PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 02

EKALI lagi lelaki beruban itu tersenyum.
"Nah... inilah salah satu jebakan yang dibuat
oleh panitia perlombaan. Barang itu memang
cuma sebuah patung. Tapi kenapa mesti
berbentuk Kaisar Han Kou Cou yang kita
hormati? Mengapa bukan bentuk patung
yang lainnya? Nah... peserta yang cerdik tentu bisa
menebak maksudnya. Dan... inilah memang yang
dicari oleh panitia perlombaan, yaitu kecerdikan! Jadi
selain berbakat, bertulang baik, cerdik, juga sikap
pengabdiannya kepada raja. Kalau semua persyaratan
itu dapat terpenuhi, tentu saja peserta itu akan
lulus...."
Pemuda berotot kekar itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya... ya, benar...!" ucapnya lirih penuh
penyesalan. 48 
"Yah, sudahlah. Kau tak perlu menyesal lagi. 
Tahun depan kau bisa mencobanya kembali. 
Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya tertunduk 
lesu, dan untuk beberapa saat ia terdiam seperti orang 
kehilangan akal. Ia baru tersadar kembali ketika para 
penonton di sekelilingnya bertepuk tangan 
menyambut keberhasilan peserta berikutnya. 
"Oh...!?!" Tiba-tiba pemuda itu berseru kaget. 
Kepalanya melongok ke sana ke mari. 
"Hohooho-hehe...! Kau mencari siapa, heh?" 
seorang kakek berwajah menakutkan yang tahu-tahu 
berdiri di dekatnya bertanya dengan suara serak. 
"Di-di manakah orang tua yang berada di sini tadi?" 
pemuda itu bertanya pula dengan suara gemetar. 
Kakek itu tertawa. Suaranya terdengar mengerikan, 
karena bibirnya yang lebar dengan mulut melompong 
tak bergigi itu cuma bisa menciptakan suara desah 
napas yang tersengal-sengal. 
"Apakah orang itu yang kaucari...?" sekonyong-
konyong seorang pemuda menyela di antara mereka, 
seorang pemuda berperawakan jangkung kurus, 
tangannya menunjuk ke pohon siong besar yang 
tumbuh di samping pendapa. 
Pemuda itu menjadi heran, karena orang yang baru 
saja berbicara dengan dia tadi memang sudah berdiri 
di bawah pohon siong bersama orang lain. Rasanya 
memang aneh. Pohon itu ada sepuluh tombak lebih 
jaraknya, dan untuk pergi ke sana harus melewati 
kerumunan penonton yang memadati tempat itu.
49 
Namun demikian hanya dalam sekejap orang itu telah 
berada di sana, dan bahkan tanpa sepengetahuannya 
pula. 
"Ya-ya... memang dia yang... eh?!?" Sekali lagi 
pemuda itu terkejut. Pemuda jangkung dan kakek 
mengerikan tadi ternyata sudah tidak ada pula di 
sampingnya. Rasanya seperti hantu yang dapat 
menghilang begitu saja. 
"Ah...!" desahnya pucat dan tiba-tiba ingatannya 
seperti terbuka kembali. "Pemuda itu! Bukankah dia 
yang membuat keributan tadi?" 
Sementara itu di bawah pohon siong lelaki beruban 
itu masih berbicara dengan temannya. Lelaki itu 
tampak sangat penasaran, sedangkan kawannya 
kelihatan lesu dan kehilangan semangat. 
"Jadi... kau tak bisa menangkapnya? Lalu di mana 
dia sekarang?" 
"Suheng, apa yang dikatakan Tong Tai-su memang 
benar. Mulai sekarang kita harus berhati-hati. Pemuda 
itu sedang berusaha menyelidiki "Perlombaan 
Mengangkat Arca". Kepandaiannya hebat sekali dan 
aku sama sekali bukan tandingannya. Apalagi dia 
tidak sendirian...." 
"Dia tidak sendirian? Eh, Su Hiat Hong... tolong 
kauceritakan saja semuanya agar jelas!" 
Orang yang bernama Su Hiat Hong itu memandang 
ke sekelilingnya. Dilihatnya semua orang melihat ke 
arah panggung dan tak seorang pun memperhatikan 
mereka. 50 
"Baiklah, Lim Suheng, akan kuceritakan...." 
Ketika berusaha mengejar pemuda pengganggu 
panggung lui-tai tadi, ternyata Su Hiat Hong telah 
kehilangan jejak. Pemuda kurus kerempeng itu lenyap 
berbaur dengan penonton yang berjubel. Walaupun Su 
Hiat Hong berusaha mencari, namun pemuda itu tetap 
tak bisa diketemukan. Akhirnya Su Hiat Hong 
melangkah ke jalan, menuju warung A Liong tadi. 
Tiba-tiba mata Su Hiat Hong terbelalak. Dari jauh 
dilihatnya pemuda itu keluar dari warung A Liong dan 
berjalan cepat ke utara. Langkahnya tampak amat 
tergesa-gesa, menyelinap ke sana ke mari di antara 
para pejalan kaki yang lalu lalang di jalan. 
Su Hiat Hong cepat mengikuti dari belakang. 
Dengan berlari-lari kecil ia berusaha mendekatinya. 
Tapi pemuda itu seperti merasa kalau sedang diikuti. 
Satu kali kepalanya menoleh ke belakang, lalu 
berjalan lebih cepat lagi, sehingga lagi-lagi Su Hiat 
Hong kehilangan jejak. Pemuda itu hilang di antara 
kerumunan orang. 
Su Hiat Hong melangkah perlahan-lahan sambil 
berusaha menemukan kembali buruannya. Kakinya 
melangkah sampai ke Pintu Gerbang kota sebelah uta-
ra, tapi pemuda itu tetap tidak kelihattan batang 
hidungnya. Tak terasa kakinya melangkah ke luar 
Pintu Gerbang, berjalan di atas jembatan gantung 
yang melintang di atas parit besar yang mengelilingi 
tembok kota. Beberapa orang prajurit pengawal pintu 
gerbang tampak berjaga-jaga di kanan kiri jembatan 51 
tersebut. Mereka juga kelihatan santai dan bergembira 
meskipun harus tetap bertugas di hari bahagia itu. 
Sekali lagi Su Hiat Hong terkejut. Tak terduga 
matanya yang mengawasi jalan lurus di luar tembok 
kota itu melihat bayangan pemuda yang diburunya. 
Meskipun amat jauh, tapi mata Su Hiat Hong segera 
dapat mengenalnya. 
Tanpa membuang waktu lagi Su Hiat Hong 
melompat mengejarnya. Ia tak mempedulikan 
pandangan orang yang berpapasan dengannya. Tapi 
pemuda yang diburunya itu sekonyong-konyong juga 
berlari pula. Semakin lama menjadi semakin cepat, 
sehingga akhirnya mereka berdua saling berkejaran di 
jalanan itu. 
Su Hiat Hong merasa dongkol dan penasaran. 
Pemuda itu seperti mempermainkannya. Larinya 
kadang-kadang cepat, kadang-kadang lambat. Apabila 
jaraknya terlalu jauh pemuda itu mengendorkan 
langkahnya. Tetapi bila sudah dekat, tiba-tiba kakinya 
melompat dengan langkah yang panjang-panjang. 
Semakin jauh jalan itu semakin sepi dan jelek 
keadaannya. Di kanan-kiri jalan mulai terlihat semak 
belukar dan pohon-pohon besar. Bahkan agak jauh 
dari jalan sudah terlihat hutan rimba. Tiba-tiba 
pemuda itu membelokkan langkahnya ke dalam hutan, 
dan sedetik saja bayangannya telah lenyap. 
Su Hiat Hong berbelok dan menerobos hutan itu 
pula. Namun beberapa saat kemudian ia menjadi 
sadar, bahwa sangat berbahaya memburu musuh di  52 
dalam hutan. Salah-salah dirinya bisa terjebak atau 
dibokong lawan dari belakang. 
"Kurang ajar...!" geramnya perlahan sambil 
menghentikan langkah. 
Dengan penuh kewaspadaan Su Hiat Hong 
mengawasi lebatnya semak belukar di depannya. 
Hatinya benar-benar menjadi geram. Perasaannya 
mengatakan bahwa pemuda itu telah tahu kalau 
sedang diikuti dan kini sedang berusaha 
mempermainkannya. 
"Ah, sudahlah. Lebih baik aku kembali saja. Tak 
baik aku menurutkan perasaan. Salah-salah malah bisa 
celaka kalau aku nekad menerobos hutan ini. Hemm, 
siapa tahu anak itu sudah menunggu dan memasang 
jebakan di balik rimbunnya dedaunan? Yaaah, 
sudahlah...." 
Su Hiat Hong membalikkan tubuhnya dan 
melangkah keluar dari hutan itu. Tapi baru beberapa 
tindak ia berjalan, mendadak telinganya mendengar 
suara orang bernyanyi. Suaranya tidak terlalu keras, 
namun sangat jelas ucapan maupun kata-katanya. 
Diam-diam Su Hiat Hong menjadi tegang. Suara itu 
justru berasal dari jalan yang dia lalui tadi. 
Burung kecil terbang sendiri. 
Tiada kawan tiada saudara. 
Menentang badai di medan laga. 
Dengan cucuran darah dan air mata! 53 
Su Hiat Hong berhenti beberapa tombak dari 
pinggir jalan. Matanya tertuju ke sebatang pohon pek 
besar yang rindang di tepi jalan. Di bawah pohon itu 
kelihatan seorang pemuda yang duduk melenggut 
sambil bernyanyi. Dan Su Hiat Hong segera 
mengenalnya, karena orang itu tiada lain adalah 
pemuda yang diburunya. 
"Gila!" Su Hiat 
Hong mengumpat 
di dalam hati. 
"Bocah itu benar-
benar sedang 
mempermainkan 
aku. Aku harus 
hati-hati. Ia seperti 
memiliki 
kepandaian yang 
tinggi." 
Selangkah demi 
selangkah Su Hiat 
Hong datang 
menghampiri, 
kemudian berhenti 
beberapa langkah dari pemuda itu. Pemuda itu 
mengangkat wajahnya dan menghentikan 
nyanyiannya. 
Su Hiat Hong terkejut. Setelah melihat dari jarak 
dekat barulah ia ketahui betapa masih mudanya orang 54 
itu. Muda dan tampan, walaupun caranya berpakaian 
kurang rapi dan berkesan seenaknya sendiri. 
"Hemm, apakah Tuan mencari aku?" dengan suara 
berat pemuda itu bertanya. 
Pertanyaan itu membuat Su Hiat Hong menjadi 
gugup dan bingung, karena sebenarnya ia juga tak 
tahu untuk apa mengejar pemuda tersebut. Ia cuma 
melaksanakan perintah kawannya, sehingga tidak siap 
kalau mendadak harus berhadapan seperti itu. 
"Ya-ya, benar... eh-eh, aku ingin tahu... siapa 
sebenarnya kau ini?" 
Tak terduga pemuda itu tertawa nyaring. "Hahaha, 
sungguh aneh! Akulah sebenarnya yang harus 
bertanya kepada Tuan, bukan sebaliknya. Tuanlah 
yang mengejar-ngejar aku. Ingin bertemu atau ingin... 
menangkap aku, padahal aku tidak merasa kenal dan 
tidak merasa mempunyai urusan dengan tuan." 
Pemuda itu perlahan-lahan berdiri. Wajahnya yang 
agak pucat dengan pandang mata dingin itu sungguh 
terasa mencekam dan menggiriskan hati. Tak terasa 
kaki Su Hiat Hong melangkah setindak ke belakang. 
"Tuan, aku bertanya kepadamu. Siapakah... 
engkau? Mengapa engkau mengejar ngejar aku? 
Jawablah!" pemuda itu mendesak dengan suara 
berubah kaku. 
Wajah Su Hiat Hong menjadi merah. 
Bagaimanapun juga ia tak ingin ditekan orang. 
Apalagi ia merasa memiliki kedudukan tinggi dan 
mendapatkan tugas khusus dari kota raja 55 
"Ketahuilah, Anak muda. Aku seorang utusan dari 
kota raja, yang menangani urusan "Perlombaan 
Mengangkat Arca" di kota Hang-ciu ini. Nah, engkau 
tadi telah membuat ribut di atas panggung. Itulah 
sebanya aku mengejarmu. Pahamkah kau sekarang?" 
Su Hiat Hong balas menggertak. 
Pemuda itu tertegun. "Oh, jadi Tuan adalah petugas 
khusus dari kota raja? Wah-wah, maafkanlah aku 
Ciang-kun. Mataku benar-benar buta, tak bisa melihat 
gajah di depan hidung...." katanya kemudian sambil 
membungkukkan tubuh. 
Su Hiat Hong mendengus dan tak mempedulikan 
sikap lawannya, la tahu pemuda itu cuma berbasa-basi 
saja. la melihat senyum tipis di bibir pemuda itu. 
"Engkau tak perlu berbasa-basi, apalagi menyebut 
Ciang-kun kepadaku. Aku hanya seorang utusan, jadi 
belum tentu aku ini seorang perwira. Bukankah aku 
tidak mengatakannya kepadamu?" 
Mata yang dingin tajam seperti mata burung hantu 
itu mendadak berubah menjadi liar, seperti layaknya 
burung hantu kalau lagi marah. Otomatis kaki Su Hiat 
Hong melangkah lagi setindak ke belakang. 
Namun sekejap kemudian mata itu menjadi tenang 
kembali. Bahkan dari hidung pemuda itu terdengar 
suara tarikan napas yang panjang sekali. 
"Ah, Ciang-kun... kau tak perlu berbohong 
kepadaku. Rasanya semua orang juga bisa 
menebaknya, karena seorang yang mendapatkan 
kepercayaan dari kota raja untuk mengatasi jalannya 56 
perlombaan penting itu tentulah bukan petugas 
berpangkat rendah. Dan khusus untuk "Perlombaan 
Mengangkat Arca", yang konon diselenggarakan 
untuk mencari bibit bibit Pasukan Pengawal Istana, 
tentunya utusan yang dikirim juga dari kalangan 
pasukan istana, bukan?" 
Su Hiat Hong menghela napas panjang melihat 
kecerdikan lawannya. Ia semakin berhati-hati 
menghadapi pemuda itu. 
"Terserah kepadamu. Aku tak ingin berbantah 
tentang hal ini. Sekarang katakan saja kepadaku, 
siapakah namamu? Darimana asalmu? Dan apa 
maksudmu membuat ribut di panggung tadi?" 
Pemuda itu menengadahkan kepalanya, lalu 
tersenyum, sehingga seorang perwira kerajaan yang 
memiliki banyak pengalaman seperti Su Hiat Hong 
pun tidak bisa menebak apa yang sedang berkecamuk 
di dalam hati pemuda aneh itu. 
"Baiklah, Ciang-kun, akan kujawab pertanyaanmu, 
walaupun sebenarnya aku tak menyukainya. Aku 
hanya berharap bahwa Ciang-kun nanti juga akan 
mau. menjawab pertanyaanku pula." 
"Asalkan aku bisa menjawab dan tidak 
bertentangan dengan rahasia negara, aku tentu akan 
menjawabnya...." 
Sekali lagi pemuda itu menentang mata Su Hiat 
Hong dengan tajam. "Ci-angkun, namaku Tong Sia... 
Chin Tong Sia. Aku adalah anggota Aliran Beng-kau 
yang berpusat di kota Sin-yang!" 57 
Jawaban itu benar-benar mengejutkan Su Hiat 
Hong. Banyak sekali aliran keagamaan yang tumbuh 
dan berkembang pesat pada saat itu, tapi hanya 
beberapa aliran saja yang benar-benar besar, terkenal 
dan disegani orang, yaitu Aliran Mo-kau, Im-yang-
kau dan Beng-kau! Selain mempunyai anggota yang 
amat banyak dan tersebar di seluruh pelosok negeri, 
ketiga aliran agama itu memiliki banyak tokoh-tokoh 
sakti di dalamnya. Namun demikian dari ketiga a-liran 
itu Beng-kau - lah yang paling banyak 
dipergunjingkan orang. Selain para penganutnya 
sangat tertutup, aliran itu juga memiliki adat 
kebiasaan dan aturan-aturan yang aneh, yang tidak 
lazim dilakukan oleh masyarakat umum. 
"Tapi aku mendengar bahwa setiap anggota Aliran 
Beng-kau menggunakan nama dengan huruf 'PUT' di 
depannya." 
"Benar. Setiap anggota Aliran Beng-kau yang 
sudah menyelesaikan pengabdian wajibnya selama 
sepuluh tahun, dan kemudian dianggap telah mampu 
menyebarkan pengaruh serta mendapatkan 
kepercayaan dari para sesepuh kami, maka akan 
memperoleh sebutan 'PUT' di depan namanya." 
"Apakah kau juga sudah mendapatkan sebutan itu?" 
Pemuda itu mengangguk. "Nama lengkapku 
sekarang adalah Put-tong-sia!" 
"Baiklah...." Su Hiat Hong mendesah. "Sekarang 
katakan yang sebenarnya, apa maksud dan tujuanmu 
membuat keributan di atas panggung tadi?" 58 
Wajah pemuda itu tampak tegang kembali. 
Matanya kelihatan menyala, sementara giginya 
terkatup rapat. 
"Aku tak menyukai "Perlombaan Mengangkat 
Arca" itu! Aku merasa ada sesuatu yang kotor di balik 
penyelenggaraannya. Aku tak percaya kalau 
perlombaan itu dikatakan untuk memperoleh bibit-
bibit unggul bagi Pasukan Pengawal Istana! 
Semuanya bohong!" Put-tong-sia berkata dengan 
suara berapi-api. 
Su Hiat Hong tersentak kaget. "Apa maksudmu...?" 
Sekali lagi pemuda itu menggertakkan giginya. 
"Maksudku? Hmh, maksudku ... perlombaan itu cuma 
kedok belaka! Ada maksud tertentu di balik semuanya 
itu! Maksud-maksud kotor yang dibuat dan 
direncanakan oleh oleh orang-orang atau pihak-pihak 
tertentu di istana kerajaan! Memang, sampai saat ini 
aku belum dapat membuktikannya...." 
"Pu-tong-sia! Kau jangan omong sembarangan! 
Kau berhadapan dengan petugas kerajaan di sini, 
bahkan seorang petugas khusus dari istana di kota 
raja! Kau bisa dianggap sebagai pemberontak dan 
dapat ditangkap! Tahu...?" Su Hiat Hong membentak. 
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak takut. 
Kakinya justru melangkah dua tindak ke depan. 
Sikapnya pun berubah menjadi dingin dan kaku. 
"Persetan dengan ancaman itu! Aku tidak takut!" 
ucapnya tegas. 59 
"Gila...!" Su Hiat Hong menggeram melihat 
kekerasan lawannya. "Apa sebenarnya alasanmu? 
Mengapa kau mempunyai dugaan seperti itu?" 
Put-tong-sia tidak segera menjawab. Matanya yang 
mencorong liar itu menatap Su Hiat Hong dengan 
tajamnya. 
"Ciang-kun, kau tak perlu bersandiwara di depanku. 
Sebagai utusan langsung dari kota raja, kau tentu 
mengetahui rahasia di balik penyelenggaraan 
Perlombaan Mengangkat Arca ini. Nah, sekarang 
katakanlah...!" 
Su Hiat Hong terkesiap. Hatinya tiba-tiba berdesir 
keras. Sejak semula ia memang curiga akan keanehan 
dan keganjilan cara pelaksanaan Perlombaan 
Mengangkat Arca itu. Tidak sewajarnya kalau 
perlombaan seperti itu sampai harus melibatkan 
petugas-petugas khusus dari kota raja, bahkan dengan 
cara rahasia pula, sementara para pejabat daerah yang 
seharusnya lebih tahu dan lebih bertanggung jawab 
tidak diikut-sertakan. Tapi sebagai petugas dia 
memang tak bisa berbuat apa-apa. Ia dan kawan-
kawannya, seperti Lim Kok Liang dan Tong Tai-su, 
hanya melaksanakan tugas saja. 
"Ciang-kun, mengapa kau tak menjawab?" 
Su Hiat Hong menghela napas berat "Ah, kukira 
kau telah salah menduga Put-tong-sia. Tak ada rahasia 
apa pun di balik Perlombaan Mengangkat Arca itu. 
Percayalah!" katanya meyakinkan seperti diucapkan 
kepada dirinya sendiri. 60 
Tiba-tiba Put-tong-sia tersenyum dingin. 
"Benarkah, Ciang-kun? Kau berani bersumpah? 
Hemmm... Ciang-kun, kau memang keras kepala. Aku 
tahu bahwa kau tidak berkata sejujurnya. Dari caramu 
berbicara saja aku dapat menduga bahwa kau 
berbohong. Nah, Ciang-kun... jangan salahkan aku 
kalau aku terpaksa menggunakan kekerasan untuk 
memaksamu berbicara!" 
Bagaimanapun Su Hiat Hong adalah seorang 
perwira. Hatinya menjadi panas juga didesak orang 
sedemikian rupa. Apa lagi orang itu cuma seorang 
bocah yang belum ia ketahui kemampuannya. Jelek-
jelek ia bukan tokoh sembarangan di kota raja. Di 
kalangan para perwira Pasukan Rahasia, ilmu 
pedangnya Sin-ho-kiam hoat (Ilmu Pedang Bangau 
Sakti) belum pernah ada yang mengunggulinya. 
"Huh, bagus... kau benar-benar ingin 
memberontak?" Su Hiat Hong menggeram seraya 
menghunus pedangnya. 
Put-tong-sia meringis seperti mau mencemooh 
ancaman itu. Tanpa berkata-kata lagi tangan kanannya 
menyambar ke depan untuk merebut pedang 
lawannya. Gerakannya cepat bukan main sehingga Su 
Hiat Hong tersentak kaget dan buru-buru bergeser 
selangkah ke belakang Kemudian dengan terburu-
buru pula pedang itu diputarnya di depan dada untuk 
menahan serangan selanjutnya. 61 
Ternyata pemuda itu tidak melanjutkan 
serangannya. "Ayoh, Ciang-kun, balaslah...! Kenapa 
diam saja?" 
"Gila! Mengapa kau tak mengeluarkan senjata? 
Apa kau merasa lebih hebat daripada aku?" 
"Hoho-haha-hihihi...!" Tiba-tiba Su Hiat Hong 
dikejutkan oleh suara tawa yang menggema di antara 
pepohonan di tempat itu. 
"Suheng...! Mengapa kau ikut kemari?" Put-tong-
sia berseru. 
"Apa tak boleh, heh? Kau tinggalkan aku di 
halaman kabupaten itu sendirian! Huh, sementara kau 
di sini bersenang-senang main kejar dan sembunyi! 
Nah, sekarang aku ikut! Carilah tempat 
persembunyianku, hoho-haha-hihihi...!" 
Diam-diam bergetar juga hati Su Hiat Hong. Dari 
getaran suaranya yang kuat dan mantap, serta sulit 
dicari arah sumbernya itu, ia bisa menduga bahwa 
pemilik suara tersebut tentu telah mencapai 
kesempurnaan di dalam ilmunya. Celakanya, orang itu 
tampaknya berada di pihak lawan. 
"Ah, aku sedang tidak ada waktu. Lebih baik 
Suheng bermain sendiri." 
"Kurang ajar, enak saja kau bicara! Masakan orang 
bermain sembunyi dan kejar-kejaran hanya sendirian 
saja? Kau-kira aku sudah gila, ya? Ayoh, cari aku! 
Kalau tidak mau, hmmh... kubunuh kau!" suara itu 
mengancam. 62 
"Edan!" Su Hiat Hong menggerutu sambil mencari-
cari di mana sumber suara itu berasal. "Orang-orang 
Beng-kau memang tidak waras semuanya...." 
"Tapi aku akan berkelahi dulu dengan orang ini...." 
sungut Put-tong-sia dengan nada kesal. 
"Aku tak peduli! Pokoknya kau harus menemukan 
tempat persembunyianku! Kalau tidak, kubunuh kau! 
Habis perkara!" suheng Pu-tong-sia yang tidak mau 
menampakkan diri itu berteriak marah. 
"Baik... baiklah, Suheng, aku akan mencarimu. 
Tapi... apa hadiahnya kalau kau bisa kutemukan, hei?" 
Put-tong-sia buru-buru mengalah begitu suhengnya 
marah. 
"Kau akan kugendong sampai ke kota apabila bisa 
menemukan aku." 
"Ah, tidak mau! Masakan cuma digendong 
hadiahnya?" 
"Lho...? Apalagi? Bukankah enak sekali digendong 
orang?" 
"Huh... apa enaknya digendong? Aku sudah 
kenyang dan bosan kaugendong." 
"Lalu kau minta hadiah apa, anak tolol?" 
"Ajari aku jurus "Menerobos Lobang Pintu Jala" 
kebanggaanmu itu! Bagaimana?" 
"Bocah Goblok! Pemalas! Tolol! Bukankah setiap 
hari aku dan Susiok sudah mengajarimu? Otakmulah 
yang tumpul sehingga jurus itu tidak bisa kau kuasai 
dengan baik!" 63 
Put-tong-sia tidak menjadi marah oleh maki-makian 
itu. Mulutnya justru tertawa, sementara matanya 
memandang berkeliling, mengawasi pucuk-pucuk 
pepohonan yang bergoyang-goyang. Tiba-tiba 
pandangannya tertuju pada kawanan lebah yang 
beterbangan di sekeliling pohon si-ong tua di pinggir 
jalan. Dan di lain saat suara tertawanya menjadi 
semakin keras dan nyaring. 
Begitu tawanya berhenti Put-tong-sia menatap Su 
Hiat Hong kembali. "Maaf, Ciang-kun, ternyata 
Suhengku datang mengganggu permainan kita. Tapi 
Ciang-kun tak perlu khawatir, dia takkan mencampuri 
urusan ini. Percayalah....!" 
"Aku tidak perduli! Kalau perlu dia boleh manju 
sekalian mengeroyokku!" 
"Ah, kukira tidak perlu, Ciangkun. Kau bisa repot 
melayaninya nanti. Bahkan tidak cuma kau, seluruh 
pasukanmu di kota raja akan menjadi repot bila 
berhadapan dengannya. Kau sudah mengenal 
Suhengku, Ciangkun?" 
"Buat apa aku mengenal Suhengmu? Apakah 
namanya begitu hebat dan terkenal di dunia 
persilatan?" Su Hiat Hong mendengus. 
Put-tong-sia tersenyum dan sama sekali tidak 
merasa tersinggung atas sikap lawannya. "Ah, 
Suhengku memang tidak punya nama besar di dunia 
kang-ouw. Nama Put-pai-siu Hong-jin (Si Gila Yang 
Tak Tahu Malu) memang cuma dikenal oleh jago-jago 
silat kampungan...."  64 
"Put-pai-siu Hong-jin...?" Su Hiat Hong berdesah 
kaget. 
Aliran Beng-kau memang sangat tertutup sehingga 
tokoh-tokohnya tidak banyak dikenal orang, kecuali 
nama Put-pai-siu Hong-jin tersebut. Nama itu dikenal 
oleh hampir setiap tokoh persilatan, meskipun banyak 
di antara mereka yang cuma mendengar nama itu 
tanpa pernah melihat wajah pemiliknya. Mereka 
hanya mendengar sepak terjang tokoh itu yang angin-
anginan, suka membawa adatnya sendiri, namun 
memiliki kesaktian yang amat tinggi, sehingga orang 
menjadi segan berurusan dengannya. 
"Ah, tampaknya Ciangkun pernah mendengar nama 
itu?" 
"Ya-ya, aku... aku pernah mendengarnya." Su Hiat 
Hong menjawab gugup. 
"Hei, Sute! Bagaimana...? Kau mau tidak?" suara 
teriakan Put-pai-siu Hong-jin kembali terdengar. 
Keras sekali, tapi Su Hiat Hong tetap tidak bisa 
mencari sumber suara itu. 
"Pokoknya... Suheng mau mengajari jurus 
"Menerobos Lobang Pintu Jala" tidak?" Put-tong-sia 
balas berteriak. 
"Baik! Baik Cepatlah! Tapi kalau sampai tiga kali 
kuajari kau tetap tidak bisa, kuketok kepalamu sampai 
benjol! Ayoh, sekarang cari aku!" 
Put-tong-sia memandang Su Hiat Hong. "Ciangkun, 
apakah kau sudah tahu tempat persembunyian 
Suhengku?" 65 
"Huh!" Perwira itu mendengus tanpa menjawab. 
Put-tong-sia tertawa kecil. Tiba-tiba ia berpaling ke 
pohon siong tua yang tumbuh di dekat jalan. 
"Nah, Suheng, kau turunlah dari pohon siong itu! 
Hati-hati, di dekatmu ada sarang lebah! Kau bisa 
dikeroyok bila menyentuhnya!" 
Su Hiat Hong terkejut. Ia sama sekali tak melihat 
bayangan manusia di balik rimbunnya daun pohon 
siong tersebut. Namun rasa kaget segera berubah 
menjadi rasa penasaran, karena orang itu benar-benar 
bersembunyi di sana. 
"Kurang ajar...! Bagaimana kau bisa tahu aku 
bersembunyi di sini?" 
Pohon itu bergoyang-goyang, tapi Put-pai-siu 
Hong-jin tetap tidak mau menampilkan dirinya. 
Hanya kawanan lebah saja yang semakin banyak 
beterbangan di sekeliling pohon itu. 
"Ah, tololnya aku!" Su Hiat Hong berdesah di 
dalam hati mengumpati kebodoh annya. Ternyata Put-
tong-sia lebih cerdik daripada dia. Pemuda itu bisa 
menebak persembunyian suhengnya karena melihat 
gerakan kawanan lebah tersebut. 
"Nah kau telah kalah bertaruh lagi, Suheng!" Put-
tong-sia berseru. 
"Anak Iblis! Belut Licin! Bocah Cerdik! Kawanan 
lebah ini memang menjengkelkan!" akhirnya Put-pai-
siu Hong-jin mengumpat-umpat pula setelah 
mengetahui penyebab kekalahannya. 66 
"Suheng tak perlu marah-marah, hehe he! Sekarang 
tunggu saja di situ, aku akan melayani Ciangkun ini 
dahulu!" 
Su Hiat Hong cepat melintangkan pedangnya di 
depan dada. Sambil merendahkan tubuh ia bersiap 
siaga menghadapi lawannya. "Ayoh, keluarkan saja 
senjatamu...!" geramnya. 
Tapi dengan sikap yang masih tetap santai Put-
tong-sia mengelengkan kepalanya. "Ciangkun, 
tampaknya kau belum mengenal Aliran Beng-kau, 
sehingga tak tahu kalau anggota Beng-kau tak pernah 
membawa senjata. Senjata mereka adalah tubuhnya. 
Tangannya, kakinya, dan... pakaian yang 
dikenakannya." 
Wajah Su Hiat Hong menjadi merah. "Terserah 
kepadamu! Tapi jangan salahkan aku bila pedangku 
ini tak bisa kauelakkan!" 
"Hahahah, kita lihat saja nanti! Nah, mari kita 
mulai...!" 
Begitu selesai berbicara Put-tong-sia segera 
meloncat ke depan. Tangan kanan nya menyambar ke 
atas, seolah-olah mau meraih ubun-ubun Su Hiat 
Hong, hingga perwira dari istana itu buru-buru 
menyong songnya dengan sabetan pedang. Wuuut! 
Terpaksa Put-tong-sia menarik kembali tangannya. 
Dan Su Hiat Hong tidak mau kalah cepat. 
Sementara lawannya menarik tangan, pedangnya 
segera memburu dengan tusukan ke arah badan bagian 
atas. Ujungnya bergetar, seakan-akan ingin memilih 67 
sasaran yang dipilihnya, yaitu mata, leher, atau 
jantung! Jurus ini disebut Burung Bangau Mematuk 
Ikan, jurus ke tujuh dari Sin-ho Kiam-hoat. 
"Oh, ternyata bagus juga ilmu pedangmu..." 
Sambil memuji Put-tong-sia menggeliatkan 
tubuhnya ke kanan untuk menghindar, sekaligus balik 
menyerang dengan totokan ujung jarinya. Cussssss! 
Hembusan angin panas menyertai serangan tersebut, 
tertuju ke arah pergelangan tangan Su Hiat Hong yang 
memegang pedang! 
Terkesiap juga Su Hiat Hong menyaksikan 
kesigapan lawannya, apalagi hembusan hawa panas 
itu. Bergegas ia menarik tubuhnya ke belakang, lalu 
memutar pedangnya untuk melindungi pergelangan 
tangan. Cring...! 
Ujung jari Pu-tong-sia yang berubah seperti tongkat 
baja itu membentur badan pedang Su Hiat Hong. 
Demikian keras dan kuatnya sehingga pedang itu 
hampir terlepas dari genggaman. Untunglah perwira 
itu cepat mengerahkan tenaga untuk 
mempertahankannya. 
Pengalaman itu membuat Su Hiat Hong semakin 
berhati-hati. Dia sadar bahwa lawannya memiliki 
kepandaian sangat tinggi. Oleh karena itu Su Hiat 
Hong tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi, ia segera 
mengerahkan seluruh kemampuannya. 
Dikeluarkannya jurus-jurus Sin-ho Kiam-hoat yang 
paling dia andalkan. 68 
Pedang itu berputar dengan cepat membentuk 
lingkaran, semakin lama semakin membesar. 
Berbareng dengan itu Su Hiat Hong menerjang ke 
depan, seolah-olah mau mencincang tubuh Put-tong-
sia. Terdengar gaung suara pedang itu menembus 
angin. 
Karena tidak memegang senjata, Put-tong-sia 
terpaksa melompat ke belakang. 
Tapi pedang itu terus mengejarnya, sehingga Put-
tong-sia harus menghindarinya dengan melenting 
tinggi ke udara untuk mematahkannya. Huuup! 
Seperti yang dilakukan di atas panggung tadi, Put-
tong-sia berjungkir balik di udara beberapa kali. 
Lagi-lagi serangan Su Hiat Hong gagal menyentuh 
lawan. Bahkan kedudukannya justru berbalik menjadi 
berbahaya sekarang. Dari atas Put-tong-sia 
menjejakkan kakinya ke bawah untuk menggempur 
kepalanya. 
"Bagus...!" Su Hiat Hong berdecak kagum seraya 
membanting tubuhnya ke tanah dan menggelinding 
pergi menjauhi lawan. 
Put-tong-sia mendarat kembali di atas tanah, 
sedangkan Su Hiat Hong cepat berdiri pula di atas 
kakinya. Mereka kembali berhadapan dalam jarak 
lima langkah. Masing-masing mempersiapkan dirinya. 
"Bagus! Lihat pedang...!" Su Hiat Hong berseru 
keras dan mendahului menyerang. 
Put-tong-sia atau nama sebenarnya adalah Chin 
Tong Sia itu cepat mengelak kemudian balas 69 
menerjang dengan jari-jarinya yang ampuh. Sekejap 
saja mereka segera terlibat dalam pertarungan seru. Su 
Hiat Hong dengan pedangnya yang panjang, 
sementara Put-tong-sia bergerak lincah dengan 
ginkangnya yang tinggi. 
Sin-ho-kiam-hoat memang memiliki jurus-jurus 
yang kuat dan berbahaya. Meskipun inti gerakannya 
lebih banyak bertumpu pada pertahanan, namun sekali 
waktu juga dapat menyerang dengan ganas. Gerakan 
kakinya tidak begitu banyak bahkan tampak sangat 
sederhana. 
Demikian pula 
dengan gerakan-
gerakan tangan nya. 
Pedang itu lebih 
banyak 
dipergunakan untuk 
melindungi tubuh 
daripada untuk 
menyerang. Hanya 
sekali-kali saja 
ujung pedang itu 
mematuk lawan. 
"Wah... ilmu 
pedangnya lumayan 
juga! Sayang 
gerakannya terlalu lamban!" tiba-tiba Put-pai-siu 
Hong-jin memuji dari tempat persembunyiannya.  70 
"Benar, Suheng! Kuda-kudanya juga kurang 
kokoh...!" 
Dapat dibayangkan betapa murkanya hati Su Hiat 
Hong. Lawannya yang masih muda dan bertangan 
kosong itu tampaknya amat memandang rendah ilmu 
pedangnya. 
"Bangsat sombong! Buktikan dulu, baru bicara! 
Jangan banyak omong!" 
"Haha-haha-haha,..! Suheng, kau membuatnya 
marah!" Put-tong-sia tertawa sambil menghindar 
sabetan pedang lawan. 
Put-pai-sui Hong-jin tertawa terkekeh-kekeh, 
namun tidak meneruskan ejekannya. Dari sela-sela 
tawanya justru terlontar sebuah pantun acak-acakan 
yang disuarakan dengan nada sumbang. 
Tikus kecil mandi di sungai. 
Bulunya jelek, merah tak merata. 
Aduhh Mak......! 
Gadis manis mandi di pantai. 
Tubuhnya molek, indah dipandang mata. 
Tubuh Chin Tong Sia atau Put-tong-sia 
berkelebatan ke sana ke mari untuk menghindari 
pedang Su Hiat Hong, meskipun demikian ia masih 
sempat mendengarkan pantun suhengnya. 
"Jorok...! Suheng jorok! Pantun yang jelek!" 
serunya kurang senang, lalu ikut-ikutan berdendang 
dengan sajaknya sendiri. 71 
Tikus kecil mandi di sungai. 
Bulunya jelek, merah tidak merata. 
Bujang kecil berurai air mata. 
Wajahnya jelek, orang tua tiada. 
Ooooh, nasib...... ! 
"Wah, bosan! Benar-benar membosankan! Sejak 
zaman purbakala pantunmu melulu yang sedih-sedih 
saja! Apakah kau tidak punya hapalan yang lain lagi, 
heh, .,.?" tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin marah-marah. 
"Biar! Memangnya kenapa? Yang penting aku 
sendiri senang!" Chin Tong Sia membantah. Lalu 
menyanyikan lagunya lagi. Bahkan lebih keras. 
Tikus kecil mandi di sungai. 
Bulunya jelek merah tak merata. 
Aduuuh Mak......f 
"Berhenti! Berhentiiiiii...! Mau berhenti tidak? 
Kubunuh kau nanti!" Put-pai-siu menjerit berang. 
Tangannya meraup daun pek di dekatnya. 
Tapi Chin Tong Sia tetap tak peduli. Sambil 
melayani serangan Su Hiat Hong ia tetap 
menyanyikan pantunnya yang sedih. Tentu saja Put-
pai-siu Hong-jin benar-benar menjadi jengkel. Daun 
yang tergenggam di tangannya disambitkan ke bawah, 
ke arah Chin Tong Sia. 
Siiuuut! Siuuut! Siuuut! 72 
Meski daun itu hanya benda yang tipis dan ringan, 
tapi begitu terlempar dari tangan Put-pai-siu Hong-jin, 
bisa meluncur deras bagai pisau terbang, menebas ke 
arah bagian-hagian berbahaya di tubuh sutenya. 
Tentu saja Chin Tong Sia terkejut sekali. Pukulan-
pukulan tangannya yang sebenarnya sedang mendesak 
Su Hiat Hong, terpaksa ditariknya kembali. Tubuhnya 
yang kurus itu terpaksa melenting ke sana ke mari 
untuk menghindarkan diri dari keganasan daun-daun 
pek yang berbahaya. 
Dan kesempatan ini tak disia-siakan oleh Su Hiat 
Hong. Perwira pasukan rahasia kerajaan itu cepat 
melompat meninggalkan pertempuran. Dengan 
tangkas kakinya berlari menyusuri jalan yang menuju 
ke kota Hang-ciu. 
"Berhenti...!" Chin Tong Sia berteriak. Kakinya 
menjejak tanah, dan tubuhnya meluncur ke depan 
dengan cepatnya. 
Tapi lagi-lagi Puit-pai-siu Hong-jin menaburkan 
daunnya. Kali ini bahkan lebih banyak lagi. Semuanya 
menerjang ke tempat-tempat yang mematikan di 
badan sutenya. 
"Suheng, kau...! Apa maumu sebenarnya?" pemuda 
itu menjerit marah. Otomatis langkahnya tertunda, 
sehingga sekejap kemudian buruannya telah hilang di 
balik tikungan. 
"Habis, kau telah membajak laguku! Kau ubah 
pula! Mana aku mau mengerti, heh? Minta maaf dulu 
kepadaku, baru aku mau berhenti menyerangmu!" 73 
Chin Tong Sia mati-matian mengelakkan serangan 
suhengnya. Setelah itu ia berdiri tertegun mengawasi 
Put pai-siu Hong-jin yang sudah turun pula dari pohon 
pek. Perlahan-lahan kejengkelan pemuda itu mereda. 
Suhengnya telah kumat gendengnya., Kalau dilayani 
tentu tidak akan ada henti-hentinya. 
"Baiklah, Suheng. Aku mengaku salah. Aku tak 
akan membajak pantunmu lagi. Hah, sekarang marilah 
kita mengejar perwira itu tadi!" 
"Ho-ho-ho-ho, enak saja. Kau tentu tidak 
bersungguh-sungguh meminta maaf kepadaku. Di 
dalam hatimu kau tentu mentertawakan aku. Heh-heh, 
kau belut kecil ini memang sangat cerdik dan lincah 
sekali. Jangan harap kau bisa mengakali aku. Aku 
sudah hapal watakmu luar- dalam, heh-heh. Aku yang 
mengasuh dan mendidikmu sejak bayi...." 
Chin Tong Sia tersenyum sambil menghela napas 
panjang. Perasaan jengkelnya sudah hilang. 
Sebenarnya ia sangat hormat dan sangat sayang 
kepada suhengnya itu. Suhengnya itulah yang 
merawat, mengasuh dan mendidiknya sejak kecil. 
Bahkan ilmu silatnya pun sebenarnya sebagian besar 
adalah hasil didikan suheng-nya itu. Memang 
tampangnya amat menyeramkan, dan tindak-tanduk 
atau perilakunya seperti orang gila, tapi sebenarnya 
dia benar-benar waras dan cerdik luar biasa. Ilmu 
silatnya pun paling tinggi di .antara tokoh-tokoh 
Beng-kau sekarang. Gurunya sendiri, yang kini sudah 
mengasingkan diri di ruang semedi, mengakui 74 
kehebatan ilmu suhengnya itu. Dialah satu-satunya 
tokoh Beng-kau yang mampu mendalami serta 
menghayati betul ilmu rahasia Aliran Beng-kau, yaitu 
Chou-mo-ciang (Tangan Menangkap Setan). 
"Lalu... apa yang harus kulakukan agar kau percaya 
kepadaku, Suheng?" 
Put-pai-siu Hong-jin menghampiri Chin Tong Sia, 
lalu merangkul pundaknya. Sambil tertawa terkekeh-
kekeh ia berkata lucu, "Tentu saja kau harus 
menyanyikannya dulu dengan betul, heh-heh-heh..." 
Demikianlah, sambil menyanyikan pantun ciptaan 
Put-pai-siu Hong-jin tadi, Chin Tong Sia dan 
suhengnya berjalan bersama-sama ke kota Hang-ciu 
kembali. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi 
para pengawal yang tentu akan menangkap mereka di 
kota nanti. 
-- o0d-w0o -- 
"Jadi... pemuda itu dari aliran Beng-kau?" Lelaki 
beruban atau Lim Kok Liang itu menegaskan. 
"Ia memang berkata demikian. Mengapa...?" Su 
Hiat Hong bertanya pula. 
Lim Kok Liang mengerutkan dahinya yang lebar. 
"Gawat! Kalau orang-orang kang-ouw (rimba 
persilatan), apalagi aliran-aliran ternama seperti Beng-
kau, sudah ikut campur tangan dalam masalah ini, 
keadaannya akan menjadi gawat!" 75 
"Tapi mereka cuma seorang anak muda yang masih 
ingusan dan seorang lelaki tua gila yang tak perlu 
ditakutkan, Suheng." 
"Huh, kau sungguh bodoh! Kalau benar apa yang 
kaulihat dan kaudengar tadi, orang berwajah 
menyeramkan dan bernama Put-pai-siu Hong-jin 
adalah tokoh ternama dari aliran Beng-kau. Dia 
adalah kakak seperguruan Put-sim-sian (Dewa Tak 
Berperasaan), pejabat ketua aliran Beng-kau 
sekarang." 
"Oh! Dan... pemuda itu, kalau begitu dia juga adik 
seperguruan Ketua Aliran Beng-kau itu!" Su Hiat 
Hong berdesah gagap. 
"Mungkin juga. Sudahlah, mari kita pergi ke 
panggung lui-tai lagi. Masalah ini nanti kita laporkan 
kepada Au-yang Goanswe. Goanswe harus 
mengetahui masalah ini." 
"Tapi... Suheng?" 
Lim Kok Liang menghentikan langkahnya. 
Matanya mengawasi Su Hiat Hong dengan heran. 
"Ada apa...?" 
"Anu... apakah Suheng tahu tentang masalah yang 
membuat curiga orang-orang Beng-kau itu? 
Maksudku... maksudku, apakah memang benar ada 
sesuatu yang tidak beres pada acara perlombaan yang 
diselenggarakan oleh kerajaan ini?" 
Lim Kok Liang tertegun. Matanya semakin tajam 
mengawasi Su Hiat Hong. Tapi beberapa saat 
kemudian mata itu perlahan-lahan menunduk, bahkan 76 
perwira itu lalu menghela napas panjang sekali. 
Kakinya kembali melangkah perlahan-lahan. Su Hiat 
Hong segera mengejarnya. 
"Bagaimana, Suheng?" 
"Mengapa kautanyakan hal itu? Kita cuma seorang 
perwira dari pasukan rahasia, yang diperbantukan 
kepada Au-yang Goan-swe. Tugas kita hanyalah 
melaksakan perintah yang diberikan oleh beliau. Perlu 
apa kita mencari tahu tentang latar belakang dari 
perintah itu?" 
"Jadi... Suheng juga tidak tahu?" 
Lim Kok Liang menggelengkan kepalanya. "Aku 
memang juga merasakan adanya sesuatu di balik 
pengadaan lomba "Mengangkat Arca" ini. Tapi... 
sudahlah, sebagai seorang perwira kita tinggal 
melaksanakan perintah saja. Habis perkara." 
Su Hiat Hong tidak mendesak lagi. Mereka segera 
ikut berdesakan di antara penonton yang memadati 
arena panggung lui-tai itu. Ternyata perlombaan 
"Mengangkat Arca" telah selesai. Peserta yang 
dianggap berhasil dan memenuhi syarat pun telah 
dipanggil kembali ke atas panggung. Mereka hanya 
berjumlah sepuluh orang. Dan A Liong, pelayan 
warung itu ternyata berada di antara mereka! 
"Lim Suheng, lihat! Jagomu ternyata ikut terpilih 
juga!" Su Hiat Hong berseru gembira. 
"Anak itu memang hebat! Sejak semula aku telah 
melihat sesuatu yang mengagumkan pada diri anak 
itu. Ternyata firasatku itu memang benar." 77 
Dan pada saat itu pula A Liong melihat mereka. 
Memang sejak tadi anak itu mencari-cari mereka di 
antara penonton. Kedua tangan itu melambai-lambai 
ke arah mereka. Su Hiat Hong membalas pula 
lambaiannya. 
"Mulai besok pagi kita harus berjalan jauh lagi. 
Kita bertiga dengan Tong Tai-su harus mengawal 
sepuluh anak ini ke kota raja. Dan paling lambat bulan 
depan harus sampai di sana." Lim Kok Liang berkata 
dengan suara berat. 
"Yah, kita memang kurang beruntung. Sementara 
perwira-perwira yang lain hanya mendapatkan tempat 
tugas yang dekat, kita berdua mendapatkan bagian 
yang jauh." 
"Ah... kita ini masih lebih beruntung daripada 
mereka yang dikirim ke kota-kota di propinsi selatan 
sana. Dalam waktu sebulan mereka juga harus sudah 
tiba di Lok Yang (kota raja). Kasihan sekali, bukan?" 
"Lalu dengan apa kita membawa anak itu?" 
"Kita tidak perlu memikirkannya. Panitia yang 
dibentuk dan ditempatkan di sini tentu sudah 
mempersiapkan segalanya. Kita tinggal mengawal 
saja. Masing-masing sudah ditentukan tugasnya." 
"Nah, hal-hal seperti inilah yang mengundang 
kecurigaan itu, Suheng. Tampaknya seluruh rencana, 
aturan-aturannya, syarat-syaratnya, sampai pada 
pelaksanaannya, semua diatur dan dikerjakan oleh 
petugas-petugas dari kota raja. Itu pun dilakukan oleh 
kesatuan-kesatuan dan kalangan tertentu saja, seperti 78 
kita ini. Pihak penguasa daerah, seperti kepala daerah, 
bupati dan lain-lainnya, sama sekali tak diajak atau 
diberi wewenang untuk melaksanakannya. Bukankah 
hal itu menimbulkan berbagai macam pertanyaan? 
Tentu saja tak mengherankan apabila tokoh-tokoh 
Beng-kau itu sampai mencurigai kita." 
"Ah, kau berbicara tentang itu lagi. Bukankah 
sudah kukatakan bahwa kita ini cuma pelaksana saja? 
Lalu kau mau apa? Apa kau mau memberontak dan 
melawan tugas?" 
Su Hiat Hong tersipu-sipu. Ia tak bisa menjawab 
pertanyaan temannya itu. 
"Suheng, kau ini ada-ada saja. Aku tidak 
bermaksud apa-apa. Aku hanya merasa penasaran. 
Rasanya aku ini seperti melangkah di jalan yang tidak 
ada ujung-pangkalnya...." 
"Sudahlah, jangan kaupikirkan lagi masalah ini. 
Pokoknya kita melaksanakan tugas kita sebaik-
baiknya." 
Mereka tak berbicara lagi. Mereka memusatkan 
pandangan mereka ke panggung, menyaksikan piala 
dan hadiah-hadiah yang diberikan oleh Bupati kota 
Hang-ciu kepada para pemenang. Para penonton 
bertepuk tangan menyambut kemenangan para peserta 
itu. 
Sementara itu di panggung barongsai juga sudah 
sampai pada babak yang terakhir pula. Keenam grup 
barongsai itu sudah dipertarungkan semuanya, dan 
sudah ada tiga pemenangnya. Mereka itu adalah grup 79 
barongsai dari kampung Ui-thian cung, grup 
barongsai dari Pek-hok-bio (Kuil Kelelawar Putih), 
dan grup barongsai dari Hek-to-pai (Perguruan Golok 
Hitam). Dan babak selanjutnya adalah menentukan 
urut-urutan juaranya. Mereka bertiga akan 
dipersilakan tampil ke atas panggung semuanya untuk 
memperebutkan bungkusan mutiara yang 
digantungkan tinggi-tinggi di tengah arena. 
"Wah, kali ini benar-benar akan mengasyikkan. 
Ketiga barongsai itu akan berlaga bersama-sama. 
Masing-masing barongsai seperti mendapatkan dua 
lawan yang harus dihadapi." A Tung yang telah 
bergeser pula ke panggung barongsai itu berseru 
gembira. 
"Kau menjagoi yang mana, heh?" Lok Ma bertanya 
sambil menyodokkan sikunya ke pinggang A Tung. 
"Hehehe... tentu saja aku pilih yang hitam, sesuai 
dengan kulitku. Apalagi pemain-pemainnya kelihatan 
serem-serem. Mereka tentu pendekar-pendekar tulen. 
"Hah, kau ini ada-ada saja. Masakan ada pendekar 
tulen segala. Lalu... yang pendekar tipuan mana?" Lok 
Ma tertawa. 
"Tentu saja ada. Kau mau tahu? Lha ... kau ini? 
Bukankah kalau di desa lagakmu seperti jagoan saja? 
Tapi...? Dengan binimu saja kau selalu dibantai, hehe-
he...!" A Tung yang pintar bicara itu mulai meledek 
lagi. 
"Babi kau...!" Lok Ma mengumpat jengkel . 80 
Para penonton yang berdiri di sekitar mereka ikut 
terpingkal-pingkal mendengar kelakar dua sahabat itu. 
Bahkan Siau In bertiga, yang telah bergeser pula ke 
tempat itu, ikut tertawa juga sampai mengeluarkan air 
mata. Gadis centil itu, yang pada dasarnya memang 
suka benar bergurau, segera melemparkan umpan lagi 
agar kelakar mereka menjadi semakin ramai. 
"Masakan Paman ini kalah dengan isterinya...?" 
pancingnya sambil masih tetap tertawa. 
"Benar, Kou-nio (Nona). Kawanku ini tak pernah 
menang melawan isterinya. Asal dia dan isterinya 
ribut, kami tetangganya, mesti punya pekerjaan 
sambilan, yaitu... menggotong dia ke rumah tabib. 
Heh-heh-heh-heh...!" A Tung menjawab cepat 
pancingan Siau In itu. 
"Siapa bilang aku tak pernah menang? Bukankah 
sepekan yang lalu... aku tidak kalian gotong? Dua hari 
sebelumnya aku juga tetap sehat-sehat saja! Justru 
biniku yang melolong-lolong minta ampun 
kepadaku!" Si Pendek Lok Ma itu menyahut dengan 
kata-kata konyol, sehingga para penonton menjadi 
semakin geli dan tertawa bergelak. 
Tak terduga A Tung justru semakin tak bisa 
menahan gelaknya, sampai-sampai ia terbungkuk-
bungkuk memegangi perutnya 
Siau In tak kuasa menahan rasa ingin tahunya. 
"Kenapa, Paman? Kenapa kau tertawa begitu?" 
A Tung melepaskan perutnya, lalu mengusap air 
matanya. "Tentu saja... tentu saja dia menang... ha-ha 81 
ha... karena... karena isterinya sedang bunting tua! Ha-
ha-ha...! Jangankan harus melawan suaminya, 
sedangkan untuk berjalan sendiri saja... sudah, ha-ha-
ha!" 
Tawa penonton di sekitar tempat itu pun semakin 
meledak, sehingga Lok Ma yang konyol itu menjadi 
merah sekali mukanya. Dari malu ia menjadi marah. 
Tangannya segera diangkat untuk memukul A Tung, 
tapi A Tung cepat-cepat menghindar dan lari 
menjauhinya. Dan keduanya lalu berkejaran di antara 
rimbunnya penonton. 
"Hahaha... ada-ada saja!" Sin Lun tertawa. 
"Mereka memang sangat menggelikan." Ciu In 
menyahut pula. Wajahnya yang biasa berkesan dingin 
itu kini kelihatan merah berseri-seri, sehingga Sin Lun 
yang ada di sampingnya menjadi kagum dan 
terpesona melihatnya. 
"Ciu Sumoi memang cantik sekali." puji Sin Lun di 
dalam hatinya. 
"Eh, kau... kau kenapa, Suheng? Mengapa 
kaupandang aku seperti itu? Apakah ada kotoran yang 
menempel di mukaku?" gadis itu bertanya gugup 
sambil mengusapusap wajahnya. 
Sin Lun terperanjat kaget. "Ah, tidak... tidak apa-
apa, Sumoi. Tidak ada kotoran apa-apa di... di 
wajahmu." jawabnya kikuk dan malu. "Hmmh! 
Hmmh!" 
Tiba-tiba Siau In pura-pura terbatuk. Bahkan 
matanya yang genit itu tampak berputar-putar dengan 82 
lucu, sementara lidahnya yang kecil itu dileletkannya 
ke kanan dan ke kiri. Jelas ia hendak menggoda 
kakaknya lagi. 
Tapi niat itu menjadi urung karena tiba-tiba pula di 
panggung lui-tai terdengar tambur dan gendang 
ditabuh bertalu-talu, sebagai tanda acara pertandingan 
bebas yang telah dinanti-nantikan penonton akan 
segera dimulai. 
Dan kesempatan itu digunakan sepenuhnya oleh 
Cui In. "Suheng! Pertandingan bebas sudah akan 
dimulai. Marilah 'kita ke sana!" katanya bersemangat. 
"Ayoh,..!" Sin Lun yang merasa terbebas dari 
suasana yang kurang menyenangkan itu mengiyakan 
dengan bersemangat puia. 
Karena masing-masing seperti ingin membebaskan 
diri dari godaan Siu In, maka keduanya segera berlari 
menuju ke panggung lui-tai. Tak seorang pun dari 
keduanya yang berani melontarkan suara ajakan 
kepada tukang olok-olok itu. Mereka berdua baru 
kaget ketika ternyata gadis genit itu tidak ada bersama 
mereka. 
"Hei...? Ke mana anak badung itu? Kenapa tidak 
mengikuti kita?" Ciu In berseru kaget. Seketika 
hatinya menjadi khawatir. 
"Benar. Kemana dia? Mari kita kembali untuk 
mencarinya!" Sin Lun menjadi gugup juga. 
Mereka kembali lagi ke panggung barongsai. Tapi 
sampai lelah mereka berputar-putar, Siau In tetap 83 
tidak mereka ketemukan. Gadis lincah itu seperti 
hilang begitu saja dari tempat tersebut. 
"Kemana dia...?" Ciu In berdesah bingung. 
"Jangan bingung, Sumoi! Dia tentu sedang 
menggoda kita lagi. Dia tentu berada di antara 
penonton-penonton ini. Marilah kita cari sekali lagi!" 
Tapi bagaimanapun juga mereka tetap takkan dapat 
menemukan Siau In, karena sebetulnya gadis itu telah 
sejak tadi meninggalkan tempat keramaian. Gadis 
lincah yang merasa tidak diperhatikan oleh saudara-
saudaranya lagi itu merasa dongkol dan marah, 
sehingga ia memutuskan untuk pergi ke mana ia suka. 
Mula-mula Siau In berniat kembali ke warung dan 
makan minum sendirian di sana. Tapi niat itu lalu 
dibatalkannya pula. Ia kemudian keluar ke jalan raya 
dan berjalan tak tentu tujuan. 
Di dekat pasar Siau In berhenti. Matahari telah 
berada di atas kepala, namun karena langit mendung 
dan berawan tebal maka suasana tetap sejuk dan 
dingin. Bahkan beberapa saat lagi mungkin hujan 
akan turun. 
"Ke manakah aku akan pergi? Kota ini sedemikian 
besarnya. Di segala tempat orang pada bersukaria. 
Hmm, baiklah... aku akan pergi ke pinggir laut saja. 
Di sana tentu sepi." 
Siau In lalu melangkah lagi perlahan-lahan. Karena 
wajahnya memang cantik, berjalan sendirian pula, 
maka banyak lelaki hidung belang yang mencoba 
menggoda atau sekedar menyapa dengan ucapan 84 
"Tahun Baru". Tapi Siau In tak pernah 
menanggapinya. Gadis itu tetap berjalan terus ke arah 
pantai. 
Jalan semakin lama semakin sepi. Meskipun 
banyak rumah dan perkampungan di kanan kiri jalan, 
namun tampaknya semua penghuninya telah pergi ke 
tengah kota. Sebaliknya suara debur ombak semakin 
lama semakin terdengar nyaring ke telinga. Udara pun 
seolah-olah mulai berubah pula. Angin yang semula 
bertiup pelan dan terasa hangat, kini sedikit demi 
sedikit berubah keras dan dingin. Bahkan baunya pun 
terasa semakin amis. 
Begitu asyiknya Siau In melamun sehingga ia tidak 
menyadari kalau beberapa orang dari lelaki hidung 
belang tadi telah mengikutinya. Mereka berjumlah 
enam orang, berusia antara dua puluh lima sampai tiga 
puluh tahun. Yang terasa aneh namun juga 
menggelikan ialah kesemuanya berkulit dan berwajah 
hitam. Dan dilihat sepintas lalu saja sudah bisa diduga 
bahwa semuanya menyembunyikan senjata di balik 
pakaian mereka yang longgar. 
Jalan yang dilalui Siau In mulai menginjak daerah 
pertanian dan perkebunan. Dan tempat itu benar-benar 
sepi sekali. Tak seorang petani pun yang kelihatan 
berada di sawah atau di kebunnya. Enam orang 
hidung belang itu mulai merencanakan niat buruk 
mereka. Tapi sebelum mereka bertindak, Siau In telah 
keburu mempergunakan ginkangnya untuk 85 
mempersingkat waktu. Gadis lincah itu berlari cepat 
sekali. 
"Hei... burung cantik itu ternyata pandai terbang!" 
salah seorang dari lelaki hidung belang itu, yang 
agaknya adalah pemimpin mereka, berdesah gembira 
dan bersemangat, 
"Benar, Toa-ko. Tapi... justru lebih mengasyikkan 
buat kita! Heh-heh-heh!" yang lain menyahut pula 
dengan nada bergairah. 
"Tapi... tapi Toako, aku... aku seperti melihat 
berkelebatnya orang di belakang kita. Ketika secara 
kebetulan aku menengok ke belakang tadi, aku seperti 
melihat berkelebatnya sesosok bayangan di balik 
tumpukan jerami itu!" pengikut termuda dari 
rombongan itu tiba-tiba menyela. 
"Mana, hah...? Mana? Boneka-boneka sawah itu? 
Kau ini penakut benar! Di belakang kita kosong, tidak 
ada siapa-siapa! Matamu saja yang mungkin sudah 
juling, boneka sawah kaukira manusia sungguhan!" Si 
Pemimpin itu bersungut-sungut. 
"Benar, Toako. Mana ada orang berani bertingkah 
di depan kita? Ini daerah kita. Tak seorang pun berani 
mengganggu anggota Hek-to-pai di tempat ini! Ayoh, 
kita kejar burung cantik itu! Nanti ia keburu tiba di 
daerah perkampungan nelayan Ui-thian-cung." 
"Ayoh...!" yang lain dengan serempak mengiyakan. 
Semuanya segera mengerahkan ilmu meringankan 
tubuh mereka dan berlari secepat-cepatnya mengejar 
Siau In. Dan karena gadis itu memang tidak menduga 86 
kalau sedang dikejar orang, maka langkahnya juga 
hanya seadanya saja. Gadis itu hanya mengerahkan 
separuh dari kemampuannya berlari. Oleh karena itu 
tidaklah mengherankan apabila sebentar saja keenam 
hidung belang itu telah bisa mengejarnya. Mereka 
berlari di belakang Siau In. 
Siau In terkejut dan menoleh. Dan dahinya yang 
halus mulus itu segera berkerut ketika melihat enam 
orang lelaki berlari sambil pringas-pringis di 
belakangnya. Otomatis langkahnya dipercepat. Tapi 
orang-orang itu juga mempercepat langkah kaki 
mereka pula. Siau In menjadi penasaran, ia lalu 
meningkatkan kemampuannya berlari lagi. Tapi 
keenam orang itu ternyata juga menambah kecepatan 
mereka. 
Terjadilah kejar mengejar yang mengasyikkan di 
siang hari bolong itu. Mereka mulai menginjak daerah 
pertambakan garam. Di sana-sini, di kanan kiri jalan, 
yang terlihat cuma genangan air garam melulu. 
Barulah beberapa saat kemudian tampak sebuah 
perkampungan petani tambak di depan mereka. 
Siau In lalu mengeluarkan seluruh kemampuan 
ginkangnya. Tubuhnya yang mungil itu melesat ke 
depan bagai anak panah yang terlepas dari busurnya. 
Dan para pengejarnya segera tertinggal jauh di 
belakang. Namun demikian ketika sampai di mulut 
perkampungan petani tambak itu, Siau In 
menghentikan langkahnya. Gadis yang amat berani itu 
hendak men coba, apakah para lelaki hidung belang 87 
itu masih berani mengganggunya di perkampungan 
penduduk. 
Tapi perkiraan Siau In itu ternyata salah. Ketika 
satu persatu para pengejarnya tadi datang dengan 
napas memburu, semuanya justru menampilkan wajah 
yang amat lega. 
"Bagus-bagus! Ternyata Nona juga berhenti 
kelelahan di sini. Sungguh kebetulan sekali, hoh-hoh-
hoh! Inilah kampung tempat tinggal kami! Selamat 
datang.hoh-hoh-hoh...! Marilah singgah sebentar ...!" 
Si Pemimpin itu berkata gembira. 
Tentu saja kenyataan itu amat mengejutkan hati 
Siau In. Ternyata perkiraannya meleset. 
Perkampungan itu justru merupakan tempat tinggal 
para lelaki hidung belang tersebut. Bahkan ketika 
menengok ke sebuah pintu rumah yang paling megah 
di pinggir jalan itu, ia melihat papan nama yang 
dipasang secara menyolok sekali. Papan nama itu 
bertuliskan huruf : HEK TO PAI! 
"Celaka...! Ternyata aku berada di sarang buaya!" 
gadis itu berkata di dalam hatinya. 
Tapi sedikit pun Siau In tidak gentar! Gadis periang 
dan pemberani itu malah tersenyum menghadapi para 
pengganggunya. 
"Cu-wi (Tuan semua) ingin agar aku singgah 
sebentar di kampung ini? Ah, maaf... lain kali saja. 
Siau-te (Aku yang rendah) sedang tak pernah enak 
badan. Siaute hendak pergi ke pantai untuk 
membuang rasa sebal dan dongkol dulu. Nah, maaf..." 88 
Siau In cepat berbalik dan hendak pergi 
meninggalkan tempat itu, tapi orang-orang Hek-to-pai 
itu dengan cepat mengepungnya. Malahan salah 
seorang di antara mereka segera berlari ke 
perkampungan memanggil teman-temannya. 
"Nanti dulu, Nona. Kau tidak boleh menolak 
undangan kami. Sekali kami mengundang orang, 
orang itu harus datang. Menolak undangan kami 
berarti menghina Hek-to-pai! Dan... siapapun juga 
yang berani menghina Hek-to-pai tentu tidak akan 
berumur panjang!" si pemimpin itu mengancam. 
Bukan main marahnya hati Siau In. Orang-orang 
berkulit hitam itu benar-benar telah meremehkan 
dirinya. Karena ia cuma seorang perempuan muda, 
apalagi hanya seorang diri, mereka lalu main paksa 
seenak mereka sendiri, seolah-olah dia itu cuma 
seorang perempuan desa murahan. Apalagi cara 
mereka memaksa itu dengan kedok dan selubung 
Hek-to-pai. Siau In benar-benar muak sekali. 
"Anjing-anjing keparat! Kaukira aku gentar melihat 
tampang-tampang hitammu yang menjijikkan itu, 
hah? Meskipun kau berlindung di balik perkumpulan 
orang-orang yang berjalan di jalan hitam (hek-to), aku 
tidak takut! Suruh semua orang-orangmu ke sini! 
Suruh ketuamu sekalian ke mari! Akan kucuci habis-
habisan muka kalian yang hitam legam itu agar kalian 
bisa melihat hal-hal yang terang dari wajah kalian 
itu!" Siau In berteriak lantang. 
89 
Betapa hebatnya penghinaan itu! Tak heran bila 
orang-orang Hek-to-pai itu tak dapat menahan 
amarahnya. Apalagi gadis itu dengan seenaknya 
mengubah arti dari nama perkumpulan mereka, dari 
Hek-to yang bermakna Golok Hitam menjadi Hek-to 
yang bermakna Jalan Hitam. Kedua buah ucapan itu 
memang hampir sama. 
"Babi betina yang tak tahu diri! Kau memang 
pantas mati dengan mengenaskan! Akan kubelejeti 
pakaianmu, lalu akan kunista dirimu beramai-ramai di 
air tambak itu, sehingga kau akan mengalami 
penderitaan yang tak mungkin bisa kaulupakan 
seumur hayatmu! Ayoh, kawan-kawan... bekuk dia!" 
si pemimpin itu mengumpat dan mengancam. 
Si pemimpin itu sendiri lalu minggir untuk 
memberi kesempatan empat orang temannya untuk 
membekuk gadis sombong itu. Ia masih beranggapan 
bahwa Siau In tidak berbahaya dan hanya pandai 
berlari saja. Ia menganggap empat orang temannya itu 
sudah lebih dari cukup untuk menangkap betina galak 
tersebut. 
Dan kesombongan orang itu benar-benar harus 
dibayar mahal oleh teman-temannya. Dalam waktu 
singkat, hanya dengan empat kali gerakan tangan, ke 
empat orang itu telah menjerit kesakitan dan 
kemudian terlempar bergelimpangan terkena ujung 
sepatu Siau In! Begitu singkatnya, sehingga orang-
orang yang sangat memandang rendah Siau In itu 
tidak sempat mempergunakan golok hitam 90 
kebanggaan mereka! Masing-masing tergeletak 
pingsan dengan pisau kecil menancap di keh-jin-hiat 
mereka. 
Si pemimpin itu melongo sambil mengucak-ucak 
matanya. Ia sama sekali belum sadar apa yang telah 
terjadi, dan sama sekali juga belum bisa percaya 
bahwa semuanya itu bisa terjadi. Semuanya 
berlangsung dengan begitu cepat. Cepat sekali, 
sehingga rasa-rasanya suara perintahnya tadi masih 
terngiang-ngiang di telinganya sendiri. 
"Hayo! Mengapa kau berdiri bengong saja di 
tempat itu? Majulah! Akan kulemparkan bangkaimu 
nanti ke tengah-tengah air tambak itu, agar rohmu 
menderita pula di alam baka!" Siau In yang sudah 
menjadi buas itu menjerit marah. Di telapak 
tangannya masih tersisa sebilah pisau. 
"Kau... lukai mer-mereka... semua? Kau benar-
benar setan betina!!" dengan suara hampir tidak jelas 
si pemimpin itu mengumpat dan menerjang. 
Tangannya telah menggenggam golok hitam yang 
berkilauan saking tajamnya. 
"Heeiitt!" 
Siau In meloncat ke kiri dengan sigapnya. 
Tangannya terayun, tapi bukan untuk melemparkan 
pisaunya. Tangan yang kecil itu dipakai untuk 
menghantam pergelangan tangan lawannya yang 
mencekal golok. Sementara kaki kanannya yang 
bersepatu tipis itu menerjang tinggi ke arah ulu hati. 
Gerakan bertahan dan menyerang ini adalah sebagian dari jurus Naik Tangga Memandang Bulan, di mana 
tangan kiri yang memukul pergelangan tangan lawan 
itu diibaratkan sedang menguak rintangan penutup 
rembulan, dan kaki kanan yang melayang naik ke ulu 
hati itu diibaratkan sebagai kaki sedang menaiki 
tangga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT