EKALI lagi lelaki beruban itu tersenyum.
"Nah... inilah salah satu jebakan yang dibuat
oleh panitia perlombaan. Barang itu memang
cuma sebuah patung. Tapi kenapa mesti
yang lainnya? Nah... peserta yang cerdik tentu bisa
menebak maksudnya. Dan... inilah memang yang
pengabdiannya kepada raja. Kalau semua persyaratan
kepalanya. "Ya... ya, benar...!" ucapnya lirih penuh
"Yah, sudahlah. Kau tak perlu menyesal lagi.
Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya tertunduk
kehilangan akal. Ia baru tersadar kembali ketika para
Kakek itu tertawa. Suaranya terdengar mengerikan,
di bawah pohon siong bersama orang lain. Rasanya
memang aneh. Pohon itu ada sepuluh tombak lebih
kerumunan penonton yang memadati tempat itu.
49
Namun demikian hanya dalam sekejap orang itu telah
berada di sana, dan bahkan tanpa sepengetahuannya
pula.
"Ya-ya... memang dia yang... eh?!?" Sekali lagi
pemuda itu terkejut. Pemuda jangkung dan kakek
mengerikan tadi ternyata sudah tidak ada pula di
sampingnya. Rasanya seperti hantu yang dapat
menghilang begitu saja.
"Ah...!" desahnya pucat dan tiba-tiba ingatannya
seperti terbuka kembali. "Pemuda itu! Bukankah dia
yang membuat keributan tadi?"
Sementara itu di bawah pohon siong lelaki beruban
itu masih berbicara dengan temannya. Lelaki itu
tampak sangat penasaran, sedangkan kawannya
kelihatan lesu dan kehilangan semangat.
"Jadi... kau tak bisa menangkapnya? Lalu di mana
dia sekarang?"
"Suheng, apa yang dikatakan Tong Tai-su memang
benar. Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Pemuda
itu sedang berusaha menyelidiki "Perlombaan
Mengangkat Arca". Kepandaiannya hebat sekali dan
aku sama sekali bukan tandingannya. Apalagi dia
tidak sendirian...."
"Dia tidak sendirian? Eh, Su Hiat Hong... tolong
kauceritakan saja semuanya agar jelas!"
Orang yang bernama Su Hiat Hong itu memandang
ke sekelilingnya. Dilihatnya semua orang melihat ke
arah panggung dan tak seorang pun memperhatikan
mereka. 50
"Baiklah, Lim Suheng, akan kuceritakan...."
Ketika berusaha mengejar pemuda pengganggu
panggung lui-tai tadi, ternyata Su Hiat Hong telah
kehilangan jejak. Pemuda kurus kerempeng itu lenyap
berbaur dengan penonton yang berjubel. Walaupun Su
Hiat Hong berusaha mencari, namun pemuda itu tetap
tak bisa diketemukan. Akhirnya Su Hiat Hong
melangkah ke jalan, menuju warung A Liong tadi.
Tiba-tiba mata Su Hiat Hong terbelalak. Dari jauh
dilihatnya pemuda itu keluar dari warung A Liong dan
berjalan cepat ke utara. Langkahnya tampak amat
tergesa-gesa, menyelinap ke sana ke mari di antara
para pejalan kaki yang lalu lalang di jalan.
Su Hiat Hong cepat mengikuti dari belakang.
Dengan berlari-lari kecil ia berusaha mendekatinya.
Tapi pemuda itu seperti merasa kalau sedang diikuti.
Satu kali kepalanya menoleh ke belakang, lalu
berjalan lebih cepat lagi, sehingga lagi-lagi Su Hiat
Hong kehilangan jejak. Pemuda itu hilang di antara
kerumunan orang.
Su Hiat Hong melangkah perlahan-lahan sambil
berusaha menemukan kembali buruannya. Kakinya
melangkah sampai ke Pintu Gerbang kota sebelah uta-
ra, tapi pemuda itu tetap tidak kelihattan batang
hidungnya. Tak terasa kakinya melangkah ke luar
Pintu Gerbang, berjalan di atas jembatan gantung
yang melintang di atas parit besar yang mengelilingi
tembok kota. Beberapa orang prajurit pengawal pintu
gerbang tampak berjaga-jaga di kanan kiri jembatan 51
tersebut. Mereka juga kelihatan santai dan bergembira
meskipun harus tetap bertugas di hari bahagia itu.
Sekali lagi Su Hiat Hong terkejut. Tak terduga
matanya yang mengawasi jalan lurus di luar tembok
kota itu melihat bayangan pemuda yang diburunya.
Meskipun amat jauh, tapi mata Su Hiat Hong segera
dapat mengenalnya.
Tanpa membuang waktu lagi Su Hiat Hong
melompat mengejarnya. Ia tak mempedulikan
pandangan orang yang berpapasan dengannya. Tapi
pemuda yang diburunya itu sekonyong-konyong juga
berlari pula. Semakin lama menjadi semakin cepat,
sehingga akhirnya mereka berdua saling berkejaran di
jalanan itu.
Su Hiat Hong merasa dongkol dan penasaran.
Pemuda itu seperti mempermainkannya. Larinya
kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Apabila
jaraknya terlalu jauh pemuda itu mengendorkan
langkahnya. Tetapi bila sudah dekat, tiba-tiba kakinya
melompat dengan langkah yang panjang-panjang.
Semakin jauh jalan itu semakin sepi dan jelek
keadaannya. Di kanan-kiri jalan mulai terlihat semak
belukar dan pohon-pohon besar. Bahkan agak jauh
dari jalan sudah terlihat hutan rimba. Tiba-tiba
pemuda itu membelokkan langkahnya ke dalam hutan,
dan sedetik saja bayangannya telah lenyap.
Su Hiat Hong berbelok dan menerobos hutan itu
pula. Namun beberapa saat kemudian ia menjadi
sadar, bahwa sangat berbahaya memburu musuh di 52
dalam hutan. Salah-salah dirinya bisa terjebak atau
dibokong lawan dari belakang.
"Kurang ajar...!" geramnya perlahan sambil
menghentikan langkah.
Dengan penuh kewaspadaan Su Hiat Hong
mengawasi lebatnya semak belukar di depannya.
Hatinya benar-benar menjadi geram. Perasaannya
mengatakan bahwa pemuda itu telah tahu kalau
sedang diikuti dan kini sedang berusaha
mempermainkannya.
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku kembali saja. Tak
baik aku menurutkan perasaan. Salah-salah malah bisa
celaka kalau aku nekad menerobos hutan ini. Hemm,
siapa tahu anak itu sudah menunggu dan memasang
jebakan di balik rimbunnya dedaunan? Yaaah,
sudahlah...."
Su Hiat Hong membalikkan tubuhnya dan
melangkah keluar dari hutan itu. Tapi baru beberapa
tindak ia berjalan, mendadak telinganya mendengar
suara orang bernyanyi. Suaranya tidak terlalu keras,
namun sangat jelas ucapan maupun kata-katanya.
Diam-diam Su Hiat Hong menjadi tegang. Suara itu
justru berasal dari jalan yang dia lalui tadi.
Burung kecil terbang sendiri.
Tiada kawan tiada saudara.
Menentang badai di medan laga.
Dengan cucuran darah dan air mata! 53
Su Hiat Hong berhenti beberapa tombak dari
pinggir jalan. Matanya tertuju ke sebatang pohon pek
besar yang rindang di tepi jalan. Di bawah pohon itu
kelihatan seorang pemuda yang duduk melenggut
sambil bernyanyi. Dan Su Hiat Hong segera
mengenalnya, karena orang itu tiada lain adalah
pemuda yang diburunya.
"Gila!" Su Hiat
Hong mengumpat
di dalam hati.
"Bocah itu benar-
benar sedang
mempermainkan
aku. Aku harus
hati-hati. Ia seperti
memiliki
kepandaian yang
tinggi."
Selangkah demi
selangkah Su Hiat
Hong datang
menghampiri,
kemudian berhenti
beberapa langkah dari pemuda itu. Pemuda itu
mengangkat wajahnya dan menghentikan
nyanyiannya.
Su Hiat Hong terkejut. Setelah melihat dari jarak
dekat barulah ia ketahui betapa masih mudanya orang 54
itu. Muda dan tampan, walaupun caranya berpakaian
kurang rapi dan berkesan seenaknya sendiri.
"Hemm, apakah Tuan mencari aku?" dengan suara
berat pemuda itu bertanya.
Pertanyaan itu membuat Su Hiat Hong menjadi
gugup dan bingung, karena sebenarnya ia juga tak
tahu untuk apa mengejar pemuda tersebut. Ia cuma
melaksanakan perintah kawannya, sehingga tidak siap
kalau mendadak harus berhadapan seperti itu.
"Ya-ya, benar... eh-eh, aku ingin tahu... siapa
sebenarnya kau ini?"
Tak terduga pemuda itu tertawa nyaring. "Hahaha,
sungguh aneh! Akulah sebenarnya yang harus
bertanya kepada Tuan, bukan sebaliknya. Tuanlah
yang mengejar-ngejar aku. Ingin bertemu atau ingin...
menangkap aku, padahal aku tidak merasa kenal dan
tidak merasa mempunyai urusan dengan tuan."
Pemuda itu perlahan-lahan berdiri. Wajahnya yang
agak pucat dengan pandang mata dingin itu sungguh
terasa mencekam dan menggiriskan hati. Tak terasa
kaki Su Hiat Hong melangkah setindak ke belakang.
"Tuan, aku bertanya kepadamu. Siapakah...
engkau? Mengapa engkau mengejar ngejar aku?
Jawablah!" pemuda itu mendesak dengan suara
berubah kaku.
Wajah Su Hiat Hong menjadi merah.
Bagaimanapun juga ia tak ingin ditekan orang.
Apalagi ia merasa memiliki kedudukan tinggi dan
mendapatkan tugas khusus dari kota raja 55
"Ketahuilah, Anak muda. Aku seorang utusan dari
kota raja, yang menangani urusan "Perlombaan
Mengangkat Arca" di kota Hang-ciu ini. Nah, engkau
tadi telah membuat ribut di atas panggung. Itulah
sebanya aku mengejarmu. Pahamkah kau sekarang?"
Su Hiat Hong balas menggertak.
Pemuda itu tertegun. "Oh, jadi Tuan adalah petugas
khusus dari kota raja? Wah-wah, maafkanlah aku
Ciang-kun. Mataku benar-benar buta, tak bisa melihat
gajah di depan hidung...." katanya kemudian sambil
membungkukkan tubuh.
Su Hiat Hong mendengus dan tak mempedulikan
sikap lawannya, la tahu pemuda itu cuma berbasa-basi
saja. la melihat senyum tipis di bibir pemuda itu.
"Engkau tak perlu berbasa-basi, apalagi menyebut
Ciang-kun kepadaku. Aku hanya seorang utusan, jadi
belum tentu aku ini seorang perwira. Bukankah aku
tidak mengatakannya kepadamu?"
Mata yang dingin tajam seperti mata burung hantu
itu mendadak berubah menjadi liar, seperti layaknya
burung hantu kalau lagi marah. Otomatis kaki Su Hiat
Hong melangkah lagi setindak ke belakang.
Namun sekejap kemudian mata itu menjadi tenang
kembali. Bahkan dari hidung pemuda itu terdengar
suara tarikan napas yang panjang sekali.
"Ah, Ciang-kun... kau tak perlu berbohong
kepadaku. Rasanya semua orang juga bisa
menebaknya, karena seorang yang mendapatkan
kepercayaan dari kota raja untuk mengatasi jalannya 56
perlombaan penting itu tentulah bukan petugas
berpangkat rendah. Dan khusus untuk "Perlombaan
Mengangkat Arca", yang konon diselenggarakan
untuk mencari bibit bibit Pasukan Pengawal Istana,
tentunya utusan yang dikirim juga dari kalangan
pasukan istana, bukan?"
Su Hiat Hong menghela napas panjang melihat
kecerdikan lawannya. Ia semakin berhati-hati
menghadapi pemuda itu.
"Terserah kepadamu. Aku tak ingin berbantah
tentang hal ini. Sekarang katakan saja kepadaku,
siapakah namamu? Darimana asalmu? Dan apa
maksudmu membuat ribut di panggung tadi?"
Pemuda itu menengadahkan kepalanya, lalu
tersenyum, sehingga seorang perwira kerajaan yang
memiliki banyak pengalaman seperti Su Hiat Hong
pun tidak bisa menebak apa yang sedang berkecamuk
di dalam hati pemuda aneh itu.
"Baiklah, Ciang-kun, akan kujawab pertanyaanmu,
walaupun sebenarnya aku tak menyukainya. Aku
hanya berharap bahwa Ciang-kun nanti juga akan
mau. menjawab pertanyaanku pula."
"Asalkan aku bisa menjawab dan tidak
bertentangan dengan rahasia negara, aku tentu akan
menjawabnya...."
Sekali lagi pemuda itu menentang mata Su Hiat
Hong dengan tajam. "Ci-angkun, namaku Tong Sia...
Chin Tong Sia. Aku adalah anggota Aliran Beng-kau
yang berpusat di kota Sin-yang!" 57
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Su Hiat
Hong. Banyak sekali aliran keagamaan yang tumbuh
dan berkembang pesat pada saat itu, tapi hanya
beberapa aliran saja yang benar-benar besar, terkenal
dan disegani orang, yaitu Aliran Mo-kau, Im-yang-
kau dan Beng-kau! Selain mempunyai anggota yang
amat banyak dan tersebar di seluruh pelosok negeri,
ketiga aliran agama itu memiliki banyak tokoh-tokoh
sakti di dalamnya. Namun demikian dari ketiga a-liran
itu Beng-kau - lah yang paling banyak
dipergunjingkan orang. Selain para penganutnya
sangat tertutup, aliran itu juga memiliki adat
kebiasaan dan aturan-aturan yang aneh, yang tidak
lazim dilakukan oleh masyarakat umum.
"Tapi aku mendengar bahwa setiap anggota Aliran
Beng-kau menggunakan nama dengan huruf 'PUT' di
depannya."
"Benar. Setiap anggota Aliran Beng-kau yang
sudah menyelesaikan pengabdian wajibnya selama
sepuluh tahun, dan kemudian dianggap telah mampu
menyebarkan pengaruh serta mendapatkan
kepercayaan dari para sesepuh kami, maka akan
memperoleh sebutan 'PUT' di depan namanya."
"Apakah kau juga sudah mendapatkan sebutan itu?"
Pemuda itu mengangguk. "Nama lengkapku
sekarang adalah Put-tong-sia!"
"Baiklah...." Su Hiat Hong mendesah. "Sekarang
katakan yang sebenarnya, apa maksud dan tujuanmu
membuat keributan di atas panggung tadi?" 58
Wajah pemuda itu tampak tegang kembali.
Matanya kelihatan menyala, sementara giginya
terkatup rapat.
"Aku tak menyukai "Perlombaan Mengangkat
Arca" itu! Aku merasa ada sesuatu yang kotor di balik
penyelenggaraannya. Aku tak percaya kalau
perlombaan itu dikatakan untuk memperoleh bibit-
bibit unggul bagi Pasukan Pengawal Istana!
Semuanya bohong!" Put-tong-sia berkata dengan
suara berapi-api.
Su Hiat Hong tersentak kaget. "Apa maksudmu...?"
Sekali lagi pemuda itu menggertakkan giginya.
"Maksudku? Hmh, maksudku ... perlombaan itu cuma
kedok belaka! Ada maksud tertentu di balik semuanya
itu! Maksud-maksud kotor yang dibuat dan
direncanakan oleh oleh orang-orang atau pihak-pihak
tertentu di istana kerajaan! Memang, sampai saat ini
aku belum dapat membuktikannya...."
"Pu-tong-sia! Kau jangan omong sembarangan!
Kau berhadapan dengan petugas kerajaan di sini,
bahkan seorang petugas khusus dari istana di kota
raja! Kau bisa dianggap sebagai pemberontak dan
dapat ditangkap! Tahu...?" Su Hiat Hong membentak.
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak takut.
Kakinya justru melangkah dua tindak ke depan.
Sikapnya pun berubah menjadi dingin dan kaku.
"Persetan dengan ancaman itu! Aku tidak takut!"
ucapnya tegas. 59
"Gila...!" Su Hiat Hong menggeram melihat
kekerasan lawannya. "Apa sebenarnya alasanmu?
Mengapa kau mempunyai dugaan seperti itu?"
Put-tong-sia tidak segera menjawab. Matanya yang
mencorong liar itu menatap Su Hiat Hong dengan
tajamnya.
"Ciang-kun, kau tak perlu bersandiwara di depanku.
Sebagai utusan langsung dari kota raja, kau tentu
mengetahui rahasia di balik penyelenggaraan
Perlombaan Mengangkat Arca ini. Nah, sekarang
katakanlah...!"
Su Hiat Hong terkesiap. Hatinya tiba-tiba berdesir
keras. Sejak semula ia memang curiga akan keanehan
dan keganjilan cara pelaksanaan Perlombaan
Mengangkat Arca itu. Tidak sewajarnya kalau
perlombaan seperti itu sampai harus melibatkan
petugas-petugas khusus dari kota raja, bahkan dengan
cara rahasia pula, sementara para pejabat daerah yang
seharusnya lebih tahu dan lebih bertanggung jawab
tidak diikut-sertakan. Tapi sebagai petugas dia
memang tak bisa berbuat apa-apa. Ia dan kawan-
kawannya, seperti Lim Kok Liang dan Tong Tai-su,
hanya melaksanakan tugas saja.
"Ciang-kun, mengapa kau tak menjawab?"
Su Hiat Hong menghela napas berat "Ah, kukira
kau telah salah menduga Put-tong-sia. Tak ada rahasia
apa pun di balik Perlombaan Mengangkat Arca itu.
Percayalah!" katanya meyakinkan seperti diucapkan
kepada dirinya sendiri. 60
Tiba-tiba Put-tong-sia tersenyum dingin.
"Benarkah, Ciang-kun? Kau berani bersumpah?
Hemmm... Ciang-kun, kau memang keras kepala. Aku
tahu bahwa kau tidak berkata sejujurnya. Dari caramu
berbicara saja aku dapat menduga bahwa kau
berbohong. Nah, Ciang-kun... jangan salahkan aku
kalau aku terpaksa menggunakan kekerasan untuk
memaksamu berbicara!"
Bagaimanapun Su Hiat Hong adalah seorang
perwira. Hatinya menjadi panas juga didesak orang
sedemikian rupa. Apa lagi orang itu cuma seorang
bocah yang belum ia ketahui kemampuannya. Jelek-
jelek ia bukan tokoh sembarangan di kota raja. Di
kalangan para perwira Pasukan Rahasia, ilmu
pedangnya Sin-ho-kiam hoat (Ilmu Pedang Bangau
Sakti) belum pernah ada yang mengunggulinya.
"Huh, bagus... kau benar-benar ingin
memberontak?" Su Hiat Hong menggeram seraya
menghunus pedangnya.
Put-tong-sia meringis seperti mau mencemooh
ancaman itu. Tanpa berkata-kata lagi tangan kanannya
menyambar ke depan untuk merebut pedang
lawannya. Gerakannya cepat bukan main sehingga Su
Hiat Hong tersentak kaget dan buru-buru bergeser
selangkah ke belakang Kemudian dengan terburu-
buru pula pedang itu diputarnya di depan dada untuk
menahan serangan selanjutnya. 61
Ternyata pemuda itu tidak melanjutkan
serangannya. "Ayoh, Ciang-kun, balaslah...! Kenapa
diam saja?"
"Gila! Mengapa kau tak mengeluarkan senjata?
Apa kau merasa lebih hebat daripada aku?"
"Hoho-haha-hihihi...!" Tiba-tiba Su Hiat Hong
dikejutkan oleh suara tawa yang menggema di antara
pepohonan di tempat itu.
"Suheng...! Mengapa kau ikut kemari?" Put-tong-
sia berseru.
"Apa tak boleh, heh? Kau tinggalkan aku di
halaman kabupaten itu sendirian! Huh, sementara kau
di sini bersenang-senang main kejar dan sembunyi!
Nah, sekarang aku ikut! Carilah tempat
persembunyianku, hoho-haha-hihihi...!"
Diam-diam bergetar juga hati Su Hiat Hong. Dari
getaran suaranya yang kuat dan mantap, serta sulit
dicari arah sumbernya itu, ia bisa menduga bahwa
pemilik suara tersebut tentu telah mencapai
kesempurnaan di dalam ilmunya. Celakanya, orang itu
tampaknya berada di pihak lawan.
"Ah, aku sedang tidak ada waktu. Lebih baik
Suheng bermain sendiri."
"Kurang ajar, enak saja kau bicara! Masakan orang
bermain sembunyi dan kejar-kejaran hanya sendirian
saja? Kau-kira aku sudah gila, ya? Ayoh, cari aku!
Kalau tidak mau, hmmh... kubunuh kau!" suara itu
mengancam. 62
"Edan!" Su Hiat Hong menggerutu sambil mencari-
cari di mana sumber suara itu berasal. "Orang-orang
Beng-kau memang tidak waras semuanya...."
"Tapi aku akan berkelahi dulu dengan orang ini...."
sungut Put-tong-sia dengan nada kesal.
"Aku tak peduli! Pokoknya kau harus menemukan
tempat persembunyianku! Kalau tidak, kubunuh kau!
Habis perkara!" suheng Pu-tong-sia yang tidak mau
menampakkan diri itu berteriak marah.
"Baik... baiklah, Suheng, aku akan mencarimu.
Tapi... apa hadiahnya kalau kau bisa kutemukan, hei?"
Put-tong-sia buru-buru mengalah begitu suhengnya
marah.
"Kau akan kugendong sampai ke kota apabila bisa
menemukan aku."
"Ah, tidak mau! Masakan cuma digendong
hadiahnya?"
"Lho...? Apalagi? Bukankah enak sekali digendong
orang?"
"Huh... apa enaknya digendong? Aku sudah
kenyang dan bosan kaugendong."
"Lalu kau minta hadiah apa, anak tolol?"
"Ajari aku jurus "Menerobos Lobang Pintu Jala"
kebanggaanmu itu! Bagaimana?"
"Bocah Goblok! Pemalas! Tolol! Bukankah setiap
hari aku dan Susiok sudah mengajarimu? Otakmulah
yang tumpul sehingga jurus itu tidak bisa kau kuasai
dengan baik!" 63
Put-tong-sia tidak menjadi marah oleh maki-makian
itu. Mulutnya justru tertawa, sementara matanya
memandang berkeliling, mengawasi pucuk-pucuk
pepohonan yang bergoyang-goyang. Tiba-tiba
pandangannya tertuju pada kawanan lebah yang
beterbangan di sekeliling pohon si-ong tua di pinggir
jalan. Dan di lain saat suara tertawanya menjadi
semakin keras dan nyaring.
Begitu tawanya berhenti Put-tong-sia menatap Su
Hiat Hong kembali. "Maaf, Ciang-kun, ternyata
Suhengku datang mengganggu permainan kita. Tapi
Ciang-kun tak perlu khawatir, dia takkan mencampuri
urusan ini. Percayalah....!"
"Aku tidak perduli! Kalau perlu dia boleh manju
sekalian mengeroyokku!"
"Ah, kukira tidak perlu, Ciangkun. Kau bisa repot
melayaninya nanti. Bahkan tidak cuma kau, seluruh
pasukanmu di kota raja akan menjadi repot bila
berhadapan dengannya. Kau sudah mengenal
Suhengku, Ciangkun?"
"Buat apa aku mengenal Suhengmu? Apakah
namanya begitu hebat dan terkenal di dunia
persilatan?" Su Hiat Hong mendengus.
Put-tong-sia tersenyum dan sama sekali tidak
merasa tersinggung atas sikap lawannya. "Ah,
Suhengku memang tidak punya nama besar di dunia
kang-ouw. Nama Put-pai-siu Hong-jin (Si Gila Yang
Tak Tahu Malu) memang cuma dikenal oleh jago-jago
silat kampungan...." 64
"Put-pai-siu Hong-jin...?" Su Hiat Hong berdesah
kaget.
Aliran Beng-kau memang sangat tertutup sehingga
tokoh-tokohnya tidak banyak dikenal orang, kecuali
nama Put-pai-siu Hong-jin tersebut. Nama itu dikenal
oleh hampir setiap tokoh persilatan, meskipun banyak
di antara mereka yang cuma mendengar nama itu
tanpa pernah melihat wajah pemiliknya. Mereka
hanya mendengar sepak terjang tokoh itu yang angin-
anginan, suka membawa adatnya sendiri, namun
memiliki kesaktian yang amat tinggi, sehingga orang
menjadi segan berurusan dengannya.
"Ah, tampaknya Ciangkun pernah mendengar nama
itu?"
"Ya-ya, aku... aku pernah mendengarnya." Su Hiat
Hong menjawab gugup.
"Hei, Sute! Bagaimana...? Kau mau tidak?" suara
teriakan Put-pai-siu Hong-jin kembali terdengar.
Keras sekali, tapi Su Hiat Hong tetap tidak bisa
mencari sumber suara itu.
"Pokoknya... Suheng mau mengajari jurus
"Menerobos Lobang Pintu Jala" tidak?" Put-tong-sia
balas berteriak.
"Baik! Baik Cepatlah! Tapi kalau sampai tiga kali
kuajari kau tetap tidak bisa, kuketok kepalamu sampai
benjol! Ayoh, sekarang cari aku!"
Put-tong-sia memandang Su Hiat Hong. "Ciangkun,
apakah kau sudah tahu tempat persembunyian
Suhengku?" 65
"Huh!" Perwira itu mendengus tanpa menjawab.
Put-tong-sia tertawa kecil. Tiba-tiba ia berpaling ke
pohon siong tua yang tumbuh di dekat jalan.
"Nah, Suheng, kau turunlah dari pohon siong itu!
Hati-hati, di dekatmu ada sarang lebah! Kau bisa
dikeroyok bila menyentuhnya!"
Su Hiat Hong terkejut. Ia sama sekali tak melihat
bayangan manusia di balik rimbunnya daun pohon
siong tersebut. Namun rasa kaget segera berubah
menjadi rasa penasaran, karena orang itu benar-benar
bersembunyi di sana.
"Kurang ajar...! Bagaimana kau bisa tahu aku
bersembunyi di sini?"
Pohon itu bergoyang-goyang, tapi Put-pai-siu
Hong-jin tetap tidak mau menampilkan dirinya.
Hanya kawanan lebah saja yang semakin banyak
beterbangan di sekeliling pohon itu.
"Ah, tololnya aku!" Su Hiat Hong berdesah di
dalam hati mengumpati kebodoh annya. Ternyata Put-
tong-sia lebih cerdik daripada dia. Pemuda itu bisa
menebak persembunyian suhengnya karena melihat
gerakan kawanan lebah tersebut.
"Nah kau telah kalah bertaruh lagi, Suheng!" Put-
tong-sia berseru.
"Anak Iblis! Belut Licin! Bocah Cerdik! Kawanan
lebah ini memang menjengkelkan!" akhirnya Put-pai-
siu Hong-jin mengumpat-umpat pula setelah
mengetahui penyebab kekalahannya. 66
"Suheng tak perlu marah-marah, hehe he! Sekarang
tunggu saja di situ, aku akan melayani Ciangkun ini
dahulu!"
Su Hiat Hong cepat melintangkan pedangnya di
depan dada. Sambil merendahkan tubuh ia bersiap
siaga menghadapi lawannya. "Ayoh, keluarkan saja
senjatamu...!" geramnya.
Tapi dengan sikap yang masih tetap santai Put-
tong-sia mengelengkan kepalanya. "Ciangkun,
tampaknya kau belum mengenal Aliran Beng-kau,
sehingga tak tahu kalau anggota Beng-kau tak pernah
membawa senjata. Senjata mereka adalah tubuhnya.
Tangannya, kakinya, dan... pakaian yang
dikenakannya."
Wajah Su Hiat Hong menjadi merah. "Terserah
kepadamu! Tapi jangan salahkan aku bila pedangku
ini tak bisa kauelakkan!"
"Hahahah, kita lihat saja nanti! Nah, mari kita
mulai...!"
Begitu selesai berbicara Put-tong-sia segera
meloncat ke depan. Tangan kanan nya menyambar ke
atas, seolah-olah mau meraih ubun-ubun Su Hiat
Hong, hingga perwira dari istana itu buru-buru
menyong songnya dengan sabetan pedang. Wuuut!
Terpaksa Put-tong-sia menarik kembali tangannya.
Dan Su Hiat Hong tidak mau kalah cepat.
Sementara lawannya menarik tangan, pedangnya
segera memburu dengan tusukan ke arah badan bagian
atas. Ujungnya bergetar, seakan-akan ingin memilih 67
sasaran yang dipilihnya, yaitu mata, leher, atau
jantung! Jurus ini disebut Burung Bangau Mematuk
Ikan, jurus ke tujuh dari Sin-ho Kiam-hoat.
"Oh, ternyata bagus juga ilmu pedangmu..."
Sambil memuji Put-tong-sia menggeliatkan
tubuhnya ke kanan untuk menghindar, sekaligus balik
menyerang dengan totokan ujung jarinya. Cussssss!
Hembusan angin panas menyertai serangan tersebut,
tertuju ke arah pergelangan tangan Su Hiat Hong yang
memegang pedang!
Terkesiap juga Su Hiat Hong menyaksikan
kesigapan lawannya, apalagi hembusan hawa panas
itu. Bergegas ia menarik tubuhnya ke belakang, lalu
memutar pedangnya untuk melindungi pergelangan
tangan. Cring...!
Ujung jari Pu-tong-sia yang berubah seperti tongkat
baja itu membentur badan pedang Su Hiat Hong.
Demikian keras dan kuatnya sehingga pedang itu
hampir terlepas dari genggaman. Untunglah perwira
itu cepat mengerahkan tenaga untuk
mempertahankannya.
Pengalaman itu membuat Su Hiat Hong semakin
berhati-hati. Dia sadar bahwa lawannya memiliki
kepandaian sangat tinggi. Oleh karena itu Su Hiat
Hong tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi, ia segera
mengerahkan seluruh kemampuannya.
Dikeluarkannya jurus-jurus Sin-ho Kiam-hoat yang
paling dia andalkan. 68
Pedang itu berputar dengan cepat membentuk
lingkaran, semakin lama semakin membesar.
Berbareng dengan itu Su Hiat Hong menerjang ke
depan, seolah-olah mau mencincang tubuh Put-tong-
sia. Terdengar gaung suara pedang itu menembus
angin.
Karena tidak memegang senjata, Put-tong-sia
terpaksa melompat ke belakang.
Tapi pedang itu terus mengejarnya, sehingga Put-
tong-sia harus menghindarinya dengan melenting
tinggi ke udara untuk mematahkannya. Huuup!
Seperti yang dilakukan di atas panggung tadi, Put-
tong-sia berjungkir balik di udara beberapa kali.
Lagi-lagi serangan Su Hiat Hong gagal menyentuh
lawan. Bahkan kedudukannya justru berbalik menjadi
berbahaya sekarang. Dari atas Put-tong-sia
menjejakkan kakinya ke bawah untuk menggempur
kepalanya.
"Bagus...!" Su Hiat Hong berdecak kagum seraya
membanting tubuhnya ke tanah dan menggelinding
pergi menjauhi lawan.
Put-tong-sia mendarat kembali di atas tanah,
sedangkan Su Hiat Hong cepat berdiri pula di atas
kakinya. Mereka kembali berhadapan dalam jarak
lima langkah. Masing-masing mempersiapkan dirinya.
"Bagus! Lihat pedang...!" Su Hiat Hong berseru
keras dan mendahului menyerang.
Put-tong-sia atau nama sebenarnya adalah Chin
Tong Sia itu cepat mengelak kemudian balas 69
menerjang dengan jari-jarinya yang ampuh. Sekejap
saja mereka segera terlibat dalam pertarungan seru. Su
Hiat Hong dengan pedangnya yang panjang,
sementara Put-tong-sia bergerak lincah dengan
ginkangnya yang tinggi.
Sin-ho-kiam-hoat memang memiliki jurus-jurus
yang kuat dan berbahaya. Meskipun inti gerakannya
lebih banyak bertumpu pada pertahanan, namun sekali
waktu juga dapat menyerang dengan ganas. Gerakan
kakinya tidak begitu banyak bahkan tampak sangat
sederhana.
Demikian pula
dengan gerakan-
gerakan tangan nya.
Pedang itu lebih
banyak
dipergunakan untuk
melindungi tubuh
daripada untuk
menyerang. Hanya
sekali-kali saja
ujung pedang itu
mematuk lawan.
"Wah... ilmu
pedangnya lumayan
juga! Sayang
gerakannya terlalu lamban!" tiba-tiba Put-pai-siu
Hong-jin memuji dari tempat persembunyiannya. 70
"Benar, Suheng! Kuda-kudanya juga kurang
kokoh...!"
Dapat dibayangkan betapa murkanya hati Su Hiat
Hong. Lawannya yang masih muda dan bertangan
kosong itu tampaknya amat memandang rendah ilmu
pedangnya.
"Bangsat sombong! Buktikan dulu, baru bicara!
Jangan banyak omong!"
"Haha-haha-haha,..! Suheng, kau membuatnya
marah!" Put-tong-sia tertawa sambil menghindar
sabetan pedang lawan.
Put-pai-sui Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh,
namun tidak meneruskan ejekannya. Dari sela-sela
tawanya justru terlontar sebuah pantun acak-acakan
yang disuarakan dengan nada sumbang.
Tikus kecil mandi di sungai.
Bulunya jelek, merah tak merata.
Aduhh Mak......!
Gadis manis mandi di pantai.
Tubuhnya molek, indah dipandang mata.
Tubuh Chin Tong Sia atau Put-tong-sia
berkelebatan ke sana ke mari untuk menghindari
pedang Su Hiat Hong, meskipun demikian ia masih
sempat mendengarkan pantun suhengnya.
"Jorok...! Suheng jorok! Pantun yang jelek!"
serunya kurang senang, lalu ikut-ikutan berdendang
dengan sajaknya sendiri. 71
Tikus kecil mandi di sungai.
Bulunya jelek, merah tidak merata.
Bujang kecil berurai air mata.
Wajahnya jelek, orang tua tiada.
Ooooh, nasib...... !
"Wah, bosan! Benar-benar membosankan! Sejak
zaman purbakala pantunmu melulu yang sedih-sedih
saja! Apakah kau tidak punya hapalan yang lain lagi,
heh, .,.?" tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin marah-marah.
"Biar! Memangnya kenapa? Yang penting aku
sendiri senang!" Chin Tong Sia membantah. Lalu
menyanyikan lagunya lagi. Bahkan lebih keras.
Tikus kecil mandi di sungai.
Bulunya jelek merah tak merata.
Aduuuh Mak......f
"Berhenti! Berhentiiiiii...! Mau berhenti tidak?
Kubunuh kau nanti!" Put-pai-siu menjerit berang.
Tangannya meraup daun pek di dekatnya.
Tapi Chin Tong Sia tetap tak peduli. Sambil
melayani serangan Su Hiat Hong ia tetap
menyanyikan pantunnya yang sedih. Tentu saja Put-
pai-siu Hong-jin benar-benar menjadi jengkel. Daun
yang tergenggam di tangannya disambitkan ke bawah,
ke arah Chin Tong Sia.
Siiuuut! Siuuut! Siuuut! 72
Meski daun itu hanya benda yang tipis dan ringan,
tapi begitu terlempar dari tangan Put-pai-siu Hong-jin,
bisa meluncur deras bagai pisau terbang, menebas ke
arah bagian-hagian berbahaya di tubuh sutenya.
Tentu saja Chin Tong Sia terkejut sekali. Pukulan-
pukulan tangannya yang sebenarnya sedang mendesak
Su Hiat Hong, terpaksa ditariknya kembali. Tubuhnya
yang kurus itu terpaksa melenting ke sana ke mari
untuk menghindarkan diri dari keganasan daun-daun
pek yang berbahaya.
Dan kesempatan ini tak disia-siakan oleh Su Hiat
Hong. Perwira pasukan rahasia kerajaan itu cepat
melompat meninggalkan pertempuran. Dengan
tangkas kakinya berlari menyusuri jalan yang menuju
ke kota Hang-ciu.
"Berhenti...!" Chin Tong Sia berteriak. Kakinya
menjejak tanah, dan tubuhnya meluncur ke depan
dengan cepatnya.
Tapi lagi-lagi Puit-pai-siu Hong-jin menaburkan
daunnya. Kali ini bahkan lebih banyak lagi. Semuanya
menerjang ke tempat-tempat yang mematikan di
badan sutenya.
"Suheng, kau...! Apa maumu sebenarnya?" pemuda
itu menjerit marah. Otomatis langkahnya tertunda,
sehingga sekejap kemudian buruannya telah hilang di
balik tikungan.
"Habis, kau telah membajak laguku! Kau ubah
pula! Mana aku mau mengerti, heh? Minta maaf dulu
kepadaku, baru aku mau berhenti menyerangmu!" 73
Chin Tong Sia mati-matian mengelakkan serangan
suhengnya. Setelah itu ia berdiri tertegun mengawasi
Put pai-siu Hong-jin yang sudah turun pula dari pohon
pek. Perlahan-lahan kejengkelan pemuda itu mereda.
Suhengnya telah kumat gendengnya., Kalau dilayani
tentu tidak akan ada henti-hentinya.
"Baiklah, Suheng. Aku mengaku salah. Aku tak
akan membajak pantunmu lagi. Hah, sekarang marilah
kita mengejar perwira itu tadi!"
"Ho-ho-ho-ho, enak saja. Kau tentu tidak
bersungguh-sungguh meminta maaf kepadaku. Di
dalam hatimu kau tentu mentertawakan aku. Heh-heh,
kau belut kecil ini memang sangat cerdik dan lincah
sekali. Jangan harap kau bisa mengakali aku. Aku
sudah hapal watakmu luar- dalam, heh-heh. Aku yang
mengasuh dan mendidikmu sejak bayi...."
Chin Tong Sia tersenyum sambil menghela napas
panjang. Perasaan jengkelnya sudah hilang.
Sebenarnya ia sangat hormat dan sangat sayang
kepada suhengnya itu. Suhengnya itulah yang
merawat, mengasuh dan mendidiknya sejak kecil.
Bahkan ilmu silatnya pun sebenarnya sebagian besar
adalah hasil didikan suheng-nya itu. Memang
tampangnya amat menyeramkan, dan tindak-tanduk
atau perilakunya seperti orang gila, tapi sebenarnya
dia benar-benar waras dan cerdik luar biasa. Ilmu
silatnya pun paling tinggi di .antara tokoh-tokoh
Beng-kau sekarang. Gurunya sendiri, yang kini sudah
mengasingkan diri di ruang semedi, mengakui 74
kehebatan ilmu suhengnya itu. Dialah satu-satunya
tokoh Beng-kau yang mampu mendalami serta
menghayati betul ilmu rahasia Aliran Beng-kau, yaitu
Chou-mo-ciang (Tangan Menangkap Setan).
"Lalu... apa yang harus kulakukan agar kau percaya
kepadaku, Suheng?"
Put-pai-siu Hong-jin menghampiri Chin Tong Sia,
lalu merangkul pundaknya. Sambil tertawa terkekeh-
kekeh ia berkata lucu, "Tentu saja kau harus
menyanyikannya dulu dengan betul, heh-heh-heh..."
Demikianlah, sambil menyanyikan pantun ciptaan
Put-pai-siu Hong-jin tadi, Chin Tong Sia dan
suhengnya berjalan bersama-sama ke kota Hang-ciu
kembali. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi
para pengawal yang tentu akan menangkap mereka di
kota nanti.
-- o0d-w0o --
"Jadi... pemuda itu dari aliran Beng-kau?" Lelaki
beruban atau Lim Kok Liang itu menegaskan.
"Ia memang berkata demikian. Mengapa...?" Su
Hiat Hong bertanya pula.
Lim Kok Liang mengerutkan dahinya yang lebar.
"Gawat! Kalau orang-orang kang-ouw (rimba
persilatan), apalagi aliran-aliran ternama seperti Beng-
kau, sudah ikut campur tangan dalam masalah ini,
keadaannya akan menjadi gawat!" 75
"Tapi mereka cuma seorang anak muda yang masih
ingusan dan seorang lelaki tua gila yang tak perlu
ditakutkan, Suheng."
"Huh, kau sungguh bodoh! Kalau benar apa yang
kaulihat dan kaudengar tadi, orang berwajah
menyeramkan dan bernama Put-pai-siu Hong-jin
adalah tokoh ternama dari aliran Beng-kau. Dia
adalah kakak seperguruan Put-sim-sian (Dewa Tak
Berperasaan), pejabat ketua aliran Beng-kau
sekarang."
"Oh! Dan... pemuda itu, kalau begitu dia juga adik
seperguruan Ketua Aliran Beng-kau itu!" Su Hiat
Hong berdesah gagap.
"Mungkin juga. Sudahlah, mari kita pergi ke
panggung lui-tai lagi. Masalah ini nanti kita laporkan
kepada Au-yang Goanswe. Goanswe harus
mengetahui masalah ini."
"Tapi... Suheng?"
Lim Kok Liang menghentikan langkahnya.
Matanya mengawasi Su Hiat Hong dengan heran.
"Ada apa...?"
"Anu... apakah Suheng tahu tentang masalah yang
membuat curiga orang-orang Beng-kau itu?
Maksudku... maksudku, apakah memang benar ada
sesuatu yang tidak beres pada acara perlombaan yang
diselenggarakan oleh kerajaan ini?"
Lim Kok Liang tertegun. Matanya semakin tajam
mengawasi Su Hiat Hong. Tapi beberapa saat
kemudian mata itu perlahan-lahan menunduk, bahkan 76
perwira itu lalu menghela napas panjang sekali.
Kakinya kembali melangkah perlahan-lahan. Su Hiat
Hong segera mengejarnya.
"Bagaimana, Suheng?"
"Mengapa kautanyakan hal itu? Kita cuma seorang
perwira dari pasukan rahasia, yang diperbantukan
kepada Au-yang Goan-swe. Tugas kita hanyalah
melaksakan perintah yang diberikan oleh beliau. Perlu
apa kita mencari tahu tentang latar belakang dari
perintah itu?"
"Jadi... Suheng juga tidak tahu?"
Lim Kok Liang menggelengkan kepalanya. "Aku
memang juga merasakan adanya sesuatu di balik
pengadaan lomba "Mengangkat Arca" ini. Tapi...
sudahlah, sebagai seorang perwira kita tinggal
melaksanakan perintah saja. Habis perkara."
Su Hiat Hong tidak mendesak lagi. Mereka segera
ikut berdesakan di antara penonton yang memadati
arena panggung lui-tai itu. Ternyata perlombaan
"Mengangkat Arca" telah selesai. Peserta yang
dianggap berhasil dan memenuhi syarat pun telah
dipanggil kembali ke atas panggung. Mereka hanya
berjumlah sepuluh orang. Dan A Liong, pelayan
warung itu ternyata berada di antara mereka!
"Lim Suheng, lihat! Jagomu ternyata ikut terpilih
juga!" Su Hiat Hong berseru gembira.
"Anak itu memang hebat! Sejak semula aku telah
melihat sesuatu yang mengagumkan pada diri anak
itu. Ternyata firasatku itu memang benar." 77
Dan pada saat itu pula A Liong melihat mereka.
Memang sejak tadi anak itu mencari-cari mereka di
antara penonton. Kedua tangan itu melambai-lambai
ke arah mereka. Su Hiat Hong membalas pula
lambaiannya.
"Mulai besok pagi kita harus berjalan jauh lagi.
Kita bertiga dengan Tong Tai-su harus mengawal
sepuluh anak ini ke kota raja. Dan paling lambat bulan
depan harus sampai di sana." Lim Kok Liang berkata
dengan suara berat.
"Yah, kita memang kurang beruntung. Sementara
perwira-perwira yang lain hanya mendapatkan tempat
tugas yang dekat, kita berdua mendapatkan bagian
yang jauh."
"Ah... kita ini masih lebih beruntung daripada
mereka yang dikirim ke kota-kota di propinsi selatan
sana. Dalam waktu sebulan mereka juga harus sudah
tiba di Lok Yang (kota raja). Kasihan sekali, bukan?"
"Lalu dengan apa kita membawa anak itu?"
"Kita tidak perlu memikirkannya. Panitia yang
dibentuk dan ditempatkan di sini tentu sudah
mempersiapkan segalanya. Kita tinggal mengawal
saja. Masing-masing sudah ditentukan tugasnya."
"Nah, hal-hal seperti inilah yang mengundang
kecurigaan itu, Suheng. Tampaknya seluruh rencana,
aturan-aturannya, syarat-syaratnya, sampai pada
pelaksanaannya, semua diatur dan dikerjakan oleh
petugas-petugas dari kota raja. Itu pun dilakukan oleh
kesatuan-kesatuan dan kalangan tertentu saja, seperti 78
kita ini. Pihak penguasa daerah, seperti kepala daerah,
bupati dan lain-lainnya, sama sekali tak diajak atau
diberi wewenang untuk melaksanakannya. Bukankah
hal itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan?
Tentu saja tak mengherankan apabila tokoh-tokoh
Beng-kau itu sampai mencurigai kita."
"Ah, kau berbicara tentang itu lagi. Bukankah
sudah kukatakan bahwa kita ini cuma pelaksana saja?
Lalu kau mau apa? Apa kau mau memberontak dan
melawan tugas?"
Su Hiat Hong tersipu-sipu. Ia tak bisa menjawab
pertanyaan temannya itu.
"Suheng, kau ini ada-ada saja. Aku tidak
bermaksud apa-apa. Aku hanya merasa penasaran.
Rasanya aku ini seperti melangkah di jalan yang tidak
ada ujung-pangkalnya...."
"Sudahlah, jangan kaupikirkan lagi masalah ini.
Pokoknya kita melaksanakan tugas kita sebaik-
baiknya."
Mereka tak berbicara lagi. Mereka memusatkan
pandangan mereka ke panggung, menyaksikan piala
dan hadiah-hadiah yang diberikan oleh Bupati kota
Hang-ciu kepada para pemenang. Para penonton
bertepuk tangan menyambut kemenangan para peserta
itu.
Sementara itu di panggung barongsai juga sudah
sampai pada babak yang terakhir pula. Keenam grup
barongsai itu sudah dipertarungkan semuanya, dan
sudah ada tiga pemenangnya. Mereka itu adalah grup 79
barongsai dari kampung Ui-thian cung, grup
barongsai dari Pek-hok-bio (Kuil Kelelawar Putih),
dan grup barongsai dari Hek-to-pai (Perguruan Golok
Hitam). Dan babak selanjutnya adalah menentukan
urut-urutan juaranya. Mereka bertiga akan
dipersilakan tampil ke atas panggung semuanya untuk
memperebutkan bungkusan mutiara yang
digantungkan tinggi-tinggi di tengah arena.
"Wah, kali ini benar-benar akan mengasyikkan.
Ketiga barongsai itu akan berlaga bersama-sama.
Masing-masing barongsai seperti mendapatkan dua
lawan yang harus dihadapi." A Tung yang telah
bergeser pula ke panggung barongsai itu berseru
gembira.
"Kau menjagoi yang mana, heh?" Lok Ma bertanya
sambil menyodokkan sikunya ke pinggang A Tung.
"Hehehe... tentu saja aku pilih yang hitam, sesuai
dengan kulitku. Apalagi pemain-pemainnya kelihatan
serem-serem. Mereka tentu pendekar-pendekar tulen.
"Hah, kau ini ada-ada saja. Masakan ada pendekar
tulen segala. Lalu... yang pendekar tipuan mana?" Lok
Ma tertawa.
"Tentu saja ada. Kau mau tahu? Lha ... kau ini?
Bukankah kalau di desa lagakmu seperti jagoan saja?
Tapi...? Dengan binimu saja kau selalu dibantai, hehe-
he...!" A Tung yang pintar bicara itu mulai meledek
lagi.
"Babi kau...!" Lok Ma mengumpat jengkel . 80
Para penonton yang berdiri di sekitar mereka ikut
terpingkal-pingkal mendengar kelakar dua sahabat itu.
Bahkan Siau In bertiga, yang telah bergeser pula ke
tempat itu, ikut tertawa juga sampai mengeluarkan air
mata. Gadis centil itu, yang pada dasarnya memang
suka benar bergurau, segera melemparkan umpan lagi
agar kelakar mereka menjadi semakin ramai.
"Masakan Paman ini kalah dengan isterinya...?"
pancingnya sambil masih tetap tertawa.
"Benar, Kou-nio (Nona). Kawanku ini tak pernah
menang melawan isterinya. Asal dia dan isterinya
ribut, kami tetangganya, mesti punya pekerjaan
sambilan, yaitu... menggotong dia ke rumah tabib.
Heh-heh-heh-heh...!" A Tung menjawab cepat
pancingan Siau In itu.
"Siapa bilang aku tak pernah menang? Bukankah
sepekan yang lalu... aku tidak kalian gotong? Dua hari
sebelumnya aku juga tetap sehat-sehat saja! Justru
biniku yang melolong-lolong minta ampun
kepadaku!" Si Pendek Lok Ma itu menyahut dengan
kata-kata konyol, sehingga para penonton menjadi
semakin geli dan tertawa bergelak.
Tak terduga A Tung justru semakin tak bisa
menahan gelaknya, sampai-sampai ia terbungkuk-
bungkuk memegangi perutnya
Siau In tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
"Kenapa, Paman? Kenapa kau tertawa begitu?"
A Tung melepaskan perutnya, lalu mengusap air
matanya. "Tentu saja... tentu saja dia menang... ha-ha 81
ha... karena... karena isterinya sedang bunting tua! Ha-
ha-ha...! Jangankan harus melawan suaminya,
sedangkan untuk berjalan sendiri saja... sudah, ha-ha-
ha!"
Tawa penonton di sekitar tempat itu pun semakin
meledak, sehingga Lok Ma yang konyol itu menjadi
merah sekali mukanya. Dari malu ia menjadi marah.
Tangannya segera diangkat untuk memukul A Tung,
tapi A Tung cepat-cepat menghindar dan lari
menjauhinya. Dan keduanya lalu berkejaran di antara
rimbunnya penonton.
"Hahaha... ada-ada saja!" Sin Lun tertawa.
"Mereka memang sangat menggelikan." Ciu In
menyahut pula. Wajahnya yang biasa berkesan dingin
itu kini kelihatan merah berseri-seri, sehingga Sin Lun
yang ada di sampingnya menjadi kagum dan
terpesona melihatnya.
"Ciu Sumoi memang cantik sekali." puji Sin Lun di
dalam hatinya.
"Eh, kau... kau kenapa, Suheng? Mengapa
kaupandang aku seperti itu? Apakah ada kotoran yang
menempel di mukaku?" gadis itu bertanya gugup
sambil mengusapusap wajahnya.
Sin Lun terperanjat kaget. "Ah, tidak... tidak apa-
apa, Sumoi. Tidak ada kotoran apa-apa di... di
wajahmu." jawabnya kikuk dan malu. "Hmmh!
Hmmh!"
Tiba-tiba Siau In pura-pura terbatuk. Bahkan
matanya yang genit itu tampak berputar-putar dengan 82
lucu, sementara lidahnya yang kecil itu dileletkannya
ke kanan dan ke kiri. Jelas ia hendak menggoda
kakaknya lagi.
Tapi niat itu menjadi urung karena tiba-tiba pula di
panggung lui-tai terdengar tambur dan gendang
ditabuh bertalu-talu, sebagai tanda acara pertandingan
bebas yang telah dinanti-nantikan penonton akan
segera dimulai.
Dan kesempatan itu digunakan sepenuhnya oleh
Cui In. "Suheng! Pertandingan bebas sudah akan
dimulai. Marilah 'kita ke sana!" katanya bersemangat.
"Ayoh,..!" Sin Lun yang merasa terbebas dari
suasana yang kurang menyenangkan itu mengiyakan
dengan bersemangat puia.
Karena masing-masing seperti ingin membebaskan
diri dari godaan Siu In, maka keduanya segera berlari
menuju ke panggung lui-tai. Tak seorang pun dari
keduanya yang berani melontarkan suara ajakan
kepada tukang olok-olok itu. Mereka berdua baru
kaget ketika ternyata gadis genit itu tidak ada bersama
mereka.
"Hei...? Ke mana anak badung itu? Kenapa tidak
mengikuti kita?" Ciu In berseru kaget. Seketika
hatinya menjadi khawatir.
"Benar. Kemana dia? Mari kita kembali untuk
mencarinya!" Sin Lun menjadi gugup juga.
Mereka kembali lagi ke panggung barongsai. Tapi
sampai lelah mereka berputar-putar, Siau In tetap 83
tidak mereka ketemukan. Gadis lincah itu seperti
hilang begitu saja dari tempat tersebut.
"Kemana dia...?" Ciu In berdesah bingung.
"Jangan bingung, Sumoi! Dia tentu sedang
menggoda kita lagi. Dia tentu berada di antara
penonton-penonton ini. Marilah kita cari sekali lagi!"
Tapi bagaimanapun juga mereka tetap takkan dapat
menemukan Siau In, karena sebetulnya gadis itu telah
sejak tadi meninggalkan tempat keramaian. Gadis
lincah yang merasa tidak diperhatikan oleh saudara-
saudaranya lagi itu merasa dongkol dan marah,
sehingga ia memutuskan untuk pergi ke mana ia suka.
Mula-mula Siau In berniat kembali ke warung dan
makan minum sendirian di sana. Tapi niat itu lalu
dibatalkannya pula. Ia kemudian keluar ke jalan raya
dan berjalan tak tentu tujuan.
Di dekat pasar Siau In berhenti. Matahari telah
berada di atas kepala, namun karena langit mendung
dan berawan tebal maka suasana tetap sejuk dan
dingin. Bahkan beberapa saat lagi mungkin hujan
akan turun.
"Ke manakah aku akan pergi? Kota ini sedemikian
besarnya. Di segala tempat orang pada bersukaria.
Hmm, baiklah... aku akan pergi ke pinggir laut saja.
Di sana tentu sepi."
Siau In lalu melangkah lagi perlahan-lahan. Karena
wajahnya memang cantik, berjalan sendirian pula,
maka banyak lelaki hidung belang yang mencoba
menggoda atau sekedar menyapa dengan ucapan 84
"Tahun Baru". Tapi Siau In tak pernah
menanggapinya. Gadis itu tetap berjalan terus ke arah
pantai.
Jalan semakin lama semakin sepi. Meskipun
banyak rumah dan perkampungan di kanan kiri jalan,
namun tampaknya semua penghuninya telah pergi ke
tengah kota. Sebaliknya suara debur ombak semakin
lama semakin terdengar nyaring ke telinga. Udara pun
seolah-olah mulai berubah pula. Angin yang semula
bertiup pelan dan terasa hangat, kini sedikit demi
sedikit berubah keras dan dingin. Bahkan baunya pun
terasa semakin amis.
Begitu asyiknya Siau In melamun sehingga ia tidak
menyadari kalau beberapa orang dari lelaki hidung
belang tadi telah mengikutinya. Mereka berjumlah
enam orang, berusia antara dua puluh lima sampai tiga
puluh tahun. Yang terasa aneh namun juga
menggelikan ialah kesemuanya berkulit dan berwajah
hitam. Dan dilihat sepintas lalu saja sudah bisa diduga
bahwa semuanya menyembunyikan senjata di balik
pakaian mereka yang longgar.
Jalan yang dilalui Siau In mulai menginjak daerah
pertanian dan perkebunan. Dan tempat itu benar-benar
sepi sekali. Tak seorang petani pun yang kelihatan
berada di sawah atau di kebunnya. Enam orang
hidung belang itu mulai merencanakan niat buruk
mereka. Tapi sebelum mereka bertindak, Siau In telah
keburu mempergunakan ginkangnya untuk 85
mempersingkat waktu. Gadis lincah itu berlari cepat
sekali.
"Hei... burung cantik itu ternyata pandai terbang!"
salah seorang dari lelaki hidung belang itu, yang
agaknya adalah pemimpin mereka, berdesah gembira
dan bersemangat,
"Benar, Toa-ko. Tapi... justru lebih mengasyikkan
buat kita! Heh-heh-heh!" yang lain menyahut pula
dengan nada bergairah.
"Tapi... tapi Toako, aku... aku seperti melihat
berkelebatnya orang di belakang kita. Ketika secara
kebetulan aku menengok ke belakang tadi, aku seperti
melihat berkelebatnya sesosok bayangan di balik
tumpukan jerami itu!" pengikut termuda dari
rombongan itu tiba-tiba menyela.
"Mana, hah...? Mana? Boneka-boneka sawah itu?
Kau ini penakut benar! Di belakang kita kosong, tidak
ada siapa-siapa! Matamu saja yang mungkin sudah
juling, boneka sawah kaukira manusia sungguhan!" Si
Pemimpin itu bersungut-sungut.
"Benar, Toako. Mana ada orang berani bertingkah
di depan kita? Ini daerah kita. Tak seorang pun berani
mengganggu anggota Hek-to-pai di tempat ini! Ayoh,
kita kejar burung cantik itu! Nanti ia keburu tiba di
daerah perkampungan nelayan Ui-thian-cung."
"Ayoh...!" yang lain dengan serempak mengiyakan.
Semuanya segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuh mereka dan berlari secepat-cepatnya mengejar
Siau In. Dan karena gadis itu memang tidak menduga 86
kalau sedang dikejar orang, maka langkahnya juga
hanya seadanya saja. Gadis itu hanya mengerahkan
separuh dari kemampuannya berlari. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan apabila sebentar saja keenam
hidung belang itu telah bisa mengejarnya. Mereka
berlari di belakang Siau In.
Siau In terkejut dan menoleh. Dan dahinya yang
halus mulus itu segera berkerut ketika melihat enam
orang lelaki berlari sambil pringas-pringis di
belakangnya. Otomatis langkahnya dipercepat. Tapi
orang-orang itu juga mempercepat langkah kaki
mereka pula. Siau In menjadi penasaran, ia lalu
meningkatkan kemampuannya berlari lagi. Tapi
keenam orang itu ternyata juga menambah kecepatan
mereka.
Terjadilah kejar mengejar yang mengasyikkan di
siang hari bolong itu. Mereka mulai menginjak daerah
pertambakan garam. Di sana-sini, di kanan kiri jalan,
yang terlihat cuma genangan air garam melulu.
Barulah beberapa saat kemudian tampak sebuah
perkampungan petani tambak di depan mereka.
Siau In lalu mengeluarkan seluruh kemampuan
ginkangnya. Tubuhnya yang mungil itu melesat ke
depan bagai anak panah yang terlepas dari busurnya.
Dan para pengejarnya segera tertinggal jauh di
belakang. Namun demikian ketika sampai di mulut
perkampungan petani tambak itu, Siau In
menghentikan langkahnya. Gadis yang amat berani itu
hendak men coba, apakah para lelaki hidung belang 87
itu masih berani mengganggunya di perkampungan
penduduk.
Tapi perkiraan Siau In itu ternyata salah. Ketika
satu persatu para pengejarnya tadi datang dengan
napas memburu, semuanya justru menampilkan wajah
yang amat lega.
"Bagus-bagus! Ternyata Nona juga berhenti
kelelahan di sini. Sungguh kebetulan sekali, hoh-hoh-
hoh! Inilah kampung tempat tinggal kami! Selamat
datang.hoh-hoh-hoh...! Marilah singgah sebentar ...!"
Si Pemimpin itu berkata gembira.
Tentu saja kenyataan itu amat mengejutkan hati
Siau In. Ternyata perkiraannya meleset.
Perkampungan itu justru merupakan tempat tinggal
para lelaki hidung belang tersebut. Bahkan ketika
menengok ke sebuah pintu rumah yang paling megah
di pinggir jalan itu, ia melihat papan nama yang
dipasang secara menyolok sekali. Papan nama itu
bertuliskan huruf : HEK TO PAI!
"Celaka...! Ternyata aku berada di sarang buaya!"
gadis itu berkata di dalam hatinya.
Tapi sedikit pun Siau In tidak gentar! Gadis periang
dan pemberani itu malah tersenyum menghadapi para
pengganggunya.
"Cu-wi (Tuan semua) ingin agar aku singgah
sebentar di kampung ini? Ah, maaf... lain kali saja.
Siau-te (Aku yang rendah) sedang tak pernah enak
badan. Siaute hendak pergi ke pantai untuk
membuang rasa sebal dan dongkol dulu. Nah, maaf..." 88
Siau In cepat berbalik dan hendak pergi
meninggalkan tempat itu, tapi orang-orang Hek-to-pai
itu dengan cepat mengepungnya. Malahan salah
seorang di antara mereka segera berlari ke
perkampungan memanggil teman-temannya.
"Nanti dulu, Nona. Kau tidak boleh menolak
undangan kami. Sekali kami mengundang orang,
orang itu harus datang. Menolak undangan kami
berarti menghina Hek-to-pai! Dan... siapapun juga
yang berani menghina Hek-to-pai tentu tidak akan
berumur panjang!" si pemimpin itu mengancam.
Bukan main marahnya hati Siau In. Orang-orang
berkulit hitam itu benar-benar telah meremehkan
dirinya. Karena ia cuma seorang perempuan muda,
apalagi hanya seorang diri, mereka lalu main paksa
seenak mereka sendiri, seolah-olah dia itu cuma
seorang perempuan desa murahan. Apalagi cara
mereka memaksa itu dengan kedok dan selubung
Hek-to-pai. Siau In benar-benar muak sekali.
"Anjing-anjing keparat! Kaukira aku gentar melihat
tampang-tampang hitammu yang menjijikkan itu,
hah? Meskipun kau berlindung di balik perkumpulan
orang-orang yang berjalan di jalan hitam (hek-to), aku
tidak takut! Suruh semua orang-orangmu ke sini!
Suruh ketuamu sekalian ke mari! Akan kucuci habis-
habisan muka kalian yang hitam legam itu agar kalian
bisa melihat hal-hal yang terang dari wajah kalian
itu!" Siau In berteriak lantang.
Komentar
Posting Komentar