"Aha... Selamat Tahun Baru! Selamat
Kaisar Liu Pang wafat. Lima belas tahun memang
melupakan kaisar mereka yang bijaksana itu. Bahkan
dan belum ada yang mendudukinya. Putera Mahkota,
pemakaman ayahnya selesai. Bahkan Putera Mahkota
dimakan api beserta seluruh isi keluarganya.
pemerintahan untuk sementara. Permaisuri yang
sebelum Pangeran Liu Yang Kun diketemukan. Akan
kecakapannya sebagai pemangku kekuasaan. Dia
juga cerdik pula memilih para pembantunya. Suara
menjadi suka dan simpati kepadanya. Apalagi ia
diupayakan pula dengan sebaik-baiknya. Bala tentara
bangsa liar itu selalu dijaga dan diawasi. Maka sudah
Liu Pang dan Pangeran Liu Yang Kun.
5
Orang mulai berlumba untuk menikmati
kegembiraan dalam suasana aman dan damai itu.
Mereka seolah-olah ingin mengambil kembali
kebebasan mereka, yang selama pemerintahan Kaisar
Liu Pang terkurung akibat peperangan yang
berkepanjangan dengan suku-suku bangsa liar di luar
Tembok Besar.
Demikian pula dengan Perayaan Menyongsong
Tahun Baru kali ini. Warga kota Hang-ciu, sebuah
kota besar di pantai timur Propinsi Cse-kiang,
menyambut kedatangan Tahun Baru ini dengan sangat
meriah pula. Hampir semua toko dan rumah yang
berada di pinggir jalan menghias diri sebaik-baiknya.
Segala macam hiasan kertas dan umbul-umbul. Serta
lampu ting yang bercorak warna-warni, mereka
pasang di depan bangunan masing-raasing. Sementara
di perempatan jalan besar, di pasar-pasar, maupun di
tempat-tempat ramai didirikan panggung-panggung
pertunjukan guna menghibur penduduk di sekitarnya.
Dan panggung-panggung itu juga dibuat dan dihias
pula semeriah-meriahnya, seakan-akan ingin bersaing
dan tak mau kalah dengan panggung yang dibuat di
halaman kabupaten.
"Selamat Tahun Baru! Kiong-hi! Semoga panjang
umur dan murah rejeki!"
"Selamat...! Kiong-hi! Terima kasih! Terima
kasih...!"
Setiap orang, tua - muda, anak-anak, laki -
perempuan, dengan wajah berseri serta gelak dan 6
tawa, saling memberi salam dan puja-puji setiap kali
berjumpa. Mereka berbondong-bondong keluar
rumah. Masing-masing seolah-olah telah menentukan
acaranya sendiri-sendiri. Ada yang saling
mengunjungi sanak kerabatnya. Ada yang pergi ke
tempat-tempat pertunjukan untuk melihat hiburan
gratis.
Akan tetapi sekali ini semua orang seperti
ditumpahkan ke halaman kabupaten yang luas itu.
Selain ada tiga buah panggung di sana, kali ini juga
akan di adakan sebuah acara baru. Sebuah acara
perlombaan yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan
di seluruh negeri, yaitu Perlombaan Mengangkat
Arca. Perlombaan yang dilaksanakan di setiap
halaman kabupaten di seluruh Tiong-kok itu
dimaksudkan untuk mencari pemuda-pemuda yang
cocok sebagai calon prajurit pengawal istana.
Suara musik dan tambur yang kemudian menggema
di halaman Kabupaten Hang-ciu itu semakin
menyemarakkan suasana. Apalagi para pejabat tinggi
di kota itu telah lengkap pula di tempat duduk yang
disediakan. Para penonton pun segera mencari tempat-
tempat duduk yang strategis untuk menyaksikan
acara-acara yang akan dipergelarkan.
Sementara itu di luar halaman, dua orang petani
yang juga ingin menonton Perlombaan Mengangkat
Arca, masih asyik duduk di sebuah warung kecil di
pinggir jalan. Mereka mengobrol sambil ninum arak.
Sesekali mereka melayangkan pandangannya ke arah 7
penonton yang berduyun-duyun memasuki halaman
kabupaten.
"Perayaan Tahun Baru kali ini kelihatan lebih
meriah dibandingkan tahun, kemarin, A Tung." Salah
seorang di antara mereka yang bertubuh pendek
berkulit kuning berkata kepada temannya yang lebih
jangkung dan berkulit gelap.
"Benar. Dulu memang tidak semeriah ini. Mungkin
karena sekarang ada Perlombaan Mengangkat Arca,
sehingga orang-orang dari kampung pun datang ke
sini untuk menyaksikannya. Eh, apakah engkau juga
berniat untuk mengikuti perlombaan itu, Lok Ma?"
Petani berkulit gelap itu memandang kawannya
dengan senyum menggoda.
"Ah, kau! Bukankah perlombaan itu hanya
diperuntukkan bagi remaja berusia enam belas sampai
tujuh belas tahun saja? Huh! Kau memang selalu
menggoda dan mengolok-olok aku!" Petani bertubuh
pendek itu bersungut-sungut.
"Hehehe-hehehe.... Siapa tahu engkau masih
merasa muda belia seperti mereka?" A Tung cepat-
cepat menambahkan.
"Huh, kau ini... memang menyebalkan!" sungut
Lok Ma dengan wajah masam.
"Eit, sabar dulu! Jangan mudah tersinggung! Aku
cuma bergurau! Masakan kau yang sudah memiliki
uban di sana-sini benar-benar mau ikut perlombaan?"
"Habis... sedari tadi kau selalu mengolok-olok aku
terus, sih! Kau selalu mengatakan aku seperti keledai, 8
seperti katak raksasa dan lain-lain! Kau juga selalu
mengejekku sebagai babi yang rakus kalau makan!
Dan kau juga selalu mengolok-olok aku sebagai suami
yang takut bini! Huh, bagaimana aku tidak menjadi
sebal kepadamu?"
A Tung tiba-tiba tertawa, namun ditahannya. "Lok
Ma... Lok Ma! Bagaimana aku tidak menyebutmu
sebagai keledai kalau setiap saat penampilanmu
seperti orang tolol dan malas begini? Sudah kelihatan
bodoh dan malas, perutmu buncit lagi akibat banyak
makan! Persis seperti katak atau babi yang rakus, he-
he-he! Dan lebih celaka lagi... ternyata kau sangat
takut kepada binimu!"
"Nah, kau mulai mengejek lagi! Baik! Aku akan
pergi saja kalau begitu! Kita menonton sendiri-
sendiri!"
Lok Ma benar-benar menjadi marah. Cepat dia
bangkit dari kursinya. Akan tetapi dengan tangkas A
Tung menyambar lengannya.
"Eeeeee... tunggu sebentar! Maafkanlah aku! Aku
benar-benar hanya berkelekar kepadamu. Marilah
duduk dahulu! Kita makan minum sepuasnya di sini
sebelum menonton pertunjukan. Aku akan memesan
ikan mas goreng serta arak wangi kesukaanmu. Aku
yang membayarnya. Mau, bukan?"
Tanpa menanti jawaban lagi A Tung menyeret
sahabatnya kembali ke kursinya. Dan Lok Ma pun
juga tidak menolak pula. Apalagi mendengar A Tung
hendak mentraktir ikan mas goreng kegemarannya. 9
Sambil masih berpura-pura marah petani bertubuh
pendek dan gemuk itu memelototkan matanya.
"Baik! Tapi aku akan segera angkat kaki kalau kau
mengolok-olokku lagi!"
"Ya-ya-ya... percayalah, aku tidak akan
menyebutmu keledai, katak, ataupun babi lagi! Kalau
nanti aku kesalahan omong dan menyebutmu keledai,
katak atau babi, kau boleh memukulku. Tapi
sebaliknya kalau aku benar-benar dapat memenuhi
janjiku ini, dan tak sepatah kata pun keluar kata-kata
keledai, katak, atau..."
"Cukup!" Lok Ma tiba-tiba berseru, lalu bangkit
meninggalkan kursinya.
"Eeeeeeee, Lok Ma... tunggu!" A Tung cepat
mengejarnya.
Namun Lok Ma tidak peduli. Ia melangkah dengan
cepat menghampiri pelayan yang sedang,memberesi
dan membersihkan sisa makanan di atas meja.
"Hei, pelayan...!" panggilnya keras-keras.
Pelayan yang ternyata masih bocah itu cepat
berpaling, lalu meletakkan kembali piring-piring kotor
yang dibawanya.
"Jiwi memanggil saya?" jawabnya sopan seraya
memandang Lok Ma dan A Tung yang telah berdiri di
belakangnya.
Tiba-tiba mata Lok Ma terbelalak. Begitu pula A
Tung.
"Kau...?" keduanya berseru lirih, seolah-olah tak
percaya. 10
Sebaliknya pelayan muda itu menjadi bingung
melihat kedua tamunya seperti sudah kenal akan
dirinya, padahal ia sendiri sama sekali tak mengenal
mereka.
"A Tung...! Bukankah anak muda ini yang
menolong anakku dari cengkeraman serigala liar itu?"
Lok Ma berseru kepada A Tung, lupa akan
kemarahannya.
"Tak salah lagi! Memang dialah yang menolong
anakmu .dari terkaman serigala hutan tiga hari yang
lalu. Aku tak akan melupakan wajahnya!" A Tung
menyahut dengan gembira pula melihat sahabatnya
tidak jadi marah.
Tiga hari yang lalu memang terjadi keributan di
kampung Lok Ma. Kampung sepi di pinggir hutan itu
tiba-tiba diterjang kawanan serigala liar. Untunglah
semua lelaki di kampung itu masih berada di rumah
masing-masing, sehingga beramai-ramai mereka bisa
mengusir kawanan serigala buas itu. Namun demikian
seekor serigala masih juga sempat menerkam anak
Lok Ma yang masih kecil. Untung datang seorang
anak muda asing yang kebetulan lewat di tepi hutan
itu. Dengan berani anak muda asing itu merebut anak
Lok Ma dari cengkeraman serigala buas tersebut.
"'Selamat bertemu lagi, Saudara Kecil. Wah,
sungguh gembira sekali bisa bertemu denganmu. Aku
benar-benar berterima kasih sekali kau telah
menyelamatkan anak6ku dari kematian. Oh... apakah 11
warung ini warung ayahmu?" Lok Ma dengan riang
menyalami pelayan muda itu.
"Oh-eh...." pelayan itu menjadi gugup dan tersipu-
sipu. "Saya... saya bukan pemilik warung ini. Saya...
cuma pelayan."
A Tung melangkah dengan cepat ke muka.
Tangannya mencengkeram lengan pelayan muda itu.
"Nah, engkau hendak berbohong lagi! Kemarin kau
mengaku sebagai anak gelandangan yang tak punya
sanak saudara dan tempat tinggal. Kini kau mengaku
sebagai pelayan warung ini. Eh, Saudara Kecil! Siapa
sebenarnya kau ini?" serunya penasaran.
"Benar." Lok Ma cepat menyambung perkataan
sahabatnya. "Siapa sesungguhnya Saudara ini? Kami
tak percaya pada ceritamu tentang anak gelandangan
itu."
Pelayan muda itu semakin menjadi gugup dan
bingung. Ia tak kuasa menjawab pertanyaan tamu-
tamunya itu. Untunglah suara panggilan majikannya
menolong dia dari kesulitannya.
"A Liong, kemari...!"
"Maaf, Tuan... majikanku memanggil." ucapnya
terburu-buru, lalu bergegas meninggalkan tamunya.
"Wah!" Lok Ma dan A Tung menggerutu kecewa.
"Sebenarnya aku ingin tahu, siapa dia itu
sesungguhnya! Aku yakin dia telah menyembunyikan
keadaannya." Lok Ma terus saja bersungut-sungut. 12
"Ya, aku juga. Melihat penampilannya, tak
mungkin dia seorang gelandangan. Dia lebih pantas
menjadi anak
bangsawan atau
anak orang
kaya. Badannya
kokoh kekar.
Wajahnya
tampan.
Pakaiannya
bersih dan
rapi...."
"Benar.
Bahkan kami
berani bertaruh,
dia akan
menjadi rebutan
gadis-gadis di
kemudian hari."
Lok Ma semakin
bersemangat.
A Tung mendadak tertawa. Timbul kembali
sifatnya yang riang dan suka menggoda. "Gadis-gadis
gelandangan, maksudmu...?" oloknya jenaka.
"Nah, kau sudah mulai lagi...!" geram Lok Ma
bagai diingatkan kembali akan kemarahannya tadi.
Namun tiba-tiba mereka terdiam. Dua orang
penunggang kuda berhenti di depan warung itu. Dan 13
A Liong yang baru saja dipanggil majikannya tadi
tampak berlari keluar menyongsong mereka.
"Silahkan masuk, Tuan! Masih banyak tempat
kosong di dalam..." anak muda itu mempersilakan
tamunya sambil menerima tali kekang kuda dari
mereka.
Tamu-tamu baru itu lalu melangkah ke dalam
warung. Mereka adalah pria-pria yang gagah, apalagi
dengan pedang panjang di pinggang mereka. Usia
mereka pun belum begitu tua. Kira-kira sekitar empat
puluhan tahun. Cuma yang satu agak kelihatan lebih
matang daripada yang lain dengan gumpalan uban di
atas telinganya. Dan secara kebetulan mereka duduk
di dekat meja Lok Ma dan A Tung tadi.
"Jiwi ingin memesan apa?" A Liong yang sudah
selesai menambatkan kuda-kudanya itu cepat
menanyakan keinginan tamu-tamunya.
"Arak putih dan makanan kecil! Tolong pilihkan
arak yang paling wangi!"
Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu
berkata.
A Liong yang cekatan itu segera berlari ke
belakang.
"Ssstt, A Tung...! Aku seperti pernah melihat wajah
orang yang lebih tua itu di Lok Yang. Tapi aku lupa
lagi...." Lok Ma berbisik kepada kawannya.
"Huh, lagakmu! Kapan kau pergi ke kota raja yang
jauh itu? Kau bermimpi barangkali?"
14
"Wah, kau ini selalu mengolok-olok aku saja.
Bukankah aku pernah menjadi tukang gerobag di
Kim-liong Piau-kiok (Perusahaan Ekspedisi Naga
Emas)?" Lok Ma merengut kesal.
"Oooh, benar! Benar! He-he-he, maaf ... aku ingat
sekarang. Kau mendapat upah yang besar sekali kala
itu, sehingga kau bisa mengawini binimu yang
sekarang ini, he-he-he-he!"
Lok Ma tak menanggapi olokan sahabatnya.
Dengan serius ia melanjutnya bisikannya tadi, "Tapi...
tapi rasanya orang itu dahulu mengenakan pakaian
seragam perwira. Aku ingat benar hal itu, karena
barang-barang yang dimuat di dalam gerobagku itu
dikirim ke rumah seorang jenderal. Nah, yang
menerima barang hantaran tersebut... wajahnya persis
orang ini."
"Sudahlah, lebih baik kita duduk kembali
menikmati minuman. Kita tak usah mengurusi
mereka. Mungkin orang itu memang perwira yang
pernah kaulihat itu. Tapi mungkin juga dia adalah
orang lain yang wajahnya mirip perwira itu.
Lok Ma seperti tersadar dari kesalahannya. "Kau
benar..." katanya perlahan seraya kembali ke mejanya.
"Kita memang tak perlu..."
Tiba-tiba keduanya terdiam kembali. Tiga orang
lelaki menyandang golok melintas di depan warung
itu. Melihat dua ekor kuda yang tertambat di samping
warung, salah seorang di antara mereka mendadak
terbatuk-batuk. Dan seperti terbawa oleh ulah mereka 15
itu, tiba-tiba penunggang kuda yang ada di dalam
warung juga ikut terbatuk-batuk pula.
"Sssst! Aku juga pernah melihat tiga orang itu.
Mereka juga teman dari perwira itu..." Lok Ma
berbisik lagi.
"Ah, kau ini! Bukankah kau sudah setuju untuk
berdiam diri saja?" A Tung berdesah kesal, kemudian
bangkit untuk memesan makanan dan minuman lagi.
Lok Ma menarik napas panjang. Matanya tetap
tertuju ke luar warung meskipun tiga orang bergolok
itu sudah hilang dari pandangannya. Mereka telah
berbaur dengan penonton-penonton yang lain. Dari
luar justru dilihatnya A Liong pelayan muda itu,
berlari masuk sambil membawa sesuatu di tangannya.
Anak itu langsung menghampiri meja tamu-tamu
baru tadi.
"Maaf, jiwi... seseorang telah menitipkan selembar
saputangan ketika aku membeli minyak tadi. Aku
diminta untuk menyampaikannya kepada Ji-wi
berdua." katanya terengah-engah sambil menyerahkan
saputangan putih kepada tamunya.
Lelaki yang memiliki uban kedua pelipisnya itu
cepat menerima saputangan tersebut.
"Terima kasih, Nak. Siapa namamu?"
"A Liong, Tuan..."
"A Liong saja? Apa nama keluargamu?"
Anak muda itu tertunduk. "Saya tak tahu nama
keluargaku, Tuan. Saya... anak gelandangan yang tak
tahu siapa orang tua saya." jawabnya kemudian seraya 16
menengadahkan kepalanya kembali. Suaranya
nyaring, dan sama sekali tidak bernada sedih atau
malu.
Dua orang penunggang kuda itu tertegun, terutama
yang memiliki uban di atas telinga. "Hei! Berapa
umurmu sekarang...?" tanyanya lagi dengan wajah
heran.
"Maaf, Tuan. Saya... saya juga tidak tahu umur
saya. Banyak orang menduga, umur saya sekitar 14
sampai 17 tahunan. Entahlah, mungkin memang
sekian itu."
"Eh...?!?"
Dua penunggang kuda itu saling memandang
dengan heran, namun juga semakin tertarik kepada
pelayan warung itu. Begitu tertariknya mereka pada
penuturan A Liong sehingga untuk sesaat mereka
telah melupakan saputangan mereka tadi.
"Maaf, saya hendak melayani tamu-tamu yang
lain..." tiba-tiba A Liong minta diri.
Lelaki beruban itu menghela napas, sementara
kawannya dengan cepat menyisipkan sekeping uang
tembaga ke tangan A Liong. Anak muda itu segera
berlalu setelah mengucapkan terima kasih.
Beberapa saat lamanya kedua tamu itu memandang
kepergian A Liong.
"Lim Su-heng, sudahlah. Mari kita lihat, apa pesan
di dalam saputangan itu. Jangan-jangan ada sesuatu
yang penting yang hendak disampaikan kepada kita." 17
teman lelaki beruban itu mengingatkan kawan
seperjalanannya.
Lelaki beruban yang dipanggil dengan nama Lim
Su-heng itu tersentak dari lamunannya. Bergegas ia
menyambar arak yang telah tersedia di depannya dan
menenggaknya habis. Beberapa tetes arak mengalir
membasahi kumis dan jenggotnya, sehingga ia
terpaksa mengusapnya dengan saputangan pemberian
A Liong tadi.
Semua itu dilakukan oleh lelaki beruban itu dengan
wajar, padahal ketika saputangan itu kemudian digelar
di atas meja, keadaannya telah basah kuyup seperti
baru saja dicelup ke dalam air. Namun demikian tiba-
tiba saja saputangan yang semula kosong bersih itu
kini telah penuh dengan tulisan huruf.
"Apa yang ditulis di situ, Suheng?" Lelaki beruban
itu menggulung saputangannya kembali. "Tong Tai-su
mengingatkan kita agar lebih berhati-hati lagi. Ada
pihak luar yang hendak mengacaukan tugas kita.
Mereka terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi."
"Siapa mereka...?"
"Tong Tai-su belum mengetahuinya. Dia juga
sedang mengadakan penyelidikan. Tapi dikatakannya
bahwa para pengacau itu telah muncul di dua kota
sekaligus, yaitu kota Cin-kiang dan Wuh-si di
Propinsi Kiang-su."
"Hei... kota itu saling berjauhan satu sama lain.
Kalau begitu mereka memiliki kekuatan yang besar." 18
Lelaki beruban itu tidak menjawab. Matanya
memandang ke luar warung, di mana banyak orang
berduyun-duyun memasuki halaman kabupaten.
"Perlombaan Mengangkat Arca itu belum juga
dimulai..." katanya tiba-tiba mengalihkan
pembicaraan.
Kawan seperjalanannya ikut melemparkan
pandangannya ke luar, ke jalanan. Dan pada saat yang
bersamaan A Liong datang mendekati mereka.
Pelayan muda itu bertanya kalau-kalau tamunya ingin
menambah pesanan lagi.
"Ya, tambahlah araknya sebotol lagi! Eh... A
Liong! Mengapa kau tidak ikut "Perlombaan
Mengangkat Arca" itu? Bukankah usiamu memenuhi
syarat?" lelaki beruban itu berkata.
A Liong tertawa perlahan. "Percuma, Tuan. Tak
mungkin bisa menang. Rata-rata semuanya
mempunyai kepandaian silat yang baik. Aku sama
sekali tak bisa apa-apa. Memegang senjata pun tak
pernah."
"Hei! Itu perlombaan, bukan perkelahian! Kau
tidak akan disuruh berkelahi dengan siapa-siapa. Kau
hanya diminta untuk mengangkat sebuah arca."
A Liong sedikit tersipu-sipu. "Ya, tapi... orang yang
pandai silat tentu lebih kuat, Tuan." katanya membela
diri.
"Nah, di sinilah kekeliruannya. Semua orang rata-
rata berpikir seperti itu, padahal hakekat dan tujuan
daripada perlombaan ini sesungguhnya tidak 19
demikian. Perlombaan ini dimaksudkan untuk
mencari bibit-bibit unggul dari kalangan remaja,
untuk nantinya akan dididik sebagai anggota pasukan
pengawal istana. Jadi penilaiannya bukan dititik-
beratkan pada kekuatan pesertanya, tapi pada bakat
dan cocok tidaknya peserta itu untuk dijadikan
sebagai pengawal istana. Itulah sebabnya Sang Ratu
mengirimkan petugas-petugasnya ke tempat-tempat
perlombaan di seluruh negeri." lelaki beruban itu
memberi keterangan dengan suara berapi-api.
Tentu saja keterangan itu sangat menarik perhatian
A Liong. Pada zaman itu siapa yang tak "ngiler"
menjadi perajurit pengawal istana? Seragamnya yang
megah dan indah itu selalu dikagumi oleh setiap
orang.
"Nah! Apakah kau tidak berminat untuk
mengikutinya, A Liong?" kawan dari lelaki beruban
itu tiba-tiba bertanya.
"Kalau begitu... saya juga berminat, Tuan. Tapi..."
A Liong berguman ragu sambil menatap ke arah
majikannya berada.
Lelaki beruban itu dapat menangkap kesulitan yang
dihadapi anak muda itu. Oleh karena itu dengan
tenang ia berkata, "Jangan takut! Pergilah
mendaftarkan diri ke panggung itu! Biarlah aku yang
memintakan ijin kepada majikanmu."
"Ba-baiklah, Tuan. Terima kasih. Saya akan ke
sana." 20
"A Liong...!" majikan A Liong tiba-tiba
memanggil.
Anak muda itu mengangkat wajahnya, tapi dengan
cepat lelaki beruban itu mendorongnya keluar,
sehingga ia tak kuasa lagi membantahnya. A Liong
berlari keluar. Di depan pintu hampir saja ia
bertabrakan dengan tiga orang tamu yang baru saja
datang.
"Maaf...." katanya meminta maaf sambil terus
berlari meninggalkan warung itu.
"Hei, mau ke mana anak itu?" Lok Ma berseru
kaget.
"Hmm... mana aku tahu? Ya... paling-paling
menggelandang lagi. Bukankah ia sudah mengatakan
bahwa ia Anak Gelandangan?" A Tung menjawab
seenaknya.
"Ah, kau...!" Lok Ma bersungut-sungut.
Sementara itu majikan A Liong bergegas ke luar
dari belakang mejanya. Tetapi lelaki beruban itu
dengan cepat menghadangnya. Sambil menyisipkan
sekeping uang perak, lelaki beruban itu berkata
perlahan, "Biarkan anak itu pergi! Aku telah
menyuruhnya pergi mengikuti acara "Perlombaan
Mengangkat Arca". Untuk sementara kau bisa
mencari tenaga pembantu lain...."
Pemilik warung itu tertegun mengawasi tamunya.
Namun perlahan-lahan wajahnya tertunduk kembali.
Sorot mata lelaki beruban itu seolah-olah menikam 21
jantungnya dan melemaskan seluruh sendi-sendi
tulangnya.
"Eh-oh, tapi... tapi aku belum memberikan uang
gajinya." akhirnya dia berkata lirih tanpa berani
memandang tamunya.
"Oh... itu mudah. Uang itu dapat kauberikan nanti
setelah perlombaan selesai. Anak itu tentu akan
kembali lagi ke sini."
"Ba-baik, Tuan. Kalau begitu... kalau begitu... akan
saya berikan nanti. Sekarang... maafkanlah saya, saya
hendak menyambut tamuku itu dahulu." Pemilik
Warung itu membungkukkan tubuhnya, kemudian
bergegas menyongsong tiga orang tamu yang hampir
bertabrakan dengan A Liong tadi.
Lelaki beruban itu duduk kembali di kursinya.
Matanya melirik ke arah tamu-tamu yang baru datang.
Seorang pemuda dan dua orang gadis. Wajah-wajah
mereka sungguh menarik, terutama kedua gadis itu.
Mereka benar-benar amat cantik. Si Pemuda berusia
sekitar dua puluh tahun, bertubuh jangkung,
mengenakan baju dan celana berwarna kelabu. Gadis
yang pertama berusia kira-kira sembilan belas tahun,
berperawakan tinggi langsing, mengenakan baju
berwarna kuning-kuning. Gadis yang ke dua kelihatan
lebih muda lagi. Kemungkinan baru berumur enam
belas atau tujuh belas tahun. Dan sesuai dengan
sikapnya yang lincah dan ceria, ia mengenakan baju
berwarna merah muda. Ketiga-tiganya tidak kelihatan
membawa senjata. Namun demikian ditilik dari sikap 22
dan cara mereka berpakaian dapat diduga bahwa
mereka bertiga juga terdiri dari orang-orang rimba
persilatan pula.
Dugaan tersebut memang tidak salah. Begitu
mendapatkan tempat duduk pemuda itu segera
mengambil sikap waspada. Berkali-kali matanya yang
sedikit cekung itu melirik ke sekelilingnya. Bahkan
pada waktu menyantap makanan dan minumanpun ia
selalu mengamati keadaan di sekitarnya. Dan entah
mengapa, setiap kali pula pandangannya selalu
berhenti pada lelaki beruban itu.
"Su-moi berhati-hatilah...! Tampaknya di tempat ini
banyak orang yang pantas dicurigai." akhirnya
pemuda itu berbisik perlahan kepada dua orang teman
gadisnya.
"Ya, kami tahu...." kedua gadis itu menjawab
perlahan pula.
"Sungguh mengherankan. Rasa-rasanya kota ini
seperti dengan tiba-tiba dipenuhi oleh orang-orang
dari rimba persilatan. Di mana-mana kita hampir
selalu bertemu dengan mereka." pemuda itu berdesah
lagi.
Kedua gadis itu menatap wajah su-hengnya, namun
mereka tidak berkata apa-apa. Mereka lalu kembali
menyantap makanannya. Baru beberapa saat
kemudian gadis yang berbaju merah muda itu
menggamit lengan su-hengnya.
"Toa-suheng...? Aku... aku ingin bertanya
kepadamu, tapi...?" 23
Pemuda yang dipanggil toa-suheng itu memandang
adik seperguruannya. "Tapi apa...?" serunya perlahan.
"Tapi Toa-suheng jangan marah kepadaku! Mau?"
Gadis itu cemberut sambil melirik manja.
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah adik
seperguruannya yang masih kekanak-kanakan itu.
Kepalanya mengangguk.
"Cici...? Kau juga jangan marah, ya?" gadis itu
merasa lega, tapi masih juga bertanya kepada gadis
yang mengenakan baju kuning.
Tapi gadis berbaju kuning yang ternyata juga kakak
kandungnya sendiri itu cepat mencibirkan bibirnya.
"Huh... tak ada gunanya marah kepadamu. Salah-salah
justru hati sendiri yang menjadi kesal. Kapan kau
pernah mendengarkan kemarahan orang? Sedangkan
suhu sendiri saja kewalahan menghadapimu, apalagi
cuma kami berdua. Ayoh, lekas kaukatakan apa yang
hendak kautanyakan!"
Gadis centil itu tertawa kecil sambil meremas
lengan kakaknya.
"Ah, aku cuma ingin bertanya kepada kalian,
apakah kalian berdua... percaya pada ramalan Lo-jin-
ong?"
Seketika wajah dua saudara seperguruan itu
menjadi pucat. Dengan bibir sedikit gemetar gadis
berbaju kuning itu membentak lirih, "Siau In! Bicara
apa kau ini? Tutup mulutmu!"
Namun Si Pemuda cepat meraih pundak gadis
berbaju kuning. "Ciu In Sumoi, jangan kaubentak dia! 24
Bukankah kita telah berjanji untuk tidak
memarahinya?"
"Tapi pertanyaan itu sangat lancang, Sin Lun
Suheng! Lo-jin-ong adalah sesepuh (tetua) yang
sangat dihormati di dalam aliran agama kita." gadis
yang berbaju kuning, yang ternyata Ciu In itu,
bersungut-sungut marah.
"Bukankah aku tadi sudah bilang, bahwa... bahwa
kalian tidak boleh marah?" Gadis berbaju merah yang
bernama Siau In itu merajuk.
"Ya... ya, Cicimu memang tidak marah. Dia hanya
kaget saja mendengar pertanyaan tadi." Sin Lun
menengahi.
Mereka bertiga lalu berdiam diri. Masing-masing
kembali menyantap makanannya. Namun demikian
Siau In masih tampak penasaran karena
pertanyaannya tadi belum dijawab. Berkali-kali ia
melirik ke arah cicinya dan suhengnya, sehingga dua
orang itu menjadi risih melihatnya.
"Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu tadi."
akhirnya Sin Lun berkata.
"Nah... begitu!" Siau In hampir bersorak. Dan tak
lupa jari-jarinya yang lentik itu mencubit pinggang
kakaknya, sehingga Ciu In menjerit kecil seraya
menampar tangannya. "Gila, kau...!"
Sin Lun memandang kedua adik seperguruannya itu
dengan senyum lebar. Tak terasa hatinya
memperbandingkan keduanya. Mereka sama-sama
cantik dan pintar. Kepandaian silat mereka pun juga 25
tidak berselisih banyak pula. Hanya sifat dan
pembawaan diri mereka sajalah yang berbeda. Ciu In
berperasaan halus dan pendiam. Tutur katanya selalu
lembut dan berhati-hati. Tapi sebaliknya, Siau In
berwatak polos dan terbuka. Kalau berbicara ceplas-
ceplos seenaknya sendiri. Suka bergurau dan
menggoda orang, terutama terhadap orang-orang yang
telah dekat dengan dirinya. Namun demikian mereka
berdua sangat rukun dan saling mengasihi satu sama
lain.
"Lho! Kenapa terus diam lagi? Bagaimana
pendapat Toa-suheng? Apakah Toa-suheng percaya
seratus persen ramalan beliau itu?"
"Sssst, jangan keras-keras! Nanti didengar orang!"
Sin Lun pura-pura marah untuk menutupi rasa
kagetnya.
"Habis Toa-suheng melamun saja. Masakan sudah
duduk berendeng sambil berpegangan tangan dengan
Cici begitu masih juga melamun terus? Apakah Toa-
suheng ingin lekas-lekas kawin dengan Cici
barangkali?" Siau In malah menggoda sambil
meleletkan lidahnya.
Wajah Ciu In seketika menjadi merah padam.
"Siapa yang saling berpegangan tangan, heh? Ngaco!"
desahnya serak. Kebetulan lengannya memang
berjejer dan saling bersentuhan dengan lengan Sin
Lun, sehingga otomatis lengan itu ditariknya dengan
cepat. 26
"Wah-wah, kalian berdua ini kalau berkumpul
selalu bertengkar saja...!" Sin Lun yang menjadi
merah pula mukanya itu bersungut-sungut.
"Hi-hi-hi, baiklah... baiklah, aku mengaku salah.
Aku memang suka berkelekar maafkan aku, ya...
Cici? Mau... ya? Jangan marah, dong...!" Melihat
wajah kakaknya menjadi merah padam seperti itu
Siau In menjadi takut juga. Dengan cepat
tangannya merangkul pinggang Ciu In dan
menggelendot manja.
Gadis berwajah lembut itu tak jadi marah. Sambil
melepaskan rangkulan tangan adiknya ia melengos.
"Huh!" dengusnya pendek.
Tapi Siau In sudah bisa membaca watak kakaknya.
Ciu In tidak jadi marah kepadanya. Oleh karena itu
secepat kilat ia mencium pipi kakaknya.
"Terima kasih, Ciciku yang baik." katanya renyah.
Mereka memang saling bergurau dan bercanda.
Namun karena hal itu mereka lakukan dengan wajar
dan tidak menyolok mata, maka para tamu lainpun
juga tidak ada yang memperhatikan mereka. Kalaupun
orang banyak yang melirik ke arah mereka, hal itu
disebabkan karena kecantikan Ciu In dan Siau In.
"Siau-sumoi, aku... aku sebenarnya juga sangsi
akan kebenaran ramalan Lo-jin-ong kali ini. Aku tak
yakin kalau orang dari luar Im-yang-kau, yang belum
keruan darmabaktinya, kesetiaan, dan pengabdiannya,
justru diramalkan akan menjadi tokoh pemersatu dari
agama kita. Apalagi beliau meramalkan orang itu 27
akan membawa Aliran Im-yang-kau pada
kejayaannya." setelah berdiam diri beberapa saat
lamanya Sin Lun lalu mengutarakan pendapatnya.
"Nah! Cocok! Sama dengan pendapatku!" Siau In
berseru lirih. Wajahnya tampak puas dan lega. 'Aku
juga tidak percaya pada ramalan itu. Bagaimana
mungkin orang yang belum pernah dikenal dan bukan
orang dari kalangan kita sendiri, malah akan
membawa kejayaan pada aliran Im-yang-kau?
Bukankah itu hanya mengada-ada? Siapa tahu Lo-jin-
ong hanya menguji... eh, menguji kesetiaan kita? Huh,
mungkin orang yang disebutkan dalam ramalannya itu
sebenarnya tidak ada."
"Siau In...!" Ciu In membentak lirih.
"Ah, Cici...!" Siau In bersungut-sungut, "Masakan
Cici tidak bisa merasakan keganjilannya? Ganjil dan
mustahil! Bagaimana mungkin kita dapat mencari
orang yang belum pernah kita kenal dan kita lihat di
daratan Tiongkok yang maha luas ini?
Mungkinkah...?"
"Hush! Bukankah Lo-jin-ong telah memberi
petunjuk bahwa orang yang beliau maksudkan itu
mempunyai "tatto" gambar naga di tubuhnya?"
Siau In memonyongkan mulutnya. "Ah, Cici!
Alangkah banyaknya laki-laki yang suka menggoresi
tubuhnya dengan gambar naga di dunia ini. Kalau
mau, Toa-suheng pun bisa melakukannya sekarang
juga!" ucapnya sengit. 28
"Ah, kau! Tentu saja bukan begitu yang
dimaksudkan Lo-jin-ong." Ciu In mencubit gemas
pinggang adiknya. "Kau ini seperti bukan anggota
aliran Im-yang-kau saja, yang belum pernah mengenal
siapa Lo-jin-ong itu? Sedangkan orang lain saja
mengagumi kesaktian dan kemampuannya dalam ilmu
meramal, mengapa justru engkau sendiri tidak?"
"Tapi...?"
"Siau In! Lo-jin-ong memberikan ciri-ciri orang
yang ia ramalkan itu hanya untuk memudahkan kita
semua mencarinya. Jadi tidak berarti orang yang
mempunyai tatto naga itu mesti orang yang kita
maksudkan. Waktulah yang nanti akan menunjukkan,
siapa di antara orang orang bertatto naga itu yang
benar-benar orang yang dimaksudkan oleh ramalan
Lo-jin-ong itu. Apalagi Lo-jin-ong juga sudah
memberi batasan daerah mana yang kira-kira akan
menjadi tempat munculnya "manusia pilihan" itu,
yaitu di sepanjang muara Sungai Yang-tse ini. Nah,
bukankah kita tidak perlu mencarinya ke seluruh
Tiong-kok?"
Siau In menghela napas panjang. Hatinya yang
kesal agak lebih surut mendengar ucapan kakaknya.
"Tapi bagaimana caranya mencari orang itu?
Apakah setiap berjumpa dengan orang yang kita
curigai, kita lalu harus membelejeti pakaiannya agar
bisa kita periksa gambar naganya?"
Ciu In cepat mendorong pundak Siau In dengan
gemas. "Ih, pikiranmu selalu yang kotor-kotor saja! 29
Sudahlah! Ayoh, Suheng! Kita menonton pertunjukan
di daam. Tak ada gunanya berbicara dengan Siau In.
Lama-lama bisa dongkol kita dibuatnya. Mendingan
menonton Perlombaan Mengangkat Arca, siapa tahu
kita bisa... kita bisa...."
"Siapa tahu Cici bisa membelejeti pakaian orang di
sana nanti!"
"Kurang ajar! Mulutmu memang...."
Cui In mengangkat tangannya hendak memukul
adiknya yang bermulut tajam itu, namun dengan cepat
Sin Lun mencegahnya. Pemuda itu segera memanggil
pelayan dan membayar makanan mereka, kemudian
menarik lengan adik-adiknya ke luar. Sian In cepat
berlari mendahului mereka, takut akan cubitan
kakaknya.
Sementara itu lelaki beruban tadi juga beranjak dari
tempat duduknya. Sambil meletakkan uang perak di
atas meja, ia memberi tanda kepada pemilik warung,
lalu keluar bersama temannya.
"Kutitipkan kudaku di sini. Nanti aku akan
kembali..." pesannya kepada pemilik warung.
Tampaknya pertunjukkan yang diadakan di
halaman kabupaten itu memang telah mulai memanas.
Terutama di bagian tengah dan barat halaman, di
mana panggung untuk permainan barong-sai dan dan
panggung lui-tai didirikan. Tepuk tangan, sorak-sorai
dan jeritan penonton, seakan-akan saling bersaing
untuk memanaskan panggung masing-masing. 30
Di atas panggung pertunjukan barongsai ternyata
sudah mulai menginjak acara pertandingan. Dari
delapan grup barong-sai yang ikut, dua di antaranya di
nyatakan kurang memenuhi syarat dalam
pertandingan babak pertama, sehingga kini tinggal
enam grup lagi yang tersisa. Dan keenam grup
tersebut akan segera akan diadu pada babak kedua.
Di lain pihak di atas panggung lui-tai telah
diselesaikan pula pertandingan "memainkan jurus
indah". Bahkan para pemenangnya telah diminta
untuk tampil di atas panggung untuk menerima hadiah
dan piala. Mereka masih muda-muda. Dengan piala
dan hadiah di tangan mereka menyambut sorak-sorai
penonton.
Pemegang pertama, seorang pemuda yang bertubuh
pendek gempal, bahkan menyambut satupersatu
uluran tangan para penonton di bawah panggung.
Banyak yang merasa kagum kepadanya. Badannya
yang pendek dengan otot yang bergumpal-gumpal
seperti sapi aduan itu ternyata tidak menghalangi
keluwesannya dalam memainkan jurus-jurusnya yang
indah.
Tapi ketika tangannya menyambut uluran tangan
seorang penonton yang berdiri lengket di pojok
panggung, tiba-tiba tubuhnya terseret ke depan,
kemudian terlempar tinggi ke udara! Demikian kuat
dan kerasnya tenaga penonton yang melemparkannya
itu sehingga hadiah dan pialanya terlepas dari kepitan
lengannya! 31
Semua orang seperti terpaku diam di tempat
masing-masing. Apalagi ketika orang yang
melemparkan Si Juara tadi tiba-tiba melesat ke atas
pula dengan tangkasnya. Bagaikan burung elang
tangannya menyambar pinggang Si Juara, sekalian
dengan piala dan hadiahnya. Selanjutnya dengan
gerakan yang indah dan ringan kakinya mendarat di
atas panggung. Sama sekali tak menimbulkan suara
atau goncangan pada lantai panggung yang terbuat
dari kayu itu.
Meledaklah suara tepuk tangan, membahana
bagaikan mau meruntuhkan bangunan gedung
kabupaten yang
besar dan megah.
Dan
selanjutnya
dengan senyum
di kulum orang
itu membungkuk
ke arah Si Juara
yang telah dia
letakkan kembali
di atas panggung.
Dengan senyum
menggoda orang
itu menyerahkan
kembali piala
dan hadiahnya.
Wajahnya yang 32
tampan dan masih muda itu sama sekali tidak
mencerminkan perasaan bersalah terhadap lawannya.
"Bangsat kurang ajar...!" dengan wajah merah
padam Si Juara itu mengumpat.
Tanpa mempedulikan lagi piala dan hadiah yang
dipegang lawannya Si Pemuda gempal itu menyerang.
Kaki kirinya terayun ke depan dalam jurus Mengayun
Tangkai Pancing di Atas Ombak dan yang dituju
adalah kepala. Tenaganya amat kuat hingga
menimbulkan suara angin menderu-deru.
"Whuuuuuuuush! Whuuuuuuuuush!"
Akan tetapi dengan gesit lawannya yang memiliki
bentuk tubuh tangan bertolak belakang dengan dirinya
itu menghindarkan diri. Tubuh yang panjang kurus itu
ditekuk ke belakang, dalam jurus Tiat pan-kio atau
Jembatan Besi, sehingga tendangan ujung sepatu itu
menemui tempat kosong. Selanjutnya dengan gerakan
yang semakin mempesonakan pemuda sakti itu
berjumpalitan ke belakang dua kali dalam jurus
Trenggiling Turun Gunung. Pada gerakan yang
terakhir kedua kakinya mendarat persis di bibir
panggung, namun demikian tubuhnya yang jangkung
itu sama sekali tak bergoyang, apalagi terpeleset jatuh.
Padahal hanya ujung sepatunya saja yang melekat di
atas panggung.
Sekali lagi penonton bertepuk tangan dan bersorak-
sorai! Bahkan kali ini disertai seruan-seruan kagum!
"Bagus! Lincah benar anak itu!" 33
"Ya, hebat sekali gerakannya! Tapi sayang sekali,
mengapa ia tak ikut dalam perlombaan ini?"
"Gila...! Kakinya bertengger di ujung kayu seperti
burung saja!"
Dan penonton di panggung lui-tai itu pun menjadi
semakin bergairah pula. Mereka menduga kedua jago
di atas panggung itu tentu akan segera berlaga.
Beberapa orang penonton berteriak-teriak memanasi
Si Juara yang berbadan gempal, agar segera
menghajar Si Pemuda kurus.
Tapi penonton segera menjadi kecewa ketika
belasan prajurit pengawal berloncatan ke atas
panggung dan mengepung pemuda kurus itu. Dengan
garang salah seorang prajurit maju ke depan.
Tombaknya merunduk, siap untuk menembus dada Si
Pemuda kurus.
"Kembalikan piala dan hadiah itu!" hardiknya
keras.
"Biarkan dia menghadapi aku! Akan kucincang
tubuhnya dengan kepalanku ini!" tiba-tiba pemuda
gempal itu menyibakkan kepungan dan berteriak
marah.
"Tahan...!" prajurit yang garang tadi membentak.
"Kalian tidak boleh berkelahi! Belum tiba saatnya
"Pertandingan Bebas" diadakan! Tunggulah sebentar
lagi! Sekarang kalian berdua kembali ke tempat
masing-masing! Dan... kau, Anak muda! Kembalikan
piala itu kepada yang berhak, atau... kau akan kami
tangkap sebagai pengacau!" 34
Pemuda kurus itu menggeram. Matanya berubah
menjadi liar. Tampaknya ia tersinggung diperlakukan
demikian. Namun ketika kakinya hendak melangkah
ke depan, tiba-tiba ia berpaling ke belakang, ke arah
penonton yang ada di bawah panggung, seperti ada
orang yang memanggilnya.
Aneh. Mata yang liar itu tiba-tiba meredup kembali.
Bahkan sekejap kemudian dengan langkah gontai
pemuda itu mengangsurkan hadiah dan piala yang
dipegangnya ke depan, ke arah prajurit yang
membentaknya tadi. Setelah itu dengan tenang dan tak
berkata sepatah kata pun ia melompat turun,
kemudian menyelinap pergi di antara penonton.
"Tahan dia! Jangan boleh pergi dahulu!" seorang
penonton yang berdiri tidak jauh dari panggung itu
berbisik kepada temannya.
"Baik, Su-heng!"
"Berhati-hatilah...!" Pemuda itu tampaknya
menyimpan ilmu yang sulit diduga." orang itu yang
tidak lain adalah lelaki beruban di warung tadi
memperingatkan pula.
Sementara itu dari tempat yang agak jauh Sin Lun
dan kedua sumoinya juga menyaksikan keributan
tersebut.
"Bukan main! Berani benar pemuda itu
memamerkan kepandaiannya di tempat seperti ini.
Apakah ia tidak memikirkan jago-jago silat yang tentu
bertebaran di sekeliling panggung?" Sin Lun berdesah
dengan nada sedikit geram. 35
"Tapi ginkangnya memang hebat, Su-heng. Kita
bertiga mungkin belum bisa menandinginya...." Ciu In
menyahut perlahan.
"Huh, siapa bilang...? Aku berani diadu melawan
dia! Belum tentu ia mampu menghadapi ginkang
aliran...." Siau In menyela dengan suara penasaran.
"Siau In!" Ciu In buru-buru memotong perkataan
adiknya. "Jangan takabur! Ingat pesan Suhu...."
Wajah yang cantik dan bersemangat itu tiba-tiba
berubah menjadi cemberut. "Ya-ya, deh... aku salah!"
sungutnya kesal.
Demikianlah, keributan kecil itu akhirnya mereda
juga. Di atas panggung telah dipersiapkan acara
selanjutnya, yaitu "Perlombaan Mengangkat Arca".
Sebuah acara baru yang diadakan oleh kerajaan, dan
diselenggarakan serentak di seluruh negeri.
Acara itu telah dipersiapkan berbulan-bulan
sebelumnya, dengan melibatkan banyak petugas dan
utusan dari kota raja. Mereka adalah petugas-petugas
khusus yang disebar ke setiap kabupaten dengan
tanggung jawab yang amat rahasia, yang tak seorang
pun boleh mengetahuinya. Bahkan para pejabat
daerah yang mereka datangi seperti para Bupati pun
tidak diperbolehkan mengorek rahasia dari mereka.
Dan para utusan khusus itu rata-rata adalah anggota
dari Pasukan Pengawal Istana, Pasukan Sandi, atau
Pasukan Khusus yang amat terkenal di kota raja.
Meskipun persiapan untuk melaksanakan
"Perlombaan Mengangkat Arca" itu terasa aneh dan 36
menimbulkan banyak pertanyaan di hati para pejabat
daerah, namun persiapan tersebut berjalan terus.
Pendaftaran peserta telah dimulai jauh-jauh
sebelumnya. Dengan alasan mencari bibit unggul
untuk Pasukan Pengawal Istana, maka peserta yang
mendaftarpun menjadi meluap. Dan semuanya hampir
ditangani sendiri oleh utusan-utusan khusus itu.
Mereka yang menyeleksi dan memutuskan, apakah
peserta itu memenuhi syarat atau tidak. Karena tempat
pendaftaran itu dipusatkan di rumah-rumah kediaman
Bupati, maka dapat di mengerti kalau dalam beberapa
bulan itu halaman rumah para Bupati menjadi sibuk
setiap harinya.
Akhirnya setelah melalui beberapa kali pendadaran
dan ujian, maka jumlah peserta yang mendaftar di
Kabupaten Hang-ciu tinggal dua puluh orang saja
yang memenuhi syarat. Dan sekarang pemuda-
pemuda itu telah bersiap-siap di atas panggung untuk
mengikuti "Perlombaan Mengangkat Arca"-
"Hei, namanya saja "Perlombaan Meng angkat
Arca", tapi mengapa banyak pesertanya yang
kerempeng-kerempeng begitu?" beberapa orang
penonton memberi komentar.
"He-he, benar juga, ya? Bisa patah tulang-
tulangnya nanti!"
Seorang remaja berotot kekar yang ikut berdesakan
di antara penonton juga menggeram menumpahkan
rasa kesalnya. "Aku juga heran. Mereka banyak yang
lebih kurus dari aku, tapi mereka bisa lolos dari 37
pendadaran, sedangkan aku tidak. Apa sebenarnya
yang mereka pilih?"
"Ah, mungkin tidak cuma otot saja yang mereka
pilih, tapi juga bakat dan otak encer. Kekuatan bisa
dipupuk dengan latihan, tapi bakat dan otak itu
merupakan pembawaan sejak lahir yang tak dapat
dipelajari." Lok Ma yang ternyata sudah ada di tempat
itu dan kebetulan berdiri berdekatan dengan remaja
tersebut memberi komentar, tanpa berpikir bahwa
ucapannya bisa menyinggung perasaan orang.
Benar juga. Pemuda berotot kekar itu melotot
matanya. Hampir saja terjadi keributan. Untunglah A
Tung yang selalu berada di samping Lok Ma cepat
menyeret sahabatnya itu ke tempat lain.
"Gila! Apakoh kau sudah ingin cerai dengan
binimu? Jaga mulutmu kalau berbicara! Jangan
sembarangan omong di antara orang-orang kasar
begini!"
"Ya-ya, maafkan aku. Aku tidak sengaja dan tidak
bermaksud menyinggung perasaannya."
Mereka lalu beringsut semakin menjauhi tempat
mereka tadi. A Tung khawatir bertemu dengan
pemuda kekar itu. Dan sementara itu "Perlombaan
Mengangkat Arca" telah dimulai. Di atas panggung,
di depan para peserta yang berbaris menunggu giliran,
diletakkan sebuah patung besar dari Kaisar Han Kou
Cou atau Kaisar Liu Pang. Patung itu dibuat dalam 38
ukuran sebenarnya, dari batu pualam putih setinggi
hampir dua meter.
Seluruh penonton di panggung lui-tai itu terdiam.
Tegang. Semuanya ingin tahu, bagaimana perlombaan
yang. belum pernah mereka lihat ini dilaksanakan.
Demikianlah, kalau penonton di panggung lui-tai
itu menjadi tegang, sebaliknya penonton di panggung
pertunjukan barongsai justru semakin menjadi riuh
oleh sorak-sorai mereka. Keenam grup barong-sai
yang lolos di babak pertama tadi telah mulai
dipertandingkan satu sama lain. Dan yang kini sedang
berlaga di atas panggung adalah pemain barong-sai
berseragam kuning emas dari Ui-thian cung
(Kampung Langit Kuning) melawan barong-sai
berseragam merah darah dari Ang-lian-pang
(Perkumpulan Teratai Merah).
"Hayo cepat! Terjang saja! Jangan takut...!"
"Benar! Hayo, lemparkan si Kuning itu ke bawah!
Jangan dibiarkan beraksi di atas panggung!"
"Ah, mana mungkin si Merah itu mampu!
Gerakannya saja lamban begitu!"
"Ya-ya, si Merah tampaknya lemah kuda-kudanya!
Oho, kalau begitu hantam saja kakinya! Gasak saja
lututnya! He-he-he-he...!"
"Ayo! Ayo! Ayoooooo...!" penonton pun berteriak
dan menjerit-jerit semakin keras.
Jeritan dan gosokan para penonton itu semakin
membakar semangat pemain pemainnya. Mereka
semakin menjadi beringas dalam memainkan barong 39
sainya. Dengan menggerakkan segala kemampuan
dan kecerdikan mereka, masing-masing berusaha
mendesak atau melemparkan lawannya ke bawah
panggung.
Pemain barong-sai selain dituntut untuk memiliki
tubuh yang kuat, juga harus mempunyai ilmu silat
yang tinggi. Sebab untuk menggerakkan peralatan
barong-sai yang berat itu para pemainnya harus
memiliki kekuatan dan tenaga dalam yang besar.
Apalagi untuk bisa bermain dengan lincah dan indah
dipandang mata, otomatis para pemainnya harus
pandai mengatur langkah serta punya ilmu
meringankan tubuh pula. Oleh karena itu bisa
dipastikan juga bahwa seorang pemain barong-sai
tersohor tentulah seorang jago silat ternama pula.
Kampung Ui-thian-cung terletak di tepian pantai,
dan merupakan sebuah perkampungan nelayan yang
lain daripada perkampungan nelayan lainnya. Seluruh
warganya bermarga Ui dan hampir seluruh
perumahannya berada di atas air. Hanya Kepala
Kampung dan keluarga-keluarga dekatnya saja yang
mendirikan rumah di atas tanah. Dan mereka itu
memang merupakan tulang punggung dari seluruh
keluarga Ui tersebut.
Mereka sangat disegani di daerah itu, karena
mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.
Terutama Kepala Kampung dan keluarganya. Mereka
mempunyai ilmu silat turunan yang sangat disegani 40
lawan, yaitu Hok-mo Tung-hoat atau Ilmu Tongkat
Pembunuh Iblis.
Kepala Kampung Ui-thian-cung sudah berusia
tujuh puluh tahun lewat, bernama Ui Tiam Lok.
Puteranya dua belas orang, lelaki semua. Dan yang
memainkan barong-sai berwarna kuning emas itu
adalah anaknya yang ke sebelas dan dua belas.
Mereka adalah Ui Kong Tee dan Ui Kiong Lam.
Demikianlah, kedua Saudara Ui itu bertarung
dengan lawan mereka dari balik barong-sainya.
Mereka mengerahkan segala kepandaian mereka,
karena secara kebetulan yang menjadi musuh mereka
adalah orang-orang dari Ang-lian-pang, yang tidak
asing lagi bagi mereka.
Perkumpulan Ang-lian-pang adalah perkumpulan
para pedagang, pemilik toko, dan para tengkulak yang
bermukim di daerah pesisir itu. Mereka itu
mempunyai banyak pengawal dan tukang pukul. Dan
mereka itu memang sering berselisih dengan para
nelayan, yang dalam segala hal selalu dilindungi oleh
keluarga Ui. Oleh karena itu pertarungan kali ini lebih
berarti sebagai pertarungan untuk membela
kehormatan dan harga diri daripada sebagai
pertarungan untuk memperebutkan piala kejuaraan.
Maka tidaklah mengherankan apabila penonton pun
terbagi menjadi dua bagian, yaitu pendukung keluarga
Ui dan pendukung keluarga Ang-lian-pang. Para
nelayan otomatis menjagoi barong-sai kuning,
sedangkan para pedagang menjagoi barong-sai merah. 41
Belasan jurus telah berlalu, akan tetapi mereka
berimbang. Keduanya saling desak mendesak.
Kadang-kadang Ui bersaudara itu melancarkan
serangan beruntun, susul menyusul, sehingga pemain
barongsai dari Ang-lian-pang itu terdesak sampai ke
pinggir panggung. Namun dengan kecerdikan dan
keuletan mereka, pemain dari Ang-lian-pang itu bisa
meloloskan diri. Bahkan mereka kemudian ganti
mencecar Ui bersaudara itu dengan jurus-jurus
mereka yang ganas.
"Koko...!? Tampaknya yang berada di dalam
barong-sai merah itu Siang-hai-coa (Si Sepasang Ular
Laut) sendiri!" Ui Kiong Lam yang memegangi
bagian belakang barong-sainya tiba-tiba berseru
kepada kakaknya yang berada di depan.
"Benar. Kelihatannya Hu Sing Kak kali ini benar-
benar ingin menjuarai perlombaan ini dengan
mengeluarkan tangan kanannya. Kau harus hati-hati!
Awaaas! Kita harus cepat-cepat menyudahi
pertarungan ini. Sesuai dengan gelarnya kedua ular
laut itu semakin lama akan menjadi semakin
berbahaya. Mari kita gunakan Barisan Ui-thian-tin...!"
Ui Kiong Tee menjawab dengan napas memburu.
"Baik, koko!"
Ui Kiong Tee memancing dengan sapuan kaki ke
perut lawan, sehingga pemain barongsai lawan
terpaksa meloncat mundur. Dan kesempatan yang
sesaat itu dipergunakan oleh Ui bersaudara untuk
berdiri tegak menyatukan langkah mereka. Lalu 42
sebelum lawan mereka menyadari apa yang terjadi,
keduanya sudah menyerang lagi dengan terjangan
empat langkah ke depan dalam bentuk barisan Baling-
baling Berganda! Empat kali mereka berdua saling
bergantian menerjang lawan, sehingga barong-sai
mereka berputar-putar ke depan seperti baling-baling!
Karena setiap serangan yang tertuju ke arah lawan
itu selalu datang dari atas, maka Siang-hai-coa yang
berada di dalam barong-sai merah tersebut menjadi
kewalahan mengelakkannya. Sekali dua kali dengan
kematangan perasaan mereka, mereka bisa
menghindarkan diri. Tetapi pada serangan yang ke
tiga mereka terpaksa harus menangkisnya. Dan
keadaan ini sangat merugikan mereka, karena dalam
keadaan terdesak seperti itu mereka akan mengalami
kesulitan apabila lawan menyusuli dengan serangan
yang lain. Dhieeees!!!
Benar juga! Ternyata serangan Ui bersaudara itu
memang masih satu langkah lagi. Maka untuk ke dua
kalinya Siang-hai-coa terpaksa menangkis lagi.
Namun karena kali ini tiada waktu untuk bersiap dan
mengumpulkan tenaga, maka kekuatan dan
gerakannya pun tidaklah sempurna. Akibatnya Siang-
hai-coa yang berada di depan, yang langsung
menerima gempuran kaki Ui Kiong Lam! jatuh
berlutut dengan kepala barong-sai terlepas dari
pegangannya! 43
Tapi pada saat yang bersamaan sebuah 1 pisau kecil
melesat dari tangan Siang hai-coa itu, dan tepat
menancap di betis Ui Kong Lam!
"Aduuuh...!"
Tujuh bayangan tiba-tiba melayang ke atas
panggung! Mereka adalah lima orang saudara Ui
Kiong Lam, lalu kepala prajurit pengawal, dan Hu
Sing Kak sendiri. Demikian berada di atas panggung
kedua belah pihak segera hendak bertempur. Namun
dengan sebat kepala pengawal itu menengahi mereka.
"Tahan...! Saudara-saudara tidak boleh berkelahi di
tempat ini! Biarlah panitia penyelenggara perlombaan
ini yang mengambil keputusan atas peristiwa ini...!"
"Mereka curang! Sudah diputuskan bahwa di dalam
perlombaan ini tidak diperbolehkan membawa
senjata. Kenapa Siang-hai-coa keparat itu melanggar
aturan? Kalau memang mereka menghendaki
demikian, baiklah... kami pun akan melayaninya!"
teriak putera sulung keluarga Ui sambil menghunus
tongkat bajanya.
"Minggir...! Minggir! Aku akan mengadili dan
memutuskan pemenangnya!" ketua pengawas
perlombaan dengan tergesa-gesa meloncat ke
panggung sambil berseru lantang.
"Nah, saudara-saudara harap menahan diri! Di sini
bukan tempat untuk berkelahi! Kalau saudara-saudara
ingin bertempur, kami persilakan nanti di panggung
lui-tai!" kepala pengawal itu menegaskan lagi. 44
Sementara itu suara sorak-sorai penonton sudah
tidak bisa dibendung lagi. Rata-rata mereka tidak puas
terhadap kecurangan Siang-hai-coa. Beberapa orang
penonton berteriak-teriak mengejek anggota Ang-lian-
pang itu. Bahkan ada satu dua orang yang mulai
melemparkan batu dan sepatunya ke panggung.
Yang paling tenang tampaknya adalah penonton di
panggung pertunjukan tari-tarian. Mereka seakan-
akan tidak peduli dengan keributan-keributan yang
terjadi di panggung lui-tai dan barongsai. Dengan
tenang dan santai mereka menikmati halus
gemulainya gerakan para penari yang berputar-putar
di atas panggung. Mereka semua seperti terpaku dan
terpesona oleh kecantikan dan kehalusan kulit para
penari yang terbungkus oleh aneka ragam warna
pakaian sutera itu.
Kota Hang-ciu memang gudangnya gadis-gadis
cantik di daerah pantai timur Tiongkok. Gadisnya
rata-rata berhidung mancung, mata lebih lebar, dan
tulang pipi yang tidak terlalu menonjol. Kulit mereka
pun tidak begitu pucat pula, sehingga tampak lebih
segar dan merangsang dipandang mata.
"Wah-wah... cantik-cantiknya! Masa... gadis sekian
banyaknya tiada satu pun yang jelek! Hmh! Hemh!"
Lok Ma yang tiba-tiba telah berada di antara penonton
panggung tersebut berdesah kagum.
"Lalu... kau mau apa?" temannya menyambung.
"Hmmm... tahu begini... tahu begini, aku dulu tidak
buru-buru kawin dengan biniku." 45
"Hah...? Lalu kau mau mencari pasangan di sini?
Begitu?"
"Iya! Siapa tahu rejeki nomplok?"
"Wah-wah! Kau ini memang tidak pernah berkaca
diri. Gadis mana yang mau bersanding dengan monyet
melarat seperti kau ini? Ho-ho-ho-ho-ho, Lok Ma...
Lok Ma! Binimu sendiri, kalau tidak karena sudah
terlanjur beranak, he-he-he-he... berani bertaruh tentu
sudah minta cerai!"
"Kurang ajar! Enak saja kau mengolok-olok aku!"
Lok Ma menggeram dan menyumpah-nyumpah.
Plok-plok-plok! Plok-plok-plok!
Terdengar riuh suara tepuk tangan penonton di
panggung lui-tai. Peserta nomer sepuluh telah berhasil
mengangkat arca Kaisar Han Ko Cou. Kini peserta
yang ke sebelas maju ke depan dan berdiri di depan
arca.
Mula-mula pemuda itu membungkukkan tubuhnya,
lalu bergeser selangkah ke samping kiri arca.
Kemudian dengan lengan kanannya pemuda itu
merangkul kaki arca, untuk seterusnya mengangkat
arca tersebut perlahan-lahan. Rasanya enteng saja dan
tidak banyak membutuhkan tenaga.
Penonton bertepuk tangan menyambut keberhasilan
peserta ke sebelas itu. Pemuda itu lalu turun, dan
panitia perlombaan segera memanggil peserta berikut-
nya. Pemuda tinggi besar berkulit hitam melompat ke
atas panggung. Setelah memberi hormat ke arah
pendapa pemuda itu lalu berlutut di depan arca, 46
seperti layaknya seorang hamba sahaya menghaturkan
sembah kepada rajanya. Setelah itu dia berjalan
melingkar ke belakang arca, menekuk lututnya,
merangkul kaki arca dan mengangkat tinggi-tinggi ke
atas kepalanya.
Tepuk tangan dan sorak-sorai pujian diberikan oleh
penonton kepada pemuda tinggi besar berkulit hitam
itu. Dan pemuda itu menyambut pula pujian penonton
tersebut dengan membungkuk serta merangkapkan
tangan ke segala penjuru.
Peserta ke tiga belas naik ke atas panggung.
Bertubuh jangkung kurus dengan kulit agak pucat.
Seperti para peserta sebelumnya, pemuda itu menekuk
lututnya di depan arca dan menyembah dengan cara
membenturkan dahinya ke lantai panggung. Setelah
itu melangkah ke depan arca dengan lututnya.
Menyembah lagi. Lalu membalikkan badannya dan
meraih kaki arca di belakangnya dengan kedua
lengannya. Sambil mengerahkan sedikit tenaga ia lalu
mengangkat arca tersebut di pungungnya.
Kembali penonton bersorak-sorai memuji tingkah
laku pemuda jangkung tersebut. Lebih meriah
daripada sambutan yang diberikan kepada peserta
sebelumnya.
Pemuda berotot yang tadi hampir ribut dengan Lok
Ma, kelihatan menyesal dan penasaran.
"Oh! Jadi... begitukah caranya mengangkat arca?
Sebelumnya harus menyembah... berlutut... dan
sebagainya?" ia bersungut-sungut. 47
Seorang laki-laki beruban yang berdiri di dekatnya
menoleh dan tersenyum. "Tentu saja, anak muda.
Bukankah perlombaan ini diselenggarakan untuk
mencari bibit calon pasukan pengawal istana?
Bagaimanapun juga para peserta tentu akan diuji sikap
dan hormatnya pada raja."
"Tapi... tapi itu hanya sebuah patung."
-- o0d-w0o --
Komentar
Posting Komentar