PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

PENDEKAR PEDANG PELANGI JILID 01

AAT-tat-tat-taaaaar! Taaar! Taaar!
Taaaaaar......!
"Aha... Selamat Tahun Baru! Selamat
Tahun Baru! Selamat......!"
"Kiong-hi! Kiong-hi...! Selamat Tahun
Baru! Kiong-hi..!”
Taaaar! Taaaaaar! Rat-tat-tat-tat-taaaaaa!
Taaaaaaaar......!
Hari itu adalah permulaan bulan ke satu, tahun 180
Sebelum Masehi, yaitu lima belas tahun setelah
Kaisar Liu Pang wafat. Lima belas tahun memang
bukanlah waktu yang pendek, hingga tidak
mengherankan bila semua orang seakan telah
melupakan kaisar mereka yang bijaksana itu. Bahkan
rasanya semua orang juga sudah tidak peduli pula,
bahwa selama itu kursi singgasana masih tetap kosong
dan belum ada yang mendudukinya. Putera Mahkota,
Pangeran Liu Yang Kun, yang sebelumnya telah
ditunjuk oleh Kaisar Liu Pang, ternyata justru
menghilang dari tempat tinggalnya begitu upacara
pemakaman ayahnya selesai. Bahkan Putera Mahkota
yang dicintai rakyat itu tetap tidak muncul takkala
beberapa hari kemudian istana pribadinya musnah
dimakan api beserta seluruh isi keluarganya.
Untunglah Permaisuri Li, isteri Kaisar Liu Pang
merupakan ibu tiri dari Pangeran Liu Yang Kun,
segera maju ke depan untuk mengambil alih roda 4 
pemerintahan untuk sementara. Permaisuri yang 
masih berusia muda itu berjanji untuk mewakili 
sebelum Pangeran Liu Yang Kun diketemukan. Akan 
tetapi setelah bertahun-tahun kemudian ternyata 
pangeran itu belum juga diketemukan, terpaksa 
Permaisuri Li mencalonkan puteranya sendiri, 
Pangeran Liu Wan Ti yang masih kecil, sebagai calon 
pengganti kaisar yang baru. 
Demikianlah, selama lima belas tahun itu ternyata 
Permaisuri Li benar-benar telah membuktikan 
kecakapannya sebagai pemangku kekuasaan. Dia 
pandai sekali mengatur roda pemerintahan, dan dia 
juga cerdik pula memilih para pembantunya. Suara 
rakyat dan kepentingan umum selalu dia perhatikan 
dengan seksama, sehingga lambat-laun orang pun 
menjadi suka dan simpati kepadanya. Apalagi ia 
bersama para pembantunya benar-benar berusaha 
sekuat tenaga untuk memajukan dan memakmurkan 
negerinya. 
Keamanan negara serta kesejahteraan rakyat pun 
diupayakan pula dengan sebaik-baiknya. Bala tentara 
ditambah dan diperkuat, sementara sepanjang Tembok 
Besar yang menjadi penangkal serangan dari suku 
bangsa liar itu selalu dijaga dan diawasi. Maka sudah 
selayaknyalah bila sejalan dengan berkembangnya 
rasa aman serta meningkatnya kesejahteraan rakyat 
tersebut, orang pun lantas mulai melupakan Kaisar 
Liu Pang dan Pangeran Liu Yang Kun.
Orang mulai berlumba untuk menikmati 
kegembiraan dalam suasana aman dan damai itu. 
Mereka seolah-olah ingin mengambil kembali 
kebebasan mereka, yang selama pemerintahan Kaisar 
Liu Pang terkurung akibat peperangan yang 
berkepanjangan dengan suku-suku bangsa liar di luar 
Tembok Besar. 
Demikian pula dengan Perayaan Menyongsong 
Tahun Baru kali ini. Warga kota Hang-ciu, sebuah 
kota besar di pantai timur Propinsi Cse-kiang, 
menyambut kedatangan Tahun Baru ini dengan sangat 
meriah pula. Hampir semua toko dan rumah yang 
berada di pinggir jalan menghias diri sebaik-baiknya. 
Segala macam hiasan kertas dan umbul-umbul. Serta 
lampu ting yang bercorak warna-warni, mereka 
pasang di depan bangunan masing-raasing. Sementara 
di perempatan jalan besar, di pasar-pasar, maupun di 
tempat-tempat ramai didirikan panggung-panggung 
pertunjukan guna menghibur penduduk di sekitarnya. 
Dan panggung-panggung itu juga dibuat dan dihias 
pula semeriah-meriahnya, seakan-akan ingin bersaing 
dan tak mau kalah dengan panggung yang dibuat di 
halaman kabupaten. 
"Selamat Tahun Baru! Kiong-hi! Semoga panjang 
umur dan murah rejeki!" 
"Selamat...! Kiong-hi! Terima kasih! Terima 
kasih...!" 
Setiap orang, tua - muda, anak-anak, laki - 
perempuan, dengan wajah berseri serta gelak dan 6 
tawa, saling memberi salam dan puja-puji setiap kali 
berjumpa. Mereka berbondong-bondong keluar 
rumah. Masing-masing seolah-olah telah menentukan 
acaranya sendiri-sendiri. Ada yang saling 
mengunjungi sanak kerabatnya. Ada yang pergi ke 
tempat-tempat pertunjukan untuk melihat hiburan 
gratis. 
Akan tetapi sekali ini semua orang seperti 
ditumpahkan ke halaman kabupaten yang luas itu. 
Selain ada tiga buah panggung di sana, kali ini juga 
akan di adakan sebuah acara baru. Sebuah acara 
perlombaan yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan 
di seluruh negeri, yaitu Perlombaan Mengangkat 
Arca. Perlombaan yang dilaksanakan di setiap 
halaman kabupaten di seluruh Tiong-kok itu 
dimaksudkan untuk mencari pemuda-pemuda yang 
cocok sebagai calon prajurit pengawal istana. 
Suara musik dan tambur yang kemudian menggema 
di halaman Kabupaten Hang-ciu itu semakin 
menyemarakkan suasana. Apalagi para pejabat tinggi 
di kota itu telah lengkap pula di tempat duduk yang 
disediakan. Para penonton pun segera mencari tempat-
tempat duduk yang strategis untuk menyaksikan 
acara-acara yang akan dipergelarkan. 
Sementara itu di luar halaman, dua orang petani 
yang juga ingin menonton Perlombaan Mengangkat 
Arca, masih asyik duduk di sebuah warung kecil di 
pinggir jalan. Mereka mengobrol sambil ninum arak. 
Sesekali mereka melayangkan pandangannya ke arah 7 
penonton yang berduyun-duyun memasuki halaman 
kabupaten. 
"Perayaan Tahun Baru kali ini kelihatan lebih 
meriah dibandingkan tahun, kemarin, A Tung." Salah 
seorang di antara mereka yang bertubuh pendek 
berkulit kuning berkata kepada temannya yang lebih 
jangkung dan berkulit gelap. 
"Benar. Dulu memang tidak semeriah ini. Mungkin 
karena sekarang ada Perlombaan Mengangkat Arca, 
sehingga orang-orang dari kampung pun datang ke 
sini untuk menyaksikannya. Eh, apakah engkau juga 
berniat untuk mengikuti perlombaan itu, Lok Ma?" 
Petani berkulit gelap itu memandang kawannya 
dengan senyum menggoda. 
"Ah, kau! Bukankah perlombaan itu hanya 
diperuntukkan bagi remaja berusia enam belas sampai 
tujuh belas tahun saja? Huh! Kau memang selalu 
menggoda dan mengolok-olok aku!" Petani bertubuh 
pendek itu bersungut-sungut. 
"Hehehe-hehehe.... Siapa tahu engkau masih 
merasa muda belia seperti mereka?" A Tung cepat-
cepat menambahkan. 
"Huh, kau ini... memang menyebalkan!" sungut 
Lok Ma dengan wajah masam. 
"Eit, sabar dulu! Jangan mudah tersinggung! Aku 
cuma bergurau! Masakan kau yang sudah memiliki 
uban di sana-sini benar-benar mau ikut perlombaan?" 
"Habis... sedari tadi kau selalu mengolok-olok aku 
terus, sih! Kau selalu mengatakan aku seperti keledai, 8 
seperti katak raksasa dan lain-lain! Kau juga selalu 
mengejekku sebagai babi yang rakus kalau makan! 
Dan kau juga selalu mengolok-olok aku sebagai suami 
yang takut bini! Huh, bagaimana aku tidak menjadi 
sebal kepadamu?" 
A Tung tiba-tiba tertawa, namun ditahannya. "Lok 
Ma... Lok Ma! Bagaimana aku tidak menyebutmu 
sebagai keledai kalau setiap saat penampilanmu 
seperti orang tolol dan malas begini? Sudah kelihatan 
bodoh dan malas, perutmu buncit lagi akibat banyak 
makan! Persis seperti katak atau babi yang rakus, he-
he-he! Dan lebih celaka lagi... ternyata kau sangat 
takut kepada binimu!" 
"Nah, kau mulai mengejek lagi! Baik! Aku akan 
pergi saja kalau begitu! Kita menonton sendiri-
sendiri!" 
Lok Ma benar-benar menjadi marah. Cepat dia 
bangkit dari kursinya. Akan tetapi dengan tangkas A 
Tung menyambar lengannya. 
"Eeeeee... tunggu sebentar! Maafkanlah aku! Aku 
benar-benar hanya berkelekar kepadamu. Marilah 
duduk dahulu! Kita makan minum sepuasnya di sini 
sebelum menonton pertunjukan. Aku akan memesan 
ikan mas goreng serta arak wangi kesukaanmu. Aku 
yang membayarnya. Mau, bukan?" 
Tanpa menanti jawaban lagi A Tung menyeret 
sahabatnya kembali ke kursinya. Dan Lok Ma pun 
juga tidak menolak pula. Apalagi mendengar A Tung 
hendak mentraktir ikan mas goreng kegemarannya. 9 
Sambil masih berpura-pura marah petani bertubuh 
pendek dan gemuk itu memelototkan matanya. 
"Baik! Tapi aku akan segera angkat kaki kalau kau 
mengolok-olokku lagi!" 
"Ya-ya-ya... percayalah, aku tidak akan 
menyebutmu keledai, katak, ataupun babi lagi! Kalau 
nanti aku kesalahan omong dan menyebutmu keledai, 
katak atau babi, kau boleh memukulku. Tapi 
sebaliknya kalau aku benar-benar dapat memenuhi 
janjiku ini, dan tak sepatah kata pun keluar kata-kata 
keledai, katak, atau..." 
"Cukup!" Lok Ma tiba-tiba berseru, lalu bangkit 
meninggalkan kursinya. 
"Eeeeeeee, Lok Ma... tunggu!" A Tung cepat 
mengejarnya. 
Namun Lok Ma tidak peduli. Ia melangkah dengan 
cepat menghampiri pelayan yang sedang,memberesi 
dan membersihkan sisa makanan di atas meja. 
"Hei, pelayan...!" panggilnya keras-keras. 
Pelayan yang ternyata masih bocah itu cepat 
berpaling, lalu meletakkan kembali piring-piring kotor 
yang dibawanya. 
"Jiwi memanggil saya?" jawabnya sopan seraya 
memandang Lok Ma dan A Tung yang telah berdiri di 
belakangnya. 
Tiba-tiba mata Lok Ma terbelalak. Begitu pula A 
Tung. 
"Kau...?" keduanya berseru lirih, seolah-olah tak 
percaya. 10 
Sebaliknya pelayan muda itu menjadi bingung 
melihat kedua tamunya seperti sudah kenal akan 
dirinya, padahal ia sendiri sama sekali tak mengenal 
mereka. 
"A Tung...! Bukankah anak muda ini yang 
menolong anakku dari cengkeraman serigala liar itu?" 
Lok Ma berseru kepada A Tung, lupa akan 
kemarahannya. 
"Tak salah lagi! Memang dialah yang menolong 
anakmu .dari terkaman serigala hutan tiga hari yang 
lalu. Aku tak akan melupakan wajahnya!" A Tung 
menyahut dengan gembira pula melihat sahabatnya 
tidak jadi marah. 
Tiga hari yang lalu memang terjadi keributan di 
kampung Lok Ma. Kampung sepi di pinggir hutan itu 
tiba-tiba diterjang kawanan serigala liar. Untunglah 
semua lelaki di kampung itu masih berada di rumah 
masing-masing, sehingga beramai-ramai mereka bisa 
mengusir kawanan serigala buas itu. Namun demikian 
seekor serigala masih juga sempat menerkam anak 
Lok Ma yang masih kecil. Untung datang seorang 
anak muda asing yang kebetulan lewat di tepi hutan 
itu. Dengan berani anak muda asing itu merebut anak 
Lok Ma dari cengkeraman serigala buas tersebut. 
"'Selamat bertemu lagi, Saudara Kecil. Wah, 
sungguh gembira sekali bisa bertemu denganmu. Aku 
benar-benar berterima kasih sekali kau telah 
menyelamatkan anak6ku dari kematian. Oh... apakah 11 
warung ini warung ayahmu?" Lok Ma dengan riang 
menyalami pelayan muda itu. 
"Oh-eh...." pelayan itu menjadi gugup dan tersipu-
sipu. "Saya... saya bukan pemilik warung ini. Saya... 
cuma pelayan." 
A Tung melangkah dengan cepat ke muka. 
Tangannya mencengkeram lengan pelayan muda itu. 
"Nah, engkau hendak berbohong lagi! Kemarin kau 
mengaku sebagai anak gelandangan yang tak punya 
sanak saudara dan tempat tinggal. Kini kau mengaku 
sebagai pelayan warung ini. Eh, Saudara Kecil! Siapa 
sebenarnya kau ini?" serunya penasaran. 
"Benar." Lok Ma cepat menyambung perkataan 
sahabatnya. "Siapa sesungguhnya Saudara ini? Kami 
tak percaya pada ceritamu tentang anak gelandangan 
itu." 
Pelayan muda itu semakin menjadi gugup dan 
bingung. Ia tak kuasa menjawab pertanyaan tamu-
tamunya itu. Untunglah suara panggilan majikannya 
menolong dia dari kesulitannya. 
"A Liong, kemari...!" 
"Maaf, Tuan... majikanku memanggil." ucapnya 
terburu-buru, lalu bergegas meninggalkan tamunya. 
"Wah!" Lok Ma dan A Tung menggerutu kecewa. 
"Sebenarnya aku ingin tahu, siapa dia itu 
sesungguhnya! Aku yakin dia telah menyembunyikan 
keadaannya." Lok Ma terus saja bersungut-sungut. 12 
"Ya, aku juga. Melihat penampilannya, tak 
mungkin dia seorang gelandangan. Dia lebih pantas 
menjadi anak 
bangsawan atau 
anak orang 
kaya. Badannya 
kokoh kekar. 
Wajahnya 
tampan. 
Pakaiannya 
bersih dan 
rapi...." 
"Benar. 
Bahkan kami 
berani bertaruh, 
dia akan 
menjadi rebutan 
gadis-gadis di 
kemudian hari." 
Lok Ma semakin 
bersemangat. 
A Tung mendadak tertawa. Timbul kembali 
sifatnya yang riang dan suka menggoda. "Gadis-gadis 
gelandangan, maksudmu...?" oloknya jenaka. 
"Nah, kau sudah mulai lagi...!" geram Lok Ma 
bagai diingatkan kembali akan kemarahannya tadi. 
Namun tiba-tiba mereka terdiam. Dua orang 
penunggang kuda berhenti di depan warung itu. Dan 13 
A Liong yang baru saja dipanggil majikannya tadi 
tampak berlari keluar menyongsong mereka. 
"Silahkan masuk, Tuan! Masih banyak tempat 
kosong di dalam..." anak muda itu mempersilakan 
tamunya sambil menerima tali kekang kuda dari 
mereka. 
Tamu-tamu baru itu lalu melangkah ke dalam 
warung. Mereka adalah pria-pria yang gagah, apalagi 
dengan pedang panjang di pinggang mereka. Usia 
mereka pun belum begitu tua. Kira-kira sekitar empat 
puluhan tahun. Cuma yang satu agak kelihatan lebih 
matang daripada yang lain dengan gumpalan uban di 
atas telinganya. Dan secara kebetulan mereka duduk 
di dekat meja Lok Ma dan A Tung tadi. 
"Jiwi ingin memesan apa?" A Liong yang sudah 
selesai menambatkan kuda-kudanya itu cepat 
menanyakan keinginan tamu-tamunya. 
"Arak putih dan makanan kecil! Tolong pilihkan 
arak yang paling wangi!" 
Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu 
berkata. 
A Liong yang cekatan itu segera berlari ke 
belakang. 
"Ssstt, A Tung...! Aku seperti pernah melihat wajah 
orang yang lebih tua itu di Lok Yang. Tapi aku lupa 
lagi...." Lok Ma berbisik kepada kawannya. 
"Huh, lagakmu! Kapan kau pergi ke kota raja yang 
jauh itu? Kau bermimpi barangkali?"
14 
"Wah, kau ini selalu mengolok-olok aku saja. 
Bukankah aku pernah menjadi tukang gerobag di 
Kim-liong Piau-kiok (Perusahaan Ekspedisi Naga 
Emas)?" Lok Ma merengut kesal. 
"Oooh, benar! Benar! He-he-he, maaf ... aku ingat 
sekarang. Kau mendapat upah yang besar sekali kala 
itu, sehingga kau bisa mengawini binimu yang 
sekarang ini, he-he-he-he!" 
Lok Ma tak menanggapi olokan sahabatnya. 
Dengan serius ia melanjutnya bisikannya tadi, "Tapi... 
tapi rasanya orang itu dahulu mengenakan pakaian 
seragam perwira. Aku ingat benar hal itu, karena 
barang-barang yang dimuat di dalam gerobagku itu 
dikirim ke rumah seorang jenderal. Nah, yang 
menerima barang hantaran tersebut... wajahnya persis 
orang ini." 
"Sudahlah, lebih baik kita duduk kembali 
menikmati minuman. Kita tak usah mengurusi 
mereka. Mungkin orang itu memang perwira yang 
pernah kaulihat itu. Tapi mungkin juga dia adalah 
orang lain yang wajahnya mirip perwira itu. 
Lok Ma seperti tersadar dari kesalahannya. "Kau 
benar..." katanya perlahan seraya kembali ke mejanya. 
"Kita memang tak perlu..." 
Tiba-tiba keduanya terdiam kembali. Tiga orang 
lelaki menyandang golok melintas di depan warung 
itu. Melihat dua ekor kuda yang tertambat di samping 
warung, salah seorang di antara mereka mendadak 
terbatuk-batuk. Dan seperti terbawa oleh ulah mereka 15 
itu, tiba-tiba penunggang kuda yang ada di dalam 
warung juga ikut terbatuk-batuk pula. 
"Sssst! Aku juga pernah melihat tiga orang itu. 
Mereka juga teman dari perwira itu..." Lok Ma 
berbisik lagi. 
"Ah, kau ini! Bukankah kau sudah setuju untuk 
berdiam diri saja?" A Tung berdesah kesal, kemudian 
bangkit untuk memesan makanan dan minuman lagi. 
Lok Ma menarik napas panjang. Matanya tetap 
tertuju ke luar warung meskipun tiga orang bergolok 
itu sudah hilang dari pandangannya. Mereka telah 
berbaur dengan penonton-penonton yang lain. Dari 
luar justru dilihatnya A Liong pelayan muda itu, 
berlari masuk sambil membawa sesuatu di tangannya. 
Anak itu langsung menghampiri meja tamu-tamu 
baru tadi. 
"Maaf, jiwi... seseorang telah menitipkan selembar 
saputangan ketika aku membeli minyak tadi. Aku 
diminta untuk menyampaikannya kepada Ji-wi 
berdua." katanya terengah-engah sambil menyerahkan 
saputangan putih kepada tamunya. 
Lelaki yang memiliki uban kedua pelipisnya itu 
cepat menerima saputangan tersebut. 
"Terima kasih, Nak. Siapa namamu?" 
"A Liong, Tuan..." 
"A Liong saja? Apa nama keluargamu?" 
Anak muda itu tertunduk. "Saya tak tahu nama 
keluargaku, Tuan. Saya... anak gelandangan yang tak 
tahu siapa orang tua saya." jawabnya kemudian seraya 16 
menengadahkan kepalanya kembali. Suaranya 
nyaring, dan sama sekali tidak bernada sedih atau 
malu. 
Dua orang penunggang kuda itu tertegun, terutama 
yang memiliki uban di atas telinga. "Hei! Berapa 
umurmu sekarang...?" tanyanya lagi dengan wajah 
heran. 
"Maaf, Tuan. Saya... saya juga tidak tahu umur 
saya. Banyak orang menduga, umur saya sekitar 14 
sampai 17 tahunan. Entahlah, mungkin memang 
sekian itu." 
"Eh...?!?" 
Dua penunggang kuda itu saling memandang 
dengan heran, namun juga semakin tertarik kepada 
pelayan warung itu. Begitu tertariknya mereka pada 
penuturan A Liong sehingga untuk sesaat mereka 
telah melupakan saputangan mereka tadi. 
"Maaf, saya hendak melayani tamu-tamu yang 
lain..." tiba-tiba A Liong minta diri. 
Lelaki beruban itu menghela napas, sementara 
kawannya dengan cepat menyisipkan sekeping uang 
tembaga ke tangan A Liong. Anak muda itu segera 
berlalu setelah mengucapkan terima kasih. 
Beberapa saat lamanya kedua tamu itu memandang 
kepergian A Liong. 
"Lim Su-heng, sudahlah. Mari kita lihat, apa pesan 
di dalam saputangan itu. Jangan-jangan ada sesuatu 
yang penting yang hendak disampaikan kepada kita." 17 
teman lelaki beruban itu mengingatkan kawan 
seperjalanannya. 
Lelaki beruban yang dipanggil dengan nama Lim 
Su-heng itu tersentak dari lamunannya. Bergegas ia 
menyambar arak yang telah tersedia di depannya dan 
menenggaknya habis. Beberapa tetes arak mengalir 
membasahi kumis dan jenggotnya, sehingga ia 
terpaksa mengusapnya dengan saputangan pemberian 
A Liong tadi. 
Semua itu dilakukan oleh lelaki beruban itu dengan 
wajar, padahal ketika saputangan itu kemudian digelar 
di atas meja, keadaannya telah basah kuyup seperti 
baru saja dicelup ke dalam air. Namun demikian tiba-
tiba saja saputangan yang semula kosong bersih itu 
kini telah penuh dengan tulisan huruf. 
"Apa yang ditulis di situ, Suheng?" Lelaki beruban 
itu menggulung saputangannya kembali. "Tong Tai-su 
mengingatkan kita agar lebih berhati-hati lagi. Ada 
pihak luar yang hendak mengacaukan tugas kita. 
Mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi." 
"Siapa mereka...?" 
"Tong Tai-su belum mengetahuinya. Dia juga 
sedang mengadakan penyelidikan. Tapi dikatakannya 
bahwa para pengacau itu telah muncul di dua kota 
sekaligus, yaitu kota Cin-kiang dan Wuh-si di 
Propinsi Kiang-su." 
"Hei... kota itu saling berjauhan satu sama lain. 
Kalau begitu mereka memiliki kekuatan yang besar." 18 
Lelaki beruban itu tidak menjawab. Matanya 
memandang ke luar warung, di mana banyak orang 
berduyun-duyun memasuki halaman kabupaten. 
"Perlombaan Mengangkat Arca itu belum juga 
dimulai..." katanya tiba-tiba mengalihkan 
pembicaraan. 
Kawan seperjalanannya ikut melemparkan 
pandangannya ke luar, ke jalanan. Dan pada saat yang 
bersamaan A Liong datang mendekati mereka. 
Pelayan muda itu bertanya kalau-kalau tamunya ingin 
menambah pesanan lagi. 
"Ya, tambahlah araknya sebotol lagi! Eh... A 
Liong! Mengapa kau tidak ikut "Perlombaan 
Mengangkat Arca" itu? Bukankah usiamu memenuhi 
syarat?" lelaki beruban itu berkata. 
A Liong tertawa perlahan. "Percuma, Tuan. Tak 
mungkin bisa menang. Rata-rata semuanya 
mempunyai kepandaian silat yang baik. Aku sama 
sekali tak bisa apa-apa. Memegang senjata pun tak 
pernah." 
"Hei! Itu perlombaan, bukan perkelahian! Kau 
tidak akan disuruh berkelahi dengan siapa-siapa. Kau 
hanya diminta untuk mengangkat sebuah arca." 
A Liong sedikit tersipu-sipu. "Ya, tapi... orang yang 
pandai silat tentu lebih kuat, Tuan." katanya membela 
diri. 
"Nah, di sinilah kekeliruannya. Semua orang rata-
rata berpikir seperti itu, padahal hakekat dan tujuan 
daripada perlombaan ini sesungguhnya tidak 19 
demikian. Perlombaan ini dimaksudkan untuk 
mencari bibit-bibit unggul dari kalangan remaja, 
untuk nantinya akan dididik sebagai anggota pasukan 
pengawal istana. Jadi penilaiannya bukan dititik-
beratkan pada kekuatan pesertanya, tapi pada bakat 
dan cocok tidaknya peserta itu untuk dijadikan 
sebagai pengawal istana. Itulah sebabnya Sang Ratu 
mengirimkan petugas-petugasnya ke tempat-tempat 
perlombaan di seluruh negeri." lelaki beruban itu 
memberi keterangan dengan suara berapi-api. 
Tentu saja keterangan itu sangat menarik perhatian 
A Liong. Pada zaman itu siapa yang tak "ngiler" 
menjadi perajurit pengawal istana? Seragamnya yang 
megah dan indah itu selalu dikagumi oleh setiap 
orang. 
"Nah! Apakah kau tidak berminat untuk 
mengikutinya, A Liong?" kawan dari lelaki beruban 
itu tiba-tiba bertanya. 
"Kalau begitu... saya juga berminat, Tuan. Tapi..." 
A Liong berguman ragu sambil menatap ke arah 
majikannya berada. 
Lelaki beruban itu dapat menangkap kesulitan yang 
dihadapi anak muda itu. Oleh karena itu dengan 
tenang ia berkata, "Jangan takut! Pergilah 
mendaftarkan diri ke panggung itu! Biarlah aku yang 
memintakan ijin kepada majikanmu." 
"Ba-baiklah, Tuan. Terima kasih. Saya akan ke 
sana." 20 
"A Liong...!" majikan A Liong tiba-tiba 
memanggil. 
Anak muda itu mengangkat wajahnya, tapi dengan 
cepat lelaki beruban itu mendorongnya keluar, 
sehingga ia tak kuasa lagi membantahnya. A Liong 
berlari keluar. Di depan pintu hampir saja ia 
bertabrakan dengan tiga orang tamu yang baru saja 
datang. 
"Maaf...." katanya meminta maaf sambil terus 
berlari meninggalkan warung itu. 
"Hei, mau ke mana anak itu?" Lok Ma berseru 
kaget. 
"Hmm... mana aku tahu? Ya... paling-paling 
menggelandang lagi. Bukankah ia sudah mengatakan 
bahwa ia Anak Gelandangan?" A Tung menjawab 
seenaknya. 
"Ah, kau...!" Lok Ma bersungut-sungut. 
Sementara itu majikan A Liong bergegas ke luar 
dari belakang mejanya. Tetapi lelaki beruban itu 
dengan cepat menghadangnya. Sambil menyisipkan 
sekeping uang perak, lelaki beruban itu berkata 
perlahan, "Biarkan anak itu pergi! Aku telah 
menyuruhnya pergi mengikuti acara "Perlombaan 
Mengangkat Arca". Untuk sementara kau bisa 
mencari tenaga pembantu lain...." 
Pemilik warung itu tertegun mengawasi tamunya. 
Namun perlahan-lahan wajahnya tertunduk kembali. 
Sorot mata lelaki beruban itu seolah-olah menikam 21 
jantungnya dan melemaskan seluruh sendi-sendi 
tulangnya. 
"Eh-oh, tapi... tapi aku belum memberikan uang 
gajinya." akhirnya dia berkata lirih tanpa berani 
memandang tamunya. 
"Oh... itu mudah. Uang itu dapat kauberikan nanti 
setelah perlombaan selesai. Anak itu tentu akan 
kembali lagi ke sini." 
"Ba-baik, Tuan. Kalau begitu... kalau begitu... akan 
saya berikan nanti. Sekarang... maafkanlah saya, saya 
hendak menyambut tamuku itu dahulu." Pemilik 
Warung itu membungkukkan tubuhnya, kemudian 
bergegas menyongsong tiga orang tamu yang hampir 
bertabrakan dengan A Liong tadi. 
Lelaki beruban itu duduk kembali di kursinya. 
Matanya melirik ke arah tamu-tamu yang baru datang. 
Seorang pemuda dan dua orang gadis. Wajah-wajah 
mereka sungguh menarik, terutama kedua gadis itu. 
Mereka benar-benar amat cantik. Si Pemuda berusia 
sekitar dua puluh tahun, bertubuh jangkung, 
mengenakan baju dan celana berwarna kelabu. Gadis 
yang pertama berusia kira-kira sembilan belas tahun, 
berperawakan tinggi langsing, mengenakan baju 
berwarna kuning-kuning. Gadis yang ke dua kelihatan 
lebih muda lagi. Kemungkinan baru berumur enam 
belas atau tujuh belas tahun. Dan sesuai dengan 
sikapnya yang lincah dan ceria, ia mengenakan baju 
berwarna merah muda. Ketiga-tiganya tidak kelihatan 
membawa senjata. Namun demikian ditilik dari sikap 22 
dan cara mereka berpakaian dapat diduga bahwa 
mereka bertiga juga terdiri dari orang-orang rimba 
persilatan pula. 
Dugaan tersebut memang tidak salah. Begitu 
mendapatkan tempat duduk pemuda itu segera 
mengambil sikap waspada. Berkali-kali matanya yang 
sedikit cekung itu melirik ke sekelilingnya. Bahkan 
pada waktu menyantap makanan dan minumanpun ia 
selalu mengamati keadaan di sekitarnya. Dan entah 
mengapa, setiap kali pula pandangannya selalu 
berhenti pada lelaki beruban itu. 
"Su-moi berhati-hatilah...! Tampaknya di tempat ini 
banyak orang yang pantas dicurigai." akhirnya 
pemuda itu berbisik perlahan kepada dua orang teman 
gadisnya. 
"Ya, kami tahu...." kedua gadis itu menjawab 
perlahan pula. 
"Sungguh mengherankan. Rasa-rasanya kota ini 
seperti dengan tiba-tiba dipenuhi oleh orang-orang 
dari rimba persilatan. Di mana-mana kita hampir 
selalu bertemu dengan mereka." pemuda itu berdesah 
lagi. 
Kedua gadis itu menatap wajah su-hengnya, namun 
mereka tidak berkata apa-apa. Mereka lalu kembali 
menyantap makanannya. Baru beberapa saat 
kemudian gadis yang berbaju merah muda itu 
menggamit lengan su-hengnya. 
"Toa-suheng...? Aku... aku ingin bertanya 
kepadamu, tapi...?" 23 
Pemuda yang dipanggil toa-suheng itu memandang 
adik seperguruannya. "Tapi apa...?" serunya perlahan. 
"Tapi Toa-suheng jangan marah kepadaku! Mau?" 
Gadis itu cemberut sambil melirik manja. 
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah adik 
seperguruannya yang masih kekanak-kanakan itu. 
Kepalanya mengangguk. 
"Cici...? Kau juga jangan marah, ya?" gadis itu 
merasa lega, tapi masih juga bertanya kepada gadis 
yang mengenakan baju kuning. 
Tapi gadis berbaju kuning yang ternyata juga kakak 
kandungnya sendiri itu cepat mencibirkan bibirnya. 
"Huh... tak ada gunanya marah kepadamu. Salah-salah 
justru hati sendiri yang menjadi kesal. Kapan kau 
pernah mendengarkan kemarahan orang? Sedangkan 
suhu sendiri saja kewalahan menghadapimu, apalagi 
cuma kami berdua. Ayoh, lekas kaukatakan apa yang 
hendak kautanyakan!" 
Gadis centil itu tertawa kecil sambil meremas 
lengan kakaknya. 
"Ah, aku cuma ingin bertanya kepada kalian, 
apakah kalian berdua... percaya pada ramalan Lo-jin-
ong?" 
Seketika wajah dua saudara seperguruan itu 
menjadi pucat. Dengan bibir sedikit gemetar gadis 
berbaju kuning itu membentak lirih, "Siau In! Bicara 
apa kau ini? Tutup mulutmu!" 
Namun Si Pemuda cepat meraih pundak gadis 
berbaju kuning. "Ciu In Sumoi, jangan kaubentak dia! 24 
Bukankah kita telah berjanji untuk tidak 
memarahinya?" 
"Tapi pertanyaan itu sangat lancang, Sin Lun 
Suheng! Lo-jin-ong adalah sesepuh (tetua) yang 
sangat dihormati di dalam aliran agama kita." gadis 
yang berbaju kuning, yang ternyata Ciu In itu, 
bersungut-sungut marah. 
"Bukankah aku tadi sudah bilang, bahwa... bahwa 
kalian tidak boleh marah?" Gadis berbaju merah yang 
bernama Siau In itu merajuk. 
"Ya... ya, Cicimu memang tidak marah. Dia hanya 
kaget saja mendengar pertanyaan tadi." Sin Lun 
menengahi. 
Mereka bertiga lalu berdiam diri. Masing-masing 
kembali menyantap makanannya. Namun demikian 
Siau In masih tampak penasaran karena 
pertanyaannya tadi belum dijawab. Berkali-kali ia 
melirik ke arah cicinya dan suhengnya, sehingga dua 
orang itu menjadi risih melihatnya. 
"Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi." 
akhirnya Sin Lun berkata. 
"Nah... begitu!" Siau In hampir bersorak. Dan tak 
lupa jari-jarinya yang lentik itu mencubit pinggang 
kakaknya, sehingga Ciu In menjerit kecil seraya 
menampar tangannya. "Gila, kau...!" 
Sin Lun memandang kedua adik seperguruannya itu 
dengan senyum lebar. Tak terasa hatinya 
memperbandingkan keduanya. Mereka sama-sama 
cantik dan pintar. Kepandaian silat mereka pun juga 25 
tidak berselisih banyak pula. Hanya sifat dan 
pembawaan diri mereka sajalah yang berbeda. Ciu In 
berperasaan halus dan pendiam. Tutur katanya selalu 
lembut dan berhati-hati. Tapi sebaliknya, Siau In 
berwatak polos dan terbuka. Kalau berbicara ceplas-
ceplos seenaknya sendiri. Suka bergurau dan 
menggoda orang, terutama terhadap orang-orang yang 
telah dekat dengan dirinya. Namun demikian mereka 
berdua sangat rukun dan saling mengasihi satu sama 
lain. 
"Lho! Kenapa terus diam lagi? Bagaimana 
pendapat Toa-suheng? Apakah Toa-suheng percaya 
seratus persen ramalan beliau itu?" 
"Sssst, jangan keras-keras! Nanti didengar orang!" 
Sin Lun pura-pura marah untuk menutupi rasa 
kagetnya. 
"Habis Toa-suheng melamun saja. Masakan sudah 
duduk berendeng sambil berpegangan tangan dengan 
Cici begitu masih juga melamun terus? Apakah Toa-
suheng ingin lekas-lekas kawin dengan Cici 
barangkali?" Siau In malah menggoda sambil 
meleletkan lidahnya. 
Wajah Ciu In seketika menjadi merah padam. 
"Siapa yang saling berpegangan tangan, heh? Ngaco!" 
desahnya serak. Kebetulan lengannya memang 
berjejer dan saling bersentuhan dengan lengan Sin 
Lun, sehingga otomatis lengan itu ditariknya dengan 
cepat. 26 
"Wah-wah, kalian berdua ini kalau berkumpul 
selalu bertengkar saja...!" Sin Lun yang menjadi 
merah pula mukanya itu bersungut-sungut. 
"Hi-hi-hi, baiklah... baiklah, aku mengaku salah. 
Aku memang suka berkelekar maafkan aku, ya... 
Cici? Mau... ya? Jangan marah, dong...!" Melihat 
wajah kakaknya menjadi merah padam seperti itu 
Siau In menjadi takut juga. Dengan cepat 
tangannya merangkul pinggang Ciu In dan 
menggelendot manja. 
Gadis berwajah lembut itu tak jadi marah. Sambil 
melepaskan rangkulan tangan adiknya ia melengos. 
"Huh!" dengusnya pendek. 
Tapi Siau In sudah bisa membaca watak kakaknya. 
Ciu In tidak jadi marah kepadanya. Oleh karena itu 
secepat kilat ia mencium pipi kakaknya. 
"Terima kasih, Ciciku yang baik." katanya renyah. 
Mereka memang saling bergurau dan bercanda. 
Namun karena hal itu mereka lakukan dengan wajar 
dan tidak menyolok mata, maka para tamu lainpun 
juga tidak ada yang memperhatikan mereka. Kalaupun 
orang banyak yang melirik ke arah mereka, hal itu 
disebabkan karena kecantikan Ciu In dan Siau In. 
"Siau-sumoi, aku... aku sebenarnya juga sangsi 
akan kebenaran ramalan Lo-jin-ong kali ini. Aku tak 
yakin kalau orang dari luar Im-yang-kau, yang belum 
keruan darmabaktinya, kesetiaan, dan pengabdiannya, 
justru diramalkan akan menjadi tokoh pemersatu dari 
agama kita. Apalagi beliau meramalkan orang itu 27 
akan membawa Aliran Im-yang-kau pada 
kejayaannya." setelah berdiam diri beberapa saat 
lamanya Sin Lun lalu mengutarakan pendapatnya. 
"Nah! Cocok! Sama dengan pendapatku!" Siau In 
berseru lirih. Wajahnya tampak puas dan lega. 'Aku 
juga tidak percaya pada ramalan itu. Bagaimana 
mungkin orang yang belum pernah dikenal dan bukan 
orang dari kalangan kita sendiri, malah akan 
membawa kejayaan pada aliran Im-yang-kau? 
Bukankah itu hanya mengada-ada? Siapa tahu Lo-jin-
ong hanya menguji... eh, menguji kesetiaan kita? Huh, 
mungkin orang yang disebutkan dalam ramalannya itu 
sebenarnya tidak ada." 
"Siau In...!" Ciu In membentak lirih. 
"Ah, Cici...!" Siau In bersungut-sungut, "Masakan 
Cici tidak bisa merasakan keganjilannya? Ganjil dan 
mustahil! Bagaimana mungkin kita dapat mencari 
orang yang belum pernah kita kenal dan kita lihat di 
daratan Tiongkok yang maha luas ini? 
Mungkinkah...?" 
"Hush! Bukankah Lo-jin-ong telah memberi 
petunjuk bahwa orang yang beliau maksudkan itu 
mempunyai "tatto" gambar naga di tubuhnya?" 
Siau In memonyongkan mulutnya. "Ah, Cici! 
Alangkah banyaknya laki-laki yang suka menggoresi 
tubuhnya dengan gambar naga di dunia ini. Kalau 
mau, Toa-suheng pun bisa melakukannya sekarang 
juga!" ucapnya sengit. 28 
"Ah, kau! Tentu saja bukan begitu yang 
dimaksudkan Lo-jin-ong." Ciu In mencubit gemas 
pinggang adiknya. "Kau ini seperti bukan anggota 
aliran Im-yang-kau saja, yang belum pernah mengenal 
siapa Lo-jin-ong itu? Sedangkan orang lain saja 
mengagumi kesaktian dan kemampuannya dalam ilmu 
meramal, mengapa justru engkau sendiri tidak?" 
"Tapi...?" 
"Siau In! Lo-jin-ong memberikan ciri-ciri orang 
yang ia ramalkan itu hanya untuk memudahkan kita 
semua mencarinya. Jadi tidak berarti orang yang 
mempunyai tatto naga itu mesti orang yang kita 
maksudkan. Waktulah yang nanti akan menunjukkan, 
siapa di antara orang orang bertatto naga itu yang 
benar-benar orang yang dimaksudkan oleh ramalan 
Lo-jin-ong itu. Apalagi Lo-jin-ong juga sudah 
memberi batasan daerah mana yang kira-kira akan 
menjadi tempat munculnya "manusia pilihan" itu, 
yaitu di sepanjang muara Sungai Yang-tse ini. Nah, 
bukankah kita tidak perlu mencarinya ke seluruh 
Tiong-kok?" 
Siau In menghela napas panjang. Hatinya yang 
kesal agak lebih surut mendengar ucapan kakaknya. 
"Tapi bagaimana caranya mencari orang itu? 
Apakah setiap berjumpa dengan orang yang kita 
curigai, kita lalu harus membelejeti pakaiannya agar 
bisa kita periksa gambar naganya?" 
Ciu In cepat mendorong pundak Siau In dengan 
gemas. "Ih, pikiranmu selalu yang kotor-kotor saja! 29 
Sudahlah! Ayoh, Suheng! Kita menonton pertunjukan 
di daam. Tak ada gunanya berbicara dengan Siau In. 
Lama-lama bisa dongkol kita dibuatnya. Mendingan 
menonton Perlombaan Mengangkat Arca, siapa tahu 
kita bisa... kita bisa...." 
"Siapa tahu Cici bisa membelejeti pakaian orang di 
sana nanti!" 
"Kurang ajar! Mulutmu memang...." 
Cui In mengangkat tangannya hendak memukul 
adiknya yang bermulut tajam itu, namun dengan cepat 
Sin Lun mencegahnya. Pemuda itu segera memanggil 
pelayan dan membayar makanan mereka, kemudian 
menarik lengan adik-adiknya ke luar. Sian In cepat 
berlari mendahului mereka, takut akan cubitan 
kakaknya. 
Sementara itu lelaki beruban tadi juga beranjak dari 
tempat duduknya. Sambil meletakkan uang perak di 
atas meja, ia memberi tanda kepada pemilik warung, 
lalu keluar bersama temannya. 
"Kutitipkan kudaku di sini. Nanti aku akan 
kembali..." pesannya kepada pemilik warung. 
Tampaknya pertunjukkan yang diadakan di 
halaman kabupaten itu memang telah mulai memanas. 
Terutama di bagian tengah dan barat halaman, di 
mana panggung untuk permainan barong-sai dan dan 
panggung lui-tai didirikan. Tepuk tangan, sorak-sorai 
dan jeritan penonton, seakan-akan saling bersaing 
untuk memanaskan panggung masing-masing. 30 
Di atas panggung pertunjukan barongsai ternyata 
sudah mulai menginjak acara pertandingan. Dari 
delapan grup barong-sai yang ikut, dua di antaranya di 
nyatakan kurang memenuhi syarat dalam 
pertandingan babak pertama, sehingga kini tinggal 
enam grup lagi yang tersisa. Dan keenam grup 
tersebut akan segera akan diadu pada babak kedua. 
Di lain pihak di atas panggung lui-tai telah 
diselesaikan pula pertandingan "memainkan jurus 
indah". Bahkan para pemenangnya telah diminta 
untuk tampil di atas panggung untuk menerima hadiah 
dan piala. Mereka masih muda-muda. Dengan piala 
dan hadiah di tangan mereka menyambut sorak-sorai 
penonton. 
Pemegang pertama, seorang pemuda yang bertubuh 
pendek gempal, bahkan menyambut satupersatu 
uluran tangan para penonton di bawah panggung. 
Banyak yang merasa kagum kepadanya. Badannya 
yang pendek dengan otot yang bergumpal-gumpal 
seperti sapi aduan itu ternyata tidak menghalangi 
keluwesannya dalam memainkan jurus-jurusnya yang 
indah. 
Tapi ketika tangannya menyambut uluran tangan 
seorang penonton yang berdiri lengket di pojok 
panggung, tiba-tiba tubuhnya terseret ke depan, 
kemudian terlempar tinggi ke udara! Demikian kuat 
dan kerasnya tenaga penonton yang melemparkannya 
itu sehingga hadiah dan pialanya terlepas dari kepitan 
lengannya! 31 
Semua orang seperti terpaku diam di tempat 
masing-masing. Apalagi ketika orang yang 
melemparkan Si Juara tadi tiba-tiba melesat ke atas 
pula dengan tangkasnya. Bagaikan burung elang 
tangannya menyambar pinggang Si Juara, sekalian 
dengan piala dan hadiahnya. Selanjutnya dengan 
gerakan yang indah dan ringan kakinya mendarat di 
atas panggung. Sama sekali tak menimbulkan suara 
atau goncangan pada lantai panggung yang terbuat 
dari kayu itu. 
Meledaklah suara tepuk tangan, membahana 
bagaikan mau meruntuhkan bangunan gedung 
kabupaten yang 
besar dan megah. 
Dan 
selanjutnya 
dengan senyum 
di kulum orang 
itu membungkuk 
ke arah Si Juara 
yang telah dia 
letakkan kembali 
di atas panggung. 
Dengan senyum 
menggoda orang 
itu menyerahkan 
kembali piala 
dan hadiahnya. 
Wajahnya yang 32 
tampan dan masih muda itu sama sekali tidak 
mencerminkan perasaan bersalah terhadap lawannya. 
"Bangsat kurang ajar...!" dengan wajah merah 
padam Si Juara itu mengumpat. 
Tanpa mempedulikan lagi piala dan hadiah yang 
dipegang lawannya Si Pemuda gempal itu menyerang. 
Kaki kirinya terayun ke depan dalam jurus Mengayun 
Tangkai Pancing di Atas Ombak dan yang dituju 
adalah kepala. Tenaganya amat kuat hingga 
menimbulkan suara angin menderu-deru. 
"Whuuuuuuuush! Whuuuuuuuuush!" 
Akan tetapi dengan gesit lawannya yang memiliki 
bentuk tubuh tangan bertolak belakang dengan dirinya 
itu menghindarkan diri. Tubuh yang panjang kurus itu 
ditekuk ke belakang, dalam jurus Tiat pan-kio atau 
Jembatan Besi, sehingga tendangan ujung sepatu itu 
menemui tempat kosong. Selanjutnya dengan gerakan 
yang semakin mempesonakan pemuda sakti itu 
berjumpalitan ke belakang dua kali dalam jurus 
Trenggiling Turun Gunung. Pada gerakan yang 
terakhir kedua kakinya mendarat persis di bibir 
panggung, namun demikian tubuhnya yang jangkung 
itu sama sekali tak bergoyang, apalagi terpeleset jatuh. 
Padahal hanya ujung sepatunya saja yang melekat di 
atas panggung. 
Sekali lagi penonton bertepuk tangan dan bersorak-
sorai! Bahkan kali ini disertai seruan-seruan kagum! 
"Bagus! Lincah benar anak itu!" 33 
"Ya, hebat sekali gerakannya! Tapi sayang sekali, 
mengapa ia tak ikut dalam perlombaan ini?" 
"Gila...! Kakinya bertengger di ujung kayu seperti 
burung saja!" 
Dan penonton di panggung lui-tai itu pun menjadi 
semakin bergairah pula. Mereka menduga kedua jago 
di atas panggung itu tentu akan segera berlaga. 
Beberapa orang penonton berteriak-teriak memanasi 
Si Juara yang berbadan gempal, agar segera 
menghajar Si Pemuda kurus. 
Tapi penonton segera menjadi kecewa ketika 
belasan prajurit pengawal berloncatan ke atas 
panggung dan mengepung pemuda kurus itu. Dengan 
garang salah seorang prajurit maju ke depan. 
Tombaknya merunduk, siap untuk menembus dada Si 
Pemuda kurus. 
"Kembalikan piala dan hadiah itu!" hardiknya 
keras. 
"Biarkan dia menghadapi aku! Akan kucincang 
tubuhnya dengan kepalanku ini!" tiba-tiba pemuda 
gempal itu menyibakkan kepungan dan berteriak 
marah. 
"Tahan...!" prajurit yang garang tadi membentak. 
"Kalian tidak boleh berkelahi! Belum tiba saatnya 
"Pertandingan Bebas" diadakan! Tunggulah sebentar 
lagi! Sekarang kalian berdua kembali ke tempat 
masing-masing! Dan... kau, Anak muda! Kembalikan 
piala itu kepada yang berhak, atau... kau akan kami 
tangkap sebagai pengacau!" 34 
Pemuda kurus itu menggeram. Matanya berubah 
menjadi liar. Tampaknya ia tersinggung diperlakukan 
demikian. Namun ketika kakinya hendak melangkah 
ke depan, tiba-tiba ia berpaling ke belakang, ke arah 
penonton yang ada di bawah panggung, seperti ada 
orang yang memanggilnya. 
Aneh. Mata yang liar itu tiba-tiba meredup kembali. 
Bahkan sekejap kemudian dengan langkah gontai 
pemuda itu mengangsurkan hadiah dan piala yang 
dipegangnya ke depan, ke arah prajurit yang 
membentaknya tadi. Setelah itu dengan tenang dan tak 
berkata sepatah kata pun ia melompat turun, 
kemudian menyelinap pergi di antara penonton. 
"Tahan dia! Jangan boleh pergi dahulu!" seorang 
penonton yang berdiri tidak jauh dari panggung itu 
berbisik kepada temannya. 
"Baik, Su-heng!" 
"Berhati-hatilah...!" Pemuda itu tampaknya 
menyimpan ilmu yang sulit diduga." orang itu yang 
tidak lain adalah lelaki beruban di warung tadi 
memperingatkan pula. 
Sementara itu dari tempat yang agak jauh Sin Lun 
dan kedua sumoinya juga menyaksikan keributan 
tersebut. 
"Bukan main! Berani benar pemuda itu 
memamerkan kepandaiannya di tempat seperti ini. 
Apakah ia tidak memikirkan jago-jago silat yang tentu 
bertebaran di sekeliling panggung?" Sin Lun berdesah 
dengan nada sedikit geram. 35 
"Tapi ginkangnya memang hebat, Su-heng. Kita 
bertiga mungkin belum bisa menandinginya...." Ciu In 
menyahut perlahan. 
"Huh, siapa bilang...? Aku berani diadu melawan 
dia! Belum tentu ia mampu menghadapi ginkang 
aliran...." Siau In menyela dengan suara penasaran. 
"Siau In!" Ciu In buru-buru memotong perkataan 
adiknya. "Jangan takabur! Ingat pesan Suhu...." 
Wajah yang cantik dan bersemangat itu tiba-tiba 
berubah menjadi cemberut. "Ya-ya, deh... aku salah!" 
sungutnya kesal. 
Demikianlah, keributan kecil itu akhirnya mereda 
juga. Di atas panggung telah dipersiapkan acara 
selanjutnya, yaitu "Perlombaan Mengangkat Arca". 
Sebuah acara baru yang diadakan oleh kerajaan, dan 
diselenggarakan serentak di seluruh negeri. 
Acara itu telah dipersiapkan berbulan-bulan 
sebelumnya, dengan melibatkan banyak petugas dan 
utusan dari kota raja. Mereka adalah petugas-petugas 
khusus yang disebar ke setiap kabupaten dengan 
tanggung jawab yang amat rahasia, yang tak seorang 
pun boleh mengetahuinya. Bahkan para pejabat 
daerah yang mereka datangi seperti para Bupati pun 
tidak diperbolehkan mengorek rahasia dari mereka. 
Dan para utusan khusus itu rata-rata adalah anggota 
dari Pasukan Pengawal Istana, Pasukan Sandi, atau 
Pasukan Khusus yang amat terkenal di kota raja. 
Meskipun persiapan untuk melaksanakan 
"Perlombaan Mengangkat Arca" itu terasa aneh dan 36 
menimbulkan banyak pertanyaan di hati para pejabat 
daerah, namun persiapan tersebut berjalan terus. 
Pendaftaran peserta telah dimulai jauh-jauh 
sebelumnya. Dengan alasan mencari bibit unggul 
untuk Pasukan Pengawal Istana, maka peserta yang 
mendaftarpun menjadi meluap. Dan semuanya hampir 
ditangani sendiri oleh utusan-utusan khusus itu. 
Mereka yang menyeleksi dan memutuskan, apakah 
peserta itu memenuhi syarat atau tidak. Karena tempat 
pendaftaran itu dipusatkan di rumah-rumah kediaman 
Bupati, maka dapat di mengerti kalau dalam beberapa 
bulan itu halaman rumah para Bupati menjadi sibuk 
setiap harinya. 
Akhirnya setelah melalui beberapa kali pendadaran 
dan ujian, maka jumlah peserta yang mendaftar di 
Kabupaten Hang-ciu tinggal dua puluh orang saja 
yang memenuhi syarat. Dan sekarang pemuda-
pemuda itu telah bersiap-siap di atas panggung untuk 
mengikuti "Perlombaan Mengangkat Arca"- 
"Hei, namanya saja "Perlombaan Meng angkat 
Arca", tapi mengapa banyak pesertanya yang 
kerempeng-kerempeng begitu?" beberapa orang 
penonton memberi komentar. 
"He-he, benar juga, ya? Bisa patah tulang-
tulangnya nanti!" 
Seorang remaja berotot kekar yang ikut berdesakan 
di antara penonton juga menggeram menumpahkan 
rasa kesalnya. "Aku juga heran. Mereka banyak yang 
lebih kurus dari aku, tapi mereka bisa lolos dari 37 
pendadaran, sedangkan aku tidak. Apa sebenarnya 
yang mereka pilih?" 
"Ah, mungkin tidak cuma otot saja yang mereka 
pilih, tapi juga bakat dan otak encer. Kekuatan bisa 
dipupuk dengan latihan, tapi bakat dan otak itu 
merupakan pembawaan sejak lahir yang tak dapat 
dipelajari." Lok Ma yang ternyata sudah ada di tempat 
itu dan kebetulan berdiri berdekatan dengan remaja 
tersebut memberi komentar, tanpa berpikir bahwa 
ucapannya bisa menyinggung perasaan orang. 
Benar juga. Pemuda berotot kekar itu melotot 
matanya. Hampir saja terjadi keributan. Untunglah A 
Tung yang selalu berada di samping Lok Ma cepat 
menyeret sahabatnya itu ke tempat lain. 

"Gila! Apakoh kau sudah ingin cerai dengan 
binimu? Jaga mulutmu kalau berbicara! Jangan 
sembarangan omong di antara orang-orang kasar 
begini!" 
"Ya-ya, maafkan aku. Aku tidak sengaja dan tidak 
bermaksud menyinggung perasaannya." 
Mereka lalu beringsut semakin menjauhi tempat 
mereka tadi. A Tung khawatir bertemu dengan 
pemuda kekar itu. Dan sementara itu "Perlombaan 
Mengangkat Arca" telah dimulai. Di atas panggung, 
di depan para peserta yang berbaris menunggu giliran, 
diletakkan sebuah patung besar dari Kaisar Han Kou 
Cou atau Kaisar Liu Pang. Patung itu dibuat dalam 38 
ukuran sebenarnya, dari batu pualam putih setinggi 
hampir dua meter. 
Seluruh penonton di panggung lui-tai itu terdiam. 
Tegang. Semuanya ingin tahu, bagaimana perlombaan 
yang. belum pernah mereka lihat ini dilaksanakan. 
Demikianlah, kalau penonton di panggung lui-tai 
itu menjadi tegang, sebaliknya penonton di panggung 
pertunjukan barongsai justru semakin menjadi riuh 
oleh sorak-sorai mereka. Keenam grup barong-sai 
yang lolos di babak pertama tadi telah mulai 
dipertandingkan satu sama lain. Dan yang kini sedang 
berlaga di atas panggung adalah pemain barong-sai 
berseragam kuning emas dari Ui-thian cung 
(Kampung Langit Kuning) melawan barong-sai 
berseragam merah darah dari Ang-lian-pang 
(Perkumpulan Teratai Merah). 
"Hayo cepat! Terjang saja! Jangan takut...!" 
"Benar! Hayo, lemparkan si Kuning itu ke bawah! 
Jangan dibiarkan beraksi di atas panggung!" 
"Ah, mana mungkin si Merah itu mampu! 
Gerakannya saja lamban begitu!" 
"Ya-ya, si Merah tampaknya lemah kuda-kudanya! 
Oho, kalau begitu hantam saja kakinya! Gasak saja 
lututnya! He-he-he-he...!" 
"Ayo! Ayo! Ayoooooo...!" penonton pun berteriak 
dan menjerit-jerit semakin keras. 
Jeritan dan gosokan para penonton itu semakin 
membakar semangat pemain pemainnya. Mereka 
semakin menjadi beringas dalam memainkan barong 39 
sainya. Dengan menggerakkan segala kemampuan 
dan kecerdikan mereka, masing-masing berusaha 
mendesak atau melemparkan lawannya ke bawah 
panggung. 
Pemain barong-sai selain dituntut untuk memiliki 
tubuh yang kuat, juga harus mempunyai ilmu silat 
yang tinggi. Sebab untuk menggerakkan peralatan 
barong-sai yang berat itu para pemainnya harus 
memiliki kekuatan dan tenaga dalam yang besar. 
Apalagi untuk bisa bermain dengan lincah dan indah 
dipandang mata, otomatis para pemainnya harus 
pandai mengatur langkah serta punya ilmu 
meringankan tubuh pula. Oleh karena itu bisa 
dipastikan juga bahwa seorang pemain barong-sai 
tersohor tentulah seorang jago silat ternama pula. 
Kampung Ui-thian-cung terletak di tepian pantai, 
dan merupakan sebuah perkampungan nelayan yang 
lain daripada perkampungan nelayan lainnya. Seluruh 
warganya bermarga Ui dan hampir seluruh 
perumahannya berada di atas air. Hanya Kepala 
Kampung dan keluarga-keluarga dekatnya saja yang 
mendirikan rumah di atas tanah. Dan mereka itu 
memang merupakan tulang punggung dari seluruh 
keluarga Ui tersebut. 
Mereka sangat disegani di daerah itu, karena 
mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. 
Terutama Kepala Kampung dan keluarganya. Mereka 
mempunyai ilmu silat turunan yang sangat disegani 40 
lawan, yaitu Hok-mo Tung-hoat atau Ilmu Tongkat 
Pembunuh Iblis. 
Kepala Kampung Ui-thian-cung sudah berusia 
tujuh puluh tahun lewat, bernama Ui Tiam Lok. 
Puteranya dua belas orang, lelaki semua. Dan yang 
memainkan barong-sai berwarna kuning emas itu 
adalah anaknya yang ke sebelas dan dua belas. 
Mereka adalah Ui Kong Tee dan Ui Kiong Lam. 
Demikianlah, kedua Saudara Ui itu bertarung 
dengan lawan mereka dari balik barong-sainya. 
Mereka mengerahkan segala kepandaian mereka, 
karena secara kebetulan yang menjadi musuh mereka 
adalah orang-orang dari Ang-lian-pang, yang tidak 
asing lagi bagi mereka. 
Perkumpulan Ang-lian-pang adalah perkumpulan 
para pedagang, pemilik toko, dan para tengkulak yang 
bermukim di daerah pesisir itu. Mereka itu 
mempunyai banyak pengawal dan tukang pukul. Dan 
mereka itu memang sering berselisih dengan para 
nelayan, yang dalam segala hal selalu dilindungi oleh 
keluarga Ui. Oleh karena itu pertarungan kali ini lebih 
berarti sebagai pertarungan untuk membela 
kehormatan dan harga diri daripada sebagai 
pertarungan untuk memperebutkan piala kejuaraan. 
Maka tidaklah mengherankan apabila penonton pun 
terbagi menjadi dua bagian, yaitu pendukung keluarga 
Ui dan pendukung keluarga Ang-lian-pang. Para 
nelayan otomatis menjagoi barong-sai kuning, 
sedangkan para pedagang menjagoi barong-sai merah. 41 
Belasan jurus telah berlalu, akan tetapi mereka 
berimbang. Keduanya saling desak mendesak. 
Kadang-kadang Ui bersaudara itu melancarkan 
serangan beruntun, susul menyusul, sehingga pemain 
barongsai dari Ang-lian-pang itu terdesak sampai ke 
pinggir panggung. Namun dengan kecerdikan dan 
keuletan mereka, pemain dari Ang-lian-pang itu bisa 
meloloskan diri. Bahkan mereka kemudian ganti 
mencecar Ui bersaudara itu dengan jurus-jurus 
mereka yang ganas. 
"Koko...!? Tampaknya yang berada di dalam 
barong-sai merah itu Siang-hai-coa (Si Sepasang Ular 
Laut) sendiri!" Ui Kiong Lam yang memegangi 
bagian belakang barong-sainya tiba-tiba berseru 
kepada kakaknya yang berada di depan. 
"Benar. Kelihatannya Hu Sing Kak kali ini benar-
benar ingin menjuarai perlombaan ini dengan 
mengeluarkan tangan kanannya. Kau harus hati-hati! 
Awaaas! Kita harus cepat-cepat menyudahi 
pertarungan ini. Sesuai dengan gelarnya kedua ular 
laut itu semakin lama akan menjadi semakin 
berbahaya. Mari kita gunakan Barisan Ui-thian-tin...!" 
Ui Kiong Tee menjawab dengan napas memburu. 
"Baik, koko!" 
Ui Kiong Tee memancing dengan sapuan kaki ke 
perut lawan, sehingga pemain barongsai lawan 
terpaksa meloncat mundur. Dan kesempatan yang 
sesaat itu dipergunakan oleh Ui bersaudara untuk 
berdiri tegak menyatukan langkah mereka. Lalu 42 
sebelum lawan mereka menyadari apa yang terjadi, 
keduanya sudah menyerang lagi dengan terjangan 
empat langkah ke depan dalam bentuk barisan Baling-
baling Berganda! Empat kali mereka berdua saling 
bergantian menerjang lawan, sehingga barong-sai 
mereka berputar-putar ke depan seperti baling-baling! 
Karena setiap serangan yang tertuju ke arah lawan 
itu selalu datang dari atas, maka Siang-hai-coa yang 
berada di dalam barong-sai merah tersebut menjadi 
kewalahan mengelakkannya. Sekali dua kali dengan 
kematangan perasaan mereka, mereka bisa 
menghindarkan diri. Tetapi pada serangan yang ke 
tiga mereka terpaksa harus menangkisnya. Dan 
keadaan ini sangat merugikan mereka, karena dalam 
keadaan terdesak seperti itu mereka akan mengalami 
kesulitan apabila lawan menyusuli dengan serangan 
yang lain. Dhieeees!!! 
Benar juga! Ternyata serangan Ui bersaudara itu 
memang masih satu langkah lagi. Maka untuk ke dua 
kalinya Siang-hai-coa terpaksa menangkis lagi. 
Namun karena kali ini tiada waktu untuk bersiap dan 
mengumpulkan tenaga, maka kekuatan dan 
gerakannya pun tidaklah sempurna. Akibatnya Siang-
hai-coa yang berada di depan, yang langsung 
menerima gempuran kaki Ui Kiong Lam! jatuh 
berlutut dengan kepala barong-sai terlepas dari 
pegangannya! 43 
Tapi pada saat yang bersamaan sebuah 1 pisau kecil 
melesat dari tangan Siang hai-coa itu, dan tepat 
menancap di betis Ui Kong Lam! 
"Aduuuh...!" 
Tujuh bayangan tiba-tiba melayang ke atas 
panggung! Mereka adalah lima orang saudara Ui 
Kiong Lam, lalu kepala prajurit pengawal, dan Hu 
Sing Kak sendiri. Demikian berada di atas panggung 
kedua belah pihak segera hendak bertempur. Namun 
dengan sebat kepala pengawal itu menengahi mereka. 
"Tahan...! Saudara-saudara tidak boleh berkelahi di 
tempat ini! Biarlah panitia penyelenggara perlombaan 
ini yang mengambil keputusan atas peristiwa ini...!" 
"Mereka curang! Sudah diputuskan bahwa di dalam 
perlombaan ini tidak diperbolehkan membawa 
senjata. Kenapa Siang-hai-coa keparat itu melanggar 
aturan? Kalau memang mereka menghendaki 
demikian, baiklah... kami pun akan melayaninya!" 
teriak putera sulung keluarga Ui sambil menghunus 
tongkat bajanya. 
"Minggir...! Minggir! Aku akan mengadili dan 
memutuskan pemenangnya!" ketua pengawas 
perlombaan dengan tergesa-gesa meloncat ke 
panggung sambil berseru lantang. 
"Nah, saudara-saudara harap menahan diri! Di sini 
bukan tempat untuk berkelahi! Kalau saudara-saudara 
ingin bertempur, kami persilakan nanti di panggung 
lui-tai!" kepala pengawal itu menegaskan lagi. 44 
Sementara itu suara sorak-sorai penonton sudah 
tidak bisa dibendung lagi. Rata-rata mereka tidak puas 
terhadap kecurangan Siang-hai-coa. Beberapa orang 
penonton berteriak-teriak mengejek anggota Ang-lian-
pang itu. Bahkan ada satu dua orang yang mulai 
melemparkan batu dan sepatunya ke panggung. 
Yang paling tenang tampaknya adalah penonton di 
panggung pertunjukan tari-tarian. Mereka seakan-
akan tidak peduli dengan keributan-keributan yang 
terjadi di panggung lui-tai dan barongsai. Dengan 
tenang dan santai mereka menikmati halus 
gemulainya gerakan para penari yang berputar-putar 
di atas panggung. Mereka semua seperti terpaku dan 
terpesona oleh kecantikan dan kehalusan kulit para 
penari yang terbungkus oleh aneka ragam warna 
pakaian sutera itu. 
Kota Hang-ciu memang gudangnya gadis-gadis 
cantik di daerah pantai timur Tiongkok. Gadisnya 
rata-rata berhidung mancung, mata lebih lebar, dan 
tulang pipi yang tidak terlalu menonjol. Kulit mereka 
pun tidak begitu pucat pula, sehingga tampak lebih 
segar dan merangsang dipandang mata. 
"Wah-wah... cantik-cantiknya! Masa... gadis sekian 
banyaknya tiada satu pun yang jelek! Hmh! Hemh!" 
Lok Ma yang tiba-tiba telah berada di antara penonton 
panggung tersebut berdesah kagum. 
"Lalu... kau mau apa?" temannya menyambung. 
"Hmmm... tahu begini... tahu begini, aku dulu tidak 
buru-buru kawin dengan biniku." 45 
"Hah...? Lalu kau mau mencari pasangan di sini? 
Begitu?" 
"Iya! Siapa tahu rejeki nomplok?" 
"Wah-wah! Kau ini memang tidak pernah berkaca 
diri. Gadis mana yang mau bersanding dengan monyet 
melarat seperti kau ini? Ho-ho-ho-ho-ho, Lok Ma... 
Lok Ma! Binimu sendiri, kalau tidak karena sudah 
terlanjur beranak, he-he-he-he... berani bertaruh tentu 
sudah minta cerai!" 
"Kurang ajar! Enak saja kau mengolok-olok aku!" 
Lok Ma menggeram dan menyumpah-nyumpah. 
Plok-plok-plok! Plok-plok-plok! 
Terdengar riuh suara tepuk tangan penonton di 
panggung lui-tai. Peserta nomer sepuluh telah berhasil 
mengangkat arca Kaisar Han Ko Cou. Kini peserta 
yang ke sebelas maju ke depan dan berdiri di depan 
arca. 
Mula-mula pemuda itu membungkukkan tubuhnya, 
lalu bergeser selangkah ke samping kiri arca. 
Kemudian dengan lengan kanannya pemuda itu 
merangkul kaki arca, untuk seterusnya mengangkat 
arca tersebut perlahan-lahan. Rasanya enteng saja dan 
tidak banyak membutuhkan tenaga. 
Penonton bertepuk tangan menyambut keberhasilan 
peserta ke sebelas itu. Pemuda itu lalu turun, dan 
panitia perlombaan segera memanggil peserta berikut-
nya. Pemuda tinggi besar berkulit hitam melompat ke 
atas panggung. Setelah memberi hormat ke arah 
pendapa pemuda itu lalu berlutut di depan arca, 46 
seperti layaknya seorang hamba sahaya menghaturkan 
sembah kepada rajanya. Setelah itu dia berjalan 
melingkar ke belakang arca, menekuk lututnya, 
merangkul kaki arca dan mengangkat tinggi-tinggi ke 
atas kepalanya. 
Tepuk tangan dan sorak-sorai pujian diberikan oleh 
penonton kepada pemuda tinggi besar berkulit hitam 
itu. Dan pemuda itu menyambut pula pujian penonton 
tersebut dengan membungkuk serta merangkapkan 
tangan ke segala penjuru. 
Peserta ke tiga belas naik ke atas panggung. 
Bertubuh jangkung kurus dengan kulit agak pucat. 
Seperti para peserta sebelumnya, pemuda itu menekuk 
lututnya di depan arca dan menyembah dengan cara 
membenturkan dahinya ke lantai panggung. Setelah 
itu melangkah ke depan arca dengan lututnya. 
Menyembah lagi. Lalu membalikkan badannya dan 
meraih kaki arca di belakangnya dengan kedua 
lengannya. Sambil mengerahkan sedikit tenaga ia lalu 
mengangkat arca tersebut di pungungnya. 
Kembali penonton bersorak-sorai memuji tingkah 
laku pemuda jangkung tersebut. Lebih meriah 
daripada sambutan yang diberikan kepada peserta 
sebelumnya. 
Pemuda berotot yang tadi hampir ribut dengan Lok 
Ma, kelihatan menyesal dan penasaran. 
"Oh! Jadi... begitukah caranya mengangkat arca? 
Sebelumnya harus menyembah... berlutut... dan 
sebagainya?" ia bersungut-sungut. 47 
Seorang laki-laki beruban yang berdiri di dekatnya 
menoleh dan tersenyum. "Tentu saja, anak muda. 
Bukankah perlombaan ini diselenggarakan untuk 
mencari bibit calon pasukan pengawal istana? 
Bagaimanapun juga para peserta tentu akan diuji sikap 
dan hormatnya pada raja." 
"Tapi... tapi itu hanya sebuah patung." 
-- o0d-w0o -- 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT