PENDEKAR PENYEBAR MAUT

JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 07 JILID 06 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID  22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44  

DARAH PENDEKAR Jilid 05


"Wuuut! Singgg ....!!" Pedang di tangan Pek Lian menyambar ke arah leher seorang di antara dua lawan terdekat untuk menyelamatkan pemuda itu.

Akan tetapi pengawal itu gesit sekali, dengan sebuah loncatan menyamping dia dapat menghindarkan diri dari sambaran pedang ke lehernya, bahkan secepat kilat tangannya sudah menyambar dari samping, mengarah ubun - ubun kepala Pek Lian!

Melihat ini, pemuda Lembah Yang-ce terkejut. Dia sendiri sudah terluka parah, akan tetapi me-lihat bahaya mengancam nona yang mencoba me-nyelamatkannya itu, diapun meloncat bangkit dan menangkis pukulan itii. Kembali dia terlempar, akan tetapi pukulan pengawal itu meleset, tidak mengenai kepala Pek Lian, dan sebaliknya menyambar dan mengenai tiang gerobak bagian belakang.

"Krakkkk ....!!" Tiang itu patah dan sebagian atapnya yang belakang ambruk.

"Kurang ajar! Anak setan sialan dangkalan! !"

Terdengar suara parau menyumpah - nyumpah dari bawah atap gerobak yang patah dan runtuh itu berbareng dengan suara jeritan serak suara wanita yang juga memaki - maki lebih kotor lagi.

"Anak haram anjing babi monyet!" maki wanita itu.

Semua orang terkejut dan dari bawah atap gerobak yang runtuh itu muncullah sepasang laki-laki dan wanita setengah tua dengan pakaian ke-dodoran setengah telanjang sambil memaki - maki. Keduanya berloncatan keluar sambil membetulkan celana yang kedodoran dan diikat sekenanya saja. Kemudian, tanpa bicara apa - apa lagi pria dan wa-nita ini menggerakkan kedua tangan mereka dengan cepat luar biasa, tanpa pilih bulu, baik Pek Lian dan kedua orang gurunya, juga pihak pera-jurit.

Dan terjadilah hal yang mengerikan sekali. Tangan pria dan wanita itu seketika berobah kehijauan dan ketika mereka menggerakkan kedua tangan, angin besar menyambar - nyambar seperti terjadi angin puyuh. Karena gerakan empat buah tangan itu cepatnya sukar diikuti dengan mata, orang sebanyak itu merasa seperti mereka masing-masing menerima pukulan, maka merekapun adu yang mengelak dan ada yang menangkis. Namun akibatnya sama saja.

Baik yang mengelak maupun yang menangkis, semua terkena pukulan itu atau bersentuhan dengan tangan itu dan seketika juga mereka merasa tubuh mereka panas seperti terbakar api, kemudian berobah dingin sampai menggigil, panas dan dingin menyerang tubuh mereka seperti orang sakit demam. Pek Lian, dua orang gurunya, juga dua orang pengawal lihai itu, tak terkecuali, semua menggigil dan kepanasan silih berganti. Hanya pemuda Lembah Yang-ce, karena tadi ketika menangkis tubuhnya roboh, terbebas dari hawa beracun yang hebat itu.

Panglima itu, Jenderal Beng Tian, melihat hal ini, berobahlah wajahnya. Dari atas kudanya dia mengirim pukulan dorongan kedua tangannya berganti - ganti. Pria dan wanita itu terdorong mundur oleh hawa pukulan ini dan mereka berteriak kesakitan. Sementara itu, Beng - goanswe sudah berteriak memberi peringatan kepada anak buahnya.

"Semua mundur ! Awas pukulan Im - yang Tok-ciang mereka! Sangat beracun. Mereka adalah iblis - iblis dari Pulau Selaksa Setan !"

Sambil berkata demikian, Jenderal Beng Tian melompat turun dari atas kudanya agar dapat ber-gerak lebih leluasa. Akan tetapi, sepasang laki perempuan itu telah meloncat ke atas gerobak dan dari tangan mereka berhamburan pasir - pasir putih beracun ke arah sepasang panglima dan para perajurit yang hendak mengejar.

Panglima itu dan dua orang pengawalnya saja, yang masih menggi-gil, yang dapat menghindarkan dirinya. Para pera-jurit, delapan orang banyaknya, roboh dan menjerit - jerit, bergulingan karena pasir - pasir putih itu mengandung racun yang mendatangkan rasa gatal - gatal dan panas. Gerobak itu telah dilarikan secepatnya, diseret oleh dua ekor kudanya me-ninggalkan tempat itu.

Hampir saja gerobak itu bertabrakan dengan sebuah kereta yang juga bergerak datang dengan cepat. Akan tetapi ternyata kakek yang mengusiri gerobak, juga seorang laki - laki setengah tua yang mengusiri kereta itu, amat cekatan. Sambil memaki, kakek pengemudi gerobak itu dapat menyim-pangkan gerobaknya ke kiri, demikian pula kereta itupun menyimpang ke kiri sehingga tubrukan dapat dihindarkan.

Kereta itu berhenti dan secepat kilat, tiga orang kakek, yaitu kawan-kawan dari kokeu Lembah Yang-ce, berloncatan keluar. Mereka sudah bersiap-siap untuk menghadapi panglima yang lihai itu. Akan tetapi tiba - tiba kedua pengawal dari jenderal itu mengeluh kepanasan oleh racun pukulan suami isteri aneh tadi, maka pertempuran dengan sendirinya berhenti.

Tiga orang kakek itu lalu mengangkat pemuda Lembah Yang-ce, juga Pek Lian dan dua orang gurunya ditarik naik memasuki kereta, lalu kereta itu dilarikan secepatnya. Panglima yang masih gentar menghadapi suami isteri yang tiba - tiba saja muncul dan seolah - olah juga menentangnya itu, apa lagi melihat dua orang pengawalnya sudah terluka, cepat bersuit panjang memberi isyarat kepada pasukannya untuk mengejar dan menghalangi orang-orang yang memberontak itu untuk melarikan diri.

Maklum bahwa tidaklah mudah untuk dapat melarikan kereta itu dari pengejaran pasukan, apa lagi melihat kenyataan yang tidak menguntungkan betapa kokcu Lembah Yang - ce telah terluka parah, bahkan tiga orang pendekar dari Puncak Awan Biru yang dapat diharapkan bantuannya itupun telah menggigil panas dingin, maka tiga orang kakek dari Lembah Yang-ce itu membalapkan kereta sedapat mungkin untuk mencapai hutan di depan.

AKAN TETAPI, ketika kereta tiba di suatu tikungan, tiba- tiba muncul seorang pemuda bertubuh tinggi besar. Pek Lian dan dua orang gurunya yang tidak pingsan seperti kokcu Lembah Yang - ce dan ikut mengintai keluar, mengenal pe-muda ini sebagai pemuda tukang sapu di kuil itu !

"A-hai...!" teriak Pek Lian.

"Harap berhentikan kereta, mungkin dia mempunyai petunjuk penting!"

Mendengar seruan nona ini, tiga orang kakek Lembah Yang-ce menghentikan kereta itu. Kalau saja bukan Pek Lian yang berseru, tentu mereka tidak akan berhenti karena mereka tidak mengenal pemuda tinggi besar itu, bahkan mencurigainya.

Pemuda itu dengan napas terengah - engah, agaknya ketakutan dan juga gelisah sekali, berkata, "Cepat turun semua ! Di depan sudah ada peraju-rit - perajurit menjaga. Penunggang - penunggang gerobak itupun sudah dikeroyok dan terjadi pertempuran mengerikan. Lekas turun dan mari ikut bersamaku, aku dapat menyembunyikan kalian!"

Pek Lian melihat betapa pemuda itu ketakutan. Hal ini merupakan tanda bahwa pemuda itu justeru berada dalam keadaan normal dan tidak sedang kumat. Maka diapun lalu turun dengan menahan rasa dingin tubuhnya, diturut oleh dua orang gurunya.

"Dia dapat dipercaya. Mari cepat!" katanya kepada tiga orang kakek Lembah Yang - ce yang tentu saja tidak ragu - ragu lagi, karena keadaan amat mendesak.

Pemuda tinggi besar itu melihat Pek Lian menggigil, lalu memegang tangan gadis itu.

"Pek Lian, engkau sakit ? Ihhhh . . . ! Tanganmu seperti salju!" Dan digandengnya dara itu, dibawanya lari dengan hati-hati.

Pek Lian menurut saja karena memang iapun merasa pening dan larinya terhuyung. Kim - suipoa dan Pek - bin-houw saling bantu dengan bergandeng tangan, lalu dibantu oleh dua orang kakek. Kakek ke tiga me-mondong tubuh kokcu Lembah Yang - ce.

Pemuda yang menggandeng Pek Lian itu memasuki sebuah kuil kuno yang rusak di tepi hutan, lalu menuju ke bagian belakang. Tiba-tiba Pek Lian mengeluh, dan tubuhnya menjadi panas sekali, kepalanya pening dan matanya berkunang - ku-nang. Hampir berbareng dengan kedua orang suhunya, iapun terpelanting. Untung A - hai cepat menyambar dan memondongnya.

"Ah, celaka Pek Lian! Pek Lian ! Ah, badannya panas sekali ... ah, jangan-jangan ia mati ...... !"

Tiga orang kakek Lembah Yang-ce itu terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Mereka ma-sing - masing kini memondong seorang. Akan tetapi karena agaknya keselamatan mereka berada di tangan pemuda itu, merekapun hanya mengikuti saja ketika pemuda itu berjalan terus.

Di kamar belakang yang amat kotor, penuh dengan rumput tinggi, pemuda itu membuka tutup sumur bekas tempat pembuangan kotoran dari kamar mandi dan kakus! Begitu tutup sumur dibuka, bau busuk menyerang hidung mereka. Akan tetapi, pemuda itu memberi isyarat agar mereka semua mengikutinya memasuki lubang sumur kotor itu!

Ada tangga di situ dan dengan susah payah, yang sehat membawa dan menarik yang sakit melalui tangga sampai ke tengah - tengah sumur. Kakek Lembah Yang-ce yang turun terakhir, tidak lupa menutupkan papan penutup sumur kembali. Sebelum mereka tiba di dasar lubang kotoran itu, tangganya sudah habis dan di lambung sumur terdapat sebuah lubang sebesar perut kerbau. Kini terpaksa yang sakit tidak dipondong lagi, melainkan dibantu memasuki lubang seorang demi seorang. Kokcu Lembah Yang - ce sudah siuman, dan dengan gerakan lemah sekali diapun merangkak, dibantu oleh seorang kakek.

Tentu saja perjalanan ini amat sukar karena empat orang dari mereka terluka dan keracunan, walaupun yang amat parah hanya kokcu Lembah Yang-ce itu saja. Lubang sebesar perut kerbau itu ternyata amat panjang, gelap dan licin karena becek dan basah. Pemuda yang menjadi penunjuk jalan itu berkali - kali terpeleset dan kepalanya terbentur dinding tanah.

Pek Lian yang berada di belakangnya dan digandengnya, berkali kali harus menjaga agar jangan sampai pemuda ini lecet atau mengeluarkan darah. Bergidik ngeri ia kalau membayangkan betapa di tempat seperti itu, penyakit pemuda itu kambuh. Bisa berabe benar-benar ! Maka iapun mengajak bicara pemuda itu, biarpun kepalanya pening dan tubuhnya masih kadang - kadang dingin kadang- kadang panas.

"Hati - hati, A - hai, jalannya licin. Awas jangan jatuh dan lihat atas, kepalamu bisa terbentur batu '"

Akhirnya A - hai tertawa. "Pek Lian, engkau sendiri yang payah dan sakit, masih memperingatkan aku. Jaga baik - baik dirimu sendiri."

Melihat sikap Pek Lian ini, empat orang tokoh Lembah Yang - ce juga merasa heran. Memang lucu sekali, pikir mereka. Pemuda tinggi besar itu dalam keadaan sehat dan menjadi petunjuk jalan, sedangkan gadis itu terluka pukulan sakti akan tetapi kenapa justeru gad's itu yang terus-menerus memperingatkan pemuda itu agar berha ti - hati ?

Akan tetapi tentu saja Kim - suipoa dan Pek - bin - houw tidak merasa heran, bahkan merekapun diam - diam menyetujui sikap Pek Lian itu, karena mereka tahu babwa kalau sampai pemuda itu terbentur dan jatuh lalu terluka, akibatnya mereka tidak berani membayangkan. Kalau pemuda itu kumat, wah, tentu akan mengerikan sekali dan bukan mustahil kalau mereka semua mati konyol di tangan pemuda itu !

Setelah merangkak - rangkak secara susah pa-yah lebih dari satu jam lamanya, tibalah di suatu tempat dataran lapang yang dikelilingi tembok-tembok kuno yang tebal, merupakan ruangan yang panjang dengan dinding tembok dan atasnya dari batu.

"Tempat apakah ini, A - hai ?" tanya Pek Lian.

"Ruangan ini berada di bawah tembok benteng kota Ki - han," jawab pemuda itu sambil menyalakan sebatang lilin yang terdapat di tepi tembok.

"Aku menemukannya beberapa hari yang lalu secara kebetulan saja. Aku mengejar seekor kelinci yang memasuki lubang sumur itu dan akupun bisa sampai ke tempat ini. Dari sini ada terowongan yang menembus keluar, ke parit - parit di luar benteng. Malam nanti kita dapat melarikan diri melalui terowongan itu."

Empat orang tokoh Lembah Yang-ce, ketika merangkak- rangkak di belakang tadi, sudah diberi tahu dengan bisikan-bisikan oleh Kim-suipoa dan Pek-bin-houw tentang diri pemuda ini yang sama sekali tidak dapat ditanyai riwayatnya. Karena itu, merekapun diam saja dan membiarkan Pe Lian saja yang bicara, karena agaknya pemuda itu kenal baik dengan Pek Lian.

Mendengar keterangan tentang tempat ini, mereka menjadi lega. Untuk sementara, agaknya para perajurit tidak akan dapat menemukan mereka dan diam-diam merekapun berterima kasih kepada pemuda yang dipanggil dengan nama A-hai itu. Tanpa adanya pemuda itu, dalam keadaan luka-luka, sukarlah bagi mereka untuk dapat diselamatkan oleh tiga orang kakek Lembah Yang-ce.

A-hai lalu memanjat dinding yang kasar itu untuk menaruh lilin di dalam sebuah lubang. Se-telah dia meletakkan lilin itu di dalam lubang, maka ruangan itu menjadi lebih terang. Akan tetapi ketika dia turun, sebuah batu tembok terlepas, ka-kinya terpeleset dan diapun jatuh terduduk. Pek Lian dan dua orang gurunya terkejut dan memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Akan tetapi mereka menarik napas lega ketika-melihat pemuda itu hanya menyeringai kemalu-maluan dan bangkit kembali.

Bagaimana pemuda yang setolol ini dapat berubah menjadi demikian luar biasa lihainya ? Demikian Pek Lian berpikir sambil memandang penuh keheranan. Apakah benar-benar dalam keadaan sadar selemah ini ? Akan tetapi kenapa ketika diajarnya membelah kayu dengan tangan kosong, pemuda ini dapat melakukannya sedemikan mudahnya ? Apakah semua ini hanya permainan sandiwara belaka ?

Keheranan hati Pek Lian bertambah ketika pe-muda itu kini mengeluarkan berbagai macam bungkusan dari dalam saku bajunya. Kiranya dia tadi menyalakan lilin dan menaruhnya di atas memang ada maksudnya, yaitu agar dia memperoleh cukup penerangan untuk mengeluarkan obat-obatan dari dalam saku bajunya.

Sambil membuka-buka bungkusan bermacam - macam itu ia menunjuk kepada obat - obatan yang berupa bubuk berbagai warna dan butiran-butiran besar kecil sambil berkata, "Ini obat untuk luka akibat senjata beracun, dan ini dapat menyedot racun yang mengeram di dalam tubuh, dan pel kecil ini dapat diminum untuk membebaskan darah dari keracunan, dan yang besar ini untuk membersihkan isi perut. Bubuk putih ini kalau disedot dapat menawarkan racun yang tersedot orang melalui asap beracun, dan yang ini kalau ditelan dapat mempercepat kembalinya tenaga murni."

Semua orang memandang bengong. Kiranya pemuda ketolol-tololan ini adalah seorang ahli pengobatan, terutama sekali pengobatan tentang orang keracunan ! Bukan keracunan biasa, melainkan akibat dari serangan- serangan pukulan sakti yang beracun. Biasanya, ilmu pengobatan seperti ini hanya dimiliki oleh ahli-ahli silat tingkat tinggi atau orang - orang yang memang ahli dalam menggunakan segala macam serangan beracun itu. Akan tetapi Pek Lian yang cerdik itu tidak memberi komentar apa-apa.

 Dara ini menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada A-hai. akan tetapi iapun maklum akan keadaan pemuda ini yang seolah-olah berada di antara dua dunia atau dua kesadaran, yang kadang-kadang membuatnya nampak ketolol-tololan. Maka, melihat obat-obat itu, iapun lalu berkata dengan suara yang sungguh-sungguh,

"A-hai, aku menjadi korban pukulan yang men-datangkan panas dingin, pukulan beracun yang di-lakukan oleh iblis- iblis bertangan hijau."

"Ah ! Itu tentu pukulan kalajengking hijau !" seru A-hai dan nampak gembira.

"Kebetulan sekali, inilah dia obatnya. Lekas telan sebutir dan engkau akan sembuh, Pek Lian!"

Pek Lian tidak sangsi lagi, mengambil sebutir pel berwarna hitam dan menelannya. Begitu ditelan, terasa olehnya hawa panas sekali dan terasa seolah-olah pel itu hancur dalam pencernaannya dan mengeluarkan hawa panas dan pedas seperti lada.

Akan tetapi, rasa dingin yang tadinya sudah membuatnya menggigil itu lenyap ! Dan ketika ia menggerahkan sinkangnya. diputar-putar di sekitar perut dan dada, sudah tidak terasa lagi kenyerian seperti tadi.

"Dia benar! Pel ini manjur bukan main !" so-raknya.

 "A-hai, berilah mereka masing-masing sebutir, merekapun menjadi korban pukulan itu tadi!"

Dan dua orang guru Pek Lian itu menerima masing-masing sebutir pel yang segera mereka telan dan seperti juga Pek Lian, keduanya seketika menjadi sembuh dan sehat kembali! Tentu saja mereka berduapun menjadi girang bukan main.

"Wah, terima kasih, A-hai. Tak kusangka engkau sehebat ini, pandai mengobati! Sekarang apakah engkau mempunyai obat untuk sahabat kami ini ?" Pek Lian menunjuk kepada pemuda kokcu dari Lembah Yang-ce yang terluka lebih parah itu.

"Dia juga terkena pukulan- pukulan yang hebat sekali" Pek Lian tidak dapat melanjutkan karena di waktu ia menonton perkelahian itu, ia melihat pemuda ini roboh oleh pukulan gabungan dari dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, akan tetapi ia tidak tahu jelas apa macam pukulan itu.

Melihat keraguan dara itu, kokcu dari Lembah Yang-ce lalu berkata dengan suara lemah dan mulut menyeringai menahan nyeri,

"Pukulan mereka tidak mengandung hawa beracun, akan tetapi karena amat kuat, mematahkan dua tulang iga dan aku terluka karena tenaga sendiri yang membalik.”

A-hai tidak kelihatan bingung, malah tersenyum.

"Bagus! Itu ada obatnya ! Nah, lebih dulu telan ini untuk membebaskan darah dari keracunan, lalu yang ini untuk menguatkan isi perut yang terguncang oleh pukulan kuat, kemudian ini ditelan untuk mempercepat kembalinya tenaga murni. Adapun tulang patah itu, ah, mudah saja. Aku mempunyai obat param untuk itu."

Dia membuka sebuah bungkusan lain yang terisi bubuk kuning yang cukup banyak.

"Ini harus dicampur dengan putih telur, lalu diparamkan dan dibalut kuat-kuat. Dalam waktu satu dua hari saja tulang-tulang itu akan tersambung kembali!"

Melihat hasil obat-obat itu pada diri Pek Lian dan dua orang gurunya, kokcu Lembah Yang-ce percaya bahwa agaknya pemuda tinggi besar ini adalah seorang pandai yang menyamar sebagai orang tolol, maka diapun tanpa ragu-ragu lagi lalu menelan obat-obat itu.

Dan memang manjurnya bukan main! Dia cepat duduk bersila setelah jalan darahnya pulih kembali dan pernapasannya normal, untuk melakukan siulian dan menghimpun tenaga dan hawa murni. Akan tetapi A-hai yang kebingungan.

"Wah, di tempat seperti ini, di mana mencari telur ?" Dia menoleh ke sana-sini dan akhirnya melihat burung- burung walet beterbangan dengan cepatnya memasuki ruangan itu dan lenyap di sebuah lubang di atas.

"Ah, di sana tentu terdapat banyak telur burung. Akan tetapi, bagaimana mencari dan mengambilnya ?"

"Jangan khawatir, aku akan mencari dan mengambilnya !" tiba-tiba seorang kakek dari Lembah Yang-ce berkata dan diapun lalu memanjat dinding itu dengan mempergunakan Ilmu Cecak Merayap sehingga kaki tangannya seperti menempel pada dinding ketika perlahan-lahan dia terus merayap ke atas, sampai di lubang di mana burung-burung walet tadi beterbangan.

Begitu dia tiba di lubang, dan memasuki lubang gelap itu, burung-burung walet beterbangan keluar dengan mengeluarkan bunyi panik. Kakek itu terus merayap masuk sampai tubuhnya lenyap ke dalam lubang dan hanya nampak kedua kakinya saja. Tak lama kemudian, kakek ini sudah keluar lagi dan meloncat turun sambil membawa dua genggam telur burung!

"Bagus ! Wah, paman sungguh lihai sekali !" A-hai memuji dengan girang ketika dia menerima telur-telur burung itu.

"Ah, apa artinya sedikit kemampuanku itu di-bandingkan dengan kelihaian taihiap ?" Kakek itu merendah dan menjura kepada A-hai dengan penuh kekaguman karena memang hatinya girang dan kagum sekali melihat betapa kokcunya dapat disembuhkan secara demikian mudahnya.

"Apa ? Siapa yang paman sebut taihiap ? Aku ? Wah, jangan bergurau, ah!" A-hai berkata dan dengan hati- hati diapun lalu mencampur putih telur-telur itu dengan obat kuning di atas permukaan batu yang sudah ditiupnya sampai bersih betul.

Kemudian, dia menaburi iga yang patah itu di atas dada kokcu Lembah Yang-ce setelah tiga orang kakek membantunya dan membuka baju pemuda itu. Dan A-hai tanpa ragu-ragu lagi lalu merobek sabuknya yang panjang untuk membalut dada itu.

Melihat ini, diam - diam semua orang kagum sekali. Pemuda ini, biarpun nampak tolol, ternyata selain ahli pengobatan, juga mempunyai budi yang mulia, tanpa ragu-ragu mengorbankan pakaiannya untuk menolong orang. Pandang mata Pek Lian terhadap pemuda ini menjadi semakin kagum dan mesra.

Setelah diberi obat dan dibalut dada itu, kokcu Lembah Yang-ce, orang muda yang berilmu tinggi itu, merasa betul betapa hawa hangat yang aneh masuk dari luar. Tahulah dia bahwa obat itu memang mujarab sekali, maka diapun lalu menjura ke arah A-hai.

"Saudara telah melepas budi yang amat besar kepada kami. Mudah-mudahan pada saat lain kami akan berkesempatan untuk membalasnya."

A - hai hanya tersenyum dan balas menjura de-ngan canggung, tidak tahu harus berkata apa. Me-lihat ini, Pek Lian mendekatinya. Kini semua orang telah diobati. Dua orang gurunya, seperti juga kokcu Lembah Yang-ce itu, duduk bersila menghimpun hawa murni untuk menyempurnakan pengobatan itu. Ia sendiri merasa sudah sembuh sama sekali, terdorong oleh rasa girang dan juga bangga. Sungguh aneh mengapa ia berbangga atas kemampuan pemuda tolol ini!

"A-hai, sungguh mati aku merasa kagum dan heran. Baru saja mengenalmu, ternyata engkau memiliki kepandaian mengobati orang dengan hebat ! Siapa sih gurumu dalam ilmu ketabiban ini ?" Ia sengaja bertanya sambil lalu, dan sambil bergurau tersenyum agar jangan sampai mengejutkan pemuda itu.

Akan tetapi, ia menjadi heran ketika melihat pemuda itu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, ketabiban apa lagi ? Aku bukan tabib dan tidak mengenal ilmu ketabiban sama sekali! Aku mendapatkan obat-obat ini dengan keterangan tentang pengobatannya sebagai hadiah karena aku membantu orang mencari kalajengking hijau. Hanya aku yang tahu tempat binatang itu di daerah ini, maka orang itu menjadi girang dan memberi hadiah setelah aku menunjukkan tempatnya kepadanya."

"Orang apa ? Siapa dia ?" tanya Pek Lian, ha-tinya tertarik, bukan kepada orang yang diceritakan itu, melainkan mengharap kalau-kalau keterangan itu sedikitnya akan membuka sedikit tentang pemuda aneh itu.

"Wah, dia orang yang aneh, hebat bukan main dia. Ha-ha, seperti orang gila, dan memang agaknya dia sudah gila. Bayangkan saja, kalajengking hijau itu beracun luar biasa, baru memegang dengan tangan saja dapat meracuni orang. Dan apa yang dilakukan oleh orang itu ? Dia menelannya bulat-bulat! Ha-ha-ha !"

"Ah, tidak salah lagi. Tentu dia seorang iblis-dari Pulau Selaksa Setan ! Apakah orangnya bertubuh gendut, gemuk bulat seperti bola, mata dan kulit tubuhnya kehijau-hijauan ?" tanya seorang di antara tiga kakek tokoh Lembah Yang-ce.

"Benar sekali, ha-ha, dia bundar seperti bola dan kalau berjalan seperti bola menggelinding ke sana-sini. Lucu sekali. Dan memang kulitnya hijau seperti seperti kalajengking-kalajengking itu. Agaknya memang dia terlalu banyak makan kalajengking." Pemuda tolol itu kelihatan begitu gembira, akan tetapi kalau dia bicara dan tertawa dia selalu memandang wajah Pek Lian yang memandangnya dengan kagum, walaupun dia menjawab ucapan orang lain.

"Apakah kalian sudah mengenal orang itu ?" Akhirnya dia bertanya.

"Aihh ! Dia tentu seorang tokoh dari Pulau Selaksa Setan ! Sekarang aku yakin akan hal itu."

"Apakah paman sudah mengenal iblis-iblis dari pulau terkutuk itu?" tiba-tiba Pek Lian bertanya, hatinya tertarik sekali karena selain ia pernah mendengar serba sedikit tentang adanya Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Setan), juga ketika kakek dan nenek iblis yang muncul dari dalam gerobak itu mengamuk, kepandaian mereka itu hebat bukan main dan Jenderal Beng Tian sendiri, yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, nampak terkejut dan gentar, dan menyebut bahwa kakek dan nenek itu adalah iblis-iblis pulau terkutuk.

Tokoh Lembah Yang-ce itu menarik napas panjang. Setelah para tokoh Lembah Yang-ce itu me-ngenal Pek Lian sebagai puteri Menteri Ho yang; amat terkenal itu, sikap mereka amat menghormat-nya. Kakek inipun menarik napas panjang.

"Ho-siocia, kalau dibilang mengenal mereka, saya belum pernah mendapat kesempatan untuk berkenalan dan kalau bisa diminta, mudah-mudahan selamanya saya tidak mengenal mereka."

Dia bergidik dan nampak gentar sekali.

"Akan tetapi saya mendengar banyak tentang mereka. Mereka berjumlah tujuh orang dan menjadi majikan-majikan Pulau Selaksa Setan itu. Agar nona dan semua saudara ketahui dan bersikap hati-hati kalau tidak kebetulan bertemu muka dengan mereka, biar saya perkenalkan keadaan mereka itu."

Kakek itu lalu memberi gambaran yang jelas tentang Jit-kwi (Tujuh Iblis) itu. Orang pertama yang menjadi tocu (majikan pulau) dari Ban-kwi-to adalah seorang yang tubuhnya pendek kecil, akan tetapi mudah dikenal karena mukanya yang meruncing seperti muka tikus.

Karena mukanya seperti tikus inilah maka dia mendapat julukan Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi), selain memiliki kesaktian yang luar biasa, juga wataknya licik dan kejam bukan main. Yang menjadi orang ke dua adalah sutenya, dengan bentuk tubuh yang menjadi kebalikan dari pada orang pertama. Orang ke dua ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa yang berjuluk Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) dan kabarnya raksasa ini suka makan daging manusia! Orang yang ke tiga dan ke empat adalah sepasang wanita kembar. Mereka berdua ini memiliki keahlian untuk pian-hwa (mengubah diri) dan mereka itu sukar dibedakan satu antara yang lain karena bentuk tubuh dan raut wajah yang serupa benar.

Orang-orang di dunia kang-ouw mengenal mereka dengan julukan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Tblis Bermuka Seribu). Adapun orang yang ke lima adalah orang gendut bundar yang mungkin sekali adalah orang yang mencari kalajengking hijau dan bertemu dengan taihiap eh, saudara ini. Julukannya adalah Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi) dan keahliannya tentang racun amat mengerikan. Kemudian orang yang ke enam dan ke tujuh adalah sepasang suami isteri, kakek dan nenek yang pernah kita lihat muncul dari dalam gerobak itu.

"Suami isteri tua bangka itu terkenal cabul dan tak tahu malu, akan tetapi juga lihai bukan main, terutama ilmu pukulan mereka Im-yang Tok-kun. Kita harus berhati-hati kalau bertemu dengan mereka itu. Untung sekali bahwa orang muda perkasa ini memperoleh obat-obatan dari Thian-te Tok-kun sendiri. Kalau tidak, sukarlah mengobati dan kita mungkin akan menjadi penderita cacat, kecuali kalau bisa memperoleh pengobatan dari mendiang Si Tabib Sakti."

Kakek itu mengakhiri ceritanya dan kini mengertilah Pek Lian mengapa mereka begitu berterima kasih dan menghormat kepada A-hai yang telah menyelamatkan mereka, terutama kokcu mereka.

Ketika malam berikutnya tiba, keadaan mereka telah baik kembali, tubuh mereka telah sehat dan segar kembali, kecuali Kwee Tiong Li, pemuda yang menjadi kokcu (majikan lembah) Yang-ce itu. Pemuda yang pendiam dan tampan berwibawa ini, bersikap sederhana dan jarang bicara, dan ketika mereka saling memperkenalkan diri, dia hanya memperkenalkan namanya sebagai Kwee Tiong Li.

Padahal, pemuda ini yang baru berusia duapuluh dua tahun, adalah murid terkasih dari bengcu (pemimpin rakyat) yang terkenal itu, yaitu Chu Siang Yu, tokoh para patriot Lembah Yang-ce yang ditakuti oleh pasukan pemerintah. Kalau yang lain-lain telah sembuh sama sekali, hanya Kwee Tiong Li saja yang biarpun tubuhnya tidak lagi keracunan berkat obat pemberian A-hai namun tubuhnya masih lemas dan lemah. Dia harus-banyak beristirahat dan bersiulian (bersamadhi) untuk memulihkan tenaganya dan menghimpun hawa murni.

Menjelang tengah malam, barulah A - hai ber--kata, "Sekaranglah tiba saatnya bagi kita untuk, keluar dari sini."

"Keluar ? A-hai, bagaimana kita bisa keluar dari sini ? Kembali melalui jalan ketika kita masuk ?" tanya Pek Lian terkejut dan ngeri mengingat kembali jalan masuk yang amat sukar itu, akan tetapi yang membuat jantungnya berdebar kalau ia teringat betapa dalam keadaan pingsan ia dipondong oleh A-hai melalui perjalanan yang demikian sukarnya.

A-hai tersenyum dan menggeleng kepala. "Ada jalan rahasia di tempat ini dan hanya aku yang tahu, secara kebetulan saja."

Diapun lalu mengorek - ngorek lantai di sudut ruangan itu dan nam-paklah sebuah tutup besi bundar yang garis te-ngahnya kira - kira setengah meter. Ternyata di bawah tutup besi itu terdapat lubang yang hitam gelap dan kalau saja di situ tidak ada A-hai yang sudah mengenal jalan, tentu mereka akan mem-pertimbangkan masak - masak lebih dulu sebelum memasuki lubang yang menganga hitam gelap itu.

"Saudara A - hai, lubang ini akan membawa kita ke manakah ?"

Kim-suipoa Tan Sun bertanya. Sebagai seorang kang-ouw yang berpengalaman, dia selalu bersikap hati- hati dan memasuki lubang gelap seperti itu tanpa mengetahui lebih dulu apa yang menanti di dalam lubang itu, sungguh merupakan perbuatan yang lengah dan berbahaya.

"Kita akan tiba di luar benteng melalui lubang ini," jawab A-hai dengan sikap sederhana, kemudian dia menoleh kepada Pek Lian.
"Pek Lian, sudah siapkah engkau ? Mari kauikuti aku, pegang ta-nganku dan melangkah hati-hati saja kalau merangkak, ikuti ke mana aku pergi."

A-hai sudah memasuki lubang itu dan merangkak. Biarpun dia tidak mengerti ilmu silat, namun jelas bahwa A-hai memiliki keberanian yang besar sekali. Pek Lian adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng oleh orang-orang pandai dan kini telah memiliki tingkat kepandaian silat yang tinggi, lebih tinggi dara pada tingkat Kim-suipoa atau Pek-bin-houw, namun melihat lubang gelap itu, iapun gentar juga.

"Yakin benarkah engkau bahwa kita akan sampai di tempat yang aman, A-hai ?"

"Tentu saja, aku sudah beberapa kali menggu-nakan jalan ini. Bahkan ketika di kota para pasu-kan mengamuk, aku mengambil jalan ini juga."

Mulailah mereka merangkak melalui lubang sempit yang gelap itu. Mereka bergandeng tangan, A-hai di depan, lalu Pek Lian, Kim-suipoa, Pek-bin-houw, Kwee Tiong Li yang dibantu oleh seorang kakek, dan dua orang kakek lainnya. Ketika mereka merangkak-rangkak di tanah yang licin dan basah itu, Pek Lian berpikir dengan penuh kekaguman bahwa pada saat itu, mereka semua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menganggap A-hai sebagai pimpinan mereka ! Semua harapan dan kepercayaan dilimpahkan kepada pemu-da yang nampaknya sinting itu !

Setelah merangkak agak lama juga, tiba-tiba A-hai berhenti dan bertanya kepada dara yang merangkak di belakangnya,

"Pek Lian, apakah engkau dapat berenang ?"

"Eh, Berenang ?" Pek Lian merasa heran dan. geli juga mengapa di tempat seperti itu, tiba-tiba saja A-hai bertanya tentang berenang.

"Kalau se-dikit-sedikit sih bisa saja."

"Bagus, asal engkau tidak sampai tenggelam saja sudah baik, nanti aku yang menarikmu."

Baru mengertilah Pek Lian bahwa perjalanan ini akan melalui air! Dan pemuda itu agaknya tidak perduli apakah yang lain-lain dapat berenang atau tidak, hanya Pek Lian seorang yang ditanya.

"Wah, aku tidak pandai berenang!" kata Pek-bin-houw Liem Tat.

"Dan akupun tidak bisa!"

"Aku juga tidak dapat berenang!"

Dua orang kakek tokoh Yang-ce dan Pek-bin-houw nampak gugup dan gelisah. Betapapun pandainya mereka di daratan, kalau harus menghadap air yang dalam mereka menjadi takut dan gelisah, maklum bahwa sekali berada di air yang dalam mereka lebih lemah dari pada seorang anak kecil yang pandai berenang. Mereka akan mati lemas dan tenggelam.

"Jangan khawatir !" tiba-tiba terdengar Kim-suipoa berkata. "Yang tidak dapat berenang akan dibantu oleh yang pandai berenang dan aku tidak membual kalau mengatakan bahwa aku pandai berenang dan sanggup menyeberangkan mereka yang tidak pandai berenang seorang demi seorang."

Mereka merangkak terus dan kini terowongan itu menjadi agak lebar, akan tetapi menjadi semakin licin dan basah. Dari atas berjatuhan air yang menetes-netes membasahi kepala dan pakaian mereka, kemudian terowongan itu mulai menurun, terus menurun sampai akhirnya mereka berdiri di tempat yang digenangi air.

A-hai berhenti dan berkata, "Sebaiknya semua barang yang penting dibungkus baju dan diikatkan di atas kepala agar jangan basah."

Berkata demikian, dia sendiri me-ngeluarkan bungkusan-bungkusan obat dan membuntalnya dengan bajunya yang sudah ditanggal-kannya, kemudian mengikatkan baju itu di atas kepalanya. Orang-orang lain juga melakukan hal ini, kecuali Pek Lian tentunya. Mana mungkin dia menanggalkan bajunya ?

"Pek Lian, kalau engkau mempunyai barang yang kau tidak ingin sampai terkena air, berikan padaku," kata A-hai dan untuk kata-kata ini, Pek Lian merasa berterima kasih sekali. Bagaimanapun juga, agaknya A - hai adalah seorang pemuda baik hati yang teringat akan kesukarannya menghadapi persoalan melepaskan baju ini.

"Tidak, aku tidak mempunyai apa-apa yang perlu dijaga agar tidak basah."

"Baiklah. Apa semua sudah siap ?" tanya A—hai lalu memegang tangan Pek Lian dan berkata lagi,

"Biar aku berenang lebih dulu mengantar Pek Lian. Paman yang tidak pandai berenang boleh berpegang pada pundakku. Yang lain-lain harus bantu agar kita sekaligus dapat menyeberang semua."

Mereka lalu mengatur diri. Seorang kakek tokoh Yang-ce berpegang kepada pundak A-hai. Pek Lian berenang di sebelah kiri A-hai yang bersikap melindunginya. Pek-bin-houw dibantu oleh Kim-suipoa dan seorang kakek Yang-ce membantu temannya yang tidak pandai berenang,

Kwee Tiong Li sendiri adalah seorang ahli berenang, akan tetapi karena tenaganya masih lemah, diapun lalu berenang di dekat A-hai dan Pek Lian agar kedua orang ini dapat membantunya kalau perlu.

"Nah, inilah perlunya belajar berenang," kata Kim- suipoa kepada temannya, Pek-bin-houw.

"Jangan karena engkau berjuluk harimau, lalu tidak pandai berenang."

"Jangankan aku yang berjuluk harimau, sedangkan dua orang saudara yang menjadi tokoh Yang-ce inipun tidak pandai berenang !" Pek-bin-houw menjawab olok-olok sahabatnya.

Dua orang ka-kek Yang-ce itupun lalu berjanji bahwa setelah pulang mereka akan belajar berenang di Sungai Yang-ce.

A-hai melangkah terus ke depan, diikuti oleh Tiong Li dan di belakang kokcu ini baru Pek Lian berjalan sehingga ketua lembah ini diapit oleh dua orang, sedangkan yang lain-lain mengikuti dari belakang. Air yang tadinya sampai ke lutut itu mulai makin dalam dan dinginnya luar biasa sekali, sampai menyusup ke dalam tulang rasanya. Dan mulai terasa arus air. Untung bahwa arusnya tidak begitu kuat. Setelah melangkah beberapa belas langkah lagi, mulailah air itu dalam dan mereka harus berenang.

Air yang dingin itu seperti mendatangkan tenaga pada tubuh Tiong Li sehingga dia dapat berenang tanpa dibantu, hanya dijaga saja oleh A-hai dan Pek Lian. A-hai berenang dengan pundaknya dipegangi oleh kakek Yang-ce. Ternyata pemuda ini pandai sekali berenang dan mempunyai tenaga yang kuat. Yang lain-lain mengikuti di belakang. Setelah mereka berenang beberapa lamanya, paling lama sepuluh menit akan tetapi bagi mereka yang tidak pandai berenang terasa amat menegangkan dan lama sekali, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka.

Mereka lalu berenang ke tepi dan ternyata air itu mengalir keluar dan bergabung pada sebatang anak sungai yang berada di luar benteng. Mereka cepat naik ke darat dan keadaan masih amat gelap dan sunyi. Tidak segelap tadi karena mereka telah berada di tempat terbuka dan sinar bulan membuat mereka dapat saling melihat.

Semua orang bergembira dan berterima kasih sekali kepada A-hai.

Kwee Tiong Li memegang tangan A-hai dan berkata, "Terima kasih, saudara A-hai. Tanpa adanya bantuanmu, belum tentu aku dapat hidup sampai sekarang. Percayalah bahwa aku Kwee Tiong Li tidak akan dapat melupakan budimu ini!"

A - hai tersenyum dan menggeleng kepala. "Se-baliknya, mungkin sebentar saja aku sudah lupa akan namamu itu. Aku pelupa sekali dan aku masih merasa sedih mengapa aku meniadi pelupa seperti ini."

Juga tiga orang kakek Yang-ce mengucapkan terima kasih yang diterima oleh A-hai dengan biasa saja. Sebaliknya pemuda sinting ini merasa gembira melihat Pek Lian telah sembuh sama sekali.

"Pek Lian. pakaianmu basah semua, sebaiknya kalau engkau bertukar pakaian kering, karena eng-kau bisa masuk angin kalau begitu," kata A-hai dan Pek Lian merasa terharu sekali.

Pemuda ini, biarpun sinting dan nampak ketolol-tololan, namun sungguh amat baik hati dan amat memperhatikan dirinya. Juga yang lain-lain merasa terharu dan dari gerak-geriknya, mereka itu semua dapat melihat betapa dengan caranya yang polos dan bo-doh, pemuda ini amat mencinta Pek Lian!

"Aku telah kehilangan semua pakaianku dalam keributan tadi. Akan tetapi jangan khawatir, A-hai. Sebagai seorang gadis perantau, sudah terbiasa aku oleh keadaan yang sukar, maka basahnya pakaian ini tidak akan menggangguku," jawab Pek Lian.

"Kalian tidak bisa tinggal terlalu lama di sini. Tempat ini dekat tembok benteng, dan sewaktu-waktu akan ada pasukan meronda," kata pula A-hai.

"Kami memang harus cepat pergi dari sini," kata Kwee Tiong Li.

"Dan engkau dan kedua orang paman ini hendak ke mana, nona Ho ? Kalau kalian mau, mari ikut bersama kami menemui teman-teman kami. Kami telah berjanji akan mengadakan pertemuan setelah tempat kami di Lembah Yang-ce diobrak-abrik pasukan."

"Memang sebaiknya demikian," kata Kim-suipoa.

"Kami bertigapun harus dapat melaporkan kepada pimpinan kami tentang keadaan para sahabat dari Lembah Yang-ce yang mengalami musibah itu."

"A-hai, engkau sendiri hendak ke manakah ?" Pek Lian bertanya.

"Aku harus kembali, pulang ke kuil. Ke mana lagi ?"

"Kalau begitu, selamat tinggal, A-hai. Jaga dirimu baik-baik," kata Pek Lian.

A-hai mengangguk-angguk.

"Engkau yang harus menjaga dirimu baik-baik, Pek Lian. Apakah... apakah kita tidak akan saling jumpa kembali ?"

Dalam pertanyaan yang diajukan dengan nada suara seperti anak kecil kehilangan sesuatu ini jelas nampak betapa pemuda itu bersedih hati sehingga Pek Lian merasa terharu sekali, akan tetapi juga malu karena banyak orang yang mendengarkan.

"Biarlah lain kali aku akan singgah di kuilmu itu."

"Benarkah, Pek Lian ? Benarkah engkau akan singgah ? Ah, akan kutunggu kedatanganmu !" kini suara itu demikian girang dan penuh harapan, membuat semua orang makin terharu.

Sampai lama A-hai berdiri bengong dan merasa kehilangan, memandang kepada bayangan tujuh orang itu sampai bayangan itu lenyap ditelan kegelapan malam. Baru dia pergi meninggalkan tempat sunyi itu.
***
Kwee Tiong Li adalah seorang kokcu (ketua lembah) yang muda akan tetapi telah dapat meng-himpun banyak anak buahnya, yaitu para pendekar patriot yang memberontak karena melihat kelaliman kaisar yang dirasakan amat menindas rakyat. Mereka membentuk suatu kelompok yang bermarkas di lembah Sungai Yang-ce, dipimpin oleh Kwee Tiong Li yang dibantu oleh tiga orang kakek yang dikenal sebagai Yang-ce Sam-lo (Tiga Kakek Gagah dari Yang-ce).

Kelompok yang dipimpin oleh Tiong Li ini hanya merupakan kelompok cabang saja dari perkumpulan para patriot yang berpusat di sebuah bulat di Lembah Yang-ce sebelah barat, yang merupakan pusat. Dan pusat perkumpulan para pendekar patriot ini dipimpin oleh Chu Siang Yu, yaitu pendekar berilmu tinggi yang juga menjadi guru Tiong Li.

Gerakan para anggauta perkumpulan pendekar ini dilakukan oleh kelompok-kelompok cabang, di antaranya yang paling aktip adalah yang dipimpin oleh Tiong Li. Sedangkan Chu Siang Yu sendiri yang sudah lama menjadi buronan pemerintah, bersembunyi dan mengatur pasukan - pasukannya dari tempat rahasia.

Ketika tempat yang dijadikan sarang oleh Tiong Li dan anak buahnya itu diserbu oleh pasukan pe-merintah yang besar jumlahnya dan dipimpin oleh perwira-perwira pandai pula, Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo sedang pergi mengadakan kunjungan kepada perkumpulan pusat, untuk berunding dan melaporkan kepada Chu Siang Yu.

Maka, dapat dibayangkan betapa marah dan berduka rasa hati Hong Li dan tiga orang pembantunya ketika mereka mendapatkan sarang mereka telah kosong, kebanyakan dari para anak buahnya tewas dan sebagian lagi ada yang tertawan dan hanya sebagian kecil saja yang dapat melarikan diri. Maka, dengan hati yang berduka dan marah sekali, Tiong Li mengumpulkan sisa anak buahnya dan menyuruh mereka bersembunyi lebih dulu. Dia sendiri bersama Yang-ce Sam-lo mengejar para perajurit yang menyerbu sarangnya.

Maka kini, setelah diselamatkan oleh A - hai, mereka itu, bersama Ho Pek Lian dan dua orang gurunya, menuju ke puncak Bukit Merak Putih di mana telah dijanjikan untuk menjadi tempat pertemuan sisa para anak buah Lembah Yang-ce itu.

Pada keesokan harinya, menjelang senja, tiba-lah mereka di bawah puncak Bukit Merak Putih. Mereka tidak langsung menuju ke kuil tua yang sudah nampak dari situ, karena keadaannya amat sunyi. Tiong Li mengajak mereka bersembunyi di balik semak-semak belukar, kemudian dia minta kepada ketiga orang Sam-lo untuk melakukan penyelidikan ke kuil, untuk melihat apakah teman-teman mereka sudah ada yang tiba di tempat itu.

Menurut perhitungan, karena mereka sendiri terha-lang di jalan, tentu teman-teman mereka itu sudah tiba di situ, akan tetapi mengapa keadaannya begi-tu sunyi ? Yang-ce Sam-lo dengan hati-hati sekali lalu menuju ke kuil dari tiga jurusan karena mereka berpencar. Dan mereka tiba di kuil untuk mendapatkan kenyataan bahwa tempat itu memang kosong tidak nampak ada seorangpun, hanya ada nampak bekas-bekas pertempuran, darah dan patahan-patahan senjata.

Yang-ce Sam-lo terkejut sekali dan terpaksa mereka kembali ke tempat persembunyian kokcu untuk melaporkan keadaan. Mendengar laporan itu, kokcu merasa terkejut dan juga penasaran. Maka dia sendiri lalu pergi ke kuil, diikuti oleh mereka semua. Dan melihat bekas-bekas pertempuran itu, hati Tiong Li meniadi bersedih sekali. Apakah teman-temannya sudah tiba di sini dan diketahui oleh pasukan pemerintah lalu merekapun mengalami penyerbuan kedua kalinya dan mereka semua ditawan oleh pasukan ?

"Ah, seharusnya di antara kami ada yang menemani mereka, bukan kami tinggalkan seperti ini ..." seorang di antara Sam-lo membanting kaki penuh penyesalan. Melihat kesedihan terbayang pada wajah kokcu yang mereka kasihi itu, mereka bertiga merasa menyesal bukan main.

"Sudahlah, sam-wi tidak perlu menyesali diri sendiri, sebenarnya akulah...... " Tiong Li tidak melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu telinganya menangkap suara seperti lengkingan tinggi dari tempat jauh.

Mereka semua cepat memasuki kuil, bersembunyi sambil mengintai keluar. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan agaknya suara tadi datang dari tempat yang jauh sekali. Mereka tidak dapat menentukan suara apakah itu. Tadinya mereka merasa khawatir bahwa itu adalah suara tanda dari pasukan yang akan datang menggempur mereka lagi. Akan tetapi karena tidak terjadi apa-apa, merekapun lalu beristirahat di dalam kuil rusak itu sambil makan daging kelinci panggang yang mereka tangkap di belakang kuil Biarpun mereka dapat beristirahat tanpa gangguan namun mereka tidak dapat tidur, siap siaga menghadapi segala kemungkinan dan kesunyian malam itu amat menegangkan hati.

Menurut kokcu, mereka akan menanti di sini sampai dua hari dua malam. Kalau selama itu tidak ada anak buah Lembah Yang-ce yang muncul mereka baru akan meninggalkan tempat itu. Kare-na merasa setia kawan dan satu golongan dengan para tokoh Lembah Yang-ce ini, maka Pek Lian dan kedua orang gurunya juga mau mendampingi mereka sampai dua hari dan setelah dua hari barulah mereka akan kembali ke tempat mereka sendiri.

Pada keesokan harinya, baru saja matahari menyinarkan cahayanya yang gemilang, kembali me-reka mendengar suara melengking tinggi itu, se-perti yang mereka dengar senja kemarin. Mendengar suara ini, cepat mereka bertujuh masuk ke dalam kuil dan mengintai keluar, siap sedia untuk membela diri kalau ada musuh datang. Tiong Li sendiri masih lemah, tak mungkin dapat melawan musuh yang tangguh, maka Yang-ce Sam-lo selalu mendekatinya untuk siap melakukan perlindungan terhadap kokcu yang mereka kasihi itu.

Kembali terdengar suara melengking tinggi itu, seperti suara suling ditiup dengan nada yang tertinggi, suara lengkingan itu berulang-ulang, makin lama makin nyaring seolah-olah suara itu makin dekat saja dengan kuil itu. Dan selagi mereka merasa tegang, tiba-tiba saja terdengar suara batuk-batuk, bukan batuk karena memang sakit batuk, melainkan semacam batuk buatan seperti biasa dilakukan orang untuk memberi isyarat kepada orang lain! Tentu saja tujuh orang itu terkejut bukan main. Suara batuk itu terdengar seperti di belakang mereka dan ketika tujuh orang itu cepat sekali menoleh, ternyata di belakang mereka tidak nampak seorangpun! Tentu saja mereka saling pandang dan merasa serem, seolah-olah yang batuk tadi adalah iblis yang tidak kelihatan.

Akan tetapi perhatian mereka kembali tertuju keluar ketika Pek Lian memberi isyarat dengan tangannya karena dara ini yang lebih dahulu meli-bat bayangan itu. Bayangan seorang manusia yang bergerak cepat sekali menuju ke kuil itu ! Sungguh luar biasa sekali ilmu berlari cepat orang itu, seperti terbang saja dan tahu-tahu bayangan itu telah tiba di pekarangan kuil. Pek Lian merasa kagum bukan main. Lagi-lagi ia bertemu dengan orang sakti yang memiliki ginkang seperti itu he-batnya. Orang itu berdiri membelakangi kuil sehingga yang nampak hanya bagian belakang tubuhnya saja, perawakannya agak kecil dan pakaiannya serba hitam. Setelah tiba di depan kuil dan melihat sunyi saja, orang itu termangu-mangu, kemudian iapun berdongak lagi ke atas memandang langit yang cerah karena matahari sudah mulai memancarkan sinarnya yang kemerahan. Kemudian! terdengar pula suara melengking yang amat nyaring itu, yang mendirikan bulu roma karena selain nyaring dan menggetarkan jantung, juga terdengar menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

Dan tak lama kemudian dari bawah puncak Bukit Merak Putih itu terdengar suara geraman yang seperti meraungraung, menggetarkan jantung dari biarpun terdengar dari jauh, akan tetapi seperti menusuk anak telinga sehingga orang-orang yang berada di dalam kuil itu cepat mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantung mereka, sedangkan Tiong Li yang masih lemah itu sudah menggunakan kedua tangan untuk menutupi daun telinganya. Biarpun demikian, tetap saja tubuhnya tergetar hebat. Setelah raungan itu berhenti, terdengar pula suara bersuit nyaring yang diikuti oleh suara anjing melolong-lolong pula ! Pek Lian teringat akan orang-orang Tai-bong-pai. Bukankah orang-orang Tai-bong-pai yang memelihara anjing-anjing yang ganas dan terlatih ? Kalau orang-orang Tai-bong-pai datang, tentu ada urusan penting dan ia dapat menduga bahwa suara-suara tadi tentu dikeluarkan oleh orang-orang yang sudah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya. Ada terjadi apakah di dunia ini maka bermunculan orang-orang sakti yang biasanya hanya bersembunyi mengasingkan diri di dalam guha-guha di pegunungan dan tempat-tempat yang terpencil dan jarang bertemu dengan orang lain ?

Sebentar saja setelah semua suara itu menghi-lang, nampaklah bayangan orang-orang berkelebatan cepat dari pelbagai jurusan menuju ke kuil itu dan segera nampak betapa pekarangan yang luas di depan kuil itu kini telah penuh dengan manusia. Ada yang datang seorang diri, ada yang berdua, bertiga dan yang paling banyak adalah delapan orang. Pakaian mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mereka terdiri dari orang-orang yang aneh bentuknya, wajahnya, maupun pakaiannya. Dan dari sikap mereka, sinar mata mereka, mudah diduga bahwa mereka itu tentu bukanlah terdiri dari orang yang baik- baik, melainkan dari, golongan kaum sesat atau golongan hitam. Mereka semua tiba di situ dan berdiri diam tak bergerak seperti arca, seolah-olah mereka itu sedang menanti munculnya seseorang. Keadaan sungguh amat menyeramkan bagi tujuh orang yang bersembunyi di dalam kuil. Mereka merasa seolah-olah menjadi saksi pertemuan para iblis, setan dan siluman ! Begitu banyak orang berkumpul di pekarangan itu, namun tidak terdengar suara apapun, bahkan tidak nampak gerakan apapun! Ada seperempat jam keadaan diam-diam seperti ini sehingga suasana menjadi semakin menegangkan hati.

Akhirnya, orang berpakaian serba hitam yang sejak tadi berada di situ karena merupakan pendatang pertama, nampaknya menjadi tidak sabar. Agaknya ia sudah bosan menunggu. Kembali ia menengadah dan terdengarlah lengkingannya yang menyeramkan tadi, sekali ini agak panjang dan gemanya terdengar dari lereng bukit. Setelah berhenti mengeluarkan suara lengkingan yang tidak lumrah suara manusia ini, maka terdengar ia bicara sambil menoleh dan memandang kepada sebatang pohon siong yang tumbuh di sudut kanan depan kuil.

"Eh, Ciong tua cebol, agaknya kita kena diakali orang! Orang yang menyombongkan diri meng-undang kita untuk menjadi pemimpin golongan kita itu agaknya sudah ketakutan melihat kita, hi-hik ! Lebih baik kita pulang saja dari pada membuang-buang waktu!"

Pek Lian dan teman-temannya yang berada di dalam kuil menjadi terkejut ketika mendengar suara itu. Baru mereka tahu bahwa orang berpakaian serba hitam ini adalah seorang wanita! Mereka menduga-duga siapa gerangan wanita yang mengeluarkan suara melengking seperti itu dan yang memiliki ginkang yang amat hebat tadi.

Kini dari balik pohon siong itu muncul seorang laki-laki yang tubuhnya pendek cebol, akan tetapi kekar. Badannya tidak berbaju dan basah oleh keringat, penuh dengan otot-otot besar, nampak kokoh kuat sekali. Laki-laki ini nampak kuat dan perkasa, bukan hanya karena otot yang melingkar-lingkar di seluruh tubuh, akan tetapi juga lengan, dagu dan dadanya ditumbuhi bulu hitam yang lebat.


Melihat orang ini, seorang di antara Yang-ce Sam-lo berbisik, "Ah, dia tentu perampok tunggal daerah selatan yang terkenal itu, she Ciong dan julukannya Tiat-ciang (Si Tangan Besi) karena lengannya seperti baja!"

Orang she Ciong yang cebol ini terkekeh, dan suaranya parau besar.

"Heh-heh, Siauw-kwi (Iblis Cantik), jangan sembarang membuka mulut kau! Orang yang sudah mengundang begini banyak orang tentu tidak berani main-main. Siapa tahu kalau-kalau dia itu benar keturunan dewa pelindung kita yang sudah tiada, mendiang yang mulia Bit-bo-ong (Raja Kelelawar)! Kalau salah omong, apa kaukira akan dapat dengan leluasa engkau menjadi Maling Cantik lagi ?"

Kim-suipoa yang mendengar ucapan ini, berbisik kaget, “Kiranya Si Maling Cantik. Wah, bisa ramai ini!”

"Akan tetapi aku mendengar dari Jai-hwa Toat-beng-kwi (Iblis Pencabut Nyawa Pemetik Bunga) si manusia cabul itu bahwa Bit-bo-ong tidak mempunyai murid, tidak pernah mau menurunkan ilmunya dan ... eh, kau di sini ?"

Wanita itu menoleh dan memandang kepada seorang laki-laki yang tahu-tahu muncul pula di situ Laki-laki ini usianya tentu sudah tigapuluh tahun lebih, ganteng dan pesolek. Agaknya dia sedang melamun memandang ke bawah puncak di mana terbentang pemandangan alam yang indah.

Dia nampak kaget ketika mendengar ucapan wanita itu, maka diapun menoleh dan pipa huncwenya nampak berkilat, lalu mulutnya bersiul nyaring mengejutkan wanita cantik yang sedang bicara ta-di. Dan kini mereka yang berada di dalam kuil dapat melihat bahwa wanita yang disebut Iblis Cantik dan juga Maling Cantik itu memang benar-benar memiliki wajah yang cantik manis. Wanita ini sebenarnya berjuluk Pek-pi Siauw-kwi (Iblis Cantik Berlengan Seratus). Tangan seratus itu me-nyindirkan kemahirannya mencuri dan mencopet dan biarpun kemahirannya mencuri dan mencopet dan kejam, maka ia disebut Siauw-kwi.

Maling Cantik itu memandang kepada pria tampan itu dengan senyum mengejek yang mengandung penuh daya pikat, dan pria tampan yang selain kejam juga mempunyai watak buruk yaitu suka memperkosa wanita sehingga dijuluki Pemetik Bunga itu tersenyum pula.

"Aha, kiranya engkau si maling yang cantik jelita!" Suaranya halus dan penuh rayuan.

"Bukankah tadi engkau memanggilku ? Nah di sini aku, manis, kalau memang engkau merindukanku!"

Biarpun dia mengeluarkan kata- kata merayu, namun Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa Wanita) ini tidak berani terlalu mendekati wanita itu. Dia tahu betapa lihainya si Maling Cantik. Telah beberapa kali dia bentrok dengan wanita ini dan selalu dia mengalah dan menghindarkan diri sehingga di antara mereka belum pernah secara sungguh-sungguh ber-tanding untuk membuktikan siapa yang lebih kuat.

"Huh, rayuanmu tidak laku bagiku! Apa engkau ingin berkelahi lagi? Hayo, kulayani di sini, bangsat cabul!" tantang wanita itu.

"Hushh, jangan main - main kau ! Bagaimana kalau benar-benar di sini hadir keturunan yang mulia dewa pelindung kita ?"

Kini Jai - hwa - cat itu tidak bicara main-main dan kelihatan takut-takut. Mendengar ini, wajah Maling Cantik itupun agak pucat dan dia memandang ke arah kanan kiri dengan matanya yang tajam, dan iapun tidak berani sembarangan membuka mulut lagi.

Bit - bo - ong atau Raja Kelelawar memang amat ditakuti oleh setiap tokoh kaum sesat yang manapun juga. Biarpun sudah lama sekali dia dikabarkan mati, namun namanya masih ditakuti orang, sehingga Jai-hwa-cat dan Maling Cantik dua orang tokoh sesat dari selatan, juga Tiat - ciang si cebol dari selatan pula, membicarakan namanya saja sudah merasa gentar. Padahal, sudah bertahun - tahun dikabarkan bahwa datuk itu telah meninggal dunia. Memang, dahulu ketika masih hidup, Bit - bo - ong merajalela di dalam dunia hitam, mengangkat diri sendiri menjadi "maha raja" kaum sesat, berkuasa dengan menggunakan tangan besi.

Siapa saja yang berani menantangnya tentu akan tewas dalam keadaan yang amat mengerikan. Dan karena Bit - bo - ong ini memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya, bahkan kabarnya mengalahkan ahli ginkang Si Tabib Sakti sendiri, maka semua orang gentar kepadanya. Datang dan pergi seperti iblis yang pandai menghilang saja ! Padahal, Sin - yok - ong atau Tabib Sakti juga dijuluki orang Bu - eng (Tanpa Bayangan), namun menurut kabar di dunia kang - ouw, puluhan tahun yang lalu pernah Tabib Sakti itu bertanding ginkang dan dikalahkan oleh Raja Kelelawar, walaupun dalam hal ilmu silat, Raja Kelelawar masih belum mampu menandingi Tabib Sakti. Sebenarnya, bukan ginkang yang membuat Raja Kelelawar itu sedemikian cepat gerakannya melebihi Si Tabib Sakti, melainkan alat - alat ciptaannya sendiri yang dipasangnya pada sepatunya, lalu alat yang berupa sayap disembunyikan di dalam jubahnya sehingga dia dapat meloncat dengan bantuan alat seperti per dalam sepatunya dan melayang dengan bantuan alat se-perti sayap di bawah jubahnya.

Pertengkaran mulut antara Jai - hwa - cat dan Maling Cantik itu terhenti, akan tetapi tiba - tiba dari atas genteng kuil yang sudah banyak rusak itu melayang turun seorang laki-laki yang bertubuh gemuk pendek. Biarpun dia tidak secebol Tiat-ciang, akan tetapi dia termasuk orang yang tubuhnya pendek.

"Jangan ribut di sini!" kata orang yang baru melayang turun dan kedua kakinya sengaja menginjak tanah sampai halaman itu tergetar. "Kalau mau adu ilmu, tunggu sampai pertemuan ini selesai !" Orang gemuk pendek itu mengayun - ayun sebatang tongkat besar pendek yang terbuat dari baja putih.

Melihat orang ini, Kim - suipoa Tan Sun berbi-sik dengan nada suara gemas, tangannya dikepal, "Wah, si jahanam ini juga datang ?"

Tentu saja Kim - suipoa marah melihat orang ini. Orang gemuk pendek ini berjuluk Sin - go (Buaya Sakti) dan bernama Mo Kai Ci, seorang bajak tunggal yang luar biasa lihainya, yang malang melintang di sungai - sungai besar, bahkan di pantai-pantai selatan dan timur. Semua bajak takut kepadanya, dan menjadi buruan pemerintah yang selalu gagal menangkap atau menewaskannya. Bahkan Kim-suipoa sendiri pernah kehilangan perahu berisi dagangannya ketika dihadang oleh bajak ini dan dia sendiri mengalami luka - luka karena bajak ini me-nguasai ilmu dalam air yang luar biasa sekali. Pa-ra nelayan dan pedagang yang sering mempergunakan perahu untuk mengangkut dagangannya, selalu gelisah kalau - kalau bajak yang tak pernah diketahui tempat tinggalnya yang tetap ini tiba-tiba muncul. Sin - go Mo Kai Ci memang malang melintang tanpa tempat tertentu, mengacau dan membajak seenak perutnya sendiri, tanpa memper-dulikan daerah kekuasaan para bajak lain. Pendek-nya, dia merupakan seorang tokoh bajak tunggal yang ditakuti orang. Melihat munculnya orang ini, yang berada di dekatnya otomatis surut beberapa langkah.

Mendengar teguran orang ini, si Maling Cantik terkejut dan marah bukan main, akan tetapi iapun mengenal orang. Kalau saja yang berani mencelanya itu orang lain, tentu sudah dihajarnya sejak tadi. Akan tetapi ia mengenal betul siapa orang gemuk pendek bertongkat putih yang besar pendek pula itu, maklum bahwa betapapun lihainya, melawan bajak tunggal ini sungguh amat berbahaya. Ia tahu bahwa di kalangan liok-lim ada tiga orang yang kadang - kadang dinamakan raja kejahatan dalam hal mencari nafkah. Mereka bertiga ini sering dinamakan orang Sam-ok (Tiga Jahat), dan mereka mempunyai daerah kekuasaan sendiri, walaupun kadang-kadang, maklum watak orang jahat, merekapun melakukan pelanggaran-pelanggaran wilayah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARAH PENDEKAR

PENDEKAR PEDANG PELANGI

PENDEKAR PENYEBAR MAUT