yang
datang berobat ke rumahku. Ehmmm, siapakah nama
Nona? Apakah Nona juga akan berobat ke rumahku?"
dengan ramah pemuda itu memberi keterangan.
"Namaku Ciu In, Tio Ciu In! Aku ke mari memang
hendak ke rumah Tuan. Kata orang adikku telah
pingsan di jalan, kemudian dibawa berobat ke mari.
Oh, Tuan..., benarkah adikku berada di rumahmu?"
"Ah, beberapa saat yang lalu juga ada seorang
pemuda yang datang untuk bertanya adik 118
perempuannya yang hilang. Kini Nona bertanya pula
tentang adikmu kepadaku. Apakah kalian masih
bersaudara?"
"Oh, jadi Suhengku sudah lebih dulu bertemu
dengan Tuan?" tiba-tiba Ciu In berseru dengan penuh
pengharapan.
"Betulkah pemuda itu suherigmu? Dia seorang
pemuda jangkung, agak kurus, matanya sedikit
cekung, berpakaian kelabu,... Dan aku melihat
sepasang senjata berbentuk pit (pena) di balik
bajunya."
"Benar. Orang itu memang benar Suhengku. Lalu...
ke mana dia sekarang?" Ciu In mengangguk-angguk
dengan amat bersemangat.
"Dia telah pergi lagi, setelah aku katakan bahwa tak
seorang gadis pun yang dibawa orang untuk berobat
ke rumahku. Memang mulanya ia tak percaya,
sehingga ia bersikeras menggeledah rumahku. Tapi
setelah ia yakin bahwa aku memang tidak
membohonginya, ia lalu pergi dengan lesu. Ia tampak
sangat sedih sekali. Bahkan kelihatan seperti orang
yang sudah berputus asa."
"Oooh, Suheng...!" Ciu In kembali merintih.
Semangatnya yang melonjak tadi telah patah pula
kembali. Suhengnya telah pergi, adiknya pun hilang.
Tabib muda yang selalu memperhatikan gerak-
gerik Ciu In itu menarik napas panjang sekali.
Walaupun masih muda, namun wajahnya yang
tampak angker dan berwibawa itu seperti dapat 119
memaklumi apu yang terkandung di dalam hati Ciu
In. Dibiarkannya, gadis itu tenggelam di dalam
lamunan sedihnya, ia hanya duduk saja
mengawasinya. Baru setelah itu sadar akan
keadaannya, ia beringsut mendekatinya.
"Maaf, Tuan .... Ternyata aku telah lupa bahwa aku
tidak sendirian di tempat ini. Aku... aku terlalu larut
dalam perasaanku sendiri." dengan air muka bersemu
merah Ciu In meminta maaf.
"Nona tak perlu meminta maaf kepadaku. Menurut
perasaanku, apa yang Nona lakukan tadi adalah wajar.
Aku bisa menyelami perasaan Nona. Sudah
kehilangan saudara, masih harus berselisih dengan
orang yang amat disayangi pula. Bukankan begitu,
Nona? Oh, maaf... aku tidak bermaksud mencampuri'
masalah pribadi Nona. Aku hanya ingin membantu
memecahkannya, kalau boleh."
Ciu In menatap wajah pemuda di depannya itu
dengan tajamnya. Tiba-tiba kulit mukanya terasa
panas. Setelah memperhatikan betul, tampak benar
bahwa pemuda itu memang ganteng bukan main.
Dahinya lebar, hidungnya mancung, alisnya tebal,
dagunya kokoh kuat. Perawakannya sedang, tidak
tinggi tapi juga tidak pendek, namun dadanya yang
bidang itu benar-benar mencerminkan kejantanan
yang luar biasa.
"Tuan... Tuan ini siapa sebenarnya? Mengapa
seakan-akan mengetahui keadaanku?" Ciu In bertanya
dengan suara yang agak sedikit gemetar. Kini Ciu In 120
benar-benar merasa kikuk dan agak gemetar
menghadapi pemuda yang memiliki wibawa yang
amat mengagumkan itu.
Pemuda itu tertawa perlahan. Giginya yang putih
itu kelihatan berderet rapih dan kokoh. "Nona jangan
memandangku seperti itu. Aku ini hanya seorang
perantau biasa, yang suka bertualang mencari
pengalaman di mana saja. Kebetulan aku melihat
suatu kejahatan di suatu daerah, dan aku turun tangan
mencampurinya. Orang jahat itu dan perkumpulannya
aku porak-porandakan. Namun ternyata ada seorang
penjahat yang bisa meloloskan diri. Orang itu lari ke
kota ini. Karena orang itu sangat berbahaya bagi
masyarakat, terutama terhadap wanita dan gadisnya,
maka aku mengejarnya pula ke kota ini. Sayang aku
kehilangan jejak. Tapi aku telah mencurigai sebuah
tempat yang mungkin menjadi tempat
persembunyiannya. Maka aku lalu menyamar menjadi
seorang tabib dan bertempat tinggal di tempat ini.
Namaku yang sebenarnya adalah Liu Wan. Nama
margaku sama dengan nama marga keluarga istana,
mungkin nenek moyang kami dulu memang ada
pertalian saudara." pemuda itu menutup
keterangannya dengan gurauan.
"Oh, kalau begitu ilmu silat Tuan tentu tinggi
sekali." Ciu In memandang dengan kagum.
"Ah, tidak. Ilmu silatku biasa-biasa saja. Tidak
lebih tinggi daripada ilmu silat pedang Nona." 121
Ciu In terperanjat. "Tuan tahu aku bisa memainkan
pedang?" tanyanya kaget.
"Ketika memegangi lengan Nona tadi aku merasa
menyentuh sepasang pedang di balik baju Nona."
"Oh...!" Wajah Ciu In menjadi kemerah-merahan.
Tiba-tiba Liu Wan menjadi bersungguh-sungguh.
"Nona Tio, kalau engkau mau, nanti malam kita
bersama sama mencari adikmu. Kita dalangi tempat
yang lelah kucurigai itu. Aku percaya adikmu ada di
sana. Penjahat itu memang selalu menculik seorang
wanita setiap pergantian tahun baru. Tahun ini
tampaknya adikmulah yang hendak dijadikan
korbannya."
"Ohhh, apa...? Adikku hendak dijadikan korban?
Korban apa?" Ciu In menjerit ketakutan.
"Tenang Nona. Ini baru dugaanku saja. Marilah ke
rumahku dulu. Nanti kuterangkan marilah...!"
"Mengapa tidak sekarang saja kita berangkat ke
tempat itu? Mengapa harus menunggu nanti malam?"
Cui In mencengkeram lengan Liu Wan.
"Tenang, Nona. Sekali lagi... tenanglah! Percayalah
kepadaku. Sampai tengah malam nanti adikmu, tidak
akan diapa-apakan oleh mereka. Mereka masih
menyembunyikannya dengan rapi. Kita tidak akan
bisa menemukannya sekarang. Salah salah mereka
malah akan membawanya pergi kalau kita bergerak
sekarang. Lebih baik kita menunggunya sampai
mereka sendiri yang mengeluarkannya tengah malam
nanti. Pada saat itulah kita bergerak untuk 122
menyelamatkannya. Sekalian .mengobrak-abrik
tempat tinggal mereka itu. Nah, marilah...!" dengan
suara yang tenang, namun terasa tegas dan
berwibawa, Liu Wan membujuk Ciu In.
Ciu In menundukkan kepalanya. "Baiklah, aku
menurut...." desah gadis itu kemudian dengan nada
pasrah.
Liu Wan lalu mengajak Ciu In melangkah menuju
ke pondoknya. Sebuah pondok keril di tengah-tengah
empang yang cukup luas, di mana bermacam-macam
ikan kecil berenang di dalamnya.
"Oh, bukan main indahnya tempat ini. Tuan
sungguh pandai sekali memilih tempat tinggal." Cui
In berseru memuji sambil melangkah perlahan-lahan
di jembatan kayu yang membentang ke tengah-tengah
empang.
"Tempat ini memang bekas peristirahatan. Rumah
di tengah empang itu semula sudah tidak
dipergunakan lagi. Atapnya sudah bocor, dinding
sudah retak dan hancur. Aku dan pembanluku
kemudian berusaha membangunnya kembali,
walaupun cuma sederhana."
"Pembantu...? Siapakah pembantu tuan? Di
manakah mereka?"
Belum juga hilang gaung suara Ciu In di telinga,
dua orang lelaki tua tiba-tiba keluar dari pondok di
tengah empang itu. Bergegas mereka menyambut
kedatangan Liu Wan. Ciu In tercengang melihat
wajah mereka yang presis satu sama lain. 123
"Itulah kedua orang pembantuku. Maaf, mereka
berdua tidak bisa berbicara. Mereka bisu, karena lidah
mereka cacad sejak kecil. Tapi mereka sangat setia
kepadaku. Merekalah yang membantu aku melayani
para pendatang yang ingin minta obat kepadaku."
"Mereka... kembar?" Ciu In menegaskan
Liu Wan mengangguk. "Mereka bernama Lo. Kang
dan Lo Hai. Tapi jangan kau tanyakan yang mana Lo
Kang dan yang. mana Lo Hai, karena aku sendiri juga
tak dapat membedakannya. Kalau butuh mereka, aku
ngawur saja memang gilnya...."
Demikianlah, mereka lalu masuk ke dalam pondok
di tengah empang itu. Lo Kang dan Lo Hai berjaga-
jaga di luar. Seperti dua ekor anjing penjaga mereka
duduk melenggut di depan pintu.
Begitu berada di dalam pondok Ciu In semakin
merasa kagum kepada Liu Wan. Selain menguasai
ilmu pengobatan pemuda itu ternyata juga menguasai
bidang kesusastraan pula. Beberapa buah tulisan
sanjak dan lukisan tergantung dengan indahnya di
setiap dinding-dinding-nya. Semuanya tertulis atas
namanya.
"Seluruhnya Tuan yang membuatnya. Indah
sekali...!" Ciu In tak tahan pula untuk tidak memuji.
"Aku memang menyukai keindahan. Semua
keindahan. Baik keindahan yang tersembunyi dalam
gerakan ilmu silat. keindahan terselubung yang ada di
dalam ilmu pengobatan, keindahan nyata yang
terpancar di dalam lukisan, dan keindahan rasa di 124
dalam ilmu kesusasteraan. Semuanya itu aku senang
sekali menghayatinya." Liu Wan menerangkan seperti
orang yang sedang membacakan sajak.
Ciu In mendekati sebuah sajak yang tergantung di
atas meja tulis. Sajak itu diberi bingkai kayu berukir
yang bagus sekali. Cui In lalu membacanya.
BURUNG HONG DALAM SANGKAR EMAS
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati.
Meski seribu warna ada di sayapnya.
Meski segala hiasan ada di sangkarnya.
Tapi kebebasan tiada diberi.
Apa indahnya jadi burung Hong?
Apa nikmatnya di dalam sangkar emas?
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati!
Liu Wan.
Ciu In membalikkan tubuhnya dan ia sangat kaget
ketika Liu Wan tepat berada di depannya. Ia sama
sekali tidak mendengarkan langkah kaki pemuda itu di
belakangnya.
"Oh, Tuan mengagetkan aku...! Aku sama sekali
tidak mendengar langkah kaki Tuan." gadis itu
menjerit kecil seraya melihat papan kayu yang
menjadi alas lantai pondok itu.
Liu Wan tersenyum. "Lantai papan ini memang
berderit bila terinjak kaki. Tapi Nona tampaknya 125
terlalu asyik membaca sajak itu sehingga tak
mendengar suaranya."
"Ah, Tuan ini pandai benar merendahkan diri.
Lantai ini memang berderit bila yang menginjaknya
adalah seorang jago silat, pasaran. Tapi akan lain
halnya bila yang berjalan di atasnya adalah seorang
jago silat berkepandaian tinggi."
Liu Wan tak menanggapi bantahan Cui In. Ia
melangkah ke depan dan mengambil bingkai sajak
itu.. Perlahan-lahan ia membacanya.
"Tampaknya sanjak Tuan ini mengandung perasaan
sedih. Mengapa?" Ciu In tiba-tiba bertanya kepada
Liu.Wan.
Liu Wan menjadi gugup, satu hal yang belum
pernah dilihul oleh Ciu In.
"Ah, aku hanya membuatnya secara serampangan
saja di kala hatiku sedang sunyi dan sepi. Aku seperti
tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Dan
kesepianku itu aku tuangkan dalam sajak ini. Aku
mengibaratkan diri sebagai Burung Hong yang
kesepian di dalam sangkar emasnya." dalam
kegugupannya Liu Wan mencoba menjelaskan.
Ciu In merasakan kejanggalan jawab an pemuda
itu, tapi ia tak ingin mendesaknya lagi. Hanya di
dalam hatinya Ciu In mulai merasakan keanehan-
keanehan yang ada pada diri pemuda itu.
"Uh uh... uh uh!"
Tiba tiba salah seorang dari pembantu Liu Wan
masuk ke dalam pondok. Dengan suara tak jelas orang 126
itu mencoba melapor, bahwa di luar ada orang yang
ingin bertemu.
Liu Wan cepat membuka sebuah laci, lalu
mengambil kumis tiruan dan jenggot tiruan. Kedua
buah alat yang biasa dipakai oleh para pemain
sandiwara itu lalu dipasangnya di mukanya. Sekejap
saja pemuda yang tampan itu menjadi seorang kakek
berkumis dan berjenggot lebat.
"Maaf, Nona Tio.... Ini wajah Tabib Ciok sehari-
hari...." pemuda itu berkelekar.
Ciu In tersenyum sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Gadis itu semakin bertambah lagi
kagumnya kepada Liu Wan. Ternyata pemuda tampan
itu masih memiliki satu kepandaian lagi, yaitu
kepandaian menyamar.
Tak terasa Ciu In mengambil bingkai sanjak burung
hong itu. Sekali lagi dibacanya sanjak itu di dalam
hatinya. Rasanya isi sanjak seperti tertuju pula pada
dirinya. Ia merasa seperti burung hong pula, karena
burung itu seperti telah lekat pada dirinya. Perlahan-
lahan ia memeluk bingkai sanjak itu di dada kirinya,
tempat burung hong-nya selama ini bersemayam.
Sementara Liu Wan menemui tamunya di atas
jembatan penyeberangan. Mereka terdiri dari empat
orang lelaki bersenjatakan tongkat besi.
"Apakah kau yang bernama Tabib Ciok?" salah
seorang dari lelaki itu bertanya dengan suara kasar. 127
"Benar, Tuan. Tuan siapa...?" Liu Wan menjawab
tenang. Sama sekali tidak terpengaruh oleh kekasaran
lawannya.
"Kami dari Kuil Pek-hok-bio! Pendeta kami sedang
sakit dan kini membutuhkan kau! Maka dari itu kau
harus ikut kami!"
Liu Wan memandang tamunya dengan curiga.
Jangan-jangan penyamarannya telah diketahui oleh
lawannya.
"Maaf, Tuan. Aku juga sedang melayani tamuku.
Lebih baik Tuan membawa pendeta itu ke sini saja.
Nanti aku akan mencoba mengobatinya." Liu Wan
membuat alasan.
"Tidak bisa! Kau harus ikut dengan kami! Kalau
tidak mau, kami berempat akan memaksamu!" orang
itu mengancam.
Kedua pembantu Liu Wan mulai beranjak dan
tempat mereka, tapi dengan cepat Liu Wan memberi
isarat agar mereka tetap berdiam diri. Sementara itu
Ciu In segera melangkah keluar pula begitu
mendengar suara ribut-ribut mereka. Dengan cepat
gadis itu berlari mendekati Liu Wan.
"Ada apa, Tuan?" gadis itu bertanya kepada Liu
Wan.
"Mereka memaksa aku untuk ikut ke tempat
mereka, tapi aku tidak mau. Dan sekarang mereka
akan memaksa aku dengan kekerasan. Bagaimana ini,
Nona? Nona tahu, aku tak begitu pandai bersilat...."
Liu Wan pura-pura bingung. 128
Ciu In hendak tertawa, namun tiba-tiba saja
telinganya mendengar suara pemuda itu. "Nona!
Mereka ini anak buah orang yang saya cari.
Tampaknya mereka ditugaskan untuk menyelidiki
aku. Sekarang tolonglah aku bersandiwara. Biarlah
aku berlagak sebagai orang yang benar-benar tak
begitu mengerti silat. Setelah itu aku nanti minta
tolong kepadamu untuk mengusir mereka. Apakah
kau berani melawan mereka?"
Ciu In memandang Liu Wan yang telah
mengirimkan suaranya dengan ilmu coan-im-ji-bit.
Pemuda itu sekilas memberi tanda dengan kedipan
matanya. Ciu In menarik napas panjang, pemuda itu
benar-benar lihai bukan main.
"Jangan banyak alasan! Ayoh... ikut kami!"
Sambil membentak empat orang anak buah Pek-
hok-bio itu menubruk Liu Wan. Seorang memegang
lengan kanan dan seorang lagi memegang lengan kiri
Liu Wan. Sedangkan dua orang lainnya mencegat Ciu
In dan dua orang pembantu Liu Wan. Semuanya
sudah menyiapkan tongkat besi mereka.
Liu Wan pura-pura melawan. Dengan sebagian
kecil saja dari tenaganya, pemuda itu pura-pura
mengibaskan kedua lengannya yang diringkus. Tentu
saja usahanya itu sia-sia saja, karena orang yang
ditugaskan Pek-hok-bio itu memang memiliki
kepandaian yang cukup tinggi. Namun demikian Liu
Wan masih tetap berpura pura mencoba untuk
membebaskan diri dengan sekuat tenaganya. Bahkan 129
pemuda itu juga mempergunakan kedua kakinya pula
untuk menyepak ke sana kemari.
Kedua orang yang memegangi lengan Liu Wan
menjadi jengkel dan marah. Keduanya segera
mempergunakan lengan mereka yang masih bebas
untuk menampar pipi Liu Wan. Wuuut! Liu Wan
pura-pura ingin mengelak sambil mengerahkan tenaga
sakti ke pipinya. Namun pemuda itu sengaja
memperlambat gerakannya sehingga kedua tamparan
lawannya masih menyerempat pipinya.
Plaak! Plaak!
Liu Wan sengaja menjerit keras sekali, kemudian
mulutnya menyemprotkan rontokan gigi dan darah
segar yang cukup banyak. Setelah itu, seperti orang
yang tidak takut mati saja, Liu Wan menendang ke
kanan kiri ke arah kaki orang yang meringkus
tangannya. Beberapa kali kaki pemuda itu hampir
mengenai kaki lawannya sehingga orang-orang Pek-
hok-bio menjadi dongkol sekali. Mereka segera
membalas tendangan Liu Wan itu dengan tendangan
kaki mereka pula. Blug! Blug...! Tendangan mereka
tepat mengenai paha Liu Wan!
Lagi-lagi Liu Wan meraung keras sekali! Bahkan
kali ini sampai mengeluarkan air mata pula.
Tentu saja Ciu In dan kedua pembantu Liu Wan
menjadi kaget bukan main. Tapi sebelum mereka
bergerak maju, telinga mereka lagi-lagi mendengar
suara Liu Wan yang dikirim dengan ilmu Coan-im-ji-
bit! 130
"Lo Kang dan Lo Hai jangan ikut campur. Kalian
justru harus berpura-pura ketakutan malah. Dan Nona
Tio, kau cepatlah menghajar mereka! Jangan biarkan
mereka berlaku semaunya terhadapku! Aku bisa
benar-benar kehilangan kesabaranku nanti!"
"Baik...!" Ciu In berseru keras tak terasa.
"Uuuh...!" Lo Kang dan Lo Hai mengeluh kecewa,
kemudian seperti orang yang menjadi ketakutan
mereka mundur kembali ke pintu pondok.
Ciu In mencabut pedang pendeknya, lalu menerjang
orang yang tadi menghadangnya. Pedangnya yang
sebelah kiri tetap bertahan di depan dadanya,
sementara pedang kanannya menabas ke depan, ke
arah dua orang Pek-hok-bio yang menghalangi
jalannya.
Jembatan itu memang tidak begitu lebar, dan hanya
cukup dua orang yang berjalan berbareng. Oleh
karena itu ke dua orang lawan yang ada di depannya
memang harus disingkirkan dulu oleh Ciu In untuk
membantu Liu Wan.
Kedua orang Pek-hok-bio itu ternyata cukup
berhati-hati. Melihat Ciu In memegang sepasang
pedang pendek dengan gerakan yang tangkas dan
cekatan, mereka segera bisa menduga kalau gadis itu
seorang pendekar wanita yang pandai
mempergunakan pedang. Oleh karena itu mereka tak
segera melayani serangan pertama Ciu In itu. Mereka
justru bersiap siaga terhadap perkembangan dari
serangan berikutnya. Keduanya tidak menangkis atau 131
balas menyerang, tapi malah melompat ke samping,
dengan bertengger di atas pagar jembatan.
Kecurigaan mereka itu ternyata memang benar.
Serangan pertama Ciu In tadi memang hanya sebuah
pancingan.
Demikian lawannya menangkis dengan tongkat besi
mereka, Ciu In bermaksud menyusulinya dengan
serangan pedang kirinya yang telah siap di depan
dadanya. Serangan itu tentu akan sulit sekali
dihindarkan oleh lawan, karena senjata mereka sedang
mereka gunakan untuk menangkis pedang kanannya.
Tapi karena orang-orang Pek-hok-bio itu tidak
terjebak ke dalam pancingannya, bahkan kedua orang
itu sekarang justru berada di kanan kirinya, Ciu In
terpaksa mengambil jalan paling aman, yaitu
berjumpalitan terus ke depan. Dan langkahnya ini
memang telah menyelamatkan tubuhnya dari gebugan
tongkat besi lawannya.
Namun pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara
lengking kesakitan dari mulut Liu Wan! Dan ketika
Ciu In menoleh, dilihatnya tubuh pemuda itu
terlempar ke dalam empang!
"Biarkan tabib yang tak berguna itu terbenam di
dalam air. Kita ringkus saja gadis cantik itu untuk
hiburan nanti malam!" Salah seorang dari kedua orang
yang memegangi tangan Liu Wan itu berseru.
Ciu In berdiri tegak kembali. Sekarang ia benar-
benar dikepung oleh empat orang lawan. Dua orang di
depan dan dua orang di belakangnya. Tapi ia sama 132
sekali tidak merasa gentar, la sangat percaya pada
ilmu pedangnya yang telah ia tekuni lebih dari
sepuluh tahun lamanya.
Matahari telah jauh bergulir ke arah barat. Pada saat
yang bersamaan, Siau In sedang berlaga dengan maut.
Gadis centil itu juga sedang memegang sepasang
pedang pendeknya untuk menghadapi golok hitam
ketua Hek-to-pai! Keduanya sedang berputar-putar di
arena untuk mencari kelengahan lawan.
Ketika kemudian It Kwan menggerung keras
sambil menyabetkan goloknya ke pinggang Siau In,
gadis itu cepat-cepat menjejakkan kakinya ke tanah,
sehingga tubuhnya yang mungil itu melesat ke atas
seperti burung walet meninggalkan sarangnya. Sambil
melayang gadis itu berusaha menghunjamkan kedua
bilah pedangnya ke dahi dan leher It Kwan. Jurus itu
dinamakan Burung Rajawali Menyambar Mutiara dan
merupakan jurus ke empat dari ilmu pedang ajaran
pendekar Giam Pit Seng.
It Kwan tergetar hatinya. Walaupun masih amat
muda ternyata lawannya memang benar-benar lihai
bukan main. Ilmu silatnya ternyata tidak lebih rendah
dari pada ilmunya sendiri. Bahkan ginkang gadis itu
terasa lebih gesit daripada ilmu meringankan
tubuhnya.
"Gila! Giam Pit Seng memang bukan orang
sembarangan!" umpat It Kwan di dalam hatinya. 133
Tubuhnya cepat merendah untuk menghindari patukan
pedang lawannya.
Begitu tubuh Siau In lewat dari atas kepalanya, It
Kwan segera membalikkan badannya seraya
mengayunkan goloknya ke depan. Lagi-lagi ia
menyerang pinggang Siau In yang baru saja mendarat
ke atas tanah. Dan kali ini tampaknya mata golok itu
benar-benar akan bisa membelah pinggang Siau In.
Meskipun pengalamannya masih kurang, namun
Siau In telah dibekali dengan ilmu silat tinggi oleh
gurunya. Sambaran golok It Kwan yang meluncur dari
arah belakang itu segera dicium oleh nalurinya.
Sambaran udara dingin yang disertai bau amis itu
cepat dielakkannya dengan cara meliukkan tubuhnya
ke depan, disertai dengan jejakan ujung sepatunya ke
atas tanah yang baru saja dipijaknya. Otomatis badan
Siau In bergeser ke depan, sehingga tabasan golok It
Kwan yang meluncur ke arah pinggangnya itu
membabat udara kosong.
Demikianlah keduanya tak pernah mengendorkan
senjata mereka. Dengan pedang pendeknya Siau In
tampak lebih lincah dan lebih gesit gerakannya
daripada It Kwan yang sudah berumur dan bersenjata
golok hitam yang amat berat. Tetapi sebaliknya,
dengan jenis senjatanya yang lebih berat,
pengalamannya yang lebih luas, dan kematangannya
yang lebih mendalam daripada Siau In maka It Kwan
bisa melayani kelincahan gerak dan kehebatan ilmu pedang gadis itu. Yang jelas Siau In tidak berani
beradu tenaga dengan ketua Hek-to-pai tersebut.
Belasan jurus segera berlalu dengan cepatnya.
Kelincahan dan kegesitan Siau In mulai kendor pula
akhirnya. Namun sebaliknya tenaga dan kemampuan
It Kwan pun juga telah menyusut pula. Tentu saja
keadaan ini benar-benar di luar dugaan ketua Hek-to-
pai itu. Sebagai seorang ketua perguruan yang cukup
ternama di daerah itu, ia benar-benar merasa malu dan
terpukul harga dirinya. Masakan seorang lelaki tua
yang sudah kenyang makan garam di dunia persilatan,
sehingga ia mampu memimpin sebuah partai
persilatan yang memiliki banyak murid, seperti
dirinya, ternyata hanya dipermalukan oleh seorang
bocah perempuan yang belum hilang bau pupuknya.
"Betina busuk! Akan kurejam tubuhmu! Akan
kucincang dagingmu!" berulang kali ia mengumpat
dan memaki saking geramnya.
_-_&&&__
Komentar
Posting Komentar