PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 03

AMUN meski marah si pemimpin itu 
sudah sadar siapa lawannya. Ia tidak mau 
bernasib seperti kawan-kawannya itu, 
sehingga pada saat menyerang tadi ia juga 
tidak lupa akan pertahanannya. Maka 
ketika serangan balik Siau In itu hampir 
mengenai sasarannya, ia terlebih dulu menggeliat ke 
kiri cepat sekali, hingga serangan itu lewat hanya 
sejengkal saja dari tubuhnya. Kemudian sebelum Siau 
In menarik kaki dan tangannya, ia lebih dulu 
memanfaatkan kesempatan itu dengan menyabetkan 
golok hitamnya yang berselubung racun ke arah 
lawan. 
Serangan si pemimpin itu benar-benar bagus dan 
ganas luar biasa. Sepintas lalu serangan itu tidak 
mungkin tidak pasti akan mengenai sasarannya. 92 
Dalam keadaan serta kedudukan tubuh seperti itu tak 
mungkin Siau In dapat menghindar lagi. Tubuh yang 
molek itu tentu akan terbelah menjadi dua bagian. 
Atau paling tidak, kaki dan tangan yang mungil itu 
tentu akan terlepas dari tubuhnya. 
Namun apa yang kemudian terjadi ternyata juga di 
luar dugaan si pemimpin itu. Dalam keadaan terjepit 
ternyata Siau In melakukan langkah yang boleh 
dikatakan amat berbahaya sekali buat dirinya sendiri, 
lapi tampaknya gadis itu memang telah yakin benar 
akan kekuatannya, sehingga golok hitam yang 
lebarnya setelapak tangan orang dewasa itu tiba-tiba 
hanya ditangkis dengan pisau kecilnya yang tak lebih 
besar daripada jari tangannya sendiri! 
Traaaaaang!!! , 
Terdengar suara nyaring disertai percikan api yang 
amat hebat. Siau In mengeluh pendek karena jari-jari 
tangannya yang kecil halus itu tergetar dengan 
dahsyatnya sehingga tak kuasa memegangi pisaunya. 
Pisau itu terlepas jatuh. Namun sebelum menyentuh, 
tanah, tiba-tiba ujung sepatu kiri gadis itu menyambar, 
gagangnya. Thaaak! Dan pisau itu meluncur ke atas 
dengan cepatnya! 
Si pemimpin itu telah bersorak di dalam hati. Tapi 
kegembiraannya itu mendadak hilang dan diganti 
dengan jeritannya yang menyayat hati. Pisau kecil itu 
ternyata menyambar urat nadinya, sehingga golok 
hitamnya itu terlempar ke udara! 93 
Darah mengucur dengan derasnya dari pergelangan 
tangan si pemimpin itu. Pisau Siau In telah menembus 
tulang dan memutuskan urat nadinya. Sakitnya tiada 
terkira. 
Sebaliknya Siau In sendiri ternyata juga tidak 
terbebas begitu saja. Walaupun ayunan golok lawan 
dapat ia tahan sepenuhnya, tapi guncangannya masih 
mampu mengoyakkan kulit telapak tangannya. 
Bahkan ujung golok itu juga masih dapat: merobek 
lengan bajunya pula. 
Kini Siau In benar benar tidak bisa menahan 
marahnya lagi. Dengan cepat tangannya mencabut 
pedang pendek yang terselip di balik bajunya, lapi 
sebelum dia mempergunakan pedang itu, dan dalam 
perkampungan petani tambak tersebut tiba-tiba 
muncul berpuluh-puluh anggota Hek-to-pai yang lain. 
Mereka berbondong bondong mengiringkan seorang 
lelaki tegap berkumis dan berjenggot lebat. Begitu 
melihat kawan-kawan mereka yang bergelimpangan, 
mereka bergegas menghampiri. 
"Siapa yang berani mengacau perkampungan ini?" 
lelaki bercambang lebat itu membentak. Suaranya 
keras dan berwibawa. 
"Suhu, dialah gadis yang kukatakan tadi." anggota 
Hek-to-pai yang melapor tadi memberi tahu. 
Siau In berdiri tegak di hadapan lelaki itu. Pedang 
pendeknya ia sembunyikan di balik lengan bajunya. Ia 
sama sekali tidak takut menghadapi lawan yang 94 
banyak sekali itu. Bahkan ia balas menentang 
pandang mata lelaki bercambang lebat tersebut. 
"It Hou...! Bukankah kau tadi kusuruh membawa 
adik-adikmu pergi ke kota untuk mencari susiok-
susiokmu (paman paman gurumu) yang bermain 
barongsai di halaman rumah Bupati? Mengapa kalian 
telah berada di sini lagi dalam keadaan seperti ini?" 
Lelaki bercambang lebat itu tiba-tiba membentak si 
pemimpin tadi. 
It Hou yang terluka pergelangan tangannya itu 
terdiam tak bisa menjawab. Ia hanya bisa 
menundukkan kepalanya sambil terus memijit-mijit 
lukanya yang parah. 
"Baiklah, kau boleh menjawabya nanti. Sekarang 
uruslah Adik-adikmu yang terluka ini. Bawalah 
mereka ke Balai Latihan Silat!" 
"Ba-baik, Suhu...." It Hou menjawab, lalu 
mengajak beberapa orang adik seperguruannya yang 
lain untuk membantu membawa orang-orang yang 
pingsan itu ke Balai Latihan Silat. 
Laki-laki bercambang lebat itu lalu menghadapi 
Siau In kembali. Beberapa saat lamanya ia hanya 
mengawasi saja tubuh Siau In dari kaki sampai ke 
kepala. Baru setelah itu ia menggeleng-gelengkan 
kepala seraya berdecak kagum. 
"Bukan main. Masih begini muda, tapi sudah 
mampu mengalahkan murid kepalaku It Hou, Hmm, 
Nona... perkenalkanlah, namaku It Kwan. Aku adalah 
Ketua Hek-to pai yang bermarkas di perkampungan 95 
petani tambak ini. Bolehkah aku tahu namamu, nama 
gurumu, dan nama perguruanmu?" 
Halus sekali nada suara ketua Hek-to-pai tersebut. 
Tapi bagi Siau In suara itu tetap terasa sombong dan 
menekan dirinya. Bahkan suara itu masih terasa 
mengandung nada penasaran dan kemarahan. Maka 
Siau In tetap tidak mau mengendurkan 
kewaspadaannya. Pedang pendeknya sewaktu-waktu 
masih siap untuk dipergunakan. 
"Namaku Siau In, Tio Siau In. Aku adalah murid 
Giam Pit Seng, pimpinan Cabang Im-yang-kau bagian 
timur. Aku tidak bermaksud melukai...." 
"Aaaaaa... jangan sungkan-sungkan." It Kwan cepat 
memotong perkataan Siau In. "Jadi... Nona ini murid 
Giam Taihiap yang terkenal itu? Wah, pantas... 
pantas. Nama gurumu memang menjulang tinggi sejak 
lima tahun yang lalu, sebelum ia dipilih sebagai 
pimpinan Cabang Im-yang-kau daerah timur. 
Namanya boleh disejajarkan dengan Keh-sim Siau-
hiap (Pendekar Patah Hati). Tung-hai-tiauw (Rajawali 
Laut Timur), Tung-hai Nung-jin (Petani Laut Timur), 
dan Lam-hai-kiam (Pedang Laut Selatan), vang hidup 
pada dua puluh tahun lalu...." 
Keempat tokoh yang disebutkan oleh It Kwan itu 
adalah tokoh-tokoh persilatan ternama di daerah 
pantai timur Tiongkok pada dua puluh atau dua puluh 
lima tahun yang lalu. Keh-sim Siau-hiap adalah 
pemilik Pulau Meng-to (Pulau Mimpi), sedangkan 
tiga tokoh yang lain itu adalah bajak laut  terkenal 96 
yang menguasai Lautan Timur dan Selatan. Nama 
mereka sangat ditakuti di pantai timur Tiongkok, 
sampai pada suatu saat mereka dikalahkan oleh 
seorang tokoh jahat bernama Hek eng-cu (Bayangan 
Hitam). Sejak itu nama nama mereka hilang tak 
terdengar lagi. 
Siau In tidak suka nama gurunya diperbandingkan 
dengan tokoh yang sudah tiada atau tidak pernah 
muncul lagi itu. 
"Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu memang benar-benar 
tidak ingin memperpanjang urusan ini lagi, aku akan 
mohon diri. Aku...?" 
"Eit, nanti dulu. Aku memang tidak akan 
memperpanjang masalah ini, karena aku menghormati 
gurumu. Apalagi aku tidak ingin berselisih dengan 
aliran Im-yang-kau. Tapi... kuminta kau singgah dulu 
di Hek-to-pai!" 
Mata yang sudah mulai meredup itu tampak 
menyala lagi. Malahan bibirnya yang kecil tipis itu 
kini digigit karena menahan geram. 
"Hmm! Sedari tadi kau selalu berbicara manis, 
padahal maksudmu sebenarnya juga tidak berbeda 
dengan murid-muridmu itu! Huh, marilah! Kau tak 
perlu sungkan menghadapi gadis muda seperti aku! 
Tapi ketahuilah, kaki tanganku ini juga takkan 
sungkan-sungkan pula untuk membunuh orang agar 
aku bisa keluar dari perkampungan bobrok ini!" gadis 
itu menggeram marah. 97 
"Eeee... Nona salah sangka! Aku...." It Kwan masih 
mencoba membujuk dengan kata-kata halus. 
Tapi Siau In tak bisa diajak bicara lagi. Gadis itu 
cepat melompat ke samping kanan It Kwan dan 
berusaha menerobos ke depan. Pedangnya tetap dia 
simpan di balik lengan bajunya. 
Gadis itu telah bergerak cepat, tapi ternyata It 
Kwan lebih cepat lagi. Lelaki bercambang lebat itu 
memutar badannya ke kanan sambil melepaskan tinju 
kirinya lurus ke depan. Hal ini berarti bila Siau In 
meneruskan maksudnya, ia tentu akan dihajar oleh 
kepalan itu. 
Bagaimanapun juga It Kwan memang masih 
merasa sungkan melayani Siau In. Sebagai ketua 
perguruan yang cukup punya nama di daerah itu, 
sebenarnya ia tak ingin berhadapan langsung dengan 
gadis ingusan seperti Siau In. Namun apa daya, murid 
pertama dan juga puteranya sendiri itu ternyata tak 
mampu melawan Siau In. Sayang dua orang adik 
seperguruannya kini berada di kota ikut berlomba 
barongsai. 
Oleh karena itu dalam melepaskan pukulannya It 
Kwan sengaja tidak mengerahkan seluruh tenaganya, 
la hanya melepaskan setengah bagian saja dari seluruh 
kemampuannya. Apalagi ia memang tidak ingin 
melukai gadis itu. Bagaimanapun juga ia tidak ingin 
bermusuhan dengan aliran Im-yang-kau yang sangat 
besar. Dia hanya ingin memberi sekedar pelajaran saja 98 
kepada gadis itu, agar gadis itu juga mengetahui 
bahwa Hek-to-pai tidak boleh dipandang enteng. 
Tapi inilah kesalahan It Kwan. Kalau ia bertempur 
dengan sungguh-sungguh, mungkin ia masih bisa 
menghadapi Siau in tanpa menderita malu. Namun 
karena dia hanya setengah-setengah, padahal Siau In 
berkelahi dengan seluruh kemampuannya, maka 
akibat yang kemudian terjadi benar-benar 
memerahkan telinga ketua Hek-to-pai itu. 
Begitu melihat lawannya tergeser ke kiri sambil 
melontarkan pukulan untuk menghadang dirinya, Siau 
In segera menyiapkan pedang pendeknya, Pada saat 
yang tepat pergelangau tangannya berputar sehingga 
pedang itu keluar dan menabas kepalan tangan It 
Kwan. 
Ketua Hek-to-pai itu terkejut setengah mati. 
Padahal tadi ketika ia merasa lawannya tak bisa 
mengelak lagi, ia lalu mengurangi pula tenaganya. 
Tak disangka-sangka gadis itu ternyata telah 
memasang jebakan yang berbahaya, sehingga ia 
benar-benar sulit menyelamatkan diri sekarang. 
Namun sebagai ketua partai persilatan yang cukup 
berpengalaman, It Kwan tidak segera berputus asa. 
Dengan sekuat tenaga ia menghentikan laju 
kepalannya, kemudian secepat kilat menekuk 
pergelangan tangannya sehingga kepalan itu paling 
tidak tertarik dua inchi ke belakang. Dan bersamaan 
dengan itu pula dia juga menyemburkan sesuatu dan 
mulutnya, untuk menahan laju pedang Siau In. 99 
Tinggg! Sssrrt! 
"Ough!" U Kwan mengaduh pendek seraya melihat 
ke punggung tangannya. 
Ternyata meski telah berupaya dengan segala 
macam cara, pedang pendek itu masih juga 
menyerempet punggung tangan It Kwan, sehingga 
kulitnya terkelupas dan mengeluarkan darah. Betapa 
marah dan terhinanya ketua Hek-to-pai itu tak bisa 
dilukiskan lagi. Giginya gemeratak. Matanya melotot. 
Dan kumisnya yang lebat itu kelihatan bergetar 
menahan geram. 
"Kuntilanak busuk tak tahu diuntung ...!" umpatnya 
kasar, sehingga kelihatan benar watak aselinya. 
It Kwan memang bekas anak murid dari seorang 
pendeta di puncak Gunung Kun Lun. Tapi karena 
tabiatnya yang kurang baik, ia diusir dari 
perguruannya. Ia lalu mengembara jauh sekali ke 
bagian ti mur negeri Tiongkok dengan bekal ilmu 
goloknya. Karena wataknya memang kurang baik, 
maka di dalam perjalanannya itu ia juga selalu berbuat 
yang merugikan orang lain, seperti memeras, 
merampok, membegal, dan sebagainya. Namun 
sejalan dengan berbagai pengalamannya itu, maka 
ilmu goloknyapun juga semakin bertambah matang 
pula. Bahkan ia telah menambah, mengubah, serta 
menyesuaikan jurus-jurusnya, sehingga akhirnya ilmu 
goloknya menjadi lain, tapi amat cocok dengan 
wataknya sendiri. Malahan untuk lebih 
memperdahsyat ilmu goloknya, It Kwan lalu memoles 100 
goloknya dengan racun, sehingga golok itu menjadi 
hitam dan mengerikan. Akhirnya ia sampai di kota 
Hang-ciu. Di tempat ini ia mendapatkan jodohnya dan 
mendirikan sebuah perguruan yang dinamakan Hek-
to-pai, sesuai dengan senjata yang menjadi 
andalannya. 
It Kwan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. 
Tulang-tulangnya sampai bergemeratak menahan 
kekuatannya. Wajahnya yang hitam legam itu tampak 
menjadi ganas dan mengerikan. Matanya liar 
mengungkapkan hawa pembunuhan. Namun demikian 
ketua Hek-to-pai itu belum merasa perlu 
mengeluarkan golok hitamnya. 
"Kubunuh kau 
betina memuakkan! 
Aku tidak peduli 
lagi kalau Si Tua 
Bangka Giam Pit 
Seng itu akan 
memusuhi aku! Dan 
aku juga tidak 
peduli lagi misalkan 
seluruh tokoh Im-
yang-kau menuntut 
balas ke mari! Lihat 
pukulan...!" 
Ngeri juga hati 
Siau In 
menyaksikan wajah 101 
lawannya yang berubah menjadi sangat menyeramkan 
itu. tapi perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. 
Sebagai seorang gadis yang telah digembleng ilmu 
silat tinggi oleh gurunya, ia telah mampu menguasai 
perasaan takutnya. Ia segera menundukkan tubuhnya 
untuk mengelakkan pukulan lawannya, lalu balas 
menusukkan pedang pendeknya ke arah perut. 
Tapi dengan cepat It Kwan mengibaskan tangannya 
yang lain, sehingga ujung pedang Siau In seperti 
terdorong oleh sebuah tenaga raksasa dan melenceng 
ke samping. Terpaksa untuk menjaga 
keseimbangannya Siau In ikut bergulir ke samping 
pula. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan 
gadis itu lalu menambah lagi dengan melangkah ke 
kiri dua tindak. 
It Kwan membalikkan tubuhnya. Sekali lagi ia 
mempersiapkan seluruh tenaga saktinya. Kakinya lalu 
menjejak tanah dan kedua lengannya terulur ke depan, 
membentuk cakar untuk merobek robek badan Siau 
In. Jurus ini ia beri nama Harimau Tutul Menyergap 
Anjing! 
Walau belum banyak pengalaman, namun Siau In 
sadar bahwa tenaga dalam orang tua itu lebih tinggi 
daripada tenaga dalamnya. Berdasarkan hasil dari 
beberapa gebrakan tadi, Siau In bisa menyimpulkan 
bahwa berhadapan langsung dengan lawannya adalah 
tidak menguntungkan. Ia harus lebih banyak meng-
andalkan kelincahan dan kehebatan ilmu pedangnya. 102 
Ilmu pedang Siau In memang aneh dan lain 
daripada yang lain, karena ilmu pedang ciptaan 
suhunya itu sebenarnya hanya gubahan saja dari ilmu 
Hok-hong Pit-hoat (Ilmu Menulis Menaklukkan 
Angin) andalan gurunya. Suhunya sebelum menjadi 
pemimpin cabang Im-yang-kau memang seorang 
pendekar silat bersenjatakan sepasang pena (pit). Ilmu 
Hok-hong Pit-hoat sangat dikagumi dan disegani 
lawan di daerah pantai timur Tiongkok sejak beberapa 
tahun yang lalu. Ketika kemudian gurunya itu 
menerima murid, ia menjadi bingung karena dua di 
antara tiga muridnya ternyata adalah wanita. Padahal 
senjata pena tersebut hanya cocok untuk laki-laki. 
Oleh karena itu terpaksa gurunya mengubah dan 
menyesuaikan jurus-jurus Hek-hong Pit-hoat itu ke 
dalam permainan pedang pendek, agar cocok dan 
sesuai dengan kedua orang murid perempuannya. 
Hanya Sin Lun saja sebagai lelaki yang mempelajari 
Hok-hong Pit-hoat yang aseli. 
Melihat lawannya menerkam seperti harimau, Siau 
In menggeser kakinya ke samping, lalu meloncat ke 
atas pula seperti lawannya. Pedang pendeknya 
menyabet ke depan untuk menabas putus kedua 
lengan It K wan. Jurus ini sebenarnya adalah gubahan 
dari jurus ke sebelas dari Hok-hong Pit-hoat, yaitu 
Melukis Dua Mata di Lamping Gunung. Gerakan 
aslinya ialah menusukkan dua mata pena (pit) ke arah 
pelipis dan siku lawan. Tapi oleh gurunya gerakan itu 
diubah dengan menyabetkan dua buah pedang ke 103 
leher dan lengan musuh. Namun karena yang 
dipegang oleh Siau In sekarang hanya sebatang saja 
maka tabasan tersebut hanya tertuju pada lengan 
lawan saja. 
It Kwan meraung marah. Meskipun masih amat 
muda ternyata Siau In sangat lincah dan cerdik. 
Dengan indah It Kwan menggeliatkan tubuhnya di 
udara untuk menghindari tabasan pedang Siau In. 
Begitu kakinya menginjak tanah lagi, ketua Hek to pai 
itu segera menerjang kembali dengan sabetan sisi 
telapak tangannya terarah ke pinggang Siau In. 
Anak murid It Kwan yang mengepung arena itu 
kelihatan tegang dan cemas. Meskipun mereka sangat 
percaya pada kesaktian guru mereka, lapi mereka juga 
melihat bahwa gadis muda itu memiliki ilmu pedang 
yang luar biasa pula. Malahan pada gebrakan pertama 
tadi gurunya sempat mendapat luka di punggung 
tangannya. Mereka menjadi tidak sabar, kenapa 
gurunya tidak lekas-lekas saja mempergunakan 
goloknya. 
Dua puluh jurus telah berlalu, lapi It Kwan yang 
berjanji hendak membunuh Siau In itu tetap belum 
bisa melaksanakan niatnya. Gadis muda itu ternyata 
sangat alot dan licin bukan main. Bahkan beberapa 
kali malah ia sendiri yang hampir termakan oleh 
pedang pendek itu. 
Tiga puluh jurus telah berlalu pula. Malahan 
beberapa waktu kemudian empat puluh jurus pun 
telah terlampaui juga. Meskipun demikian ketua Hek 104 
to-pai itu tetap tak mampu melumpuhkan perlawanan 
Siau In. Sebaliknya gadis itu malah lebih sering 
mendesaknya ke dalam kesulitan. 
Akhirnya It Kwan sadar bahwa lawannya memang 
memiliki kepandaian tinggi. Kalau dia tetap bertahan 
dengan kesombongannya, bukan mustahil ia sendiri 
malah yang akan terkapar di atas tanah. Oleh karena 
itu ia segera mengesampingkan perasaan malunya dan 
memberi tanda kepada salah seorang muridnya untuk 
memberinya sebilah golok. 
Murid itu segera melemparkan golok hitamnya. 
Kini It Kwan berdiri dengan golok di tangan. Matanya 
tajam mengawasi lawannya yang masih amat muda 
itu. Hawa pembunuhan benar-benar telah terpancar 
dari sorot matanya. Dan golok hitam di tangannya itu 
tiba-tiba seperti berkilau mengerikan. 
Sekejap bergetar juga hati Siau In. Gadis itu 
menyadari bahwa dengan golok di tangan, It Kwan 
benar-benar akan seperti harimau tumbuh sayap. 
Maka untuk melindungi keselamatannya, Siau In 
cepat mengeluarkan pula pedang pendeknya yang 
lain. Kini kedua belah tangannya benar-benar telah 
memegang senjata andalannya, sepasang pedang 
pendek! 
Sementara itu matahari telah condong ke barat, dan 
pertunjukan di halaman rumah Bupati itu pun sudah 
hampir selesai pula. Semua penonton sudah 
mengumpul dan tertumpah semua di sekeliling 
panggung lui-tai. Pertandingan barongsai dan tari 105 
tarian telah rampung, sehingga seluruh penontonnya 
berpindah ke panggung lui-tai. Juara pertama di 
panggung barongsai adalah pemain barongsai dari Ui-
thian-cung. Walaupun betisnya telah dilukai Siang-
hai-coa dari Ang-lian-pang, namun dua saudara Ui itu 
tetap bisa memenangkan pertandingan melawan ba-
rongsi dari Pek-hok-bio dan Hek-to-pai. 
Sekarang di atas pangung lui-tai sedang berlaga dua 
orang lelaki bersenjatakan pedang dan tongkat besi. 
Keduanya telah bertarung lebih dari tiga puluh jurus, 
namun belum ada juga yang kalah atau menang. 
Sedangkan di bawah panggung, di dekat tempat 
duduk wasit atau panitia, telah berdiri dua orang 
pemenang yang telah lolos dari ujian pertama, yaitu 
memenangkan peserta lain tiga kali berturut-turut. 
Siu Lun dan Ciu In masih sibuk mencari Siau In. 
Sepasang merpati itu terduduk lesu di pintu gerbang 
halaman. Wajah mereka tampak sedih dan khawatir. 
"Suheng...? Ke manakah sebenarnya Siau In? 
Jangan-jangan telah terjadi sesuatu pada dirinya. Oh, 
Suheng...." Ciu In mulai berkaca-kaca matanya. 
Sin Lun berdiri dari duduknya. "Marilah kita cari di 
jalan. Mungkin ia marah karena kita tinggalkan tadi, 
lalu pergi meninggalkan kita ke jalan raya." 
Mereka lalu berjalan perlahan-lahan sambil 
memasang mata dan telinga, kalau-kalau mereka 
melihat atau mendengar orang berbicara tentang Siau 
In. Di depan pasar di mana Siau In tadi juga berdiri, 
mereka berhenti sebentar. Di pondok perempatan 106 
jalan di muka mereka, tampak beberapa orang berdiri 
bergerombol sambil berbicara dengan riuhnya. 
"Ayo kita mendekati mereka! Siapa tahu mereka 
pernah melihat Siau In lewat." Sin Lun menarik 
lengan Ciu In dan mengajak gadis itu berjalan lagi. 
Orang orang itu segera menoleh dan melihat kepada 
mereka, terutama kepa da Ciu In yang cantik dan 
lembut. 
"Cuwi, maaf... bolehkan kami bertanya? 
Tampaknya baru ada sesuatu yang terjadi di tempat 
ini?" dengan sopan Sin Lun menegur orang-orang itu. 
"Benar. Di sini baru saja ada seorang gadis yang 
pingsan dengan mendadak." salah seorang dari orang-
orang itu memberi jawaban. 
Hati Sin Lun dan Cui In berdesir. Tiba-tiba mereka 
menjadi khawatir, jangan jangan gadis itu adalah Siau 
In. 
"Seorang gadis...?" Sin Lun menegaskan. "Apakah 
gadis itu masih sangat muda dan cantik?" 
"Ya-ya, Sicu (Tuan) benar." orang-orang itu 
menjawab serentak. "Apakah Sicu kenal gadis itu?" 
Dengan gugup dan suara serak Cui In maju ke 
depan. "Apakah... apakah gadis itu mengenakan baju 
warna merah muda?" tanyanya harap-harap cemas. 
"Ya, betul! Gadis itu memang mengenakan baju 
warna merah." orang-orang itu menjawab tidak 
bersamaan. 
"Oh, Suheng... dia... dia memang Siau In." Ciu In 
mulai menangis perlahan. 107 
Tentu saja orang-orang itu menjadi kaget. Mereka 
saling pandang dan tak tahu harus berbuat apa. 
Untunglah Sin Lun dengan sigap lalu meminta agar 
salah seorang menceritakan apa yang telah terjadi. Sin 
Lun berkata kepada orang-orang itu bahwa ia adalah 
kakak dari gadis yang pingsan tersebut. 
Ternyata beberapa saat yang lalu ada seorang gadis 
muda dan cantik berjalan sendirian di tempat itu. 
Beberapa orang di antara orang-orang itu malah 
sempat pula menggodanya. Namun gadis itu tidak 
meladeni godaan mereka. Mungkin karena risi gadis 
itu lalu menyeberang jalan. Dan pada saat itu ada 
sebuah gerobag kuda yang kebetulan lewat pula. 
Entah mengapa, tiba-tiba gadis itu lalu terkulai jatuh 
ke jalan. 
Mereka dan beberapa orang yang kebetulan lewat 
segera memberi pertolongan, termasuk juga 
penumpang gerobag kuda tadi. Tapi sampai beberapa 
saat lamanya gadis itu tidak juga siuman. Kemudian 
diambil keputusan untuk membawa gadis itu ke 
rumah tabib yang tinggal di bagian barat kota. Pemilik 
gerobag itu lalu menawarkan diri untuk membawa 
gadis itu ke sana, dan semua orang menyetujuinya. 
"Jadi gadis itu dibawa ke rumah tabib? Oh, di 
manakah rumah tabib itu?" dengan gugup Sin Lun 
bertanya kepada orang yang bercerita itu. 
"Sicu ambil saja jalan yang menuju ke barat ini. 
Jangan berbelok sebelum sampai di sebuah kuil besar 
di pinggir jalan. Kalau Sicu sudah sampai di kuil Pek 108 
hok-bio itu, silakan berbelok ke kanan. Kira-kira 
seratus tombak dari kuil itulah rumah Tabib Ciok. 
Setiap orang tahu rumahnya." 
"Terima kasih...!" Sin Lun menjura, lalu menarik 
lengan Ciu In untuk diajak berlari ke rumah tabib itu. 
Keduanya tak mempedulikan orang-orang lain yang 
keheranan melihat mereka berlari-lari. 
"Kenapa Siau In bisa pingsan? Apakah ia sakit? 
Bukankah tadi ia sehat-sehat saja? Jangan-jangan ada 
sesuatu yang tidak beres...." sambil berlari Ciu In 
menduga-duga. 
"Aku juga bingung. Masakan gadis kuat seperti 
Siau-sumoi bisa pingsan tanpa sebab? Jangan-jangan 
dia bukan Siau-sumoi, tapi orang lain...." Sin Lun 
mengemukakan kebimbangannya pula. 
"Benar. Mudah-mudahan demikian.... Tapi kita 
harus membuktikannya dahulu." 
Dua lie kemudian mereka sampai di jalan yang 
sepi. Di kanan kiri jalan hanya kebun kebun kosong 
milik penduduk. Namun demikian jalan itu amat 
teduh dan nyaman karena di pinggir jalan ditanam 
orang pohon-pohon siong besar yang rimbun daunnya. 
"Suheng, lihat! Itu kuilnya...! Ciu In berseru seraya 
menunjuk ke sebuah halaman yang amat luas dengan 
banyak sekali pohon-pohon besar sebagai pelindung. 
"Benar. Aku hampir tak melihatnya karena pohon-
pohon besar itu hampir menutupi genting-gentingnya. 
Padahal bangunan itu demikian besar dan tinggi .... 
Kalau begitu kita harus berbelok ke kanan. Kata orang 109 
tadi di depan kuil ada jalan yang menuju ke rumah 
tabib itu. Marilah...." 
Sin Lun menyambar telapak tangan Ciu In dan 
mencengkeramnya, lalu ditariknya lengan itu ke 
depan. Entah mengapa, tanpa kehadiran Siau In di 
dekatnya, Sin Lun merasa bebas dan senang sekali 
memegangi jari-jari tangan yang lentik serta berkulit 
halus itu. Padahal sejak kecil mereka selalu bersama 
sama dan Sin Lun acap kali juga memegangi tangan 
itu. 
"Nanti dulu, Suheng.... aku seperti mendengar suara 
ringkik kuda di dalam kuil itu." 
"Ah... apa anehnya suara ringkik kuda?" Sin Lun 
berkata gemas. "Oh, maksudmu... kau menduga 
pemilik gerobag kuda yang membawa Siau In itu 
berada di dalam kuil itu? Wah, kau ini ada-ada saja. 
Orang yang memiliki gerobag kuda bukan hanya 
seorang saja. Ayoh, kita nanti terlambat sampai di 
rumah tabib itu!" 
"Baiklah... baiklah!" Ciu In merengut dan 
bersungut-sungut. 
Selama ini Sin Lun tak pernah melihat Ciu In 
bersikap manja atau "ngam-bek" seperti itu. Di 
hadapan siapa saja gadis itu selalu bersikap dingin, 
serius, tegas, namun juga tampak lembut dan anggun. 
Apalagi di depan guru dan saudara-saudara 
seperguruannya. 
Tapi sekarang, ketika mereka hanya berduaan, 
entah mengapa tiba-tiba Ciu In dapat bersikap lain. 110 
Gadis ini merengut dan bersungut-sungut dengan 
sikap yang dibuat-buat. Bahkan beberapa kali mata 
yang redup itu melirik ke arahnya. 
Sin Lun tak tahan lagi. Hatinya tergetar dengan 
hebat. Wajah lembut itu seperti menantangnya. Maka 
tanpa pikir panjang lagi kedua tangannya menyambar 
pundak Ciu In, lalu diciumnya pipi gadis itu dengan 
bersemangat. Tapi ketika bibirnya hendak bergeser ke 
mulut, dengan cepat Ciu In mendorongnya. 
"Ssssu-su-heng...? Kkkk-kau...?" Cui ln menjerit 
lirih. Pipinya menjadi merah seperti buah tomat tua. 
Matanya berkaca-kaca mau menangis. 
Sin Lun sendiri menjadi salah tingkah dan gugup 
sekali. Berulang kali pemuda itu menoleh ke sana ke 
mari, seakan-akan ia takut perbuatannya tadi diketahui 
orang. 
"Sumoi, ma-ma-maafkan aku...." akhirnya pemuda 
itu berkata dengan ketakutan. "A-aku tak tahan lagi. 
Habis kau... kau cantik sekali!" 
Terdengar suara sesenggukan ketika Cui In 
kemudian berlari meninggalkan Sin Lun. Gadis itu 
berlari-lari kecil menuju ke rumah Tabib Ciok. Sin 
Lun yang merasa bersalah itu menjadi gelagapan. 
Otomatis kakinya melangkah mengejar sumoinya. 
Di sepanjang jalan menuju ke rumah tabib itu Sin 
Lun meratap-ratap minta ampun, tapi Cui In tak 
menggubrisnya. Gadis itu telah berjalan biasa lagi. Air 
matanya yang mengalir juga sudah dihapusnya. 
Namun gadis itu tetap saja berdiam diri. Wajahnya 111 
yang cantik itu hanya memandang ke arah jalan yang 
hendak diinjak atau dilangkahinya. Sama sekali ia tak 
melayani rengekan Sin Lun yang mengemis-ngemis 
minta dikasihani. 
"Baiklah, kalau Sumoi memang tidak mau 
memaafkan aku... aku nanti akan pergi. Biarlah aku 
mencari Siau-sumoi sendirian. Setelah Siau-sumoi 
ketemu, aku akan pergi jauh sekali. Biar Suhu tidak 
marah kepadaku...." akhirnya Sin Lun berkata dengan 
suara sedih. 
"Mengapa Suhu harus marah kepadamu?" tiba-tiba 
Ciu In menyahut dengan suara ketus. 
Sin Lun terbelalak girang. Namun kegembiraannya 
itu segera lenyap kembali. Ternyata sumoinya itu 
masih tetap marah kepadanya. 
"Habis, kau tentu mengadu kepada Beliau, sehingga 
aku tentu akan diusirnya." jawabnya memelas. 
Mendadak Cui In menghentikan langkahnya. Gadis 
itu menatap wajah Su-hengnya dengan wajah keruh. 
"Siapa yang akan mengadu kepada Suhu? Ngaco!" 
serunya gemas, kemudian melangkah lagi dengan 
cepat. 
"Jadi... jadi Sumoi tidak akan mengadukan 
peristiwa tadi kepada suhu? Oh, terima kasih Sumoi... 
terima kasih!" Sin Lun bersorak gembira, lalu seperti 
anak kecil ia berjungkir balik di belakang Ciu In. 
Ciu In membuang muka seolah-olah tak melihat 
tingkah laku suhengnya yang konyol itu. Tapi 
kegembiraan suhengnya itu tampaknya tidak lama, 112 
karena di lain saat dia telah berjalan lesu kembali di 
belakangnya. 
"Sumoi memang tidak akan mengadu kan hal itu 
kepada Suhu, tapi... tapi Sumoi sendiri masih tetap 
marah kepadaku. Sumoi belum mau memaafkan aku. 
Sumoi, aku menyesal sekali.... Maukah kau 
memaafkan aku?" Sin Lun kembali merengek-rengek. 
Sebenarnya Siu In sudah tidak marah lagi kepada 
suhengnya. Namun untuk berbicara panjang lebar atau 
bertatap muka dengan suhengnya ia masih sungkan. 
Sebagai seorang gadis yang belum pernah dicium oleh 
seorang lelaki, meskipun yang dicium itu hanya 
pipinya, ia belum dapat dengan segera membenahi 
perasaannya kembali. 
Sebaliknya Sin Lun yang juga belum 
berpengalaman menghadapi wanita, menganggap 
bahwa diamnya Ciu In itu disebabkan karena marah 
dan bencinya gadis itu terhadapnya, sehingga gadis itu 
sama sekali tak mau mengampuninya lagi. 
"Baiklah, Sumoi. Aku memang biadab dan tak 
pantas untuk dimaafkan lagi. Laki-laki seperti aku 
memang hanya memuakkan saja. Baiklah, aku minta 
diri saja. Biarlah kita berpisah untuk mencari Siau In 
sendiri-sendiri. Selamat, tinggal, Sumoi. Jagalah 
dirimu baik-baik!" akhirnya Sin Lun berkata dengan 
suara putus asa. 
Sekejap Ciu In tak tahu apa yang harus ia perbuat. 
Ia ingin menahan suhengnya, tapi mulutnya sulit 
untuk diajak berbicara. Bahkan perasaan sungkan dan 113 
malunya pun belum bisa hilang dari dadanya, 
sehingga untuk menoleh pun ia juga masih belum 
berani pula. 
Beberapa waktu kemudian baru gadis itu menoleh 
karena langkah kaki suheng-nya tidak terdengar lagi. 
Namun ia terlambat. Sin Lun telah pergi. Pemuda itu 
sudah menghilang di balik lebatnya pepohonan yang 
tumbuh di kanan kiri jalan sepi itu. Pemuda itu benar-
benar telah pergi membawa kekecewaannya yang 
mendalam. 
"Suheng...?" Cui In tiba-tiba menangis sedih. 
Berbagai macam perasaan menggumpal di dadanya, 
namun sulit untuk dikeluarkan. 
Lama sekali Cui In menangis di tempat itu. 
Untunglah jalan itu memang jalan kecil yang jarang 
sekali dilalui orang. Mungkin memang hanya tabib itu 
saja yang sering melewatinya. Ia baru berhenti 
menangis ketika telinganya mendengar desir langkah 
kaki orang mendekatinya. 
Untuk sesaat Cui In menyangka yang datang itu 
adalah suhengnya, sehingga ia cepat-cepat menghapus 
air matanya, dan bersikap seolah-olah tidak terjadi 
apa-apa pada dirinya. Namun harapan itu menjadi 
kendor kembali. Orang yang berada di depannya 
ternyata bukan suhengnya. 
Orang yang baru saja datang itu menatapnya 
dengan rasa heran dan ingin tahu. Wajahnya sangat 
tampan, lebih tampan daripada suhengnya. Tapi 
usianya agak lebih tua, yaitu antara dua puluh lima 114 
atau dua puluh enam tahun. Pakaiannya sangat 
longgar seperti pakaian seorang pelajar atau 
sasterawan. 
"Nona kehilangan jalan...? Atau... Nona baru saja 
diganggu orang?" pemuda tampan itu bertanya halus. 
Ciu In menghela napas panjang sambil menata 
kembali perasaannya. Ia dapat bersikap tenang dan 
wajar di depan orang yang masih sangat asing baginya 
itu, 
"Maaf, aku baru saja bertengkar dengan Kakakku. 
Aku tidak apa-apa. Sekarang biarlah aku pergi...." 
kata Cui In kemudian dengan suara masih kaku. 
"Eee, nanti dulu. Mengapa Nona sangat tergesa 
gesa? Apakah Nona takut atau mencurigai aku sebagai 
orang jahat?" pemuda itu cepat menahan dengan 
ucapan yang masih tetap sopan. 
"Tidak. Aku tidak mencurigai, Tuan. Aku ingin 
cepat-cepat pulang." Cui In berdusta. 
"Ooo... di manakah rumah Nona?" pemuda itu tetap 
mengejar. 
C iu In mulai jengkel. Pemuda di hadapannya itu 
criwis sekali serta selalu ingin tahu urusan orang lain. 
Karena kesal Ciu lu lalu menjawab sekenanya. Ia 
menunjuk ke depan, ke tempat di mana rumah tabib 
Ciok tinggal. 
"Eh, di sana hanya ada sebuah rumah saja dan tidak 
ada rumah yang lain. Rumah itu adalah rumah seorang 
tabib." 
Pemuda tampan itu keheranan. 115 
"Aku memang tinggal di sana!" Ciu In menjawab 
kesal. 
"Nona..! Nona tinggal di sana? Eh... bagaimana 
ini?" Pemuda itu kelihatan bingung. 
"Memangnya aku tinggal di sana. Mengapa Tuan 
menjadi kebingungan begitu? Tuan tidak percaya?" 
Karena sudah terlanjur berdusta, maka Ciu In tidak 
bisa mundur lagi. la harus bisa menyakinkan kepada 
pemuda itu bahwa ia memang tinggal di sana, 
sehingga ia bisa segera lepas dari gangguannya. 
"Lalu... Nona ini apanya Tabib Ciok?" Pemuda itu 
bertanya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang 
tidak gatal. 
"Tentu saja aku ini... anaknya!" karena , benar-
benar sudah jengkel Ciu In membentak. 
"Hah...?" tiba-tiba pemuda itu berseru kaget dan 
melangkah mundur. Air mukanya semakin tampak 
kebingungan. 
Ciu In puas sekali. Ia mengira pemuda itu menjadi 
ketakutan mendengar kenyataan bahwa ia adalah 
puteri Tabib Ciok. "Tahu rasa kau. Makanya jadi 
orang jangan usil dan suka mencampuri urusan orang. 
Hi-hi-hi... tampaknya Tabib Ciok itu orang yang 
disegani juga...." ucapnya di dalam hati. 
"Nona...? Apakah Nona tidak salah?" pemuda itu 
masih berani bertanya pula. 
"Eh, Tuan ini mau bertanya atau mau menyelidiki 
asal-usul orang? Enak saja bertanya terus menerus. 
Huh, Tuan sendiri siapa?"  116 
"Akulah... Tabib Ciok itu!" pemuda itu menjawab 
pendek. 
"Ooooh...!!!" 
Saking kagetnya Ciu In menjadi lemas. Untunglah 
pemuda itu cepat-cepat menahan tubuhnya. 
"Sudahlah, Nona. Nona tak perlu berpikir macam-
macam. Aku tahu Nona sedang sedih dan bingung. 
Marilah kita 
berteduh di bawah 
pohon itu...." 
pemuda itu berkata 
dengan lembut. 
Suaranya seperti 
mengandung 
wibawa yang sangat 
kuat. 
Tidaklah 
mengherankan bila 
Ciu In menjadi 
lemah seperti itu. 
Dalam waktu yang 
hampir berurutan 
gadis itu menerima 
hantaman perasaan 
yang bertubi-tubi. Pertama kali ia kehilangan adik 
yang disayanginya. Kedua kali, suheng yang 
dihormati dan juga dicintainya itu tiba-tiba pergi 
meninggalkannya. 117 
Ciu In menurut saja ketika pemuda yang baru 
dikenalnya itu menuntunnya ke bawah pohon yang 
rindang. Bahkan ia juga menerima saja ketika pemuda 
itu memberinya selembar saputangan, padahal ia 
sendiri juga membawa. 
"Usaplah keringat yang menempel di dahi Nona, 
agar Nona menjadi tenang!" pemuda itu memberi 
perintah. 
Makin lama Ciu In memang menjadi semakin 
tenang. Air mukanya yang berubah-ubah tadi, kini 
telah menjadi semakin dingin dan anggun seperti 
biasanya. Tatapan matanya yang tajam dan liar telah 
berubah menjadi redup pula kembali. Kini mata itu 
memandang ke arah Tabib Ciok yang masih muda itu, 
"Benarkah Tuan adalah Tabib Ciok?" akhirnya 
gadis itu bertanya dengan nada sedikit sungkan, 
"Benar, aku memang orang yang disebut Tabib 
Ciok di sini. Aku baru sebulan tinggal di rumah itu, 
tapi orang di sekitar tempat ini tahu saja kalau aku 
seorang tabib, sehingga setiap hari ada saja yang 
datang berobat ke rumahku. Ehmmm, siapakah nama 
Nona? Apakah Nona juga akan berobat ke rumahku?" 
dengan ramah pemuda itu memberi keterangan. 
"Namaku Ciu In, Tio Ciu In! Aku ke mari memang 
hendak ke rumah Tuan. Kata orang adikku telah 
pingsan di jalan, kemudian dibawa berobat ke mari. 
Oh, Tuan..., benarkah adikku berada di rumahmu?" 
"Ah, beberapa saat yang lalu juga ada seorang 
pemuda yang datang untuk bertanya adik 118 
perempuannya yang hilang. Kini Nona bertanya pula 
tentang adikmu kepadaku. Apakah kalian masih 
bersaudara?" 
"Oh, jadi Suhengku sudah lebih dulu bertemu 
dengan Tuan?" tiba-tiba Ciu In berseru dengan penuh 
pengharapan. 
"Betulkah pemuda itu suherigmu? Dia seorang 
pemuda jangkung, agak kurus, matanya sedikit 
cekung, berpakaian kelabu,... Dan aku melihat 
sepasang senjata berbentuk pit (pena) di balik 
bajunya." 
"Benar. Orang itu memang benar Suhengku. Lalu... 
ke mana dia sekarang?" Ciu In mengangguk-angguk 
dengan amat bersemangat. 
"Dia telah pergi lagi, setelah aku katakan bahwa tak 
seorang gadis pun yang dibawa orang untuk berobat 
ke rumahku. Memang mulanya ia tak percaya, 
sehingga ia bersikeras menggeledah rumahku. Tapi 
setelah ia yakin bahwa aku memang tidak 
membohonginya, ia lalu pergi dengan lesu. Ia tampak 
sangat sedih sekali. Bahkan kelihatan seperti orang 
yang sudah berputus asa." 
"Oooh, Suheng...!" Ciu In kembali merintih. 
Semangatnya yang melonjak tadi telah patah pula 
kembali. Suhengnya telah pergi, adiknya pun hilang. 
Tabib muda yang selalu memperhatikan gerak-
gerik Ciu In itu menarik napas panjang sekali. 
Walaupun masih muda, namun wajahnya yang 
tampak angker dan berwibawa itu seperti dapat 119 
memaklumi apu yang terkandung di dalam hati Ciu 
In. Dibiarkannya, gadis itu tenggelam di dalam 
lamunan sedihnya, ia hanya duduk saja 
mengawasinya. Baru setelah itu sadar akan 
keadaannya, ia beringsut mendekatinya. 
"Maaf, Tuan .... Ternyata aku telah lupa bahwa aku 
tidak sendirian di tempat ini. Aku... aku terlalu larut 
dalam perasaanku sendiri." dengan air muka bersemu 
merah Ciu In meminta maaf. 
"Nona tak perlu meminta maaf kepadaku. Menurut 
perasaanku, apa yang Nona lakukan tadi adalah wajar. 
Aku bisa menyelami perasaan Nona. Sudah 
kehilangan saudara, masih harus berselisih dengan 
orang yang amat disayangi pula. Bukankan begitu, 
Nona? Oh, maaf... aku tidak bermaksud mencampuri' 
masalah pribadi Nona. Aku hanya ingin membantu 
memecahkannya, kalau boleh." 
Ciu In menatap wajah pemuda di depannya itu 
dengan tajamnya. Tiba-tiba kulit mukanya terasa 
panas. Setelah memperhatikan betul, tampak benar 
bahwa pemuda itu memang ganteng bukan main. 
Dahinya lebar, hidungnya mancung, alisnya tebal, 
dagunya kokoh kuat. Perawakannya sedang, tidak 
tinggi tapi juga tidak pendek, namun dadanya yang 
bidang itu benar-benar mencerminkan kejantanan 
yang luar biasa. 
"Tuan... Tuan ini siapa sebenarnya? Mengapa 
seakan-akan mengetahui keadaanku?" Ciu In bertanya 
dengan suara yang agak sedikit gemetar. Kini Ciu In 120 
benar-benar merasa kikuk dan agak gemetar 
menghadapi pemuda yang memiliki wibawa yang 
amat mengagumkan itu. 
Pemuda itu tertawa perlahan. Giginya yang putih 
itu kelihatan berderet rapih dan kokoh. "Nona jangan 
memandangku seperti itu. Aku ini hanya seorang 
perantau biasa, yang suka bertualang mencari 
pengalaman di mana saja. Kebetulan aku melihat 
suatu kejahatan di suatu daerah, dan aku turun tangan 
mencampurinya. Orang jahat itu dan perkumpulannya 
aku porak-porandakan. Namun ternyata ada seorang 
penjahat yang bisa meloloskan diri. Orang itu lari ke 
kota ini. Karena orang itu sangat berbahaya bagi 
masyarakat, terutama terhadap wanita dan gadisnya, 
maka aku mengejarnya pula ke kota ini. Sayang aku 
kehilangan jejak. Tapi aku telah mencurigai sebuah 
tempat yang mungkin menjadi tempat 
persembunyiannya. Maka aku lalu menyamar menjadi 
seorang tabib dan bertempat tinggal di tempat ini. 
Namaku yang sebenarnya adalah Liu Wan. Nama 
margaku sama dengan nama marga keluarga istana, 
mungkin nenek moyang kami dulu memang ada 
pertalian saudara." pemuda itu menutup 
keterangannya dengan gurauan. 
"Oh, kalau begitu ilmu silat Tuan tentu tinggi 
sekali." Ciu In memandang dengan kagum. 
"Ah, tidak. Ilmu silatku biasa-biasa saja. Tidak 
lebih tinggi daripada ilmu silat pedang Nona." 121 
Ciu In terperanjat. "Tuan tahu aku bisa memainkan 
pedang?" tanyanya kaget. 
"Ketika memegangi lengan Nona tadi aku merasa 
menyentuh sepasang pedang di balik baju Nona." 
"Oh...!" Wajah Ciu In menjadi kemerah-merahan. 
Tiba-tiba Liu Wan menjadi bersungguh-sungguh. 
"Nona Tio, kalau engkau mau, nanti malam kita 
bersama sama mencari adikmu. Kita dalangi tempat 
yang lelah kucurigai itu. Aku percaya adikmu ada di 
sana. Penjahat itu memang selalu menculik seorang 
wanita setiap pergantian tahun baru. Tahun ini 
tampaknya adikmulah yang hendak dijadikan 
korbannya." 
"Ohhh, apa...? Adikku hendak dijadikan korban? 
Korban apa?" Ciu In menjerit ketakutan. 
"Tenang Nona. Ini baru dugaanku saja. Marilah ke 
rumahku dulu. Nanti kuterangkan marilah...!" 
"Mengapa tidak sekarang saja kita berangkat ke 
tempat itu? Mengapa harus menunggu nanti malam?" 
Cui In mencengkeram lengan Liu Wan. 
"Tenang, Nona. Sekali lagi... tenanglah! Percayalah 
kepadaku. Sampai tengah malam nanti adikmu, tidak 
akan diapa-apakan oleh mereka. Mereka masih 
menyembunyikannya dengan rapi. Kita tidak akan 
bisa menemukannya sekarang. Salah salah mereka 
malah akan membawanya pergi kalau kita bergerak 
sekarang. Lebih baik kita menunggunya sampai 
mereka sendiri yang mengeluarkannya tengah malam 
nanti. Pada saat itulah kita bergerak untuk 122 
menyelamatkannya. Sekalian .mengobrak-abrik 
tempat tinggal mereka itu. Nah, marilah...!" dengan 
suara yang tenang, namun terasa tegas dan 
berwibawa, Liu Wan membujuk Ciu In. 
Ciu In menundukkan kepalanya. "Baiklah, aku 
menurut...." desah gadis itu kemudian dengan nada 
pasrah. 
Liu Wan lalu mengajak Ciu In melangkah menuju 
ke pondoknya. Sebuah pondok keril di tengah-tengah 
empang yang cukup luas, di mana bermacam-macam 
ikan kecil berenang di dalamnya. 
"Oh, bukan main indahnya tempat ini. Tuan 
sungguh pandai sekali memilih tempat tinggal." Cui 
In berseru memuji sambil melangkah perlahan-lahan 
di jembatan kayu yang membentang ke tengah-tengah 
empang. 
"Tempat ini memang bekas peristirahatan. Rumah 
di tengah empang itu semula sudah tidak 
dipergunakan lagi. Atapnya sudah bocor, dinding 
sudah retak dan hancur. Aku dan pembanluku 
kemudian berusaha membangunnya kembali, 
walaupun cuma sederhana." 
"Pembantu...? Siapakah pembantu tuan? Di 
manakah mereka?" 
Belum juga hilang gaung suara Ciu In di telinga, 
dua orang lelaki tua tiba-tiba keluar dari pondok di 
tengah empang itu. Bergegas mereka menyambut 
kedatangan Liu Wan. Ciu In tercengang melihat 
wajah mereka yang presis satu sama lain. 123 
"Itulah kedua orang pembantuku. Maaf, mereka 
berdua tidak bisa berbicara. Mereka bisu, karena lidah 
mereka cacad sejak kecil. Tapi mereka sangat setia 
kepadaku. Merekalah yang membantu aku melayani 
para pendatang yang ingin minta obat kepadaku." 
"Mereka... kembar?" Ciu In menegaskan 
Liu Wan mengangguk. "Mereka bernama Lo. Kang 
dan Lo Hai. Tapi jangan kau tanyakan yang mana Lo 
Kang dan yang. mana Lo Hai, karena aku sendiri juga 
tak dapat membedakannya. Kalau butuh mereka, aku 
ngawur saja memang gilnya...." 
Demikianlah, mereka lalu masuk ke dalam pondok 
di tengah empang itu. Lo Kang dan Lo Hai berjaga-
jaga di luar. Seperti dua ekor anjing penjaga mereka 
duduk melenggut di depan pintu. 
Begitu berada di dalam pondok Ciu In semakin 
merasa kagum kepada Liu Wan. Selain menguasai 
ilmu pengobatan pemuda itu ternyata juga menguasai 
bidang kesusastraan pula. Beberapa buah tulisan 
sanjak dan lukisan tergantung dengan indahnya di 
setiap dinding-dinding-nya. Semuanya tertulis atas 
namanya. 
"Seluruhnya Tuan yang membuatnya. Indah 
sekali...!" Ciu In tak tahan pula untuk tidak memuji. 
"Aku memang menyukai keindahan. Semua 
keindahan. Baik keindahan yang tersembunyi dalam 
gerakan ilmu silat. keindahan terselubung yang ada di 
dalam ilmu pengobatan, keindahan nyata yang 
terpancar di dalam lukisan, dan keindahan rasa di 124 
dalam ilmu kesusasteraan. Semuanya itu aku senang 
sekali menghayatinya." Liu Wan menerangkan seperti 
orang yang sedang membacakan sajak. 
Ciu In mendekati sebuah sajak yang tergantung di 
atas meja tulis. Sajak itu diberi bingkai kayu berukir 
yang bagus sekali. Cui In lalu membacanya. 
BURUNG HONG DALAM SANGKAR EMAS 
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati. 
Meski seribu warna ada di sayapnya. 
Meski segala hiasan ada di sangkarnya. 
Tapi kebebasan tiada diberi. 
Apa indahnya jadi burung Hong? 
Apa nikmatnya di dalam sangkar emas? 
Elok dipandang mata, tapi sedih dipendam hati! 
Liu Wan. 
Ciu In membalikkan tubuhnya dan ia sangat kaget 
ketika Liu Wan tepat berada di depannya. Ia sama 
sekali tidak mendengarkan langkah kaki pemuda itu di 
belakangnya. 
"Oh, Tuan mengagetkan aku...! Aku sama sekali 
tidak mendengar langkah kaki Tuan." gadis itu 
menjerit kecil seraya melihat papan kayu yang 
menjadi alas lantai pondok itu. 
Liu Wan tersenyum. "Lantai papan ini memang 
berderit bila terinjak kaki. Tapi Nona tampaknya 125 
terlalu asyik membaca sajak itu sehingga tak 
mendengar suaranya." 
"Ah, Tuan ini pandai benar merendahkan diri. 
Lantai ini memang berderit bila yang menginjaknya 
adalah seorang jago silat, pasaran. Tapi akan lain 
halnya bila yang berjalan di atasnya adalah seorang 
jago silat berkepandaian tinggi." 
Liu Wan tak menanggapi bantahan Cui In. Ia 
melangkah ke depan dan mengambil bingkai sajak 
itu.. Perlahan-lahan ia membacanya. 
"Tampaknya sanjak Tuan ini mengandung perasaan 
sedih. Mengapa?" Ciu In tiba-tiba bertanya kepada 
Liu.Wan. 
Liu Wan menjadi gugup, satu hal yang belum 
pernah dilihul oleh Ciu In. 
"Ah, aku hanya membuatnya secara serampangan 
saja di kala hatiku sedang sunyi dan sepi. Aku seperti 
tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Dan 
kesepianku itu aku tuangkan dalam sajak ini. Aku 
mengibaratkan diri sebagai Burung Hong yang 
kesepian di dalam sangkar emasnya." dalam 
kegugupannya Liu Wan mencoba menjelaskan. 
Ciu In merasakan kejanggalan jawab an pemuda 
itu, tapi ia tak ingin mendesaknya lagi. Hanya di 
dalam hatinya Ciu In mulai merasakan keanehan-
keanehan yang ada pada diri pemuda itu. 
"Uh uh... uh uh!" 
Tiba tiba salah seorang dari pembantu Liu Wan 
masuk ke dalam pondok. Dengan suara tak jelas orang 126 
itu mencoba melapor, bahwa di luar ada orang yang 
ingin bertemu. 
Liu Wan cepat membuka sebuah laci, lalu 
mengambil kumis tiruan dan jenggot tiruan. Kedua 
buah alat yang biasa dipakai oleh para pemain 
sandiwara itu lalu dipasangnya di mukanya. Sekejap 
saja pemuda yang tampan itu menjadi seorang kakek 
berkumis dan berjenggot lebat. 
"Maaf, Nona Tio.... Ini wajah Tabib Ciok sehari-
hari...." pemuda itu berkelekar. 
Ciu In tersenyum sambil menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Gadis itu semakin bertambah lagi 
kagumnya kepada Liu Wan. Ternyata pemuda tampan 
itu masih memiliki satu kepandaian lagi, yaitu 
kepandaian menyamar. 
Tak terasa Ciu In mengambil bingkai sanjak burung 
hong itu. Sekali lagi dibacanya sanjak itu di dalam 
hatinya. Rasanya isi sanjak seperti tertuju pula pada 
dirinya. Ia merasa seperti burung hong pula, karena 
burung itu seperti telah lekat pada dirinya. Perlahan-
lahan ia memeluk bingkai sanjak itu di dada kirinya, 
tempat burung hong-nya selama ini bersemayam. 
Sementara Liu Wan menemui tamunya di atas 
jembatan penyeberangan. Mereka terdiri dari empat 
orang lelaki bersenjatakan tongkat besi. 
"Apakah kau yang bernama Tabib Ciok?" salah 
seorang dari lelaki itu bertanya dengan suara kasar. 127 
"Benar, Tuan. Tuan siapa...?" Liu Wan menjawab 
tenang. Sama sekali tidak terpengaruh oleh kekasaran 
lawannya. 
"Kami dari Kuil Pek-hok-bio! Pendeta kami sedang 
sakit dan kini membutuhkan kau! Maka dari itu kau 
harus ikut kami!" 
Liu Wan memandang tamunya dengan curiga. 
Jangan-jangan penyamarannya telah diketahui oleh 
lawannya. 
"Maaf, Tuan. Aku juga sedang melayani tamuku. 
Lebih baik Tuan membawa pendeta itu ke sini saja. 
Nanti aku akan mencoba mengobatinya." Liu Wan 
membuat alasan. 
"Tidak bisa! Kau harus ikut dengan kami! Kalau 
tidak mau, kami berempat akan memaksamu!" orang 
itu mengancam. 
Kedua pembantu Liu Wan mulai beranjak dan 
tempat mereka, tapi dengan cepat Liu Wan memberi 
isarat agar mereka tetap berdiam diri. Sementara itu 
Ciu In segera melangkah keluar pula begitu 
mendengar suara ribut-ribut mereka. Dengan cepat 
gadis itu berlari mendekati Liu Wan. 
"Ada apa, Tuan?" gadis itu bertanya kepada Liu 
Wan. 
"Mereka memaksa aku untuk ikut ke tempat 
mereka, tapi aku tidak mau. Dan sekarang mereka 
akan memaksa aku dengan kekerasan. Bagaimana ini, 
Nona? Nona tahu, aku tak begitu pandai bersilat...." 
Liu Wan pura-pura bingung. 128 
Ciu In hendak tertawa, namun tiba-tiba saja 
telinganya mendengar suara pemuda itu. "Nona! 
Mereka ini anak buah orang yang saya cari. 
Tampaknya mereka ditugaskan untuk menyelidiki 
aku. Sekarang tolonglah aku bersandiwara. Biarlah 
aku berlagak sebagai orang yang benar-benar tak 
begitu mengerti silat. Setelah itu aku nanti minta 
tolong kepadamu untuk mengusir mereka. Apakah 
kau berani melawan mereka?" 
Ciu In memandang Liu Wan yang telah 
mengirimkan suaranya dengan ilmu coan-im-ji-bit. 
Pemuda itu sekilas memberi tanda dengan kedipan 
matanya. Ciu In menarik napas panjang, pemuda itu 
benar-benar lihai bukan main. 
"Jangan banyak alasan! Ayoh... ikut kami!" 
Sambil membentak empat orang anak buah Pek-
hok-bio itu menubruk Liu Wan. Seorang memegang 
lengan kanan dan seorang lagi memegang lengan kiri 
Liu Wan. Sedangkan dua orang lainnya mencegat Ciu 
In dan dua orang pembantu Liu Wan. Semuanya 
sudah menyiapkan tongkat besi mereka. 
Liu Wan pura-pura melawan. Dengan sebagian 
kecil saja dari tenaganya, pemuda itu pura-pura 
mengibaskan kedua lengannya yang diringkus. Tentu 
saja usahanya itu sia-sia saja, karena orang yang 
ditugaskan Pek-hok-bio itu memang memiliki 
kepandaian yang cukup tinggi. Namun demikian Liu 
Wan masih tetap berpura pura mencoba untuk 
membebaskan diri dengan sekuat tenaganya. Bahkan 129 
pemuda itu juga mempergunakan kedua kakinya pula 
untuk menyepak ke sana kemari. 
Kedua orang yang memegangi lengan Liu Wan 
menjadi jengkel dan marah. Keduanya segera 
mempergunakan lengan mereka yang masih bebas 
untuk menampar pipi Liu Wan. Wuuut! Liu Wan 
pura-pura ingin mengelak sambil mengerahkan tenaga 
sakti ke pipinya. Namun pemuda itu sengaja 
memperlambat gerakannya sehingga kedua tamparan 
lawannya masih menyerempat pipinya. 
Plaak! Plaak! 
Liu Wan sengaja menjerit keras sekali, kemudian 
mulutnya menyemprotkan rontokan gigi dan darah 
segar yang cukup banyak. Setelah itu, seperti orang 
yang tidak takut mati saja, Liu Wan menendang ke 
kanan kiri ke arah kaki orang yang meringkus 
tangannya. Beberapa kali kaki pemuda itu hampir 
mengenai kaki lawannya sehingga orang-orang Pek-
hok-bio menjadi dongkol sekali. Mereka segera 
membalas tendangan Liu Wan itu dengan tendangan 
kaki mereka pula. Blug! Blug...! Tendangan mereka 
tepat mengenai paha Liu Wan! 
Lagi-lagi Liu Wan meraung keras sekali! Bahkan 
kali ini sampai mengeluarkan air mata pula. 
Tentu saja Ciu In dan kedua pembantu Liu Wan 
menjadi kaget bukan main. Tapi sebelum mereka 
bergerak maju, telinga mereka lagi-lagi mendengar 
suara Liu Wan yang dikirim dengan ilmu Coan-im-ji-
bit! 130 
"Lo Kang dan Lo Hai jangan ikut campur. Kalian 
justru harus berpura-pura ketakutan malah. Dan Nona 
Tio, kau cepatlah menghajar mereka! Jangan biarkan 
mereka berlaku semaunya terhadapku! Aku bisa 
benar-benar kehilangan kesabaranku nanti!" 
"Baik...!" Ciu In berseru keras tak terasa. 
"Uuuh...!" Lo Kang dan Lo Hai mengeluh kecewa, 
kemudian seperti orang yang menjadi ketakutan 
mereka mundur kembali ke pintu pondok. 
Ciu In mencabut pedang pendeknya, lalu menerjang 
orang yang tadi menghadangnya. Pedangnya yang 
sebelah kiri tetap bertahan di depan dadanya, 
sementara pedang kanannya menabas ke depan, ke 
arah dua orang Pek-hok-bio yang menghalangi 
jalannya. 
Jembatan itu memang tidak begitu lebar, dan hanya 
cukup dua orang yang berjalan berbareng. Oleh 
karena itu ke dua orang lawan yang ada di depannya 
memang harus disingkirkan dulu oleh Ciu In untuk 
membantu Liu Wan. 
Kedua orang Pek-hok-bio itu ternyata cukup 
berhati-hati. Melihat Ciu In memegang sepasang 
pedang pendek dengan gerakan yang tangkas dan 
cekatan, mereka segera bisa menduga kalau gadis itu 
seorang pendekar wanita yang pandai 
mempergunakan pedang. Oleh karena itu mereka tak 
segera melayani serangan pertama Ciu In itu. Mereka 
justru bersiap siaga terhadap perkembangan dari 
serangan berikutnya. Keduanya tidak menangkis atau 131 
balas menyerang, tapi malah melompat ke samping, 
dengan bertengger di atas pagar jembatan. 
Kecurigaan mereka itu ternyata memang benar. 
Serangan pertama Ciu In tadi memang hanya sebuah 
pancingan. 
Demikian lawannya menangkis dengan tongkat besi 
mereka, Ciu In bermaksud menyusulinya dengan 
serangan pedang kirinya yang telah siap di depan 
dadanya. Serangan itu tentu akan sulit sekali 
dihindarkan oleh lawan, karena senjata mereka sedang 
mereka gunakan untuk menangkis pedang kanannya. 
Tapi karena orang-orang Pek-hok-bio itu tidak 
terjebak ke dalam pancingannya, bahkan kedua orang 
itu sekarang justru berada di kanan kirinya, Ciu In 
terpaksa mengambil jalan paling aman, yaitu 
berjumpalitan terus ke depan. Dan langkahnya ini 
memang telah menyelamatkan tubuhnya dari gebugan 
tongkat besi lawannya. 
Namun pada saat itu juga tiba-tiba terdengar suara 
lengking kesakitan dari mulut Liu Wan! Dan ketika 
Ciu In menoleh, dilihatnya tubuh pemuda itu 
terlempar ke dalam empang! 
"Biarkan tabib yang tak berguna itu terbenam di 
dalam air. Kita ringkus saja gadis cantik itu untuk 
hiburan nanti malam!" Salah seorang dari kedua orang 
yang memegangi tangan Liu Wan itu berseru. 
Ciu In berdiri tegak kembali. Sekarang ia benar-
benar dikepung oleh empat orang lawan. Dua orang di 
depan dan dua orang di belakangnya. Tapi ia sama 132 
sekali tidak merasa gentar, la sangat percaya pada 
ilmu pedangnya yang telah ia tekuni lebih dari 
sepuluh tahun lamanya. 
Matahari telah jauh bergulir ke arah barat. Pada saat 
yang bersamaan, Siau In sedang berlaga dengan maut. 
Gadis centil itu juga sedang memegang sepasang 
pedang pendeknya untuk menghadapi golok hitam 
ketua Hek-to-pai! Keduanya sedang berputar-putar di 
arena untuk mencari kelengahan lawan. 
Ketika kemudian It Kwan menggerung keras 
sambil menyabetkan goloknya ke pinggang Siau In, 
gadis itu cepat-cepat menjejakkan kakinya ke tanah, 
sehingga tubuhnya yang mungil itu melesat ke atas 
seperti burung walet meninggalkan sarangnya. Sambil 
melayang gadis itu berusaha menghunjamkan kedua 
bilah pedangnya ke dahi dan leher It Kwan. Jurus itu 
dinamakan Burung Rajawali Menyambar Mutiara dan 
merupakan jurus ke empat dari ilmu pedang ajaran 
pendekar Giam Pit Seng. 
It Kwan tergetar hatinya. Walaupun masih amat 
muda ternyata lawannya memang benar-benar lihai 
bukan main. Ilmu silatnya ternyata tidak lebih rendah 
dari pada ilmunya sendiri. Bahkan ginkang gadis itu 
terasa lebih gesit daripada ilmu meringankan 
tubuhnya. 
"Gila! Giam Pit Seng memang bukan orang 
sembarangan!" umpat It Kwan di dalam hatinya. 133 
Tubuhnya cepat merendah untuk menghindari patukan 
pedang lawannya. 
Begitu tubuh Siau In lewat dari atas kepalanya, It 
Kwan segera membalikkan badannya seraya 
mengayunkan goloknya ke depan. Lagi-lagi ia 
menyerang pinggang Siau In yang baru saja mendarat 
ke atas tanah. Dan kali ini tampaknya mata golok itu 
benar-benar akan bisa membelah pinggang Siau In. 
Meskipun pengalamannya masih kurang, namun 
Siau In telah dibekali dengan ilmu silat tinggi oleh 
gurunya. Sambaran golok It Kwan yang meluncur dari 
arah belakang itu segera dicium oleh nalurinya. 
Sambaran udara dingin yang disertai bau amis itu 
cepat dielakkannya dengan cara meliukkan tubuhnya 
ke depan, disertai dengan jejakan ujung sepatunya ke 
atas tanah yang baru saja dipijaknya. Otomatis badan 
Siau In bergeser ke depan, sehingga tabasan golok It 
Kwan yang meluncur ke arah pinggangnya itu 
membabat udara kosong. 
Demikianlah keduanya tak pernah mengendorkan 
senjata mereka. Dengan pedang pendeknya Siau In 
tampak lebih lincah dan lebih gesit gerakannya 
daripada It Kwan yang sudah berumur dan bersenjata 
golok hitam yang amat berat. Tetapi sebaliknya, 
dengan jenis senjatanya yang lebih berat, 
pengalamannya yang lebih luas, dan kematangannya 
yang lebih mendalam daripada Siau In maka It Kwan 
bisa melayani kelincahan gerak dan kehebatan ilmu pedang gadis itu. Yang jelas Siau In tidak berani 
beradu tenaga dengan ketua Hek-to-pai tersebut. 
Belasan jurus segera berlalu dengan cepatnya. 
Kelincahan dan kegesitan Siau In mulai kendor pula 
akhirnya. Namun sebaliknya tenaga dan kemampuan 
It Kwan pun juga telah menyusut pula. Tentu saja 
keadaan ini benar-benar di luar dugaan ketua Hek-to-
pai itu. Sebagai seorang ketua perguruan yang cukup 
ternama di daerah itu, ia benar-benar merasa malu dan 
terpukul harga dirinya. Masakan seorang lelaki tua 
yang sudah kenyang makan garam di dunia persilatan, 
sehingga ia mampu memimpin sebuah partai 
persilatan yang memiliki banyak murid, seperti 
dirinya, ternyata hanya dipermalukan oleh seorang 
bocah perempuan yang belum hilang bau pupuknya. 
"Betina busuk! Akan kurejam tubuhmu! Akan 
kucincang dagingmu!" berulang kali ia mengumpat 
dan memaki saking geramnya. 
_-_&&&__

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT